20
MENGKRITISI KREDIBELITAS TEMUAN PENELITI ASING DALAM SOAL POLITIK IDENTITAS ORANG BALI 1 Oleh Nyoman Wijaya (sejarawan alumni UGM bekerja di Program S-1 FSB Unud) Kemana aku mesti menggeliat, ke atas.. melayang..melambung tinggi, hanya boleh sampai kosong koma kosong lima km, jangan melebihi sebatang pohon kelapa, mau coba lebih tinggi, tak ada kuasa brahma pada diriku, ke bawah.. menerebos..ke celah-celah sempit kerikil debu, tak ada kuasa wisnu, aku adalah aku, tak cukup puas hanya memakan bulan, pasir, sungai, lembah, sawah habis, aku pun gelisah.. tak ada ruang lagi untuk menggeliat, tapi aku perlu menggeliat, ke mana aku boleh menggeliat, ke samping... tak ada daya untuk berani melawan, perisai-perisai kata padu berteriak lantang, bagai ujung-ujung tombak belepotan darah di medan laga, siap menerkam dada yang berani melawan, lalu kemana... kemana aku harus menggeliat, ke atas tak boleh, ke samping apalagi, ke bawah tak mungkin, ke mana-mana tak boleh, engkau katakan, larangan-larangan itu demi menjaga budaya, engkau tegaskan, tak boleh ada yang menyentuh tubuhnya, dia adalah sorga, tak ada cela, dia dewa, dia dewi, dia kesempurnaan, tak boleh ada yang mengubahnya, dia keabadian, 1 Makalah yang dibawakan dalam Seminar Seri Sastra dan Budaya di Auditorium Fakultas Sastra dan Budaya Universits Udayana, Jumat 15 Januari 2015 pukul 10.00 hingga 13.00.

ORANG BALI1 Oleh Nyoman Wijaya

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MENGKRITISI KREDIBELITAS TEMUAN PENELITI ASING DALAM SOAL POLITIK IDENTITAS ORANG BALI1 Oleh Nyoman Wijaya (sejarawan alumni UGM bekerja di Program S-1 FSB Unud)

Kemana aku mesti menggeliat, ke atas..

melayang..melambung tinggi, hanya boleh sampai kosong koma kosong lima km,

jangan melebihi sebatang pohon kelapa, mau coba lebih tinggi,

tak ada kuasa brahma pada diriku, ke bawah..

menerebos..ke celah-celah sempit kerikil debu, tak ada kuasa wisnu,

aku adalah aku, tak cukup puas hanya memakan bulan,

pasir, sungai, lembah, sawah habis, aku pun gelisah..

tak ada ruang lagi untuk menggeliat, tapi aku perlu menggeliat,

ke mana aku boleh menggeliat, ke samping...

tak ada daya untuk berani melawan, perisai-perisai kata padu berteriak lantang,

bagai ujung-ujung tombak belepotan darah di medan laga, siap menerkam dada yang berani melawan,

lalu kemana... kemana aku harus menggeliat,

ke atas tak boleh, ke samping apalagi,

ke bawah tak mungkin, ke mana-mana tak boleh,

engkau katakan, larangan-larangan itu demi menjaga budaya,

engkau tegaskan, tak boleh ada yang menyentuh tubuhnya,

dia adalah sorga, tak ada cela,

dia dewa, dia dewi,

dia kesempurnaan, tak boleh ada yang mengubahnya,

dia keabadian,

1 Makalah yang dibawakan dalam Seminar Seri Sastra dan Budaya di Auditorium Fakultas Sastra

dan Budaya Universits Udayana, Jumat 15 Januari 2015 pukul 10.00 hingga 13.00.

2

tapi engkau munafik kawan, ketika katakan dia paling istimewa,

empat jarimu terkepal, ibu jarimu melengkung,

aku lihat dari balik tirai bambu menunjuk ke bukit, gunung, ngarai

yang boleh engkau lebur, darimana engkau berguru kawan, siapa yang mengajarimu kawan,

para dewakah.....ooo bukan, para dewikah.... oooo bukan,

para danghyangkah...juga bukaaan!! gurumu adalah kebodohan,

kemalasan membuka lembar-lembar masa lampau, masa lalu bagimu adalah bait-bait babad,

titik titik kata keindahan, puja-puji leluhur,

leluhurmu lebih sakti, lebih hebat,

mendekati dewa dan bahkan benar-benar dewa, disambung-sambung jadi budaya,

tak bisa bedakan fakta sejarah dan fiksi, tapi ......ditengah kegelapan,

engkau terlalu percaya pada petir, pada halilintar,

pembuka terang kegelapan budaya, keburaman masa lampau,

singa mengaum pun terdengar eong kucing, tapi....tetap engkau jaga bagai ideologi negara,

budayamu paling benar, adi luhung,

sang penjajahpun kagum, tak lapuk waktu, tak terkalahkan,

engkau tersenyum di balik ketaktahuan, budaya adalah artikulasi,

suatu upaya penyelarasan, dua hal yang berbeda-beda, dipaksa-satukan jadi kuat, tak boleh dipisah...abadi,

khususnya ketika digunakan, mereka-mereka yang engkau beri hak,

hak istimewa untuk berbicara, budaya jadi pikiran-pikiran mereka,

pikiran-pikiran yang begitu kuat, sehingga,

dengan istilah-istilah yang mereka ciptakan, jargon-jargon yang dibangun,

3

kisah sejarah direkayasa, mereka mampu menentukan dunia ,

dunia masa masa lampau tersamarkan modern, jadi...selalu ada peluang bagimu kawan,

untuk merubah budaya, seiring dengan munculnya pilihan,

apakah pariwisata atau budaya, yang harus jadi persembahan kejamnya hidup,

di tengah-tengah posisiku, sebagai tempat berpijak,

tempat bersendawa, melepas puncak-puncak kenikmatan,

para pelancong dunia..domestik jika di pastikan,

budaya yang engkau agung-agungkan tanpa nalar, harus bertahan tanpa revisi, reinterpretasi, dan reposisi,

akhirnya lambat laun, entah dua puluh lima puluh,

atau tak sampai lima puluh warsa, wisatawan akan menjauh,

ditengah-tengah semakin padatnya kritik, atas kemacetan lalu lintas tak terurai,

ketengikan tumpukan sampah di mana-mana, semaraknya kebringasan,

engkau akan kesepian menopang dagu, sementara anak-anakmu,

yang sudah menjadi orang-orang tua, tetap ingin menggeliat,

demi susu, nasi, sekolah cucu-cucumu, demi kehidupan yang lebih bermartabat,

bukan hanya untuk tontotan orang-orang luar, yang perlu hiburan fantasi dunia mitis dan mistik,

ditengah-tengah kejenuhan dunia maya, jadi kawan..

urailah kemacetan lalu lintas secara cerdas, sekalipun engkau sampai harus merubah budaya,

tak ada salahnya bikin tempat ibadah setinggi gunung, tak salah pula bangun real estate,

kampung –kampung pemukiman bertingkat setinggi bukit, sebab jika seribu tahun silam,

ilmu teknologi sipil sehebat sekarang, wajah baliku tak kan sekarut marut sekarang,

ruang-ruang nan hijau akan masih terbuka lebar, sungai-sungai pun tak akan jadi kubangan lumpur sampah plastik,

aku yakin jika mau engkau bisa. Denpasar 13 Januari 2016

nyomanwijaya

4

Pengantar

Artikel ini berbicara tentang bagaimana para intelektual Bali mengartikulasikan2 Bali sebagai kebudayaan yang harus dipertahankan dari pengaruh eksternal dalam panggung sejarah Bali modern. Bagaimana pula sejumlah peneliti asing mendeskripsikannya dalam karya ilmiah mereka masing-masing. Fokus utamanya, pembentukan politik identitas orang Bali. Argumentasi sentralnya, ada kecenderungan sejumlah peneliti asing tersebut terlalu sibuk mencari sebab-sebab dari terjadinya suatu peristiwa sampai sejauh-jauhnya dan semendetail mungkin, namun seringkali sebab-sebab terdekat yang didukung oleh bukti (dokumen) jadi terabaikan.

Argumentasi sentral tersebut lalu ditempatkan dalam kerangka berpikir pengikut Postmodernism seperti yang dikemukakan oleh sejarawan radikal Robert Samuel, pencetus History Workshop. Dia meminta kepada setiap orang supaya memandang sejarah bukan sebagai rekaman masa lalu, terkait dengan fakta, melainkan hanya hasil penemuan atau fiksi dari sejarawannya sendiri.3 Demi menghadapi serangan penganut paham dekonstruksi yang meragukan kebenaran sebuah karya sejarah tersebut, C. Behan McCullagh menganjurkan para sejawaran supaya mencari sebab-sebab yang terdekat dari suatu peristiwa, karena suatu sebab itu mencakup ide tentang sesuatu yang menciptakan dampak. “Sambutan yang diberikan kepada seorang rekan di pintu masuk membuatnya tersenyum, bukan big bang, ledakan yang mengawali alam semesta.4

Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada para sejarawan postrukturalis, humaniorawan kritis, dan cultural studies aliran Birmingham, dan para peminat pendekatan alternatif kritis dalam pengkajian budaya dan masyarakat sebagai objek kajian tentang betapa pentingnya menggunakan biografi scientific sebagai pintu masuk untuk menelaah bidang ilmu masing-masing. Berbeda dengan biografi portrayal yang hanya bertujuan untuk mencoba memahami tokoh, biografi scientific ingin menerangkan tokoh berdasar analisis ilmiah. Oleh karena itu biografi model ini memerlukan penggunaan konsep dan teori dari psychoanalysis, sehingga menghasilkan sebuah psychohistory (sejarah kejiwaan). Sejarah pun berubah dari yang memahami menjadi sejarah yang menerangkan (explain, erklaren). Memahami tokoh berarti mengerti “dari dalam” berdasar “makna subjektif” dari tokohnya sendiri seperti dia menafsirkan hidupnya, sedangkan menerangkan adalah “menjelaskan dari luar” dengan memakai bahasa ilmu (hubungan-hubungan kausal) terhadap tokoh yang tertentu saja di luar kesadarannya.5

Berdasarkan pemahaman di atas, target utama yang ingin dicapai dalam studi ini adalah mencoba menawarkan sejumlah sebab-sebab terdekat dari peristiwa sejarah kemunculan politik identitas orang Bali yang sempat disinggung dalam karya-karya

2 Artikulasi diterjemahkan sebagai ngadungang (bahasa Bali, yang artinya menyepadankan,

menyesuaikan atau menyelaraskan dua hal yang berbeda, terjemahan dari penulis) yang bermakna mengungkapkan dan menghubungkan bersama-sama. Lihat, Mark Hobart, “The end of the world news: television and a problem of articulation in Bali,” (International Journal of Cultural Studies,Volume 3, 1, 79-102, June, 1999), p. 19, footnote 24.

