Upload
ngoliem
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN BAMBU
Oleh :
Sri Rulliaty S., Nurwati Hadjib, Gustan Pari, Mohammad Muslich, Jasni, I.M.Sulastiningsih, Sri Komarayati, Abdurahman, Sihati
Suprapti dan Efrida Basri
Abstrak
Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64 jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih. Bambu asli Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi terdapat sebanyak 56 jenis. Dari jenis bambu yang ada di Indonesia sejumlah 13 jenis telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan di Jawa terutama yang termasuk marga Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus. Bambu mempunyai penggunaan yang luas untuk berbagai tujuan, antara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia akan pangan, bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen lainnya. Ditaksir 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis bambu yaitu Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori di Desa Cabak, Kecamatan Telogowungu, Kabupaten Pati dan bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro) dari Kampung Cilaku, Desa Sukakerta, kecamatan Sindangpalay, Kabupaten Cianjur. Sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan, sedangkan untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan, pemesinan dan perekatannya. Hasilnya menunjukkan sifat mekanis bambu temen lebih baik dari bambu duri.baik pada bagian ruas maupun bagian batang bambu yang memiliki buku. Bambu duri memiliki ketahanan lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah. Bambu temen memiliki kadar kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene, dan NaOH (1%) lebih besar dibandingkan bambu duri , demikian pula dengan kadar selulosa dan kadar pentosannya. Untuk kadar silika ternyata bambu duri memiliki kadar lebih besar, secara fisik hal ini nampak pada kulit batang bambu duri yang keras dan kasar. Sehingga untuk kegunaannya kedua jenis bambu ini disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, dan asap cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu pertumbuhan.
Kata kunci: Bambu, sifat dasar, pengolahan, pemanfaatan, bambu duri, bambu temen
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bambu telah lama dikenal masyarakat Indonesia dan
dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk
bambu selalu berhubungan erat dengan perkembangan budaya
bangsa Indonesia. Hal ini mudah dimengerti mengingat bambu
tumbuh hampir di seluruh wilayah secara alami maupun
dibudidayakan. Bambu merupakan bahan berlignoselulosa yang
dapat digunakan sebagai substitusi kayu pada beberapa keperluan.
Selain mempunyai daur tebang yang lebih pendek dibandingkan
kayu, bambu mempunyai penggunaan yang luas untuk berbagai
tujuan, batangnya mudah dipanen dan dikerjakan untuk berbagai
keperluan mulai dari pangan dengan rebungnya yang dapat di
makan, alat rumah tangga, bahan pembuat kertas, kerajinan, sampai
mebeler bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen
lainnya. Martawijaya (1977) dalam Nandika et al. (1994) memberi
taksiran bahwa 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi
(termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku
kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-
lain.
Widjaja et al. (1994) menyatakan bahwa jumlah jenis bambu
Indonesia yang semula tercatat hanya 65 jenis saat ini telah
bertambah menjadi 120 jenis lebih dimana 56 jenis memiliki potensi
ekonomi. Dari jenis-jenis bambu yang ada 13 jenis diantaranya telah
banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan terutama di Jawa yaitu
untuk jenis-jenis yang termasuk dalam marga Gigantochloa,
Bambusa, dan Dendrocalamus (Verhoef, 1957).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk beberapa sifat dasar
bambu, akan tetapi belum semua jenis bambu yang ada di Indonesia
3
di teliti sifat dasarnya secara tuntas. Oleh karena itu diperlukan
penelitian sifat dasarnya secara menyeluruh dan tuntas, sehingga
pemanfaatan batangnya akan lebih maksimal dan effisien.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan
Menyediakan informasi sifat dasar dan kegunaan 2 jenis
bambu sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk
berbagai tujuan pemakaian dalam rangka efisiensi pemanfaatan
sumber daya hutan.
Sasaran
Tersedianya data dan informasi ilmiah mengenai sifat dasar
dan kegunaan bambu.
C. Luaran
Luaran dari penelitian ini adalah laporan hasil penelitian yang
berisi data dan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan
2 jenis bambu, serta draft karya tulis ilmiah.
D. Hasil yang Telah Dicapai
Jenis bambu yang diteliti pada tahun sebelumnya dapat
dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2010 diteliti 2 jenis bambu yaitu
Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam, wulung) dan Bambusa
maculata (bambu tutul). Hasilnya menunjukkan bahwa berat jenis
bambu berkisar antara 0,40-0,62 rata-rata 0,49. Kadar pati bambu
tutul (15,7%) lebih besar daripada bambu wulung (11,9%) sehingga
bambu tutul lebih disukai rayap tanah terutama pada bagian pangkal.
Bambu wulung dan bambu tutul dalam keadaan basah dapat
diawetkan dengan mudah melalui metode sel penuh. Sifat perekatan
4
bambu hitam dan bambu tutul terhadap perekat urea formaldehida
(UF) cukup baik, nilai rata-rata keteguhan rekat dengan uji geser
blok lebih dari 55 kg/cm2. Baik bambu wulung maupun bambu tutul
dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan.
Pada tahun 2011 diteliti 2 jenis bambu yaitu Gigantochloa
apus (Schult.) Kurz (bambu apus, awi tali) dari Desa Dadirejo,
Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo; dan Gigantochloa
pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja (bambu andong, gumbleh) dari
Kampung Cireundeu Sipah, Desa Godog, Kecamatan Karang
Pawitan, Kabupaten Garut. Hasilnya menunjukkan diameter batang
bambu yang besar akan memiliki diameter pembuluh metaksilem
yang besar pula. Panjang serat bambu apus lebih panjang sehingga
bambu ini lebih kompak dan lentur ketika dibentuk. Kedua bambu
memiliki kualitas serat I, baik sebagai bahan baku pulp dan kertas.
Kerapatan bambu yang diteliti dari pangkal menurun kemudian
meningkat lagi ke arah ujung. Perbedaan jenis bambu umumnya
memberikan perbedaan sifat yang nyata. Kecuali pada keteguhan
lentur patahnya. Posisi ketinggian pada batang bambu tidak
mempengaruhi sifat mekanis bambu secara nyata. Keberadaan
buku hanya berpengaruh pada kerapatan dan keteguhan lentur
patah bambu. Metode pengembangan Boucherie paling baik bila
dibandingkan dengan metode rendaman dingin maupun vakum
tekan. Metode vakum tekan mencapai retensi yang paling tinggi,
disusul dengan metode Boucherri dan terendah pada metode
rendaman dingin. Meskipun demikian metode Boucherri adalah yang
terbaik, karena bambu yang diawetkan mempunyai kondisi batang
bersih, sedangkan metode lainnya menghasilkan permukaan bambu
kotor terutama pada vakum tekan di samping juga ada bagian yang
pecah. Sifat perekatan bambu tali dan bambu andong terhadap
perekat urea formaldehida (UF) cukup baik yang ditunjukkan oleh
nilai rata-rata keteguhan rekat dengan uji geser blok dimana nilainya
5
lebih dari 55 kg/cm2 dan persentase kerusakan kayunya lebih dari
70%. Bambu apus dapat digunakan untuk bahan anyaman, dan
konstruksi ringan sedangkan bambu andong baik untuk bambu
lamina, reng dan bangunan sederhana.
Pada tahun 2012 telah diteliti 2 jenis bambu yaitu
Gigantochloa robusta Kurz.( bambu mayan, temen serit) dari dan
sekitar Kampung Neglasari, Desa Buyut Mekar, Kabupaten Lebak,
dan bambu Dendrocalamus asper Backer (Bambu petung, oloh
otong, betong, tiing petung, betung) diperoleh dari Dusun
Selajambe, Desa Sepatnunggal, Kecamatan Majenang, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan kedua jenis bambu
memiliki kerapatan pada bagian pangkal dan tengah tidak berbeda,
yang berbeda pada bagian ujung, umumnya posisi ketinggian
bambu tidak mempengaruhi sifat mekanis bambu secara nyata,
kecuali modulus elastisitasnya; kandungan komponen kimia asap
cair bambu mayan umumnya lebih besar dari betung, untuk
serangan jamur kedua bambu tersebut termasuk kelompok bambu
agak-tahan (kelas III), ketahanan terhadap bubuk kayu kering
Dinoderus minutus pada bambu betung termasuk mengalami
serangan berat sekali karena memiliki kadar pati lebih besar dari
bambu mayan, bambu mayan memiliki ketahanan lebih baik
terhadap rayap kayu kering (RKK).
Tahun 2013 diteliti jenis bambu Bambusa vulgaris Schard
(awi ampel, haur, bambu hijau) dari Rangkasbitung, dan
Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex Munro (bambu ater, jawa benel,
buluh) dari Desa Sepatnunggal, Kecamatan Majenang. Hasilnya
menunjukkan kedua jenis bambu memiliki panjang serat yang
berbeda, bambu ater memiliki serat lebih panjang, keduanya
memiliki kualitas serat yang tergolong dalam kualitas serat kelas I
untuk pulp dan kertas. Ketahanan terhadap rayap tanah tergolong
lebih baik daripada terhadap rayap kayu kering. Kedua jenis bambu
6
memiliki kadar selulosa yang hampir sama, sedangkan kadar lignin
lebih tinggi pada bambu ater. Sehingga kegunaan untuk kedua jenis
bambu ini disarankan untuk bahan baku pulp dan kertas, bahan
baku alat rumah tangga, bahan kontruksi ringan, sedangkan asap
cairnya dapat digunakan sebagai bio pestida, dan pemacu
pertumbuhan.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini mencakup sifat dasar yang meliputi:
1. Struktur anatomi dan dimensi serat bambu berupa karakteristik
batang dan anatomi serta susunan sel-sel penyusun yang dimiliki
setiap jenis bambu.
2. Sifat fisis dan mekanis bambu berupa pengujian contoh bambu
yang diteliti meliputi berat jenis, kadar air, kerapatan dan sifat
mekanis menggunakan metoda antara lain Standard ISO 22157-
1:2004 (E.Bamboo-Determination of physical and mechanical
properties part I. Requirements. ISO) dan ISO/TR 22157-2:2004
(E. Bamboo-Determination of physical and mechanical properties
part II. Laboratory Manual).
3. Sifat pemesinan dilakukan untuk mengetahui karakter bambu
dalam proses pengerjaan dan pemesinan.
4. Sifat keawetan bambu berupa pengujian terhadap serangga,
bubuk dan jamur (dengan metode kolle-flask).
5. Sifat keterawetan bambu berupa pengujian terhadap
kemampuan bambu ditembus bahan pengawet mengikuti standar
IUFRO.
