Upload
tina-ong-sinaga
View
70
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan
fentanil.1
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin.
Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan
terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua
obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada
kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran
obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal
dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum
ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya
obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik
akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai
lagi.3
II. 1 DEFINISI
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,
misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3
II. 2 KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa
semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi
pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada
potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri
yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid
natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon,
derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).2, 4
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan
menjadi ;2, 3, 4
1. Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada
reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol),
fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat
bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
3. Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa
reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin,
butarfanol, bufrenorfin.
II. 3 MEKANISME KERJA
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system
aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf
usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi
dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan
menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4
Ø Reseptor m (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi.
m-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Ø Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen..
Ø Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.
k-2 tak diketahui.
k-3 analgesia supraspinal.
Ø Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Ø Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang
berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada
berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan
tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;4
A. Efek sentral ;
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek
disforia).
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat
emetik (efek antiemetik).
h. Menyebabkan miosis (efek miotik).
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
B.Efek perifer
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c. Kontraksi sfingter saluran empedu.
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu
bronkospasmus pada pasien asma.
II. 4 MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan
menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam
air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu
mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ;
bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang
nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul
dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin
pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu
analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,
miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2,
3, 4, 6
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat
mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang
sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui
ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat
yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang
diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma
; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ;
(5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar,
fraktur dan nyeri pasca bedah.3
Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea,
vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier,
retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur
dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2
mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg
diperlukan.2, 3
II. 5 PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin,
tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah
etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya
morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek
sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,
tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan
dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :2
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan
asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi
dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin
bentuk asli ditemukan dalam urin.
2. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan
absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai
dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian
meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian
penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis
menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam
bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra
kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk
kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,
meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin
digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena
menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75
mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis
parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,
euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.3, 4, 6
II. 6 FENTANIL
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan
opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus
sawar jaringan.2, 3, 4
Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-
125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat
mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil
(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian
disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan
efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan
droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3, 6
Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan
morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir
oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan
lewat urin.6
Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan
anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung.
Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6
Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH,
rennin, aldosteron dan kortisol. 2
Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma
nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain
durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak
semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut
tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah
morfin, petidin, fentanil.
3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,.
Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan
menjadi ; Agonis opioid, Antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.
Daftar pustaka
1. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi
Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI,
Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
4. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika ;
hal : 138-143.
5. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran
Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.
6. Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.