14
1 NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI WHISTLEBLOWING PENGELOLAAN DANA DESA Katarina Dwi Utami 1 , Intiyas Utami 2 dan Aprina Nugrahesthy Sulistya Hapsari 3 1 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected] 2 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected] 3 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected] ABSTRACT This study aimed to find out the potential of doing whistleblowing in village government offices and the factors which influenced somebody to do whistleblowing in Bringin Village, Disctric of Bringin, Semarang Regency. The method used in this study was qualitative which focused on descriptive approach in which sequential technique was used to gather the data. The result of this study showed that first, the local wisdoms were the underlying reasons of the citizens courage to do whistleblowing because they felt responsible in building their village and got rid of the bad things which might happen to their village. Second, there was benevolence ethical climate in that village in which the government officials nurtured the society awareness by giving explanation about the effects to the society if there was village fund wrongdoing. This was supported by the moral intensity in which the society always tried to maintain good moral by nurturing the awareness of the importance of revealing fraud for the sake of the society wellbeing. Third, the principle ethical climate used by the government officials nurtured the society courage to do whistleblowing by showing the sanctions of the village fund wrongdoing which would affect all part of society and also the steps taken by the government officials regarding the case of village fund wrongdoing. Keywords : whistleblowing, local wisdom, moral intensity, ethical climate ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pelaksanaan whistleblowing pada pemerintah desa dan mengetahui faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan whistlebowing. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu teknik sequential. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, nilai kearifan lokal mendasari keberanian masyarakat untuk melakukan whistleblowing karena masyarakat memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun desa dan mengusir hal buruk yang dapat berimbas bagi seluruh warga desa. Kedua, adanya iklim etika-benevolence dimana perangkat desa menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan cara memberikan penyuluhan mengenai dampak yang ditanggung seluruh warga desa jika terjadi penyalahgunaan dana desa. Hal ini juga didukung dengan adanya intensitas moral sehingga masyarakat selalu berusaha bermoral baik dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengungkapan kecurangan demi kepentingan bersama. Ketiga, dengan iklim etika-principle perangkat desa menumbuhkan keberanian masyarakat dengan memberikan penyuluhan terkait sanksi penyalahgunaan dana desa yang berimbas bagi seluruh masyarakat desa dan tindak lanjut yang dilakukan perangkat desa dalam menangani kasus penyalahgunaan dana desa. Kata kunci: whistleblowing, kearifan lokal, intensitas moral, iklim etika

NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

  • Upload
    others

  • View
    34

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

1

NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

WHISTLEBLOWING PENGELOLAAN DANA DESA

Katarina Dwi Utami1, Intiyas Utami2 dan Aprina Nugrahesthy Sulistya Hapsari3

1Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected]

2 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected]

3 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Email: [email protected]

ABSTRACT

This study aimed to find out the potential of doing whistleblowing in village government offices and the factors which influenced somebody to do whistleblowing in Bringin Village, Disctric of Bringin, Semarang Regency. The method used in this study was qualitative which focused on descriptive approach in which sequential technique was used to gather the data. The result of this study showed that first, the local wisdoms were the underlying reasons of the citizens courage to do whistleblowing because they felt responsible in building their village and got rid of the bad things which might happen to their village. Second, there was benevolence ethical climate in that village in which the government officials nurtured the society awareness by giving explanation about the effects to the society if there was village fund wrongdoing. This was supported by the moral intensity in which the society always tried to maintain good moral by nurturing the awareness of the importance of revealing fraud for the sake of the society wellbeing. Third, the principle ethical climate used by the government officials

nurtured the society courage to do whistleblowing by showing the sanctions of the village fund wrongdoing which would affect all part of society and also the steps taken by the government officials regarding the case of village fund wrongdoing.

Keywords : whistleblowing, local wisdom, moral intensity, ethical climate

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pelaksanaan whistleblowing pada pemerintah

desa dan mengetahui faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan whistlebowing.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu teknik sequential. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

pertama, nilai kearifan lokal mendasari keberanian masyarakat untuk melakukan whistleblowing

karena masyarakat memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun desa dan mengusir hal buruk yang dapat berimbas bagi seluruh warga desa. Kedua, adanya iklim etika-benevolence

dimana perangkat desa menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan cara memberikan penyuluhan mengenai dampak yang ditanggung seluruh warga desa jika terjadi penyalahgunaan

dana desa. Hal ini juga didukung dengan adanya intensitas moral sehingga masyarakat selalu

berusaha bermoral baik dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengungkapan kecurangan demi kepentingan bersama. Ketiga, dengan iklim etika-principle perangkat desa

menumbuhkan keberanian masyarakat dengan memberikan penyuluhan terkait sanksi

penyalahgunaan dana desa yang berimbas bagi seluruh masyarakat desa dan tindak lanjut yang dilakukan perangkat desa dalam menangani kasus penyalahgunaan dana desa.

Kata kunci: whistleblowing, kearifan lokal, intensitas moral, iklim etika

Page 2: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

2

Pendahuluan

Dana desa merupakan dana yang bersumber dari APBN yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan (infrastuktur, kesehatan, pendidikan

dan ekonomi), pembinaan masyarakat desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pelaksanaan dan pengelolaan dana desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 (Indonesia,

2014a). Pelaksanaan dan pengelolaan dana desa dengan baik diharapkan akan makin

mempercepat pembangunan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti

dengan adanya pembangunan infrastruktur di beberapa desa Kabupaten Semarang. Sebagai

contoh adalah pembangunan jamban sehat pada 30 desa di Kabupaten Semarang (Junaedi, 2016);

diresmikannya lapangan desa dengan fasilitas yang memadai seperti adanya drainase yang baik, peninggian lapangan dan pembuatan taman di Kecamatan Bancak, Kab. Semarang (Hermansyah,

2016); pembangunan bak penampung sumber air terkait penanganan bencana longsor di desa

Sepakung, Banyubiru (Ranin, 2016); dan pembangunan jalan darurat di dusun Bungkah, Desa

Sepakung (Setiawan, 2016).

Fenomena yang marak terjadi belakangan ini adalah tindakan penyalahgunaan pengelolaan dana desa, sebagai contoh adalah kasus kecurangan pengelolaan dana desa di Kabupaten

Semarang sudah banyak dimuat di media massa, seperti terungkapnya 30 kasus korupsi oleh

Pengadilan Tipikor Semarang yang menyeret para penyelenggara pemerintah desa dan dari 30

kasus korupsi yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor Semarang, terdapat 6 kasus korupsi

pengelolaan dana desa yaitu di Desa Popongan Kec. Bringin, Desa Tegalwaton Kec. Tengaran, Desa

Jatirunggo Kec. Pringapus, Desa Kebonagung Kec. Sumowono, Desa Rowoboni Kec. Banyubiru dan di Desa Dadapayam, Kec Susukan (Senjaya, 2014). Kasus penyalahgunaan dana desa oleh mantan

Kepala Desa dan Sekretaris terjadi di Desa Popongan yang menggunakan dana desa tidak sesuai

dengan semestinya dan merugikan negara sebesar Rp103 juta. Kasus serupa mengenai korupsi

penggunaan dana desa yang menyeret Kepala Desa Milir, Kec. Bandungan, akibatnya pemerintah

mengalami kerugian sebesar Rp67,5 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan dan pengelolaan dana desa dibutuhkan pengawasan yang baik dari pemerintah, mengingat bahwa

tujuan utama dari pemberian dana desa adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat

desa.

