72
1 NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING CONSTITUTION) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: BENING SETARA BULAN NIM:11150480000001 PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H/2019M

NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

1

NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING

CONSTITUTION) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA

PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004

TENTANG SUMBER DAYA AIR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

BENING SETARA BULAN

NIM:11150480000001

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440H/2019M

Page 2: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

i

NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING

CONSTITUTION) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA

PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004

TENTANG SUMBER DAYA AIR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

BENING SETARA BULAN

NIM:11150480000001

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440H/2019M

Page 3: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

ii

Page 4: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

iii

Page 5: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

iv

Page 6: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

v

ABSTRAK

Bening Setara Bulan NIM 11150480000001 NILAI-NILAI YANG

HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING CONSTITUTION) DALAM

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA

AIR. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1440 H / 2019 M. vii + 57 halaman + 4 halaman daftar pustaka.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis konsep Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai The Living

Constitution di dalam sebuah putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian

Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA). Putusan pengujian UU SDA

memiliki dua putusan yang berbeda yang diakibatkan oleh tafsiran hakim

Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UUD

NRI 1945. Hakim menyandarkan tafsirannya terhadap nilai perkembangan

masyarakat terutama terhadap nilai sumber daya air. Hal tersebut di satu sisi telah

mengakibatkan ketidakpastian hukum namun di sisi lainnya termasuk ke dalam

upaya hakim menyelaraskan kaidah hukum konstitusi sebagai living constitution

agar sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Metode Penelitian ini menggunkan jenis penelitian yuridis dengan

mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal yang

berhubungan dengan penelitian ini dan menggabungkan dengan unsur empiris

yang terjadi di lapangan dengan menganalisis putusan MK.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penerapan konsep konstitusi

sebagai living constitution oleh MKadalah sebagai upaya hakim dalam mengambil

langkah judicial activism pada perkara yang berkaitan erat dengan perkembangan

masyarakat sehingga dapat terciptanya keadilan substantif bagi masyarakat yang

lebih luas dibandingkan dengan keadilan formalistik dan hanya menguntungkan

sebagian kelompok.

Kata Kunci : The Living Constitution, Mahkamah Konstitusi.

Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.

Daftar Pustaka : Tahun 1985 sampai dengan 2014

Page 7: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Constitution)

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Sumber Daya Air”. Sholawat serta salam

penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu‟Alayhi wa Sallam, yang

telah membawaumat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang

benderang ini.

Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan

bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini

peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam

pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia

meluangkan waktu dan memberikan arahan dalam membimbing peneliti dalam

penulisan skripsi ini.

4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti

mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

vii

5. Pihak-pihak lainnya yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini

terutama keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan terbaik selama

masa pendidikan

Peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu

peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari Allah

SWT.Peneliti menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. namun, peneliti berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan

manfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 26September 2019

Bening Setara Bulan

Page 9: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

viii

DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………. ...... i

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN…………………………… ........ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar belakang Masalah ............................................................ 1

B. Indentifikasi, Pembatasan dan Peumusan Masalah ................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7

D. Metode Penelitian...................................................................... 7

E. Sistematika Penelitian ............................................................... 10

BAB II PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW)

MAHKAMAH KONSTITUSI ...................................................... 12

A. Kerangka Konseptual ............................................................... 12

1. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

Pengertian Doktrin Business Judgement Rule ................... 12

2. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang

(Judicial Review) Oleh Mahkamah Konstitusi .................. 16

B. Kerangka Teori.......................................................................... 20

1. Teori Konstitusi ................................................................. 20

2. Teori Judicial Activism ..................................................... 21

3. Teori Hukum Progresif ...................................................... 24

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 26

Page 10: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

ix

BAB III ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN

MK PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER

DAYA AIR ...................................................................................... 27

A. Duduk Perkara ........................................................................... 27

B. Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (The Living

Constitution) .............................................................................. 28

C. Kaidah Hukum Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

UUD NRI 1945 Sebagai The Living Constitution Dalam

Perkara Pengujian UU SDA ..................................................... 31

BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR ...... 34

A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan MK Pada

Perkara Pengujian UU SDA .................................................... 34

1. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan ............ 34

2. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan MK Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 Dan Nomor

008/PUU-III/2005 .............................................................. 36

3. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Hakim

Dalam Putusan Pengujian UU SDA ................................. 39

4. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan MK Nomor

85/PUU-XI/2013 ................................................................ 42

B. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Sebagai The Living Constitution Dalam Putusan MK Pada

Perkara Pengujian UU SDA ..................................................... 46

1. Konstitusional Bersyarat Dalam Putusan MK Tentang

Pengujian UU SDA ........................................................... 46

2. Perluasan Kewenangan MK Sebagai Langkah

Judicial Activism ................................................................ 52

Page 11: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

x

BABV PENUTUP ....................................................................................... 55

A. Kesimpulan ............................................................................... 55

B. Rekomendasi ............................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 59

Page 12: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk

selanjutnya disebut UUD NRI 1945 telah mengamanatkan bahwa Indonesia

merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Salah satu prinsip dari

negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya perlindungan konstitusional

terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan

penegakannya melalui proses yang adil.1

Sehingga sebuah aturan dapat

dikatakan sebagai aturan yang baik dalam sebuah negara hukum apabila

mengandung prinsip-prinsip perlindungan terhadap masyarakat dan

penegakannya sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam UUD NRI 1945.

Lembaga legislatif adalah pihak kekuasaan yang membuat aturan atau

Undang-Undang, lembaga eksekutif adalah pihak kekuasaan yang

menjalankan Undang-Undang, dan lembaga yudikatif adalah pihak kekuasaan

yang mengadili atas pelanggaran aturan hukum atau Undang-Undang.2 Hal ini

yang disebut sebagai konsep Trias Politica dalam sebuah sistem

ketatanegaraan untuk mewujudkan prinsip saling mengendalikan dan saling

mengimbangi satu sama lain (check and balances) agar tidak adanya

pemusatan kekuasaan sehingga tidak terjadinya tindakan yang melanggar

hukum seperti kesewenang-wenangan dari para pemangku kekuasaan. Senada

dengan Lord Acton yang pernah mengatakan bahwa “power tends to corrupt,

but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang mempunyai

kekuasaan cenderung akan menyalahgunakan kekuasaannya).3

1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &

Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 123-128. 2 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 85.

3 Widiyati, Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan,

(Yogyakarta: Genta Publisihing, 2015), h. 68-69.

Page 13: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

2

Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

berkedudukan sebagai salah satu lembaga yudikatif yang memiliki objek

perkara ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang

merdeka dibentuk untuk dapat menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi di

Indonesia, sehingga Mahkamah Konstitusi mengemban tugas sebagai the

guardian of the constitution (pengawal konstitusi). Mahkamah Konstitusi

berkewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada hak-hak konstitusional

setiap warga negara yang terciderai akibat berlakunya suatu aturan atau

Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagai

pengawal konstitusi dilekatkan kewenangan untuk melakukan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 atau yang dikenal dengan judicial

review. Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan judicial review

melakukan penafsiran konstitusi yang bertujuan menyelaraskan agar setiap

Undang-Undang memiliki jiwa yang tidak bertentangan dengan semangat

UUD NRI 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi juga disebut sebagai the sole

interpreter of the constitution (lembaga tunggal penafsir konstitusi).

Proses legislasi dalam membentuk konstitusi tidak bisa sempit dan

hanya dimaknai sebatas UUD NRI 1945 semata karena nilai konstitusi jauh

lebih kompleks dari sekedar Undang-Undang Dasar namun konstitusi

mengandung makna berisi nilai-nilai yang harus digali oleh hakim didalam

memutus suatu perkara pada kasus judicial review. Penafsiran konstitusi yang

dilakukakn oleh Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lentera dalam

gelapnya suatu norma dimana penafsiran ini untuk memperjelas, membuat

terang, dan memberikan kepastian terhadap norma yang selama ini buram.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran sebagai pengawal dan

penafsir tunggal konstitusi, dan didalam konstitusi terdapat pasal 33 yang

merupakan grundnorm dari perekonomian nasional, maka Mahkamah

Konstitusi memiliki peran yang penting untuk memastikan sektor

perekenomian nasional telah sesuai dengan jalur yang telah disepakati

Page 14: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

3

bersama oleh seluruh bangsa. Diharapkan pula pemerintah sebagai pelaksana

konstitusi dan Undang-Undang memiliki political will (kehendak politik) yang

baik dalam kegiatan penyelenggaraan negara serta menjamin supremasi dan

kepastian hukum.4

Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945 telah menggariskan

ketentuan tentang sumber daya alam Indonesia, termasuk dalam sektor

perairan. Hukum perairan berkaitan erat dengan hak asasi manusia atas air itu

sendiri. Pengakuan hak asasi manusia atas sumber daya alam terutama air

telah menjadi fokus penting dunia sejak Tahun 1990-an. Di Indonesia, pada

tanggal 19 Februari 2004 DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-

Undang Sumber Daya Air menjadi sebuah Undang-Undang baru. Rancangan

Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 18 Maret

2004 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377 untuk

selanjutnya disebut UU SDA.

UU SDA yang telah dibentuk untuk menggantikan aturan lama

mengenai perairan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974

Tentang Pengairan dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 65 dan Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 3046,

ternyata memiliki materi muatan yang menuai protes dalam masyarakat

terutama dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa dari

mereka mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang kepada

Mahkamah Konstitusi karena Undang-Undang a quo dinilai telah melanggar

hak konstitusional masyarakat atas air.

UU SDA telah diajukan untuk dilakukan permohonan pengujian

Undang-Undang lebih dari satu kali oleh masyarakat. Melalui putusan Nomor

4B. Arief Sidharta, „Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum‟, Jentera (Jurnal Hukum)

Pusat Studi dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3 Tahun II, November 2004, h.124-125.

Page 15: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

4

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 Mahkamah

Konstitusi menolak permohonan pengujian UU SDA dan dengan pengujian

selanjutnya yaitu putusan nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi

mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang a quo dan

mengeluarkan putusan untuk membatalkan keseluruhan UU SDA.

Pembatalan UU SDA merupakan suatu peristiwa yang monumental

dalam proses hukum ketatanegaraan Indonesia karena melalui putusan

Mahkamah Konstitusi merupakan kali kedua Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan yang membatalkan keseluruhan Undang-Undang

melalui pengujian materi norma.5 Permasalaham privatisasi dan komersialiasi

yang menjadi sorotan utama dalam UU SDA menjadi isu yang menarik di era

modern dan industrialisasi sekarang ini dalam kerangka kepentingan nasional

dan kedaulatan sebuah negara.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi dan pentingnya air

sebagai sumber kehidupan manusia, maka regulasi terhadap sumber daya air

menjadi urgensi yang harus segera diselesaikan. Persoalan tidak hanya sampai

pada adanya regulasi yang bersifat mengatur namun regulasi tersebut harus

berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia lebih. Terjadinya pembatalan

Undang-Undang secara keseluruhan oleh pihak yudikatif, dalam hal ini

Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan judicial review,

menandakan bahwa pihak legislatif telah gagal dalam mengakomodir hak-hak

konstitusional rakyat Indonesia kedalam sebuah Undang-Undang.

Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi yang

diharapkan dapat menghadirkan keadilan dan kebermanfaatan justru

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam putusan. Mahkamah Konstitusi di

dalam putusannya memberikan penafsiran yang berbeda mengenai “hak

menguasai negara” terhadap sumber daya alam Indonesia. Perbedaan itu

5 Ibnu Sina Chandranegara, „Ultra Petita dan Jalan Menuju Keadilan Konstitusional‟,

Jurnal Konstitusi, Vol. 9 No. 1, 2012, h. 36.

Page 16: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

5

terletak pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 tentang pengujian UU SDA dengan putusan Nomor

36/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga mengakibatkan pula perbedaan pada

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian

kembali UU SDA sehingga antarputusan dalam pengujian UU SDA memiliki

amar putusan yang berbeda. Perbedaan ini dapat berdampak pula pada kondisi

ekonomi nasional baik secara mikro maupun makro. Gustav Radburch seorang

filsuf Jerman memberikan pandangannya bahwa suatu putusan itu didalamnya

haruslah mengandung idée des recht atau cita hukum, yakni; unsur keadilan

(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid), dan kemanfaatan

(zweekmasigkeit).6

Disisi lain hakim Mahkamah Konstitusi dianggap melakukan judicial

activism terhadap perkara pengujian UU SDA. Mahkamah Konstitusi

berusaha menyelaraskan UU SDA dengan semangat nilai UUD NRI 1945

sehingga menjadikan konstitusi Indonesia menjadi nilai-nilai yang sesuai

dengan perkembangan masyarakat (the living constitution). Hakim dalam

memutus sebuah perkara harus menyadari pula bahwa setiap kurun waktu

dalam sejarah memberikan kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan

mempengaruhi kerangka pemikiran hingga muatan kepentingan yang berbeda

pula.7Hakim dalam pengujian UU SDA menyesuaikan kebermanfaatan dan

nilai atas sumber daya air sesuai dengan perkembangan masanya dengan

tujuan agar UUD NRI 1945 menjadi konstitusi yang bersifat „prospective‟

yakni konstitusi yang dapat mengartikulasikan cita-cita atau keinginan ideal

masyarakat yang dilayaninya.8

6 Fence M. Wantu, „Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim‟, Jurnal Berkala

Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3, 2007, h.395. 7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &

Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h.30. 8 Jimly Asshiddiqie, Gagasam Kedaulatan RakAyatdalam Konstitusi dan Pelaksanannya

di Indoneisa, (Jakarta:Ichtiar Baru V an Hoeve, 1994), h. 3.

Page 17: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

6

Berkenaan dengan perbedaan sudut pandang di atas peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul “NILAI-NILAI YANG

HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING CONSTITUTION) DALAM

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG

SUMBER DAYA AIR”.

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalahdiatas terdapat beberapa

permasalahan dalam penelitian yang dapat diidentifikasi, diantaranya :

a. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tunggal penafsir konstitusi

menjadi lembaga yang super power yang mengakibatkan inkonsistensi

putusan.

b. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi yang

memutus berdasarkan nilai-nilai konstitusional bukan nilai-nilai sosial

yang selalu berubah seiring perkembangan zaman.

c. Pengaruh living constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

d. Independensi dan kebebasan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan

penafsiran konstitusional sesuai dengan UUD NRI 1945.

2. Pembatasan Masalah

Studi tentang putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sangat luas

maka agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan yang

dimaksud, peneliti membatasinya pada ruang lingkup penelitian yaitu

mengenai analisa living constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi

pada pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air ditinjau dari kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

peradilan konstitusi (court of law) dan pertimbangan hukum hakim.

Page 18: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

7

3. Perumusan Masalah

Fokus utama penelitian ini adalah aspek living constitution dalam

putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, untuk membantu memahami

perumusan masalah maka dapat dijabarkan pertanyaan penelitian sebagai

berikut :

a. Apa pertimbangan hukum hakim yang menjadikan putusan dalam

perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air menjadi berbeda antar putusannya ?

b. Bagaimana pengaruh aspek nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

(living constitution) dalam putusan perkara pengujian Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah

Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi (court of law) ?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami substansi dan aspek living

constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara

pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air.

b. Untuk mengidentifikasi pertimbangan hakim dalam perkara pengujian

Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2. Manfaat Penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan sebuah pemahaman dalam

menanggapi masalah hukum, khususnya tentang analisis terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan

bagi lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia, khususnya

Page 19: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

8

Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan dan konsekuensi hukum

dari analisis putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

D. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu

hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sehingga

dibutuhkan kemampuan mengidentifikasi masalah hukum, menganalisis

masalah dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut.9

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

hukum yuridis. Dalam pendekatan hukum yuridis yang dilakukan adalah

mengkaji peraturan perundang-Undangan (statute approach), buku-buku,

dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan penelitian ini dan

menggabungkan dengan unsur-unsur empiris yang terjadi di lapangan

dengan menganalisis putusan pada perkara pengujian Undang-Undang

yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi.10

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum kualitatif. Penelitian

kualitatif menggunakan jenis dan analisa yang bersifat naratif. Prespektif

subjektif lebih ditonjolkan dalam jenis penelitian ini.Landasaran teori juga

dimanfaatkan untuk memberikan panduan agar fokus penelitian sesuai

dengan fakta dilapangan dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.11

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013), h.60. 10

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

Rajawali, 1985), h. 15. 11

Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 23.

Page 20: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

9

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu

data-data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier.12

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

yang artinya bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat

yang meliputi peraturan perundang-Undangan, catatan-catatan resmi

atau risalah dalam pembuatan Undang-Undang dan putusan-putusan

hakim.13

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan data yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder

memuat segala keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yang

terdiri atas buku-buku.Jurnal-jurnal hukum, pendapat para ahli huku,

dan yurisprudensi.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.14

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Cara pengolahan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini

yaitu secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari sebuah

permasalahan yang bersifat umum terhadap sebuah permasalahan yang

12

Sedarmayanti dan Syarifuddin HidAyat, Metodeologi Penelitian, (Bandung: Mandar

Maju, 2002), h.108. 13

Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141. 14

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodeologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2008), h. 296.

Page 21: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

10

bersifat konkret. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan

hukum tersier beserta bahan bahan hukum lain akan diperoleh dari riset

kepustakaan (library research) dan dihubungkan satu sama lain kemudian

dianalisis dan dikaji secara komprehensif berdasarkan permasalahan yang

dirumuskan untuk mendapatkan sebuah jawaban dan kesimpulan.

5. Teknik Penulisan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penulisan

sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif HidAyatullah

Jakarta, 12 februari Tahun 2017.

E. Sistematika Penelitian

Untuk dapat menuangkan hasil penelitian dalam bentuk penulisan

yang benar dan tersistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika

penulisan sebagai berikut;

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahulu yang isinya antara lain memuat

latar belakang masalah, indentifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW)

OLEH MAHKAMAH KONTITUSI

Dalam bab ini akan dibahas mengenai lembaga Mahkamah

Konstitusi dan kewenangan pengujian Undang-Undang (Judicial

Review) oleh Mahkamah Konstitusi secara konseptual dan teoritik.

Page 22: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

11

BAB III : ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR

Dalam bab ini akan membahas duduk perkara, nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat dan konsep UUD NRI 1945 sebagai the

living constitution.

BAB IV : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR

Dalam bab ini membahas analisis putusan Mahkamah Konstitusi

pada perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air dari sudut pandang konsep UUD NRI

1945 sebagai the living constitution.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan

rekomendasi dari peneliti.

Page 23: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

12

BAB II

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW) OLEH

MAHKAMAH KONSTITUSI

a. Kerangka Konseptual

a. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari prinsip

supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk tetap menjaga

tegaknya supremasi konstitusi sebagai pengadilan khusus guna menjamin

kesesuaian aturan hukum dalam sebuah negara.Pendapat Hans Kelsen

yang dikutip oleh Maruarar Siahaan bahwa konstitusi harus dianggap dan

diperlaukan superior dari Undang-Undang biasa sehingga gagasan

pembentukan Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) tersebut

selanjutnya dimasukkan dalam Konstitusi Austria 1920.1 Sejak saat itulah

dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di

luar Mahkamah Agung yang secara khusus menangani judicial review dan

perkara-perkara konstitusional lainnya.2

Gagasan Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-Undang sejalan

dengan gagasan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin dalam sidang

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (sekarang disebut

Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang

dengan Undang-Undang Dasar, yang mana selanjutnya pendapat Balai

Agung disampaikan kepada Presiden yang selanjutnya melalukan aturan

pembatalan.3

1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011), h. 3. 2

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

(Jakarta: Kompress, 2005), h. 29. 3 Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku IV tentang Kekuasaan Kehakiman, 2010, h. 17-18.

Page 24: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

13

Gagasan yang diusung oleh Muhammad Yamin pada saat itu

disanggah oleh Soepomo karena menurutnya hakim tidak boleh menilai

dan menguji Undang-Undang produk legislatif sementara hakim tugasnya

adalah menerapkan Undang-Undang bukan menilai Undang-Undang.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa doktrin ini diwarisi atas pengaruh

Belanda, karena dalam sistem hukum Belanda ada doktrin bahwa Undang-

Undang memang tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya atas dasar itulah

Soepomo tidak menerima gagasan menguji Undang-Undang oleh

Mahkamah Agung.4 Saat ini Mahkamah Konstitusi di golongkan sebagai

„court of law‟ (peradilan konstitus/peradilan hukum) berbeda dengan

Mahkamah Agung yang di golongkan sebagai „court of justice‟ (peradilan

keadilan/peradilan sosial).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga

negara yang terbentuk setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap

UUD NRI 1945. Amandemen ketiga UUD 1945 dilakukan perubahan

pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan menghasilkan pasal

24C yang terdiri atas 6 Ayat. Pasal 24C ini merupakan penjabaran dari

pasal 24 Ayat (2) yang juga telah mengalami perubahan. Adanya pasal 24

Ayat (2) maka terjadilah perubahan yang cukup penting dalam susunan

kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah perubahan UUD 1945, selain

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, kekuasaan

kehakiman juga dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan

mengenai Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI 1945 disebutkan dalam

Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD NRI 1945.

Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945 tersebut baik Mahkamah

Agung maupun Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara, yaitu sebagai

4 Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), h. 4.

Page 25: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

14

pelaku kekuasaan kehakiman dalam tugas yang berbeda dan wewenangnya

masing-masing.5 Hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai court of law

membawa harapan untuk mewujudkan keadilan yang belum terakomodir

dalam kekuasan kehakiman Indonesia, yaitu beberapa persoalan bangsa

yang awalnya tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, kini dapat

diafirmasi oleh Mahkamah Konstitusi.6

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

dengan Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan

Lembaran Negara RI Nomor 5226 untuk selanjutnya disebut UU MK di

dalamnya diatur secara khusus yang dikatakan sebagai 4 kewenangan

konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban

konstitusional (constitutional obligation) dari Mahkamah Konstitusi:7

1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945.

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD NRI 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus sengketa tentang hasil Pemilu.

5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga

telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

5 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur Ketatanegaraan

Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret”,

www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 2, dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019. 6 Bambang Sutiyoso, „Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia‟, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, h. 26. 7 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur Ketatanegaraan

Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret”,

www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 1, dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019.

Page 26: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

15

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI

1945.