6. Sifat kimia dan nilai kalor dilakukan dengan menganalisis
kandungan kimia dalam bambu, termasuk asap cair bambu.
7. Sifat Pengeringan dilakukan dengan metoda pengeringan alami
atau modifikasi Terazawa untuk jenis bambu yang memiliki
batang tebal.
7
8. Sifat Perekatan dilakukan untuk mempelajari respon suatu jenis
bambu terhadap perekat urea formaldehida (UF).
Sifat dasar bambu yang diteliti berbeda dengan sifat dasar
kayu, karena struktur anatomi dan bentuk batang bambu berbeda
dengan kayu sehingga beberapa pengujian seperti sifat venir dan
kayu lapis, dan sifat pengkaratan tidak dilakukan. Sedangkan sifat
pengeringan hanya akan berarti untuk jenis-jenis bambu yang
memiliki diameter dan ketebalan batang cukup besar. Selain faktor
di atas, SDM, peralatan, dan dana juga merupakan penyebab tidak
semua sifat dasarnya dapat diteliti seperti sifat dasar kayu.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jumlah jenis bambu Indonesia semula tercatat hanya 64
jenis, sekarang telah bertambah menjadi 120 jenis lebih. Bambu asli
Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi
terdapat sebanyak 56 jenis (Widjaya et al., 1994). Dari jenis bambu
yang ada di Indonesia sejumlah 13 jenis telah banyak ditanam oleh
masyarakat pedesaan di Jawa terutama yang termasuk marga
Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus (Vershoef, 1975
dalam Sulthoni, 1994). Dari jenis-jenis bambu yang ada 13 jenis
diantaranya telah banyak ditanam oleh masyarakat pedesaan
terutama di Jawa yaitu untuk jenis-jenis yang termasuk dalam marga
Gigantochloa, Bambusa, dan Dendrocalamus (Verhoef, 1957).
Bambu merupakan nama untuk sekumpulan rumput-rumputan
berbentuk pohon kayu atau perdu yang lurus, dengan batang yang
biasanga tegak kadang memanjat, mengayu dan bercabang, dapat
mencapai umur panjang dan lazimnya mati tanpa mengalami masa
berbunga (Heyne, 1987). Batang bambu terdiri dari ruas-ruas yang
berongga dengan panjang dan jumlah bervariasi dan dipisahkan
oleh buku-buku. Waktu munculnya batang muda (atau disebut juga
rebung) berbeda untuk setiap jenis bambu, ada yang muncul pada
awal musim penghujan, sedangkan pada jenis yang lain muncul
pada pertengahan atau akhir musim penghujan (Heyne, 1987).
Berdasarkan system percabangan rimpangnya, secara garis
besar bambu dapat dibagi 2 tipe yaitu yang tumbuh secara simpodial
sehingga menghasilkan rumpun yang rapat seperti pada marga
Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum yang
merupakan marga bambu yang banyak dijumpai di daerah tropis;
yang lainnya yang tumbuh secara monopodial atau horizontal dan
bercabang secara lateral dan menghasilkan rumpun dengan letak
9
batang tersebar sehingga mudah ditebang. Marga yang termasuk
golongan ini adalah Arundinaria dan Phyllostachys banyak dijumpai
di daerah beriklim sedang seperti China.
Klasifikasi bambu adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Monocotyledonae
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa,
Schizostachyum
Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh,
beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang
dan mempunyai buluh yang menonjol, dan bambu termasuk suku
graminae. Menurut Liese dalam Alvin dan Murphy (1988) struktur
anatomi dan kandungan kimia dinding sel berbeda-beda tergantung
pada jenis, umur dan ketinggian batang bambu. Seluruh
jaringannya terbentuk oleh aktivitas meristem pucuk dan terkadang
meristem buku intercalary. (Hsiung et al., 1980 dalam Alvin dan
Murphy, 1988). Menurut Liese (1985) pada ruas mengandung serat
sekitar 40%, dan jaringan parenkim dasar sekitar 50%, sementara
sisanya diisi jaringan perantara, korteks tipis dan epidermis. Serat
dan jaringan dasar yang mempunyai kandungan lignin mestinya
dapat menunjang sifat mekanis bambu. Dalam pengelolaan bambu
umumnya dipanen pada umur 3-4 tahun, kekuatannya seringkali
meningkat seiring kenaikan umur, dan mencapai maksimum pada
umur 3 tahun; kekuatan fisiknya dapat dipredikisi berdasarkan
struktur anatomi (Liese, 1985).
10
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian laboratorium dilakukan di masing-masing
laboratorium yang terkait di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan
dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Sedangkan kegiatan
pengumpulan contoh uji Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex
Schult. F.) atau dengan nama daerah pring ori di Desa Cabak,
Kecamatan Telogowungu, Kabupaten Pati dengan ketinggian 146 –
154 m dpl., lokasi pada koordinat S 06° 37' 48,5"; E 111° 00' 15,3"
dan S 06° 37' 49,7"; E 111° 00' 15,1". Sedangkan bambu temen
(Gigantochloa verticillata Munro) dari Kampung Cilaku, Desa
Sukakerta, kecamatan Sindangpalay, Kabupaten Cianjur.
Herbarium kedua jenis bambu tersebut kemudian diidentifikasi
di ”Herbarium Bogoriense” bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-
LIPI, Cibinong, Bogor.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan adalah 2 jenis bambu yaitu .Bambu
duri (B. blumeana Bl. Ex Schult. F.) dan bambu temen (G.
verticillata Munro). Bambu yang diambil mempunyai umur 3-4 tahun.
Untuk penelitian ini diperlukan bahan kimia antara lain:
aquadestilata, asam asetat glacial, hidrogen peroxida, alkohol
teknis konsentrasi 30%, 50%, 70%, 96%, alkohol absolut, gliserin,
safranin, toluene, karbolxylene, entellen, malt ekstrak agar (MEA),
urea formaldehida (UF), Parachem, dan borax boric.
Bahan gelas dan kaca yang diperlukan antara lain object glass,
cover glass, tabung reaksi, botol timbang, watch glass, pipet,
jampot, kaca pembesar, gelas ukur 100 ml, beaker glass.
Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain oven, autoclave,
11
freezer, kompor gas, mikroskop kamera, stereo mikroskop, dan
mikrotom gelincir (untuk pembuatan preparat sayat dari bahan
berlignoselulosa yang keras), autoklaf, timbangan, oven, pinset,
golok, dial caliper, dan mesin uji mekanis (Universal Testing
Machine, UTM).
C. Prosedur Kerja
1. Persiapan bahan baku bambu
Penetapan jenis pertahunnya sebanyak 2 jenis yang belum
pernah diteliti atau sifat-sifatnya belum lengkap diteliti. Setiap jenis
yang telah ditentukan tersebut berasal dari tegakan dengan kelas
umur 3-4 tahun, untuk masing-masing jenis yang telah ditentukan
tersebut diambil minimum tiga sampai lima batang bambu sebagai
ulangan bergantung pada pengujian yang dilakukan.
Penentuan bagian pangkal, tengah dan ujung berdasarkan
pada pembagian panjang batang bambu yang umum dimanfaatkan
menjadi 3 (BSN, 2007), sepertiga bagian dari panjang total batang
pada pangkal disebut bagian pangkal, sepertiga bagian dari
panjang total batang pada bagian tengah disebut bagian tengah,
dan sepertiga bagian dari panjang total batang pada bagian ujung
disebut sebagai bagian ujung (Gambar 1).
Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung
Gambar 1. Pembagian pangkal, tengah, ujung batang bambu
Panjang total yang dimaksud adalah panjang komersial,
bagian batang bambu yang dapat dimanfaatkan bukan hanya untuk
konstruksi ringan. Dalam hal ini tidak tidak ditentukan berdasarkan
12
ruas ke berapa, karena panjang dan jumlah ruas antara jenis
bambu berbeda yang satu dengan lainnya.
Di lapangan dilakukan estimasi jumlah tegakan bambu per
rumpun, serta luas rumpun untuk setiap jenisnya dengan
menggunakan metoda sampling. Hal ini dilakukan sebagai data
tambahan untuk mengetahui jumlah batang per rumpun. Karena
dari beberapa pengalaman, ada bambu yang menghasilkan jumlah
lebih banyak pada luasan rumpun yang sama.
2. Pengujian sifat dasar
a. Struktur anatomi dan dimensi serat
Pengenalan ciri-ciri suatu jenis bambu dilakukan dengan
pendekatan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil yang
diperoleh dikombinasikan menjadi satu kesatuan ciri-ciri
pengenalan suatu jenis bambu. Pengamatan ciri makroskopis
dilakukan langsung pada contoh uji secara keseluruhan pada
batang bambu tersebut, sedangkan pengamatan ciri mikroskopis
dilakukan pada sayatan mikrotom dan preparat maserasi yang
dipersiapkan secara khusus menurut metoda Sass (1961) dan
metoda Franklin (disitir dalam Rulliaty, 1994) dari bagian pangkal,
tengah dan ujung batang bambu. Pengamatan makroskopis
meliputi diameter batang, ketebalan batang, panjang ruas,
penonjolan buku, ketebalan kulit, warna kulit pada waktu basah dan
kering. Pengamatan mikroskopis dilakukan tiga tahap yaitu (1)
pembuatan preparat, (2) pengamatan meliputi bentuk berkas
pembuluh, diameter metaksilem, protoksilem, serta karakteristik
setiap jenis bambu, (3) pengolahan data dan analisa. Sayatan yang
dibuat meliputi penampang lintang, dan longitudinal, karena bambu
memiliki persebaran berkas pembuluh yang tidak beraturan
arahnya sehingga ciri anatominya lebih jelas pada bidang
longitudinal daripada radial atau tangensial.
13
Contoh uji diambil dari hasil pengumpulan bambu yang terlebih
dahulu diidentifikasi berdasarkan material herbarium. Untuk
memudahkan penyayatan masing-masing contoh terlebih dahulu
dilunakkan dengan merebusnya dalam air mendidih sampai jenuh
air dan mudah disayat dengan pisau cutter. Sesudah itu dilakukan
dehidrasi dengan campuran alkohol-gliserin, berturut-turut dengan
perbandingan 2:1; 1:1; dan 1:2 dengan selang 2 – 3 hari. Bambu
dibiarkan dalam campuran terakhir sampai menjadi mudah disayat.