Banyaknya tindak penyalahgunaan pengelolaan dana desa berakibat kepercayaan

masyarakat menurun, sehingga pemerintah berupaya untuk mengurangi tingkat penyalahgunaan

dana desa dengan melakukan pengawasan dan menyediakan sistem yang mampu menampung pelaporan masyarakat terhadap penggunaan dana desa atau yang biasa disebut whistleblowing system. Whistleblowing system memungkinkan penyalahgunaan wewenang dapat dengan cepat

diidentifikasi dan dikoreksi sehingga bisa meningkatkan efisiensi, meningkatkan moral pegawai,

menghindari tuntutan hukum, dan menghindari citra negatif (Graham, Miceli, & Near, 1993). Hal

ini didukung dengan peran pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa) yang telah menyediakan website bagi whistleblower untuk melaporkan jika

memiliki informasi atau mengetehaui adanya tindak penyimpangan pengelolaan dana desa. Website tersebut bisa diakses melalui laman resmi Whistleblowing System Kementrian Keuangan

dan website LAPOR (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Aturan terkait whistleblowing telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (Indonesia, 2014b) . Undang-undang ini merupakan perubahan

atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan

korban dan selanjutnya hanya disebut sebagai “pengungkap fakta” (Mulyadi, 2014).

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Indonesia, 2014) menyebutkan bahwa

perangkat desa dan pihak yang berkepentingan berhak untuk mengurus dan menentukan

pembangunan desa yang dijalankan sesuai dengan asas kearifan lokal suatu desa. Kearifan lokal

memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan tradisional pada sebuah desa, dan dalam

kearifan lokal tersebut banyak mengandung suatu pandangan maupun aturan agar masyarakat lebih memiliki pijakan dalam menentukan suatu tindakan seperti perilaku masyarakat sehari-hari.

Nilai kearifan lokal yang diajarkan secara turun-temurun merupakan kebudayaan yang patut

dijaga dan dapat dijadikan aset apabila dikelola dengan optimal. Nilai kearifan lokal dapat dilihat

dari beberapa sisi yaitu dari sisi budaya, sisi adat istiadat, sisi agama, sisi keyakinan, sisi

pariwisata maupun dari sisi substansi pemerintahan yang berupa gotong royong, kebersamaan,

kekeluargaan, musyawarah dan kemandirian. Desa Bringin, salah satu desa di Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah masih sangat kental dengan adat dan filosofi kehidupan yang

diwariskan leluhur sebagai bentuk nilai kearifan lokal yang menjadi jati diri dari desa tersebut.

Page 3: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

3

Dalam mengambil keputusan etis, seseorang akan memutuskannya berdasarkan persepsi

nilai, norma dan aturan yang berlaku di suatu wilayah atau yang biasa disebut iklim etika.(Ahmad,

Yunos, Ahmad, & Sanusi, 2014) mendefinisikan iklim etika sebagai dimensi etis yang mampu

memberikan gambaran budaya organisasi. Seseorang yang melakukan keputusan etis berdasarkan iklim etika mempunyai kesadaran baik dan buruk atas keputusan yang mereka buat. Menurut (Victor & Cullen, 1988), iklim etika terdiri dari 3 indikator yaitu egoism, principle dan benevolence.

Iklim etika egoism, sebagian masyarakat masih memiliki rasa takut dan sungkan mengungkapkan

penyalahgunaan dana desa. Rasa takut dan sungkan ini timbul jika pihak yang melakukan

penyalahgunaan adalah kerabat atau sahabatnya dan pengungkapan penyalahgunaan tersebut

dapat berimbas pada hubungan persaudaraan ataupun pada posisinya sebagai perangkat desa.

Salah satu cara untuk menumbuhkan keberanian dan moral yang baik ditengah masyarakat dalam melakukan whistleblowing adalah dengan memberikan penyuluhan yang dapat

membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawasan dan pengungkapan penyalahgunaan dana desa. Iklim etika benevolence merupakan kesadaran dalam diri individu

untuk melakukan yang terbaik demi kesejahteraan bersama dan tidak membenarkan adanya

tindakan yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Nilai kearifan lokal yang ada di Desa

Bringin memberikan gambaran bahwa masyarakat bersyukur atas kekayaan alam yang ada, berusaha membangun desa demi kesejahteraan masyarakat serta memerangi hal negatif yang

dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat (korupsi, penyalahgunaan wewenang).

Iklim etika principle, pemerintah telah membuat peraturan mengenai aturan pencairan dana

desa, penentuan pembangunan prioritas, pelaporan penggunaan dana desa serta sanksi yang

diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana pembangunan. Sanksi yang diberikan bagi desa

yang melakukan penyalahgunaan dana desa adalah penundaan pencairan dana pada tahap selanjutnya atau sampai laporan penggunaan dana desa selesai dibuat sesuai dengan standar

pembangunan yang telah ditetapkan dalam MUSRENBANGDES. Sanksi yang diberikan oleh

pemerintah ini berimbas bagi seluruh masyarakat desa. Dengan adanya penyuluhan tentang

dampak dan dukungan yang diberikan oleh perangkat desa, masyarakat diharapkan untuk berani

mengungkapkan penyalahgunaan dana desa sejak dini agar dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa melibatkan pemerintah.

Penelitian-penelitian sebelumnya tentang whistleblowing banyak membahas tentang faktor

yang mempengaruhi seseorang menjadi whistleblower. Penelitian terkait intensi karyawan

pemerintahan dalam melakukan whistleblowing ini dilakukan oleh (Alam, 2013) serta (Noviani &

Sambharakreshna, 2014). (Alam, 2013) menyatakan bahwa whistleblowing berpotensi dalam

mengurangi tindak kecurangan yang terjadi di Pemerintahan Kota Malang. Hasil penelitian

tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh (Noviani & Sambharakreshna, 2014) yaitu whistleblowing berpengaruh signifikan terhadap pencegahan kecurangan dalam organisasi

pemerintahan. Sementara itu penelitian terkait intensitas moral dan whistleblowing dilakukan oleh

(Zanaria, 2013) yang menyatakan bahwa intensitas moral berpengaruh positif terhadap niat melakukan whistleblowing. Penelitian sejalan dilakukan oleh (Kreshastuti & Prastiwi, 2014) yang

menyatakan bahwa intensitas moral berpengaruh terhadap tindakan auditor untuk melakukan whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh (Chen & Lai, 2011);(Taylor & Curtis, 2010);

(Shawver, 2011) juga membuktikan intensitas moral berpengaruh terhadap niat pelaporan. Hasil

yang berbanding terbalik ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Gandamihardja, Gunawan, & Maemunah, 2016) yang memperoleh hasil bahwa intensitas moral berpengaruh negatif terhadap intensi auditor internal dalam melakukan whistleblowing.