Pasal 10 UU MK menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final dan mengikat. Bahkan dalam Pasal 47 UU MK ditegaskan

bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan

bersifat erga omnes yang berlaku bagi semua pihak tidak hanya pihak

yang berperkara. Selain itu putusan Mahkamah Konstitusi tidak

membutuhkan eksekusi oleh Mahkamah Konstitusi, karena secara

otomatis putusan tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh pihak sebagai

bukti ketundukan dan kepatuhan kepada konstitusi.8

Seluruh kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi

oleh UUD NRI 1945 telah dijabarkan oleh UU MK, maka Mahkamah

Konstitusi diharapkan mampu mengeluarkan putusan-putusan yang

berkaitan dengan upaya untuk mencapai kedua tujuan kembar yaitu untuk

mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara

demokrasi berdasarkan hukum.9

2. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang (Judicia Review)

Oleh Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan tanda bahwa telah hadirnya

sebuah lembaga yang mampu menguji substansi hingga prosedur

pembuatan Undang-Undang yang tidak terakomodir pada masa orde lama

hingga orde baru sehingga hak-hak konstitusional warga negara yang

8 Patrialis Akbar, Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2013), h. 182. 9 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,

(Jakarta: Sekretariat Jendeal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI, 2008), h. 9.

Page 27: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

16

terdapat dalam UUD NRI 1945 dan demokrasi dapat terlindungi dari

kemungkinan potensi negatif atas pembentukan Undang-Undang yang

ingin mereduksi prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia, dan

substansi demokrasi.10

Pengujian Undang-Undang atau yang disebut judicial review

bermula dari dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat

atas kasus Marbury vs Madison Tahun 1803. Pada saat itu John Marshal

yang bertindak sebagai hakim membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act

1789 karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.

Pada saat itu tidak ada suatu aturan yang memberikan kewenang judicial

review kepada Mahkamah Agung, akan tetapi hakim Marshal berpendapat

bahwa putusan tersebut adalah kewajiban konstitusional untuk menjaga

dan menjunjung tinggi supremasi konstitusi.11

Dalam teori jenjang Hukum dari Hans Nawiasky yang menyatakan

bahwa 'staatsfundamentalnorm' (norma dasar) sebagai norma dasar

tertingg yang harus menjadi acuan norma hukum dibawahnya sehingga

apabila timbul permasalahan norma atau Undang-Undang dibawah norma

dasar bertentangan dengan 'staatsfundamentalnorm'12

sehingga harus

dibentuk mekanisme tersendiri untuk membenahi penyimpangan yang

terjadi yaitu dengan judicial review.

Terdapat tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control

mechanism), yaitu :13

1. Pengaturan (Regeling)

10

Ni'matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h. 1-2. 11

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2010) h. 5. 12

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu PerUndang-UndanganDasar-Dasar

Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 28. 13

Jimly Asshiddiqie, Modem-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

(Jakarta: Kompress, 2005), h.1.

Page 28: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

17

2. Penetapan (Beschikking)

3. Penghukuman (Vonis)

Tiga norma tersebut dapat diuji kebenarannya oleh lembaga

peradilan yang disebut sebagai judicial review, yang pada awalnya

kewenangan untuk melakukan judicial review seluruh norma dan produk

aturan hukum hanya diberikan Mahkamah Agung sebagai lembaga

yudikatif.14

Namun dengan begitu menumpuknya perkara judicial review

ditambah dengan perkara-perkara sosial lainnya yang memang menjadi

kewenangan absolut dari Mahkamah Agung, maka dalam perkembangan

dibentuklah Mahkamah Konstitusi. Objek yang menjadi kewenangan yang

dapat dilakukan judicial reviewoleh Mahkamah Konstitusi adalah terhadap

norma Undang-Undang sedangkan Mahkamah Agung dalam perkara

judicial review hanya memiliki kewenangan judicial review peraturan

perundang-Undangan dibawah Undang-Undang.

Para pemohon pengujian Undang-Undang wajib untuk

menguraikan dengan jelas permohonannya. Teori tentang pengujian

(toetsing) yang diatur lebih lanjut dalam UU MK telah membedakan

pengujian menjadi dua jenis yaitu:15

1. Pengujian Materiil (Materiil Toetsing)

Pengujian materiil yaitu pengujian Undang-Undang yang dilakukan atas

materinya, yang dimaksud dengan materi muatan Undang-Undang itu,

isi Ayat, pasal dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu Undang-

Undang. Akibat dari pengujian materiil ini Mahkamah Konstitusi dapat

menyatakan norma tertentu dalam Undang-Undang yang diujikan tidak

14

Ishar Helmi, „Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah

Konstitusi‟, Salam; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, Vol. 6 No. 1, 2019, h. 98. 15

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), h. 57-63.

Page 29: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

18

mempunyai kekuatan hukum mengikat sementara norma lainnya tetap

berlaku sebagaimana adanya hingga membatalkan secara keselurahan

Undang-Undang yang diujikan tersebut. Contoh di dalam praktik adalah

pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan dan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber daya Air yang beberapa pasal jantung dari Undang-

Undang a quo dinyatakan bertentang dengan UUD NRI 1945 dan

keseluruhan Undang-Undangnya dibatalkan. Apabila yang dinyatakan

bertentang dengan konstitusi hanya pasal yang diajukan saja maka

niscaya Undang-Undangnya sebagai keseluruhan akan menjadi rusak

dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari.

2. Pengujian Formil (Formeele Toetsing)

Pengujian formil yaitu pengujian Undang-Undang yang mempersoalkan

segi-segi form, format dan formulasi serta proses pembentukan yang

tidak mengikat secara prosedur konstitusional sebagaimana yang

seharusnya. Pengujian formil dapat dikatakan pula sebagai pengujian

atas proses pembentukan (by process). Pengujian atas proses

pembentukan Undang-Undang tidak hanya dalam arti sempit,

melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Contohnya Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya

yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena

pemberlakuan Undang-Undang a quo setelag adanya Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa Undang-Undang tersebut seharusnya

dicabut oleh Undang-Undang yang baru.

Dalam mekanisme pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah

Konstitusi di dalamnya terdapat pengujian konstitusional untuk menilai

Page 30: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

19

apakah norma dalam suatu Undang-Undang selaras atau tidak dengan

UUD NRI 1945. Terdapat beberapa alat pengukur atau penilai untuk

menguji konstitusionalitas yaitu16

:

a. Naskah UUD NRI 1945 yang resmi tertulis.

b. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD NRI

1945, seperti risalah, keputusan, ketatapan MPR, Undang-Undang

tertentu, peraturan taa-tertib dan lain-lain.

c. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang

telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan

dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara.

d. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan

perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai

kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Hakim melakukan pengujian konstitusional dalam perkara judicial

review melalui metode penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah

Konstitusi disebut sebagai the sole interpreter of the constitution, karena

proses legislasi dalam membentuk konstitusi tak bisa sempit dan hanya

dimaknai sebatas UUD NRI 1945 semata karena nilai konstitusi jauh lebih

kompleks dari sekedar Undang-Undang Dasar dan konstitusi mengandung

makna berisi nilai-nilai yang harus digali oleh hakim didalam memutus

suatu perkara.Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode

penemuanhukum yang memberi penjelasan mengenai teks Undang-Unang

agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa

tertentu.17

16

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), h. 8.

17

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 13

Page 31: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

20

b. Kerangka Teori

1. Teori Konstitusi

Menurut Brian Thompson yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie

bahwa secara sederhana pertanyaan: „what is a constitution‟ dapat dijawab

“… a constitution is a document which contains the rules for the

operation of an organization”18

. Bahwa organisasi yang dimaksud adalah

segala perkumpulan dan perserikatan membutuhkan adanya sebuah naskah

dasar sebagai konstitusi.Bagi organisasi yang berbentuk badan hukum

(legal entity), kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis merupakan sebuah

keniscayaan.19

Negara sebagai sebuah organisasi masyarakat terbesar pada

umumnya memiliki naskah dasar yang disebut sebagai konstitusi atau

Undang-Undang Dasar.

Menurut E.CS Wade Undang-Undang Dasar adalah naskah yang

memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan

pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja

badan-badan tersebut. Bahwa dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur

dalam sebuah Undang-Undang Dasar.20

Teori konstitusi menghendaki bahwa setiap negara terbentuk atas

hukum dasar (basic norm) atau yang disebut konstitusi. Menurut Djoko

Soetono ada tiga hal yang diberikan kepada konsepsi konstitusi, yaitu:21

a. Konstitusi dalam arti materiil (constitutite in materiele zin)

b. Konstitusi dalam arti formil (constitutite in formele zin)

18

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &

Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 15. 19

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &

Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 16. 20

Dahlan Thaib, Jazim Hamii dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 7-9. 21

Mariyadi Faqih, „Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final dan

Mengikat‟, .Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, 2010, h. 99.

Page 32: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

21

c. Konstitusi dalam arti di dokumentasikan untuk kepentingan

pembuktian dan kesatuan rujukan (constitutite in gedocumenteerd voor

bewijsbaar en stabiliteit).

Mahkamah Konstitusi yang dalam konstitusi Indonesia telah

ditetapkan sebagai sebuah lembaga peradilan konstitusi (court of law),

Mahkamah Konstitusi mendasarkan keputusannya pada ukuran-ukuran

yang sesuai dengan konstitusi dalam melakukan penafsiran konstusi pada

sebuah perkara yang dimohonkan kepadanya.

2. Teori Judicial Activism

Hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan

konstitusi yang memiliki kewenangan mahkota berupa pengujian Undang-

Undang, muncul perdebatan mengenai peran hakim itu sendiri dalam

pengujian konstitusionalitas Undang-Undang. Dalam konteks hakim

membuat aturan hukum (judges making law) dalam proses pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang dilekatkan pandangan aktivisme

yudisiil (judicial activism). Sebuah pandangan mengenai bagaimana hakim

memaknai konstitusi atau dapat disebut juga sebagai cara hakim dalam

melakukan penemuan hukum.

Aharon Barak menjelaskan bahwa judicial activism merupakan

„judicial discretion‟ yang lahir akibat kompleksitas permasalahan yang

harus diselesaikan oleh pengadilan tanpa adanya hukum (dalam arti formal)

yang memadai. Makna diskresi ini juga lazim dalam pengambilan

keputusan di Indonesia.Diskresi dilakukan dalam hal-hal belum adanya

peraturan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu

masalah tersebut menuntut penyelesaian dengan segera.22

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 152.

Page 33: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

22

Langkah hakim dalam melakukakan judicial activism dapat berupa:23

a. Penemuan hukum (rechtsvinding) apabila tidak terdapat Undang-

Undang yang mengatur mengenai sebuah permasalahan, namun

dikarenakan kebutuhan hakim harus menemukan aturan hukumnya

maka dilakukanlah upaya penemuan hukum.

b. Penafsiran hukum (interpretation) apabila terhadap suatu masalah

telah terdapat ketentuan hukumnya namun diperlukan upaya

penyelesaian diluar ketentuan konservatif (tekstual) yaitu secara lebih

progresif. Penafsiran konstitusi merupakan sebuah tindakan luar biasa

atau progresif dalam upaya memaknai konstitusi berdasarkan

pandangan personal seorang hakim terhadap kebenaran yang

diyakininya.