3 Richard J. Evans, In Defence of History (London : Granta Book, 1977), p. 7.

4 Lihat C. Behan McCullagh, The Truth of History (London: Routledge, 1998), p. 177.

5 Lihat lebih jauh Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,

2003), pp. 208-209.

5

sejumlah peneliti asing. Objek penelitiannya adalah empat peristiwa sejarah yang mendapat sorotan cukup serius dari sejumlah peneliti asing yakni Gerakan Ajeg Bali, pelaksanaan Panca Wali Krama tahun 1933 dan 1960, pembangunan altar pemujaan berupa padmasana di Pura Jagat Natha Denpasar tahun 1961, dan pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih tahun 1963 dan 1979. Dari semua peristiwa tersebut yang paling banyak mendapat sorotan adalah Gerakan Ajeg Bali 2003.

Satu, gerakan Ajeg Bali adalah sebuah politik identitas orang-orang Bali yang mencuat kepermukaan setelah peledakan bom di Legian tahun 2002. Pada mulanya penggagas dan pendukung gerakan ini membangkitkan kembali politik identitas Bali dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan, yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. Semua pihak sepakat dengan pemaknaan itu. Akan tetapi begitu gerakan tersebut kemudian melebar ke berbagai bidang kegiatan, termasuk aksi-aksi perlawanan terhadap keindonesian dan Islam.

Dua, Panca Wali Krama adalah pelaksanaan upacara keagamaan terbesar setelah berakhir jaman kerajaaan di Bali. Upacara ini pertama kali dilaksanakan pada masa pemerintahan kolonial tahun 1933 dan diulang kembali di zaman kemerdekaan, tahun 1960. Tiga, altar pemujaan padmasana merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah keagamaan Hindu di Bali, karena pembangunannya dapat disebut sebagai suatu politik identitas orang Bali untuk menegaskan posisi diri mereka di tengah-tengah bangsa Indonesia, bahwa Hindu bukan merupakan agama yang memuja banyak Tuhan (polytheism) melainkan (monotheism). Empat, Eka Dasa Rudra adalah upacara yang hanya dilakukan selama 100 tahun sekali. Upacara ini pertama kali dilaksanakan tahun 1963, namun diulang kembali pada tahun 1979.

Dengan menampilkan contoh-contoh peristiwa sejarah di atas, tujuan utama yang ingin dicapai dari penelitian itu adalah menawarkan sebuah model penelitian sejarah yang menggunakan metodologi biografi scientifik terhadap sejumlah tokoh sejarah di satu sisi dan pemanfaatan sejumlah dokumen sejarah di sisi lain. Tokoh sejarah yang pengalaman hidupnya bisa dipakai untuk mengkritisi hasil temuan pada peneliti asing tentang politik didentitas orang Bali adalah I Ketut Tangkas. Dia orang Bali pertama yang melakukan konversi dari agama Hindu ke agama Buddha Theravada.

Hasil penelitain penulis tentang perjalanan hidup I Ketut Tangkas, dapat dipakai untuk meninjau ulang pendapat sejumlah peneliti asing tentang sebab-sebab dari pelaksanaan upacara Manca Wali Krama di Pura Besakih tahun 1960 dan Eka Dasa Rudra juga di Pura Besakih tahun 1963. Hasil penelitain kedua adalah perjalanan hidup I Gusti Ngurah Bagus yang bisa dipakai untuk menunjukkan temuan peneliti asing mengenai sebab-sebab dari pembangunan altar pemujaan padmasana di Pura Jagat Natha di Denpasar tahun 1961.

Perjalanan hidup kedua tokoh sejarah di atas tidak ditulis dengan menggunakan metodologi biografi konvensional, melainkan yang scientific. Metodologi biografi scientifik, jika diterapkan secara baik dan benar akan mampu menghasilkan sebuah pendekatan biografis yang peran besar terhadap penelitian ilmu humaniora. Pendekatan biografis akan menjadi jendela untuk membuka khasanah ilmu humaniora.6 Sebagai sebuah jendela, informasi awal mengenai sebab-sebab terdekat dari pelaksanaan upacara Manca Wali Krama di Pura Besakih tahun 1960 dan Eka Dasa Rudra juga di Pura

6 Terimakasih kepada Profeseor Bambang Purwanto dari UGM yang telah mengingatkan penulis

peran pendekatan biografis dalam Ilmu Humaniora. Pernyataan tersebut disampaikan penulis memberikan ceramah “Pendekatan Biografis dalam Ilmu Humaniora” yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, tanggal 28 November 2014 di Gedung Multimedia UGM.

6

Besakih tahun 1963 dapat dipakai untuk membuka informasi lebih jauh mengenai pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di tahun 1979 dan relasi kuasa dalam wacana pemujuan Tuhan sesesuai dengan konsepsi Sila pertama Pancasila si Pura Jagat Nata Denpasar yang terjadi di tahun 2014.

Berbeda dengan ketiga peristiwa yang dsebutkan di atas, jalan masuk untuk mencari sebab-sebab terdekat dari Gerakan Ajeg Bali, tidak dimulai adri perjalanan hidup salah seorang tokohnya, melainkan wacana yang berkembang di masyarakat. Hal itu masih bisa dilakukan karena antara penulis dan objek yang ditulis sezaman, sehingga penulis biasa langsung mempelajari sejarah ide yang berkembang di masyarakat. Demi mencapai tujuan tersebut di atas, pembahasan artikel ini diawali dengan membicarakan cara sejumlah peneliti asing dalam menjelaskan dan menerangkan peristiwa sejarah munculnya politik identitas orang Bali, lalu disandingkan dengan sumber-sumber sejarah yang berhasil ditemukan melalui pendekatan biografis. Pendekatan alternatif seperti ini sangat diperlukan, supaya dikemudian hari tidak ada semacam pemahaman tunggal dari suatu peristiwa. Hal ini sangat penting mengingat tingkat kepecayaan para penelitian lokal terhadap para peneliti asing sangatlah tinggi, padahal cukup banyak di antara mereka yang tidak menguasai bahasa Bali, sehingga perlu diragukan keabsahan penelitiannya.7 Belajar dari kasus Clifford Geertz

Volker Gottowik dari University of Frankfurt, Jerman bersama dengan I Gusti Ngurah Bagus dari Universitas Udayana mengadakan analisis teks karya Clifford Geertz dengan mahasiswa-mahasiswa Kajian Budaya (S-2). Ia memilih salah satu karya Geertz “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight’ (1972). Dalam sastra etnografi klasik ini, Geertz menggambarkan budaya Bali dari sudut pandang penduduk asli. Mereka membahas pernyataan ini dalam 12 kali pertemuan dengan cara membaca “Deep Play” paragraf. Demi paragraf dan membahas pernyataan Geertz tentang budaya Bali dan apakah mahasiswa dan dosen Bali juga akan membuat pernyataan seperti itu tentang budaya mereka. Supaya tidak terjadi kesulitan bahasa satu sama lain, mahasiswa diminta membaca terjemahan Indonesia teks ini dengan tetap menyertakan yang versi bahasa Inggris.8

Simpulan dari hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa mahasiswa Bali melihat budaya mereka direduksi secara rinci yang tidak memusat pada diri mereka dan kurang mendalam. Kata dalam bahasa Indonesia “sabung ayam” lebih cocok dipakai untuk menterjemahkan “tejen” daripa “cock” yang digunakan oleh Geertz, yang mengacu pada ayam jantan dan betina, dan kata “siap” (ayam) tidak memiliki konotasi seksual. Jadi, berdasarkan hasil penelitian Gottowik dan Bagus, Geertz terbukti belum mampu meyakinkan masyarakat Bali tentang pemahamannya mengenai sabung ayam Bali sebagai sebuah sistem simbol khusus secara kultural.9

Proses pereduksian tersebut akan menjalar ke mana-mana sesuai dengan tingkat penyebaran karya Geertz itu dan seiring pula dengan jumlah orang yang

7 Terimakasih kepada Profesor Marx Hobart yang mengingatkan penulis tentang persoalan

tersebut, baik secara liasan maupun tulisan-tulisan. Demikian pula Richard Fox yang mempertegas persoalan itu dengan menceritakan kasus peneliti lokal mengutip secara pendapat keliru seorang peneliti asing tentang sebuah praktik berkesenian di Bali.

8 Lihat Nyoman Wijaya, Menerobos Badai : Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus

(Denpasar: Larasan, 2012), p. 910-913. 9 Ibid.

7

mengitipnya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, studi ini akan difokuskan pada sebuah pertanyaan penelitian apa yang dapat disumbangkan oleh pendekatan biografis dan dokumen dalam mencari sebab-sebab terdekat dari munculnya keempat peristiwa tersebut di atas. Lebih luas lagi apa yang dapat disumbangkan dari kajian ini terhadap ilmu humaniora dan ilmu sosial di Indonesia.