Penelitian mengenai iklim etika dilakukan oleh (Huang, Lo, & Wu, 2013);(Rothwell & Baldwin,

2006); (Victor & Cullen, 1988) dengan objek penelitian yang bervariasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Setyawati, Ardiyani, & Sutrisno, 2015) menunjukkan bahwa iklim etika–egoism dan iklim etika-benevolence tidak berpengaruh signifikan terhadap niat untuk melakukan

whistleblowing internal. Namun iklim etika-principle berpengaruh positif terhadap niat melakukan

whistleblowing internal. (Huang et al., 2013) menyimpulkan bahwa iklim etika berpengaruh terhadap niat seseorang melakukan whistleblowing. Berbanding terbalik dengan penelitian yang

dilakukan (Rothwell & Baldwin, 2006) yang menyatakan bahwa iklim etika tidak mampu memprediksi niat mengungkapkan whistleblowing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi penerapan whistleblowing dalam

pengelolaan dana desa terkait adanya nilai kearifan lokal, iklim etika dan intensitas moral pada

perangkat desa. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai nilai

Page 4: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

4

kearifan lokal, iklim etika dan intensitas moral dalam ruang lingkup pemerintahan desa yang dapat menimbulkan niat melakukan whistleblowing. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

masukan kepada pemerintah dalam melakukan sosialisasi website pelaporan tindak kecurangan

dana desa dan tindaklanjut terhadap pelaporan tindak kecurangan. Informan dalam penelitian ini

adalah perangkat desa pada pemerintahan Kabupaten Semarang, khususnya Kecamatan Bringin.

Kearifan lokal

Menurut (Rahyono, 2009) kearifan lokal adalah kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat, artinya kearifan lokal

adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh

masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan

nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat

tersebut. (Wandansari, 2015) mendefinisikan kearifan lokal sebagai nilai-nilai positif yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa

dapat mempengaruhi keberhasilan pembangunan desa jika digunakan dengan maksimal (Tiza,

Hakim, & Haryono, 2014). (Juniarta, Susilo, & Primyastanto, 2013) menyatakan bahwa kearifan

lokal merupakan tata nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh leluhur berbentuk agama, budaya

ataupun adat istiadat yang berbentuk lisan dalam sistem sosial masyarakat.

Good governance perlu diwujudkan salah satunya dengan efektivitas komunikasi antara

pemerintah dengan masyarakat, dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan

lokal masyarakat dalam praktek pemerintahan. Sebagai instansi yang paling memungkinkan

untuk mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat dari bawah, maka pemerintah adalah pihak

yang sangat tepat untuk mempraktekkan kearifan lokal dalam pelaksanaan pemerintahan. Dari

sisi substansi pemerintahan, perangkat desa memiliki nilai kearifan lokal seperti gotong royong,

kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah, kemandirian, kemandirian, tenggang rasa. Nilai kearifan lokal inilah yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan bagi perangkat desa.

Whistleblowing

Whistleblowing menurut Komite Nasional Kebijakan Governance di dalam Pedoman Sistem

Pelaporan Pelanggaran (Governance, 2008) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau

pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan

oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Whistleblowing merupakan sebuah proses yang

melibatkan faktor-faktor pribadi dan budaya organisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (MICELI & NEAR, 1988), tipikal yang berkecenderungan melakukan whistleblowing adalah

orang yang menduduki jabatan profesional, mempunyai reaksi positif terhadap pekerjaannya, lebih

lama melayani (lama bekerja, usia dan jumlah tahun sampai pensiun). Terdapat dua tipe whistleblowing, pertama whistleblowing internal yang terjadi ketika

seorang atau beberapa orang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh karyawan

lain atau kepala bagiannya, kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Kedua, whistleblowing eksternal yang terjadi ketika seorang

karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkan kepada

masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan tersebut akan merugikan masyarakat. (Park & Blenkinsopp, 2009) menyatakan bahwa niat melakukan whistleblowing adalah

sejauh mana individu mengevaluasi keuntungan dan kerugian yang ia yakini jika melakukan whistleblowing. Untuk menjadi whistleblower seseorang harus memiliki keyakinan, bahwa

whistleblowing memberikan dampak positif bagi semua orang. Penelitian ini menggunakan 4

indikator terkait whistleblowing, yaitu keaktifan melaporkan pelanggaran, pertimbangan resiko

dan keinginan menjadi whistleblower.

Iklim etika

Iklim etika merupakan salah satu aspek dalam suatu organisasi yang menjelaskan tentang persepsi norma, nilai dan perilaku yang berlaku dalam sebuah organisasi. Iklim etika tidak hanya

membantu individu menentukan perilaku yang dapat diterima dalam organisasi, tetapi juga

memiliki pengaruh pada moralitas anggotanya (Victor & Cullen, 1988). Iklim etika mendiskripsikan

dari nilai-nilai dan tanggungjawab karyawan atas perilaku dalam organisasi (Simha & Cullen,

2012).

Page 5: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

5

(Victor & Cullen, 1988) membuat framework yang terdiri dari dua model dimensi dari tipe

iklim etika, yaitu filsafat etika dan teori sosiologi. (Victor & Cullen, 1988) menjabarkan indikator

iklim etika menurut filsafat etika seperti pada Tabel 1.

DAFTAR TABEL Tabel 1.Indikator Kriteria Iklim Etika

Kriteria Etika Indikator Analisis

Individual Local Cosmopolitan

Egoism Self-interest Self Profit

Benevolence Friendship Social Responsibility

Principle Personal Morality

Rule, Standard Operating Procedures

Laws, Professional Codes

(Ahmad et al., 2014) menyatakan bahwa dimensi etika mencakup 3 kriteria, yaitu egoism, kebajikan dan prinsip. Egoism mengacu pada perilaku yang berkaitan dengan kepentingan diri

sendiri. Kebajikan merupakan keputusan dan tindakan yang diambil untuk menghasilkan

kebaikan untuk semua orang. Prinsip berhubungan dengan keputusan yang dibuat dan tindakan

yang diambil sesuai dengan undang-undang, peraturan, kode etik dan prosedur. Iklim etika

cenderung mampu mendorong perilaku yang menghasilkan hal yang positif bagi orang lain.

Intensitas moral

(Kreshastuti & Prastiwi, 2014) menyatakan bahwa intensitas moral merupakan sebuah unsur

yang mencakup karakteristik terkait dengan isu moral utama yang akan mempengaruhi persepsi

individu. (Jones, 1991) menyatakan bahwa perilaku etis seseorang bergantung pada keputusan

moral yang diambil. (Novius & Arifin, 2011) melakukan identifikasi bahwa intensitas moral dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dengan tingkat intensitas moral yang

bervariasi.

Penelitian ini menggunakan 2 elemen intensitas moral (Jones, 1991) yaitu besaran

konsekuensi dan konsensus sosial. Besaran konsekuensi didefinisikan sebagai jumlah kerugian

yang dihasilkan dari sebuah tindakan moral, sedangkan konsensus sosial didefinisikan sebagai

tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap jahat atau baik.

Metoda Penelitian

Penelitian ini akan melihat fenomena nilai-nilai kearifan lokal, intesitas moral dan iklim etika

dapat menimbulkan potensi dalam mengungkap penyalahgunaan dana desa, sehingga metoda

penelitian yang dipilih adalah metoda kualitatif. Metoda penelitian kualitatif digunakan untuk mengulas nilai kearifan lokal, intensitas moral dan iklim etika pada pemerintah desa. Penelitian

ini menggunakan metoda analisis deskriptif yaitu metoda yang digunakan untuk menggambarkan

atau menganalisis hasil penelitian. Penggunaan metoda deskriptif kualitatif digunakan untuk

menggambarkan fenomena objek dan kondisi yang terjadi.

Informan dalam penelitian ini adalah perangkat desa yang menangani pengelolaan keuangan

dana desa di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Penentuan informan dilakukan dengan teknik sequential yaitu tidak ada batasan dalam pemilihan informan, jumlah

informan akan bertambah sampai informasi yang didapatkan sudah tidak dapat dikembangkan

dan informan sudah mencapai titik jenuh (Neuman, 2014).

Penelitian ini mengumpulkan data secara terbuka dengan metoda wawancara. Pertanyaan

yang digunakan sebagai acuan dapat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.