Sementara itu menurut K.C. Wheare, dalam beberapa kasus

wewenang pengadilan untuk menafsirkan konstitusi berasal dari konstitusi

atau dari watak fungsi kehakiman.24

Pasal 24 UUD NRI 1945 kekuasaan

kehakiman bertujuan untuk menegakan hukum dan keadilan

dimasyarakat.Sehingga hakim seringkali melakukan judicial activism

untuk memecahkan kebuntuan hukum.Dalam kerangka konsep judicial

activism hakim tidak hanya sebagai negative legislature namun tidak

menutup kemungkinan pula sebagai positive legislature untuk memenuhi

porsi keadilan dimasyarakat.

Disisi lain, pemahaman judicial restraint yang menjadi lawan dari

pada judicial activism muncul dari persepsi ajaran pemisahan kekuasaan

dalam konsep ketatanegaraan. Pandangan judicial restraint umumnya

23

Feri Amsary, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik

Indonesia Melalui Keputusan MK, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 85. 24

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 153.

Page 34: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

23

merupakan doktrin yang memberikan pembatasan terhadap kewenangan

pengadian, terdapat tiga pembatasan yakni:25

a. Pembatasan terhadap kewenangan atau yurisdiksi pengadilan melalui

norma-norma di dalam konstitusi (constitutional limitation).

b. Pembatasan kebijakan internal pengadilan (policy limitation/self-

restraint).

c. Pembatasan berdasarkan doktrin-doktrin tertentu.

Pada dasarnya, judicial activism dan judicial restraint muncul dari

kesadaran bahwa „perubahan‟ merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu

tatanan masyakat namun keduanya tidak dapat dijadikan dasar untuk

melegitimasi sebuah putusan.Putusan pengadilan mendapatkan

legitimasinya hanya ketika pengadilan memutus berdasarkan hukum.26

Meskipun begitu judicial activism dan judicial restraint haruslah

ditempatkan secara tepat dalam konteks peran hakim dan pelaksanaan

fungsi pengadilan.

3. Teori Hukum Progresif

Penafsiran yang dilakukan oleh hakim dalam melihat sebuah aturan

hukum pada umumnya menggunakan dua pola, yaitu yang pertama adalah

original intent atau yang biasa disebut penafsiran berdasarkan tekstual

meaning dengan mengandalkan kekuatan teks pada aturan hukum, dan

yang kedua adalah non-original intent atau biasa disebut dengan

penafsiran berdasarkan contextual meaning dengan bertumpu kepada

keadaan kehidupan masyarakat dimana hukum itu diterapkan.

25

Wicaksana Dramanda, „Menggagas Penerapan Judicial Restraint di Mahkamah

Konstitusi‟, Jurnal Konstitusi, Vol.11 No. 4, 2014, h. 621. 26

Bagir Manan, Menegakan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat

Indonesia, 2009), h. 171.

Page 35: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

24

Kata progesif berasal dari progressif yang berati adalah

kemajuan.Maksudnya adalah bahwa hukum diharapkan mampu untuk

mengikuti perkembangan manusia, mampu menjawab perubahan zaman

dengan segala dasar yang ada didalamnya, serta mampu melayani

masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya dari

penegak hukum itu sendiri.27

Oleh karena itu hukum menjadi hidup dan

dinamis tidak diam ataupun mati (living constitution).

Hukum progresif memiliki karakteristik yang membedakannya

dengan aliran hukum lain.28

Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan

manusia untuk hukum. Dimana hukum bukan menjadi objek yang sentral,

melainkan manusia lah yang menjadi pusat dari perputaran

hukum.Sehingga yang terjadi bukan mengusahakan bahkan memaksakan

manusia untuk masuk kedalam skema hukum melainkan hukum harus

bekerja dengan rumusan hukum yang telah membatasi perbuatan-

perbuatan manusa dalam suatu skema atau standar tertentu.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo

dalam berhukum.Dimana dengan dengan mempertahankan status quo

bahwa jika suatu aturan hukum telah merumuskan seperti itu, maka

manusia hanya menjalankannya saja, tidak dapat berbuat banyak kecuali

hukumnya dirubah terlebih dahulu.

Ketiga, Apabila suatu peradaban hukum akan memunculkan akibat

dan risiko, maka cara pandang hukum sebaiknya juga mengantisipasi

tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan

hukum tertulis. Sehingga hukum tidak hanya semata memberikan sanksi

melakinkan juga mencegah dari apa yang dilarang.

27

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), h.

ix. 28

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 139-147.

Page 36: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

25

Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap

peranan perilaku manusia dalam hukum bahwa dengan melibatkan

manusia atau perbuatan manusia dalam hukum akan mengatasi stagnasi

dalam sebuah aturan hukum, karena pada dasarnya law has not been logic,

but it has been experience.

Pada studi hukum ketatanegaraan dikenal pula theory of living

constitution sebagai bagian dari cara pandang hukum progresif. The living

Constitution adalah pandangan yang menganggap konstitusi itu hidup,

tumbuh atau bergerak. Menyandarkan bahwa penafsiran kosnstitusi pada

kondisi tertentu bahwa konstitusi itu bersifat dinamis. Pandangan ini

berpendapat bahwa dokumen dari penyusun konstitusi adalah sisa dari

kondisi masa lalu yang berkembang dimasyarkat, yang menekankan

bahwa dalam menafsirkan konstitusi yang perlu diutamakan adalah

perkembangan masyarakat saat ini.29

c. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi yang disusun oleh Iin Fitriyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Walisongo Semarang dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber

Daya Air”. Skripsi ini membahas tentang analisis putusan MK nomor

85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU Sumbe Daya Air dalam kerangka

konsep hukum islam pendekatan Maqãsid asy-Syarĩ‟ah sementara penulis

membahas putusan yang sama dari sudut pandang konsep hukum

progresif.30

2. Skripsi yang disusun oleh Afnanul Huda, Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif HidAyatullah Jakarta dengan judul “Konsepsi Penguasaan

29

Feri Amsary, Perubahan UUD 1945, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 88. 30

Iin Fitriyah, Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian UU SDA, (Semarang: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Walisongo, 2018).

Page 37: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

26

Negara Atas Sumber Daya Air Dalam Perspektif Islam Analisis putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

008/PUU-III-2005 tentang Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.

Skripsi ini membahas tentang perbedaan tafsir Mahkamah Konstitusi

dalam hal konsep penguasaan negara atas sumber daya air yang ditinjau

dari perspektif hukum islam sementara penulis menganalisis perbedaan

tafsir Mahkamah Konstitusi dalam konsep penguasaan negara dari sudut

pandang UUD NRI 1945 sebagai living constitution.31

3. Jurnal yang ditulis oleh Irfan Nur Rachman, Pusat Penelitian dan

Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi dan

Komunikasi MK RI dengan judul “Implikasi Hukum Putusan MK Tentang

Pengujian Konstitusionalitas UU SDA”. Jurnal ini membahas tentang

implikasi hukum yang ditimbulkan dari dikeluarkannya putusan

Mahkamah Konstitusi pada pengujian UU SDA yang membatalkan secara

keseluruhan Undang-Undang tersebut sementara penulis menganalisis

faktor yang mengakibatkan munculnya perbedaan putusan Mahkamah

Konstitusi pada pengujian UU SDA.32

31

Afnanul Huda, Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011).

32 Irfan Nur Rachman, Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pengujian UU SDA,

(Jakarta: MK RI, 2015).

Page 38: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

27

BAB III

ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA

AIR

A. Duduk Perkara

Pada Tahun 2004 DPR RI dan Pemerintah mengesahkan sebuah

Undang-Undang sebagai aturan hukum dalam pengelolaan air di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dibentuk

sebagai langkah dalam menggantikan aturan lama mengenai perairan di

Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan.

Aturan mengenai perairan diperbaharui karena nilai sumber daya air semakin

penting bagi kehidupan manusia. Hak asasi manusia atas air telah menjadi

perhatian dunia sejak Tahun 1990 hingga sekarang pembahasan hak asasi

manusia atas air terus berkembang. Dalam mengimbangi perkembangan dunia

atas nilai terhadap air sehingga sebuah Undang-Undang dan peraturan lainnya

dibentuk untuk mengatur pengelolaan atas perairan di Indonesia.

Air yang termasuk dalam unsur lingkungan perlu dilindungi oleh

negara sehingga diperlukan penegakkan hukum atas air. Penegakan hukum

lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan

(regulatory chain) , perencanaan (policy planning) tentang lingkungan, yang

urutannya sebagai berikut:1

1. Perundang-Undangan (legislation, wet en regelgeving)

2. Penentuan standar (standard setting, norm setting)

3. Pemberian izin (licencing, vergunning verening)

4. Penerapan (implementation, uitvoering)

5. Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)

1 Andi Hamzah, Penegakkan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 48-

49.

Page 39: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

28

UU SDA dibentuk sebagai aturan untuk melindungi sumber daya air

yang menggantikan aturan lama namun pada kenyataannya mengandung

materi muatan yang menuai protes dalam masyarakat terutama dari kalangan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa dari mereka mengajukan

permohonan pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi karena

Undang-Undang a quo dinilai telah melanggar hak konstitusional masyarakat

atas air dengan mengandung nilai-nilai privatisasi dan komersialisasi. UU

SDA diajukan untuk dilakukan permohonan pengujian Undang-Undangoleh

Mahkamah Konstitusi lebih dari satu kali oleh masyarakat. Melalui putusan

Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian UU SDA dengan

kondisi konstitusional bersyarat yaitu Undang-Undang a quo akan tetap

dinyatakan konstitusional apabila aturan pelaksananya yang akan dibentuk

sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi dan membuka celah

pengujian kembali terhadap Undang-Undang a quo apabila aturan

pelaksananya tidak sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi.

Sehingga Undang-Undang a quo diajukan kembali dengan putusan

selanjutnya yaitu putusan nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi

mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang a quo dan

mengeluarkan putusan untuk membatalkan keseluruhan UU SDA karena

peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana Undang-Undang a quo telah

nyata tidak sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi dan

mengandung nilai-nilai privatisasi dan komersialisasi atas sumber daya air.

B. Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (The Living Constitution)

Nilai dalam bahasa Inggris disebut value dan dalam bahasa latin disebut

velere yang memiliki pengertian berguna, berdaya, berlaku, bermanfaat, dan

Page 40: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

29

menjadi keyakinan menurut seseorang atau sekelompok orang2

Setiap

masyarakat dalam sebuah peradaban dapat dipastikan memiliki nilai-nilai

yang menjadi keyakinan bagi mereka dan bermanfaat untuk mengatur

kehidupan baik secara individu maupun dalam hubungan

bermasyarakat.Sumber nilai ada dua yakni:3

1. Nilai Ilahi

Nilai Ilahi adalah nilai yang difitrahkan Tuhan melalu para rasul

yang berbentuk iman, takwa, adil, yang terdapat dalam wahyu Ilahi. Nilai

Ilahi disebut juga nilai-nilai agama. Nilai Ilahi mengandung sifat

fundamental menjadi petunjuk manusia dalam menjalani seluruh

kehidupannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Isra Ayat 9

sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)

yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang

Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala

yang besar,

2. Nilai Insani

Nilai insani merupakan nilai-nilai hasil kesepakatan manusia dalam

bermasyarakat. Nilai-nilai insani kemudian melembaga dan menjadi tradisi

turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.

Nilai insani dapat berbentuk nilai susila, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai

teoritikal, nilai kekuasaan maupun sebuah kaidah hukum. Nilai hasil

2 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2012), h. 56. 3 Abduk Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111.

Page 41: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

30

kesepakatan manusia ini menjadi batasan bagaimana seseorang bersikap

dalam masyarakat agar hubungan antar individu berjalan sesuai kehendak

masyarakat. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Hujurat Ayat 13

yang menjelaskan tentang makhluk sosial.