Gerakan Ajeg Bali

Reuter melacak kemunculan Ajeg Bali pada empat zaman. Pertama, pada peristiwa tahun 1920-an, saat pemerintah kolonial Belanda mengaburkan ingatkan publik terhadap kekerasan yang terjadi dalam penaklukan kerajaan-kerajaan di Bali Selatan pada awal abad XX. Pengaburan ingatan itu dilakukan dengan cara mewujudnyatakan suatu kebijakan untuk menyelamatkan kebudayaan Bali yang dianggap benar-benar asli. Kedua, tahun 1958 ketika Bali dijadikan satu propinsi yang afiliasi etnik dan agamanya berbeda dengan seluruh propinsi lainnya di Indonesia. Ketiga, dari praktik-praktik kekuasaan selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru, ketika orang-orang Bali merasakan dirinya dipinggirkan, efek-efek negatif pembangunan tahun 1970-an, dan dominasi para investor luar terhadap ekonomi pariwisata Bali. Keempat, pada era reformasi, ketika kekuatan Islam garis keras kembali muncul di Indonesia setelah jatuhnya pemerintahan Suharto tahun 1998 dan pada pelaksanaan otonomi daerah. Keterpinggiran dan dominasi tersebut melahirkan kekecewaan dan puncaknya terjadi pada 12 Oktober 2002, saat peledakkan bom di Legian yang kemudian terbukti dilakukan oleh kelompok teroris Islam garis keras. 10

Pandangan yang nyaris serupa dengan Reuter dapat dilihat pada Helen Creese yang juga melacak munculnya Ajeg Bali sampai pada tahun 1920-an.11 Dapat dilihat pula pada Gramae MacRae yang menyatakan gerakan Ajeg Bali semata-mata ditujukan untuk membendung pengarah Islam.12 Pandangan yang serupa dengan Reuter juga dapat dilihat dalam pemikiran Pamela Allen and Carmencita Palermo.13 Sementara, Henk Schulte Nordholt mencari sebab-sebab munculnya Ajeg Bali pada pelaksanaan otonomi daerah, yang bersumber dari Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999. 14

Undang-undang tersebut Nordholt mengakibatkan terjadinya perpecahan administratif dan kebingungan politik. Oleh karena itu para intelektual Bali dari berbagai kelompok pada dasarnya tidak setuju dengan pemberian otonomi di tingkat kabupaten, yang mereka inginkan adalah otonomi di tingkat propinsi. Lebih lanjut, Nordholt mencari

10

Thomas Reuter, Global trends in religion and reaffirmation of Hindu identity in Bali, (Monash University Press, 2008), p. 7.

11 Lihat antara lain, Helen Creese, “Reading the Bali Post: Women and Representation in Post-

Suharto, intersection: Gender, History and Cultural in teh Asian Context, Issue 10, Augustus 2004, p. 2. 12

Gramae MacRae, “Ethnography, Etnonology and the Ethnography of Ethologies,” p. 10 http://sites.otago.az/nz/index.php/Sites/article/viev/19/60, p. 1-7 (download, 15 Desember 2008).

13 Pamela Allen and Carmencita Palermo, “Ajeg Bali: Multiple Meaning, Diverse Agendas,”

Indonesia and The Malay World, Volume 33, number 97/November 2005. p. 1. Studi mengenai hubungan antara Bali dengan kelompok teroris Islam, yang disebut sebagai kelompok Muslim radikal kontemporer yang muncul setelah kejatuhan Suharto dibahas oleh Azyumardi Azra, “Bali and Southeast Asia: Debungking de Myths,” dalam After Bali: The Threat of Terorism in Southeast Asia, Kumar Ramakrisne and See Seng Tan (Singapore: World Scientific/Institue of Defence ans Stategic Studies, 2003), p. 50.

14 Henk Schulte Nordholt, “Prolog, Bali: Sebuah Benteng Terbuka,” dalam I Ngurah Suryawan, Bali

Narasi Dalam Kuasa Politik dan Kekerasan di Bali (Yogyakarta: Ombak, 2005), p. xxviii.

8

penyebab munculnya Ajeg Bali pada penyelenggaraan simposium warisan budaya yang disponsori oleh Bank Dunia dan UNESCO pada bulan Juli 2000.15

Simposium ini dihadiri oleh para intelektual organik dari berbagai kelompok dan melibatkan para cendikiawan, di antaranya para antropolog, di bawah pimpinan I Wayan Geriya dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, dibantu antara lain oleh Pande Made Saputra, yang bahkan menjadi motor penggeraknya.16 Nordholt mengatakan simposium itu melahirkan semangat revitalisasi budaya Bali. Hal itu sesuai dengan tema simposium, yakni “penyelamatan warisan budaya demi kesinambungan pembangunan ekonomi dan pariwisata, belajar dari penyelamatan warisan kebudayaan Bali dan pengalaman internasional.”17

Demikianlah, para peneliti asing tersebut di atas cenderung memilah agensi (manusia) dan struktur (demikian pula subjek dan dunia luar) sebagai dua substansi berbeda, yang tidak saling memengaruhi, suatu hal yang coba dipadukan oleh Pierre Boudieu dalam Teori Struktural Generatif. Teori ini dapat dipakai sebagai kerangka analisis untuk merekonstruksi alur pemikiran Satria Naradha, pemilik Bali Pos Group yang merupakan pencentus, pengembang, dan penjaga Gerakan Ajeg Bali melalui jaringan media massa, baik baik cetak maupun elektronik di Bali dan beberapa daerah di Indonesia.

Dengan demikian, tercetusnya konsep Ajeg Bali yang kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan semestinya dilihat dari persaingan yang terjadi di ranah ekonomi, khususnya bisnis media massa. Seperti dibahasakan oleh Ngurah Suryawan, bahwa gerakan Ajeg Bali pada dasarnya hanya sebagai pemanis berita, karena dia lahir dan tumbuh dari sebuah industri raksasa media massa yang memerlukan ‘barang dagangan,’ idealisme, dan visi.18

Simpulan Ngurah Suryawan, bukan tanpa dasar, ada bukti-bukti historis yang bisa dipakai untuk menguatkannya, yakni gerak sejarah yang menyertainya. Diawali dengan adanya sosialiasi kelahiran Bali TV mulai Maret sampai Mei 2002. Ada harapan dari sejumlah pejabat di daerah supaya Bali TV harus mampu menjaga “keajekan” Bali.19 Setelah itu muncul visi dan misi, “mengembangkan dan mengajegkan adat dan budaya Bali serta pariwisata Bali.”20 Visi dan misi tersebut lalu diproklamirkan di Taman Budaya,

15

Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 ditetapkan tanggal 7 Mei 1999 dan Undang-undang Republik Indonesia No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditetapkan tanggal 19 Mei 1999.

16 Hasil diskusi dengan Pande Made Saputra, umur 47 tahun di Denpasar, tanggal 7 Juni 2006.

17 Pandangan Henk Schulte Nordholt dapat dilihat dalam tulisannya yang berjudul “Prolog, Bali:

Sebuah Benteng Terbuka,” dalam I Ngurah Suryawan, Bali Narasi Dalam Kuasa Politik dan Kekerasan...op.cit., p. xxviii. Sementara tema simposium itu dapat dilihat dalam Anak Agung Gde Putra Agung, “Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Daerah Demi Keutuhan Budaya Bangsa,” dalam Kompetensi Budaya dalam Globalisasi, Nyoman Darma Putra dan Windu Sancaya, ed. (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 2005), p. 53.

18 Lihat, I Ngurah Suryawan, Kesaksian Air Mata: Kisah-kisah Memecah Senyap (Denpasar: Pustaka

Larasan, 2007), p. 283. 19

Bali Post, 22 Maret 2002, p. 1 dan 19; Bali Post, 5 April 2002, p. 1. 20

Bandingkan dengan pengakuan Anak Bagus Gede Satria Naradha kepada Henk Schulte Nordholt bahwa dirinya sudah mendapat inspirasi mengajegkan Bali sejak tahun 1980-an ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Ide untuk mewujudkan semangat mengajegkan Bali sudah pula ditemukannya pada tahun 1990-an, namun belum diberikan nama Ajeg Bali. Lihat, Henk Schulte Nordholt (2007), op. cit., hlm 55.

9

Denpasar pada 27 Mei 2002,21 disambut gembira dan penuh harap oleh Gubernur Bali.22

Selain stasiun TV, Satria Naradha memiliki media di berbagai segmen dan jenis.23 Dengan menguasai media massa, maka memudahkannya membentuk opini publik, sehingga semangat mengajegkan Bali pun menjadi cepat populer, namun belum dikenal sebagai Ajeg Bali.24 Akan suatu acara yang kemudian semakin mempolerkan Ajeg Bali adalah dharmawacana,25 terutama ketika dibawakan oleh Ida Pedanda Gede Made Gunung sejak 26 Juni 2002. 26

Di tangan Pedanda konsep Ajeg Bali mulai mengarah pada ide-ide nostalgik pada masa lampau, sehingga Nordholt sampai berani mengatakan, Pedanda Gunung adalah sosok yang sejatinya sangat mendukung pelestarian kasta brahmana. Jadi, sangat konservatif.27 Biarpun secara tidak langsung keberadaannya mewakili kepentingan kelompok konservatif, namun acara dharmawacana yang dibawakan oleh Pedanda Gunung menarik pemirsa lintas soroh atau golongan.28 Acara itu kemudian dikemas dalam bentuk VCD, dijual di pasaran, sehingga Ajeg Bali pun semakin terkenal, mampu membentuk struktur subjektif sebagaian besar orang Bali.

