Upload
aulia-rahmawati-hasanin
View
115
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nstemi
Citation preview
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 1/15
Pendahuluan
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk
infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi
koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia. 1,2,3
Tahun 1980 adalah era berkembangnya metode pengobatan tersebut. Kemudian pada 1990
perhatian lebih difokuskan pada paradigma baru sindrom koroner akut (SKA) yangmencakup infark miokard dengan non ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil
( APTS). Sebelumnya hanya ditujukan untuk IMA dan agal jantung (GJ)1,2,3. Troponin T/I
masih merupakan “gold standard” untuk diagnosis maupun penanganan SKA sebagaimana
telah dilakukan di Eropa1,2,3
Konsep terapi baru untuk memperbaiki aliran darah koroner telah digunakan beberapa tahun
terakhir. Konsep terapi itu antara lain terapi trombolitik, antitrombotik, dan penghambat
reseptor glikoprotein IIb/IIIa yaitu “GP IIb/IIIa inhibitor”, meskipun pendekatan lama tidak
ditinggalkan, misalnya oksigenasi pasien, pemberian nitrogliserin (NTG), atau penghambat
beta adrenergik 1,2,3
Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis
rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas
angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST.
Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi
klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama
proses aterosklerosis.1,2,3
Yaitu suatu fase akut dari APTS yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST
elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang
terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil
(Vulnerable) 1,2,3
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas
tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering
ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous
cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3
Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan
secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan
dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark
miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat
patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3
Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkankejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu sindrom yang terdiri
dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-
elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau
pasca tindakan intervensi koroner perkutan. 1,2,3
Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena
mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang
merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan stenosis berta atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. 1,2,3
Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan denganelevasi ST adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 2/15
mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST
adalah trobus komplet/oklusif. 1,2,3
Proses terjadinya trombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow.
Antara lain akibat kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah
terganggu. Selanjutnya proses koagulasi berlangsung diawali dengan aterosklerosis,inflamasi, terjadi ruptur/fissura dan akhirnya menimbulkan trombus yang akan menghambat
pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi infark miokard
dengan elevasi ST segmen. Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya
unstable angina atau infark jantung akut tanpa elevasi segmen ST. 1,2,3
Epidemiologi
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika,
menderita
penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami
serangan infark
miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung
koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. 1
Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk
umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan
kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya
semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari
data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 diempat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985
sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan
persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus-menerus menempati urutan pertama di
antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai
36,1%. 2,3
Patofisiologi SKA
Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis, yang merupakan proses multifaktor. Kelainan ini
sudah mulai terjadi pada usia muda, yang diawali terbentuknya sel busa, kemudian pada usia
antara 10 sampai 20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan dan pada usia 40 sampai 50
tahun bercak perlemakan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik yang
dapat berkomplikasi menyulut pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa
infark miokardium maupun angina (nyeri dada).2,3
Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan pelepasan isi
granuler yang me- nyebabkan agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan akhirnya
pembentukan trombus. 3 Studi angioskopi telah membuktikan bahwa trombus penyebab
angina tidak stabil adalah trombus putih kaya platelet, berbeda dengan trombus merah kaya
fibrin dan eritrosit yang lebih menonjol pada infark miokard akut. 1,2,3
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan
platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini
terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque).
Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka tissuefactor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 3/15
complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi
trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’ 1,2,3
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinases, dan
sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut 6. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan
antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam
monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. 1,2,3
Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda
inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15%
pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif 6. Haidari dan kawan-
kawan meneliti hubungan antara serum CRP dengan penyakit jantung koroner (PJK) secara
angiografi terhadap 450 individu. Ternyata, secara bermakna kadar CRP dengan PJK lebih
tinggi daripada kontrol (2,14 mg/L dibanding 1,45 mg/L) dan hubungan tersebut menandakan
adanya proses inflamasi pada PJK . 1,2,3
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zatvasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi
disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak) 12. Disfungsi endotel ini dapat
disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif,
yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap
dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan
gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada
dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Grindling
dkk. mengobservasi bahwa angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang
poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan
makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh
darah sebagai aterogenesis yang esensial
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan
dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor
lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin) 1,2,3
Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan
migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic 1,2,3.
Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark 1,2,3
SKA yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis
yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis
– tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan
hemodinamik stress mekanik. 1,2,3
Adapun mulai terjadinya SKA, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni
aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin,
waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-
keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan
darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, danaliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 4/15
pencegahan dan terapi 1,2,3
DIAGNOSIS SKA
Berbagai cara telah digunakan untuk mengenali adanya PJK, mulai dari teknik non invasif
seperti elektrokardiografi (EKG) sampai pemeriksaan invasive seperti arteriografi koroner.8
Gambaran EKG abnormal terdapat di penderita IMA dengan ditemukannya ketinggian(elevasi) segmen ST dan adanya gelombang Q. Namun demikian, ketinggian (elevasi)
segmen ST dapat juga ditemukan di perikarditis, repolarisasi cepat yang normal, dan
aneurisma ventrikel kiri.1,2,3,4
Rekaman listrik jantung merupakan langkah diagnosis awal yang membedakan kedua
kelompok sindrom koroner akut yang mempunyai pendekatan terapi berbeda. Jika terjadi
peningkatan segmen ST, artinya terjadi infark miokard yang merupakan indikasi untuk
reperfusi segera. Pasien dengan peningkatan segmen ST biasanya mempunyai oklusi koroner
komplit pada angiografi, dan banyak dari pasien-pasien ini akhirnya menjadi infark miokard
gelombang Q, sedangkan pasien-pasien sindrom koroner akut tanpa peningkatan segmen ST
merepresentasikan suatu kelompok oklusi koroner trom- botik subtotal atau intermiten, dan kebanyakan akan mengalami angina tidak stabil, dan
berdasarkan kenaikan enzim jantung (CK-MB) dapat menjadi infark miokard tanpa
gelombang Q. 1,2,3,4
Berdasarkan terminologi baru sindrom koroner akut tanpa peningkatan segmen ST,
diperlukan marker biokimiawi troponin untuk pengelompokan lebih lanjut. Jika konsentrasi
enzim jantung atau troponin meningkat, artinya terjadi kerusakan sel yang irreversibel dan
kelompok pasien ini dapat dianggap mempunyai infark miokard sebagaimana definisi WHO.
Pedoman American College of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA)
menggunakan terminologi infark miokard dengan peningkatan segmen ST dan tanpa
peningkatan segmen ST, menggantikan terminologi infark miokard gelombang Q dan tanpa
gelombang Q yang kurang bermanfaat dalam perencanaan penalaksanaan segera. 4
Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan menggunakan test enzim
jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB (CKMB) dan laktat dehidrogenase
(LDH).11,12 Berbagai penelitian penggunaan test kadar serum Troponin T (cTnT) dalam
mengenali kerusakan miokardium akhir-akhir ini telah dipublikasikan.5
cTnT adalah struktur protein serabut otot serat melintang yang merupakan subunit troponin
yang penting, terdiri dari dua miofilamen. Yaitu filament tebal terdiri dari miosin, dan
filamen tipis terdiri dari aktin, tropomiosin dan troponin. Kompleks troponin yang terdiriatas: troponin T, troponin I, dan troponin C. cTnT merupakan fragmen ikatan tropomiosin.
cTnT ditemukan di otot jantung dan otot skelet, kadar serum protein ini meningkat di
penderita IMA segera setelah 3 sampai 4 jam mulai serangan nyeri dada dan menetap sampai
1 sampai 2 minggu.5
Bila penderita yang tidak disertai perubahan EKG yang karakteristik ditemui cTnT positif,
hal tersebut merupakan risiko serius yang terjadi dan terkait koroner. Dengan demikian cTnT
dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan keputusan terapi.5
Enzim jantung antara lain: CK dan CK-MB biasanya mulai meningkat 6 sampai 10 jam
setelah kerusakan sel miokardium. Puncaknya 14 sampai 36 jam dan kembali normal setelah48 sampai 72 jam. Di samping CK, CK-MB, aktivitas LDH muncul dan turun lebih lambat
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 5/15
melampaui kadar normal dalam 36 sampai 48 jam setelah serangan IMA, yang mencapai
puncaknya 4 sampai 7 hari dan kembali normal 8–14 hari setelah infark.5
Pengidentifikasian penderita nyeri dada yang diduga IMA atau minor myocardial damage
(MMD) masih merupakan masalah sehari-hari. Perbedaan antara MMD dan sindroma non
kardio juga masih merupakan masalah yang tentunya berdampak pada siasat pengobatanuntuk masing-masing penderita.
