Mobilitas Fix

Embed Size (px)

Citation preview

MOBILISASI PADA LANSIA Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non verbal(Handiyani, 2009). Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Walaupun jenis aktivitas berubah sepanjang kehidupan manusia, mobilitas adalah pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati kehidupan. Mempertahankan mobilitas optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia (Stanley, 2006). Mobilitas bukan merupakan sesuatu yang absolute dan statis dengan mengukur kemampuan seseorang untuk berjalan. Tetapi, mobilitas yang optimal merupakan sesuatu yang individualistis, dinamis, relative yang bergantung pada interaksi antara factor-faktor lingkungan,social, afektif, dan fungsi fisik (Stanley, 2006). GANGGUAN MOBILITAS Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan syndrome disuse merupakan gangguan mobilitas yang sering terjadi pada lansia. Beberapa factor yang mempengaruhi imobilisasi pada lansia 1. Factor internal a. Penurunan fungsi muskoloskeletal Otot-otot ( atrofi, distrofi, atau cedera), tulang ( infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteoblastoma ), sendi ( arthritis dan tumor), atau kombinasi struktur ( kanker dan obatobatan). b. Perubahan fungsi neurologis Infeksi (mis. Ensefalitis), tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vascular (mis. Stroke), penyakit degenerative (mis. Penyakit Parkinson), terpajan produk racun (mis. Karbon monoksida), gangguan metabolic (mis. Hipoglikemia) atau gangguan nutrisi. c. Nyeri : Penyebabnya multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan trauma. d. Defisit perseptual :

Kelebihan atau kekurangan masukan persepsi sensori. e. Berkurangnya kemampuan kognitif : Gangguan proses kognitif seperti demensia berat, jatuh. Efek fisik : cedera atau fraktur Efek psikologis : sindrom setelah jatuh f. Perubahan hubungan sosial : Faktor-faktor aktual (mis.kehilangan pasangan, pindah jauh dari keluarga atau temanteman). Faktor-faktor persepsi (mis.perubahan pola pikir seperti depresi) g. Aspek psikologis : Ketidakberdayaan dalam belajar dan Depresi 2. Factor eksternal a. Program terapeutik Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Contoh program pembatasan meliputi factor-faktor mekanis dan farmakologis, tirah baring, dan restrein b. Karakteristik penghuni institusi Tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perlakunya c. Karakteristik staf Tiga karakteristik staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi fisiologis dari mobilitas dan tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas sangat penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan mobilitas. d. System pemberi asuhan keperawatan Alokasi pratik fungsional telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikais dari mobilitas. e. Hambatan-hambatan

Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas. Rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi klien untuk tetap akti dan tetap dapat bergerak. f. Kebijakan-kebijakan institusi Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas. MACAM-MACAM GANGGUAN MOBILITAS PADA LANSIA 1. Gangguan Mobilitas Fisik Suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang Batasan Karakteristik : a. Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan, termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi b. Keengganan untuk melakukan pergerakan c. Keterbatasan rentang gerak d. Penurunan kekuatan, pengendalian, atau massa otot e. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-protokol mekanis dan medis f. Gangguan Koordinasi 2. Potensial Sindrom Disuse Suatu keadaan seseorang yang beresiko untuk mengalami kerusakan system tubuh sebagai akibat dari ketidakaktivan muskoloskeletal yang dianjurkan oleh dokter atau yang tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor Resiko : a. Paralisis b. Imobilisasi mekanis c. Imobilisasi yang dianjurkan oleh dokter d. Nyeri berat e. Perubahan tingkat kesadaran 3. Intoleransi Aktivitas Suatu keadaan ketidakcukupan energy secara fisiologis atau psikologis untuk tertahan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diinginkan. Batasan karakteristik :