Dengan demikian, pertengahan tahun 2002 sudah muncul prase “menjaga ke-ajeg-an Bali.” Akan tetapi prase itu hanya dipandang sebagai sebuah raos puyung, wacaka belaka. Belum ada warga masyarakat yang mewujudnyatakan dalam gerakan sosial untuk menjaga keajegan Bali. 29 Barulah setelah ledakan ada peledakan bom di Legian Oktober 2002 sudah konsep Ajeg Bali berubah menjadi sebuah gerakan. Razia penduduk mulai diaktifkan kembali.30 Dukungan muncul dari berbagai pihak, salah satunya adalah ‘Hindu Dharma Net,’ 31 yang disertai permintaan supaya sekaligus

21

Dengan demikian, visi dan misi Bali TV, lahir hanya sebulan setelah munculnya panitia Pembentukan Lembaga Warisan Budaya Bali. Jadi, memang ada korelasi antara simposium warisan budaya yang disponsori oleh Bank Dunia dan UNESCO pada bulan Juli 2000 dengan berubahnya semangat mengajegkan Bali menjadi konsep Ajeg Bali.

22 “Bali TV Resmi Mengudara, Dewa Beratha: Harus Tetap Jaga Bali,” Bali Post, 27 Mei 2002, p. 1.

23 Sebagai media terbesar di Bali, KMB nyaris menguasai semua segmen media. Pada lingkup

media elektronik, mereka memiliki Bali TV dan lima stasiun pemancar radio, yakni Suara Widya Besakih di Karangasem, Negara FM di Jembrana, Global FM di Tabanan, Radio Genta di Denpasar, Singaraja FM di Buleleng. Melalui media elektronik itu, tidak ada lagi ruang yang tidak terjangkau daya siar media penyiaran KMB. Sementara, pada lingkup media cetak, mereka memiliki tabloid anak-anak, tabloid remaja, tabloid wanita dan keluarga, harian bisnis dan ekonomi, harian kriminal dan keamanan, harian umum, dan media pariwisata. Dengan demikian, praktis tidak ada lagi segmen media cetak yang tidak digarap oleh KMB. Lihat, “Dampak Konsentrasi Kepemilikan Media di Bali,” www.rumahtulisan.com. August 12, 2007...3:41 pm, download melalui http://www.google.co.id/ 23 April 2009.

24 Hasil diskusi tanggal 20 Mei 2007 di Denpasar dengan I Nyoman Sutiawan, umur 42 tahun,

wartawan senior Bali Post. 25

Dharmawacana adalah ceramah mengenai pelajaran dharma (aturan hidup dan tingkah laku, ditetapkan oleh aturan dewa dan diturunkan dalam aturan agama).

26 Lihat “Program Acara Bali TV Matahari dari Bali,” Bali Post, 12 Juni 2002, p. 2; dan 26 Juni 2002,

p. 2. 27

Henk Schulte Nordholt (2007)., op. cit., p. 58. 28

Lihat antara lain, “Pedanda Gunung Jemput Bola,” Bali Blogger Community, January, 8, 2003 (download, 21 Maret 2009).

29 Putu Setia, “Jaga Bali,” Bali Post, 31 Agustus 2002, p. 11.

30 Persoalan itu dibicarakan lebih jauh di bawah ini, manakala razia terhadap krama tamiu

menyatu dengan gerakan Ajeg Bali. 31

Pimpinan tertinggi Hindu Dharma Net adalah IGBN Makertihartha (ITB) Putu Setia (TEMPO, Raditya), Ngakan Putu Putra (Indosat) Made Gede Mahardika (Astra), Ngurah Agung (Telkom), Gede Ngurah Ambara (KPC) Tjokorda Walmiki Samadhi (ITB). Hindu Dharma Net, download melalui http://www.google.co.id/ 22 April 2009.

10

menertibkan mengatur para pendatang mulai dari pintu masuk Bali sampai di tempat tinggal mereka masing-masing.32

Demi menjaga ke-ajeg-an Bali secara diselenggarakan berbagai upacara keagamaan.33 Salah satunya adalah yakni Tawur Agung Pamarisudha Karipurbhaya, yang di lokasi pengeboman dari 4 sampai 15 November 2002.34 Setelah itu banyak sekali muncul kegiatan ritual, bahkan bergaung hingga ke Setinggil, Trowulan, Jawa Timur pada Desember 2002. Pada 1 April 2003 berlangsung pula ritual butayadnya di areal Pura Besakih dan caru ngulah bhuta kala di pekarangan rumah tangga segenap manusia Bali Hindu.35

Sementara itu, dalam ritual bisnisnya berupa peresmian gedung pers di awal Januari 2003, Satria Naradha mengundang pejabat-pejabat penting di Bali untuk memperoleh legitimasi atas kampanye kelompoknya menjaga ke-ajeg-an Bali.36 Dibutuhkan pula kehadiran Ida Pedanda Gunung untuk memberikan nuansa spiritual-historis atas pentingnya menjaga ke-ajeg-an Bali.37 Setelah itu, konsep Ajeg Bali pun semakin kerap terdengar, baik di radio, televisi, dan surat kabar milik Satria Naradha. Sekalipun maknanya masih simpang siur, namun mulai ada sedikit ketegasan, tujuan Ajeg Bali adalah menjaga keutuhan budaya Bali. 38

Pada bulan Mei 2003, konsep Ajeg Bali akhirnya terungkap secara langsung di harian Bali Post pada oleh Dira Arsana, wartawan surat kabar itu, yang antara lain menyebutkan, menuju Ajeg Bali mungkin sudah menjadi komitmen banyak pihak.39 Wacana tersebut semakin matang dengan penandatanganan Prasasti Ajeg Bali di Art Centre pada ulang tahun pertama Bali TV 26 Mei 2003. Prasasti itu berbunyi: “Dengan Semangat Persatuan dan Kesatuan Mari Kita Ajegkan Bali,” yang ditulis dalam aksara Latin dan aksara Bali.40 Nordholt berpendapat pengadaan prasasti ini menunjukkan bahwa Satria Naradha ingin melanjutkan kembali politik kebudayaan Orde Baru, sedangkan pasangan peneliti MacRae dan Darma Putra menganalogikan Satria Naradha dengan raja-raja di zaman dulu dan KMB dengan kerajaan-kerajaan kuno.41

Gencarnya kampanye melalui media milik KMB, menjadikan Ajeg Bali sangat dikenal di masyarakat. Ajeg Bali menjadi semacam mantra sakti, sesuatu yang begitu mulia dan harus diwujudnyatakan. Di media massa lokal milik KMB, sama sekali tidak muncul perdebatan tentang konsep Ajeg Bali. Pembahasannya hanya muncul di koran nasional seperti Kompas dan Media Indonesia. Sementara, media lokal lain, di luar KMB tampak malu-malu melawan Ajeg Bali. Oleh karena itu, Ajeg Bali menjadi kata sakti,

32

“Mendukung Penertiban Penduduk di Bali,” Bali Post, 22 Oktober 2002, Surat Pembaca, p. 7. 33

I Nyoman Darma Putra (2008), op. cit., p. 173. 34

Pada hari Galungan umat Hindu ala Bali menghaturkan upacara pejati di pura atau kuil masing-masing. Lihat “Upacara Pamarisudha Karipurbhaya di Lokasi Pengeboman Libatkan Umat Hindu Seluruh Bali,” Bali Post, 4 November 2002, p. 1.

35 I Made Prabaswara, “Pesona Keragaman 'Bali Mini' di Taman Ayun,” Bali Post, tanggal 2 Maret

2002. 36

Lihat Henk Schulte Nordholt (2005), op. cit., p. xxxiv. 37

Bali Post, 6 Januari 2003, Ibid. 38

Hasil diskusi dengan I Nyoman Sutiawan, umur 44 tahun, wartawan senior Bali Post, tanggal 5 Mei 2007, dipertegas lagi dalam diskusi melalui telefon tanggal 22 April 2009.

39 “Menuju Ajeg Bali Lewat Filter Bolong,” Bali Post, 12 Mei 2003, p. 9.

40 I Nyoman Darma Putra (2008), op. cit., p. 17.

41 Lihat Henk Schulte Nordholt, (2007), loc. cit.; dan Graeme MacRae dan I Nyoman Darma Putra,

op. cit., p. 176.

11

sesuatu yang seolah-olah tanpa tanding, seperti halnya pariwisata yang tidak bisa diganggu gugat.42

Keberhasilan KMB mempopulerkan konsep Ajeg Bali, tidak terlepas dari kebijakan pemberitaan saling silang yang diterapkan oleh Satria Naradha. Dengan kebijakan saling silang itu, mereka dapat menggambarkan dan atau menyuarakan berita cetak serta mencetak berita suara maupun berita suara-gambar. Melalui konvergensi pemberitaan itu, radio di daerah bisa mengambil berita koran. Khusus untuk peristiwa besar, radio bahkan bisa langsung meminta berita dari wartawan Bali Post atau Denpost atau antar radio lintas propinsi milik KMB.43

Biarpun Ajeg Bali sudah semakin terkenal, namun para intelektual organik masih mengedepankan pandangannya masing-masing, sehingga muncul sebutan Sang Pahlawan Ajeg Bali kepada Anak Agung Oka Ratmadi atas kesediaannya mundur dari pencalonan sebagai Gubernur Bali untuk memberikan kesempatan kepada Dewa Made Beratha yang diusulkan oleh DPP PDIP menduduki jabatan itu untuk kedua kalinya. 44

Lebih lanjut, makna Ajeg Bali menjadi semakin jelas sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap efek negatif migrasi dan globalisasi. Pemaknaan ke arah itu pertama kali terlihat dari pendapat redaksi Bali Post yang dipublikasikan pada 2 Agustus 2003. Disebutkan tujuan Ajeg Bali adalah melakukan pembaruan secara terus-menerus untuk menjaga identitas, ruang, dan proses budaya Bali; meningkatkan kekuatan manusia-manusia Bali agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global yang sarat konsumerisme, komersialisme, dan komoditifikasi.45 Pada 13 Agustus 2003 disebutkan tujuan Ajeg Bali adalah untuk menegakkan dan membina Bali agar bisa bertahan di tengah-tengah era global.46

