Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING
CONSTITUTION) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA
PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG SUMBER DAYA AIR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
BENING SETARA BULAN
NIM:11150480000001
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
i
NILAI-NILAI YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING
CONSTITUTION) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA
PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG SUMBER DAYA AIR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
BENING SETARA BULAN
NIM:11150480000001
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Bening Setara Bulan NIM 11150480000001 NILAI-NILAI YANG
HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING CONSTITUTION) DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA
AIR. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440 H / 2019 M. vii + 57 halaman + 4 halaman daftar pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis konsep Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai The Living
Constitution di dalam sebuah putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian
Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA). Putusan pengujian UU SDA
memiliki dua putusan yang berbeda yang diakibatkan oleh tafsiran hakim
Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UUD
NRI 1945. Hakim menyandarkan tafsirannya terhadap nilai perkembangan
masyarakat terutama terhadap nilai sumber daya air. Hal tersebut di satu sisi telah
mengakibatkan ketidakpastian hukum namun di sisi lainnya termasuk ke dalam
upaya hakim menyelaraskan kaidah hukum konstitusi sebagai living constitution
agar sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Metode Penelitian ini menggunkan jenis penelitian yuridis dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal yang
berhubungan dengan penelitian ini dan menggabungkan dengan unsur empiris
yang terjadi di lapangan dengan menganalisis putusan MK.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penerapan konsep konstitusi
sebagai living constitution oleh MKadalah sebagai upaya hakim dalam mengambil
langkah judicial activism pada perkara yang berkaitan erat dengan perkembangan
masyarakat sehingga dapat terciptanya keadilan substantif bagi masyarakat yang
lebih luas dibandingkan dengan keadilan formalistik dan hanya menguntungkan
sebagian kelompok.
Kata Kunci : The Living Constitution, Mahkamah Konstitusi.
Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1985 sampai dengan 2014
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Constitution)
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Sumber Daya Air”. Sholawat serta salam
penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu‟Alayhi wa Sallam, yang
telah membawaumat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang
benderang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini
peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam
pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan arahan dalam membimbing peneliti dalam
penulisan skripsi ini.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Pihak-pihak lainnya yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini
terutama keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan terbaik selama
masa pendidikan
Peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari Allah
SWT.Peneliti menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. namun, peneliti berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 26September 2019
Bening Setara Bulan
viii
DAFTAR ISI
JUDUL……………………………………………………………………. ...... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN…………………………… ........ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar belakang Masalah ............................................................ 1
B. Indentifikasi, Pembatasan dan Peumusan Masalah ................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Metode Penelitian...................................................................... 7
E. Sistematika Penelitian ............................................................... 10
BAB II PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW)
MAHKAMAH KONSTITUSI ...................................................... 12
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 12
1. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
Pengertian Doktrin Business Judgement Rule ................... 12
2. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang
(Judicial Review) Oleh Mahkamah Konstitusi .................. 16
B. Kerangka Teori.......................................................................... 20
1. Teori Konstitusi ................................................................. 20
2. Teori Judicial Activism ..................................................... 21
3. Teori Hukum Progresif ...................................................... 24
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 26
ix
BAB III ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN
MK PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER
DAYA AIR ...................................................................................... 27
A. Duduk Perkara ........................................................................... 27
B. Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (The Living
Constitution) .............................................................................. 28
C. Kaidah Hukum Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
UUD NRI 1945 Sebagai The Living Constitution Dalam
Perkara Pengujian UU SDA ..................................................... 31
BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR ...... 34
A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan MK Pada
Perkara Pengujian UU SDA .................................................... 34
1. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan ............ 34
2. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan MK Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 Dan Nomor
008/PUU-III/2005 .............................................................. 36
3. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Hakim
Dalam Putusan Pengujian UU SDA ................................. 39
4. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan MK Nomor
85/PUU-XI/2013 ................................................................ 42
B. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Sebagai The Living Constitution Dalam Putusan MK Pada
Perkara Pengujian UU SDA ..................................................... 46
1. Konstitusional Bersyarat Dalam Putusan MK Tentang
Pengujian UU SDA ........................................................... 46
2. Perluasan Kewenangan MK Sebagai Langkah
Judicial Activism ................................................................ 52
x
BABV PENUTUP ....................................................................................... 55
A. Kesimpulan ............................................................................... 55
B. Rekomendasi ............................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
selanjutnya disebut UUD NRI 1945 telah mengamanatkan bahwa Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Salah satu prinsip dari
negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya perlindungan konstitusional
terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakannya melalui proses yang adil.1
Sehingga sebuah aturan dapat
dikatakan sebagai aturan yang baik dalam sebuah negara hukum apabila
mengandung prinsip-prinsip perlindungan terhadap masyarakat dan
penegakannya sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam UUD NRI 1945.
Lembaga legislatif adalah pihak kekuasaan yang membuat aturan atau
Undang-Undang, lembaga eksekutif adalah pihak kekuasaan yang
menjalankan Undang-Undang, dan lembaga yudikatif adalah pihak kekuasaan
yang mengadili atas pelanggaran aturan hukum atau Undang-Undang.2 Hal ini
yang disebut sebagai konsep Trias Politica dalam sebuah sistem
ketatanegaraan untuk mewujudkan prinsip saling mengendalikan dan saling
mengimbangi satu sama lain (check and balances) agar tidak adanya
pemusatan kekuasaan sehingga tidak terjadinya tindakan yang melanggar
hukum seperti kesewenang-wenangan dari para pemangku kekuasaan. Senada
dengan Lord Acton yang pernah mengatakan bahwa “power tends to corrupt,
but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang mempunyai
kekuasaan cenderung akan menyalahgunakan kekuasaannya).3
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &
Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 123-128. 2 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 85.
3 Widiyati, Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan,
(Yogyakarta: Genta Publisihing, 2015), h. 68-69.
2
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
berkedudukan sebagai salah satu lembaga yudikatif yang memiliki objek
perkara ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang
merdeka dibentuk untuk dapat menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi di
Indonesia, sehingga Mahkamah Konstitusi mengemban tugas sebagai the
guardian of the constitution (pengawal konstitusi). Mahkamah Konstitusi
berkewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada hak-hak konstitusional
setiap warga negara yang terciderai akibat berlakunya suatu aturan atau
Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengawal konstitusi dilekatkan kewenangan untuk melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 atau yang dikenal dengan judicial
review. Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan judicial review
melakukan penafsiran konstitusi yang bertujuan menyelaraskan agar setiap
Undang-Undang memiliki jiwa yang tidak bertentangan dengan semangat
UUD NRI 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi juga disebut sebagai the sole
interpreter of the constitution (lembaga tunggal penafsir konstitusi).
Proses legislasi dalam membentuk konstitusi tidak bisa sempit dan
hanya dimaknai sebatas UUD NRI 1945 semata karena nilai konstitusi jauh
lebih kompleks dari sekedar Undang-Undang Dasar namun konstitusi
mengandung makna berisi nilai-nilai yang harus digali oleh hakim didalam
memutus suatu perkara pada kasus judicial review. Penafsiran konstitusi yang
dilakukakn oleh Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lentera dalam
gelapnya suatu norma dimana penafsiran ini untuk memperjelas, membuat
terang, dan memberikan kepastian terhadap norma yang selama ini buram.
Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran sebagai pengawal dan
penafsir tunggal konstitusi, dan didalam konstitusi terdapat pasal 33 yang
merupakan grundnorm dari perekonomian nasional, maka Mahkamah
Konstitusi memiliki peran yang penting untuk memastikan sektor
perekenomian nasional telah sesuai dengan jalur yang telah disepakati
3
bersama oleh seluruh bangsa. Diharapkan pula pemerintah sebagai pelaksana
konstitusi dan Undang-Undang memiliki political will (kehendak politik) yang
baik dalam kegiatan penyelenggaraan negara serta menjamin supremasi dan
kepastian hukum.4
Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945 telah menggariskan
ketentuan tentang sumber daya alam Indonesia, termasuk dalam sektor
perairan. Hukum perairan berkaitan erat dengan hak asasi manusia atas air itu
sendiri. Pengakuan hak asasi manusia atas sumber daya alam terutama air
telah menjadi fokus penting dunia sejak Tahun 1990-an. Di Indonesia, pada
tanggal 19 Februari 2004 DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Sumber Daya Air menjadi sebuah Undang-Undang baru. Rancangan
Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 18 Maret
2004 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377 untuk
selanjutnya disebut UU SDA.
UU SDA yang telah dibentuk untuk menggantikan aturan lama
mengenai perairan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
Tentang Pengairan dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 65 dan Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 3046,
ternyata memiliki materi muatan yang menuai protes dalam masyarakat
terutama dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa dari
mereka mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang kepada
Mahkamah Konstitusi karena Undang-Undang a quo dinilai telah melanggar
hak konstitusional masyarakat atas air.
UU SDA telah diajukan untuk dilakukan permohonan pengujian
Undang-Undang lebih dari satu kali oleh masyarakat. Melalui putusan Nomor
4B. Arief Sidharta, „Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum‟, Jentera (Jurnal Hukum)
Pusat Studi dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3 Tahun II, November 2004, h.124-125.
4
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan pengujian UU SDA dan dengan pengujian
selanjutnya yaitu putusan nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang a quo dan
mengeluarkan putusan untuk membatalkan keseluruhan UU SDA.
Pembatalan UU SDA merupakan suatu peristiwa yang monumental
dalam proses hukum ketatanegaraan Indonesia karena melalui putusan
Mahkamah Konstitusi merupakan kali kedua Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan yang membatalkan keseluruhan Undang-Undang
melalui pengujian materi norma.5 Permasalaham privatisasi dan komersialiasi
yang menjadi sorotan utama dalam UU SDA menjadi isu yang menarik di era
modern dan industrialisasi sekarang ini dalam kerangka kepentingan nasional
dan kedaulatan sebuah negara.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi dan pentingnya air
sebagai sumber kehidupan manusia, maka regulasi terhadap sumber daya air
menjadi urgensi yang harus segera diselesaikan. Persoalan tidak hanya sampai
pada adanya regulasi yang bersifat mengatur namun regulasi tersebut harus
berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia lebih. Terjadinya pembatalan
Undang-Undang secara keseluruhan oleh pihak yudikatif, dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan judicial review,
menandakan bahwa pihak legislatif telah gagal dalam mengakomodir hak-hak
konstitusional rakyat Indonesia kedalam sebuah Undang-Undang.
Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi yang
diharapkan dapat menghadirkan keadilan dan kebermanfaatan justru
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam putusan. Mahkamah Konstitusi di
dalam putusannya memberikan penafsiran yang berbeda mengenai “hak
menguasai negara” terhadap sumber daya alam Indonesia. Perbedaan itu
5 Ibnu Sina Chandranegara, „Ultra Petita dan Jalan Menuju Keadilan Konstitusional‟,
Jurnal Konstitusi, Vol. 9 No. 1, 2012, h. 36.