Pengamatan struktur anatomi bambu berdasarkan persebaran
ikatan pembuluh mengikuti klasifikasi Liese (1985). Berdasarkan
klasifikasi tersebut ada 5 kategori sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi persebaran ikatan pembuluh pada bambu
No. Persebaran ikatan pembuluh
I terdiri atas 1 baris berkas pembuluh di bagian tengah dengan
selubung sklerenhim, pada marga Arundinaria, Phyllostachys,
Fargeria, Sinanundinaria
II terdiri atas 1 baris berkas pembuluh di bagian tengah dengan
selubung sklerenhim; selubung pada ruang interselular
(protoxilem) lebih besar dari 3 bagian lainnya, pada marga
Cephalostachyum, Pleioblastus
III terdiri atas 2 bagian: 1 untai pembuluh di bagian sentral dengan
selubung sklerenkim dan I berkas serat yang terpisah, pada
marga Oxytenanthera.
IV terdiri atas 3 bagian, 1untai pembuluh di bagian sentral dengan
selubung sklerenhim yang kecil dan 2 berkas serat bagian
dalam dan luar yang terpisah, pada marga Bambusa,
dendrocalamus, Gigantochloa, Sinoclamus
V Merupakan tipe yang terbuka mewakili tipe berikutnya sebagai
hasil evolusi
Sumber : Liese (1985).
14
Dari setiap contoh uji dibuat sayatan mikrotom setebal 18-25
mikron pada arah transversal dan longitudinal. Dari sejumlah
sayatan yang diperoleh dipilih masing-masing 5 sayatan terbaik
untuk kedua arah. Sayatan ini selanjutnya dicuci dengan air suling
dan berturut-turut didehidrasi dengan alkohol teknis bertingkat,
kemudian diwarnai dengan safranin menurut metode Sass (1961)
dan didehidrasi kembali. Setelah itu sayatan direkat dengan entelan
pada gelas obyek, ditutup pelan-pelan dengan cover glass, dan
dibiarkan mengering atau dikeringkan dengan suhu 45o C dalam
alat pengering.
Pembuatan preparat maserasi dilakukan menurut metoda
Fraklin dalam Rulliaty (1994). Contoh uji bambu sebesar batang
korek api di rendam dalam campuran asam asetat glacial 60% dan
hydrogen peroksida 35% dengan perbandingan 1:1, kemudian
dipanaskan dalam waterbath sampai menjadi bubur serat. Buang
larutan asam yang masih tersisa, dan cuci serat hati-hati dengan air
ledeng sampai bau asamnya hilang. Setelah itu diberi safranin
beberapa tetes sampai berwarna dan mudah diamati. Untuk
pengamatannya, ambil sebagian serat simpan dan atur dalam
obyek glass kemudian diberi larutan gliserin 5%, tutup dengan
cover glass dan amati menggunakan filar mikrometer dan
mikroskop. Pengukuran dan penentuan klasifikasi serat dilakukan
menurut Rahman dan Siagian (Rulliaty, 2013).
b. Pengujian sifat fisis mekanis.
Penelitian fisis mekanis meliputi berat jenis dan sifat mekanis
menggunakan metoda yang terbaru untuk bambu yaitu ISO 22157-
1:2004 (E.Bamboo-Determination of physical and mechanical
properties part I. Requirements.) dan ISO/TR 22157-2:2004 (E.
Bamboo-Determination of physical and mechanical properties part II.
Laboratory Manual) dalam BSN (2007). Pengujian sifat fisis
15
mekanis dilakukan pada bagian ruas dan buku untuk bagian
pangkal, tengah, dan ujung batang bambu dengan ulangan
minimum 3 kali meliputi kadar air bambu segar, berat jenis segar,
berat jenis kering udara, kerapatan, penyusutan arah radial dan
tangensial, keteguhan lentur statis, keteguhan tekan sejajar serat,
dan keteguhan tarik yang dilakukan pada bagian buku dan ruas.
Pengujian tersebut dilakukan pada contoh dalam keadaan basah
dan kering udara dengan menggunakan mesin uji mekanis
(Universal Testing Machine, UTM).
c. Pengujian Keawetan
Pengujian keawetan dilakukan di laboratorium Biodeteriorasi
dengan melakukan pengujian terhadap organisme perusak bambu.
Standar pengujian yang dilakukan mengikuti SNI 01-7207-2006
(BSN, 2006).
1. Pengujian terhadap bubuk kayu kering
Bambu yang sudah kering dipotong-potong sepanjang 5 cm x
2.5 cm x tebal (tergantung ketebalan bambu). Kemudian diamplas
terlebih dahulu agar bambu tersebut bersih. Bambu yang sudah
bersih kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat awal, setelah
itu dimasukkan kedalam botol, kemudian dimasukkan 10 ekor
bubuk Dinoderus minutus Fabr. dewasa dan botol ditutup,
selanjutnya disimpan dalam ruangan tetutup pada suhu kamar
selama 1 bulan. Setiap perlakuan memerlukan 10 ulangan.
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai
waktu akhir penelitian, yaitu setelah 1 bulan. Pada akhir pengujian
ditetapkan jumlah bubuk yang hidup (natalitas), penurunan berat
akibat serangan bubuk dan derajat serangan seperti pada Tabel 2.
16
Tabel 2. Derajat serangan bubuk dan rayap
Tingkat Kondisi contoh uji Nilai
A Utuh, tidak ada serangan : < 5% volume 0
B Ada bekas gigitan bubuk : 6 -15% volume 40
C Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar : 16 – 50% volume
70
D Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar : 51 – 90% volume
90
E Bambu hancur, bambu habis dimakan bubuk : > 90% volume
100
2. Pengujian terhadap rayap kayu kering
Contoh uji bambu, dipotong-potong sepanjang 5 cm x 2.5 cm
x tebal (tergantung ketebalan bambu) dipasang tabung kaca
berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3 cm. Ke dalam tabung
kaca tersebut dimasukkan rayap kayu kering (Cryptotermes
cynocephlaus Light.) sebanyak 50 ekor rayap pekerja yang sehat
dan aktif, kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap
selama 12 minggu. Setiap perlakuan dilakukan dengan 10 ulangan
( BSN, 2006).
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai
waktu akhir penelitian, yaitu setelah 12 minggu. Pada akhir
pengujian ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas),
penurunan berat akibat serangan rayap dan derajat serangan
(seperti pada Tabel 2).
3. Pengujian terhadap rayap tanah
Contoh uji bambu, dipotong-potong sepanjang 2,5 cm x 2.5 cm
x tebal (tergantung ketebalan bambu) dimasukkan kedalam botol
jampot, diletakkan dengan cara berdiri pada dasar jampot dan
disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar
contoh uji menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot dimasukkan
200 gram pasir lembab yang mempunyai kadar air 7% di bawah
17
kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke
dalam setiap jampot dimasukkan rayap tanah (Coptotermes
curvignathus Holmgren) yang sehat dan aktif sebanyak 200 ekor,
kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama 1
bulan. Setiap perlakuan memerlukan 10 ulangan (BSN, 2006)
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu
akhir penelitian, yaitu setelah 1 bulan. Pada akhir pengujian
ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas), penurunan berat
akibat serangan rayap dan derajat serangan seperti pada Tabel 2.
4. Pengujian Terhadap Jamur
Jamur penguji yang digunakan yaitu Schizophyllum commune
HHBI-204, Pycnoporus sanguineus HHBI-8149, Polyporus sp.
HHBI-209, , Tyromyces palustris HHBI-232. Dalam hal ini
Dacryopinax spathularia HHBI-145 tidak digunakan lagi karena
telah mengalami mutasi, sehingga hasilnya meragukan. Jamur ini
digantikan oleh Tyromyces palustris HHBI-232.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kolle-flask,
sesuai dengan pengujian pelapukan kayu terhadap jamur, menurut
standar DIN-52176 yang disesuaikan untuk bambu oleh
Martawijaya (1975) dan Suprapti (2010). Media yang telah
dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala kolle
sebanyak 80 ml per-piala. Mulut piala disumbat dengan kapas steril,
kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC,
tekanan 1,5 atmosfer selama 30 menit. Setelah dingin media
diinokulasi dengan biakan murni jamur penguji, selanjutnya
disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya
merata dan menebal. Contoh uji bambu berukuran 5 cm x 2,5 cm x
1,5 cm (atau sesuai ketebalan batang bambu) yang telah diketahui
berat kering mutlaknya dimasukkan ke dalam piala yang berisi
biakan jamur tersebut. Setiap piala diisi dua buah contoh uji yang
18
diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan,
dan diinkubasikan selama 12 minggu. Untuk setiap jenis bambu
dan jenis jamur disediakan 5 buah piala, sehingga masing-masing
diperlukan 10 contoh uji. Pada akhir percobaan contoh uji
dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat
secara hati-hati, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah
dikeringkan, guna mengetahui kehilangan beratnya. Rata-rata
penurunan berat bambu dikelompokkan dengan menggunakan nilai
atau skala kelas resistensi menurut Martawijaya (1975) dan
Suprapti et al., (2011) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Klassifikasi ketahanan bambu terhadap jamur berdasarkan persentase kehilangan berat
Kelas Resistensi Penurunan berat (%)
I Sangat resisten Kecil atau tidak berarti < 0,5
II Resisten Rata-rata 0,5 - < 5
III Agak resisten Rata-rata 5 - 10
IV Tidak resisten Rata-rata 10 - 30
V Sangat tidak resisten Rata-rata > 30
Sumber: Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011)
d. Pengujian sifat kimia.
Analisis komponen kimia kayu dilakukan menurut metode
standar sebagai berikut:
1. Kadar selulosa menurut metode Norman dan Jenkins (Wise,
1944).
Serbuk dari bambu yang telah ditentukan kadar airnya
ditimbang dalam cawan penyaring G2 sebanyak 2 gram dan ditutup
dengan kertas saring. Cawan dimasukkan ke dalam tabung soxhlet,
lalu diekstraksi dengan larutan ethanol 95% selama 4 jam, kecuali
bila diketahui bahwa serbuk tadi tidak banyak mengandung tannin.
Kemudian contoh kayu diekstrak dengan alkohol-benzena 1:2,
selama 6 sampai 8 jam. Setelah ekstraksi selesai, pelarut
dikeluarkan dengan pengisap dan dicuci dengan 50 ml ethanol
19
untuk mengeluarkan benzen, selanjutnya kelebihan benzena
dikeluarkan dengan pengisapan. Setelah kering contoh dimasukkan
ke dalam piala gelas selanjutnya dilakukan pemutihan I, II, III dan
IV. Selanjutnya selulosa dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C,
selama 2,5 jam dan ditimbang.