Pada 16 Agustus 2003 muncul difinisi resmi dari bahwa Ajeg Bali harus dimaknai dalam tiga tataran, yakni individu, lingkungan kultural, dan proses kultural. Pada tiga tataran itu disebutkan, tujuan Ajeg Bali adalah untuk membentuk manusia Bali yang punya kepercayaan diri secara kultural, kreatif, dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata. Terciptanya sebuah ruang hidup budaya Bali yang inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Sebagai wadah interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan produk-produk budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai kultural dan kearifan lokal serta memiliki kesadaran ruang (spatial) serta waktu yang mendalam.47

Lebih dari itu, ada sembilan langkah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi Bali. Empat di antaranya yang terkait langsung dengan menjaga kesinambungan nasa lampau adalah pemberlakuan otonomi khusus di daerah tingkat propinsi; pembaruan atas berbagai kontrak sosial dan kultural untuk mencapai jalan tengah baru, yang mampu meminimalkan berbagai konflik antara manusia dan antarlembaga tradisional; penguatan atas berbagai institusi tradisional seperti banjar, desa adat, dan pura, baik dengan memberinya peran yang baru maupun dengan

42 Lihat, “Dampak Konsentrasi.........” www.rumahtulisan.com, August 12, 2007. 3:41 pm,

download melalui http://www.google.co.id/ 23 April 2009. 43

Sebagai contoh, saat terjadi ledakan bom Bali, radio Global FM di Bali juga melaporkan berita untuk radio KMB di Yogyakarta. Sebaliknya, saat terjadinya gempa bumi Yogyakarta, radio Global FM, Bali meminta laporan dari wartawan radio di Yogyakarta. Penyuaraan berita cetak itu misalnya terjadi pada program berita di radio Genta FM yang mengambil berita di surat kabar Denpost. Demikian pula radio SWIB setiap hari membaca headline Bali Post Ibid.

44 “Sang Pahlawan Ajeg Bali,” Bali Post, Selasa Umanis 29 Juli 2003, p. 1.

45 “Ajeg Bali bukan Bali yang Stagnan,” Bali Post, 2 Agustus 2003, p. 2.

46 I Ketut Gobyah, “Nilai Agama Perlu Diaplikasikan”, Bali Post, 13 Agustus 2003.

47 “Konsep Ajeg Bali Dimaknai dalam Tiga Tataran,” Bali Post, 16 Agustus 2003, p. 13.

12

memperluas peran yang sudah ada; dan pencanggihan dan pencerdasan atas institusi-institusi tradisional dan berbagai warisan budaya manusia Bali, sehingga mampu menghadapi godaan banal atau keganasan modernitas. 48 Ajeg Bali pun berubah menjadi gerakan terstruktur. Diawali dengan munculnya Rubrik Ajeg Bali di Harian Bali post mulai 10 September 2003 setiap hari Rabu. Pada edisi pertama ada protes tentang kasus seorang artis di Surabaya yang bertato Ongkara, simbol Hyang Widhi, Tuhan.49 Pada edisi-edisi berikutnya tidak tersajikan langkah-langkah strategis yang seharusnya dipakai untuk menjaga keajegan Bali. Mereka hanya menjawab suatu permasalahan secara normatif berdasarkan kearifan lokal, terutama nilai-nilai ajaran agama Hindu.

Pada 14 September 2003 Gerakan Ajeg Bali mengikuti wacana promosi politik dengan memberikan kesempatan kepada calon Presiden RI dalam Pemilu 2004 untuk melakukan promosi politik dengan cara menandatangani Prasasti Ajeg Bali.50 Pada 6 September 2004, menjaga keamanan Bali seiring dengan berita arus mudik setelah hari raya Idul Fitri.51 Berita tentang keamanan Bali yang dikait-kaitan dengan Ajeg Bali terus bergulir sampai tanggal 2 Maret 2006.52

Gerakan Ajeg Bali juga masuk ke ranah pendidkan melalui sebuah berita tentang gagasan penerapan format Masa Orientasi Sekolah (MOS) bagi siswa baru yang dilontarkan oleh Gusti Ngurah Yadnya, Kepala Dinas Dikbud Kota Denpasar.53 Pada 4 Mei 2004, masuk ke isu pendidikan, kependudukan, dan kebersihan lingkungan yang dilemparkan oleh sepuluh konsul negara asing berkunjung ke kantor KMB.54Tema kebersihan lingkungan akhirnya menghilang seiring dengan berlalunya waktu. Masalah kebersihan lingkungan kembali mencuat setelah adanya penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar dengan pimpinan KMB Satria Naradha.55

Pada akhir 2004, Gerakan Ajeg Bali akhirnya merambah ke bidang ekonomi melalui Koperasi Krama Bali (KKB). Pada 3 Mei 2005, Satria Naradha menyatakan KKB merupakan perwujudan idealisme Satria Naradha untuk memperkokoh perekonomian masyarakat Bali. 56 Pada 8 Mei 2005, Satria Naradha memasang iklan besar di harian Bali Post untuk mencari calon anggota KKB.57Sebagai pembenaran, Satria dia mengundang seorang ekonom nasional, Faisal Basri, yang lanngsung memuji KKB bukan sebagai

48 Ibid. 49

Artis itu bernama Wien Aditya Estaves. Ia menggunakan tato Ongkara di perutnya, dipublikasikan dalam sampul majalah Liberty. Lihat ”Hindari Pelecehan, Umat Harus Mengamankannya,” Bali Post Online, Bias Bali, 10 September 2003, download tanggal 21 April 2009.

50 Informasi ini diberikan melalui telefon oleh I Nyoman Sutiawan, umur 44 tahu, wartawan senior

Bali Post pada 24 April 2009. 51

“Penataan Gilimanuk Seleksi Pendatang Mengurangi Krodit Pulau Bali,” Bali Post, 6 September 2004, p. 8.

52 “Desa Pakraman Benteng Terdepan Ajegkan Bali,” Bali Post, Kemis, 2 Maret 2006, p. 4.

53 “Hindari Jadi Ajang Balas Dendam, Mos Pun Bisa Dibuat Bernuansa Ajeg Bali,” ILoveBlue.com,

Posted by Adi Blue on 2004-07-20, download, 24 April 2009. 54

“Ajegkan Bali, Perhatikan Kebersihan,” Bali Post, Rabu 5 Mei 2004, p. 1 55

Lihat “Jaga Lingkungam Perlu Partisipasi Bersama: Meneg Lingkungan Hidup Tanda Tangani MoU dengan KKB,” Bali Post, 3 April 2005, p. 1 dan 15.

56 “KKB, Aktualisasi Ajeg Bali,” Bali Post, 3 Mei 2005, p. 6. Bandingkan dengan pendapat salah

seorang juru bicara Ajeg Bali, yang mengatakan bahwa Satria Naradha mendirikan KKB bukan untuk melawan atau mengusir krama tamiu, melainkan untuk menyadarkan dan mendidik orang Bali supaya mau bekerja keras, tidak semata-mata bergantung pada industri pariwisata. Lihat, I Wayan Juniartha, (Bali Post,14 Agustus 2006), p.1

57 “Koperasi Ajeg Krama Bali untuk Ajeg Bali,” Bali Post, 8 Mei 2005, p. 16.

13

bentuk perlawanan, tetapi untuk menjadikan Bali lebih siap bernegosiasi dengan kekuatan ekonomi luar.58 Dalam upaya menjaring anggota KKB, Satia Naradha menangkap pengetahuan tersembunyi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tingkat kabupaten dan kota madya di Bali. Hampir semua pasangan peserta pilkada mendaftar sebagai anggota KKB dan beritanya dipublikasikan besar-besaran di Bali Post.59 Pada Agustus 2005, setelah pilkada berakhir, KKB mulai menjalankan aktivitasnya sebagai lembaga pemberdayaan ekonomi rakyat. Aktivitas pertama mereka adalah menyelenggarakan pelatihan manajemen, yang dipadukan dengan teknik pembuatan bakso, mie ayam, dan soto ayam.60 Jumlah pesertanya di Gianyar awal Januari 2006 mencapai 71 orang. Kegiatan ini kemudian berlanjut di Karangasem pada 8 Januari 2006 dan Klungkung 15 Januari 2006.61 Berbeda dengan pedagang krama tamiu yang umumnya menjual bakso daging sapi atau ayam, sejumlah pedagang bakso hasil binaan KKB memilih berjual bakso daging babi, disebut “Bakso Babi Ajeg Bali.” Pada warung-warung mereka terpasang spanduk merah putih bertuliskan “Binaan Koperasi Krama Bali.” 62

Para pedagang bakso binaan KKB memiliki tatacara menerima pembeli, yang berbeda dengan pedagang bakso pada umumnya. Mereka sarat dengan simbol-simbol budaya Bali seperti penggunaan salam “Om Swastiastu” kepada pembeli63 dan wajib memakai kamen tanpa selempot.64 Memakai kaos oblong hitam bertuliskan “Goyang Binaan Koperasi Krama Bali,” ada gambar pulau Bali berwarna putih dalam lingkaran biru yang dikelilingi delapan sinar kuning berujung emas, yang merupakan lambang KKB.65 Bagi yang berjualan keliling, pada gerobaknya ada tulisan “Bakso Krama Bali Sukla Prasadham”66 dan sebuah palangkiran, tempat meletakkan sajen canang dan dupa.67

Kehadiran Bakso Bali Ajeg Bali yang jelas-jelas dimaksudkan oleh KKB hanya untuk orang Bali Hindu, pada bulan Januari 2006 dilawan oleh Ida Bagus Arianto, seorang aktivis LSM asal Jembrana. Dia mempekerjakan orang Islam sebagai pedagang bakso keliling, yang gerobaknya hanya bertulisan Ajeg Bali, tanpa simbol-simbol budaya

58

Dr. Faisal Basri, Antisipatif yang Visioner, Bali Post, 16 Mei 2005, p. 1 dan 17. 59

Masalah itu dapat diterangkan melalui pandangan Foucault tentang wacana, seperti yang disebutkan dalam Storey (1993, 91), bahwa wacana adalah alat yang digunakan oleh institusi untuk mendapatkan kekuasaannya melalui proses definisi dan ekslusi. Artinya, wacana tertentu atau formasi diskursif menentukan apa yang mungkin dikatakan pada topik tertentu. Formasi diskursif terdiri dari seperangkat peraturan tidak tertulis yang berusaha mengatur apa yang dapat ditulis, dipikir dan dilakukan pada hal-hal tertentu. “Cara Pandang Pembongkaran Makna Teks Sastra, Freehearty.com, download tanggal 18 September 2009, melalui http://www.google.co.id/

60 “KKB Gelar Pelatihan Buat Bakso,” Bali Post, 15 Agustus 2005, p. 14.