a. Secara verbal melaporkan keletihan atau kelemahan b. Denyut jantung atau tekanan darah yang tidak normal terhadap aktivitas c. Rasa tidak nyaman atau dipsnea setelah beraktivitas d. Perubahan elektrokardiografis yang menunjukkan adanya disritmia atau iskemia Faktor-faktor resiko : a. Tirah baring atau imobilitas b. Kelemahan secara umum c. Gaya hidup yang kurang gerak d. Ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan DAMPAK FISIOLOGIS DARI IMOBILITAS DAN KETIDAKEFEKTIFAN Dampak fisiologis dari imobilitas dan ketidakefektifan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Penurunan oksigen 1. maksimum 2. Penurunan fungsi ventrikel kiri 3. Penurunan curah jantung 4. Penurunan volume sekuncup 5. Peningkatan katabolisme protein Peningkatan pembuangan kalsium 6. Perlambatan fungsi usus 7. Pengurangan miksi 8. Gangguan tidur 9. Gangguan metabolisme glukosa 10. Penurunan ukuran thoraks 11. Penurunan aliran darah pulmonal Penurunan cairan tubuh total 12. Gangguan sensori 13. 14. Efek konsumsi Hasil Intoleransi ortostatik Peningkatan denyut jantung, sinkop Penurunan toleransi latihan Penurunan kapasitas kebugaran Penurunan massa otot tubuh, atrofi muscular Osteoporosis disuse Konstipasi Penurunan evakuasi kandung kemih Bermimpi pada siang hari, halusinasi Intoleransi glukosa Penurunan kapasitas fungsional residual Atelektasis, penurunan PO2 , peningkatan PH Penurunan volume plasma, penurunan keseimbangan natrium Perubahan kognisi, depresi, dan ansietas, perubahan persepsi

PENATALAKSANAAN a. Pencegahan primer Sebagai intervensi pencegahan primer, latihan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya imobilitas pada lansia. Latihan dan aktivitas fisik secara teratur dapat mempertahankan mobilitas, meningkatkan energy, dan dapat meningkatkan fungsi kardiopulmonal. Manfaat dari latihan ini adalah

1. System kardiovasculer Peningkatan kapasitas ketahanan Peningkatan denyut jantung Peningkatan transport oksigen Penurunan kolestrol Penurunan tekanan darah 2. System respirasi Peningkatan kapasitas vital paru 3. System msculoskeletal Peningkatan kekuatan otot Peningkatan rentang gerak Peningkatan fleksibilitas Peningkatan remineralisasi tulang Peningkatan keseimbangan 4. System endokrin Peningkatan metabolism glukosa 5. Psikologis Peningkatan perasaan sejahtera 6. Kognitif Peningkatan fungsi kognitif Pada pelaksanaan latihan ini, terdapat beberapa hambatan yaitu: 1. Interpersonal Isolasi social, perilaku hidup tertentu, depresi, gangguan tidur, kurangnya transportasi, kurangnya dukungan 2. Lingkungan Tempat yang kurang aman dan kondisi iklim 3. Budaya 4. Model peran Gangguan citra tubuh, ketakutan akan kegagalan 5. Gender Pengembangan program latihan

Aktivitas atau latihan harus disesuaikan dengan kapasitas klien. Aktivitas di kursi cocok untuk lansia dengan resiko jatuh dan gangguan keseimbangan. Aktivitas di kolam renang tepat untuk klien dengan gangguan menahan berat badan dan mengalami penyakit sendi. b. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Tujuan dilakukannya pencegahan sekunder ini adalah: 1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan system musculoskeletal 2. Pemeliharaan fleksibilitas sendi 3. Pemeliharaan ventilasi yang normal 4. Pemeliharaan sirkulasi yang adekuat 5. Pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal Pencegahan sekunder yang dapat dilaksanakan yaitu a. Kontraksi Otot Isometrik Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot yang menggerakkan sendi. Kontraksi-kontraksi ini digunakan untuk mempertahankan kekuatan otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep, abdominal dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi orang-orang dengan dan tanpa penyakit kardiovaskuler. b. Kontraksi Otot Isotonik Kontraksi otot yang berlawanan atau isotnik berguna untk mempertahankan kekuatan otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa mengubah tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat dicapai. c. Latihan Kekuatan Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah kehilangan densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh. d. Latihan Aerobik Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung 60 sampai 90% dari denyut jantung maksimal. Contoh latihan aerobik termasuk berjalan, berenang, bersepeda, dan berdansa. e. Sikap