Bobot selulosa
Kadar selulosa = -------------------------------------- X 100%
Bobot contoh uji kering oven
2. Kadar lignin menurut standar SNI 14-0492-1989 (Badan
Standardisasi Nasional, 1989a)
Ditimbang 2 gram serbuk kering oven yang berukuran 40
mesh, lalu dimasukkan kedalam cawan kaca masir G2, cawan
ditutup dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam tabung
ekstraksi soxhlet dan diestrak dengan larutan alkohol-benzen
selama 6-8 jam. Setelah ekstrasi selesai cawan dikeluarkan dan
dicuci dengan alkohol dan dikeringkan dalam oven. Isi cawan
dipindahkan dengan teliti ke dalam piala gelas kecil, lalu
ditambahkan 15 ml H2SO4 72% yang dingin secara perlaha-lahan
sambil diaduk pada suhu 12–15 0C, pengadukan sekurang-
kurangnya 1 menit, lalu didiamkan selama 2 jam dan suhu dijaga
tetap 18-200 C, dengan cara mendinginkan bagian luar piala gelas
dengan es. Bahan dicuci dan diencerkan dengan 560 ml air
destilasi sehingga konsentrasi asam mencapai pada pH 3 di dalam
erlemeyer 1000 ml. Didihkan dibawah pendingin tegak selama 4
jam dan diusahakan agar volume tetap, dengan cara
menambahkan air panas sewaktu-waktu. Setelah bahan yang tidak
larut, mengendap, kemudian disaring dengan cawan penyaring G 3
dan dicuci dengan air panas, hingga bebas dari asam. Dikeringkan
di oven pada suhu 1050 C, didinginkan di dalam eksikator, lalu
20
ditimbang sampai bobot tetap. Kadar lignin dihitung dalam persen
dari kayu kering oven sebelum ekstrasi.
Bobot dari lignin
Kadar Lignin = ---------------------------------- X 100 %
Bobot kayu kering oven
Penetapan kadar pati dipakai SII-70-1979
Pentosan menurut standar TAPPI T 19 m-50 (TAPPI, 1992)
Kadar abu menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan
Standardisasi Nasional, 1989b)
Kadar silika menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan
Standardisasi Nasional, 1989b)
Kelarutan dalam alkohol benzena menurut standar SNI 14-1032-
1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989c).
Kelarutan dalam air dingin dan panas menurut standar SNI 14-
1305-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989d)
Kelarutan dalan NaOH 1% menurut standar SNI 14-1838-1990
(Badan Standardisasi Nasional, 1990)
e. Pengujian Asap cair
Selain itu akan diteliti juga asap cair dari bambu menggunakan
metode tungku dan drum serta pendingin system turbulex ( Hendra,
2011). Bahan berupa bambu, dibuat arang dengan menggunakan
tungku drum volume 200 liter yang telah dimodifikasi. Setelah
potongan bambu masuk tungku, kemudian dilakukan pembakaran
dengan umpan kayu bakar dan sedikit minyak tanah pada bagian
bawah tungku. Tungku pengarangan ini dilengkapi dengan pipa
pengalir dan pendingin asap yang terbuat dari stainless, yang
terpasang dalam drum yang telah diisi air. Dalam pipa pengalir
asap terdapat pipa-pipa ber diameter kecil untuk menyaring asap
.Drum kedua berisi air yang berfungsi sebagai pendingin asap cair
yang keluar dari pipa stainless tadi, juga dalam drum ke dua
21
terdapat pipa yang tersambung dengan pipa dari tungku drum
pertama. Selanjutnya asap yang keluar ditampung dalam ember
plastik/ jerigen plastik. Asap yang telah dingin, dialirkan dan
ditampung dalam ember plastik, sehingga akan diperoleh asap
cair / cuka kayu.
Gambar 2: Tungku drum modifikasi untuk pembuatan arang
dan cuka kayu
Keterangan : 1 = Drum pertama untuk pembuatan arang
2 = Drum kedua untuk penampung air pendingin asap 3 = Pipa untuk mengalirkan asap dari drum 1 ke drum 2
4 = Cerobong asap untuk mengalirkan gas ke udara terbuka
Proses pengarangan berlangsung antara 17 jam – 30 jam,
tergantung kadar air dan jumlah bahan yang digunakan. Suhu
pengarangan sekitar 400 – 450o C Setelah tungku dingin (kurang
lebih 24 jam) arang dikeluarkan kemudian dilakukan penimbangan
arang. Asap cair yang dihasilkan kemudian diukur volumenya.
Selanjutnya dilakukan analisis kandungan komponen kimia organik
3
1
2
4
22
asap cair, kualitas asap cair dan hasilnya dibandingkan dengan
Standar Jepang (Yatagai, 2002).
Asam asetat dan fenol dianalisis dengan menggunakan alat
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) , sedangkan
methanol menggunakan GC (Gas Chromatography).
f. Pengujian Sifat Pengeringan
Sifat pengeringan meliputi pengukuran kadar air, pengeringan
alami dan mengacu pada metode Terazawa yang dilakukan untuk
jenis-jenis bambu yang berdiameter besar. Kadar air dinyatakan
dalam persen yang merupakan nisbah berat air dan berat bambu
bebas air yang diperoleh dengan cara mengeringkan contoh uji
bambu ukuran panjang 2 cm dalam oven pada suhu 102 oC 2 oC
sampai beratnya konstan.
Prosedur pembuatan contoh uji dan pengujian sifat
pengeringan bambu mengacu pada metode Terazawa untuk
pengujian kayu yang telah disesuai dengan sifat dan morfologi
batang bambu (Basri, 2004). Contoh uji bambu yang akan
dikeringkan dalam dapur pengering kombinasi tenaga surya dan
panas tungku dibuat dalam ukuran panjang 180 cm, kemudian
dibagi-bagi untuk contoh uji kadar air dan pengeringan. Contoh uji
diambil dari bagian pangkal, tengah, dan ujung batang.
g. Sifat Perekatan
Penelitian sifat perekatan bambu dilakukan dengan
mempelajari respon suatu jenis bambu terhadap perekat urea
formaldehida (UF). Respon tersebut dipelajari dari keteguhan rekat
bambu dengan menggunakan uji geser blok atau uji geser tekan.
Bambu yang digunakan untuk penelitian dipotong bagian
pangkalnya sepanjang 50 cm untuk menghilangkan bagian
23
batang bambu dengan ruas yang tidak beraturan. Setelah dipotong
bagian pangkalnya, batang bambu tersebut dipotong-potong
menjadi beberapa bagian dengan panjang 1,25 m. Bambu yang
digunakan untuk penelitian diambil dari bagian pangkal (A1), tengah
(A2) dan ujung batang (A3) masing-masing 2 potong. Bambu
tersebut diukur diameternya dan tebal dindingnya. Bambu
kemudian dibelah dengan bagian ujung (bagian yang diameternya
lebih kecil) sebagai acuan lintasan pembelahan dengan
menggunakan alat belah bambu Pustekolah hasil rekayasa tahun
2003. Banyaknya bilah bambu yang dihasilkan tergantung dari
besarnya diameter bambu yang dibelah. Bilah bambu hasil
pembelahan selanjutnya diserut pada bagian atas dan bawah untuk
mendapatkan permukaan bilah yang rata. Bilah bambu yang telah
diserut kedua permukaannya sebagian diawetkan dengan larutan
boron 7% dengan cara rendaman dingin selama 2 jam kemudian
dikeringkan dengan alat pengering hingga kadar airnya mencapai
10% dan bilah yang tidak diawetkan langsung dikeringkan dengan
alat pengering hingga kadar airnya ± 10%.
Contoh uji sifat perekatan bambu dibuat dengan merekatkan
dua bilah bambu dengan ukuran masing-masing bilah yaitu panjang
50 cm, lebar 2,5 cm dan tebal tergantung tebal bilah yang
digunakan. Kedua bilah tersebut direkat sejajar serat. Bilah yang
sudah kering baik yang tidak diawetkan (B1) maupun yang
diawetkan (B2), kemudian dilaburi perekat urea formaldehida (UF)
dengan berat labur 170 g/m2 permukaan. Bagian yang dilaburi
perekat 2 macam yaitu antara permukaan dalam dengan
permukaan dalam (C1), dan antara permukaan dalam dengan
permukaan luar (C2). Contoh uji sifat perekatan bambu dibuat
dengan merekatkan dua bilah bambu, kemudian dikempa pada
suhu kamar selama 20 jam. Banyaknya ulangan 5 buah.
24
Untuk masing-masing ulangan dibuat 4 contoh uji geser
tekan yang akan diuji dalam kondisi kering. Pembuatan contoh uji
untuk pengujian keteguhan geser tekan dilakukan minimal 7 hari
setelah perekatan bilah bambu. Pengujian sifat perekatan bambu
untuk masing-masing jenis dilakukan menurut Standar Jepang
(Japan Plywood Manufacture’s Association., 2003). Data hasil
pengujian meliputi keteguhan geser dan kerusakan bambu
dibandingkan dengan Standar Jepang untuk kayu lamina khusus
untuk kualitas perekatan.
h. Pengujian Keterawetan
Metode yang digunakan dalam pengujian keterawetan
bambu adalah metoda modifikasi Boucherie (Findlay, 1985).
Caranya adalah sebagai berikut :
1. Bambu contoh uji sepanjang 4 m dari bagian pangkal, tengan
dan ujung diukur diameterdan tebalnyanya, untuk menentukan
volume.
2. Setiap buku dilubangi dengan besi bekhel dan disisakan buku
bagian paling bawah yang tidak dilubangi.
3. Setelah itu bambu ditimbang untuk diketahui berat sebelum
diawetkan.
4. Kemudian disenderkan pada dinding penyangga bak larutan
bahan pengawet.
5. Masing-masing bambu diisi larutan bahan pengawet CCB 3%
sampai penuh.
6. Setiap hari bahan pengawet ditambahkan sampai bahan
pengawet dalam batang bambu tetap penuh.
7. Setelah 5 (lima) hari pengawetan dihentikan.
8. Larutan bahan pengawet dalam bambu dikeluarkan.
9. Bambu yang sudah diawet kemudian langsung ditimbang
kembali.
25
10. Retensi bahan pengawet dihitung berdasarkan selisih berat awal
dan berat akhir dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana, R = retensi bahan pengawet dalam kg/m3; B = selisih
berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan; V = volume kayu,
dalam m3; K = konsentrasi bahan pengawet, dalam persen (%).