61 “Koperasi Krama Bali dan Bisnis Bali Bekerja Sama dengan Dinas Koperasi Klungkung,” Bali Post,

6 Januari 2006, p. 17. 62

“Identitas dalam Semangkuk Bakso *Part 5+,” Playboy Uncencored Version *Part 5], www.rumahtulisan.com (download, 21 Maret 2009).

63 Salam ini biasanya digunakan umat Hindu Bali di awal pertemuan sebagai doa meminta

keselamatan, yang maknanya kurang lebih sama dengan Assalamu’alaikum dalam agama Islam. 64

Kamen adalah sarung, sedangkan selempot adalah selendang. Apabila keduanya dipakai dalam satu kesatuan, biasanya disebut pakaian adat ringan, yang umumnya dipakai untuk kegiatan adat dan agama atau pertemuan di balai banjar. Apabila kamen tanpa slempot, biasanya digunakan dalam kegiatan sehari-hari.

65 “Identitas dalam Semangkuk Bakso..........,” Playboy Uncencored Version [Part 5],

www.rumahtulisan.com (download, 21 Maret 2009). 66

Sukla Prasadham merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan semua hal seperti makanan yang belum dinikmati, dan sesajen yang belum dipersembahkan.

67 “Identitas dalam Semangkuk Bakso........+,” Playboy Uncencored Version *Part 5],

www.rumahtulisan.com (download, 21 Maret 2009).

14

Hindu dan sebuah palangkiran.68 Salah seorang pekerja adalah pedagang asal Banyuwangi yang menjadi korba isu formalin dan bakso daging tikus. Sejak isu tersebut beredar maka barang dagangannya tidak laku dijual, sehingga banting setir jadi penjual bakso Ajeg Bali. 69

Pada akhir tahun 2006, setelah isu bakso formalin dan daging tikus menghilang dalam berita nasional, jumlah pedagang produk kuliner binaan KKB semakin menyusut, padahal iklannya masih ditayangkan di Bali TV dengan menggunakan para pelawak Bali sebagai pemerannya.70 Bakso Ajeg Bali pun mulai ditinggalkan. Pembeli kembali datang ke pedagang-pedagang semula, karena harganya relatif lebih murah dan mampu menyajikan rasa bakso, soto ayam, sate ayam, dan mie ayam yang sebenarnya.71 Sampai akhirnya memasuki tahun 2007, tidak ada lagi lapak para pedagang produk kuliner hasil binaan KKB. Akan tetapi itu bukan berarti sudah tidak ada lagi orang Bali yang menjual bakso maupun mie ayam. Jauh sebelum kehadiran pedagang binaan KKB, sebenarnya sudah banyak orang Bali yang menjual bakso dan mie ayam, namun tidak memakai simbol-simbol kebalian, melainkan simbol kota metropolitan, di antaranya ada yang menyebut diri dengan nama “Mie Ayam Jakarta.”72

Demikianlah, sejumlah bukti peristiwa sejarah, sehingga bisa dikatakan, Ngurah Suryawan lebih mampu mencari sebab-sebab terdekat dari dari kemunculan Gerakan Ajeg Bali, yakni mencari dan mengolah berita sebagai ‘barang dagangan.’ Ujung-ujungnya adalah demi kepentingan industri media massa. Jadi kapitalisme mengalir begitu deras dalam pembuluh darah kapiler pada Gerakan Ajeg Bali.

Panca Walikrama dan Ekadasa Rudra

Pada tahun 1960 pemerintah daerah Bali menyelenggarakan upacara Manca Wali Krama dan tahun 1963 disusul dengan Eka Dasa Rudra, upacara yang berlangsung 100 tahun sekali. Pelaksanaan upacara dimulai pada 8 Maret 196373 dan berlanjut terus hingga puncaknya. Pada 17 Maret 1963. Pada 21 Maret 1963,74 bertepatan dengan hari Umanis Galungan, tanah di sekitar Pura Besakih bergetar keras sekali, namun upacara

68

“Identitas dalam Semangkuk Bakso....” Playboy Uncencored Version [Part7], June 29, 2006, www.rumatulisan.com, download, 24 April 2009.

69 Suyitno mengatakan, alasannya mau berjualan bakso babi, karena “hanya jualan, bukan makan

dagingnya. Juga jualnya ke orang Hindu, bukan orang Islam. Aku kan juga ora mangan (tidak makan).” Hasil berjualan bakso babi, menurut Suyitno, lebih besar dari bakso sapi. Pada saat berjualan bakso sapi, dia memperoleh untung maksimal Rp 50.000,00,- per hari. Akan tetapi setelah berjual bakso babi, minimal Rp 100.000,00,- per hari. Hasil itu dipakai untuk mengembalikan modal usaha dan bagi hasil Rp 15.000,00,- pada Ida Bagus Arianto. Lihat, “Identitas dalam Semangkuk Bakso.......,” Playboy Uncencored Version [Part7], June 29, 2006, www.rumatulisan.com, download, 24 April 2009

70 Lihat Gambar Nomor 17 Iklan Binaan Krama Bali di Bali TV.

71 Bandingkan dengan pendapat Puji, seorang pedagang bakso dari Jawa, “orang beli bakso…pasti

karena enak atau tidaknya bakso dan pelayanan. Bukan karena asal usul penjualnya.” Lihat, “Identitas dalam Semangkuk Bakso.......,” Playboy Uncencored Version [Part 7]], June 29, 2006,www.rumatulisan.com, download, 24 April 2009.

72 Pedagang Bakso dan Mie Ayam Jakarta milik orang Bali antara lain dapat dilihat di Jalan Nangka

Selatan dan WR. Supratman, Denpasar yang bertahan berjualan sampai sekarang. 73 David. J. Stuart Fox, Pura Besakih: Temple, Religion and Society in Bali (Leiden: KITLV Press,

2002), p. 313. 74 Penentuan tanggal tersebut didasarkan pada dokumen “Daftar Nama-nama Korban Bencana

Gunung Agung dari Kampung Subagan Karangasem,” lihat Nyoman Wijaya, “Cahaya Kubah di Ujung Timur

Kahyangan: Studi Perkembangan Islam di Kabupaten Karangasem 1950-1980,” Skripsi S1, belum

dipublikasikan (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1986), Tabel 1.

15

tetap berlanjut. Pada malam hari, terjadi gempa bumi yang sangat keras. Setelah itu RRI mengumumkan bahwa Gunung Agung telah meletus.75

Pelaksanaan upacara tersebut mendapat perhatian yang cukup besar dari para peneliti asing. Adrian Vickers mengatakan inistiatif penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra datang dari Raja Klungkung, Dewa Agung.76 Anthony Forge berpendapat bahwa upacara itu diselenggarakan karena sudah begitu lama, lebih dari seratus tahun tidak dilaksanakan lagi dan karena situasi yang sangat buruk selama beberapa waktu sebelumnya, sehingga diperlukan suatu upacara penyucian.77David J. Stuart Fox menyebutkan beberapa faktor dibalik pelaksanaan upacara itu yakni untuk merayakan status Bali sebagai satu provinsi setelah dipisahkan dari bagian wilayah Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958 dan status agama Hindu sebagai agama yang diakui oleh pemerintah, dan untuk menegaskan bahwa Pura Besakih sebagai kuil yang sangat penting di Indonesia.78 Sementara, J. Stephen Lansing menghubungkannya dengan sejumlah petaka yang terjadi sebelum tahun itu, yakni kekacauan politik dan ekonomi yang terjadi saat itu. Semua orang merasakan sepanjang abad XX terjadi bencana berdarah yang menghancurkan keadilan, seperti pendudukan Belanda dan Jepang, perjuangan kemerdekaan, meluasnya korupsi dan kehancuran ekonomi sesudah kemerdekaan.79

Pendapat tersebut lebih merupakan suatu penafsiran lintas generasi daripada sebuah hasil proses penelitian sejarah yang sebenarnya. Stuart Fox misalnya, memeroleh informasi itu saat meneliti pura Pura Besakih selama sepuluh tahun (1977-1997), dan J. Stephen Lansing selama delapan tahun (1971-1979) untuk bukunya The Three Worlds of Bali. Mereka tidak tidak menggunakan dokumen sejarah, sehingga banyak fakta yang terabaikan.

Fakta Sejarah yang terabaikan. Fakta yang terabaikan itu terungkap dengan

jelas dalam biografi Bhikhu Thitakuteko Thera, bahwa sebab utama dari pelaksanaan upacara tersebut adalah keinginan untuk menyucikan kembali Pura Besakih setelah terungkapnya penanaman di areal pura tersebut. Tumbal itu dipasang oleh para pengikut Eyang Gusti Aji, seorang pemimpin aliran kebatinan di Yogyakarta. Tujuannya untuk menghidupkan kembali kejayaan agama Hindu di Indonesia yang tersimpan di Bali.