Teknik pengumpulan data dimulai dengan melakukan wawancara dengan informan. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur dengan pertanyaan bersifat fleksibel sesuai

dengan keadaan yang ada di lapangan yang bertujuan mengumpulkan informasi mengenai niat melakukan whistleblowing. Hasil dari wawancara akan di analisis dan disimpulkan menurut

jawaban dari informan.

Page 6: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

6

Hasil dan Pembahasan

Pengelolaan dana desa

Pemerintah akan memberikan pencairan dana desa dengan syarat perangkat desa sudah

menentukan pembangunan prioritas pada tahun selanjutnya melalui MUSRENBANGDES

(Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2014 (Indonesia, 2014), MUSRENBANGDES ini diikuti oleh perangkat desa, perwakilan

masyarakat (RT/RW), tokoh agama, tokoh masyarakat, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat

Desa) dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Dalam musyawarah ini tiap dusun diberi kesempatan untuk mengajukan usulan pembangunan di dusunnya. Dana desa ini digunakan

untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Kecamatan

Bringin, khususnya pada Desa Bringin menggunakan dana desa untuk pembangunan fisik (jalan,

saluran irigasi, talut, pembangunan gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), bantuan untuk

siswa kurang mampu, bantuan untuk lansia, bantuan makanan balita di Posyandu, bantuan jamban sehat pada keluarga kurang mampu, bantuan untuk rumah tidak layak huni. Perangkat

desa menentukan prioritas pembangunan berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat kebutuhan

masyarakat. Dengan adanya musyawarah yang diadakan perangkat desa beserta masyarakat,

dapat menanggulangi kesalahpahaman antar masyarakat terkait pembangunan yang

diprioritaskan atau terdapat toleransi pada tiap masyarakat desa terkait pembangunan prioritas

yang disetujui. Hal ini sesuai dengan jawaban yang diutarakan oleh Bapak IY dan Bapak IS:

“Untuk rencana pembangunan sendiri sih kami akan melakukan MUSRENBANGDES mbak, atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa. Biasanya diikuti oleh Perangkat desa, Masyarakat (RT/RW), Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa. Musyawarah itu ditujukan untuk menentukan pembangunan yang akan dilakukan.”

Bapak Is menambahkan:

“Setiap dusun diberi kesempatan untuk mengusulkan pembangunan desa, dalam MUSRENBANGDES nanti akan dipilah-pilah berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat

mendesaknya kebutuhan masyarakat.”

Setelah bendahara desa menerima pencairan dana desa, tugas dari dusun yang menjadi

prioritas pembangunan tahun tersebut adalah membentuk panitia pembangunan. Panitia

pembangunan atau biasa disebut POKJA terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris dan bagian

penghimpun masyarakat. Pembentukan POKJA ini diikuti oleh RT/RW, tokoh masyarakat dan perangkat desa (kepala dusun). POKJA bertugas untuk melaksanakan pembangunan dan

membelanjakan dana yang diberikan oleh perangkat desa mengacu pada RAB yang telah

ditetapkan dalam MUSRENBANGDES. Selaras dengan hasil wawancara Bapak IS:

“Setelah dana desa itu cair nanti bendahara desa akan menghitung sesuai dengan RABnya mbak,

setelah sudah cocok langsung diserahkan ke POKJA agar mereka dapat segera membelanjakan dan memulai pembangunan. POKJA itu tugase ya membelanjakan dana itu mbak buat kebutuhan pembangunan. Untuk memantau penggunaan dana ya kita selalu minta bukti pembelian dan membentuk TPK (tim pengawas kegiatan).”

Dalam melaksanakan pembangunan desa, masyarakat bergotong royong untuk menyelesaikan proyek pembangunan secara cepat, karena pembangunan yang cenderung lamban

akan berdampak bagi pembangunan desa lainnya dan juga dapat menghambat pencairan dana

desa tahap selanjutnya. Kepala Desa membentuk sebuah tim untuk mengawasi pembangunan

yang biasa disebut TPK (Tim Pengawas Kegiatan) yang bertugas untuk mendorong masyarakat agar

cepat menyelesaikan pembangunan desa. Dukungan masyarakat juga diwujudkan dengan

memberikan bantuan berupa uang, tenaga, atau pun makanan. Hal ini didukung oleh kutipan

wawancara dengan Bapak IS:

“Saat pembangunan desa berlangsung gitu pasti ada pengawas dari perangkat desa sendiri mbak, namanya TPK (Tim Pengawas Kegiatan). Itu biasanya diutus oleh Kepala Desa mbak, ada SKnya. TPK ini bertugas untuk ngoyak-ngoyak pekerja ne mbak, soalnya kan kalau ndak selesai tepat waktu ya pembangunan di dusun lain kan ndak bisa terlaksana, kan gitu. Kalo ndak selesai-selesai ya gimana bikin SPJ nya? Kan ya itu juga menghambat pencairan dana tahap selanjutnya kan. Ya gitu

tu mbak, saling sambung renteng jadi ya kudu cepet le ngerjake, ben kabeh komanan.”

Page 7: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

7

Saat merealisasikan pembangunan desa, perangkat desa sering menemukan masalah, baik

material maupun non material. Material, ketika mengalami kekurangan dana untuk menyediakan

makanan atau minuman bagi para POKJA atau untuk pembelian bahan bangunan. Selanjutnya

masyarakat akan bergotongroyong menyumbangkan uangnya untuk mencukupi kebutuhan dana yang ada. Hal ini selaras dengan wawancara yang dilakukan dengan Ibu NY dan Bapak IS: “Pembangunan fisik desa gitu itu tidak murni dari dana desa atau dana yang lain (ADD dan BHPDRD) mbak, kalau cuma mengandalkan itu ya kurang. Biasanya ada swadaya masyarakat, biasanya masyarakat menyumbangkan uangnya untuk sekedar membeli bahan untuk pembangunan maupun bahan untuk menyediakan makanan untuk POKJA.”

Selama merealisasikan anggaran pembangunan desa ada kalanya terdapat sisa dana. Jika ada sisa dana yang cukup besar akan digunakan untuk pengembangan proyek, dengan catatan

pengembangan tersebut harus sesuai dengan standar pembangunan fisik yang sudah disetujui

dalam MUSRENBANGDES. Hal ini sesuai dengan jawaban yang diutarakan oleh Bapak IS:

“Kalau ada sisa dana pembangunan itu biasanya dipakai untuk pengembangan mbak, tapi dengan catatan pengembangan itu harus sesuai dengan standar yang udah ditetapkan dalam MUSRENBANGDES. Kalau ada pengembangan tapi tidak sesuai dengan standar ya malah jadi masalah mbak. Kalau ada pengembangan tapi tidak sesuai dengan standar yang ditentukan ya itu yang jadi masalah”

Sebaliknya, jika terdapat sisa dana yang kecil maka akan dicatat dalam SPJ yang biasa

disebut SILPA. SILPA ini nantinya akan dikembalikan oleh perangkat desa ke kas negara (PP No

60 Tahun 2014). Pengembalian SILPA ini sesuai dengan pendapat Ibu NY:

“Ya kalau ada sisa ya harus dilaporkan mbak, mau cuma 100 rupiahpun ya harus dilaporkan, sisa itu nantinya akan dikembalikan ke kas negara mbak ndak bisa dipake buat pembangunan desa

tahun berikutnya. Tahun berikutnya ya pakai dana yang cair di tahun depan.”

