15
Pendahuluan Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia. 1,2,3 Tahun 1980 adalah era berkembangnya metode pengobatan tersebut. Kemudian pada 1990  perhatian lebih difokuskan pada paradigma baru sindrom k oroner akut (SKA) yang mencakup infark miokard dengan non ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil ( APTS). Sebelumnya hanya ditujukan untuk IMA dan agal jantung (GJ)1,2,3. Troponin T/I masih merupakan “gold standard” untuk diagnosis maupun penanganan SKA sebagaimana telah dilakukan di Eropa1,2,3 Konsep terapi baru untuk memperbaiki aliran darah koroner telah digunakan beberapa tahun terakhir. Konsep terapi itu antara lain terapi trombolitik, antitrombotik, dan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa yaitu “GP IIb/IIIa inhibitor”, meskipun pendekatan lama tidak ditinggalkan, misalnya oksigenasi pasien, pemberian nitrogliserin (NTG), atau penghambat  beta adrenergik 1,2,3 Definisi Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama  proses aterosklerosis.1,2,3 Yaitu suatu fase akut dari APTS yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable) 1,2,3 Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3 Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat  patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3 Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non- elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau  pasca tindakan intervensi koroner perkutan. 1,2,3 Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berta atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. 1,2,3 Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus

nstemi 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nstemi

Citation preview

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 1/15

Pendahuluan

Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk 

infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi

koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia. 1,2,3

Tahun 1980 adalah era berkembangnya metode pengobatan tersebut. Kemudian pada 1990

 perhatian lebih difokuskan pada paradigma baru sindrom koroner akut (SKA) yangmencakup infark miokard dengan non ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil

( APTS). Sebelumnya hanya ditujukan untuk IMA dan agal jantung (GJ)1,2,3. Troponin T/I

masih merupakan “gold standard” untuk diagnosis maupun penanganan SKA sebagaimana

telah dilakukan di Eropa1,2,3

Konsep terapi baru untuk memperbaiki aliran darah koroner telah digunakan beberapa tahun

terakhir. Konsep terapi itu antara lain terapi trombolitik, antitrombotik, dan penghambat

reseptor glikoprotein IIb/IIIa yaitu “GP IIb/IIIa inhibitor”, meskipun pendekatan lama tidak 

ditinggalkan, misalnya oksigenasi pasien, pemberian nitrogliserin (NTG), atau penghambat

 beta adrenergik 1,2,3

Definisi

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis

rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas

angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST.

Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi

klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama

 proses aterosklerosis.1,2,3

Yaitu suatu fase akut dari APTS yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST

elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang

terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil

(Vulnerable) 1,2,3

Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas

tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering

ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous

cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3

Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan

secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan

dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark 

miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat

 patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3

Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkankejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu sindrom yang terdiri

dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-

elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau

 pasca tindakan intervensi koroner perkutan. 1,2,3

Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena

mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang

merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan

menimbulkan stenosis berta atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. 1,2,3

Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan denganelevasi ST adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 2/15

mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST

adalah trobus komplet/oklusif. 1,2,3

Proses terjadinya trombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow.

Antara lain akibat kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah

terganggu. Selanjutnya proses koagulasi berlangsung diawali dengan aterosklerosis,inflamasi, terjadi ruptur/fissura dan akhirnya menimbulkan trombus yang akan menghambat

 pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi infark miokard

dengan elevasi ST segmen. Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya

unstable angina atau infark jantung akut tanpa elevasi segmen ST. 1,2,3

Epidemiologi

The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika,

menderita

 penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami

serangan infark 

miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung

koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. 1

Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT)

tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk 

umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan

kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya

semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari

data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 diempat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985

sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan

 persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus-menerus menempati urutan pertama di

antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai

36,1%. 2,3

Patofisiologi SKA

Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis, yang merupakan proses multifaktor. Kelainan ini

sudah mulai terjadi pada usia muda, yang diawali terbentuknya sel busa, kemudian pada usia

antara 10 sampai 20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan dan pada usia 40 sampai 50

tahun bercak perlemakan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik yang

dapat berkomplikasi menyulut pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa

infark miokardium maupun angina (nyeri dada).2,3

Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan pelepasan isi

granuler yang me- nyebabkan agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan akhirnya

 pembentukan trombus. 3 Studi angioskopi telah membuktikan bahwa trombus penyebab

angina tidak stabil adalah trombus putih kaya platelet, berbeda dengan trombus merah kaya

fibrin dan eritrosit yang lebih menonjol pada infark miokard akut. 1,2,3

SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan

 platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini

terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque).

Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka tissuefactor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 3/15

complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi

trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan

 pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’ 1,2,3

Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinases, dan

sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut 6. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan

antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam

monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. 1,2,3

Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda

inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15%

 pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif 6. Haidari dan kawan-

kawan meneliti hubungan antara serum CRP dengan penyakit jantung koroner (PJK) secara

angiografi terhadap 450 individu. Ternyata, secara bermakna kadar CRP dengan PJK lebih

tinggi daripada kontrol (2,14 mg/L dibanding 1,45 mg/L) dan hubungan tersebut menandakan

adanya proses inflamasi pada PJK . 1,2,3

Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zatvasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi

disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak) 12. Disfungsi endotel ini dapat

disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif,

yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap

dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan

gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada

dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Grindling

dkk. mengobservasi bahwa angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang

 poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan

makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh

darah sebagai aterogenesis yang esensial

Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan

dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor 

lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor 

relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin) 1,2,3

Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan

migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic 1,2,3.

Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan

kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark 1,2,3

SKA yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis

yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis

 – tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan

hemodinamik stress mekanik. 1,2,3

Adapun mulai terjadinya SKA, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni

aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin,

waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-

keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan

darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, danaliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 4/15

 pencegahan dan terapi 1,2,3

DIAGNOSIS SKA

Berbagai cara telah digunakan untuk mengenali adanya PJK, mulai dari teknik non invasif 

seperti elektrokardiografi (EKG) sampai pemeriksaan invasive seperti arteriografi koroner.8

Gambaran EKG abnormal terdapat di penderita IMA dengan ditemukannya ketinggian(elevasi) segmen ST dan adanya gelombang Q. Namun demikian, ketinggian (elevasi)

segmen ST dapat juga ditemukan di perikarditis, repolarisasi cepat yang normal, dan

aneurisma ventrikel kiri.1,2,3,4

Rekaman listrik jantung merupakan langkah diagnosis awal yang membedakan kedua

kelompok sindrom koroner akut yang mempunyai pendekatan terapi berbeda. Jika terjadi

 peningkatan segmen ST, artinya terjadi infark miokard yang merupakan indikasi untuk 

reperfusi segera. Pasien dengan peningkatan segmen ST biasanya mempunyai oklusi koroner 

komplit pada angiografi, dan banyak dari pasien-pasien ini akhirnya menjadi infark miokard

gelombang Q, sedangkan pasien-pasien sindrom koroner akut tanpa peningkatan segmen ST

merepresentasikan suatu kelompok oklusi koroner trom- botik subtotal atau intermiten, dan kebanyakan akan mengalami angina tidak stabil, dan

 berdasarkan kenaikan enzim jantung (CK-MB) dapat menjadi infark miokard tanpa

gelombang Q. 1,2,3,4

Berdasarkan terminologi baru sindrom koroner akut tanpa peningkatan segmen ST,

diperlukan marker biokimiawi troponin untuk pengelompokan lebih lanjut. Jika konsentrasi

enzim jantung atau troponin meningkat, artinya terjadi kerusakan sel yang irreversibel dan

kelompok pasien ini dapat dianggap mempunyai infark miokard sebagaimana definisi WHO.

Pedoman American College of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA)

menggunakan terminologi infark miokard dengan peningkatan segmen ST dan tanpa

 peningkatan segmen ST, menggantikan terminologi infark miokard gelombang Q dan tanpa

gelombang Q yang kurang bermanfaat dalam perencanaan penalaksanaan segera. 4

Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan menggunakan test enzim

 jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB (CKMB) dan laktat dehidrogenase

(LDH).11,12 Berbagai penelitian penggunaan test kadar serum Troponin T (cTnT) dalam

mengenali kerusakan miokardium akhir-akhir ini telah dipublikasikan.5

cTnT adalah struktur protein serabut otot serat melintang yang merupakan subunit troponin

yang penting, terdiri dari dua miofilamen. Yaitu filament tebal terdiri dari miosin, dan

filamen tipis terdiri dari aktin, tropomiosin dan troponin. Kompleks troponin yang terdiriatas: troponin T, troponin I, dan troponin C. cTnT merupakan fragmen ikatan tropomiosin.

cTnT ditemukan di otot jantung dan otot skelet, kadar serum protein ini meningkat di

 penderita IMA segera setelah 3 sampai 4 jam mulai serangan nyeri dada dan menetap sampai