Salah seorang pengikutnya bernama I Ketut Tangkas, berasal dari Mengwi, Badung, Bali. Dia ditugasi mencari bahan-bahan tumbal untuk ditanam di Bali. Sekalipun cukup berat karena sampai terpaksa harus mencuri keris pusaka milik keluarganya, dia dapat melaksanakan tugas itu dengan baik. Urusan penanaman tumbal diserahkan kepada Kapten Margono, seorang guru teosofi yang pernah tinggal di Yogyakarta dan sedang bertugas di Bali. Tumbal tersebut diserahkan lagi kepada Putu Serangan (Pejabat Sementara Kepala Dinas Agama Tingkat I Bali) dan Ida Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (mantan stedehouder Karangasem).

75 Lihat lebih jauh Nyoman Wijaya, Menerobos Badai, op. cit., pp. 256-264. 76 Lihat, Adrian Vickers, Bali A Paradise Created (Australia: Penguin Books, 1989), hlm. 167. 77 Anthony Forge, “Balinese Religion and Indonesian Identity,” dalam Indonesia: Australian

Perspectives, J.J. Fox, R.G. Garnaut, P.T. McCawley, J.AC. Mackie, ed. (Canberra: Researcah School of

Pacific Studies The Australian National University), p. 227. 78 David J. Stuart-Fox, David. J. Stuart Fox, “Pura Besakih A Study of Balinese Religion and

Society,” unpublished, A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National

University, May, 1978, pp. 36-37. 79 J. Sephen Lansing, The Three Worlds of Bali (New York: Praeger Publisher, 1983), p. 116.

16

Putu Serangan lalu membawanya ke Karangasem 17 Oktober 1958.80 Bersama dengan Ida Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem, Anak Agung Agung Gde Jelantik (Ketua Dewan Pemerintahan Karangasem), dan Ida Pedanda Gde Wayan Pidada, dia menanam tumbal itu disaksikan oleh pamangku (pemimpin upacara) Pura Besakih, tanpa melapor kepada Pejabat Sementara Kepala Daerah Bali.81 Laporan itu tidak dianggap perlu, karena tumbal itu tidak untuk disembah atau tujuan-tujuan kejahatan, melainkan mengembangkan kembali Agama Hindu Bali di Jawa dan membangun sebuah pura di Malang.82 Keberadaan tumbal tersebut akhirnya diketahui oleh I Gusti Ananda Kusuma, seorang anggota DPRD Tingkat I Bali. Ia heran melihat ada sebuah bangunan aneh persis di belakang palinggih padmatiga (altar pemujaan dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa). Pada 15 Juli 1959 ia pun mengirim surat kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I Bali untuk diteruskan kepada Kepala Daerah Tingkat I Bali untuk menanyakan persoalan tersebut.83

Surat tersebut ditanggapi dengan cepat oleh Pemerintah Daerah Bali. Mereka lalu membongkar bangunan itu pada 1 November 1959 disertai dengan upacara sederhana. Ditemukan sebuah bungkusan berisikan rambut dan menyan. Benda-benda itu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya Eyang Gusti Aji di Malang.84 Acara pembongkaran itu diberitakan oleh harian Suara Indonesia pada 3 Nopember 1959 dan 9 Nopember 1959, bahwa penanaman tumbal itu terjadi atas pengetahuan Putu Serangan.

Peristiwa itu mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap perjalanan sejarah kebudayaan Bali. Bermula dari surat yang dikirim oleh Kepala Kantor Agama Daerah Tingkat II Klungkung, Pedanda Gede Oka Gunung kepada Pejabat Sementara Kepala Dinas Agama Daerah Tingkat I Bali di Denpasar tanggal 18 Nopember 1959. 85 Selain memohon penjelasan mengapa penanaman tumbal itu sampai terjadi, dalam surat itu dia juga menerangkan sejarah Pura Besakih. Lalu memaparkan isi lontar Widdhi Sastra Regasanggara, dan mengambil simpulan, bahwa penanaman tumbal tersebut telah menyebabkan Pura Besakih mengalami kadurmanggalan (cemar). Kondisi ini tidak boleh dibiarkan melainkan harus dibersihkan untuk memulihkan kesuciannya dengan cara melaksanakan upacara keagamaan tingkat madia (menengah) atau utama.

80 “Surat Turunan, Denpasar, 19 Oktober 1959.- No: 1990/1959, Lamp: Acara: Penanaman Tumbal

di Pura Besakih.” 81 “Surat Pemberitaan Daerah Tk. I Bali, Denpasar, 9 November 1959.- No : B. 6/5/b3.-, Lamp: I.-

Acara: Penanaman tumbal di Pura Besakih.” 82 Lihat kembali “Surat Turunan, Denpasar tanggal 19 Oktober 1959.”. 83 “Surat I Gusti Ananda Kusuma, D.HLM.R.D Daerah Tingkat I Bali, Jl. Kamboja D 58, Denpasar.

Denpasar, 15 Juli 1959 Kepada Yth. Sdr. Ketua DPRDHLM. Daerah Tingkat I Bali di Bali. Perihal: Ada

Bangunan Baru di Belakang Padmasana Pura Penataran Agung Besakih.” 84 “Surat No : 712/1.- Denpasar 20 November 1959 Turunan dikirim kepada anggota D.HLM.R.D.-

Swatantra Tk. I Bali Yth. Saudara Ananda Kusuma di Denpasar, sebagai Jawaban atas surat: tanggal 15 Juli

1959 tidak bernomer Ketua D.HLM.R.D. Swatantra Tk. I Bali Bertanda: Mantja Tk. I,t.d.t I Gst. Ngurah Gde

Pugeg.” 85Tembusannya dikirimkan kepada Pejabat Sementara Kepala Daerah/Ketua Dewan Pemerintah

Daerah Tingkat I Bali di Denpasar; Ketua Parisada Dharma Hindu Bali di Denpasar; Pedanda Tentara

CPRAD di Denpasar; Pejabat Sementara Kepala Daerah/Ketua Dewan Pemerintah Daerah Tingkat II

Klungkung; Pejabat Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Klungkung di Klungkung;

Dewan Pimpinan Partai Nasional Agama Hindu Bali (Ida Idewa Agung Gede Oka Geg, mantan Radja

Klungkung); Dewan Majelis Hinduisme Klungkung; semua Kepala Kantor Agama Daerah Tingkat II Seluruh

Bali untuk dimaklumi dan seperlunya. Surat Kantor Agama Daerah Tingkat RI Klungkung, No: 357/1959.

Klungkung, 18 November 1959 Lamp: -.-, Acara: Penanaman dan Pembongkaran benda-benda di Pura

Besakih: “Kandur manggalan (sic)” (kecemeran).

17

Beberapa hari kemudian bergulir wacana mengenai pelaksanaan upacara Manca Wali Krama di Pura Besakih, dengan melibatkan semua umat Hindu Bali. Pemerintah Daerah Bali menyampaikan rencana itu dalam sebuah pengumuman dan dipublikasikan di harian Suara Indonesia pada 10 Desember l959, yang intinya pemberitahuan dan permintaan sumbangan. Sumbangan berupa uang atau barang dapat disampaikan kepada Ketua DPD Tingkat II di tempat masing-masing.86

Pengumuman itu ditanggapi melalui kolom surat pembaca Suara Indonesia oleh seseorang rakyat kecil dari Gianyar pada 12 Desember 1959. Ia mengatakan demi Pura Besakih, umat Hindu-Bali pasti akan berani mengorbankan segalanya. Asalkan jalannya sudah benar, bukan seperti yang sekarang ini. Lalu dia bertanya dengan alasan apa pemerintah Daerah Bali juari (tanpa perasaan malu) meminta sumbangan kepada rakyat untuk pelaksanaan upacara besar di Pura Besakih. Sebagai instansi yang dihormati, pemerintah semestinya wajib memberikan keterangan yang memuaskan kepada umat Hindu Bali prihal penanaman tumbal itu.87

Pemerintah daerah Bali bergeming. Upacara Manca Wali Krama akhirnya dapat dilaksanakan tahun 1960. Rangkaian upacaranya mengacu pada pelaksana upacara serupa tahun 1933, karena pelakunya banyak yang masih hidup sehingga ada orang yang bisa dijadikan penuntun. 88 Pada tahun 1963 dilanjutkan dengan menyelenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Berbeda dengan Manca Wali Krama, tidak ada satu pun orang yang bisa dimintai keterangan mengenai upacara Eka Dasa Rudra, sebab upacara ini sudah empat abad lamanya tidak pernah terlaksana di Bali. Oleh karena itu panitia mengadakan kerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Udayana untuk melakukan penelitian guna mencari pengertian yang sebenarnya mengenai makna upacara ini. Penelitian ini dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bagus sebagai koordinator lapangan, dengan menyertakan sejumlah mahasiswanya dari Jurusan Bali Kuno (Arkeologi) dan Bahasa Indonesia.89

Sumbangsih Pendekatan Biografis. Uraian di atas memperlihatkan, pendekatan

biografis bukan hanya sebagai jendela pembuka khasanah ilmu humaniora, tetapi dalam batas-batas tertentu juga memberi ruang bagi terimplementasinya sejumlah teori sosial dalam prilaku toko-tokoh yang terlibat dalam teori tersebut. Setidaknya ada dua buah teori sosial kritis yang diimplementasikan secara tidak sadar oleh para pelaku upacara tersebut. Dilihat dari kaca mata Pierre Bourdieu, agama bisa merupakan bagian dari modal sosial, sedangkan para pemimpinnya modal simbolik terkait dengan doxa yang

86 “Persoalan Tumbal di Pura Besakih, Suara Pembaca, Suara Indonesia, tanggal 12 Desember

1959.” 87 Penulis Surat Pembaca itu ternyata I Made Kembar Kerepun, seperti yang diceritakannya kepada

penulis pada tahun 2002. 88 Menurut David. J. Stuart Fox, upacara tahun 1933 bertujuan untuk mensucikan kembali Bali

setelah secara berturut-turut tertimpa bencana, yakni gempa bumi tahun 1917, wabah influenza dunia tahun

1918 yang menelan korban 23.000 orang, dan wabah tikus yang menggagalkan panen di Bali Selatan tahun

1919. Upacara itu dikombinasikan dengan ngenteg linggih yakni upacara untuk mengukuhkan kembali para

dewa setelah dilakukan pemugaran palinggih (bangunan suci) akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa

bumi tahun 1917. David. J. Stuart Fox (1978) Pura Besakih A Study of Balinese...”op. cit., pp. 378 dan 283.