Gambar. 3. Metode modifikasi Boucherie yang digunakan dalam pengawetan bambu
Penetrasi (kedalaman penembusan) bahan pengawet diamati
dengan menyemprotkan atau melaburkan pereaksi yang sesuai
pada penampang melintang contoh uji hasil pemotongan,
Bambu sedang diawetkan
Senderan bambu yang diawet
Bak bahan pengawet
Selang untuk mengisi bahan pengawet ke dalam bambu
Bak penampung sisa bahan pengawet
B
R = ---- x K
V
26
menggunakan pereaksi krom azurol S. Cara pembuatannya
mengikuti Barly dan Abdurrochim (1996) yaitu dengan cara
mencampur 0,5 g konsentrat krom azurol S, dan 5,0 g natriun
asetat dengan 80 ml air, yang kemudian diencerkan dengan air
menjadi 500 ml. Adanya tembaga ditunjukkan oleh adanya warna
biru, sedangkan bagian yang tidak mengandung tembaga berwarna
jingga pada permukaan contoh uji yang di semprot atau di labur.
i. Sifat Pemesinan
Dalam sifat pemesinan akan diamati sifat pengetaman,
pengampelasan, pemboran, dan pemakuan (kuat cabut paku)
terhadap bambu menggunakan metode penelitian untuk kayu
berdasarkan ASTM D-1666 -64 (1981) yang disesuaikan dengan
kondisi bahan dan peralatan yang tersedia di PPPKKPHH, Bogor.
Ukuran contoh uji panjang 125 cm sebanyak 25 lembar per jenis
bambu. Setiap papan/bilah bambu dipotong berdasarkan keperluan
contoh uji pola pada Gambar 4.
Metode :
1. Bambu dibelah menjadi bilah berukuran lebar 6 cm.
2. Ukuran contoh uji.
a. Sifat penyerutan : 75 cm x 7cm x tebal bambu
b. Pengampelasan : 30 cm x 7 cm x tebal bambu
c. Pengeboran : 30 cm x 7 cm x tebal bambu.
d. Pemakuan
Gambar 4. Pola contoh uji sifat pemesinan bambu
2 l
Ket: l = panjang
paku
l 2 l l l l
27
Pengujian kuat cabut paku diuji menggunakan mesin uji UTM
(universal testing machine) dan disetarakan dengan standar
pengujian kuat cabut paku/sekrup pada kayu lapis. Sedangkan
bentuk cacat yang diamati mengacu pada Tabel 4 untuk kayu yang
disesuaikan untuk contoh uji bambu. Sedangkan Nilai bebas cacat
dan klasifikasi sifat pemesinannya menikuti Tabel 5.
Tabel 4. Sifat pemesinan pada kayu dan bentuk cacat yang diamati
Sifat pemesinan (Machining properties)
Bentuk cacat (Type of defect)
Penyerutan /Pengetaman (Planing)
Serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzygrain), serat patah (torn grain), tanda chip (chip marking).
Pembentukan (Shaping)* Serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), tanda chip (chip mark).
Pengeboran (Boring) Serat berbulu (fuzzy grain), penghancuran (crushing), kelicinan (smoothness), penyobekan (tearout)
Pembubutan (Turning) *
Serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), kekasaran (roughness)
Pengampelasan (Sanding)
Serat berbulu (fuzzy grain), bekas garukan (scratching)
*) : tidak ada dalam penelitian Tabel 5. Nilai bebas cacat dan klasifikasi sifat pemesinan Nilai bebas cacat, %
(Defect free values,%)
Kelas (Class)
Kualitas pemesinan (Machining quality)
0 – 20 V Sangat jelek (Verypoor)
21 – 40 IV Jelek (Poor)
41 – 60 III Sedang (Fair)
61 – 80 II Baik (Good)
81 – 100 I
Sangat baik (Very good)
D. Analisis Data
Masing-masing sifat dilakukan penghitungan rata-rata dan
standar deviasi kemudian diklasifikasikan sesuai dengan metode
28
yang digunakan. Selanjutnya semua data dikompilasi sehingga
diperoleh sifat dasar setiap jenis bambu
Berdasarkan sifat- sifat yang di dapat maka akan ditentukan
kegunaan yang diperkirakan paling mendekati dari ke 2 jenis
bambu tersebut
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ciri Umum, Struktur Anatomi dan Dimensi Serat
1. Ciri umum
a. Bambu duri (Bambusa blumeana Bl. Ex Schult. F.)
Setiap rumpun bambu bisa memiliki 20-70 batang bambu
untuk rumpun dengan ukuran 1x2 m2 sampai 6x8 m2. Panjang
batang bambu dari pangkal sampai ujung berkisar dari 18 – 21,50
meter, dengan ruas sejumlah 56 – 63 ruas. Panjang ruas pada
bagian pangkal batang berkisar 16,5-24,5 cm, pada bagian tengah
berkisar 30-47 cm, dan pada bagian ujung tdk berbeda jauh dengan
bagian tengah yaitu 40-49 cm. Diameter batang (tanpa buku) pada
bagian pangkal berkisar 7,0 – 8,9 cm, bagian tengah berkisar 8,6 –
9,8 cm, dan bagian ujung berkisar 6,6 – 7,6 cm. Bagian buku
menonjol sekitar 0,6 cm. Ketebalan bilah atau batang pada bagian
pangkal sekitar 1,9-3,3 cm, pada bagian tengah 0,8 – 1 cm, dan
pada bagian ujung 0,6 – 0,75 cm. Permukaan batang bambu
berwarna hijau kusam dan seperti kesat, tidak memiliki banyak
rambut atau bulu-bulu gatal. Pada buku bagian pangkal sampai
ketinggian sekitar 3 meter tampak juluran cabang yang berduri.
Seludang menempel pada bambu muda sampai dengan bambu
berumur sekitar 6 bulan, setelah itu batang bambu terlepas dari
seludangnya. Seludang ini juga mempunyai bentuk yang khas,
b. Bambu temen (Gigantochloa verticillata Munro)
Setiap rumpun bambu bisa memiliki 20-56 batang bambu
untuk rumpun dengan ukuran 1x2 m2 sampai 6x8 m2. Panjang
batang bambu dari pangkal sampai ujung berkisar dari 9,5 – 11
meter, dengan ruas sejumlah 23 – 29 ruas. Panjang ruas pada
30
bagian pangkal batang berkisar 28-34,5 cm, pada bagian tengah
berkisar 35-45,5 cm, dan pada bagian ujung tdk berbeda jauh
dengan bagian tengah yaitu 40-49 cm. Diameter batang (tanpa
buku) pada bagian pangkal berkisar 5,9 – 6,2 cm, bagian tengah
berkisar 5,8 – 6,4 cm, dan bagian ujung berkisar 5,3 – 5,5 cm.
Ketebalan bilah atau batang pada bagian pangkal sekitar 1,3-1,5
cm, pada bagian tengah 0,8 – 0,9 cm, dan pada bagian ujung 0,6 –
0,75 cm. Permukaan batang bambu berwarna hijau mengkilap,
tidak memiliki banyak rambut atau bulu-bulu gatal. Pada buku
bagian pangkal sampai ketinggian sekitar 3 meter tidak tampak
seludang menempel. Seludang menempel pada bambu muda
sampai dengan bambu berumur sekitar 6 bulan, setelah itu batang
bambu terlepas dari seludangnya. Seludang ini juga mempunyai
bentuk yang khas.
Gambar 5. Rumpun bambu duri
31
Gambar 6. Seludang bambu duri
Gambar 7. Rumpun bambu temen
32
B. Struktur anatomi dan dimensi serat
Struktur anatomi bambu merupakan jaringan ikatan
pembuluh terdiri dari pembuluh metaksilem dan phloem yang
dikelilingi oleh berkas serat (40%), dan diantara pembuluh terdapat
parenkima (50%). Ikatan pembuluh bambu duri dan temen
termasuk tipe III dan IV sama seperti halnya pada bambu yang
diteliti sebelumnya. Diameter rata-rata berkas pembuluh bambu duri
di bagian tepi 571,30 mikron, sedangkan di bagian sentral 895,72
mikron; pembuluh metaksilem bambu duri di bagian tepi 69,88
mikron dan di bagian sentral 198,75 mikron. Diameter rata-rata
berkas pembuluh bambu temen di bagian tepi 554,16 mikron,
sedangkan di bagian sentral 604,83 mikron; pembuluh metaksilem
bambu duri di bagian tepi 62,99 mikron dan di bagian sentral
153,98 mikron, Umumnya berkas pembuluh di bagian tepi memiliki
diameter lebih kecil, berkas serat yang tebal, dan pembuluh tidak
lengkap atau kadang tidak ada, sehingga jaringan di bagian tepi
lebih padat dibandingkan pada bagian sentral.
Gambar 8. Seludang bambu temen
33
A B
C D
Gambar 9. Penampang melintang makroskopis bambu duri berurutan dari bagian tepi (A) sampai bagian sentral (D)
34
A B
C
Gambar 10. Penampang melintang makroskopis bambu temen berurutan dari bagian tepi (A) sampai bagian sentral (C)
35
Gambar 11. Penampang melintang mikroskopis bambu duri bagian tepi
Gambar 12. Penampang melintang mikroskopis bambu duri bagian sentral
Gambar 13.Penampang melintang mikroskopis bambu temen bagian tepi
Gambar 14. Penampang melintang mikroskopis bambu temen bagian sentral
36
C. Pengujian Sifat Fisis Mekanis.
1. Sifat fisis
Nilai rata-rata sifat fisis bambu yang diteliti belum ada,
umumnya posisi contoh pada bambu serta adanya buku terhadap
sifat fisis yang diamati adalah sebagai berikut :
- Perbedaan jenis berpengaruh nyata terhadap kadar air kering
udara dan berat jenis, sedangkan kadar air basah tidak
berpengaruh nyata.
- Posisi contoh pada batang bambu, hanya berpengaruh nyata
terhadap kadar air basah
- Keberadaan buku atau ruas tidak mempengaruhi kadar air,
berat jenis dan penyusutan bambu.
2. Sifat mekanis
Sifat mekanis bambu duri dan temen yang diteliti disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rata-rata sifat mekanis bambu yang diteliti
Jenis Posisi
Buku Ket.Lentur statis,kg/cm2 Tekan// Geser// Tarik//
Tak Buku MPL MOE MOR (kg/cm2)
Duri Pangkal Buku 117,50 22.318,9 204,91 150,98 27,70 839,70
T.Buku 65,66 19.909,7 125,04 168,45 25,68 620,29
Tengah Buku 83,11 24.341,4 151,20 162,86 32,49 655,97
T.Buku 58,85 22.048,9 81,71 167,76 26,32 527,14
Ujung Buku 148,95 41.559,2 221,41 192,57 35,39 1081,14
T.Buku 67,12 30.857,8 103,13 181,14 29,63 754,34
Temen Pangkal Buku 317,70 89.280,5 612,03 521,68 56,38 1083,77
T.Buku 275,52 75.791,5 434,90 486,52 61,40 2297,04
Tengah Buku 438,46 74.760,0 738,96 518,43 56,04 1231,10
T.Buku 334,64 101.310,3 493,99 438,54 59,47 1885,56
Ujung Buku 685,45 107.594,1 902,07 490,99 65,47 890,21
T.Buku 452,68 97.126,4 540,86 423,15 61,76 2324,01
37
Berdasarkan Tabel di atas sifat mekanis bambu temen lebih
baik dari bambu duri.baik pada bagian ruas maupun bagian batang
bambu yang memiliki buku.