f. Latihan Rentang Gerak Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas. g. Mengatur Posisi Mengatur posisi juga digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balik vena. Mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. c. Pencegahan tersier Pencegahan tersier berupa upaya rehabilitatif untuk memaksimalkan mobilitas lansia yang melibatkan tenaga multidisiplin PENGKAJIAN a. Mengkaji skelet tubuh Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang. b. Mengkaji tulang belakang Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang) Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada) Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang berlebihan) c. Mengkaji system persendian Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi d. Mengkaji system otot Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot. e. Mengkaji cara berjalan Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan

abnormal (mis. cara berjalan spastic hemiparesis stroke, cara berjalan selangkah-selangkah penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar penyakit Parkinson). f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler. g. Mengkaji fungsional klien 1. KATZ Indeks Termasuk katagori yang mana: a. Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah,dan mandi. b. Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas. c. Mandiri, kecuali mandi, dan satu lagi fungsi yang lain. d. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan satu lagi fungsi yang lain. e. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, dan satu f. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain. g. Ketergantungan untuk semua fungsi diatas. Keterangan: Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain. Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. 2. Indeks ADL BARTHEL (BAI) NO 1 FUNGSI Mengendalikan pembuangan tinja SKOR KETERANGAN rangsang 0 1 2 Tak terkendali/tak teratur

(perlu pencahar). Kadang-kadang tak terkendali (1x seminggu). Terkendali teratur.

2

Mengendalikan berkemih

rangsang 0 1 2

Tak

terkendali

atau

pakai

kateter Kadang-kadang tak terkendali

(hanya 1x/24 jam) Mandiri 3 Membersihkan diri (seka 0 Butuh pertolongan orang lain Mandiri Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolonganpada

muka, sisir rambut, sikat gigi) 1 4 Penggunaan jamban, masuk 0 dan keluar (melepaskan, 1 celana, 2

memakai

membersihkan, menyiram)

beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain. Mandiri

5

Makan

0 1 2

Tidak mampu Perlu ditolong memotong

makanan Mandiri

6

Berubah sikap dari berbaring 0 ke duduk 1 2 3

Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bias duduk Bantuan minimal 1 orang. Mandiri

7

Berpindah/ berjalan

0 1 2 3

Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda. Berjalan dengan bantuan 1 orang. Mandiri

8

Memakai baju

0 1 2

Tergantung orang lain Sebagian dibantu (mis:

memakai baju) Mandiri.

9

Naik turun tangga

0 1 2

Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri Tergantung orang lain Mandiri

10

Mandi

0 1

TOTAL SKOR Skor BAI : 20 : Mandiri 12-19 : Ketergantungan ringan 9-11 : Ketergantungan sedang 5-8 : Ketergantungan berat 0-4 : Ketergantungan total

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan tulang. a. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi. b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus, noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang. Dll. Pemeriksaan Laboratorium: Hb pada trauma, Ca pada imobilisasi lama, Alkali Fospat , kreatinin dan SGOT pada kerusakan otot. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan intoleransi aktivitas, resiko tinggi sindrom dissue Tujuan untuk mempertahankan kemampuan dan fungsi, serta mencegah gangguan yang terjadi. Kriteria yang diharapkan :