1 sampai 2 minggu.5

Bila penderita yang tidak disertai perubahan EKG yang karakteristik ditemui cTnT positif,

hal tersebut merupakan risiko serius yang terjadi dan terkait koroner. Dengan demikian cTnT

dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan keputusan terapi.5

Enzim jantung antara lain: CK dan CK-MB biasanya mulai meningkat 6 sampai 10 jam

setelah kerusakan sel miokardium. Puncaknya 14 sampai 36 jam dan kembali normal setelah48 sampai 72 jam. Di samping CK, CK-MB, aktivitas LDH muncul dan turun lebih lambat

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 5/15

melampaui kadar normal dalam 36 sampai 48 jam setelah serangan IMA, yang mencapai

 puncaknya 4 sampai 7 hari dan kembali normal 8–14 hari setelah infark.5

Pengidentifikasian penderita nyeri dada yang diduga IMA atau minor myocardial damage

(MMD) masih merupakan masalah sehari-hari. Perbedaan antara MMD dan sindroma non

kardio juga masih merupakan masalah yang tentunya berdampak pada siasat pengobatanuntuk masing-masing penderita.

Pengujian yang digunakan saat ini dengan mengukur enzim jantung seperti yang disebut di

atas, pada sejumlah kasus masih membuat diagnosis yang tidak jelas. Penderita masuk RS

(Gawat darurat) dengan nyeri dada kadang sudah disertai dengan komplikasi, sehingga awal

kerusakan miokardium tidak diketahui. Gabungan petanda IMA misalnya CK-MB dan

Troponin T adalah yang paling efektif bila awal kerusakan miokardium tidak diketahui.4

Menurut American Collage of Cardiology (ACC) kriteria untuk IMA ialah terdapat

 peningkatan nilai enzim jantung (CK-MB) atau troponin I atau Troponin T dengan gejala dan

adanya perubahan EKG yang diduga iskemia. Kriteria World Health Organization (WHO)

diagnosis IMA dapat ditentukan antara lain dengan: 2 dari 3 kriteria yang harus dipenuhi,yaitu riwayat nyeri dada dan penjalarannya yang berkepanjangan (lebih dari 30 menit),

 perubahan EKG, serta peningkatan aktivitas enzim jantung. 5

Sesuai dengan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni: (1)

Sakit dada, berupa APTS; (2) Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/NSTEMI dengan

atau tanpa gelombang Q patologik; (3) Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali

nilai batas atas normal), terutana CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik 

untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1–0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila

> 0,2 ng/dl. 4

Troponin T/I mulai meningkatkan kadarnya pada 3 jam dari permulaan sakit dada IMA dan

menetap 7–10 hari setelah IMA 18. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan prognosis. Di Eropa sudah menjadi

 pedoman untuk diagnosis maupun terapi agresif sampai dengan intervensi 1,20. Penelitian

PRISM juga menggunakan standar troponin-T/I pada pasien SKA risiko tinggi yang dicoba

dengan tirofiban (GPIIb/IIIa-I) 4

Pada sakit dada, apakah ruptur plak akan menyebabkan tanpa gejala, APTS,

 NSTEMI/STEMI, atau mati (jantung) mendadak tergantung pada: dalamnya ruptur, miliu

trombolitik, dan sirkulasi kolateral. 1,2,5

APTS dan NSTEMI adalah akibat oklusi total, sementara pembuluh koroner dengan reperfusi

spontan, sedangkan STEMI akibat dari oklusi trombotik yang menetap 4. Sebanyak 30–40%

SKA terjadi tanpa gejala yang dapat disadari pasien bahwa ia mempunyai penyakit jantung

iskemik ( PJI ) 1,2,3,4

Menifestasi klinik disrupsi plak tergantung pada derajat, lokasi, lamanya iskemi miokard, dan

cepatnya pembentukan trombi serta vasokonstriksi sekitar plak 1,2,3,4

Penanganan SKA

Oklusi total yang terjadi lebih dari 4–6 jam pada arteri koroner akan menyebabkan nekrosis

miokard yang irreversibel, dengan gambaran Q-MCI Namun, dengan terapi reperfusi yang

cepat dan adekuat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas 1,5,6

Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi:

1. Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi

atau sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.

2. Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD)dengan tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 6/15

 pemeliharaan fungsi jantung (miokard). 1,5,6

Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular (RIK), dengan lebih lanjut

memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara komplit dan cepat reperfusi

aliran darah daerah infark; dan (2) menurunkan risiko berulannya IMA dengan berbagai

terapi medikamentosa 1,5,6

Sebelum menindaklanjuti pengobatan SKA, Braunwald membagi klasifikasi APTS menjadi :1. Berat – ringannya SKA

o Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu

istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.

o Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu

istirahat.

o Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

2. Klinis

o Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam,

hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.

o Kelas B: Primer.

o Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA).3. Intensitas terapi

o Belum pernah diobati.

o Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium )

o Antiangina dan nitrogliserin intravena.

Tahap Awal dan Cepat Pengobatan Pasien SKA

1. Oksigenasi

Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard

yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan

 pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung. 1,5,6

2. Nitrogliserin (NTG)

Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg

), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan

dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik 

 jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke

miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload)

sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan

memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi

 pertanyaan). 1,5,6

3. Morphine

Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit

akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik;serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load

menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena

sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan 1,5,6

4. Aspirin

Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma

 bronkial) . Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah

 pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan

konstriksi arterial 1,5,6

Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin

menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan “The Antiplatelet Trialists Colaboration”

melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10%dan nonfatal IMA sebesar 30% 1,5,6

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 7/15

Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik “chewable” dari

 pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada

 pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian

GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,

infark miokard, dan berulangnya angina pectoris 1,5,6

5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, TiclopidineDerivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan

menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate)

 pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.

Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark 

miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang

 pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner 

dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis

rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil

yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan

menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati

efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada

minggu II – III. 1,5,6

Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun

tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila

dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap

1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah.

Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet

agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari .

1,5,6

Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )

menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk 

 pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product

Monograph New Plavix). 1,5,6

Penanganan SKA Lebih Lanjut

1. Heparin

Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa

efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin

mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat

merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg

 bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus

1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg 1,5,62. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)

Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan

dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose

 – independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi

 platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian

trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih

tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam

 pembentukan trombi dan aktivitasnya 1,5,6

Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin

untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg)

kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari : 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 8/15

3. Warfarin

Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang

dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian

Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak 

dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin 1,5,6

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya

dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI , bila diberikan bersama trombolitik 

akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V

membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA,

sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin

atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada

 perbedaan pada mortalitas 1,5,6,7

Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap

semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu

Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara

 peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelasmenurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak 

menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas 1,5,6,7

Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin 3,22 dan dapat digunakan untuk 

mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan IKP1,25,26. Banyak penelitian besar telah

dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun

 pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati

komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun

ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml

1,5,6,7

Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak 

terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena

Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat

dan menyokong terjadinya trombositopenia 1,5,6,7

Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada

 perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk 

 persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS 1,5,6,7

5. Direct Trombin Inhibitors

Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat

langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI

dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 1,5,6,7

6. Trombolitik Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat

menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan

 bagi kasus APTS dan NSTEMI 3. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi

dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien

mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru

yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-

PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-

PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,

namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja 1,5,6,7

7. Obat-obat Lain 1,5,6,7

Penghambat Beta Andrenergik Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik 

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 9/15

lebih lama; menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung; menghambat stimulasi

katekolamin; serta menurunkan pemakaian oksigen miokard.

Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta

mortalitas. Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial, atau

edema paru akut .

Antagonis KalsiumIntercep Study tidak melihat penurunan mortalitas dengan obat tersebut 4, namun dapat

digunakan pada APTS/NSTEMI jika ada kontraindikasi penghambat Beta adrenergik.

Diltiazem jangan diberikan pada disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif 

(GJK) 1,5,6,7

Penghambat Enzim Konversi Angiotensin 1,5,6,7

Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi 75 tahun), sebab

risiko kematian cukup tinggi dengan trombolitik 1,5,6,7

Kesimpulan

SKA ialah suatu kejadian koroner dengan mortalitas tinggi, perlu penanganan cepat, cermat ,

dan tepat, baik diagnostik maupun terapi noninvasif serta invasif.

Obat – obat baru telah banyak ditemukan dengan efektivitas lebih baik, namun perlu pemahaman indikasi, kontra indikasi, dan efek samping obat, dengan pemantauan yang

seksama agar tak terjadi hal-hal yang merugikan pasien, seperti adanya trombositopenia,

 perdarahan maupun ulkus lambung.