D. Pengujian Keawetan
Hasil pengujian ketahanan bambu duri terhadap rayap tanah
(Coptotermes curvignatus) dan rayap kayu kering (Cryptotermes
cynocephalus ) dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata pengurangan berat, jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada bambu duri .
Jenis bambu Pengurangan berat (%)
Natalitas (%)
Derajat serangan
% kerusakan Nilai
Rayap tanah 22,21 68,17 23,27 70
Rayap kayu kering
19,64 48 22,67 70
Pengurangan berat pada bambu duri akibat serangan
rayap tanah adalah 22,21%, sedangkan akibat rayap kayu kering
adalah 19,64 %, dengan demikian pengurangan berat akibat
serangan rayap tanah lebih besar dari rayap kayu kering, berarti
rayap tanah lebih ganas. Jumlah rayap tanah yang hidup (natalitas)
adalah 68,17 % kemudian rayap kayu kering 48%, berati rayap
tanah lebih banyak yang hidup dibandingkan rayap kayu kering.
Untuk derajat serangan (kerusakan) pada rayap tanah 23,29 %,
rayap kayu kering 22,67 %, derajat serangan kedua jenis rayap ini
adalah dengan nilai 70. Berdasarkan SNI termasuk ke dalam
serangan sedang, berupa saluran-saluran yang dangkal dan sempit,
kerusakan berkisar 16-30%. Maka bambu duri memiliki ketahanan
lebih baik terhadap rayap kayu kering daripada rayap tanah.
Adapun hasil pengujian bambu temen belum selesai, baru 1 bulan
dalam pengujian.
38
E. Pengujian terhadap jamur
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada hari ke dua
pengumpanan, 4 jenis jamur mulai menyerang bambu duri dan
temen, dan telah menyerang di seluruh permukaan bambu pada
masa inkubasi 10-11 hari (jamur Polyporus sp. dan Tyromyces
palustris), dan masa inkubasi 13-14 hari (jamur Pycnoporus
sanguineus dan Schizophyllum commune). Data kehilangan berat
bambu duri dan kelas resistensinya terhadap jamur ditunjukkan
pada Tabel 3. Persentase kehilangan berat tertinggi terjadi pada
contoh uji bambu duri yang dipasang pada biakan jamur Tyromyces
palustris (30,23%). Sedangkan persentase kehilangan berat
terendah dijumpai pada bambu duri yang dipasang pada biakan
Pycnoporus sanguineus (11,47%).
Tabel 8. Rata-rata kehilangan berat bambu duri dan kelas
resistensinya
Jenis jamur Kehilangan berat (%) Kelas
resistensi
Polyporus sp. 15,78 IV
Pycnoporus sanguineus 11,47 IV
Schizophyllum commune 13,61 IV
Tyromyces palustris 30,23 V
Rata-rata 17,77 IV
Menurut Oey (1990) untuk kayu kelas III diperkirakan usia
pakainya 3 tahun dan kayu kelas IV usia pakainya sangat pendek,
jika selalu berhubungan dengan tanah lembab dan basah. Maka
mengacu pada Oey (1990) klasifikasi ketahanan bambu terhadap
jamur secara laboratoris dapat disetarakan dengan kayu, maka
bambu duri termasuk kelompok tidak-tahan (kelas IV). Suprapti
(2010) menyatakan bahwa ketahanan bambu terhadap organisme
perusak dapat bervariasi tergantung pada jenis bambu, tempat
39
bambu dipasang atau diletakkan, umur tumbuhan bambu, musim
tebang bambu, dan lokasi asal pengambilan bambu atau tempat
tumbuh bambu. Umur pakai bambu tersebut sekitar 3 tahun sampai
puluhan tahun. Menurut Liese (1980) ketahanan bambu atau umur
pakai bambu umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kayu
yaitu 1-3 tahun. Jenis bambu temen masih dalam pengujian.
Berdasarkan data pengumpanan pada masa inkubasi 10-11 hari
bambu temen telah diserang jamur Polyporus sp. dan Tyromyces
palustris, dan masa inkubasi 13-14 hari oleh jamur Pycnoporus
sanguineus dan Schizophyllum commune.
F. Pengujian sifat kimia.
Kedua jenis bambu yang diteliti memiliki komponen kimia
seperti pada Tabel 8 di bawah ini. Bambu temen memiliki kadar
kelarutan (ekstraktif) dalam air dingin, air panas, alkohol benzene,
dan NaOH (1%) lebih besar dibandingkan bambu duri , demikian
pula dengan kadar selulosa dan kadar pentosannya. Untuk kadar
silika ternyata bambu duri memiliki kadar lebih besar, secara fisik
hal ini nampak pada kulit batang bambu duri yang keras dan kasar.
Tabel 9. Sifat kimia bambu duri dan temen
No. Parameter Bambu duri Bambu temen
1. Kelarutan dalam alkohol benzene %
2,39
9,68
2. Kelarutan dalam air panas % 10,31 13,96 3. Kelarutan dalam air dingin % 6,75 11,39 4. Kelarutan dalam NaOH
(1%) % 28,84 29,62
5. Kadar selulosa % 45,78 47,81 6. Kadar Lignin % 28,92 24,43 7. Kadar Pentosan % 12,47 17,35 8. Kadar zat pati % 22,19 18,34 9. Kadar air % 8,71 8,47
10. Kadar abu % 4,48 2.20 11. Kadar silika % 3,036 0,727
40
Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum,
karbohidrat dan pigmen, sedangkan yang terlarut dalam air panas
adalah sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan
kadar zat yang terlarut lebih besar. Kelarutan dalam NaOH 1% ini
memberikan gambaran adanya kerusakan bambu yang diakibatkan
oleh serangan jamur pelapuk kayu atau terdegradasi oleh cahaya,
panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat
kerusakan bambu juga meningkat dan dapat menurunkan
rendemen pulp.
Kadar pentosan yang terendah justru terdapat pada bambu
duri. Kadar pentosan yang rendah sangat diharapkan dalam
pembuatan pulp untuk rayon dan turunan selulosa. Kandungan
pentosan yang tinggi dapat menyebabkan kerapuhan benang rayon
yang dihasilkan. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen
kimia daun lebar Indonesia, maka bambu duri maupun temen
termasuk ke dalam kelas dengan kandungan pentosan yang rendah
karena kadarnya kurang dari 21%, sehingga cukup baik untuk
dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pulp.
Kedua jenis bambu yang diteliti memiliki kadar selulosa
yang hampir sama, hal ini memberikan gambaran bahwa bubur
kayu yang dihasilkan akan sama pada kedua jenis bambu ini.
G. Pengujian Sifat Pengeringan
Data suhu minimum dan maksimum pengeringan bambu
berdasarkan pada kriteria cacat pecah dan perubahan bentuk
(mengeriput atau kolaps), ditunjukkan dalam Tabel 10.
41
Tabel 10. Suhu minimum dan maksimum pengeringan bambu
berdasarkan pada kriteria cacat
Jenis cacat Kondisi pengeringan,
oC
Tingkat kerusakan/cacat
1 (A)
2 (B)
3 (C)
4 (D)
5 (E)
I. Pecah Suhu minimum (a) 50 45 40 33 30
Suhu maksimum (b) 77 68 60 50 48
II. Mengeriput/ kolaps
Suhu minimum (a) 50 40 36 33 30
Suhu maksimum (b) 77 65 57 50 48
Keterangan : A. Sangat baik; B. Baik; C. Sedang; D. Kurang baik; E. Sangat jelek; a. Suhu awal; b. Suhu akhir
Data rata-rata pengamatan kadar air segar maupun sifat
pengeringan bambu duri dan bambu temen ditunjukkan dalam
Tabel 11. Berdasarkan sifat pengeringannya, maka dapat
diestimasi suhu minimum dan maksimum dari kedua jenis bambu
tersebut.
Tabel 11. Kadar air dan sifat pengeringan bambu duri dan temen
Jenis Letak porsi
batang
Kadar air awal (%)
Tingkat cacat
Kelas Mutu Estimasi suhu (oC)
I II Min. Maks.
Duri Pangkal 78 – 95 (83)
1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70
Tengah 73 – 80 (76)
1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70
Temen
Pangkal 57 – 106 (80)
1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70
Tengah 55 – 91 (70)
1 1-2 Sangat baik-baik 45-50 70
Ket: Jumlah sampel setiap batang 5 buah; I. Pecah; II. Mengeriput (kolaps); A. Sangat baik; B. Baik; C. Sedang; D. Kurang baik; E. Sangat jelek
Sifat pengeringan kedua jenis bambu dari batang bagian
pangkal sampai tengah termasuk sangat baik sampai baik. Pada
42
lembaran batang yang sama, meskipun kadar air pangkal lebih
tinggi dari kadar air bagian tengah namun perbedaannya relatif
kecil (sekitar 7% sampai 10%). Dari indikator tersebut,
menunjukkan kedua jenis bambu yang diteliti termasuk sudah tua
atau sudah memenuhi persyaratan umur panen.
G. Sifat Perekatan
Sifat perekatan bambu duri dan bambu temen terhadap
perekat urea formaldehida (UF) sangat baik yang ditunjukkan oleh
hasil pengujian keteguhan rekat dengan uji geser blok dalam
kondisi kering dimana nilai rata-rata keteguhan geser blok lebih dari
55 kg/cm2 dan persentase kerusakan bambunya lebih dari 70%.
Keteguhan rekat (keteguhan geser blok) rata-rata tipe interior (UF)
bambu duri 162,2 kg/cm2 (bilah tidak diawetkan) dan 113,3 kg/cm2
(bilah diawetkan). Keteguhan rekat (keteguhan geser blok) rata-rata
tipe interior (UF) bambu temen 107,7 kg/cm2 (bilah tidak diawetkan)
dan 88,2 kg/cm2 (bilah diawetkan).