Klien mampertahankan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal dan fleksibilitas sendisendi Intervensi keperawatan 1. Observasi tanda dan gejala penurunan mobilitas sendi, dan kehilangan ketahanan 2. Observasi status respirasi dan fungsi jantung pasien 3. Observasi lingkungan terhadap bahaya-bahaya keamanan yang potensial 4. Ubah lingkungan untuk menurunkan bahaya-bahaya keamanan 5. Ajarkan tentang tujuan dan pentingnya latihan 2. Kurang perawatan diri berhubungan dengan menarik diri, regresi panik, ketidakmampuan mempercayai orang lain. Tujuan : a. Jangka pendek : Klien dapat menyatakan keinginan untuk melakukan kegiatan hidup

sehari-hari dalam 1 minggu. b. Jangka panjang : Klien mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri dan

mendokumentasikan suatu keinginan untuk melakukannya. Kriteria yang diharapkan : a) Klien mampu makan sendiri tanpa bantuan. b) Klien memilih pakaian yang sesuai, berpakaian, merawat dirinya tanpa bantuan. c) Klien mempertahankan kebersihan diri secara optimal dengan mandi dan melakukan prosedur defekasi dan berkemih tanpa bantuan. Intervensi Keperawatan 1. Dukung klien untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai tingkat kemampuan. 2. Dukung kemandirian klien, tetapi berikan bantuan saat klien tidak mampu melakukan kegiatan. 3. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri. 4. Perhatikan klien secara konkret, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut klien sulit untuk dilakukannya. 5. Jika klien tidak makan karena curiga dan takut diracuni berikan makanan kaleng dan biarkan klien sendiri yang membuka kalengnya.

KESEIMBANGAN PADA LANSIA

Menurut (Suhartono, 2005), mekanisme keseimbangan postural membutuhkan kerjasama dan interaksi dari tiga komponen. Sistem sensori utama terkait dengan keseimbangan postural meliputi sistem visual, vestibular dan proprioseptif (Suhartono, 2005). 1. Ganguan fungsi Visual Gangguan visual yang dapat meningkatkan resiko jatuh, misalnya katarak (Hazzard, 1994). Manula umumnya mengalami perubahan struktur mata. Salah satu nya adalah atropi dan hialinisasi pada muskulus siliaris yang dapat meningkatkan amplitudo akomodasi. Hal ini dapat meningkatkan ambang batas visual sehingga dapat mematahkan impuls afferen yang kemudian dapat menurunkan visual manula, dan pada akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan postural mereka. Selain itu juga terjadi perubahan lapang pandang, penurunan tajam penglihatan, sensitivitas penglihatan kontras akibat berkurangnya persepsi kontur dan jarak. Penurunan tajam penglihatan terjadi akibat katarak, degenerasi makuler, dan penglihatan perifer menghilang (Gunarto, 2005). Reseptor visual ini memberikan informasi tentang orientasi mata dan posisi tubuh atau kepala terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Gangguan keseimbangan akan tampak lebih jelas lagi jika impuls afferen untuk visual ditiadakan, misalnya pada saat mata tertutup, maka kelihatan ayuanan tubuh (sway) menjadi berlebihan (Suhartono, 2005). 2. Gangguan fungsi vestibular Gangguan vestibular misalnya vertigo. Faktor predisposisi dari munculnya gangguan fungsi vestibular meliputi infeksi pendengaran, bedah telinga (ear surgery), aminoglyosides, quinidine, dan furosemid (Hazzard, 1994). Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam macula sebesar 40% dan sel syaraf. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan vertigo posisisonal dan ketidakseimbangan waktu berjalan (Gunarto, 2005). Organ vestibular memberikan informasi ke CNS tentang posisi dan gerakan kepala serta pandangan mata melalui reseptor makula dan krista ampularis yang terdapat di telinga dalam (Suhartono, 2005). 3. Gangguan proprioseptif misalnya neuropati perifer dan servical degenerative disease (Hazzard, 1994). Susunan proprioseptif ini memberikan informasi ke CNS tentang posisi tubuh terhadap kondisi di sekitarnya (eksternal) dan posisi antara segmen badan badan itu sendiri (internal) melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi, tendon, otot, ligamentum dan kulit seluruh tubuh