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Nilai yang bersifat abstrak menjadi kenyataan pada suatu perbuatan

manusia atau masyarakat yang diwujudkan oleh sebuah norma. Dalam

kehidupan bernegara norma-norma dasar dituangkan dalam konstitusi

sebagai kesepakatan final cita-cita luhur bangsa. Nilai atau norma dapat

juga dijadikan sebagai landasan bagi suatu perubahan bagi masyarakat

maupun seluruh bangsa.

C. Kaidah Hukum Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), Dan Ayat (4) UUD NRI 1945

Sebagai The Living Constitution Dalam Perkara Pengujian UU SDA

Melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU SDA

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU SDA tidak konstitusional.

Dengan tafsiran hakim dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi

menempatkan UUD NRI 1945 sebagai living constitution agar dapat

menyeimbangkan dan mengikuti perkembangan nilai ekonomi air yang

semakin meningkat sehingga Mahkamah Konstitusi dapat melindungi

masyarakat agar tidak terciderai hak-hak konstitusionalnya atas air.

Page 42: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

31

Pada saat permohonan pengujian UU SDA dilakukan pada Tahun 2004

keadaan pada kurun waktu Tahun 2000 hingga Tahun 2005 sedang marak

sekali bermunculan brand atau merek air minum dalam kemasan yang beredar

dipasaran yang dijual oleh perusahaan-perusahaan lokal. Pertumbuhan

ekonomi masyarakat yang semakin meningkat pasca reformasi menjadi faktor

penting pula dalam menjamurnya merek air minum dalam kemasan yang

dijual. Sumber daya air yang tadinya hanya sebatas memiliki nilai fungsi

sosial berubah menjadi memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Peraturan

pemerintah yang semestinya menjadi aturan pelaksana dari Undang-Undang

yang mengatur tentang produksi dan peredaran air di Indonesia nyatanya telah

mengandung muatan-muatan komersialisasi yang dirasa telah menciderai nilai

air sebagai hak publik (res commune).4

Undang-Undang sumber daya air telah beberapa kali diajukan, pada

putusan pertama yaitu putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005 hakim pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim

untuk merumuskan Putusan Nomor yang pada amar putusannya adalah

menyatakan untuk menolak permohonan pemohon, terdapat dua orang hakim

Mahkamah Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)

mengenai konstitusionalitas Undang-Undang a quo. Hakim Konstitusi A.

Mukhtie Fadjar dan Maruarar Siahaan menyatakan bahwa terdapat beberapa

pasal yang pada dasarnya telah nyata bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3)

dan Ayat (4) UUD NRI 1945. Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air

yang dilegitimasi oleh UU SDA tidak hanya bertentangan dengan semangat

dan jiwa konstitusi namun tidak sejalan pula dengan apa yang pernah

ditafsirkan Mahkamah Konstitusi mengenai konsep penguasaan sumber daya

alam oleh negara yang tercantum di dalam perkara Nomor 01-021-022/PUU-

4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 258.

Page 43: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

32

I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang

Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya dalam kurun waktu 1 Tahun kemudian

UU SDA dengan permohonan yang sama diajukan kembali untuk diuji dan

diputus berbeda dari putusan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini

menandakan ketika putusan dihasilkan hanya dari pendekatan tekstual, maka

putusan tersebut akan dipertanyakan dan dikritik sebagai putusan yang tidak

memiliki jiwa dan semangat keadilan. Oleh karena itu hakim dalam

memutuskan sebuah perkara tidak hanya melihat teks UUD NRI 1945 semata

namun harus menyesuaikan dengan kehendak konstitusional sesuai kebutuhan

perkembangan zaman.

Sebuah konstitusi, sebagai nilai-nilai yang sangat dasar dan general

yang harus digali oleh penafsiran para hakim agar dapat diterapkan dalam

masyarakat sehingga apabila hakim konstitusi tidak melakukan langkah

judicial activism dalam perkara-perkara yang sangat berkaitan erat dengan

perkembangan masyarakat, maka hukum hanya akan menjadi sebuah mesin

yang sifat kerja nya adalah kaku.5

Di dalam mencapai sebuah keadilan

tentunya tidak bisa hanya dibatasi melalui suatu koridor positivisme hukum

namun harus dapat dimaknai pula di dalam desain progresifisme hukum.

Sehingga di era sekarang ini hakim justru dituntut untuk hadir melalui

pendekatan-pendekatan progresifismenya dan untuk menegakkan keadilan

konstitusi demi terwujudnya the living constitution.

Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-

III/2005 dengan putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 memiliki amar putusan

yang berbeda. Perbedaan tersebut akibat hakim menafsirkan konstitusi

khususnya Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UUD NRI 1945 pada

perkara pengujian UU SDA sebagai living constitution. Sejalan dengan

5 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas. 2007), h. 140.

Page 44: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

33

Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum akan terus-menerus

dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak melepaskan dirinya

terhadap medan ilmu yang selalu bergeser.6 Oleh karena itu putusan tersebut

dapat menjadi kaidah yang memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan

menciptkan keadilan yang substansial.

6 Faizal, Menerobos Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Rangka Education, 2010), h. 45.

Page 45: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

34

BAB IV

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR

A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan MK Pada Perkara

Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air

1. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Pengadilan

Putusan hakim dalam peradilan adalah pernyataan seorang hakim

dalam memutus sebuah perkara didalam persidangan dan memiliki

kekuatan hukum tetap.Putusan hakim merupakan upaya menemukan

hukum dan menetapkan bagaimanakah sehurusnya menurut hukum suatu

perstiwa itu terjadi. Dalam membuat putusan, hakim mempertimbangkan

aspek yuridis, filosofis dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai

dalam putusan tersebut adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan

hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan

masyarakat (social justice).53

Isi putusan hakim dalam peradilan telah diatur

dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman dengan Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor

157 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076 bahwa putusan

pengadilan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Memuat alasan-alasan atau pertimbangan.

2. Memuat dasar putusan seperti pasal tertentu dari peraturan perundang-

Undangan yang bersangkutan atau hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar mengadili.

3. Harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan

panitera yang ikut serta dalam persidangan.

53

Mahkamah agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct) Kode Etik Hakim

dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), h. 2.

Page 46: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

35

Hakim diberikan kewenangan untuk mengambil suatu kebijaksaan

dalam mengeluarkan putusan dalam memutus perkara.Bagi hakim dalam

menyelesaikan suatu perkara yang terpenting bukanlah hukumnya karena

hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), melainkan mengetahui

secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang

sebenarnya yang nantinya dijadikan alasan pertimbangan serta dasar

sebuah putusan. Diharapkan putusan pengadilan benar-benar menciptakan

kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, sehingga hakim yang

melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara

yang sebenarnya dan peraturan hukum yang diterapkan.54

Pertimbangan hakim atau ratio decidendi adalah alasan yang

digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum dan menjadi dasar

dalam memutus sebuah perkara. Menurut Ranuhandoko ratio decidendi

didefinisikan sebagai keputusan dewan hakim yang didasarkan oleh fakta-

fakta materi.55

Di dalam proses beracara di peradilan hakim akan menarik

fakta-fakta dalam persidangan yang merupakan konklusi dari keterangan

para saksi, terdakwa, dan alat bukti. Fakta materiil menjadi fokus hakim

dalam mencari dasar hukum yang tepat untuk diterapkan pada fakta kasus

tertentu.56

Fungsi ratio decidenci atau legal reasoning adalah sebagai sarana

merepresentasikan pokok pemikiran tentang konflik hukum antara

seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan pemerintahan

terhadap kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk

menjadi replika atau duplika percontohan, terutama menyangkut baik

54

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara MK RI-Upaya Membangun Kesadaran dan

Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan

Dipertahankan Melalui MK, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 117. 55

I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika,

2003), h. 475. 56

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HukumCetakan Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2007), h.

119.

Page 47: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

36

danburuknya sistem penerapan dan penegakan, aparatur hukum, dan

lembaga peradilan.57

2. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005

Permohonan pengujian UU SDA terdiri dari 5 berkas berkas

permohonan dengan Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004,

059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-

III/2005. Dalam putusan hakim mengatakan permohanan ini bersifat ad-

informandum yaitu permohonan yang mempunyai kepentingan terhadap

pasal-pasal yang sama denganyang telah dimohonkan sebelumnya,

sehingga permohonan diajukan untuk memperkuat dalil, argumentasi yang

telah dimohonkan oleh pemohon sebelumnya.

Pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon dalam pengujian Undang-

Undang a quo diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 9 Ayat (1) Pasal 29 Ayat (5),

Pasal 40 Ayat (4) dan Ayat (7), Pasal 45 Ayat (3) dan Ayat (4), Pasal

46 Ayat (2) UU No.7 Tahun 2004 yang dianggap bertentangan dengan

jiwa dan semangat Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) UUD NRI

1945 yang anti penjajahan, yang mengutamakan persatuan dan

kedaulatan, kemakmuran rakyat dan mengutamakan demokrasi

ekonomi.

2. Pasal 6 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (3) dan Ayat 4 dan Pasal 40 Ayat (1)

UU No.7 Tahun 2004 yang dianggap bertentangan dengan prinsip-

prinsip hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 18B Ayat (2),

Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28E

57

Abraham Amos H.F, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, (Jakarta: PT Grafindo

Persada, 2007), h. 34.

Page 48: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

37

Ayat (1), Pasal 28I Ayat (4), Pasal 28A, Pasal 28H Ayat (1), Pasal 34

Ayat (3) UUD 1945.

3. Pasal 91, 92 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UU No.7 Tahun 2004

yang dianggap membatasi upaya hukum warga negara dan bersifat

diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C

Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat

(2) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi menanggapi permohonan para pemohon

dalam putusannya bahwa hak manusia atas air termasuk kedalam hak asasi

manusia yang fundamental. Pertimbangan hakim mengenai hak asasi

manusia atas air yaitu bahwa air merupakan bagian yang sangat penting

dari kehidupan manusia, maka menurut hakim posisi negara dalam hal ini

yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan

memenuhinya (to fulfill) kebutuhan dasar manusia terhadap air.

Selanjutnya Pemenuhan hak atas air dibebankan menjadi tanggung jawab

negara dan Mahkamah mewajibkan negara untuk menjamin agar setiap

orang dapat memenuhi kebutuhan akan air. Dari Pertimbangan hakim

tersebut maka kehadiran Undang-Undang yang mengatur air dan

pemanfaatan air sangatlah relevan.

Selanjunya, pemohon mendalilkan bahwa dalam Pasal 80 Ayat (1)

UU SDA mengandung prinsip “pemanfaat air membayar biaya jasa

pengelolaan sumber daya air”. Sementara hakim Mahkamah Konstitusi

berpandangan lain, bahwa hakim menafsirkan yang dimaksud dengan

membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air ialah pemanfaat air

membayar sejumlah biaya untuk jasa pengelolaan sumber daya air bukan

untuk biaya air yang dipakai. Hakim dalam hal ini melihat UU SDA yang

didalilkan oleh pemohon bersifat bersifat komersial adalah keliru.

