35
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha peruggasan, khususnya ayam (broiler maupun layer) mempunyai arti ekonomis yang sangat penting dibandingkan dengan jenis usaha peternakan lainnya. Alasan yang pertama, teknik beternak ayam relatif lebih mudah sehingga dapat dilakukan oleh banyak orang. Kedua, harga produknya murah dan nilai giziny tinggi. Ketiga, produk utama dan sampingannya dapat dimanfaatkan. Perkembangan usaha tersebut cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari populasinya yang tinggi (Tarmudji, 2005). Pesatnya perkembangan tersebut didorong oleh kebutuhan manusia tehadap daging ayam maupun telur ayam. Namun usaha peternakan ayam ini merupakan suatu usaha yang mempunyai risiko tinggi, karena sewaktu-waktu dapat terjadi wabah penyakit menular. Oleh sebab itu, pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan professional (Tarmudji, 2005). 1

nekropsi unggas.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nekropsi unggas

Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha peruggasan, khususnya ayam (broiler maupun layer) mempunyai

arti ekonomis yang sangat penting dibandingkan dengan jenis usaha peternakan

lainnya. Alasan yang pertama, teknik beternak ayam relatif lebih mudah sehingga

dapat dilakukan oleh banyak orang. Kedua, harga produknya murah dan nilai

giziny tinggi. Ketiga, produk utama dan sampingannya dapat dimanfaatkan.

Perkembangan usaha tersebut cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari populasinya

yang tinggi (Tarmudji, 2005). Pesatnya perkembangan tersebut didorong oleh

kebutuhan manusia tehadap daging ayam maupun telur ayam. Namun usaha

peternakan ayam ini merupakan suatu usaha yang mempunyai risiko tinggi,

karena sewaktu-waktu dapat terjadi wabah penyakit menular. Oleh sebab itu,

pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan professional (Tarmudji, 2005).

Penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus pada suatu peternakan

ayam pedaging, petelur maupun pembibitan ayam merupakan suatu permasalahan

yang harus senantiasa diwaspadai, karena sedikit saja kontrol terhadap penyakit

viral ini berkurang, maka akan muncul wabah dalam suatu populasi yang akan

mengakibatkan kerugian ekonomi pada peternak.

Penyakit viral arthritis pada ayam, sepintas lalu tidak sepopuler penyakit-

penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus lainnya seperti Newcastle Disease

(ND), Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngotracheitis (ILT) dan lain-

1

lainnya. Viral arthritis adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh avian

reovirus dan menyebabkan kelemahan pada kaki, pincang dan rusaknya tendon

gastrocnemius. Avian reovirus selain menyebabkan viral arthritis, juga

diperkirakan menjadi penyebab dari stunting syndrom, enteritis/malabsorption

syndrom dan penyakit pada saluran pernafasan.

Mobilitas ayam yang terserang penyakit ini akan terganggu, karena

ketidaknormalan fungsi organ geraknya. Kerugian yang disebabkan oleh infeksi

reovirus dapat berupa penurunan bobot badan, produksi telur, mutu karkas,

kematian, dan banyaknya ayam yang harus dikeluarkan. Virus ini mungkin tidak

banyak berperan dalam menimbulkan kematian atau banyaknya ayam yang harus

dikeluarkan, tetapi adanya penyakit ini dalam suatu peternakan akan

menyebabkan pertumbuhan yang tidak merata, sehingga akan menghasilkan

keseragaman populasi yang buruk (Dharmayanti dkk, 2000).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah kasus ini adalah:

Bagaimana anamnesa dan gejala klinis dari unggas yang

diperiksa ?

Bagaimana perubahan patologi anatomi dari nekropsi unggas

yang diperiksa?

Bagaimanakah diagnosa sementara dari unggas yang telah

diperiksa?

2

1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah kasus ini adalah untuk mengetahui

tentang penyebab penyakit dari ayam yang telah dinekropsi dengan melihat

kerusakan yang terjadi pada organ secara makroskopis dan mikroskopis.

1.4 Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah kasus ini adalah membantu diagnosa

dokter hewan dalam menentukan kasus penyakit pada ayam tersebut.

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD)

Penyebab penyakit viral arthritis adalah Reovirus dari family Reoviridae.

Materi genetik virus tersusun atas RNA beruntai ganda (ds-RNA), dan disebelah

luarnya terdapat kapsid dengan 92 kapsomer. Bentuk virus ikosahedral dan

berukuran diameter berkisar 75 nm.

Viral arthritis disebabkan oleh virus dari genus Orthoreovirus, famili

Reoviridae (FRANCKI et al., 1991 dalam SHAPOURI et al., 1996). Virus

tersebut tidak mempunyai envelop, berbentuk simetris ikosahedral dan

mengandung asam inti RNA beruntai ganda. Reovirus resisten terhadap panas,

dapat stabil pada suhu 60°C selama 6–10 jam, 56°C selama 22–24 jam, 37oC

selama 15–16 minggu dan 22oC selama 48–51 minggu, 4oC selama 3 tahun, -

20oC selama 4 tahun dan -63oC selama 10 tahun. Reovirus tidak sensitif terhadap

eter tapi cukup peka terhadap kloroform. Reovirus tahan pada pH 3 dan in aktif

dengan etanol 70% dan iodin organik 0,5%.

Viral arthritis pertama kali dilaporkan pada tahun 1957. Sejak saat itu

beberapa negara melaporkan adanya peningkatan penyakit ini pada peternakan

komersial (WHITEMAN dan BICKFORD, 1979). Di India, avian reovirus

pertama kali dilaporkan oleh CHAUHAN et al. (1988) dengan ditemukannya lima

serum positif avian reovirus dari sembilan ayam yang terserang arthritis pada flok

dengan populasi 220 ekor. Pada tahun 1983, pernah terjadi wabah viral

4

arthritis/tenosinovitis pada peterna-kan komersial di Washington bagian Barat.