terutama yang ada pada kolumna vertebralis dan tungkai. Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi otot (Suhartono, 2005). Manula mengalami penurunan proprioseptif (Pudjiastuti, 2003). Hal ini dapat meningkatkan ambang batas rangsang muscle spindle, sehingga dapat mematahkan umpan balik afferen dan secara berurutan dapat mengubah kewaspadaan tentang posisi tubuh keadaan ini dapat menimbulkan gangguan keseimbangan postural (Suhartono, 2005). Beberapa system yang berkaitan dalam mengontrol keseimbangan postural 1. Sistem Saraf Pusat (SSP). Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves System (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal kontralateral. Selanjutnya infomasi ini diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi 150 mdet akan terbentuk suatu respon postural yang benar secara otomatis dan akan diekspresikan secara mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi pada aktivitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan tanpa perlu berfikir lagi. Proses kontrol postural pada CNS dimulai dari: Persepsi sensoris -> Perencanaan motorik -> Pelaksanaan motorik ke perifer (Suhartono, 2005). 2. Sistem efektor. Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi tubuh / Center Of Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau berjalan. Dalam posisi berdiri respon motor (effector) mempertahankan atau menyokong sikap dan keseimbangan, yang disebut muscle synergies (Guccione, 2000).Gerakan dilakukan oleh suatu kelompok sendi dan otot dari kedua sisi tubuh, maka komponen efektor yang normal harus ada supaya dapat melakukan gerakan keseimbangan postural yang normal. Komponen efektor yang dibutuhkan adalah LGS (Lingkup Gerak Sendi), kekuatan dan ketahanan (endurance) dari kelompok otot kaki, pergelangan kaki, lutut, pinggul, punggung, leher, dan mata. Gangguan pada komponen efektor akan mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol postur sehingga akan terjadi gangguan keseimbangan postural (Suhartono, 2005).

Sedangkan menurut (Nugroho, 2000) Stabilitas atau keseimbangan tubuh ditentukan atau dibentuk oleh: 1. Sistem Sensorik Pada sistem ini yang berperan di dalamnya adalah penglihatan (visus) dan pendengaran. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan pengelihatan. Gangguan pengelihatan yang dimaksud meliputi presbiop, kelainan lensa mata ( refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma), dan radang saraf mata. Begitu pula semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang dimaksud meliputi kelainanan degeneratif (otosklerusis) dan ketulian pada lanjut usia yang seringkali dapat menyebabkan kekacauan mental. 2. Sistem Saraf Pusat (SSP). Menurut Tinneti (1992), penyakit SSP seperti stroke dan parkinson hidrosefalus tekanan normal, sering diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik. 3. Kognitif Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko jatuh. 4. Muskuloskeletal. Faktor ini betul-betul berperan besar terjadinya jatuh terhadap lanjut usia (faktor murni milik lanjut usia). Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. EVALUASI KESEIMBANGAN DAN GAYA BERJALAN MENURUT TINETTI Evaluasi ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan seorang pasien dapat beristirahat atau bergerak sesuai aktivitas normalnya. Evaluasi ini dapat memerlukan waktu 5 sampai 15 menit untuk dikerjakan. Untuk persiapan, Anda kan membutuhkan kursi berlapis tanpa pegangan tangan, ruang berjalan (misalnya sebuah ruangan besar atau koridor), dan alat bantu berjalan pasien (misalnya tongkat atau walker). Amati setiap pada setiap maneuver yang tercantum di bawah ini dan pilih nomor yang paling menggambarkan penampilan pasien. Nilai maksimum adalah 28, sedangkan terendah adalah 0. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin baik gaya berjalan dan keseimbangan