Perangkat desa memahami bahwa pelayanan masyarakat dan pembangunan desa

merupakan hal yang harus dilakukan secara maksimal. Perangkat desa sangat mengedepankan kepentingan masyarakat, hal ini sesuai dengan visi Kantor Kepala Desa Bringin yaitu siap

mengabdi bagi masyarakat dan siap mendapat kritikan yang membangun. Oleh sebab itu

perangkat desa sangat tidak setuju jika terjadi pelanggaran peraturan atau penyalahgunaan dana

desa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan masyarakat dan

pembangunan desa. Hal ini didukung oleh kutipan wawancara dengan Bapak IY:

“Kami disini selalu berusaha memberikan yang terbaik buat masyarakat, ya dengan cara memberikan pelayanan yang seoptimal mungkin, datang dalam acara mereka (posyandu, pkk, bersih desa,dll) untuk menawarkan kritik dan saran yang membangun, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan pembangunan fisik yang dibutuhkan dan akan dibawa dalam

MUSRENBANGDES. Dalam hal transparansi kami juga selalu share penerimaan dana desa dan memberikan rincian dipakai untuk apa saja. Ya jaga-jaga supaya masyarakat tidak bertanya-tanya.”

Perpindahan dana dari Bendahara Desa sampai akhirnya diterima oleh POKJA

membutuhkan pengawasan yang ketat. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat

pembangunan desa dan untuk menanggulangi penyalahgunaan dana desa. Tidak hanya perangkat

desa yang melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa dan pembangunan desa,

pemerintah yang diwakili oleh BPD juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

pembangunan desa seperti yang termuat dalam UU No. 6 Tahun 2014 (55) (Indonesia, 2014). Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara dengan Bapak RM:

“Kalau pembangunan gitu tu ada yang ngawasi dan yang mendorong POKJA biar cepet selesai pembangunane, biar bisa gantian sama dusun lain gitu. Tim itu diberi nama TPK (Tim Pengawas Kegiatan) itu terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat, BPD dan LKMD. Tim ini dibentuk berdasar Surat Keputusan dari Kepala Desa mbak, jadi ndak sembarangan.”

Dalam hal akurasi dan konsistensi SPJ dan realisasi pembangunan, pemerintah yang

diwakili BKD melakukan pengawasan saat SPJ pembangunan desa sudah diselesaikan. BKD

ditugaskan untuk mengecek SPJ serta melakukan pengecekan terhadap hasil fisik bangunan. Hal

ini mengacu pada hasil wawancara yang dilakukan dengan Ibu NY:

Page 8: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

8

“Kita ndak bisa main-main dalam menggunakan dana desa mbak, soalnya itu ada pengawasan dari BKD, mereka selalu cek SPJ kami dan cek di lapangan juga mbak, kalau tidak sesuai standar ya pasti akan dipertanyakan dan diselidiki. Kalau misal ternyata ada penyalahgunaan ya pasti bakal

di bawa ke ranah hukum mbak.”

Perangkat desa berpendapat bahwa penyalahgunaan dana desa adalah tindakan yang sangat

fatal, karena dapat menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat desa. Kepala desa selalu menghimbau kepada perangkat desa dan masyarakat yang mengetahui penyalahgunaan dana desa

agar segera melaporkan pada kepala desa supaya dapat ditindaklanjuti secara kekeluargaan dalam

forum diskusi dengan perangkat desa lainnya.

Nilai-nilai kearifan lokal dan iklim etika pada niat melakukan whistleblowing

Desa Bringin di Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang merupakan wilayah yang masih

menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai leluhurnya. Nilai kearifan lokal yang dimaksud adalah pertama, ritual popokan (lempar lumpur) merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat desa atas

keberhasilan pendiri desa yang dapat mengusir hal-hal yang dapat membahayakan masyarakat. Kedua, nyadran kubur merupakan adat membersihkan makam kerabat sebelum bulan puasa yang

bertujuan untuk bersilaturahmi dengan kerabat yang sudah meninggal, adat ini diakhiri dengan makan bersama (tumpengan). Dalam budaya nyadran kubur ini, masyarakat saling memberikan

rejeki kepada kaum janda dan orang yang tidak mampu dilingkungan tempat tinggalnya. Ketiga, merti dusun (bersih desa) merupakan ungkapan rasa syukur, pengharapan dan juga kekeluargaan

(gotong royong, saling toleransi, guyub rukun). Ungkapan pengharapan ini ditujukan agar di masa

mendatang tidak ada hal buruk yang menaungi desa tersebut. Tradisi yang ada di Desa Bringin

mengajarkan sikap saling gotong royong, kekeluargaan, saling membantu dan sikap persaudaraan antar masyarakat desa. Perangkat desa selalu mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta

mengawasi penggunaan dana tersebut agar tidak menghambat pembangunan desa, melaporkan

masalah yang terjadi saat pelaksanaan pembangunan serta ikut bergotong royong dalam

pembangunan desa agar dapat diselesaikan tepat waktu.

Perangkat desa, khususnya kepala desa memiliki tanggung jawab kepada pemerintah dalam

melaporkan penggunaan dana desa. Rasa tanggung jawab ini membuat kepala desa memberikan himbauan kepada perangkat desa untuk membuat laporan pertanggungjawaban dengan baik dan

benar sesuai dengan pelaksanaan pembangunan desa. Dalam menjalankan pemerintahannya,

perangkat desa dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat desa baik dari segi

pelayanan masyarakat maupun dalam penggunaan dana desa. Kepala desa menghimbau bagi

perangkat desa agar mengedepankan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan meminimalisir penyalahgunaan dana desa. Sebagai kepala pemerintahan di Desa Bringin, kepala desa juga

memberikan pendekatan kepada perangkat desa untuk ikut serta mengawasi penggunaan dana

desa dan melaporkan tindakan yang penyalahgunaan dana desa. Pendekatan yang dimaksud

adalah mengenai dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dana desa yaitu perangkat desa

akan menjadi saksi kasus penyalahgunaan serta menimbulkan rasa saling curiga dan tidak

nyaman antar perangkat desa. Selain pendekatan mengenai dampak yang ditimbulkan, perangkat desa juga memberikan pendekatan mengenai dukungan dan respon terkait pengungkapan

penyalahgunaan dana pembangunan desa. Partisipasi masyarakat ini diharapkan agar kasus

penyalahgunaan dana desa dapat diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu tanpa campur

tangan dari pemerintah (BPKP) sehingga tidak menghambat pembangunan desa.

Pendekatan dari perangkat desa terkait dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dana desa, pemberian dukungan dan solusi bagi penyalahgunaan dana desa serta keinginan masyarakat

untuk menjaga desanya agar terhindar dari hal-hal buruk membuat masyarakat berani untuk menjadi seorang whistleblowing. Niat menjadi whistleblower ini timbul karena masyarakat merasa

memiliki tanggung jawab untuk mengusir segala hal buruk yang dapat merugikan warga.

Partisipasi dari masyarakat didukung oleh perangkat desa dengan memberikan transparansi

penerimaan dan pembangunan dana desa disertai syarat pembangunan yang telah ditetapkan pada MUSRENBANGDES.