Pengujian yang digunakan saat ini dengan mengukur enzim jantung seperti yang disebut di
atas, pada sejumlah kasus masih membuat diagnosis yang tidak jelas. Penderita masuk RS
(Gawat darurat) dengan nyeri dada kadang sudah disertai dengan komplikasi, sehingga awal
kerusakan miokardium tidak diketahui. Gabungan petanda IMA misalnya CK-MB dan
Troponin T adalah yang paling efektif bila awal kerusakan miokardium tidak diketahui.4
Menurut American Collage of Cardiology (ACC) kriteria untuk IMA ialah terdapat
peningkatan nilai enzim jantung (CK-MB) atau troponin I atau Troponin T dengan gejala dan
adanya perubahan EKG yang diduga iskemia. Kriteria World Health Organization (WHO)
diagnosis IMA dapat ditentukan antara lain dengan: 2 dari 3 kriteria yang harus dipenuhi,yaitu riwayat nyeri dada dan penjalarannya yang berkepanjangan (lebih dari 30 menit),
perubahan EKG, serta peningkatan aktivitas enzim jantung. 5
Sesuai dengan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni: (1)
Sakit dada, berupa APTS; (2) Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/NSTEMI dengan
atau tanpa gelombang Q patologik; (3) Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali
nilai batas atas normal), terutana CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik
untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1–0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila
> 0,2 ng/dl. 4
Troponin T/I mulai meningkatkan kadarnya pada 3 jam dari permulaan sakit dada IMA dan
menetap 7–10 hari setelah IMA 18. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan prognosis. Di Eropa sudah menjadi
pedoman untuk diagnosis maupun terapi agresif sampai dengan intervensi 1,20. Penelitian
PRISM juga menggunakan standar troponin-T/I pada pasien SKA risiko tinggi yang dicoba
dengan tirofiban (GPIIb/IIIa-I) 4
Pada sakit dada, apakah ruptur plak akan menyebabkan tanpa gejala, APTS,
NSTEMI/STEMI, atau mati (jantung) mendadak tergantung pada: dalamnya ruptur, miliu
trombolitik, dan sirkulasi kolateral. 1,2,5
APTS dan NSTEMI adalah akibat oklusi total, sementara pembuluh koroner dengan reperfusi
spontan, sedangkan STEMI akibat dari oklusi trombotik yang menetap 4. Sebanyak 30–40%
SKA terjadi tanpa gejala yang dapat disadari pasien bahwa ia mempunyai penyakit jantung
iskemik ( PJI ) 1,2,3,4
Menifestasi klinik disrupsi plak tergantung pada derajat, lokasi, lamanya iskemi miokard, dan
cepatnya pembentukan trombi serta vasokonstriksi sekitar plak 1,2,3,4
Penanganan SKA
Oklusi total yang terjadi lebih dari 4–6 jam pada arteri koroner akan menyebabkan nekrosis
miokard yang irreversibel, dengan gambaran Q-MCI Namun, dengan terapi reperfusi yang
cepat dan adekuat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas 1,5,6
Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi:
1. Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi
atau sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.
2. Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD)dengan tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 6/15
pemeliharaan fungsi jantung (miokard). 1,5,6
Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular (RIK), dengan lebih lanjut
memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara komplit dan cepat reperfusi
aliran darah daerah infark; dan (2) menurunkan risiko berulannya IMA dengan berbagai
terapi medikamentosa 1,5,6
Sebelum menindaklanjuti pengobatan SKA, Braunwald membagi klasifikasi APTS menjadi :1. Berat – ringannya SKA
o Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu
istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
o Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu
istirahat.
o Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
2. Klinis
o Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam,
hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
o Kelas B: Primer.
o Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA).3. Intensitas terapi
o Belum pernah diobati.
o Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium )
o Antiangina dan nitrogliserin intravena.