Tabel 12. Keteguhan geser bambu duri kontrol (uji kering)
PANGKAL TENGAH UJUNG
ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA
2
HH HI RATA2
1 135,4 199,3 167,3 109,0 210,0 159,5 134,1 132,3 133,2
2 188,7 218,9 203,8 131,7 167,7 149,7 133,6 147,4 140,5
3 219,5 181,0 200,2 149,9 179,2 164,5 116,5 158,8 137,7
4 214,0 227,0 220,5 178,4 162,0 170,2 126,0 148,1 137,1
5 126,1 179,6 152,9 128,3 152,1 140,2 135,8 175,1 155,5
Rataan 176,7 201,2 188,9 139,5 174,2 156,8 129,2 152,3 140,8
KK, % 95 95 90
Keterangan : HH = Perekatan muka dalam dengan muka dalam bilah bambu
HI = Perekatan muka dalam dengan muka luar bilah bambu
KK = Kerusakan bambu
43
Tabel 13. Keteguhan geser bambu duri diawet (uji kering)
PANGKAL TENGAH UJUNG ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2
1 135,4 109,9 122,6 116,7 102,3 109,5 119,0 105,2 112,1
2 111,1 107,0 109,1 107,1 106,3 106,7 77,5 149,4 113,5
3 117,5 98,3 107,9 130,3 97,6 113,9 144,5 102,5 123,5
4 83,7 190,0 136,9 122,7 105,3 114,0 118,1 136,9 127,5
5 91,4 78,0 84,7 114,8 107,0 110,9 130,7 83,2 107,0
RATA2 107,8 116,7 112,2 118,3 103,7 111,0 118,0 115,4 116,7
KK, % 80 95 100
Keterangan : HH = Perekatan muka dalam dengan muka dalam bilah bambu HI = Perekatan muka dalam dengan muka luar bilah bambu KK = Kerusakan bambu
Tabel 14. Keteguhan geser bambu temen kontrol (uji kering)
PANGKAL TENGAH UJUNG
ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2
1 130,1 85,8 108,0 71,7 113,1 92,4 110,3 114,0 112,2
2 78,1 104,7 91,4 138,5 121,9 130,2 122,3 79,3 100,8
3 88,0 113,5 100,8 113,3 115,2 114,2 104,1 109,1 106,6
4 106,5 141,2 123,9 112,3 96,7 104,5 105,5 100,3 102,9
5 97,8 110,4 104,1 113,6 109,1 111,4 117,8 105,9 111,8
RATA2 100,1 111,1 105,6 109,9 111,2 110,5 112,0 101,7 106,9
KK, % 95 95 90
Tabel 15. Keteguhan geser bambu temen diawet (uji kering)
PANGKAL TENGAH UJUNG
ULANGAN HH HI RATA2 HH HI RATA2 HH HI RATA2
1 58,2 88,7 73,5 130,2 111,8 121,0 89,2 64,0 76,6
2 75,4 78,8 77,1 113,5 104,4 109,0 68,3 86,9 77,6
3 60,6 101,2 80,9 103,9 124,4 114,1 81,1 110,1 95,6
4 55,3 86,2 70,7 73,0 91,7 82,4 54,2 65,6 59,9
5 87,3 114,3 100,8 131,4 115,2 123,3 66,0 54,5 60,3
RATA2 67,4 93,8 80,6 110,4 109,5 110,0 71,8 76,2 74,0
KK, % 95 90 90
44
Tabel 16. Rata-rata keteguhan rekat bambu duri dan temen
Perlakuan
Pangkal Tengah Ujung
HH HI HH HI HH HI
Duri kontrol
176,7 201,2 139,5 174,2 129,2 152,3
KK % 95 95 90 Duri diawet
107,8 116,7 118,3 103,7 118,0 115,4
KK% 80 95 100
Temen kontrol 100,1 111,1 109,9 111,2 112,0 101,7 KK% 95 95 90 Temen diawet 67,4 93,8 110,4 109,5 71,8 76,2 KK % 95 90 90
H. Pengujian Keterawetan
Hasil retensi dan penetrasi bahan pengawet terhadap kedua
jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18.
Tabel 17. Retensi dan penetrasi bahan pengawet boron terhadap bambu duri
Pangkal Panjang
(cm) Diamete
r (cm) Tebal (cm)
Volume (cm
3)
Berat awal (g)
Berat akhir (g)
Retensi (kg/m
3)
Penetrasi (%)
1. 403 8,5 1,6 1012.336 8350 349507,32 10,11 100 2. 360 8,2 1,4 791,280 9200 313315,28 11,53 100 3. 385 8,2 1,2 725,340 8950 305130,50 12,25 100 4. 395 8,2 0,9 558,135 7060 282778,69 14,82 100 5. 398 8,7 0,8 499.888 8050 253161,74 14,71 100
Rata-rata 12,684 100
Tengah Panjang (cm)
Diameter (cm)
Tebal (cm)
Volume (cm
3)
Berat awal (g)
Berat akhir (g)
Retensi (kg/m
3)
Penetrasi (%)
1. 397 7,9 0,8 498.631 5630 173502.43 10,10 100 2. 367 7,4 0,7 403.333 4800 155243,21 11,19 100 3. 380 8,4 0,6 357.960 5550 127495.04 10,22 100 4. 402 7,9 0,6 378.694 5950 148465.17 11,29 100 5. 397 8,6 0,5 311.645 7550 116833.51 10,52 100
Rata-rata 10,66 100
Ujung 1. 400 6,4 0,5 314,00 2780 106609,33 9,92 100 2. 367 5,2 0,6 345,73 2780 119060,52 10,09 100 3. 385 6,4 0,4 241,78 3900 80463.67 9,50 100 4. 368 6,4 0,5 288.88 3000 114989.15 11,63 100
45
5. 400 6,1 0,4 251,20 3950 106355.87 12,23 100
Rata-rata 10,67 100
Keterangan: P = panjang; D = diameter; T = tebal; V = volume; B1
= berat awal; B2 = berat akhir
Tabel 17 menunjukkan bahwa rata-rata retensi bahan
pengawet boron pada bagian pangkal bambu ori 12,684 kg/m3,
tengah 10,66 kg/m3 dan ujung 10,67 kg/m3. Retensi tertinggi
terdapat pada bagian pangkal bambu dan terendah terdapat pada
bagian ujung. Hal ini menunjukkan bahwa bagian pangkal bambu
duri lebih permeable dibandingkan di bagian ujung. Sedangkan
penetrasi bagian pangkal, tengah dan ujung 100%, berarti bambu
ori mempunyai sifat keterawetan kelas I atau sangat mudah
diawetkan.
Hasil retensi dan penetrasi bahan pengawet boron pada
bambu temen dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Retensi dan penetrasi bahan pengawet boron terhadap bambu temen
Pangkal Panjang
(cm)
Diameter
(cm)
Tebal
(cm)
Volume
(cm3)
Berat
awal
(g)
Berat
akhir (g)
Retensi
(kg/m3)
Penetrasi
(%)
1. 401 7,1 1,0 629,57 8200 219525,66 10,07 100 2. 398 8,1 1,2 749,83 7500 227950.02 8,82 100 3. 399 8,1 1,4 877,00 7600 272161,67 9,05 100 4. 400 6,2 1,0 628.00 4900 194974.67 9,08 100 5. 400 5,5 1,2 753,60 4100 230682,40 9,02 100
Rata-rata 9,208 100
Tengah
1. 395 5,9 0,9 558,13 5100 151888,19 7,89 100 2. 400 6,8 0,8 502,40 4500 172301,60 10,02 100 3. 400 6,8 0,9 565,20 4900 173518,00 8,95 100 4. 400 5,9 0,8 502,40 3200 149733,33 8,75 100 5. 400 4,9 0,7 502,40 2700 152227.20 9.09 100
Rata-rata 8,94 100
Keterangan: P = panjang; D = diameter; T = tebal; V = volume; B1 = berat awal; B2 = berat akhir
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata retensi bahan
pengawet boron pada bagian pangkal bambu temen 9,208 kg/m3
46
dan tengah 8,94 kg/m3. Retensi tertinggi juga terdapat pada bagian
pangkal bambu dan terendah terdapat pada bagian tengah. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian pangkal bambu temen lebih permeable
dibandingkan di bagian tengah. Sedangkan penetrasi bagian
pangkal dan ujung 100%, berarti bambu temen mempunyai sifat
keterawetan kelas I atau sangat mudah diawetkan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bambu duri
dan bambu temen dalam keadaan basah dapat diawetkan dengan
mudah melalui metode modifikasi Boucherie. Disarankan agar
kedua jenis bambu yang diawetkan dipakai hanya untuk di bawah
atap,Retensi dan penetrasi bahan pengawet pada bambu duri dan
temen sudah memenuhi SNI-3233-1992 untuk dipakai di bawah
dan luar atap yaitu 8,0 dan 11,0 kg/m3.
Tabel 19. Rata-rata penetrasi dan retensi bahan pengawet boron terhadap bambu duri dan temen
Jenis bambu Retensi (kg/m3) Penetrasi (%)
Duri
Pangkal 12,684 100
Tengah 10,66 100
Ujung 10,67 100
Temen
Pangkal 9,208 100
Tengah 8,94 100
Ujung - -
47
I. Sifat Pengerjaan/ Pemesinan
Hasil pengujian sifat pengerjaan/pemesinan bambu duri dan
temen yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 20, dan 21 berikut ini.
Tabel 20. Sifat Pengerjaan/pemesinan bambu duri
Sifat Pemesinan
Cacat yang
diamati
Persentase cacat
Persentase bebas cacat
Mutu/Kualitas Kelas
Pemesinan
Pengetaman Serat
berbulu halus
21 79 Baik II
Pengampelasan Serat
berbulu halus
22,5 77,5 Baik II
Pemboran Serat
berbulu halus
20,5 79,5 Baik II
Tabel 21. Sifat Pengerjaan/pemesinan bambu temen
Sifat Pemesinan
Cacat yang
diamati
Persentase cacat
Persentase bebas cacat
Mutu/Kualitas Kelas
Pemesinan
Pengetaman Serat
berbulu halus
16,5 83,5 Sangat Baik I
Pengampelasan Serat
berbulu halus
14,5 85,5 Sangat Baik I
Pemboran Serat
berbulu halus
24,5 75,5 Baik II
Tabel 22. Klasifikasi sifat pemesinan kayu
Kelas pemesinan
Nilai Bebas Cacat (%) Kualitas
I 80 - 100 Sangat Baik II 60 – 80 Baik III 40 – 60 Sedang IV 20 – 40 Jelek V 0 - 20 Sangat Jelek
48
Berdasarkan klassifikasi sifat pemesinan kayu (Tabel 22) maka
kualitas sifat pengerjaan/pemesinan bambu duri termasuk kelas II
dengan mutu/kualitas baik, untuk sifat pengetaman,
pengampelasan, pemboran, sedangkan bambu temen termasuk
kelas I untuk sifat pengetaman dan pengampelasan dengan
mutu/kualitas sangat baik, sedangkan untuk sifat pemboran pada
bambu temen termasuk kelas II dengan mutu /kualitas baik. Hal ini
tentu ada kaitannya dengan sifat anatominya dan berat jenis.