Faktor yang mempengaruhi niat masyarakat dan perangkat desa dalam melakukan whistleblowing adalah nilai-nilai kearifan lokal yang dilihat dari adat istiadat dan filosofi nilai

kehidupan Jawa. Adat istiadat yang mampu mempengaruhi niat melakukan whistleblowing yaitu

pertama, merti dusun yang merupakan ungkapan syukur dan pengharapan agar di masa

mendatang tidak ada hal-hal buruk yang menaungi desanya (korupsi, kejahatan, keserakahan). Kedua, ritual popokan yang menggambarkan tentang ungkapan rasa syukur masyarakat desa

terhadap keberhasilan pemangku desa. Dalam kehidupan dimasa kini menggambarkan dukungan

Page 9: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

9

dan peran perangkat desa dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan dana desa tanpa mengambat pembangunan desa. Ketiga, tentang filosofi nilai jawa yaitu “Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara” yang berarti bahwa manusia mengusahakan kebahagiaan, kesejahteraan

serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak yang ada dalam diri sendiri maupun

masyarakat desa. Nilai kearifan lokal mengajarkan kepada masyarakat untuk bersyukur atas yang dimiliki, berusaha memberikan yang terbaik bagi desanya dan menjaga desanya dari hal-hal buruk

seperti korupsi, kejahatan dan keserakahan. Hal inilah yang membuat masyarakat berani untuk melakukan whistleblowing.

Niat melakukan whistleblowing juga dipengaruhi oleh persepsi nilai, norma dan aturan yang

berlaku di Desa Bringin atau yang biasa disebut iklim etika. Iklim etika egoism ditunjukkan dengan

sebagian masyarakat masih memiliki rasa takut dan sungkan mengungkapkan penyalahgunaan

dana desa. Hal ini dikarenakan, pertama, pihak yang melakukan penyalahgunaan dana desa adalah kerabat atau sahabat karibnya, sehingga hanya memberikan teguran agar tidak melakukan

penyalahgunaan lagi. Kedua, pengungkapan penyalahgunaan yang dilakukan oleh kerabat

maupun sahabatnya akan menimbulkan keretakan dalam hubungan keluargaan dan

persahabatan. Ketiga, jika pengungkapan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak yang

memiliki wewenang dalam pemerintahan desa (kepala desa atau sekretaris desa ataupun bendahara desa) tidak didukung oleh pemerintahan yang lebih tinggi (Kecamatan) dapat

mengancam posisinya di dalam masyarakat. Keempat, ada rasa takut jika pengungkapan yang dilakukan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih besar. Melihat masih kurangnya

keberanian dan kesadaran masyarkat untuk mengungkapkan hal yang buruk ditengah

masyarakat, maka perlu ada perangkat desa atau aparat pemerintahan yang memberikan

penyuluhan terkait pentingnya mengungkap hal-hal buruk yang dapat berimbas bagi seluruh masyarakat desa.

Iklim etika benevolence merupakan kesadaran dalam diri individu untuk memberikan yang

terbaik demi kesejahteraan bersama dan tidak membenarkan adanya tindakan yang memberikan

dampak buruk bagi masyarakat seperti kejahatan ataupun korupsi. Kesadaran akan pentingnya

kesejahteraan masyarakat desa di pengaruhi oleh adat istiadat dan filosofi kehidupan yang

diwariskan leluhur Desa Bringin atau yang biasa disebut nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal yang ada di Desa Bringin memberikan gambaran bahwa masyarakat bersyukur atas kekayaan

alam yang ada, berusaha membangun desa demi kesejahteraan masyarakan serta memerangi hal

negatif yang dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat (korupsi dan kejahatan).

Kesadaran akan pentingnya menyejahterakan perlu diimbangi dengan keberanian masyarakat

untuk mengungkapkan tindakan tidak etis yang dapat memberikan dampak buruk bagi seluruh

warga desa. Salah satu cara menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melakukan whistleblowing adalah memberikan penyuluhan terkait dampak yang akan ditimbulkan dari

penyalahgunaan dana desa dan dukungan yang diberikan bagi masyarakat yang mau

mengungkapkan penyalahgunaan dana desa.

Iklim etika principle, merupakan pengambilan keputusan berdasarkan pada peraturan yang

ada di suatu wilayah dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah telah membuat

peraturan mengenai aturan pencairan dana desa, penentuan pembangunan prioritas, pelaporan penggunaan dana desa serta sanksi yang diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana

pembangunan. Penyalahgunaan dana desa memberikan dampak buruk bagi seluruh warga desa,

karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan

masyarakat digunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan dana desa

juga berimbas pada ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat desa dan sanksi yang

diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana desa adalah penundaan pencairan pada tahap selanjutnya atau bahkan pengurangan dana yang akan dicairkan pada tahap selanjutnya. Dengan

adanya penyuluhan tentang dampak dan dukungan yang diberikan oleh perangkat desa,

masyarakat diharapkan untuk berani mengungkapkan penyalahgunaan dana desa sejak dini agar dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa melibatkan pemerintah.

Intensitas moral pada niat melakukan whistleblowing

(Kreshastuti & Prastiwi, 2014) menyatakan bahwa intensitas moral merupakan sebuah unsur yang mencakup karakteristik terkait dengan isu moral utama yang akan mempengaruhi persepsi

individu. (Taylor & Curtis, 2010) mengatakan bahwa seseorang mengambil keputusan untuk

melaporkan pelanggaran orang lain berdasarkan dari keseriusan pelanggaran dan tanggung jawab

dalam organisasi untuk melaporkan pelanggaran. Persepsi kontrol perilaku seorang individu

Page 10: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

10

dipengaruhi oleh faktor internal (persepsi dalam diri individu) dan eksternal yaitu lingkungan

tempat individu tinggal (Setiawati & Sari, 2016).

Dalam melaksanakan pembangunan desa, masyarakat memiliki peran penting untuk

menyelesaikan pembangunan sesuai batas waktu yang ditentukan serta membelanjakan dana tersebut untuk keperluan pembangunan desa. Setelah dana tersebut dicairkan, nantinya

perangkat desa akan mencocokan dengan RAB (Rencana Anggaran Belanja) yang kemudian akan

diserahkan pada POKJA ditiap dusun. Pengawasan penggunaan dana desa penting dilakukan

karena POKJA diberi kekuasaan untuk membelanjakan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan

pembangunan desa.

Perangkat desa memberikan dorongan bagi masyarakat untuk ikut serta mengawal penggunaan dana desa dengan mengawasi penggunaan dana desa dan berani melaporkan tindak

penyalahgunaan dana desa. Dorongan yang dilakukan perangkat desa untuk masyarakat ini

bertujuan untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat. Jika masyarakat yang

mengetahui penyalahgunaan dana desa tidak berani mengungkapkan dan membiarkan kasus

penyalahgunaan dana desa terjadi maka akan menimbulkan moral yang tidak baik bagi masyarakat desa. Dikatakan sebagai moral yang tidak baik karena jika masyarakat membiarkan

penyalahgunaan dana desa terus terjadi maka dapat berpotensi tumbuh kasus penyalahgunaan

lain yang dapat memberikan dampak buruk bagi seluruh masyarakat desa. Walaupun demikian tidak mudah menjadi seorang whistleblower, mengingat masyarakat desa cenderung sungkan dan

takut untuk mengungkapkan penyalahgunaan, apalagi jika pihak yang melakukan

penyalahgunaan adalah kerabat atau sahabat sendiri. Perangkat desa menyadari bahwa mengatakan hal yang baik dan mengungkapkan hal-hal buruk memang seharusnya dijadikan

kebiasaan bagi masyarakat, karena penyalahgunaan dana desa dapat berimbas bagi seluruh

masyarakat desa. Perangkat desa menyiasati perasaan masyarakat yang takut dan sungkan

mengungkapkan penyalahgunaan dana desa dengan memberikan penyuluhan, yaitu terkait

dampak yang timbul dan tindakan perangkat desa terkait pengungkapan yang dilakukan oleh

masyarakat. Penyalahgunaan dana desa yang tidak segera ditangani memberikan dampak buruk bagi

masyarakat desa, yaitu pembangunan desa menjadi terhambat, tidak ada dana tambahan dari

pemerintah, sanksi dari pemerintah berupa penundaan pencairan dana untuk tahap selanjutnya

serta sanksi berupa ganti rugi kepada negara jika kasus tersebut sudah dibawa ke ranah hukum.