5
terletak pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 tentang pengujian UU SDA dengan putusan Nomor
36/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga mengakibatkan pula perbedaan pada
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian
kembali UU SDA sehingga antarputusan dalam pengujian UU SDA memiliki
amar putusan yang berbeda. Perbedaan ini dapat berdampak pula pada kondisi
ekonomi nasional baik secara mikro maupun makro. Gustav Radburch seorang
filsuf Jerman memberikan pandangannya bahwa suatu putusan itu didalamnya
haruslah mengandung idée des recht atau cita hukum, yakni; unsur keadilan
(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid), dan kemanfaatan
(zweekmasigkeit).6
Disisi lain hakim Mahkamah Konstitusi dianggap melakukan judicial
activism terhadap perkara pengujian UU SDA. Mahkamah Konstitusi
berusaha menyelaraskan UU SDA dengan semangat nilai UUD NRI 1945
sehingga menjadikan konstitusi Indonesia menjadi nilai-nilai yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat (the living constitution). Hakim dalam
memutus sebuah perkara harus menyadari pula bahwa setiap kurun waktu
dalam sejarah memberikan kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan
mempengaruhi kerangka pemikiran hingga muatan kepentingan yang berbeda
pula.7Hakim dalam pengujian UU SDA menyesuaikan kebermanfaatan dan
nilai atas sumber daya air sesuai dengan perkembangan masanya dengan
tujuan agar UUD NRI 1945 menjadi konstitusi yang bersifat „prospective‟
yakni konstitusi yang dapat mengartikulasikan cita-cita atau keinginan ideal
masyarakat yang dilayaninya.8
6 Fence M. Wantu, „Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim‟, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3, 2007, h.395. 7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &
Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h.30. 8 Jimly Asshiddiqie, Gagasam Kedaulatan RakAyatdalam Konstitusi dan Pelaksanannya
di Indoneisa, (Jakarta:Ichtiar Baru V an Hoeve, 1994), h. 3.
6
Berkenaan dengan perbedaan sudut pandang di atas peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul “NILAI-NILAI YANG
HIDUP DALAM MASYARAKAT (LIVING CONSTITUTION) DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG
SUMBER DAYA AIR”.
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalahdiatas terdapat beberapa
permasalahan dalam penelitian yang dapat diidentifikasi, diantaranya :
a. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tunggal penafsir konstitusi
menjadi lembaga yang super power yang mengakibatkan inkonsistensi
putusan.
b. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi yang
memutus berdasarkan nilai-nilai konstitusional bukan nilai-nilai sosial
yang selalu berubah seiring perkembangan zaman.
c. Pengaruh living constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
d. Independensi dan kebebasan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan
penafsiran konstitusional sesuai dengan UUD NRI 1945.
2. Pembatasan Masalah
Studi tentang putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sangat luas
maka agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan yang
dimaksud, peneliti membatasinya pada ruang lingkup penelitian yaitu
mengenai analisa living constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi
pada pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air ditinjau dari kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan konstitusi (court of law) dan pertimbangan hukum hakim.
7
3. Perumusan Masalah
Fokus utama penelitian ini adalah aspek living constitution dalam
putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, untuk membantu memahami
perumusan masalah maka dapat dijabarkan pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
a. Apa pertimbangan hukum hakim yang menjadikan putusan dalam
perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air menjadi berbeda antar putusannya ?
b. Bagaimana pengaruh aspek nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
(living constitution) dalam putusan perkara pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi (court of law) ?
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami substansi dan aspek living
constitution dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
b. Untuk mengidentifikasi pertimbangan hakim dalam perkara pengujian
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
2. Manfaat Penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan sebuah pemahaman dalam
menanggapi masalah hukum, khususnya tentang analisis terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
bagi lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia, khususnya
8
Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan dan konsekuensi hukum
dari analisis putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu
hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sehingga
dibutuhkan kemampuan mengidentifikasi masalah hukum, menganalisis
masalah dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut.9
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hukum yuridis. Dalam pendekatan hukum yuridis yang dilakukan adalah
mengkaji peraturan perundang-Undangan (statute approach), buku-buku,
dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan penelitian ini dan
menggabungkan dengan unsur-unsur empiris yang terjadi di lapangan
dengan menganalisis putusan pada perkara pengujian Undang-Undang
yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi.10
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum kualitatif. Penelitian
kualitatif menggunakan jenis dan analisa yang bersifat naratif. Prespektif
subjektif lebih ditonjolkan dalam jenis penelitian ini.Landasaran teori juga
dimanfaatkan untuk memberikan panduan agar fokus penelitian sesuai
dengan fakta dilapangan dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.11
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h.60. 10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali, 1985), h. 15. 11
Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 23.
9
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu
data-data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.12
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
yang artinya bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat
yang meliputi peraturan perundang-Undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan Undang-Undang dan putusan-putusan
hakim.13
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan data yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder
memuat segala keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yang
terdiri atas buku-buku.Jurnal-jurnal hukum, pendapat para ahli huku,
dan yurisprudensi.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.14
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Cara pengolahan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini
yaitu secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari sebuah
permasalahan yang bersifat umum terhadap sebuah permasalahan yang
12
Sedarmayanti dan Syarifuddin HidAyat, Metodeologi Penelitian, (Bandung: Mandar
Maju, 2002), h.108. 13
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141. 14
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodeologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), h. 296.
10
bersifat konkret. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan
hukum tersier beserta bahan bahan hukum lain akan diperoleh dari riset
kepustakaan (library research) dan dihubungkan satu sama lain kemudian
dianalisis dan dikaji secara komprehensif berdasarkan permasalahan yang
dirumuskan untuk mendapatkan sebuah jawaban dan kesimpulan.
5. Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif HidAyatullah
Jakarta, 12 februari Tahun 2017.
E. Sistematika Penelitian
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian dalam bentuk penulisan
yang benar dan tersistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut;
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahulu yang isinya antara lain memuat
latar belakang masalah, indentifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW)
OLEH MAHKAMAH KONTITUSI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai lembaga Mahkamah
Konstitusi dan kewenangan pengujian Undang-Undang (Judicial
Review) oleh Mahkamah Konstitusi secara konseptual dan teoritik.
11
BAB III : ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR
Dalam bab ini akan membahas duduk perkara, nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat dan konsep UUD NRI 1945 sebagai the
living constitution.
BAB IV : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR
Dalam bab ini membahas analisis putusan Mahkamah Konstitusi
pada perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air dari sudut pandang konsep UUD NRI
1945 sebagai the living constitution.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan
rekomendasi dari peneliti.
12
BAB II
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (JUDICIAL REVIEW) OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI
a. Kerangka Konseptual
a. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari prinsip
supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk tetap menjaga
tegaknya supremasi konstitusi sebagai pengadilan khusus guna menjamin
kesesuaian aturan hukum dalam sebuah negara.Pendapat Hans Kelsen
yang dikutip oleh Maruarar Siahaan bahwa konstitusi harus dianggap dan
diperlaukan superior dari Undang-Undang biasa sehingga gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) tersebut
selanjutnya dimasukkan dalam Konstitusi Austria 1920.1 Sejak saat itulah
dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di
luar Mahkamah Agung yang secara khusus menangani judicial review dan
perkara-perkara konstitusional lainnya.2
Gagasan Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-Undang sejalan
dengan gagasan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin dalam sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (sekarang disebut
Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang
dengan Undang-Undang Dasar, yang mana selanjutnya pendapat Balai
Agung disampaikan kepada Presiden yang selanjutnya melalukan aturan
pembatalan.3
1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), h. 3. 2
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Kompress, 2005), h. 29. 3 Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku IV tentang Kekuasaan Kehakiman, 2010, h. 17-18.
13
Gagasan yang diusung oleh Muhammad Yamin pada saat itu
disanggah oleh Soepomo karena menurutnya hakim tidak boleh menilai
dan menguji Undang-Undang produk legislatif sementara hakim tugasnya
adalah menerapkan Undang-Undang bukan menilai Undang-Undang.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa doktrin ini diwarisi atas pengaruh
Belanda, karena dalam sistem hukum Belanda ada doktrin bahwa Undang-
Undang memang tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya atas dasar itulah
Soepomo tidak menerima gagasan menguji Undang-Undang oleh
Mahkamah Agung.4 Saat ini Mahkamah Konstitusi di golongkan sebagai
„court of law‟ (peradilan konstitus/peradilan hukum) berbeda dengan
Mahkamah Agung yang di golongkan sebagai „court of justice‟ (peradilan
keadilan/peradilan sosial).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga
negara yang terbentuk setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap
UUD NRI 1945. Amandemen ketiga UUD 1945 dilakukan perubahan
pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan menghasilkan pasal
24C yang terdiri atas 6 Ayat. Pasal 24C ini merupakan penjabaran dari
pasal 24 Ayat (2) yang juga telah mengalami perubahan. Adanya pasal 24
Ayat (2) maka terjadilah perubahan yang cukup penting dalam susunan
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah perubahan UUD 1945, selain
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, kekuasaan
kehakiman juga dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
mengenai Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI 1945 disebutkan dalam
Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD NRI 1945.
Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945 tersebut baik Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara, yaitu sebagai
4 Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), h. 4.
14
pelaku kekuasaan kehakiman dalam tugas yang berbeda dan wewenangnya
masing-masing.5 Hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai court of law
membawa harapan untuk mewujudkan keadilan yang belum terakomodir
dalam kekuasan kehakiman Indonesia, yaitu beberapa persoalan bangsa
yang awalnya tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, kini dapat
diafirmasi oleh Mahkamah Konstitusi.6
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dengan Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 5226 untuk selanjutnya disebut UU MK di
dalamnya diatur secara khusus yang dikatakan sebagai 4 kewenangan
konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban
konstitusional (constitutional obligation) dari Mahkamah Konstitusi:7
1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
5 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret”,
www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 2, dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019. 6 Bambang Sutiyoso, „Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia‟, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, h. 26. 7 Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret”,
www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 1, dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019.
15
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI
1945.
Pasal 10 UU MK menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final dan mengikat. Bahkan dalam Pasal 47 UU MK ditegaskan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan
bersifat erga omnes yang berlaku bagi semua pihak tidak hanya pihak
yang berperkara. Selain itu putusan Mahkamah Konstitusi tidak
membutuhkan eksekusi oleh Mahkamah Konstitusi, karena secara
otomatis putusan tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh pihak sebagai
bukti ketundukan dan kepatuhan kepada konstitusi.8
Seluruh kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
oleh UUD NRI 1945 telah dijabarkan oleh UU MK, maka Mahkamah
Konstitusi diharapkan mampu mengeluarkan putusan-putusan yang
berkaitan dengan upaya untuk mencapai kedua tujuan kembar yaitu untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi berdasarkan hukum.9
2. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang (Judicia Review)
Oleh Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan tanda bahwa telah hadirnya
sebuah lembaga yang mampu menguji substansi hingga prosedur
pembuatan Undang-Undang yang tidak terakomodir pada masa orde lama
hingga orde baru sehingga hak-hak konstitusional warga negara yang
8 Patrialis Akbar, Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 182. 9 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,
(Jakarta: Sekretariat Jendeal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI, 2008), h. 9.
