21
BAB II PEMBAHASAN Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan fentanil.1 Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3 Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5 Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum

obat opiod

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: obat opiod

BAB II

PEMBAHASAN

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan

fentanil.1

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin.

Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan

terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.2, 3

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua

obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada

kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran

obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal

dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum

ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya

obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik

akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai

lagi.3

Page 2: obat opiod

II. 1 DEFINISI

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,

misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk

mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3

II. 2 KLASIFIKASI OPIOID

Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa

semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi

pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada

potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri

yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid

natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon,

derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).2, 4

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan

menjadi ;2, 3, 4

1. Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada

reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol),

fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

Page 3: obat opiod

2. Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat

bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.

3. Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa

reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin,

butarfanol, bufrenorfin.

II. 3 MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih

terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system

aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf

usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi

dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan

menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4

Ø Reseptor m (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi.

m-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.

Ø Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen..

Page 4: obat opiod

Ø Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.

k-2 tak diketahui.

k-3 analgesia supraspinal.

Ø Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

Ø Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang

berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada

berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan

tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;4

A. Efek sentral ;

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.

c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).

d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).

Page 5: obat opiod

e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek

disforia).

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat

emetik (efek antiemetik).

h. Menyebabkan miosis (efek miotik).

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang

berkepanjangan.

B.Efek perifer

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu.

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu

bronkospasmus pada pasien asma.

Page 6: obat opiod

II. 4 MORFIN

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan

menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam

air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu

mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ;

bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang

nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul

dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin

memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin

pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu

analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,

miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2,

3, 4, 6

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat

mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh

lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang

Page 7: obat opiod

sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui

ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat

yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang

diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma

; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ;

(5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar,

fraktur dan nyeri pasca bedah.3

Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea,

vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier,

retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6

Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur

dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2

mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg

diperlukan.2, 3

Page 8: obat opiod

II. 5 PETIDIN

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin,

tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah

etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3

Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya

morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek

sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,

tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan

dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :2

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan

asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi

dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin

bentuk asli ditemukan dalam urin.

2. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan

takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada

Page 9: obat opiod

hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan

absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai

dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian

meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian

penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.

Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis

menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam

bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin

ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra

kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk

kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,

meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin

digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk

Page 10: obat opiod

menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena

menyebabkan depresi nafas pada janin.

Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75

mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis

parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6

Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,

euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,

sinkop dan sedasi.3, 4, 6

II. 6 FENTANIL

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan

opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus

sawar jaringan.2, 3, 4

Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-

125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat

mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil

(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian

Page 11: obat opiod

disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan

efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan

droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3, 6

Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan

morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir

oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan

lewat urin.6

Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya

berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk

pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan

anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung.

Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6

Efek samping

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan

pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH,

rennin, aldosteron dan kortisol. 2

Page 12: obat opiod

Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma

nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain

durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4

Page 13: obat opiod

BAB III

KESIMPULAN

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak

semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut

tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.

2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah

morfin, petidin, fentanil.

3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin,.

Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk

mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.

4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan

menjadi ; Agonis opioid, Antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.

Page 14: obat opiod

Daftar pustaka

1. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi

Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.

2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.

3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI,

Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.

4. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika ;

hal : 138-143.

5. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran

Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.

6. Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.