Selain itu pasal yang dimohonkan yaitu pasal 1 angka 14, pasal 8

UU SDA yang menjabarkan mengenai Hak Guna Pakai Air dan pasal 7

Page 49: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

38

Ayat (1) yang menjabarkan tentang Hak Guna Usaha Air, menurut hakim

hak-hak yang telah dirumuskan tersebut merupakan sebuah penghormatan

dan perlindungan terhadap hak asasi atas air, karena hak guna pakai

menurut Penjelasan Pasal 8 UU SDA hanya dinikmati oleh mereka yang

mengambil dari sumber air dan bukannya dari saluran distribusi, sehingga

kewajiban negara untuk memenuhi hak atas air menurut hakim telah

tercermin dalam pasal 14, 15, 16 UU SDA yang menyatakan bahwa

“Pemerintah wajib memprioritaskan air baku untuk memenuhi

kepentingan sehari-hari bagi setiap orang melalui pengelolaan

pendayagunaan sumber daya air”. Menurut Mahkamah Konstitusi izin

dari hak guna pengusahaan air tersebut merupakan sistem perizinan yang

penerbitannya harus berdasarkan pada pola pengelolaan sumber daya air

dimana penyusunan pola tersebut telah melibatkan peran serta masyarakat

yang seluas-luasnya berdasarkan apa yang diatur oleh UU SDA.Hakim

melihat bahwa kinerja pengelolaan sumber daya air akan diawasi secara

langsung oleh para pihak yang berkepentingan (stakeholders) sehingga

sistem perizinan tersebut justru merupakan bentuk pengusahaan atas

sumber daya air yang akan dapat dikendalikan oleh Pemerintah. Dan

selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguatkan pendapatnya bahwa bahwa

ketentuan Pasal 11 Ayat (3) yang menyatakan bahwa;

”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan

dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“.58

Hakim menyatakan bahwa frasa “seluas-luasnya“ dalam pasal

tersebut tidak hanya memberikan peran yang besar kepada dunia usaha

saja tetapi juga kepada masyarakat dengan batasan bahwa peran negara

sebagai yang menguasai air tidak dialihkan kepada dunia usaha atau

swasta.

58

Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 tentang

Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.

Page 50: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

39

Pada kesimpulanya tafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap UU

SDA yaitu bahwa Undang-Undanga quo telah cukup menghormati,

melindungi, dan memenuhi hak atas air sehingga Mahkamah Konstitusi

menambahkan bahwa perlu adanya peraturan pelaksana UU SDA agar

pengusahaan sumber daya air benar-benar diusahakan oleh Pemerintah

dengan berlandaskan pada ketentuan UU SDA. Selanjutnya Mahkamah

Konstitusi mensiratkan secara tegas Undang-Undanga quo adalah

konstitusional, namun apabila dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari

maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi

dalam putusannya maka Mahkamah Konstitusi membuka ruang terhadap

Undang-Undanga quountuk dapat diajukan pengujian kembali

(conditionally constitutional).

3. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Hakim Dalam Putusan

Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air

Implementasi dari kebebasan kekuasaan kehakiman ialah kebebasan

seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum secara aktif.

Kebebasan seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum hadir

sebagai upaya mengakomodir perkembangan dinamika sosial masyarakat

disaat sebuah aturan Undang-Undang tidak dapat mengakomodir hal

tersebut. Menurut Shidarta, terdapat beberapa langkah proses penalaran

hukum dalam pembuatan putusan hakim, yaitu:59

1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk mengahasilkan suatu struktur kasus

yang sungguh diyakini oleh hakim.

2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang

relevan sehingga hakim dapat menetapkan perbuatan hukum dalam

peristilahan yuridis.

59

M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasih Hukum Progresif,

(Jakarta: Kencana Penada Media Group, 2012), h. 87.

Page 51: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

40

3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk

kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan

hukum itu.

4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus.

5. Mencari alternatif penyelesaian yang memungkinkan.

6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian

diformulasikan dalam putusan akhir.

Kebebasan hakim dalam melakukan penemuan dan penalaran

hukum dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda dari parah hakim,

sehingga sering terjadinya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam

putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Menurut Bagir Manan dissenting

opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim

(minoritas) atas putusan pengadilan.60

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan

pendapatatau dissenting opinion adalah pendapat beberapa hakim yang tidak

setuju dengan pendapat hakim mayoritas.

Pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang sumber daya air

hakim memutuskan bahwa permohonan para pemohon dalam pengujian

Undang-Undang a quo dinyatakan ditolak. Hakim menilai bahwa UU SDA

konstitusional dengan pasal 33 UUD NRI 1945 namun pada Rapat

Permusyawaratan Hakim dalam merumuskan putusan terdapat dua hakim

yang menyatakan pendapat yang berbeda dengan hakim-hakim lainnyayang

diketahui dari isi putusan. Hakim Konstitusi A. Mukhtie Fadjar dan

Maruarar Siahaan berpandangan bahwa Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna

Usaha Air yang dilegitimasi oleh UU SDA telah sangat nyata bertentangan

dengan semangat dan jiwa konstitusi Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4). Hakim

60

Bagir Manan, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia

Peradilan, No. 253, 2006, h. 13.

Page 52: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

41

A. Mukhtie Fadjar menyandarkan pendapatnya dengan kaidah dalam Al-

Quran surat Al-Anbiya Ayat 30, yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya : Dan apakah orang-orang yang kafir tidak menegetahui

bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu.

Kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan air kami jadikan segala

sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

Air sebagai sumber kehidupan merupakan milik bersama semua

makhluk Tuhan sehingga tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk

memonopolinya. Pengaturan pemberian hak-hak atas air sebagaimana yang

diatur dalam UU SDA dapat menjadi aturan yang bias sebagai privatisasi

terselubung atas sumber daya air. Sehingga hakim A. Mukhtie Fadjar

menyarankan untuk merevisi terlebih dahulu UU SDA menjadi paradigm

yang lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi

ekonomi.

Hakim Maruarar Siahaan tidak hanya berusaha menyelaraskan antara

konstitusi dengan kenyataan sosial namun juga menyelaraskan antar tafsir

Mahkamah Konstitusi dalam tiap putusan. Konsepsi "dikuasai oleh negara"

sebagaimana termuat dalam Pasal 33Ayat (3) UUD NRI l945 telah

ditafsirkan oleh Mahkamah konstitusi dalam perkara Nomor 01-021-

022/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.20 Tahun2002

tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember Tahun 2004, bahwa

penguasaan negara sebagaimana yang dimaksud adalah sesuatu yang

lebihtinggi dari sebuah hak pemilikan yang ada didalam konsep hukum

perdata. Konsepsi penguasaan negara Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945

yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah konsepsi hukum

publik yang berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan rakyat baik dibidang

Page 53: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

42

politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).

Sehingga dalam pandangan kedua hakim tersebut UU SDA bersifat

inkonstitusional.

Pada saat pengambilan putusan akhir jika terdapat perbedaan pendapat

(dissenting opinion) maka putusan diambil berdasarkan mayoritas suara atau

suara terbanyak namun perbedaan pendapat oleh hakim lainnya tetap dimuat

dalam putusan. Tujuan pencatuman perbedaan pendapat dari hakim adalah

untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat sebagai para pencari

keadilan sehingga timbul tanggung jawab moral secara individual dari para

hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Dengan adanya dissenting

opinion ini masyarakat secara luas dapat mengetahui apakah suatu putusan

hakim telah sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam

masyarakat.61

4. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013

Pada Tahun 2013 pengujian UU SDA dimohonkan kembali karena

pada putusan sebelumnya yang terdapat ketentuan bahwa “… apabila

Undang-Undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud

sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah diatas, maka

terhadap Undang-Undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk

diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional)”. Para pemohon

menganggap bahwa dalam 6 peraturan pemerintah sebagai aturan

pelaksanaan UU SDA tidak dirumuskan sesuai dengan penafsiran

Mahkamah Konstitusi, yaitu :

1. PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air

Minum sebagai pelaksanaan Pasal 40 UU SDA

61

Bagir Manan, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia

Peradilan, No. 253, 2006, h. 18.

Page 54: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

43

2. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagai pelaksanaan Pasal 41 UU

SDA

3. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai

pelaksanaan Pasal 11 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5),

Pasal 21 Ayat (5), Pasal 22 Ayat (3), Pasal 25 Ayat (3), Pasal 27 Ayat

(4), Pasal 28 Ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 Ayat (7), Pasal 39 Ayat (3),

Pasal 42 Ayat (2), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 53 Ayat (4), Pasal 54 Ayat

(3), Pasal 57 Ayat (3), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 61

Ayat (5), Pasal 62 Ayat (7), Pasal 63 Ayat (5), Pasal 64 Ayat (8), Pasal

69, Pasal 81, dan Pasal 84 Ayat (2) UU SDA

4. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah sebagai pelaksanaan Pasal 10,

Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 57 Ayat

(3), Pasal 58 Ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 UU SDA

5. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai pelaksanaaan Pasal 25

Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA

6. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa sebagai pelaksanaan Pasal Pasal

25 Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berpendapat bahwa bukan sama

artinya dengan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap

peraturan pelaksana Undang-Undang melainkan semata-semata karena

persyaratan konstitusionalitas UU SDA yang sedang diujikan. Sebagaimana

kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 10

UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian produk hukum

Undang-Undang dengan batu uji UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi

hanya melakukan pengujian Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

selama konstitusionalitas Undang-Undang tersebut bergantung pada aturan

pelaksana nya.

Page 55: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

44

Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan 6 batasan

konstitusionalitas terhadap UU SDA , yaitu;

1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,

mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;

2. Negara harus memenuhi perlindungan, pemajuan, penegakan,

pemenuhan hak asasi manusia;

3. Menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai bagai dari hak asasi

manusia yang diatur dalam pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945;

4. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus

dikuasi oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar nya

kemakmuran rakyat;

5. Prioritas hak penguasaan air diberikan kepada Badan Usaha Milik

Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagai kelanjutan konsep hak

menguasai Negara;

6. Setelah semua pembatasan tersebut sudah dipenuhi oleh negara namun

ternyata masih ada ketersediaan air, maka selanjutnya pemerintah

dimungkinkan memberikan izin kepada swasta untuk melakukan

penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

Ketentuan batasan konstitusionalitas tersebut dihadirkan karena

Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa seiring dengan

perkembangan zaman menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan

nilai fungsi sosial daripada air itu sendiri sehingga dengan kondisi tersebut

Undang-Undanga quoakan cenderung lebih bersandar pada pihak pemilik

modal dan berpotensi mengabaikan nilai sosial air. Air adalah res commune

yang berakar pada ketentuan pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945, sehingga

pengaturan hak atas air harus masuk kedalam sistem hukum publik yang

tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata

Page 56: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

45

sebagaimana yang tercantum dalam UU SDA terkait pengaturan tentang

hak-hak atas air.62

Sejalan dengan hal itu, mengenai negara sebagai penguasa sumber

daya air tertinggi, Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada putusan

satu Tahun sebelum UU SDA diujikan kembali yaitu dalam putusan Nomor

36/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan tafsiran baru terhadap “hak

menguasai negara”. Di dalam putusan tersebut frasa “dikuasi oleh negara”

dengan frasa “sebesar-besar nya bagi kemakmuran rakyat” dalam pasal 33

Ayat (3) UUD NRI merupakan satu kesatuan yang utuh dan sangat

berkaitan erat. Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran bahwa

penguasaan negara dibagi menjadi beberapa tingkat, yakni:63

1. Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam.