16
terdapat dalam UUD NRI 1945 dan demokrasi dapat terlindungi dari
kemungkinan potensi negatif atas pembentukan Undang-Undang yang
ingin mereduksi prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia, dan
substansi demokrasi.10
Pengujian Undang-Undang atau yang disebut judicial review
bermula dari dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat
atas kasus Marbury vs Madison Tahun 1803. Pada saat itu John Marshal
yang bertindak sebagai hakim membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act
1789 karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Pada saat itu tidak ada suatu aturan yang memberikan kewenang judicial
review kepada Mahkamah Agung, akan tetapi hakim Marshal berpendapat
bahwa putusan tersebut adalah kewajiban konstitusional untuk menjaga
dan menjunjung tinggi supremasi konstitusi.11
Dalam teori jenjang Hukum dari Hans Nawiasky yang menyatakan
bahwa 'staatsfundamentalnorm' (norma dasar) sebagai norma dasar
tertingg yang harus menjadi acuan norma hukum dibawahnya sehingga
apabila timbul permasalahan norma atau Undang-Undang dibawah norma
dasar bertentangan dengan 'staatsfundamentalnorm'12
sehingga harus
dibentuk mekanisme tersendiri untuk membenahi penyimpangan yang
terjadi yaitu dengan judicial review.
Terdapat tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control
mechanism), yaitu :13
1. Pengaturan (Regeling)
10
Ni'matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h. 1-2. 11
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2010) h. 5. 12
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu PerUndang-UndanganDasar-Dasar
Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 28. 13
Jimly Asshiddiqie, Modem-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Kompress, 2005), h.1.
17
2. Penetapan (Beschikking)
3. Penghukuman (Vonis)
Tiga norma tersebut dapat diuji kebenarannya oleh lembaga
peradilan yang disebut sebagai judicial review, yang pada awalnya
kewenangan untuk melakukan judicial review seluruh norma dan produk
aturan hukum hanya diberikan Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif.14
Namun dengan begitu menumpuknya perkara judicial review
ditambah dengan perkara-perkara sosial lainnya yang memang menjadi
kewenangan absolut dari Mahkamah Agung, maka dalam perkembangan
dibentuklah Mahkamah Konstitusi. Objek yang menjadi kewenangan yang
dapat dilakukan judicial reviewoleh Mahkamah Konstitusi adalah terhadap
norma Undang-Undang sedangkan Mahkamah Agung dalam perkara
judicial review hanya memiliki kewenangan judicial review peraturan
perundang-Undangan dibawah Undang-Undang.
Para pemohon pengujian Undang-Undang wajib untuk
menguraikan dengan jelas permohonannya. Teori tentang pengujian
(toetsing) yang diatur lebih lanjut dalam UU MK telah membedakan
pengujian menjadi dua jenis yaitu:15
1. Pengujian Materiil (Materiil Toetsing)
Pengujian materiil yaitu pengujian Undang-Undang yang dilakukan atas
materinya, yang dimaksud dengan materi muatan Undang-Undang itu,
isi Ayat, pasal dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu Undang-
Undang. Akibat dari pengujian materiil ini Mahkamah Konstitusi dapat
menyatakan norma tertentu dalam Undang-Undang yang diujikan tidak
14
Ishar Helmi, „Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah
Konstitusi‟, Salam; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, Vol. 6 No. 1, 2019, h. 98. 15
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 57-63.
18
mempunyai kekuatan hukum mengikat sementara norma lainnya tetap
berlaku sebagaimana adanya hingga membatalkan secara keselurahan
Undang-Undang yang diujikan tersebut. Contoh di dalam praktik adalah
pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Ketenagalistrikan dan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber daya Air yang beberapa pasal jantung dari Undang-
Undang a quo dinyatakan bertentang dengan UUD NRI 1945 dan
keseluruhan Undang-Undangnya dibatalkan. Apabila yang dinyatakan
bertentang dengan konstitusi hanya pasal yang diajukan saja maka
niscaya Undang-Undangnya sebagai keseluruhan akan menjadi rusak
dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari.
2. Pengujian Formil (Formeele Toetsing)
Pengujian formil yaitu pengujian Undang-Undang yang mempersoalkan
segi-segi form, format dan formulasi serta proses pembentukan yang
tidak mengikat secara prosedur konstitusional sebagaimana yang
seharusnya. Pengujian formil dapat dikatakan pula sebagai pengujian
atas proses pembentukan (by process). Pengujian atas proses
pembentukan Undang-Undang tidak hanya dalam arti sempit,
melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Contohnya Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena
pemberlakuan Undang-Undang a quo setelag adanya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Undang-Undang tersebut seharusnya
dicabut oleh Undang-Undang yang baru.
Dalam mekanisme pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah
Konstitusi di dalamnya terdapat pengujian konstitusional untuk menilai
19
apakah norma dalam suatu Undang-Undang selaras atau tidak dengan
UUD NRI 1945. Terdapat beberapa alat pengukur atau penilai untuk
menguji konstitusionalitas yaitu16
:
a. Naskah UUD NRI 1945 yang resmi tertulis.
b. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD NRI
1945, seperti risalah, keputusan, ketatapan MPR, Undang-Undang
tertentu, peraturan taa-tertib dan lain-lain.
c. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang
telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan
dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara.
d. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan
perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai
kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Hakim melakukan pengujian konstitusional dalam perkara judicial
review melalui metode penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah
Konstitusi disebut sebagai the sole interpreter of the constitution, karena
proses legislasi dalam membentuk konstitusi tak bisa sempit dan hanya
dimaknai sebatas UUD NRI 1945 semata karena nilai konstitusi jauh lebih
kompleks dari sekedar Undang-Undang Dasar dan konstitusi mengandung
makna berisi nilai-nilai yang harus digali oleh hakim didalam memutus
suatu perkara.Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode
penemuanhukum yang memberi penjelasan mengenai teks Undang-Unang
agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu.17
16
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 8.
17
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 13
20
b. Kerangka Teori
1. Teori Konstitusi
Menurut Brian Thompson yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie
bahwa secara sederhana pertanyaan: „what is a constitution‟ dapat dijawab
“… a constitution is a document which contains the rules for the
operation of an organization”18
. Bahwa organisasi yang dimaksud adalah
segala perkumpulan dan perserikatan membutuhkan adanya sebuah naskah
dasar sebagai konstitusi.Bagi organisasi yang berbentuk badan hukum
(legal entity), kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis merupakan sebuah
keniscayaan.19
Negara sebagai sebuah organisasi masyarakat terbesar pada
umumnya memiliki naskah dasar yang disebut sebagai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar.
Menurut E.CS Wade Undang-Undang Dasar adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja
badan-badan tersebut. Bahwa dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur
dalam sebuah Undang-Undang Dasar.20
Teori konstitusi menghendaki bahwa setiap negara terbentuk atas
hukum dasar (basic norm) atau yang disebut konstitusi. Menurut Djoko
Soetono ada tiga hal yang diberikan kepada konsepsi konstitusi, yaitu:21
a. Konstitusi dalam arti materiil (constitutite in materiele zin)
b. Konstitusi dalam arti formil (constitutite in formele zin)
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &
Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 15. 19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: MKRI &
Pusat Studi HTN FHUI, 2004), h. 16. 20
Dahlan Thaib, Jazim Hamii dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 7-9. 21
Mariyadi Faqih, „Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final dan
Mengikat‟, .Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, 2010, h. 99.
21
c. Konstitusi dalam arti di dokumentasikan untuk kepentingan
pembuktian dan kesatuan rujukan (constitutite in gedocumenteerd voor
bewijsbaar en stabiliteit).
Mahkamah Konstitusi yang dalam konstitusi Indonesia telah
ditetapkan sebagai sebuah lembaga peradilan konstitusi (court of law),
Mahkamah Konstitusi mendasarkan keputusannya pada ukuran-ukuran
yang sesuai dengan konstitusi dalam melakukan penafsiran konstusi pada
sebuah perkara yang dimohonkan kepadanya.
2. Teori Judicial Activism
Hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan
konstitusi yang memiliki kewenangan mahkota berupa pengujian Undang-
Undang, muncul perdebatan mengenai peran hakim itu sendiri dalam
pengujian konstitusionalitas Undang-Undang. Dalam konteks hakim
membuat aturan hukum (judges making law) dalam proses pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang dilekatkan pandangan aktivisme
yudisiil (judicial activism). Sebuah pandangan mengenai bagaimana hakim
memaknai konstitusi atau dapat disebut juga sebagai cara hakim dalam
melakukan penemuan hukum.
Aharon Barak menjelaskan bahwa judicial activism merupakan
„judicial discretion‟ yang lahir akibat kompleksitas permasalahan yang
harus diselesaikan oleh pengadilan tanpa adanya hukum (dalam arti formal)
yang memadai. Makna diskresi ini juga lazim dalam pengambilan
keputusan di Indonesia.Diskresi dilakukan dalam hal-hal belum adanya
peraturan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu
masalah tersebut menuntut penyelesaian dengan segera.22
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 152.
22
Langkah hakim dalam melakukakan judicial activism dapat berupa:23
a. Penemuan hukum (rechtsvinding) apabila tidak terdapat Undang-
Undang yang mengatur mengenai sebuah permasalahan, namun
dikarenakan kebutuhan hakim harus menemukan aturan hukumnya
maka dilakukanlah upaya penemuan hukum.
b. Penafsiran hukum (interpretation) apabila terhadap suatu masalah
telah terdapat ketentuan hukumnya namun diperlukan upaya
penyelesaian diluar ketentuan konservatif (tekstual) yaitu secara lebih
progresif. Penafsiran konstitusi merupakan sebuah tindakan luar biasa
atau progresif dalam upaya memaknai konstitusi berdasarkan
pandangan personal seorang hakim terhadap kebenaran yang
diyakininya.
Sementara itu menurut K.C. Wheare, dalam beberapa kasus
wewenang pengadilan untuk menafsirkan konstitusi berasal dari konstitusi
atau dari watak fungsi kehakiman.24
Pasal 24 UUD NRI 1945 kekuasaan
kehakiman bertujuan untuk menegakan hukum dan keadilan
dimasyarakat.Sehingga hakim seringkali melakukan judicial activism
untuk memecahkan kebuntuan hukum.Dalam kerangka konsep judicial
activism hakim tidak hanya sebagai negative legislature namun tidak
menutup kemungkinan pula sebagai positive legislature untuk memenuhi
porsi keadilan dimasyarakat.
Disisi lain, pemahaman judicial restraint yang menjadi lawan dari
pada judicial activism muncul dari persepsi ajaran pemisahan kekuasaan
dalam konsep ketatanegaraan. Pandangan judicial restraint umumnya
23
Feri Amsary, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia Melalui Keputusan MK, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 85. 24
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 153.