Selain memberikan penyuluhan terkait dampak yang timbul akibat penyalahgunaan dana desa, perangkat desa juga meyakinkan masyarakat untuk berani mengungkapkan penyalahgunaan dana

desa. Penyuluhan yang dimaksud adalah mengenai dukungan dan tindakan yang diambil oleh

perangkat desa. Untuk menindak kasus korupsi yang diungkapkan warga, perangkat desa

melakukan identifikasi terlebih dahulu dan mengawasi pihak yang bersangkutan. Jika terbukti

pihaknya melakukan tindakan korupsi nantinya akan diberikan teguran dan dibawa dalam

musyawarah dengan POKJA dan pihak Kecamatan untuk mencari titik temu dan sanksi bagi pelaku agar kasus tersebut tidak menghambat pembangunan desa. Keputusan menjadi whistleblower merupakan hal yang tidak mudah diputuskan secara

langsung, apalagi masyarakat desa masih memiliki rasa sungkan dan takut untuk

mengungkapkan penyalahgunaan dana desa. Maka perlu ada perangkat desa atau aparat

pemerintah yang dapat menumbuhkan kesadaran dan keberanian masyarakat untuk berani melakukan whistleblowing. Cara menumbuhkan kesadaran dan keberanian masyarakat dapat

dilakukan melalui gambaran terkait dampak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat desa jika

terjadi penyalahgunaan dana desa. Melalui dorongan dari perangkat desa untuk berani menjadi whistleblower dan gambaran tentang dampak yang timbul membuat masyarakat berani

mengungkapkan penyalahgunaan dana desa kepada perangkat desa. Hal ini dibuktikan dengan

adanya penyelesaian kasus korupsi dana desa oleh perangkat desa yang dapat diselesaikan tanpa

melibatkan pemerintah dan tidak menghambat proses pembangunan desa yang sedang berlangsung. Bapak camat Bringin juag membenarkan adanya penyelesaian kasus korupsi yang

diuangkapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan menjadi whistleblower dipengaruhi pada faktor persepsi dalam diri individu, dorongan dari perangkat desa

untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat, juga pendekatan mengenai dampak dan dukungan yang diberikan oleh perangkat desa bagi whistleblower.

Page 11: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

11

Simpulan dan Saran

Penelitian ini mendapatkan temuan bahwa perangkat desa paham betul penggunaan dana

desa adalah untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yaitu pembangunan

infrastruktur yang berhubungan langsung dengan masyarakat (pembangunan jalan, talut, dan

saluran irigasi) bantuan siswa kurang mampu, bantuan jamban sehat dan bantuan rumah tidak

layak huni. Perangkat desa juga masih memegang teguh budaya untuk melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan pembangunan desa yang biasa disebut MUSRENBANGDES

(Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), musyawarah ini bertujuan agar antar masyarakat

desa dapat bertoleransi terhadap pembangunan desa yang diprioritaskan, sehingga tumbuh sikap

tenggangrasa di setiap diri masyarakat, karena pada hakikatnya prioritas pembangunan desa

didasarkan pada tingkat mendesaknya kebutuhan masyarakat dan tingkat kerusakan yang terjadi. Perangkat desa dihimbau oleh Kepala Desa agar lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat

dengan meminimalisir kesalahan dalam pelayanan dan kasus penyalahgunaan dana desa. Sebagai

bentuk pengawasan terhadap pengelolaan dana desa, Kepala Desa juga membentuk tim pengawas

yang disebut TPK (Tim Pengawasan Kerja) yang bertugas untuk mencegah penyalahgunaan

pengelolaan dana desa.

Penelitian ini juga menemukan bahwa whistleblowing tidak hanya dapat diterapkan pada

perusahaan besar saja tetapi dapat diterapkan pada aparat desa di Desa Bringin. Whistleblowing yang dianut di Desa Bringin adalah whistleblowing internal karena Kepala Desa menginginkan

kasus penyalahgunaan desa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak melibatkan pihak luar (pemerintah). Whistleblowing merupakan upaya yang dilakukan perangkat desa untuk mengurangi

tindak penyalahgunaan pengelolaan dana desa. Masyarakat dan perangkat desa berani untuk melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh yang pertama, kesadaran masyarakat untuk

mengungkapkan hal buruk untuk melindungi dan menyejahterakan warga desa. Kedua, iklim etika egoism penelitian ini menemukan bahwa masih ada beberapa orang yang merasa sungkan

untuk melakukan whistleblowing karena takut menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks

dan takut jika pengungkapannya dapat mempengaruhi kedudukannya di tengah masyarakat. Ketiga, yang mempengaruhi niat melakukan whistleblowing adalah iklim etika benevolence.

Munculnya niat masyarakat untuk melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh kesadaran

masyarakat akan pentingnya menyejahterakan masyarakat dan keberanian masyarakat untuk melakukan whistleblowing. Keempat adalah iklim etika principle, perangkat desa menumbuhkan

kesadaran masyarakat dengan penyuluhan tentang dampak yang akan ditimbulkan jika terjadi

penyalahgunaan dana desa dan dukungan perangkat desa dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan dana desa. Keenam, niat melakukan whistleblowing oleh masyarakat didasarkan

pada dorongan perangkat desa untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat untuk mengungkapkan hal-hal buruk agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat

desa.

Daftar Pustaka

Ahmad, S. A., Yunos, R. M., Ahmad, R. A. R., & Sanusi, Z. M. (2014). Whistleblowing Behaviour: The Influence of Ethical Climates Theory. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 164, 445–

450. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.101

Alam, M. D. (2013). Persepsi Aparatur Pemerintah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang Terhadap Fraud dan Peran Whistleblowing Sebagai Upaya Pencegahan dan Pendeteksian Fraud. Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 2(2). Retrieved from

http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/1280

Chen, C.-P., & Lai, C.-T. (2011). Moral Intensity and Organisational Commitment: Effects on Whistle-blowing Intention and Behaviour. In European Business Ethics Network Ireland Research Conference. Retrieved from https://ebeni.files.wordpress.com/2011/09/does-

integrity-matter-eben-research-conference-dublin-june-2011.pdf

Gandamihardja, V. K., Gunawan, H., & Maemunah, M. (2016). Pengaruh komitmen profesional dan intensitas moral terhadap intensi melakukan whistleblowing (Studi auditor internal yang bekerja di BUMN). In Seminar Penelitian Sivitas Akademika Unisba (pp. 271–278).

Page 12: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

12

Governance, K. N. K. (2008). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System).