Bambu duri mempunyai berkas serat yang tebal, kulit batangnya
kasar dan keras, kadar lignin dan silikanya lebih tinggi sehingga
sifat pemesinan persentase cacatnya menjadi lebih tinggi.
I. Kualitas dan Sifat Asap Cair Bambu Ampel dan Ater
Rendemen dan hasil pengujian asap cair bambu seperti
terlihat pada Tabel 23 dan 24. Hasil pengujian pH, dan
transparency memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang,
sedangkan untuk berat jenis dan warna belum memenuhi.
Berdasarkan análisis komponen kimia (Tabel 24) bambu duri
mempunyai kandungan asam asetat, metanol dan total phenol yang
lebih besar daripada bambu temen. Berdasarkan hasil pengujian
Tabel 23. Sifat asap cair bambu
Jenis analisis Bambu Mutu cuka kayu Jepang*
Duri Temen
Rendemen dari berat kering, %
- -
pH 3,07 3,15 1,50 – 3,70 Berat jenis 1,02 1,02 > 1,05 Bau - - - Warna Coklat
muda Coklat tua
Kuning coklat kemerahan
Transparansi Tidak keruh, tidak ada suspensi
Tidak keruh, tidak ada suspensi
Tidak keruh, tidak ada suspensi
49
Tabel 24. Analisis komponen kimia cuka kayu
Jenis analisis Jenis bambu
Duri Temen
Asam asetat,ppm
2074,39 2017,19
Metanol, % 6,02 5,92
Phenol,mg/100g 763,23 721,92
komposisi kimia (Tabel 8) bambu duri memiliki kadar lignin lebih
tinggi sehingga kadar phenol pada asap cair juga lebih tinggi
daripada bambu temen.
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Bambu Duri
a. Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis,
tekan, geser dan tarik sejajar serat umumnya cukup baik; kadar
lignin, zat pati, abu dan silika bambu duri cukup besar, akan
berpengaruh terhadap kadar phenol asap cair; sifat perekatan
terhadap perekat urea formaldehida sangat baik, dan
persentase kerusakan bambunya memenuhi persyaratan
standar jepang yang disesuaikan untuk bambu; sifat
pengetaman, pengampelasan dan pemboran baik dengan
kelas pemesinan II; estimasi suhu minimum dan maksimum
dalam pengeringannya yaitu 45-50 °C dengan kelas mutu
pengeringannya termasuk sangat baik.
b. Ketahanannya terhadap rayap kayu kering lebih baik daripada
terhadap rayap tanah; termasuk kelompok tidak tahan terhadap
jamur (kelas IV), lebih tahan terhadap jamur Pycnoporus
sanguineus daripada terhadap jamur Tyromyces palustris; lebih
mudah diawetkan, retensi dan penetrasi bahan pengawet
Boron telah memenuhi persyaratan SNI untuk digunakan di
bawah dan di luar atap; pH, dan transparency asap cair
memenuhi standar mutu cuka kayu Jepang, sedangkan untuk
berat jenis dan warna belum memenuhi.
2. Bambu temen
a. Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis,
tekan, geser dan tarik sejajar serat bambu temen menyerupai
bambu ampel dan bambu ater; kelarutan dalam alkohol
benzene, air panas, air dingin, NaOH, kadar selulosa, pentosan
51
cukup tinggi menandakan jenis bambu ini mempunyai
ketahanan terhadap OPK; sifat perekatannya terhadap perekat
urea formaldehida sangat baik, dan persentase kerusakan
bambunya memenuhi persyaratan standar Jepang yang
disesuaikan untuk bambu; sifat pengetaman, pengampelasan
sangat baik dengan kelas pemesinan I, dan dan sifat pemboran
baik dengan kelas pemesinan II.
b. Estimasi suhu minimum dam maksimum bambu yaitu 45-50 °C
dan kelas mutu pengeringannya termasuk sangat baik. Mudah
diawetkan, retensi dan penetrasi bahan pengawet Boron telah
memenuhi persyaratan SNI untuk digunakan di bawah dan di
luar atap; pH, dan transparency memenuhi standar mutu cuka
kayu Jepang, sedangkan untuk berat jenis dan warna belum
memenuhi.
B. Saran
Bambu duri maupun bambu temen dapat dimanfaatkan
untuk konstruksi ringan, bambu temen lebih cocok sebagai bahan
mebeler, dengan diawetkan dapat digunakan di bawah dan di luar
atap.
52
DAFTAR PUSTAKA
Alvin, K.L. & Murphy. R.J. (1988). Variation in fiber and parenchyma wall thickness in culums of the bambu Sinobambusa toothstik. IAWA Bull. N.s. vol 9 (4) The Nederlands. pp 353-361.
Pusat Penelitian Hasil Hutan. (2000). Himpunan sari hasil penelitian
rotan dan bambu. Pusat Penelitian hasil Hutan, Bogor. China National Bambu Research Center. (2001). Cultivation and
integrated utilization on bambu in China: Structure and properties of bambu timber. China National Bambu Research Center. Hangzhou, P.R. China. pp. 56 – 72.
ASTM [American standard testing machine]. (1999). D-3345-74
(Reapproved 1999). Standard Test Method for Laboratory Evaluation of Wood and Other Cellulosic Material for Resistance of Termites. USA.
AWPA [American Wood Preserver’ Association]. (1972). Standard
Method for Laboratory Evaluation to Determine Resistance to Subterranean Termites. American Wood Preserver’ Association Standard.
Japan Plywood Manufacture’s Association. (2003). JAS: Japanese
Agricultural Standard for Common Plywood its Commentary the Japan Plywood Manufacture’s Association.
BSN [Badan Standarisasi Nasional] (2006). Uji ketahanan kayu
dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Rancangan Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional SNI 01-7207-2006. Jakarta.
ASTM [American Standard Testing Machine] (2006). ASTM D 1106-
96 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Acid-Insoluble Lignin in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogjakarta. (2007). Bambu lebih kuat
dibanding baja. Artikel dari http://www.bapeda.pemda-diy.go.id/detail.php.jenis. Diakses pada tanggal 10 Maret 2008.
53
ISO [International Standard Organization]. (2009). ISO 22157-2, Bambu – Determination of physical and mechanical properties - . Part 2, Laboratory mannual. ISO, Swietzerland.
Basri, E. (2004). Percobaan pengeringan tiga jenis bambu dalam
dapur pengeringan tenaga surya. Naskah (belum diterbitkan). Basri, E. & Saefudin. (2006). Sifat kembang-susut dan kadar air
keseimbangan bambu tali (Gigantochloa apus kurtz) pada berbagai umur dan tingkat kekeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 (3). Bogor. 241-250
Fangchun, Z. (2000). Selected works of bambu research
(translate Chinese into English by Chen Xinfang). The Bambu Research Editorial Committee. Nanjing Forestry University, Nanjing China. Chapter XII-XIV: 95-125.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Cetakan ke
I, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. ISO [International Standard Organization]. (2004). ISO 22157-1-
2001. Bamboo – Determination of physical and mechanical properties. Part 1: Requirements. ISO-Switzerland.
JIS [Japan Industrial Standard]. (2003). Standard methods of
testing small clear specimens of timber. Tokyo, Japan. Liese, W. (1980). Preservation of bamboos. In Bamboo Research in
Asia edited by Lessard, G. And A. Chouinard. Proceedings of a workshop held in Sinapore 28-30 May 1980. p: 165-172.
Liese, W. (1985). Anatomy and properties of bambu. The Chinese
academy of Forestry. People’s republic of China International Development Research Centre, Canada.
Martawijaya, A. (1975). Pengujian laboratoris mengenai keawetan
kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta. Hlm.: 775-777.
Morisco. (2005). Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Program Magister
Teknologi Bahan Bangunan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hlm 26-34.
Mustafa,Z.E.Q. (1990). Panduan Mikrostat Untuk Mengolah Data
Statistik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
54
Nandika, D., Matangaran & Darma, T. (1994). Keawetan dan pengawetan bambu. Yayasan bambu lingkungan lestari, Bogor.
Oey D. S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan
pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor-Indonesia.
Rulliaty, S. (1994). Wood Quality Indicators as Estimators of
Juvenile Wood in Mahogany (Swietenia macrophylla King.) from Forest Plantation in Sukabumi, West Java, Indonesia. Unpublished Master’s Thesis, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna. The Phillippine
Rulliaty, S. (2013). Struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis
kayu andalan setempat asal Carita Banten. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):283 – 294
Rulliaty. S., Hadjib, N., Pari, G., Muslich, M., Jasni, I.M.
Sulastiningsih, I.M., Komarayati, S., Suprapti, S., Abdurahman, Basri, E. (2013). Sifat Dasar dan Kegunaan Bambu. Laporan Hasil Penelitian. Tidak dipublikasikan, Bogor.
Sass, J.E. (1961). Botanical Microtehnique. The IOWA State
University Press. New York. Sulthoni, A. (1994). Permasalahan sumber daya bambu di
Indonesia. Yayasan bambu lingkungan lestari. Bogor. Steel, R.J.D. dan Torrie, J.H. (1993). Prinsip Dan Prosedur Statistik.
Terjemahan dari Principles and Procedures of Statistiks oleh Bambang Sumantri. IPB. Penerbit. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suprapti, S. (2010). Decay resistance of five Indonesian bamboo
species against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(3): 287-294
Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. (2011). Ketahanan lima jenis
kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 248-258. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
55
Terazawa, S. (1965). An easy method for the determination of
wood-drying schedule. Wood Industry Vo. 20 (5). Wood Technology Association of Japan. Tokyo.
Verhoef, R. (1957). Tanaman bambu di Jawa. Pengumuman
Pendek Lembaga Penyelidikan Kehutanan. Bogor. 15: 1-25. Widjaja, E.A., Artiningsih, Irawati, Noerdjito, Amir, Pudjiastuti, &
Aswari. (1994). Sepuluh tahun penelitian bambu di Puslitbang Biologi. Yayasan bambu lingkungan lestari. Bogor.
Widjaja, E. A. (2001). Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Seri
Panduan Lapangan. Herbarium Bogoriense. Balit Botani. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor
Yatagai. (2002). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan.
Graduate School of Life Sciences. The University of Tokyo. Japan.