23
merupakan doktrin yang memberikan pembatasan terhadap kewenangan
pengadian, terdapat tiga pembatasan yakni:25
a. Pembatasan terhadap kewenangan atau yurisdiksi pengadilan melalui
norma-norma di dalam konstitusi (constitutional limitation).
b. Pembatasan kebijakan internal pengadilan (policy limitation/self-
restraint).
c. Pembatasan berdasarkan doktrin-doktrin tertentu.
Pada dasarnya, judicial activism dan judicial restraint muncul dari
kesadaran bahwa „perubahan‟ merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu
tatanan masyakat namun keduanya tidak dapat dijadikan dasar untuk
melegitimasi sebuah putusan.Putusan pengadilan mendapatkan
legitimasinya hanya ketika pengadilan memutus berdasarkan hukum.26
Meskipun begitu judicial activism dan judicial restraint haruslah
ditempatkan secara tepat dalam konteks peran hakim dan pelaksanaan
fungsi pengadilan.
3. Teori Hukum Progresif
Penafsiran yang dilakukan oleh hakim dalam melihat sebuah aturan
hukum pada umumnya menggunakan dua pola, yaitu yang pertama adalah
original intent atau yang biasa disebut penafsiran berdasarkan tekstual
meaning dengan mengandalkan kekuatan teks pada aturan hukum, dan
yang kedua adalah non-original intent atau biasa disebut dengan
penafsiran berdasarkan contextual meaning dengan bertumpu kepada
keadaan kehidupan masyarakat dimana hukum itu diterapkan.
25
Wicaksana Dramanda, „Menggagas Penerapan Judicial Restraint di Mahkamah
Konstitusi‟, Jurnal Konstitusi, Vol.11 No. 4, 2014, h. 621. 26
Bagir Manan, Menegakan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat
Indonesia, 2009), h. 171.
24
Kata progesif berasal dari progressif yang berati adalah
kemajuan.Maksudnya adalah bahwa hukum diharapkan mampu untuk
mengikuti perkembangan manusia, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar yang ada didalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya dari
penegak hukum itu sendiri.27
Oleh karena itu hukum menjadi hidup dan
dinamis tidak diam ataupun mati (living constitution).
Hukum progresif memiliki karakteristik yang membedakannya
dengan aliran hukum lain.28
Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan
manusia untuk hukum. Dimana hukum bukan menjadi objek yang sentral,
melainkan manusia lah yang menjadi pusat dari perputaran
hukum.Sehingga yang terjadi bukan mengusahakan bahkan memaksakan
manusia untuk masuk kedalam skema hukum melainkan hukum harus
bekerja dengan rumusan hukum yang telah membatasi perbuatan-
perbuatan manusa dalam suatu skema atau standar tertentu.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo
dalam berhukum.Dimana dengan dengan mempertahankan status quo
bahwa jika suatu aturan hukum telah merumuskan seperti itu, maka
manusia hanya menjalankannya saja, tidak dapat berbuat banyak kecuali
hukumnya dirubah terlebih dahulu.
Ketiga, Apabila suatu peradaban hukum akan memunculkan akibat
dan risiko, maka cara pandang hukum sebaiknya juga mengantisipasi
tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan
hukum tertulis. Sehingga hukum tidak hanya semata memberikan sanksi
melakinkan juga mencegah dari apa yang dilarang.
27
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), h.
ix. 28
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 139-147.
25
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap
peranan perilaku manusia dalam hukum bahwa dengan melibatkan
manusia atau perbuatan manusia dalam hukum akan mengatasi stagnasi
dalam sebuah aturan hukum, karena pada dasarnya law has not been logic,
but it has been experience.
Pada studi hukum ketatanegaraan dikenal pula theory of living
constitution sebagai bagian dari cara pandang hukum progresif. The living
Constitution adalah pandangan yang menganggap konstitusi itu hidup,
tumbuh atau bergerak. Menyandarkan bahwa penafsiran kosnstitusi pada
kondisi tertentu bahwa konstitusi itu bersifat dinamis. Pandangan ini
berpendapat bahwa dokumen dari penyusun konstitusi adalah sisa dari
kondisi masa lalu yang berkembang dimasyarkat, yang menekankan
bahwa dalam menafsirkan konstitusi yang perlu diutamakan adalah
perkembangan masyarakat saat ini.29
c. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang disusun oleh Iin Fitriyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Walisongo Semarang dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber
Daya Air”. Skripsi ini membahas tentang analisis putusan MK nomor
85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU Sumbe Daya Air dalam kerangka
konsep hukum islam pendekatan Maqãsid asy-Syarĩ‟ah sementara penulis
membahas putusan yang sama dari sudut pandang konsep hukum
progresif.30
2. Skripsi yang disusun oleh Afnanul Huda, Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif HidAyatullah Jakarta dengan judul “Konsepsi Penguasaan
29
Feri Amsary, Perubahan UUD 1945, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 88. 30
Iin Fitriyah, Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian UU SDA, (Semarang: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Walisongo, 2018).
26
Negara Atas Sumber Daya Air Dalam Perspektif Islam Analisis putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III-2005 tentang Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.
Skripsi ini membahas tentang perbedaan tafsir Mahkamah Konstitusi
dalam hal konsep penguasaan negara atas sumber daya air yang ditinjau
dari perspektif hukum islam sementara penulis menganalisis perbedaan
tafsir Mahkamah Konstitusi dalam konsep penguasaan negara dari sudut
pandang UUD NRI 1945 sebagai living constitution.31
3. Jurnal yang ditulis oleh Irfan Nur Rachman, Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi MK RI dengan judul “Implikasi Hukum Putusan MK Tentang
Pengujian Konstitusionalitas UU SDA”. Jurnal ini membahas tentang
implikasi hukum yang ditimbulkan dari dikeluarkannya putusan
Mahkamah Konstitusi pada pengujian UU SDA yang membatalkan secara
keseluruhan Undang-Undang tersebut sementara penulis menganalisis
faktor yang mengakibatkan munculnya perbedaan putusan Mahkamah
Konstitusi pada pengujian UU SDA.32
31
Afnanul Huda, Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011).
32 Irfan Nur Rachman, Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pengujian UU SDA,
(Jakarta: MK RI, 2015).
27
BAB III
ASPEK LIVING CONSTITUTION DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA
AIR
A. Duduk Perkara
Pada Tahun 2004 DPR RI dan Pemerintah mengesahkan sebuah
Undang-Undang sebagai aturan hukum dalam pengelolaan air di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dibentuk
sebagai langkah dalam menggantikan aturan lama mengenai perairan di
Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan.
Aturan mengenai perairan diperbaharui karena nilai sumber daya air semakin
penting bagi kehidupan manusia. Hak asasi manusia atas air telah menjadi
perhatian dunia sejak Tahun 1990 hingga sekarang pembahasan hak asasi
manusia atas air terus berkembang. Dalam mengimbangi perkembangan dunia
atas nilai terhadap air sehingga sebuah Undang-Undang dan peraturan lainnya
dibentuk untuk mengatur pengelolaan atas perairan di Indonesia.
Air yang termasuk dalam unsur lingkungan perlu dilindungi oleh
negara sehingga diperlukan penegakkan hukum atas air. Penegakan hukum
lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan
(regulatory chain) , perencanaan (policy planning) tentang lingkungan, yang
urutannya sebagai berikut:1
1. Perundang-Undangan (legislation, wet en regelgeving)
2. Penentuan standar (standard setting, norm setting)
3. Pemberian izin (licencing, vergunning verening)
4. Penerapan (implementation, uitvoering)
5. Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)
1 Andi Hamzah, Penegakkan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 48-
49.
28
UU SDA dibentuk sebagai aturan untuk melindungi sumber daya air
yang menggantikan aturan lama namun pada kenyataannya mengandung
materi muatan yang menuai protes dalam masyarakat terutama dari kalangan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa dari mereka mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi karena
Undang-Undang a quo dinilai telah melanggar hak konstitusional masyarakat
atas air dengan mengandung nilai-nilai privatisasi dan komersialisasi. UU
SDA diajukan untuk dilakukan permohonan pengujian Undang-Undangoleh
Mahkamah Konstitusi lebih dari satu kali oleh masyarakat. Melalui putusan
Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian UU SDA dengan
kondisi konstitusional bersyarat yaitu Undang-Undang a quo akan tetap
dinyatakan konstitusional apabila aturan pelaksananya yang akan dibentuk
sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi dan membuka celah
pengujian kembali terhadap Undang-Undang a quo apabila aturan
pelaksananya tidak sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi.
Sehingga Undang-Undang a quo diajukan kembali dengan putusan
selanjutnya yaitu putusan nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang a quo dan
mengeluarkan putusan untuk membatalkan keseluruhan UU SDA karena
peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana Undang-Undang a quo telah
nyata tidak sesuai dengan tafsiran hakim Mahkamah Konstitusi dan
mengandung nilai-nilai privatisasi dan komersialisasi atas sumber daya air.
B. Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat (The Living Constitution)
Nilai dalam bahasa Inggris disebut value dan dalam bahasa latin disebut
velere yang memiliki pengertian berguna, berdaya, berlaku, bermanfaat, dan
29
menjadi keyakinan menurut seseorang atau sekelompok orang2
Setiap
masyarakat dalam sebuah peradaban dapat dipastikan memiliki nilai-nilai
yang menjadi keyakinan bagi mereka dan bermanfaat untuk mengatur
kehidupan baik secara individu maupun dalam hubungan
bermasyarakat.Sumber nilai ada dua yakni:3
1. Nilai Ilahi
Nilai Ilahi adalah nilai yang difitrahkan Tuhan melalu para rasul
yang berbentuk iman, takwa, adil, yang terdapat dalam wahyu Ilahi. Nilai
Ilahi disebut juga nilai-nilai agama. Nilai Ilahi mengandung sifat
fundamental menjadi petunjuk manusia dalam menjalani seluruh
kehidupannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Isra Ayat 9
sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar,
2. Nilai Insani
Nilai insani merupakan nilai-nilai hasil kesepakatan manusia dalam
bermasyarakat. Nilai-nilai insani kemudian melembaga dan menjadi tradisi
turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.
Nilai insani dapat berbentuk nilai susila, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai
teoritikal, nilai kekuasaan maupun sebuah kaidah hukum. Nilai hasil
2 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2012), h. 56. 3 Abduk Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111.
30
kesepakatan manusia ini menjadi batasan bagaimana seseorang bersikap
dalam masyarakat agar hubungan antar individu berjalan sesuai kehendak
masyarakat. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Hujurat Ayat 13
yang menjelaskan tentang makhluk sosial.
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Nilai yang bersifat abstrak menjadi kenyataan pada suatu perbuatan
manusia atau masyarakat yang diwujudkan oleh sebuah norma. Dalam
kehidupan bernegara norma-norma dasar dituangkan dalam konstitusi
sebagai kesepakatan final cita-cita luhur bangsa. Nilai atau norma dapat
juga dijadikan sebagai landasan bagi suatu perubahan bagi masyarakat
maupun seluruh bangsa.