pasien. Anda dapat mengkaji setiap perburukan kondisi pasien secara periodic mengulang evaluasi dan membandingkan nilai akhir dengan nilai dasar sebelumnya. a. Evaluasi Keseimbangan Instruksi: Dudukan pasien di kursi yang kokoh tanpa pegangan tangan dan uji maneuver berikut. 1. Keseimbangan ketika duduk 0 = Bersandar atau bergeser pada kursi 1 = Seimbang, aman 2. Bangkit 0 = Tidak mampu tanpa bantuan 1 = Mampu tetapi menggunakan lengan sebagai bantuan 2 = Mampu tanpa menggunakan lengan 3. Upaya untuk bangkit 0 = Tidak mampu tanpa bantuan 1 = Mampu tetapi membutuhkan lebih dari satu kali upaya 2 = Mampu bangkit dengan satu kali upaya 4. Keseimbangan berdiri dengan segera (5 detik pertama) 0 = Tidak seimbangan (sempoyongan, kaki berpindah, jelas terlihat tubuh goyah) 1 = Tidak seimbangan tetapi menggunakan walker atau tongkat atau memegang benda lain untuk sokongan 2 = Seimbang tanpa walker, tongkat, atau penyokong lain 5. Keseimbangan berdiri 0 = Tidak seimbang 1 = Seimbang tetapi berdiri dengan kaki lebar (jarak antara tumit lebih dari 10 cm) atau menggunakan walker, tongkat, atau penyokong lainnya 2 = Berdiri dengan kaki dekat tanpa sokongan 6. Dorongan pelan (Pasien berada pada posisi maksimum dengan kaki sedempet mungkin. Pemeriksa mendorong dengan pelan pelan pada sternum pasien dengan telapak tangan sebanyak tiga kali). 0 = Mulai jatuh

1 = Sempoyongan, meraih pegangan, tetapi masih bisa berdiri 2 = Seimbang 7. Mata tetutup (pada posisi pasien maksimum, sama seperti nomor 6) 0 = Tidak seimbang 1 = Seimbang 8. Berbalik 360 derajat 0 = Menghentikan langkah 1 = Melanjutkan langkah 0 = Tidak seimbang (memegang, sempoyongan) 1 = Seimbang 9. Duduk 0 = Tidak seimbang (salah menilai jarak, jatuh ke kursi) 1 = Menggunakan lengan atau gerakan tidak lancer 2 = Gerakan seimbang dan lancer NILAI KESEIMBANGAN .. / 16 b. Gaya Berjalan Instruksi. Pasien berdiri berdampingan dengan pemeriksa. Kemudian pasien berjalan di sepanjang di sepanjang koridor atau melintas di ruangan, pertama dengan kecepatan berjalan pasien yang biasa dan kemudian berjalan kembali dengan cepat tetapi aman (dengan menggunakan alat bantu berjalan, seperti walker atau tongkat) 1. Memulai gaya berjalan (dengan segera setelah diminta untuk berjalan) 0 = Ada keragu-raguan atau memulai dengan berbagai upaya 1 = tidak ada keragu-raguan 2. Panjang dan tinggi langkah Ayunan kaki kanan 0 = Tidak dapat melangkah melewati kaki kiri yang berdiri 1 = Melewati kaki kiri yang berdiri 0 = kaki kanan tidak mengayun langkah dengan sempurna 1 = kaki kanan mengayun langkah dengan sempurna