Retrieved from http://www.knkg-indonesia.org/dokumen/Pedoman-Pelaporan-Pelanggaran-

Whistleblowing-System-WBS.pdf

Graham, J. W., Miceli, M. P., & Near, J. P. (1993). Blowing the Whistle: The Organizational and Legal Implications for Companies and Employees. Administrative Science Quarterly (Vol. 38).

https://doi.org/10.2307/2393341

Hermansyah. (2016, May 21). Menpora Imam Resmikan Lapangan Olahraga di Desa Wonokerto. Harian Terbit. Retrieved from

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/05/21/62163/25/25/Menpora-Imam-

Resmikan-Lapangan-Olahraga-di-Desa-Wonokerto

Huang, C.-F., Lo, K.-L., & Wu, C.-F. (2013). Ethical climate and whistleblowing: an empirical study of Taiwan’s construction industry. Pakistan Journal of Statistics, 29(5), 681–696. Retrieved

from

http://web.b.ebscohost.com/abstract?direct=true&profile=ehost&scope=site&authtype=craw

ler&jrnl=10129367&AN=97359027&h=6yU5s%2Bt16pekwKNRC9eKmzQ3Ot2kYF18oRmXrX

25bHaLZPA6XRbzy7UDvjBVwQfuvGBBUiGIS%2F7jRYVmI2Fkbw%3D%3D&crl=f&resultNs=A

dminWebAuth&resultLocal=

Indonesia, P. (2014). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014

TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

NEGARA (pp. 1–13). Retrieved from http://www.peraturan.go.id/pp/nomor-60-tahun-2014-

11e4bbf0f784ee84a5c5313334373134.html

Indonesia, P. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (pp. 1–16). Retrieved from

http://peraturan.go.id/uu/nomor-31-tahun-2014.html

Indonesia, P. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

DESA (pp. 1–49). Retrieved from http://peraturan.go.id/uu/nomor-6-tahun-2014.html

Jones, T. M. (1991). Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An Issue-Contingent Model. Academy of Management Review, 16(2), 366–395.

https://doi.org/10.5465/AMR.1991.4278958

Junaedi. (2016). 30 Desa Deklarasikan Setop BAB Sembarangan. Retrieved December 24, 2016, from http://www.semarangkab.go.id/utama/berita/kegiatan-pemerintahan/1846-30-desa-

deklarasikan-setop-bab-sembarangan.html

Juniarta, H. P., Susilo, E., & Primyastanto, M. (2013). KAJIAN PROFIL KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR PULAU GILI KECAMATAN SUMBERASIH KABUPATEN PROBOLINGGO JAWA TIMUR. ECSOFIM (Economic and Social of Fisheries and Marine), 1(1).

Retrieved from http://ecsofim.ub.ac.id/index.php/ecsofim/article/view/10

Kreshastuti, D. K., & Prastiwi, A. (2014). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WHISTLEBLOWING (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang). Diponegoro Journal of Accounting, 3(2), 1–15.

MICELI, M. P., & NEAR, J. P. (1988). INDIVIDUAL AND SITUATIONAL CORRELATES OF WHISTLE‐BLOWING. Personnel Psychology, 41(2), 267–281. https://doi.org/10.1111/j.1744-

6570.1988.tb02385.x

Mulyadi, L. (2014). Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum terhadap

Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia Masa Mendatang. Hukum Dan Peradilan, 3(2), 101–116.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.25216/JHP.3.2.2014.101-116

Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Relevance of social research (Vol. 8). https://doi.org/10.2307/3211488

Page 13: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

13

Noviani, D. P., & Sambharakreshna, Y. (2014). PENCEGAHAN KECURANGAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN. JAFFA Oktober, 2(2), 61–70.

Novius, A., & Arifin. (2011). Perbedaan persepsi intensitas moral mahasiswa akuntansi dalam proses pembuatan keputusan moral (studi survei pada mahasiswa S1 Akuntansi, Pendidikan Profesi Akuntansi Universitas Diponegoro Semarang). Diponegoro University Semarang.

Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/17167/

Park, H., & Blenkinsopp, J. (2009). Whistleblowing as planned behavior - A survey of south korean police officers. Journal of Business Ethics, 85(4), 545–556. https://doi.org/10.1007/s10551-

008-9788-y

Rahyono. (2009). Kearifan budaya dalam kata. Wedatama Widyasastra.

Ranin, A. (2016, November 3). Pembangunan Bak Penampung Minimalisasi Risiko Longsor.

Retrieved December 24, 2016, from http://berita.suaramerdeka.com/pembangunan-bak-

penampung-minimalisir-resiko-longsor/

Rothwell, G. R., & Baldwin, J. N. (2006). Ethical Climates and Contextual Predictors of Whistle-Blowing. Review of Public Personnel Administration, 26(3), 216–244.

https://doi.org/10.1177/0734371X05278114

Senjaya, I. C. (2014, December 31). Catatan Akhir Tahun -Dana Desa dan Maraknya Korupsi Kades. Antara Jateng. Retrieved from http://www.antarajateng.com/detail/catatan-akhir-

tahun-dana-desa-dan-maraknya-korupsi-kades.html

Setiawan, D. (2016, December 4). Pembangunan Jalan di Sepakung Dianggarkan Rp 1,5 Miliar. Tribun Jateng. Retrieved from http://jateng.tribunnews.com/2016/12/04/pembangunan-

jalan-di-sepakung-dianggarkan-rp-15-miliar

Setiawati, L. P., & Sari, M. M. R. (2016). Profesionalisme, komitmen organisasi, intensitas moral dan tindakan akuntan melakukan whistleblowing. E-Journal Akuntansi Universitas Udayana,

17(1), 257–282. Retrieved from

https://ojs.unud.ac.id/index.php/Akuntansi/article/view/18947

Setyawati, I., Ardiyani, K., & Sutrisno, R. C. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat untuk

Melakukan Whistleblowing Internal (The Factors Influencing Internal Whistleblowing Intentions). Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 17(September), 22–33.

Shawver, T. (2011). The Effects of Moral Intensity on Whistleblowing Behaviors of Accounting Professionals. Accounting, Journal of Forensic & Investigative, 3(2), 162–190.

Simha, a., & Cullen, J. (2012). Ethical Climates and their Effects on Organizational Outcomes - Implications from the Past, and Prophecies for the Future. Academy of Management Perspectives, 20–35. https://doi.org/10.5465/amp.2011.0156

Taylor, E. Z., & Curtis, M. B. (2010). An examination of the layers of workplace influences in ethical judgments: Whistleblowing likelihood and perseverance in public accounting. Journal of Business Ethics, 93(1), 21–37. https://doi.org/10.1007/s10551-009-0179-9

Tiza, A. L., Hakim, A., & Haryono, B. S. (2014). Implementasi program pembangunan desa mandiri

anggaran untuk rakyat menuju sejahtera (anggur merah) (studi di badan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara). Wacana, Jurnal Sosial Dan Humaniora Universitas Brawijaya, 17(1). Retrieved from

http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/296

Victor, B., & Cullen, J. B. (1988). The Organizational Bases of Ethical Work Climates. Source: Administrative Science Quarterly, 33(1), 101–125. https://doi.org/10.2307/2392857

Wandansari, G. K. . (2015). Aktualisasi nilai-nilai tradisi budaya daerah sebagai kearifan lokal untuk memanapkan jatidiri bangsa. In Konferensi Internasional Budaya Daerah III di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Retrieved from

http://ikadbudi.uny.ac.id/sites/ikadbudi.uny.ac.id/files/lampiran/MAKALAH_0.pdf

Page 14: NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

14

Zanaria, Y. (2013). Pengaruh Profesionalisme Audit, Intensitas Moral untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi pada KAP di Indonesia). In Seminar Nasional dan The 3rd Call for Syariah Paper FEB UMS (pp. 569–577). Retrieved from

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7302/52 - Yulita

Zanaria.pdf?sequence=1&isAllowed=y