C. Kaidah Hukum Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), Dan Ayat (4) UUD NRI 1945
Sebagai The Living Constitution Dalam Perkara Pengujian UU SDA
Melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU SDA
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU SDA tidak konstitusional.
Dengan tafsiran hakim dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
menempatkan UUD NRI 1945 sebagai living constitution agar dapat
menyeimbangkan dan mengikuti perkembangan nilai ekonomi air yang
semakin meningkat sehingga Mahkamah Konstitusi dapat melindungi
masyarakat agar tidak terciderai hak-hak konstitusionalnya atas air.
31
Pada saat permohonan pengujian UU SDA dilakukan pada Tahun 2004
keadaan pada kurun waktu Tahun 2000 hingga Tahun 2005 sedang marak
sekali bermunculan brand atau merek air minum dalam kemasan yang beredar
dipasaran yang dijual oleh perusahaan-perusahaan lokal. Pertumbuhan
ekonomi masyarakat yang semakin meningkat pasca reformasi menjadi faktor
penting pula dalam menjamurnya merek air minum dalam kemasan yang
dijual. Sumber daya air yang tadinya hanya sebatas memiliki nilai fungsi
sosial berubah menjadi memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Peraturan
pemerintah yang semestinya menjadi aturan pelaksana dari Undang-Undang
yang mengatur tentang produksi dan peredaran air di Indonesia nyatanya telah
mengandung muatan-muatan komersialisasi yang dirasa telah menciderai nilai
air sebagai hak publik (res commune).4
Undang-Undang sumber daya air telah beberapa kali diajukan, pada
putusan pertama yaitu putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005 hakim pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim
untuk merumuskan Putusan Nomor yang pada amar putusannya adalah
menyatakan untuk menolak permohonan pemohon, terdapat dua orang hakim
Mahkamah Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)
mengenai konstitusionalitas Undang-Undang a quo. Hakim Konstitusi A.
Mukhtie Fadjar dan Maruarar Siahaan menyatakan bahwa terdapat beberapa
pasal yang pada dasarnya telah nyata bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3)
dan Ayat (4) UUD NRI 1945. Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air
yang dilegitimasi oleh UU SDA tidak hanya bertentangan dengan semangat
dan jiwa konstitusi namun tidak sejalan pula dengan apa yang pernah
ditafsirkan Mahkamah Konstitusi mengenai konsep penguasaan sumber daya
alam oleh negara yang tercantum di dalam perkara Nomor 01-021-022/PUU-
4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 258.
32
I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya dalam kurun waktu 1 Tahun kemudian
UU SDA dengan permohonan yang sama diajukan kembali untuk diuji dan
diputus berbeda dari putusan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini
menandakan ketika putusan dihasilkan hanya dari pendekatan tekstual, maka
putusan tersebut akan dipertanyakan dan dikritik sebagai putusan yang tidak
memiliki jiwa dan semangat keadilan. Oleh karena itu hakim dalam
memutuskan sebuah perkara tidak hanya melihat teks UUD NRI 1945 semata
namun harus menyesuaikan dengan kehendak konstitusional sesuai kebutuhan
perkembangan zaman.
Sebuah konstitusi, sebagai nilai-nilai yang sangat dasar dan general
yang harus digali oleh penafsiran para hakim agar dapat diterapkan dalam
masyarakat sehingga apabila hakim konstitusi tidak melakukan langkah
judicial activism dalam perkara-perkara yang sangat berkaitan erat dengan
perkembangan masyarakat, maka hukum hanya akan menjadi sebuah mesin
yang sifat kerja nya adalah kaku.5
Di dalam mencapai sebuah keadilan
tentunya tidak bisa hanya dibatasi melalui suatu koridor positivisme hukum
namun harus dapat dimaknai pula di dalam desain progresifisme hukum.
Sehingga di era sekarang ini hakim justru dituntut untuk hadir melalui
pendekatan-pendekatan progresifismenya dan untuk menegakkan keadilan
konstitusi demi terwujudnya the living constitution.
Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-
III/2005 dengan putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 memiliki amar putusan
yang berbeda. Perbedaan tersebut akibat hakim menafsirkan konstitusi
khususnya Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UUD NRI 1945 pada
perkara pengujian UU SDA sebagai living constitution. Sejalan dengan
5 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas. 2007), h. 140.
33
Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum akan terus-menerus
dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak melepaskan dirinya
terhadap medan ilmu yang selalu bergeser.6 Oleh karena itu putusan tersebut
dapat menjadi kaidah yang memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan
menciptkan keadilan yang substansial.
6 Faizal, Menerobos Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Rangka Education, 2010), h. 45.
34
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA PERKARA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR
A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan MK Pada Perkara
Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air
1. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Pengadilan
Putusan hakim dalam peradilan adalah pernyataan seorang hakim
dalam memutus sebuah perkara didalam persidangan dan memiliki
kekuatan hukum tetap.Putusan hakim merupakan upaya menemukan
hukum dan menetapkan bagaimanakah sehurusnya menurut hukum suatu
perstiwa itu terjadi. Dalam membuat putusan, hakim mempertimbangkan
aspek yuridis, filosofis dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai
dalam putusan tersebut adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan
hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan
masyarakat (social justice).53
Isi putusan hakim dalam peradilan telah diatur
dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dengan Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor
157 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076 bahwa putusan
pengadilan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memuat alasan-alasan atau pertimbangan.
2. Memuat dasar putusan seperti pasal tertentu dari peraturan perundang-
Undangan yang bersangkutan atau hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar mengadili.
3. Harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan
panitera yang ikut serta dalam persidangan.
53
Mahkamah agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct) Kode Etik Hakim
dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), h. 2.
35
Hakim diberikan kewenangan untuk mengambil suatu kebijaksaan
dalam mengeluarkan putusan dalam memutus perkara.Bagi hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara yang terpenting bukanlah hukumnya karena
hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), melainkan mengetahui
secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang
sebenarnya yang nantinya dijadikan alasan pertimbangan serta dasar
sebuah putusan. Diharapkan putusan pengadilan benar-benar menciptakan
kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, sehingga hakim yang
melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara
yang sebenarnya dan peraturan hukum yang diterapkan.54
Pertimbangan hakim atau ratio decidendi adalah alasan yang
digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum dan menjadi dasar
dalam memutus sebuah perkara. Menurut Ranuhandoko ratio decidendi
didefinisikan sebagai keputusan dewan hakim yang didasarkan oleh fakta-
fakta materi.55
Di dalam proses beracara di peradilan hakim akan menarik
fakta-fakta dalam persidangan yang merupakan konklusi dari keterangan
para saksi, terdakwa, dan alat bukti. Fakta materiil menjadi fokus hakim
dalam mencari dasar hukum yang tepat untuk diterapkan pada fakta kasus
tertentu.56
Fungsi ratio decidenci atau legal reasoning adalah sebagai sarana
merepresentasikan pokok pemikiran tentang konflik hukum antara
seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan pemerintahan
terhadap kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk
menjadi replika atau duplika percontohan, terutama menyangkut baik
54
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara MK RI-Upaya Membangun Kesadaran dan
Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan
Dipertahankan Melalui MK, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 117. 55
I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika,
2003), h. 475. 56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HukumCetakan Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
119.
36
danburuknya sistem penerapan dan penegakan, aparatur hukum, dan
lembaga peradilan.57
2. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005
Permohonan pengujian UU SDA terdiri dari 5 berkas berkas
permohonan dengan Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004,
059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-
III/2005. Dalam putusan hakim mengatakan permohanan ini bersifat ad-
informandum yaitu permohonan yang mempunyai kepentingan terhadap
pasal-pasal yang sama denganyang telah dimohonkan sebelumnya,
sehingga permohonan diajukan untuk memperkuat dalil, argumentasi yang
telah dimohonkan oleh pemohon sebelumnya.
Pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon dalam pengujian Undang-
Undang a quo diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 9 Ayat (1) Pasal 29 Ayat (5),
Pasal 40 Ayat (4) dan Ayat (7), Pasal 45 Ayat (3) dan Ayat (4), Pasal
46 Ayat (2) UU No.7 Tahun 2004 yang dianggap bertentangan dengan
jiwa dan semangat Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) UUD NRI
1945 yang anti penjajahan, yang mengutamakan persatuan dan
kedaulatan, kemakmuran rakyat dan mengutamakan demokrasi
ekonomi.
2. Pasal 6 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (3) dan Ayat 4 dan Pasal 40 Ayat (1)
UU No.7 Tahun 2004 yang dianggap bertentangan dengan prinsip-
prinsip hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 18B Ayat (2),
Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28E
57
Abraham Amos H.F, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2007), h. 34.
37
Ayat (1), Pasal 28I Ayat (4), Pasal 28A, Pasal 28H Ayat (1), Pasal 34
Ayat (3) UUD 1945.
3. Pasal 91, 92 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UU No.7 Tahun 2004
yang dianggap membatasi upaya hukum warga negara dan bersifat
diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C
Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat
(2) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi menanggapi permohonan para pemohon
dalam putusannya bahwa hak manusia atas air termasuk kedalam hak asasi
manusia yang fundamental. Pertimbangan hakim mengenai hak asasi
manusia atas air yaitu bahwa air merupakan bagian yang sangat penting
dari kehidupan manusia, maka menurut hakim posisi negara dalam hal ini
yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan
memenuhinya (to fulfill) kebutuhan dasar manusia terhadap air.
Selanjutnya Pemenuhan hak atas air dibebankan menjadi tanggung jawab
negara dan Mahkamah mewajibkan negara untuk menjamin agar setiap
orang dapat memenuhi kebutuhan akan air. Dari Pertimbangan hakim
tersebut maka kehadiran Undang-Undang yang mengatur air dan
pemanfaatan air sangatlah relevan.
Selanjunya, pemohon mendalilkan bahwa dalam Pasal 80 Ayat (1)
UU SDA mengandung prinsip “pemanfaat air membayar biaya jasa
pengelolaan sumber daya air”. Sementara hakim Mahkamah Konstitusi
berpandangan lain, bahwa hakim menafsirkan yang dimaksud dengan
membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air ialah pemanfaat air
membayar sejumlah biaya untuk jasa pengelolaan sumber daya air bukan
untuk biaya air yang dipakai. Hakim dalam hal ini melihat UU SDA yang
didalilkan oleh pemohon bersifat bersifat komersial adalah keliru.