2. Negara membuat kebijakan dan pengurusan.

3. Negara melakukan pengaturan dan pengawasan.

Terhadap konsep menguasai negara Mahkamah Konstitusi

meletakkan pengelolaan sendiri oleh negara atas sumber daya alam

(minyak dan gas bumi) sebagai prioritas utama yang diberikan kepada

Badan Usaha Milik Negara atau Badan usaha milik Daerah untuk

melakukan pengusahaan terhadap air.Mahkamah Konstitusi berpendapat

bahwa hal tersebut bertujuan agar perolehan pendapatan negara lebih

banyak karena dikelola langsung oleh negara sehingga meningkatkan

APBN yang selanjutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kemakmuran

seluruh rakyat.

Mahkamah Konstitusi di dalam amar putusannya menyatakan bahwa

UU SDA tidak konstitusional dan membatalkan keseluruhan UU SDA serta

memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang

62

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi dan

Komunikasi Mahkamah Konstitusi, Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pengujian

Konstitusionalitas UU SDA, 26 Juni 2015, hal 122. 63

Putusan MK Nomor. 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001

Tentang Minyak, Gas Dan Bumi.

Page 57: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

46

Pengairan. Mahkamah Konstitusi memberikan alasan bahwa dalam

pemberlakuan kembali UU Perairan adalah agar tidak terjadinya

kekosongan hukum dalam aturan sumber daya air Indonesia. Pemberlakuan

kembali UU Perairan telah mendudukan Mahkamah Konstitusi dalam

sistem ketatanegaraan dari posisi negative legislature menjadi posisi positif

legislature, mengingat kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi hanyalah membatalkan atau menghapus norma yang

bertentangan dengan UUD NRI 1945 bukan membentuk atau

memberlakukan kembali sebuah aturan Undang-Undang.

Pergeseran kedudukan Mahkamah Konstitusi dari negative

legislature menjadi posisi positif legislature dipengaruhi seiring

menguatnya prinsip judge made law dalam peradilan konstitusi dunia.

Menurut Chritoper Wolfe, kenyataan ini terjadi setelah melihat aktivisme

hakim dalam penafsiran konstitusi (judicial activism) yang berkebalikan

dengan sikap hakim yang membatasi diri dalam melakukan penafsiran

(judicial restraint).64

Hal ini lah yang tampaknya dilakukan oleh hakim

Mahkamah Konstitusi.

B. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Sebagai The

Living Constitution Dalam Putusan MK Pada Perkara Pengujian UU SDA

1. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional) Dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang

Sumber Daya Air

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir pasca reformasi

telah menjadi harapan baru dalam melembagakan supremasi konstitusi.

Sampai dengan saat ini Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang

mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengawal dan menafsirkan

64

Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positif Legislature,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2013), h. 176-177.

Page 58: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

47

konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut sebagai the guardian of

the constitution dan the sole interpreter of the constitution.65

Hal ini

menandakan bahwa jiwa dan spirit supremasi konstitusi untuk

ditransformasikan menjadi suatu norma yang dapat diterapkan di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution) tentulah harus

melalui sebuah langkah penafsiran oleh hakim.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan

kehakiman dibentuk untuk memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan bahwa hakim dalam memutus

sebuah perkara memiliki kewajiban untuk menggali dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Upaya

pemenuhan rasa keadilan tersebut berkaitan erat dengan bagaimana cara

para hakim dalam menafsirkan hukum dan memutuskan sebuah perkara

yang mana dapat terlihat oleh putusan yang dikeluarkannya. Sebuah

putusan dapat dikatakan baik jika putusan tersebut di dalamnya

mengandung idée des recht atau cita hukum, yakni; unsur keadilan

(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid), dan kemanfaatan

(zweekmasigkeit).

Pasal 56, Pasal 57, Pasal 64, Pasal 70, Pasal 77 dan Pasal 83

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

menetapkan 4 jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu dikabulkan,

ditolak, tidak dapat diterima, dan putusan membenarkan atau tidak

membenarkan telah terjadi pelanggaran konstitusional oleh Presiden

dan/atau Wakil presiden. Pada implementasinya terdapat juga putusan

Mahkamah Konstitusi berupa konstitusional bersyarat (conditionally

65

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

ReformasiEdsisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 132.

Page 59: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

48

constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally

inconstitutional).

Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi perkara pengujian Undang-

Undang (judicial review) lebih mendominasi ketimbang permohonan atas

kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lainnya sehingga pengujian

Undang-Undang disebut sebagai mahkota kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Sudah ribuan perkara permohonan pengujian Undang-Undang

yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan di dalam putusan pada

perkara pengujian Undang-Undang diantaranya terdapat putusan

dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima, hingga ketiga jenis putusan

tersebut dirasa belum cukup memberikan rasa keadilan sehingga hadir

putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau

inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional). Model putusan

bersyarat dengan amar putusan konstitusional bersyarat mulai dipraktikkan

pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang

Sumber Daya Air.

Kondisi konstitusional bersyarat adalah ketika suatu norma dalam

Undang-Undang ditafsirkan tidak bertentangan dengan konstitusi apabila

dimaknai sebagaimana yang dirumusukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan konstitusional bersyarat yang ada di dalam putusan Mahkamah

Konstitusi biasanya ditandai dengan kata-kata “sepanjang dimaknai”.

Putusan dengan model ini memiliki implikasi terbukanya perluang adanya

pengujian kembali pasal yang pernah diujikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi berupa konstitusional bersyarat

yang terdapat di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang perkara

pengujian UU SDA dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu

sendiri. Hakim dalam mengadili sebuah perkara kini tidak lagi hanya

mengacu pada Undang-Undang semata, melainkan turut juga

Page 60: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

49

menyelaraskan hukum dengan kehidupan di masyarakat yang terus

berubah sesuai dengan perkembangan dunia. Oleh karena itu sejatinya

hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.66

Seharusnya

konstitusi sebagai sebuah kaidah hukum dipahami sebagai dokumen yang

adaptif dan dinamis mengikuti nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat

(the living constitution) bukan sebagai dokumen yang statis.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU SDA

merupakan salah satu contoh hakim dalam menerapkan penafsiran UUD

NRI 1945 sebagai sebuah kaidah hukum yang dinamis mengikuti

perkembangan nilai-nilai di masyarakat. Saat diajukan pengujian terhadap

UU SDA untuk pertama kalinya belum adanya peraturan pemerintah

sebagai aturan pelaksana maka Mahkamah Konstitusi dalam putusan

Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005

Tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air menilai perlu

adanya aturan pelaksana untuk melengkapi Undang-Undang tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengandung muatan

konstitusional bersyarat. Putusan tersebut mensyaratkan bahwa Undang-

Undang a quo dinyatakan konstitusional apabila dalam aturan

pelaksanaannya ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah Konstitusi

dalam putusan. Hakim menyatakan bahwa apabila pelaksanaannya

ditafsirkan lain dari maksud yang termuat dalam pertimbangan hukum

hakim maka Undang-Undang a quo dapat diujikan kembali.67

Salah satu

cara menyelaraskan hukum dengan perkembangan masyarakat adalah

dengan sebuah penafsiran hukum yang bertujuan agar pelaksanaan sebuah

kaidah hukum dapat diterima oleh masyarakat terhadap peristiwa

66

Satjipto Rahardjo, Memberdah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2006), h.188. 67

Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005

tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.

Page 61: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

50

konkrit.68

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguji kembali Undang-

Undang a quo dan memberikan tafsiran terhadap pasal 33 Ayat (2), Ayat

(3) dan Ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa Undang-Undang a quo dapat

dikatakan konstitusional jika:

1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,

mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;

2. Negara harus memenuhi perlindungan, pemajuan, penegakan,

pemenuhan hak asasi manusia;

3. Menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai bagai dari hak asasi

manusia yang diatur dalam pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945;

4. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus

dikuasi oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat;

5. Prioritas hak penguasaan air diberikan kepada Badan Usaha Milik

negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagai kelanjutan konsep hak

menguasai negara;

6. Setelah semua pembatasan tersebut sudah dipenuhi oleh negara namun

ternyata masih ada ketersediaan air, maka selanjutnya pemerintah

dimungkinkan memberikan izin kepada swasta untuk melakukan

penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

Tafsiran hakim muncul sebab pada Tahun 2005 diterbitkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan

Sistem Penyediaan Air Minum. Masyarakat menilai bahwa peraturan

pemerintah tersebut telah memposisikan penggunaan air condong untuk

kepentingan komersial seperti yang terdapat dalam Pasal 60 dan Pasal 62

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 dan mereduksi tanggung

jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan air masyarakat seperti yang

68

Sudikno Mertokusumo dan A. Plito, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 13.

Page 62: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

51

terdapat dalam Pasal 64, Pasal 69 dan Pasal 70 Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2005. Melihat kondisi nilai air yang tidak lagi hanya

memiliki nilai guna semata namun juga memiliki nilai ekonomi maka

pemerintah yang mengeluarkan aturan pelaksana tersebut dirasa tidak

memiliki kehendak politik (political will) yang baik kepada hak

masyarakat terhadap air. Sehingga Undang-Undang a quo yang

konstitusionalitasnya berkaitan erat dengan aturan pelaksananya menjadi

diragukan juga konstitusionalitasnya.

Selain itu pula ada 5 Peraturan Pemerintah lainnya yang diterbitkan

berkenaan dengan UU SDA dan dinilai tidak memenuhi prinsip

pengelolaan sumber daya air, yaitu:

1. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagai pelaksanaan Pasal 41

UU SDA

2. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai

pelaksanaan Pasal 11 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5),

Pasal 21 Ayat (5), Pasal 22 Ayat (3), Pasal 25 Ayat (3), Pasal 27 Ayat

(4), Pasal 28 Ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 Ayat (7), Pasal 39 Ayat (3),

Pasal 42 Ayat (2), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 53 Ayat (4), Pasal 54 Ayat

(3), Pasal 57 Ayat (3), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 61

Ayat (5), Pasal 62 Ayat (7), Pasal 63 Ayat (5), Pasal 64 Ayat (8),

Pasal 69, Pasal 81, dan Pasal 84 Ayat (2) UU SDA

3. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah sebagai pelaksanaan Pasal

10, Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 57

Ayat (3), Pasal 58 Ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 UU SDA

4. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai pelaksanaaan Pasal 25

Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA

5. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa sebagai pelaksanaan Pasal Pasal

25 Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA.

Page 63: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

52

Berdasarkan pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan Nomor 008/PUU-III/2005 yang mengandung muatan konstitusional

bersyarat, maka selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguji kembali UU

SDA dan menilai bahwa pelaksanaan atas UU SDA tidak sesuai dengan

apa yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan

sebelumnya sehingga dengan pertimbangan hukum para hakim putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 terhadap pengujian UU

SDA menjadi berbeda dari putusan yang sebelumnya.

2. Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Langkah

Judicial Activism

Kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah salah satu hasil dari

reformasi hukum Indonesia pasca orde baru yang lahir dari konsep

pembagian kekuasaan agar terciptanya check and balances dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI

1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD NRI 1945

c. memutus pembubaran partai politik

d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum

e. memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum yang telah ditentukan dalam UUD NRI

1945

Selain itu ditegaskan pula dalam pasal 10 UU MK bahwa

Mahkamah Konstitusi untuk mewujudkan prinsip check and balances

dilekatkan kewenangan melakukan pengujian produk hukum Undang-

Undang untuk menjaga agar Undang-Undang yang dilahirkan oleh DPR

Page 64: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

53

bersama dengan pemerintah tidak melenceng dari konstitusi. Pada

implementasinya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya melakukan pengujian

produk hukum Undang-Undang namun juga melakukan pengujian secara

terbatas terhadap produk hukum di bawah Undang-Undang, dalam hal ini

Peraturan Pemerintah. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU SDA secara tersirat Mahkamah

Konstitusi telah memperluas kewenangan yang dimilikinya untuk menguji

konstitusionalitas produk hukum di bawah Undang-Undang secara

terbatas. Hal ini menunjukan bahwa hakim telah melakukan apa yang

disebut sebagai judicial activism dalam suatu proses peradilan. Mahkamah

Konstitusi telah membuka celah pengujian Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah selama konstitusionalitas Undang-Undang tersebut bergantung

pada aturan pelaksanaanya. Pengujian konstitusionalitas dimaknai secara

lebih luas terhadap peraturan perundang-Undang, sehingga materi muatan

peraturan perundang-Undangan di bawah Undang-Undang yang

merupakan penjabaran dari Undang-Undang sesungguhnya secara tidak

langsung sama artinya dengan materi muatan Undang-Undang itu sendiri.

Secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian

(judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah.

Langkah hakim dalam melakukan judicial activism adalah untuk

menemukan keadilan yang substantif. Pengujian peraturan pemerintah

secara terbatas oleh konstitusi terjadi karena implikasi konstitusionalitas

UU SDA yang digantungkan kepada peraturan pemerintah sebagai aturan

pelaksana dari Undang-Undang a quo.Hakim Mahkamah Konstitusi ingin

melihat lebih dekat bagaimana sebuah kaidah hukum dalam penerapannya

di masyarakat melalui dimensi konstitusionalitas sebuah aturan hukum

atau Undang-Undang. Sehingga keadilan yang diharapkan oleh

masyarakat selaku pemohon benar-benar dapat dipahami oleh hakim.

Keadilan dalam sebuah proses peradilan berada ditangan hakim yang

Page 65: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

54

terletak dalam putusannya. Hakim bertugas untuk menerapkan sebuah

kaidah hukum dalam sebuah perkara, sementara hukum itu sendiri tidak

lepas dari kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya, menurut Bagir

Manan kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:69

1. Peraturan perundang-undang tidak bersifat fleksibel sehingga tidak

mudah dalam menyesuaikannya dengan masyarakat. Terdapat jurang

pemisah antara sebuah aturan hukum dan masyarakat dikarenakan

pembentukan peraturan perundang-Undangan yang memiliki prosedur

dengan waktu yang relatif lama sehingga tidak bisa mengimbangi

masyarakat yang berubah sangat cepat.

2. Seringkali terjadi apa yang disebut sebagai kekosongan hukum.

Peraturan perundang-Undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi

semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum.

Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sebuah kaidah

hukum tersebut sehingga tepat apabila dalam sebuah perkara kaidah

hukum hakim melakukan langkah judicial activism dengan menggunakan

filosofi hukum dalam pengambilan keputusan sebagai suatu cara

penemuan hukum tertentu, sehingga putusan yang dikeluarkan dapat

mengakomodir rasa keadilan di masyarakat.

69

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni,

1993), h. 8.

Page 66: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

55

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, untuk mengakhiri pembahasan

dalam penelitian ini, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :

a. Di dalam putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 tentang pengujian UU SDA hakim memberikan

pertimbangan bahwa pada saat itu kenyataannya pada kurun waktu Tahun

2000 hingga Tahun 2005 perkembangan brand atau merek air minum

dalam kemasan yang beredar dipasaran yang dijual oleh perusahaan-

perusahaan lokal sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat

yang semakin meningkat pasca reformasi menjadi faktor penting pula

dalam menjamurnya merek air minum dalam kemasan yang dijual. Hingga

diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 dan 5 Peraturan

Pemerintah lain untuk melaksanakan UU SDA namun nyatanya peraturan

pelaksana yang berkaitan konstitusionalitasnya terhadap UU SDA justru

mengandung muatan-muatan komersialisasi dan privatisasi terhadap

sumber daya air Indonesia. Melalui putusan selanjutnya Nomor 85/PUU-

XI/2013 MK memberikan pertimbangan seiring dengan perkembangan

zaman menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan nilai fungsi

sosial dari air itu sendiri sehingga dengan kondisi tersebut Undang-

Undang a quo akan cenderung lebih bersandar pada pihak pemilik modal

dan berpotensi mengabaikan nilai sosial air.

b. MK pada hakikatnya adalah sebagai lembaga peradilan konstitusi yang

memutus sesuai dengan nilai-nilai apa yang telah digariskan dalam

konstitusi namun melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang

pengujian UU SDA MK menyatakan bahwa UU SDA tidak konstitusional

dengan tafsiran dalam putusan tersebut. MK menempatkan UUD NRI

Page 67: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

56

1945 sebagai living constitution agar dapat menyeimbangkan dan

mengikuti perkembangan nilai ekonomi air yang semakin meningkat

sehingga MK dapat melindungi masyarakat agar tidak terciderai hak-hak

konstitusionalnya atas air. Hakim dalam pertimbangannya memilih untuk

melakukan langkah judicial activism di dalam perkara-perkara yang sangat

berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat sehingga dapat

terciptanya keadilan yang substantif bagi masyarakat yang lebih luas

dibanding dengan keadilan formalistik dan hanya menguntungkan

sebagian kelompok. Hakim tidak menutup pandangan bahwa hukum

memang pada implementasinya akan terus-menerus dihadapkan pada

perubahan-perubahan yang tidak melepaskan dirinya terhadap medan ilmu

yang selalu bergeser. Di dalam mencapai sebuah keadilan tentunya tidak

bisa hanya dibatasi melalui suatu koridor positivisme hukum namun harus

dapat dimaknai pula didalam desain progresifisme hukum. Sehingga di era

sekarang ini hakim justru dituntut untuk hadir melalui pendekatan-

pendekatan progresifismenya dan untuk menegakkan keadilan konstitusi

demi terwujudnya the living constitution.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan rekomendasi yaitu:

1. Mahkamah Konstitusi seyogyanya menjalankan fungsinya sebagai

pengawal konstitusi dengan konsisten. Diantara lembaga legislatif sebagai

pembuat Undang-Undang dan pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-

Undang akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan Undang-

Undang apakah telah sesuai dengan konstitusi atau tidak sehingga

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang mengadili

pengujian Undang-Undang membutuhkan hakim yang memiliki wawasan

luas terhadap hukum dan perkembangan masyarakat yang dapat

memberikan interpretasi atasUndang-Undang dan konstitusi dengan sangat

baik sehingga putusan yang dikeluarkan menjadi konsisten dan relevan.

Page 68: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

57

2. Merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan memberikan

landasan hukum yang jelas terhadap jenis konstitusional bersyarat dan

inkonsistusional bersyarat dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi

dalam perkara pengujian Undang-Undang.

3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga yang menjalankan

proses legislasi secepatnya merumuskan dan mengesahkan Undang-

Undang yang mengatur sumber daya air Indonesia karena Undang-Undang

tentang pengairan yang diberlakukan kembali pasca putusan Mahakamah

Konstitusi sudah tidak relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat. DPR

harus mampu menjabarkan maksud dari pasal 33 UUD NRI 1945 ke

dalam Undang-Undang yang dibentuk sebagai aturan pelaksana dari

konstitusi sesuai dengan jiwa dan semangat konstitusi sebagai hukum

dasar yang telah disepakati oleh seluruh bangsa.

4. Presiden dan jajaran lembaga eksekutif sebagai pelaksana Undang-Undang

harus dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan sebagian golongan.

Pelaksanaan kegiataan penyelenggaraan negara harus didasarkan pada

kesejehateraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Page 69: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

58

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Akbar, Patrialis,Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

Amsary, Feri, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indonesia Melalui Keputusan MK, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2011.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi

Press, 2006.

, Jimly, Gagasam Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indoneisa, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

, Jimly, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas, 2010.

, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

MKRI & Pusat Studi HTN FHUI, 2004.

, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai

Negara, Jakarta: Kompress, 2005.

, Jimly, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

ReformasiEdsisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Burhan, Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Busroh, Abu Daud,Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Estiko, Didit Hariadi dan Suhartono, Mahkamah Konstitusi: Lembaga Baru

Pengawal Konstitusi, Jakarta: P31 Sekretariat Jenderal DPR RI, Agrino

Abadi, 2003.

Faizal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangka Education, 2010.

Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar Pembentukannya,

Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Fatwa, AM, Potret Konstitusi: Pasca Amandemen UUS 1945, Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2009.

H.F, Abraham Amos, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, Jakarta: PT Grafindo

Persada, 2007.

Page 70: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

59

Hamzah Andi, Penegakkan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Huda, Ni'matul, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2014.

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodeologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing, 2008.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct)Kode Etik

Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006.

Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:

Alumni, 1993.

, Bagir, Menegakan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta: Asosiasi

Advokat Indonesia, 2009.

Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positif Legislature,

Jakarta: Konstitusi Press, 2013.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet. VIII,Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2013.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State

Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Jakarta: Sekretariat Jendeal

dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI, 2008.

Rahardjo, Satjipto,Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007.

, Satjipto,Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas,

2006.

Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2003.

Sedarmayanti dan Syarifuddin HidAyat, Metodeologi Penelitian, Bandung:

Mandar Maju, 2002.

Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.

Page 71: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

60

, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: Rajawali, 1985.

Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara MK RI-Upaya Membangun Kesadaran dan

Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat

Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui MK, Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2006.

Syamsudin, M, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasih Hukum

Progresif, Jakarta: Kencana Penada Media Group, 2012.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK

RI), 2010.

Thaib, Dahlan, Jazim Hamii dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Widiyati, Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan,

Yogyakarta: Genta Publisihing, 2015.

Wheare, K.C, Konstitusi-Konstitusi Modern, Bandung: Nusa Media, 2014.

Peraturan Perundang-Undangan/Putusan Hakim

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1984 Tentang Pengairan.

Undang-UndangNomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor85/PUU-XI/2013 tentang pengujian

Undang-Undang Sumber Daya Air.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak, Gas Dan Bumi.

Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.

Page 72: NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48445... · 2019-11-21 · v abstrak . bening setara bulan nim 11150480000001

61

Jurnal dan Internet

Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur

Ketatanegaraan Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret”, www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 2,

dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019.

Dramanda, Wicaksana, „Menggagas Penerapan Judicial Restraint di Mahkamah

Konstitusi‟, Jurnal Konstitusi, Vol.11 No. 4, 2014.

Faqih, Mariyadi, „Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final

dan Mengikat‟, .Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, 2010, h. 99.

Helmi, Ishar, „Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah

Konstitusi‟, Salam; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, Vol. 6 No. 1, 2019.

Manan, Bagir, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia

Peradilan, No. 253, 2006.

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi

dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi, Implikasi Hukum Putusan MK

Tentang Pengujian Konstitusionalitas UU SDA, 26 Juni 2015.

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku IV tentang

Kekuasaan Kehakiman, 2010.

Sidharta, B. Arief, , „Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum‟, Jentera (Jurnal

Hukum) Pusat Studi dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3 Tahun II, November

2004.

Sutiyoso, Bambang, „Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia‟, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, h.

26.

Wantu, Fence M., „Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim‟, Jurnal

Berkala Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3, 2007.