3. Panjang dan tinggi langkah Ayunan kaki kiri 0 = Tidak dapat melangkah melewati kaki kanan yang berdiri 1 = Melewati kaki kanan yang berdiri 0 = kaki kiri tidak mengayun langkah dengan sempurna 1 = kaki kiri mengayun langkah dengan sempurna 4. Simetrisitas langkah 0 = Panjang langkah kaki kanan dan kiri tidak sama (perkiraan) 1 = langkah kaki kanan dan kiri tampak sama 5. Kontinuitas langkah 0 = Berhenti atau tidak berkelanjutan di antara langkah 1 = Langkah tanpak berkelanjutan 6. Jalur (perkiraan lebar lantai 30,5 cm, amati ekskursi salah satu kaki sekitar 25,5 cm langkah) 0 = Deviasi terlihat jelas 1 = Deviasi ringan atau sedang atau menggunakan alat bantu jalan 2 = Berjalan lurus tanpa alat bantu jalan 7. Rangka tubuh 0 = Goyah tampak jelas atau menggunakan alat bantu jalan 1 = Tidak goyah tapi menekuk lutut atau membungkuk atau merentangkan lengannya ketika berjalan 2 = Tidah goyah, tidak menekuk, tidak menggunakan lengan, dan tidak memkai alat bantu jalan 8. Sudut berjalan 0 = kedua tumit terpisah 1 = kedua tumit hampir bersentuhan ketikan berjalan NILAI CARA BERJALAN . / 12 NILAI MOBILITAS TOTAL (keseimbangan cara berjalan) .. /28 RESIKO JATUH PADA LANSIA

Jatuh bukan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara acak tetapi lebih merupakan suatu kejadian yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. hal ini merupakan kejadian yang terjadi secara acak, maka hal tersebut akan sangat sulit untuk diprediksi dan dicegah. Karena orang biasanya jatuh di manapun mereka menghabiskan sebagian besar waktunya, faktor-faktor eksternal harus dipertimbangkan. Jatuh juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik (internal). Faktor-faktor internal adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh. Kedua jenis faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam mencegah jatuh (Stanley, 2006) FAKTOR RESIKO JATUH PADA LANSIA 1. Intrinsik a. Usia : peningkatan insiden pada usia 75, 80 - 89 berada pada resiko tertinggi b. Jenis kelamin : wanita mempunyai resiko lebih tinggi c. Devisit sensorik : masalah penglihatan dan pendengaran d. Kondisi kondisi medis : penyakit penyakit yang diderita e. Perubahan gaya berjalan dan keseimbangan f. Takut jatuh 2. Ekstrinsik a. Perangkap lingkungan : benda-benda atau pengahalang di sekitar lansia b. Pembatas lingkungan : seperti sisi pengaman tempat tidur c. Alat bantu : tongkat, walker dan sebagainya d. Alas kaki yang tidak tepat e. Penyalahgunaan alcohol 3. Latrogenik a. Obat-obatan b. Alat medis : kateter urin, selang dan tiang IV c. Restrain d. delirium PENATALAKSANAAN PADA LANSIA DENGAN RESIKO JATUH Menurut Stanley (2006), penatalaksanaan pada lansia dengan resiko jatuh meliputi: 1. Medis

a. Sadari bahwa jatuh bukan merupakan kejadian yang terjadi secara acak atatu merupakan bagian normal dari penuaan b. Lakukan pemeriksan fisik secara lengakp c. Tetapkan diagnosis dan obati penyakit-penyakit yang spesifik d. Evaluasi gaya berjalan, keseimbanagan dan ketahanan e. Dapatkan riwayat jatuh (tanyakan kapan waktu terakhir klien jatuh) f. Obati cedera akibat jatuh g. Kelola pengobatan (fokuskan untuk memberikan pengobatan dalam jumlaj sedikit mungkin) h. Sediakan rujukan yang tepat untuk melakukam tindak lanjut dan pengkajian di rumah 2. Terapi fisik a. Kaji gaya berjalan, keseimbangan, kekuatan otot, dan selama aktivitas kehidupan yang normal b. Evaluasi kebutuhan penggunaan alat bantu untuk ambulasi atau berpindah c. Berikan dan instruksikan tentang penggunaan alat bantu yang benar d. Berikan latihan bejalan dan latihan untuk memperkuat otot-otot dan meningkatkan keseimbangan 3. Terapi okupasi a. Kaji kemampuan untuk berfungsi dalam situasi kehidupan b. Evaluasi kebutuhan untuk penggunaan alat bantu adaptif c. Berikan alat bantu adaptif jika diperlukan dan ajarkan cara penggunaannya yang benar 4. Perawat Kunjungan Rumah, Pekerja Sosial, Dokter a. Kunjungi rumah untuk mengkaji bahaya-bahaya keamanan b. Berikan edukasi pada klien tentang kebutuhan untuk memperbaiki bahaya-bahaya keamanan yang ada c. Berikan sumber-sumber jika ada untuk memperbaiki bahaya-bahaya tersebut 5. Ahli Gizi Berikan edukasi dan bantu klien dalam memberikan edukasi yang adekuat PENGKAJIAN UNTUK LANSIA DENGAN RISIKO JATUH 1. Fisik a. Perubahan sensoris : kacamata, pendengaran, propriosepsi, sensitivitas penglihatan kontras