Tahap Awal dan Cepat Pengobatan Pasien SKA
1. Oksigenasi
Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard
yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan
pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung. 1,5,6
2. Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg
), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan
dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik
jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke
miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload)
sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan
memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi
pertanyaan). 1,5,6
3. Morphine
Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit
akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik;serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load
menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena
sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan 1,5,6
4. Aspirin
Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma
bronkial) . Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan
konstriksi arterial 1,5,6
Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin
menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan “The Antiplatelet Trialists Colaboration”
melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10%dan nonfatal IMA sebesar 30% 1,5,6
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 7/15
Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik “chewable” dari
pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada
pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian
GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris 1,5,6
5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, TiclopidineDerivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate)
pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.
Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark
miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang
pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner
dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis
rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil
yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan
menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati
efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III. 1,5,6
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap
1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah.
Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet
agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari .
1,5,6
Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk
pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product
Monograph New Plavix). 1,5,6
Penanganan SKA Lebih Lanjut
1. Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa
efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin
mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat
merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg
bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus
1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg 1,5,62. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)
Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan
dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose
– independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi
platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih
tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam
pembentukan trombi dan aktivitasnya 1,5,6
Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin
untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg)
kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari : 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 8/15
3. Warfarin
Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang
dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian
Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak
dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin 1,5,6
4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI , bila diberikan bersama trombolitik
akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V
membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA,
sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin
atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada
perbedaan pada mortalitas 1,5,6,7
Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap
semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu
Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara
peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelasmenurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas 1,5,6,7
Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin 3,22 dan dapat digunakan untuk
mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan IKP1,25,26. Banyak penelitian besar telah
dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun
pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati
komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun
ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml
1,5,6,7
Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak
terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena
Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat
dan menyokong terjadinya trombositopenia 1,5,6,7
Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada
perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk
persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS 1,5,6,7
5. Direct Trombin Inhibitors
Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat
langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI
dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 1,5,6,7
6. Trombolitik Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat
menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan
bagi kasus APTS dan NSTEMI 3. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi
dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien
mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru
yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-
PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-
PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja 1,5,6,7
7. Obat-obat Lain 1,5,6,7
Penghambat Beta Andrenergik Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 9/15
lebih lama; menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung; menghambat stimulasi
katekolamin; serta menurunkan pemakaian oksigen miokard.
Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta
mortalitas. Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial, atau
edema paru akut .
Antagonis KalsiumIntercep Study tidak melihat penurunan mortalitas dengan obat tersebut 4, namun dapat
digunakan pada APTS/NSTEMI jika ada kontraindikasi penghambat Beta adrenergik.
Diltiazem jangan diberikan pada disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif
(GJK) 1,5,6,7
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin 1,5,6,7
Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi 75 tahun), sebab
risiko kematian cukup tinggi dengan trombolitik 1,5,6,7
Kesimpulan
SKA ialah suatu kejadian koroner dengan mortalitas tinggi, perlu penanganan cepat, cermat ,
dan tepat, baik diagnostik maupun terapi noninvasif serta invasif.
Obat – obat baru telah banyak ditemukan dengan efektivitas lebih baik, namun perlu pemahaman indikasi, kontra indikasi, dan efek samping obat, dengan pemantauan yang
seksama agar tak terjadi hal-hal yang merugikan pasien, seperti adanya trombositopenia,
perdarahan maupun ulkus lambung.
Pertimbangan biaya memang perlu diperhatikan, meski pertimbangan manfaat sama
efektifnya terhadap terapi maupun tindakan, namun yang lebih menguntungkan dan aman
bagi pasien juga menjadi pemikiran para dokter.
DAFTAR PUSTAKA
1) Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000,
1387–97.
2) Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah
Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54
3) Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan
Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004
4) R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA
SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126
5) THOMASH. LEE, M.D.,ANDLEEGOLDMAN, M.D., M.P.H. EVALUATION OF THE
PATIENT WITH ACUTE CHEST PAIN. New England Medical Journal. 2000
6) Raymond J. Gibbons, M.D., and Valentin Fuster, M.D., Ph.D. Therapy for Patients with
Acute Coronary Syndromes —New Opportunities. New England Medical Journal. april 6,2006
7) Kyuhyun Wang, M.D., Richard W. Asinger, M.D., and Henry J.L. Marriott, M.D. ST-
Segment Elevation in Conditions Other Than Acute Myocardial Infarction. New England
Medical Journal. 2003
Manifestasi klinik penderita SKA dapat berupa : Angina Pektoris tidak Stabil (APTS),
Infark Miokard tanpa gelombang Q (Non Q MI) dan Infark Miokard Gelombang Q (Q MI).
Presentasi EKG meliputi : elevasi segment ST infark, depresi segmen ST dan gelombang T
atau EKG normal. Penderita dengan elevasi segmen ST sebagian besar akan menjadi Q MI.
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 10/15
Penderita dengan depresi segment SST akan berkembang menjadi APTS dan Non QMI atau
Non ST Elevasi Infark Miokard (NSTEMI).
Tujuan obyektif pengobatan SKA adalah menstabilkan plak. Pada IMA elevasi
gelombang ST, obyektif pengobatan dalam menit sampai jam-jam pertama adalah membukaa
arteri sehingga terjaadi reperfusi. Pada pasien APTS dan IMA non elevasi segmen ST,
sasaran pengobatan adalah menstabilkan atau mem”pasif”kan lesi trombolitik yang aktif
dalam periode beberapa jam sampai beberapa hari. Kemudian setelah dalam periode beberapa
bulan sampai beberapa tahun, sasarannya adalah menyembuhkan lesi dengan menghindari
faktor resiko dan pengobatan hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes serta berhenti
merokok, sebagai usaha mengurangi terjadinya rupture plak koroner.
Infark Miokard Akut (IMA), adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot
jantung terganggu.
Segera setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sistolik (Diskenesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup
(SV) dan peningkatan volume akhir sistolik dan diastolic ventrikel kiri.
Keluhan yang khas ialah nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan,
ditusuk, panas, atau ditindih benda berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya) kiri,
bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Takikardi, kulit yang pucat, dingin,
dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat.
Pada IMA dengan gelombang Q mula-mula terjadi elevasi segmen ST yang konveks
pada hantaran yang mencerminkan daerah IMA.
Pada IMA non Q tidak ada gelombang Q patologis, hanya dijumpai depresi segmen
ST dan inversi simetrik gelombang T.
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 11/15
Peningkatan kadar enzym atau isoenzym merupakan indikator spesifik IMA. Paa
IMA, enzym-enzym intrasel ini dikeluarkan ke dalam aliran darah. Kadar total enzym-enzym
ini mencerminkan luas IMA.
Pengobatan dengan obat trombolitik sebagai salah satu usaha reperfusi (Streptase, rt-
PA, APSAC) harus sudah dimulai dalam waktu 30 menit sejak pasien mulai diperiksa.
Pengobatan trombolitik memberi hasil yang baik bila diberikan dalam jangka waktu 6 jam
pertama setelah serangan. Streptase bisa diberikan intrakoroner, tetapi yang lebih luas
pemakaiannya adalah intravena.
Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina
pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau
infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI),
dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai
patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka
diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS.
Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak
total ( patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan
vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrosis miosit
dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap
dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik,
beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA
yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.
Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak
aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Angina tidak stabil (UA) dan
infark miokard non-ST elevasi (NSTEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut
kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk trombosis koroner aliran darah ke daerah
miokardium. UA dan NSTEMI juga disebut sindrom koroner akut non-ST elevasi, untuk
membedakan mereka dari akut infark miokard ST elevasi (STEMI). Dalam UA dan
NSTEMI, tidak ditemukan ST elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG. Pada pasien
dengan MI akut, alasan mengapa gelombang Q atau menjadi oklusi koroner, berhubungan
dengan durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi,
serta letak pembuluh darah yang menentukan ukuran infark. Arteriografi koroner dilakukan
pada 60-85% kasus, dalam periode akut NSTEMI menunjukkan bahwa infark arteri yang
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 12/15
terkait tidak tersumbat.2-5 Hal ini merupakan alasan terhadap kurangnya kemanjuran
fibrinolisis dalam gangguan ini.