Pertimbangan biaya memang perlu diperhatikan, meski pertimbangan manfaat sama

efektifnya terhadap terapi maupun tindakan, namun yang lebih menguntungkan dan aman

 bagi pasien juga menjadi pemikiran para dokter.

DAFTAR PUSTAKA

1) Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000,

1387–97.

2) Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah

Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54

3) Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan

Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

4) R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA

SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology and

Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126

5) THOMASH. LEE, M.D.,ANDLEEGOLDMAN, M.D., M.P.H. EVALUATION OF THE

PATIENT WITH ACUTE CHEST PAIN. New England Medical Journal. 2000

6) Raymond J. Gibbons, M.D., and Valentin Fuster, M.D., Ph.D. Therapy for Patients with

Acute Coronary Syndromes —New Opportunities. New England Medical Journal. april 6,2006

7) Kyuhyun Wang, M.D., Richard W. Asinger, M.D., and Henry J.L. Marriott, M.D. ST-

Segment Elevation in Conditions Other Than Acute Myocardial Infarction. New England

Medical Journal. 2003

Manifestasi klinik penderita SKA dapat berupa : Angina Pektoris tidak Stabil (APTS),

Infark Miokard tanpa gelombang Q (Non Q MI) dan Infark Miokard Gelombang Q (Q MI).

Presentasi EKG meliputi : elevasi segment ST infark, depresi segmen ST dan gelombang T

atau EKG normal. Penderita dengan elevasi segmen ST sebagian besar akan menjadi Q MI.

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 10/15

Penderita dengan depresi segment SST akan berkembang menjadi APTS dan Non QMI atau

 Non ST Elevasi Infark Miokard (NSTEMI).

Tujuan obyektif pengobatan SKA adalah menstabilkan plak. Pada IMA elevasi

gelombang ST, obyektif pengobatan dalam menit sampai jam-jam pertama adalah membukaa

arteri sehingga terjaadi reperfusi. Pada pasien APTS dan IMA non elevasi segmen ST,

sasaran pengobatan adalah menstabilkan atau mem”pasif”kan lesi trombolitik yang aktif 

dalam periode beberapa jam sampai beberapa hari. Kemudian setelah dalam periode beberapa

 bulan sampai beberapa tahun, sasarannya adalah menyembuhkan lesi dengan menghindari

faktor resiko dan pengobatan hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes serta berhenti

merokok, sebagai usaha mengurangi terjadinya rupture plak koroner.

Infark Miokard Akut (IMA), adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot

 jantung terganggu.

Segera setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan

 penonjolan sistolik (Diskenesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup

(SV) dan peningkatan volume akhir sistolik dan diastolic ventrikel kiri.

Keluhan yang khas ialah nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan,

ditusuk, panas, atau ditindih benda berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya) kiri,

 bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Takikardi, kulit yang pucat, dingin,

dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat.

Pada IMA dengan gelombang Q mula-mula terjadi elevasi segmen ST yang konveks

 pada hantaran yang mencerminkan daerah IMA.

Pada IMA non Q tidak ada gelombang Q patologis, hanya dijumpai depresi segmen

ST dan inversi simetrik gelombang T.

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 11/15

Peningkatan kadar enzym atau isoenzym merupakan indikator spesifik IMA. Paa

IMA, enzym-enzym intrasel ini dikeluarkan ke dalam aliran darah. Kadar total enzym-enzym

ini mencerminkan luas IMA.

Pengobatan dengan obat trombolitik sebagai salah satu usaha reperfusi (Streptase, rt-

PA, APSAC) harus sudah dimulai dalam waktu 30 menit sejak pasien mulai diperiksa.

Pengobatan trombolitik memberi hasil yang baik bila diberikan dalam jangka waktu 6 jam

 pertama setelah serangan. Streptase bisa diberikan intrakoroner, tetapi yang lebih luas

 pemakaiannya adalah intravena.

 Definisi 

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk 

menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina

 pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau

infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI),

dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST

elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai

 patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui

 penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka

diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka

diagnosis adalah APTS.

Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak 

total ( patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan

vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrosis miosit

dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap

dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik,

 beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA

yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.

Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak 

aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Angina tidak stabil (UA) dan

infark miokard non-ST elevasi (NSTEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut

kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk trombosis koroner aliran darah ke daerah

miokardium. UA dan NSTEMI juga disebut sindrom koroner akut non-ST elevasi, untuk 

membedakan mereka dari akut infark miokard ST elevasi (STEMI). Dalam UA dan

 NSTEMI, tidak ditemukan ST elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG. Pada pasien

dengan MI akut, alasan mengapa gelombang Q atau menjadi oklusi koroner, berhubungan

dengan durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi,

serta letak pembuluh darah yang menentukan ukuran infark. Arteriografi koroner dilakukan

 pada 60-85% kasus, dalam periode akut NSTEMI menunjukkan bahwa infark arteri yang

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 12/15

terkait tidak tersumbat.2-5 Hal ini merupakan alasan terhadap kurangnya kemanjuran

fibrinolisis dalam gangguan ini.

Epidemiologi

Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa

kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI. Perbandingan antara SKA

dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju peningkatan NSTEMI dan UA relatif 

terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas mengenai perubahan ini.1,9 Perubahan dalam

 pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam

manajemen serta upaya pencegahan CAD selama 20 tahun terakhir.1,9 Secara keseluruhan,

dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit

untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan

yang jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum

yang terpusat.

Patogenesis

SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner (PJK),

salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral arterial 

disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat

kompleks dan multifaktor serta saling terkait.4

Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses

 pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti makrofag

yang mengandung  foam cells, lipid ekstraselular masif dan plak fibrosa yang mengandung

sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu

 proses inflamasi atau infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada

lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streaks, pembentukan fibrous cups dan lesi

lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali

 penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam proses

terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner, inflamasi dimulai dari pembentukan

awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya

ruptur plak dan trombosis pada SKA.4,6

Perjalanan proses aterosklerosis (inisiasi, progresi, dan komplikasi pada plak aterosklerotik),

secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak ( fatty streaks) pada permukaan lapis dalam

 pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis

(plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan atau

 penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan

subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu

 pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau

infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau

 progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang

 bersifat tidak stabil atau progresif yang dikenal juga dengan SKA.4,6

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 13/15

Gambar 1. Ilustrasi perjalanan proses aterosklerosis pada plak aterosklerosis5

Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat

di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung.4 Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis

arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan

lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh

darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet.

6

 Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh

darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem

fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.7

Patogenesis terkini SKA menjelaskan bahwa SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi

trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang rentan

mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau

rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang

tidak stabil dengan karakteristik inti lipid  besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak penuh

dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti limfosit T dan lain sebagainya. Tebalnya plak yang

dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografikoroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain,

risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat

 penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak.

Gambar 2. Perbandingan karakteristik plak yang stabil dan tidak stabil5

Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koroner)

mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan faktor jaringan) ke dalam aliran

darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk 

trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner 

total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak 

aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak 

sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien atau labil dan

menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi

menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 14/15

cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak 

seluruh lapisan miokard).4

Trombus yang terjadi dapat lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila

oklusi menetap dan tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard

mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yangterbentuk bersifat stabil dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara

tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.4

Trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya plak aterosklerotik 

yang rentan akibat fibrous caps yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah.

 Fibrous caps bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling

akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan

matriks ekstraselular akibat aktivitas matrix metalloproteinases (MMPs) yang menghambat

 pembentukan kolagen dan aktivitas sitokin inflamasi.4

Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peranyang sangat menentukan dalam proses patogenesis SKA, dimana kerentanan plak sangat

ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan

dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada

keadaan inflamasi terdapat peningkatan konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator 

 plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada

 pembuluh darah karena terganggunya aliran darah.4,6

Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA.

Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau

sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus

vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai

 Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, serta faktor kontraksi seperti

endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih

dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet  

dependent vasoconstriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, serta

thrombin dependent vasoconstriction yang diduga akibat interaksi langsung antara zat

tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.4,6

Referensi:

1. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for themanagement of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction:

a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task 

Force on Practice Guidelines 50:e1. Diunduh

dari: www.acc.org/qualityandscience/clinical/statements.htm (accessed September 18,

2007).

2. Gibler, WB. Evaluation of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med

1995; 123:315;.

3. Tatum, JL, Jesse, RL, Kontos, MC, et al. Comprehensive strategy for the evaluation

and triage of the chest pain patient. Ann Emerg Med 1997; 29:116. Ornato, JP.

4. Chest pain emergency centers: improving acute myocardial infarction care. Clin

Cardiol 1999; 22:IV3.

7/16/2019 nstemi 2

http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 15/15

5. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung

Koroner. Jakarta: Depkes RI; 2006.

6. Kalim H, et al. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI; 2008.p.3-7.

http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/50/7/e1