Akan tetapi alasan-alasan tersebut tidak sesuai dengan kondisi nyata pada saat itu. Berdasarkan hasil studi

media cetak pada periode itu, terbukti pelaksanaan upacara tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kepada

pihak luar, sekalipun agama Kristen sudah mendapat pengikut di Bali, namun orang-orang Bali masih teguh

memertahankan agamanya melalui pelaksanaan Manca Wali Krama, yang merupakan upacara terbesar saat

litu. Lihat Nyoman Wijaya, Serat Salib dalam Lintas Bali: Sejarah Konversi Agama di Bali 1931-2001

(Denpasar: TSPbooks, 2007), pp. 58-69. 89 Pembicaraan tentang persoalan itu dikupas lebih jauh dalam Nyoman Wijaya, Menerobos Badai,

loc. cit.

18

menyebabkan terjadinya hubungan kekerasan simbolik. Sedangkan dari sudut pandang Michel Foucault agama adalah situs pengetahuan-kebenaran-kekuasaan.90

Lalu bagaimana membuktikan pernyataan tersebut dalam temuan ini? Terkait dengan Bourdieu, hal penting yang harus diketahui adalah memahami cara kerja Teori Struktural Generatif miliknya, yakni (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.91 Dalam teori ini, Bourdieu berusaha menyatukan tindakan, kekuasaan, dan perubahan dalam kerangka pemikiran strukturalis. 92 Sesuai namanya, maka teori ini hendaknya tidak dibaca secara Matematika, melainkan Biologi. Oleh karena itu tanda x bukan merupakan suatu perkalian, melainkan peleburan (perkawinan), sedangkan tanda = bukan berarti sama atau setara dengan, melainkan pembuahan.

Jadi, habitus harus dikawinkan dengan modal lalu ditambahkan dengan ranah, sehingga akan membuahkan sebuah praktik sosial. Artinya, untuk bisa melakukan praktik sosial di masyarakat, manusia tidak bisa hanya mengandalkan habitus saja, sebab diperlukan juga modal. Habitus dan modal yang bagus bisa saja menghasilkan praktik sosial, namun jika tidak berada dalam ranah yang tepat, maka tidak akan bisa melakukan praktik sosial yang baik. Modal sosial itu bisa dikonversi sesuai dengan ranah atau arena kehidupan yang dipilihnya. Praktik sosial dalam studi ini adalah pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih tahun 1963, sebuah kegiatan keagamaan, yang termasuk ke dalam modal sosial. Dia adalah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. 93 Setiap orang membutuhkan modal sosial, karena dia merupakan hubungan sosial yang bernilai antara individu.94 Akan tetapi hanya pimpinan agama yang mampu memanfaatkannya untuk mereproduksi kedudukan sosial, sebab dia memiliki modal simbolik. Modal simbolik tidak lepas dari kekuasan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan sesuatu setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. 95 Modal simbolik tersebut dimiliki oleh Pedanda Gede Oka Gunung, yang karena kehormatan dan prestisenya sebagai seseorang pendeta Siwa, maka dia mampu menggerakkan Pejabat Sementara Kepala Dinas Agama Daerah Tingkat I Bali untuk melakukan Upacara Ekadasa Rudra. Pada saat itulah, sesuai dengan teori Bourdieu, dia telah melakukan dominasi simbolis, seperti terlihat dari bagaimana dominasi-dominasi itu dipaksakan dan diderita oleh orang lain sebagai kepatuhan. Saking halusnya, maka efek dari kekuasaan simbolis itu, tak terasakan, bahkan tak dapat dilihat oleh korbannya.96

90 Terimakasih kepada Romo Haryatmoko dari Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan

kerangka berpikir seperti itu. 91 Richard Harker, et al., (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), p. 1-32. 92 Gui do Carmo de Silva, “Strukturalisme dan Analisis Semiotik atas kebudayaan,” Teori-teori

Kebudayaan, Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed. (Yogyakarta: Kanisius: 2005), p. 124. 93 Haryatmoko. “Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap

Kepalsuan Budaya Penguasa,” Basis, No 11-12, Tahun Ke-52. November-Desember 2003, p. 12. 94 George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan. Edisi Keenam.

Jakarta: Prenanda Media, 2003), pp. 525-526. 95 Haryatmoko, loc. cit. 96 Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2010), p. 13

19

Akan tetapi apabila dikaji dengan menggunakan teori Pengetahuan-Kekuasaan dari Michel Foucault yang sangat berlawanan dengan Pierre Boudieu,97 maka hasil akhirnya akan berbeda. Memang benar Pedanda Gede Oka Gunung, karena kehormatan dan prestise yang dimilikinya mampu menggerakkan Pejabat Sementara Kepala Dinas Agama Daerah Tingkat I Bali untuk melakukan Upacara Ekadasa Rudra, namun keputusan finalnya berada di tangan Kepala Daerah Tingkat I Bali. Dia tentu tidak terkena dominasi simbolis dari Pedanda Gede Oka Gunung, sebab seperti dikatakan oleh Michel Foucault, menurut penjelasan C. Behan McCullagh, bahwa praktik sosial manusia bukan digerakkan oleh nilai yang mereka anut, melainkan hanya berkompromi dengan wacana.98 Wacana yang menonjol saat itu adalah pariwisata seperti terungkap dari keputusan Presiden Soekarno untuk membangun Hotel Bali Beach tahun 1962 dan Lapangan Terbang Ngurah Rai tahun 1963 yang meliputi penelitian, pengeboran, dan pengurukan tanah.99 Hal yang serupa juga terulang dalam upacara Eka Dasa Rudra 1979, namun bukan di sini tempatnya untuk membicakan soal itu.

Logika berpikir seperti itu bisa dimengerti melalui penjelasan Yasraf Amir Piliang terhadap teori Pengetahuan-Kekuasaan Michel Foucault, bahwa pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Setiap wacana menyatu dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud Foucault bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.100

Foucault mencari kekuasaan di tempat-tempat yang tersulit, yakni dalam kinerja perasaan, cinta, kesadaran, naluri dan dalam kungkungan pedoman, pengamatan dokter serta perubahan berdampak luas dalam bidang ilmu seperti biologi dan linguistik. Kekuasaan tidak mencerminkan kelas (borjuis) atau elite penguasa maupun atribut-atributnya101 dan Kepala Daerah Tingkat I Bali juga mencari kekuasaan pada tempat yang tersulit yakni pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra. 102

Simpulan

Pada peristiwa Pancawalikrama dan Ekadasarudra, para peneliti asing tersebut sejatinya tak perlu terlalu jauh mencari sebab-sebab dari pelaksanaan Upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963.103 Semestinya dia mencari pada yang terdekat, yakni bagaimana para

97 Terimakasih kepada Mark Hobart yang telah membuka kesadaran penulis tentang sifat

berlawanan antara teori Pierre Bourdieu dengan Michel Foucault. 98Lihat, C. Behan McCullagh, The Logic of History (London, Routledge, 2004), p. 95. 99 Hal ini dapat dilihat dalam sebuah buku biografi Tjokorda Gde Raka Sukawati yang ditulis

dengan memakai metodologi biografi scientifi. Lihat Nyoman Wijaya, “Biografi Sosial Sang Penemu

Sostrobahu: Tjokorda Raka Sukawati.” (2009, tidak dipublikasikan) 100 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan

(Yogyakarta: Jalasutra, 2004), p. 223. 101 Michel Foucault, Power/Knowledge, Colin Gordon, ed., trans. Colin Gordon, Leo Marshall,

John Mepham, Kate Soper (Sussex: The Harvester Press, 1980), p. 114. 102 Michel Foucault, Power/Knowledge, Colin Gordon, ed., trans. Colin Gordon, Leo Marshall,

John Mepham, Kate Soper (Sussex: The Harvester Press, 1980), p. 114. 103 David j. Stuart-Fox sebenarnya sudah mendapat informasi bahwa penanaman tumbal

merupakan pengaruh langsung dari pelaksanaan upacara tersebut, namun tidak ditelusuri lebih jauh. Lihat

David j. Stuart-Fox (2002), op. cit., pp. 329-330. Itu karena untuk sementara waktu dia sengaja

mengesampingkan pertanyaan mengapa dan bagaimana upacara tersebut bisa berlangsung. Lihat p. 313.

20

pemimpin agama melakukan dominasi simbolis. Bagaimana pula para pejabat negara menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana penanaman tumbal, lalu mengolahnya menjadi kekuasaan untuk kepentingan masing-masing. I Gusti Ananda Kusuma menggunakannya untuk kepentingan politik sesuai posisinya sebagai anggota DPRD Tingkat I Bali. Pedanda Gede Oka Gunung untuk memantapkan dominasi simbolis sekaligus kepentingan politik karena dia adalah juga Kepala Kantor Agama Daerah Tingkat II Klungkung. Sedangkan Kepala Daerah Tingkat I Bali untuk kepentingan yang lebih luas, termasuk mendapat perhatian dari Presiden Soekarno. Para pejabat tinggi daerah dan orang kebanyakan, melakukannya demi kepentingan masing-masing sesuai dengan ranah mereka masing-masing. Simpulan ini tentu belum final, sebab masih ada kemungkinan lain, karena kedua teori sosial punya pengeritiknya masing-masing, sehingga ada kemungkinan untuk menganalisisnya dengan teori-teori sosial kritis lainnya.[]