b. Kardiovaskkular : Disritmia, tekanan darah ortostatik, pusing c. Muskuloskeletal : Mobilitas, kekuatan, gaya berjalan dan keseimbangan (bangun dari kursi, berbalik pada saat berjalan, ketinggian langkah kaki, duduk), kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki, penyakit serebrovaskular. d. Neurologis : tremor, gaya berjalan dan keseimbangan, waktu reaksi e. Urologi : Inkontinensia, urgensi, hipotensi mikturisi, penggunaan diuretik f. Nutrisi : Anamia, ketidakseimbangan cairan atau elektrolit, malnutrisi g. Penyakit akut : Infeksi, perubahan status mental 2. Psikososial a. Kesehatan emosi : Stress b. Perilaku dan kemampuan kognitif : Konfusi, depresi, ansietas, ketergantungan, agitasi, penyangkalan, takut jatuh, perhatian tentang jatuh c. Keadaan tempat tinggal d. Pemberi perawatan e. Pola aktivitas : Sejauh mana seseorang bepergian dari rumah dan seberapa sering? f. Jenis aktivitas 3. Penggunaan obat-obatan dan efeknya a. Jumlah obat-obatan (termasuk obat yang dibeli bebas) b. Penggunaan alkohol c. Interaksi dan efek samping : hipotensi ortostatik, pusing, perubahan status mental 4. Lingkungan Inspeksi atau pembahasan tentang bahaya-bahaya di rumah, baik didalam maupun di luar rumah dan di mana saja orang tersebut menghabiskan sebagian besar waktunya (tangga, pegangan tangan di dinding, kamar mandi, karpet, lemari, keadaan yang berantakan) 5. Riwayat jatuh (pencegahan sekunder) a. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan jatuh : Apa yang dilakukan orang tersebut? Adakah tanda peringatan? Di mana? Bagaimana? Kapan? b. Apa yang terjadi setelah jatuh? c. Apakah orang tersebut pernah jatuh sebelumnya (termasuk jatuh tanpa cedera)?

Stanley, Mickey. Beare, Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawaan Gerontik ed. 2. Jakarta: EGC Nugroho, Wajudi. 2008. Keperaawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta; EGC. Handayani. 2009. Materi Mobilisasi. Diakses dari staff.ui.ac.id/internal/.../MobilisasiMateri.pdf pada tanggan 25 Maret 2012 Bernando. 2011. Gangguan Mobilitas pada Lansia. dari Diakses pada 25

http://bernando18.blogspot.com/2011/10/gangguan-mobilitas-pada-lansia.html Maret 2012 Pusva. 2009. Imobilisasi dan intolerasni aktivitas pada lansia.

Diakses

dari pada

http://pusva.wordpress.com/2009/10/03/imobilitas-dan-intoleransi-aktivitas-pada-lansia/ tanggal 35 Maret 2012 http://japanesepower.blogspot.com/2008/07/gangguan-mobilisasi.html