Selain itu pasal yang dimohonkan yaitu pasal 1 angka 14, pasal 8
UU SDA yang menjabarkan mengenai Hak Guna Pakai Air dan pasal 7
38
Ayat (1) yang menjabarkan tentang Hak Guna Usaha Air, menurut hakim
hak-hak yang telah dirumuskan tersebut merupakan sebuah penghormatan
dan perlindungan terhadap hak asasi atas air, karena hak guna pakai
menurut Penjelasan Pasal 8 UU SDA hanya dinikmati oleh mereka yang
mengambil dari sumber air dan bukannya dari saluran distribusi, sehingga
kewajiban negara untuk memenuhi hak atas air menurut hakim telah
tercermin dalam pasal 14, 15, 16 UU SDA yang menyatakan bahwa
“Pemerintah wajib memprioritaskan air baku untuk memenuhi
kepentingan sehari-hari bagi setiap orang melalui pengelolaan
pendayagunaan sumber daya air”. Menurut Mahkamah Konstitusi izin
dari hak guna pengusahaan air tersebut merupakan sistem perizinan yang
penerbitannya harus berdasarkan pada pola pengelolaan sumber daya air
dimana penyusunan pola tersebut telah melibatkan peran serta masyarakat
yang seluas-luasnya berdasarkan apa yang diatur oleh UU SDA.Hakim
melihat bahwa kinerja pengelolaan sumber daya air akan diawasi secara
langsung oleh para pihak yang berkepentingan (stakeholders) sehingga
sistem perizinan tersebut justru merupakan bentuk pengusahaan atas
sumber daya air yang akan dapat dikendalikan oleh Pemerintah. Dan
selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguatkan pendapatnya bahwa bahwa
ketentuan Pasal 11 Ayat (3) yang menyatakan bahwa;
”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan
dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“.58
Hakim menyatakan bahwa frasa “seluas-luasnya“ dalam pasal
tersebut tidak hanya memberikan peran yang besar kepada dunia usaha
saja tetapi juga kepada masyarakat dengan batasan bahwa peran negara
sebagai yang menguasai air tidak dialihkan kepada dunia usaha atau
swasta.
58
Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 tentang
Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.
39
Pada kesimpulanya tafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap UU
SDA yaitu bahwa Undang-Undanga quo telah cukup menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak atas air sehingga Mahkamah Konstitusi
menambahkan bahwa perlu adanya peraturan pelaksana UU SDA agar
pengusahaan sumber daya air benar-benar diusahakan oleh Pemerintah
dengan berlandaskan pada ketentuan UU SDA. Selanjutnya Mahkamah
Konstitusi mensiratkan secara tegas Undang-Undanga quo adalah
konstitusional, namun apabila dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari
maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya maka Mahkamah Konstitusi membuka ruang terhadap
Undang-Undanga quountuk dapat diajukan pengujian kembali
(conditionally constitutional).
3. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Hakim Dalam Putusan
Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air
Implementasi dari kebebasan kekuasaan kehakiman ialah kebebasan
seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum secara aktif.
Kebebasan seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum hadir
sebagai upaya mengakomodir perkembangan dinamika sosial masyarakat
disaat sebuah aturan Undang-Undang tidak dapat mengakomodir hal
tersebut. Menurut Shidarta, terdapat beberapa langkah proses penalaran
hukum dalam pembuatan putusan hakim, yaitu:59
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk mengahasilkan suatu struktur kasus
yang sungguh diyakini oleh hakim.
2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang
relevan sehingga hakim dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
peristilahan yuridis.
59
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasih Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana Penada Media Group, 2012), h. 87.
40
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan
hukum itu.
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus.
5. Mencari alternatif penyelesaian yang memungkinkan.
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
diformulasikan dalam putusan akhir.
Kebebasan hakim dalam melakukan penemuan dan penalaran
hukum dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda dari parah hakim,
sehingga sering terjadinya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam
putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Menurut Bagir Manan dissenting
opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim
(minoritas) atas putusan pengadilan.60
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan
pendapatatau dissenting opinion adalah pendapat beberapa hakim yang tidak
setuju dengan pendapat hakim mayoritas.
Pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang sumber daya air
hakim memutuskan bahwa permohonan para pemohon dalam pengujian
Undang-Undang a quo dinyatakan ditolak. Hakim menilai bahwa UU SDA
konstitusional dengan pasal 33 UUD NRI 1945 namun pada Rapat
Permusyawaratan Hakim dalam merumuskan putusan terdapat dua hakim
yang menyatakan pendapat yang berbeda dengan hakim-hakim lainnyayang
diketahui dari isi putusan. Hakim Konstitusi A. Mukhtie Fadjar dan
Maruarar Siahaan berpandangan bahwa Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna
Usaha Air yang dilegitimasi oleh UU SDA telah sangat nyata bertentangan
dengan semangat dan jiwa konstitusi Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4). Hakim
60
Bagir Manan, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia
Peradilan, No. 253, 2006, h. 13.
41
A. Mukhtie Fadjar menyandarkan pendapatnya dengan kaidah dalam Al-
Quran surat Al-Anbiya Ayat 30, yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : Dan apakah orang-orang yang kafir tidak menegetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu.
Kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
Air sebagai sumber kehidupan merupakan milik bersama semua
makhluk Tuhan sehingga tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk
memonopolinya. Pengaturan pemberian hak-hak atas air sebagaimana yang
diatur dalam UU SDA dapat menjadi aturan yang bias sebagai privatisasi
terselubung atas sumber daya air. Sehingga hakim A. Mukhtie Fadjar
menyarankan untuk merevisi terlebih dahulu UU SDA menjadi paradigm
yang lebih menekankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi
ekonomi.
Hakim Maruarar Siahaan tidak hanya berusaha menyelaraskan antara
konstitusi dengan kenyataan sosial namun juga menyelaraskan antar tafsir
Mahkamah Konstitusi dalam tiap putusan. Konsepsi "dikuasai oleh negara"
sebagaimana termuat dalam Pasal 33Ayat (3) UUD NRI l945 telah
ditafsirkan oleh Mahkamah konstitusi dalam perkara Nomor 01-021-
022/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.20 Tahun2002
tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember Tahun 2004, bahwa
penguasaan negara sebagaimana yang dimaksud adalah sesuatu yang
lebihtinggi dari sebuah hak pemilikan yang ada didalam konsep hukum
perdata. Konsepsi penguasaan negara Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945
yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah konsepsi hukum
publik yang berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan rakyat baik dibidang
42
politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).
Sehingga dalam pandangan kedua hakim tersebut UU SDA bersifat
inkonstitusional.
Pada saat pengambilan putusan akhir jika terdapat perbedaan pendapat
(dissenting opinion) maka putusan diambil berdasarkan mayoritas suara atau
suara terbanyak namun perbedaan pendapat oleh hakim lainnya tetap dimuat
dalam putusan. Tujuan pencatuman perbedaan pendapat dari hakim adalah
untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat sebagai para pencari
keadilan sehingga timbul tanggung jawab moral secara individual dari para
hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Dengan adanya dissenting
opinion ini masyarakat secara luas dapat mengetahui apakah suatu putusan
hakim telah sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam
masyarakat.61
4. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013
Pada Tahun 2013 pengujian UU SDA dimohonkan kembali karena
pada putusan sebelumnya yang terdapat ketentuan bahwa “… apabila
Undang-Undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud
sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah diatas, maka
terhadap Undang-Undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk
diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional)”. Para pemohon
menganggap bahwa dalam 6 peraturan pemerintah sebagai aturan
pelaksanaan UU SDA tidak dirumuskan sesuai dengan penafsiran
Mahkamah Konstitusi, yaitu :
1. PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum sebagai pelaksanaan Pasal 40 UU SDA
61
Bagir Manan, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia
Peradilan, No. 253, 2006, h. 18.
43
2. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagai pelaksanaan Pasal 41 UU
SDA
3. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai
pelaksanaan Pasal 11 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5),
Pasal 21 Ayat (5), Pasal 22 Ayat (3), Pasal 25 Ayat (3), Pasal 27 Ayat
(4), Pasal 28 Ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 Ayat (7), Pasal 39 Ayat (3),
Pasal 42 Ayat (2), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 53 Ayat (4), Pasal 54 Ayat
(3), Pasal 57 Ayat (3), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 61
Ayat (5), Pasal 62 Ayat (7), Pasal 63 Ayat (5), Pasal 64 Ayat (8), Pasal
69, Pasal 81, dan Pasal 84 Ayat (2) UU SDA
4. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah sebagai pelaksanaan Pasal 10,
Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 57 Ayat
(3), Pasal 58 Ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 UU SDA
5. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai pelaksanaaan Pasal 25
Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA
6. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa sebagai pelaksanaan Pasal Pasal
25 Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berpendapat bahwa bukan sama
artinya dengan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap
peraturan pelaksana Undang-Undang melainkan semata-semata karena
persyaratan konstitusionalitas UU SDA yang sedang diujikan. Sebagaimana
kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 10
UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian produk hukum
Undang-Undang dengan batu uji UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi
hanya melakukan pengujian Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
selama konstitusionalitas Undang-Undang tersebut bergantung pada aturan
pelaksana nya.
44
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan 6 batasan
konstitusionalitas terhadap UU SDA , yaitu;
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,
mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi perlindungan, pemajuan, penegakan,
pemenuhan hak asasi manusia;
3. Menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai bagai dari hak asasi
manusia yang diatur dalam pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945;
4. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikuasi oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar nya
kemakmuran rakyat;
5. Prioritas hak penguasaan air diberikan kepada Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagai kelanjutan konsep hak
menguasai Negara;
6. Setelah semua pembatasan tersebut sudah dipenuhi oleh negara namun
ternyata masih ada ketersediaan air, maka selanjutnya pemerintah
dimungkinkan memberikan izin kepada swasta untuk melakukan
penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
Ketentuan batasan konstitusionalitas tersebut dihadirkan karena
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa seiring dengan
perkembangan zaman menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan
nilai fungsi sosial daripada air itu sendiri sehingga dengan kondisi tersebut
Undang-Undanga quoakan cenderung lebih bersandar pada pihak pemilik
modal dan berpotensi mengabaikan nilai sosial air. Air adalah res commune
yang berakar pada ketentuan pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945, sehingga
pengaturan hak atas air harus masuk kedalam sistem hukum publik yang
tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata
45
sebagaimana yang tercantum dalam UU SDA terkait pengaturan tentang
hak-hak atas air.62
Sejalan dengan hal itu, mengenai negara sebagai penguasa sumber
daya air tertinggi, Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada putusan
satu Tahun sebelum UU SDA diujikan kembali yaitu dalam putusan Nomor
36/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan tafsiran baru terhadap “hak
menguasai negara”. Di dalam putusan tersebut frasa “dikuasi oleh negara”
dengan frasa “sebesar-besar nya bagi kemakmuran rakyat” dalam pasal 33
Ayat (3) UUD NRI merupakan satu kesatuan yang utuh dan sangat
berkaitan erat. Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran bahwa
penguasaan negara dibagi menjadi beberapa tingkat, yakni:63
1. Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam.