Epidemiologi
Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa
kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI. Perbandingan antara SKA
dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju peningkatan NSTEMI dan UA relatif
terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas mengenai perubahan ini.1,9 Perubahan dalam
pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam
manajemen serta upaya pencegahan CAD selama 20 tahun terakhir.1,9 Secara keseluruhan,
dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit
untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan
yang jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum
yang terpusat.
Patogenesis
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner (PJK),
salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral arterial
disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat
kompleks dan multifaktor serta saling terkait.4
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses
pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti makrofag
yang mengandung foam cells, lipid ekstraselular masif dan plak fibrosa yang mengandung
sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu
proses inflamasi atau infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada
lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streaks, pembentukan fibrous cups dan lesi
lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali
penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam proses
terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner, inflamasi dimulai dari pembentukan
awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
ruptur plak dan trombosis pada SKA.4,6
Perjalanan proses aterosklerosis (inisiasi, progresi, dan komplikasi pada plak aterosklerotik),
secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak ( fatty streaks) pada permukaan lapis dalam
pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis
(plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan atau
penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan
subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu
pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau
infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang
bersifat tidak stabil atau progresif yang dikenal juga dengan SKA.4,6
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 13/15
Gambar 1. Ilustrasi perjalanan proses aterosklerosis pada plak aterosklerosis5
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat
di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung.4 Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis
arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan
lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh
darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet.
6
Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh
darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem
fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.7
Patogenesis terkini SKA menjelaskan bahwa SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi
trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang rentan
mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau
rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang
tidak stabil dengan karakteristik inti lipid besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak penuh
dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti limfosit T dan lain sebagainya. Tebalnya plak yang
dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografikoroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain,
risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat
penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak.
Gambar 2. Perbandingan karakteristik plak yang stabil dan tidak stabil5
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koroner)
mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan faktor jaringan) ke dalam aliran
darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk
trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner
total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak
aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak
sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien atau labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi
menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 14/15
cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak
seluruh lapisan miokard).4
Trombus yang terjadi dapat lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila
oklusi menetap dan tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard
mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yangterbentuk bersifat stabil dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara
tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.4
Trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya plak aterosklerotik
yang rentan akibat fibrous caps yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah.
Fibrous caps bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling
akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan
matriks ekstraselular akibat aktivitas matrix metalloproteinases (MMPs) yang menghambat
pembentukan kolagen dan aktivitas sitokin inflamasi.4
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peranyang sangat menentukan dalam proses patogenesis SKA, dimana kerentanan plak sangat
ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan
dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada
keadaan inflamasi terdapat peningkatan konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator
plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada
pembuluh darah karena terganggunya aliran darah.4,6
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA.
Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau
sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus
vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai
Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, serta faktor kontraksi seperti
endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih
dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet
dependent vasoconstriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, serta
thrombin dependent vasoconstriction yang diduga akibat interaksi langsung antara zat
tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.4,6
Referensi:
1. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for themanagement of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction:
a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines 50:e1. Diunduh
dari: www.acc.org/qualityandscience/clinical/statements.htm (accessed September 18,
2007).
2. Gibler, WB. Evaluation of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med
1995; 123:315;.
3. Tatum, JL, Jesse, RL, Kontos, MC, et al. Comprehensive strategy for the evaluation
and triage of the chest pain patient. Ann Emerg Med 1997; 29:116. Ornato, JP.
4. Chest pain emergency centers: improving acute myocardial infarction care. Clin
Cardiol 1999; 22:IV3.
7/16/2019 nstemi 2
http://slidepdf.com/reader/full/nstemi-2 15/15
5. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner. Jakarta: Depkes RI; 2006.
6. Kalim H, et al. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI; 2008.p.3-7.
http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/50/7/e1