2. Negara membuat kebijakan dan pengurusan.
3. Negara melakukan pengaturan dan pengawasan.
Terhadap konsep menguasai negara Mahkamah Konstitusi
meletakkan pengelolaan sendiri oleh negara atas sumber daya alam
(minyak dan gas bumi) sebagai prioritas utama yang diberikan kepada
Badan Usaha Milik Negara atau Badan usaha milik Daerah untuk
melakukan pengusahaan terhadap air.Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa hal tersebut bertujuan agar perolehan pendapatan negara lebih
banyak karena dikelola langsung oleh negara sehingga meningkatkan
APBN yang selanjutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kemakmuran
seluruh rakyat.
Mahkamah Konstitusi di dalam amar putusannya menyatakan bahwa
UU SDA tidak konstitusional dan membatalkan keseluruhan UU SDA serta
memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
62
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Mahkamah Konstitusi, Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pengujian
Konstitusionalitas UU SDA, 26 Juni 2015, hal 122. 63
Putusan MK Nomor. 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak, Gas Dan Bumi.
46
Pengairan. Mahkamah Konstitusi memberikan alasan bahwa dalam
pemberlakuan kembali UU Perairan adalah agar tidak terjadinya
kekosongan hukum dalam aturan sumber daya air Indonesia. Pemberlakuan
kembali UU Perairan telah mendudukan Mahkamah Konstitusi dalam
sistem ketatanegaraan dari posisi negative legislature menjadi posisi positif
legislature, mengingat kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi hanyalah membatalkan atau menghapus norma yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945 bukan membentuk atau
memberlakukan kembali sebuah aturan Undang-Undang.
Pergeseran kedudukan Mahkamah Konstitusi dari negative
legislature menjadi posisi positif legislature dipengaruhi seiring
menguatnya prinsip judge made law dalam peradilan konstitusi dunia.
Menurut Chritoper Wolfe, kenyataan ini terjadi setelah melihat aktivisme
hakim dalam penafsiran konstitusi (judicial activism) yang berkebalikan
dengan sikap hakim yang membatasi diri dalam melakukan penafsiran
(judicial restraint).64
Hal ini lah yang tampaknya dilakukan oleh hakim
Mahkamah Konstitusi.
B. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Sebagai The
Living Constitution Dalam Putusan MK Pada Perkara Pengujian UU SDA
1. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional) Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang
Sumber Daya Air
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir pasca reformasi
telah menjadi harapan baru dalam melembagakan supremasi konstitusi.
Sampai dengan saat ini Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang
mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengawal dan menafsirkan
64
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positif Legislature,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2013), h. 176-177.
47
konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut sebagai the guardian of
the constitution dan the sole interpreter of the constitution.65
Hal ini
menandakan bahwa jiwa dan spirit supremasi konstitusi untuk
ditransformasikan menjadi suatu norma yang dapat diterapkan di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution) tentulah harus
melalui sebuah langkah penafsiran oleh hakim.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman dibentuk untuk memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan bahwa hakim dalam memutus
sebuah perkara memiliki kewajiban untuk menggali dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Upaya
pemenuhan rasa keadilan tersebut berkaitan erat dengan bagaimana cara
para hakim dalam menafsirkan hukum dan memutuskan sebuah perkara
yang mana dapat terlihat oleh putusan yang dikeluarkannya. Sebuah
putusan dapat dikatakan baik jika putusan tersebut di dalamnya
mengandung idée des recht atau cita hukum, yakni; unsur keadilan
(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid), dan kemanfaatan
(zweekmasigkeit).
Pasal 56, Pasal 57, Pasal 64, Pasal 70, Pasal 77 dan Pasal 83
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
menetapkan 4 jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu dikabulkan,
ditolak, tidak dapat diterima, dan putusan membenarkan atau tidak
membenarkan telah terjadi pelanggaran konstitusional oleh Presiden
dan/atau Wakil presiden. Pada implementasinya terdapat juga putusan
Mahkamah Konstitusi berupa konstitusional bersyarat (conditionally
65
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
ReformasiEdsisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 132.
48
constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional).
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi perkara pengujian Undang-
Undang (judicial review) lebih mendominasi ketimbang permohonan atas
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lainnya sehingga pengujian
Undang-Undang disebut sebagai mahkota kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Sudah ribuan perkara permohonan pengujian Undang-Undang
yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan di dalam putusan pada
perkara pengujian Undang-Undang diantaranya terdapat putusan
dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima, hingga ketiga jenis putusan
tersebut dirasa belum cukup memberikan rasa keadilan sehingga hadir
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau
inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional). Model putusan
bersyarat dengan amar putusan konstitusional bersyarat mulai dipraktikkan
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang
Sumber Daya Air.
Kondisi konstitusional bersyarat adalah ketika suatu norma dalam
Undang-Undang ditafsirkan tidak bertentangan dengan konstitusi apabila
dimaknai sebagaimana yang dirumusukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan konstitusional bersyarat yang ada di dalam putusan Mahkamah
Konstitusi biasanya ditandai dengan kata-kata “sepanjang dimaknai”.
Putusan dengan model ini memiliki implikasi terbukanya perluang adanya
pengujian kembali pasal yang pernah diujikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi berupa konstitusional bersyarat
yang terdapat di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang perkara
pengujian UU SDA dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu
sendiri. Hakim dalam mengadili sebuah perkara kini tidak lagi hanya
mengacu pada Undang-Undang semata, melainkan turut juga
49
menyelaraskan hukum dengan kehidupan di masyarakat yang terus
berubah sesuai dengan perkembangan dunia. Oleh karena itu sejatinya
hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.66
Seharusnya
konstitusi sebagai sebuah kaidah hukum dipahami sebagai dokumen yang
adaptif dan dinamis mengikuti nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat
(the living constitution) bukan sebagai dokumen yang statis.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU SDA
merupakan salah satu contoh hakim dalam menerapkan penafsiran UUD
NRI 1945 sebagai sebuah kaidah hukum yang dinamis mengikuti
perkembangan nilai-nilai di masyarakat. Saat diajukan pengujian terhadap
UU SDA untuk pertama kalinya belum adanya peraturan pemerintah
sebagai aturan pelaksana maka Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005
Tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air menilai perlu
adanya aturan pelaksana untuk melengkapi Undang-Undang tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengandung muatan
konstitusional bersyarat. Putusan tersebut mensyaratkan bahwa Undang-
Undang a quo dinyatakan konstitusional apabila dalam aturan
pelaksanaannya ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah Konstitusi
dalam putusan. Hakim menyatakan bahwa apabila pelaksanaannya
ditafsirkan lain dari maksud yang termuat dalam pertimbangan hukum
hakim maka Undang-Undang a quo dapat diujikan kembali.67
Salah satu
cara menyelaraskan hukum dengan perkembangan masyarakat adalah
dengan sebuah penafsiran hukum yang bertujuan agar pelaksanaan sebuah
kaidah hukum dapat diterima oleh masyarakat terhadap peristiwa
66
Satjipto Rahardjo, Memberdah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006), h.188. 67
Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005
tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.
50
konkrit.68
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguji kembali Undang-
Undang a quo dan memberikan tafsiran terhadap pasal 33 Ayat (2), Ayat
(3) dan Ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa Undang-Undang a quo dapat
dikatakan konstitusional jika:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,
mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi perlindungan, pemajuan, penegakan,
pemenuhan hak asasi manusia;
3. Menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai bagai dari hak asasi
manusia yang diatur dalam pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945;
4. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikuasi oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
5. Prioritas hak penguasaan air diberikan kepada Badan Usaha Milik
negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagai kelanjutan konsep hak
menguasai negara;
6. Setelah semua pembatasan tersebut sudah dipenuhi oleh negara namun
ternyata masih ada ketersediaan air, maka selanjutnya pemerintah
dimungkinkan memberikan izin kepada swasta untuk melakukan
penguasaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
Tafsiran hakim muncul sebab pada Tahun 2005 diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum. Masyarakat menilai bahwa peraturan
pemerintah tersebut telah memposisikan penggunaan air condong untuk
kepentingan komersial seperti yang terdapat dalam Pasal 60 dan Pasal 62
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 dan mereduksi tanggung
jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan air masyarakat seperti yang
68
Sudikno Mertokusumo dan A. Plito, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 13.
51
terdapat dalam Pasal 64, Pasal 69 dan Pasal 70 Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2005. Melihat kondisi nilai air yang tidak lagi hanya
memiliki nilai guna semata namun juga memiliki nilai ekonomi maka
pemerintah yang mengeluarkan aturan pelaksana tersebut dirasa tidak
memiliki kehendak politik (political will) yang baik kepada hak
masyarakat terhadap air. Sehingga Undang-Undang a quo yang
konstitusionalitasnya berkaitan erat dengan aturan pelaksananya menjadi
diragukan juga konstitusionalitasnya.
Selain itu pula ada 5 Peraturan Pemerintah lainnya yang diterbitkan
berkenaan dengan UU SDA dan dinilai tidak memenuhi prinsip
pengelolaan sumber daya air, yaitu:
1. PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagai pelaksanaan Pasal 41
UU SDA
2. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai
pelaksanaan Pasal 11 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5),
Pasal 21 Ayat (5), Pasal 22 Ayat (3), Pasal 25 Ayat (3), Pasal 27 Ayat
(4), Pasal 28 Ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 Ayat (7), Pasal 39 Ayat (3),
Pasal 42 Ayat (2), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 53 Ayat (4), Pasal 54 Ayat
(3), Pasal 57 Ayat (3), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 60 Ayat (2), Pasal 61
Ayat (5), Pasal 62 Ayat (7), Pasal 63 Ayat (5), Pasal 64 Ayat (8),
Pasal 69, Pasal 81, dan Pasal 84 Ayat (2) UU SDA
3. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah sebagai pelaksanaan Pasal
10, Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (5), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 57
Ayat (3), Pasal 58 Ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 UU SDA
4. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai pelaksanaaan Pasal 25
Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA
5. PP No. 73 Tahun 2013 tentang Rawa sebagai pelaksanaan Pasal Pasal
25 Ayat (3), Pasal 36 Ayat (2), dan Pasal 58 Ayat (2) UU SDA.
52
Berdasarkan pada putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005 yang mengandung muatan konstitusional
bersyarat, maka selanjutnya Mahkamah Konstitusi menguji kembali UU
SDA dan menilai bahwa pelaksanaan atas UU SDA tidak sesuai dengan
apa yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan
sebelumnya sehingga dengan pertimbangan hukum para hakim putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 terhadap pengujian UU
SDA menjadi berbeda dari putusan yang sebelumnya.
2. Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Langkah
Judicial Activism
Kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah salah satu hasil dari
reformasi hukum Indonesia pasca orde baru yang lahir dari konsep
pembagian kekuasaan agar terciptanya check and balances dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI
1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum
e. memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum yang telah ditentukan dalam UUD NRI
1945
Selain itu ditegaskan pula dalam pasal 10 UU MK bahwa
Mahkamah Konstitusi untuk mewujudkan prinsip check and balances
dilekatkan kewenangan melakukan pengujian produk hukum Undang-
Undang untuk menjaga agar Undang-Undang yang dilahirkan oleh DPR
53
bersama dengan pemerintah tidak melenceng dari konstitusi. Pada
implementasinya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya melakukan pengujian
produk hukum Undang-Undang namun juga melakukan pengujian secara
terbatas terhadap produk hukum di bawah Undang-Undang, dalam hal ini
Peraturan Pemerintah. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU SDA secara tersirat Mahkamah
Konstitusi telah memperluas kewenangan yang dimilikinya untuk menguji
konstitusionalitas produk hukum di bawah Undang-Undang secara
terbatas. Hal ini menunjukan bahwa hakim telah melakukan apa yang
disebut sebagai judicial activism dalam suatu proses peradilan. Mahkamah
Konstitusi telah membuka celah pengujian Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah selama konstitusionalitas Undang-Undang tersebut bergantung
pada aturan pelaksanaanya. Pengujian konstitusionalitas dimaknai secara
lebih luas terhadap peraturan perundang-Undang, sehingga materi muatan
peraturan perundang-Undangan di bawah Undang-Undang yang
merupakan penjabaran dari Undang-Undang sesungguhnya secara tidak
langsung sama artinya dengan materi muatan Undang-Undang itu sendiri.
Secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian
(judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah.
Langkah hakim dalam melakukan judicial activism adalah untuk
menemukan keadilan yang substantif. Pengujian peraturan pemerintah
secara terbatas oleh konstitusi terjadi karena implikasi konstitusionalitas
UU SDA yang digantungkan kepada peraturan pemerintah sebagai aturan
pelaksana dari Undang-Undang a quo.Hakim Mahkamah Konstitusi ingin
melihat lebih dekat bagaimana sebuah kaidah hukum dalam penerapannya
di masyarakat melalui dimensi konstitusionalitas sebuah aturan hukum
atau Undang-Undang. Sehingga keadilan yang diharapkan oleh
masyarakat selaku pemohon benar-benar dapat dipahami oleh hakim.
Keadilan dalam sebuah proses peradilan berada ditangan hakim yang
54
terletak dalam putusannya. Hakim bertugas untuk menerapkan sebuah
kaidah hukum dalam sebuah perkara, sementara hukum itu sendiri tidak
lepas dari kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya, menurut Bagir
Manan kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:69
1. Peraturan perundang-undang tidak bersifat fleksibel sehingga tidak
mudah dalam menyesuaikannya dengan masyarakat. Terdapat jurang
pemisah antara sebuah aturan hukum dan masyarakat dikarenakan
pembentukan peraturan perundang-Undangan yang memiliki prosedur
dengan waktu yang relatif lama sehingga tidak bisa mengimbangi
masyarakat yang berubah sangat cepat.
2. Seringkali terjadi apa yang disebut sebagai kekosongan hukum.
Peraturan perundang-Undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi
semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sebuah kaidah
hukum tersebut sehingga tepat apabila dalam sebuah perkara kaidah
hukum hakim melakukan langkah judicial activism dengan menggunakan
filosofi hukum dalam pengambilan keputusan sebagai suatu cara
penemuan hukum tertentu, sehingga putusan yang dikeluarkan dapat
mengakomodir rasa keadilan di masyarakat.
69
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni,
1993), h. 8.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, untuk mengakhiri pembahasan
dalam penelitian ini, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
a. Di dalam putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 tentang pengujian UU SDA hakim memberikan
pertimbangan bahwa pada saat itu kenyataannya pada kurun waktu Tahun
2000 hingga Tahun 2005 perkembangan brand atau merek air minum
dalam kemasan yang beredar dipasaran yang dijual oleh perusahaan-
perusahaan lokal sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat
yang semakin meningkat pasca reformasi menjadi faktor penting pula
dalam menjamurnya merek air minum dalam kemasan yang dijual. Hingga
diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 dan 5 Peraturan
Pemerintah lain untuk melaksanakan UU SDA namun nyatanya peraturan
pelaksana yang berkaitan konstitusionalitasnya terhadap UU SDA justru
mengandung muatan-muatan komersialisasi dan privatisasi terhadap
sumber daya air Indonesia. Melalui putusan selanjutnya Nomor 85/PUU-
XI/2013 MK memberikan pertimbangan seiring dengan perkembangan
zaman menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan nilai fungsi
sosial dari air itu sendiri sehingga dengan kondisi tersebut Undang-
Undang a quo akan cenderung lebih bersandar pada pihak pemilik modal
dan berpotensi mengabaikan nilai sosial air.
b. MK pada hakikatnya adalah sebagai lembaga peradilan konstitusi yang
memutus sesuai dengan nilai-nilai apa yang telah digariskan dalam
konstitusi namun melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang
pengujian UU SDA MK menyatakan bahwa UU SDA tidak konstitusional
dengan tafsiran dalam putusan tersebut. MK menempatkan UUD NRI
56
1945 sebagai living constitution agar dapat menyeimbangkan dan
mengikuti perkembangan nilai ekonomi air yang semakin meningkat
sehingga MK dapat melindungi masyarakat agar tidak terciderai hak-hak
konstitusionalnya atas air. Hakim dalam pertimbangannya memilih untuk
melakukan langkah judicial activism di dalam perkara-perkara yang sangat
berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat sehingga dapat
terciptanya keadilan yang substantif bagi masyarakat yang lebih luas
dibanding dengan keadilan formalistik dan hanya menguntungkan
sebagian kelompok. Hakim tidak menutup pandangan bahwa hukum
memang pada implementasinya akan terus-menerus dihadapkan pada
perubahan-perubahan yang tidak melepaskan dirinya terhadap medan ilmu
yang selalu bergeser. Di dalam mencapai sebuah keadilan tentunya tidak
bisa hanya dibatasi melalui suatu koridor positivisme hukum namun harus
dapat dimaknai pula didalam desain progresifisme hukum. Sehingga di era
sekarang ini hakim justru dituntut untuk hadir melalui pendekatan-
pendekatan progresifismenya dan untuk menegakkan keadilan konstitusi
demi terwujudnya the living constitution.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan rekomendasi yaitu:
1. Mahkamah Konstitusi seyogyanya menjalankan fungsinya sebagai
pengawal konstitusi dengan konsisten. Diantara lembaga legislatif sebagai
pembuat Undang-Undang dan pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-
Undang akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan Undang-
Undang apakah telah sesuai dengan konstitusi atau tidak sehingga
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang mengadili
pengujian Undang-Undang membutuhkan hakim yang memiliki wawasan
luas terhadap hukum dan perkembangan masyarakat yang dapat
memberikan interpretasi atasUndang-Undang dan konstitusi dengan sangat
baik sehingga putusan yang dikeluarkan menjadi konsisten dan relevan.
57
2. Merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan memberikan
landasan hukum yang jelas terhadap jenis konstitusional bersyarat dan
inkonsistusional bersyarat dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi
dalam perkara pengujian Undang-Undang.
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga yang menjalankan
proses legislasi secepatnya merumuskan dan mengesahkan Undang-
Undang yang mengatur sumber daya air Indonesia karena Undang-Undang
tentang pengairan yang diberlakukan kembali pasca putusan Mahakamah
Konstitusi sudah tidak relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat. DPR
harus mampu menjabarkan maksud dari pasal 33 UUD NRI 1945 ke
dalam Undang-Undang yang dibentuk sebagai aturan pelaksana dari
konstitusi sesuai dengan jiwa dan semangat konstitusi sebagai hukum
dasar yang telah disepakati oleh seluruh bangsa.
4. Presiden dan jajaran lembaga eksekutif sebagai pelaksana Undang-Undang
harus dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan sebagian golongan.
Pelaksanaan kegiataan penyelenggaraan negara harus didasarkan pada
kesejehateraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
58
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Akbar, Patrialis,Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Amsary, Feri, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia Melalui Keputusan MK, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
, Jimly, Gagasam Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indoneisa, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
, Jimly, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas, 2010.
, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
MKRI & Pusat Studi HTN FHUI, 2004.
, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta: Kompress, 2005.
, Jimly, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
ReformasiEdsisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Burhan, Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Busroh, Abu Daud,Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Estiko, Didit Hariadi dan Suhartono, Mahkamah Konstitusi: Lembaga Baru
Pengawal Konstitusi, Jakarta: P31 Sekretariat Jenderal DPR RI, Agrino
Abadi, 2003.
Faizal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangka Education, 2010.
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar Pembentukannya,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Fatwa, AM, Potret Konstitusi: Pasca Amandemen UUS 1945, Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2009.
H.F, Abraham Amos, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2007.
59
Hamzah Andi, Penegakkan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Huda, Ni'matul, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2014.
Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodeologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct)Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006.
Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:
Alumni, 1993.
, Bagir, Menegakan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta: Asosiasi
Advokat Indonesia, 2009.
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positif Legislature,
Jakarta: Konstitusi Press, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cet. VIII,Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State
Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Jakarta: Sekretariat Jendeal
dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI, 2008.
Rahardjo, Satjipto,Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007.
, Satjipto,Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas,
2006.
Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Sedarmayanti dan Syarifuddin HidAyat, Metodeologi Penelitian, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.
60
, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Rajawali, 1985.
Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara MK RI-Upaya Membangun Kesadaran dan
Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat
Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui MK, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2006.
Syamsudin, M, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasih Hukum
Progresif, Jakarta: Kencana Penada Media Group, 2012.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK
RI), 2010.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamii dan Ni‟matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Widiyati, Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan,
Yogyakarta: Genta Publisihing, 2015.
Wheare, K.C, Konstitusi-Konstitusi Modern, Bandung: Nusa Media, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan/Putusan Hakim
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1984 Tentang Pengairan.
Undang-UndangNomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor85/PUU-XI/2013 tentang pengujian
Undang-Undang Sumber Daya Air.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak, Gas Dan Bumi.
Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.
61
Jurnal dan Internet
Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Strukstur
Ketatanegaraan Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret”, www.jimlyschool.comSeptember 2004, h. 2,
dikunjungi pada tanggal 2 Agustus 2019.
Dramanda, Wicaksana, „Menggagas Penerapan Judicial Restraint di Mahkamah
Konstitusi‟, Jurnal Konstitusi, Vol.11 No. 4, 2014.
Faqih, Mariyadi, „Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final
dan Mengikat‟, .Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, 2010, h. 99.
Helmi, Ishar, „Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah
Konstitusi‟, Salam; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, Vol. 6 No. 1, 2019.
Manan, Bagir, „Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia‟, Varia
Peradilan, No. 253, 2006.
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara serta Pengelolaan Teknologi Informasi
dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi, Implikasi Hukum Putusan MK
Tentang Pengujian Konstitusionalitas UU SDA, 26 Juni 2015.
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku IV tentang
Kekuasaan Kehakiman, 2010.
Sidharta, B. Arief, , „Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum‟, Jentera (Jurnal
Hukum) Pusat Studi dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3 Tahun II, November
2004.
Sutiyoso, Bambang, „Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia‟, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, h.
26.
Wantu, Fence M., „Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim‟, Jurnal
Berkala Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3, 2007.