Sumber dari infeksi ini ternyata adalah ayam umur sehari yang disuplai dari

peternakan pembibitan terinfeksi (DHILLON et al., 1986). Sementara itu,

kejadian viral arthritis di Indonesia belum dilaporkan secara resmi. Tetapi gejala

klinis serupa telah banyak terjadi pada peternakan pembibitan di Indonesia.

Ayam tipe pedaging mempunyai kepekaan lebih tinggi terhadap virus ini

dibandingkan dengan ayam tipe petelur (JONES dan KIBENGE, 1984). Hal ini

di-sebabkan karena pertumbuhan bobot badan yang cepat pada ayam tipe

pedaging, sehingga secara fisik tendon menanggung beban yang lebih berat,

sehingga menjadi faktor predisposisi dari penyakit ini. Di samping itu, tendon

ayam tipe pedaging mempunyai kekuatan yang lebih rendah dan mempunyai

struktur jaringan ikat fibrous yang lebih terbuka dibandingkan dengan tipe petelur

2.2 Patogenesis Penyakit

Penularan penyakit terjadi secara vertikal melalui telur dan secara

horizontal dari unggas sakit ke unggas sehat baik secara langsung maupun tidak

langsung. Penularan tidak langsung terjadi dengan perantaraan manusia, hewan

liar atau peralatan kandang. Unggas yang pernah terinfeksi CRD dan telah

sembuh atau unggas penderita menjadi sumber penularan ke unggas sehat yang

lain.

M. gallisepticum masuk ke saluran pernapasan dan menyerang silia dan

permukaan mukosa saluran pernapasan. Karena Mycoplasma menghasilkan

5

macam-macam metabolit, materi toksik dan pengurangan asam amino, asam

lemak dan precusor DNA menyebabkan membran mukosa saluran pernapasan

mengalami kerusakan. Kemampuan mengeluarkan lendir dan efek antimikrobial

dari lendir berubah, motilitas silia menurun. Akibatnya M. gallisepticum mudah

masuk paru-paru dan kantung udara. Jenis-jenis mikroba lain disaluran napas

bagian atas menjadi mudah menyerang.

Dari saluran pernapasan, M.gallisepticum mudah mencapai aliran darah

dan tersebar keseluruh tubuh termasuk: persendian, ovarium dan oviduk.

Akibatnya fungsi penghasil telur menjadi terganggu sehingga produksi telur turun,

kematian embrio meningkat. Jika terjadi penyakit yang kronis Mycoplasma

berkembang biak di oviduk dan jaringan sekitar ovarium menyebabkan telur yang

dihasilkan mengandung mycoplasma.

Tanpa komplikasi unggas yang terserang CRD tidak menampakan gejala

yang jelas. Pada unggas yang gejala klinisnya jelas dapat dilihat ingus keluar dari

lubang hidung, batuk dan bersuara pada waktu bernapas. Suara ini lebih jelas bila

malam hari. Adakalanya unggas yang terserang menunjukkan gejala muka

bengkak akibat adanya eksudat dalam sinus infra orbitalis.

2.3 Gejala Klinis dan Perubahan Patologi Anatomi

Penyakit yang berhubungan dengan organ gerak seperti otot, tulang, dan

persendian pada umumnya menimbulkan manifestasi klinik seperti pincang,

kesulitan bergerak, lumpuh, dan kelainan dari tubuh (BLOOD dan RADOSTITS,

6

1989). Demikian juga dengan viral arthritis, gejala umum yang dapat diamati pada

ayam yang terserang penyakit ini berupa pem-bengkakan tendon metatarsal

ekstensor dan digital fleksor (ROSENBERGER dan OLSON, 1991).

Dari flok yang terinfeksi, 1–10% menunjukkan kepincangan dengan

derajad yang bervariasi, ke-bengkakan sendi lutut dapat terjadi pada salah satu sisi

atau keduanya. Beberapa ayam yang terserang tampak malas untuk bergerak,

tidak dapat makan dan minum, sehingga ayam cepat mengalami dehidrasi dan

akhirnya mati (MILLS, 1986).

Hal serupa juga diungkapkan oleh WHITEMAN dan BICKFORD (1979),

bahwa tanda–tanda awal penyakit ini adalah adanya kepincangan dan

pembengkakan tendon. Kepincangan pada ayam akibat penyakit ini terjadi pada

ayam umur 6–7 minggu (BAINS et al., 1979). Ayam yang terserang terkadang

masih dalam kondisi yang baik, tetapi beberapa ekor ayam tampak menunjukkan

kekerdilan. Kematian pada kasus ini biasanya cukup rendah (WHITEMAN dan

BICKFORD, 1979).

Penyakit koksidiosis dapat memperparah gejala klinis penyakit ini (RUFF

dan ROSENBERGER, 1984). Interaksi dari koksidia dan reovirus secara

bersamaan akan memperburuk pembengkakan yang ditimbulkan oleh reovirus

dibandingkan jika ayam terinfeksi dengan reovirus saja. COOK et al. (1983),

dari hasil eksperimennya menyimpulkan bahwa kejadian abnormalitas pada kaki

(kelemahan atau kepincangan) yang disebabkan oleh kekurangan biotin, niasin,

dan asam folat akan bertambah parah jika terjadi infeksi dari reovirus. MILLS

7

(1986), menyatakan bahwa tendon yang terserang biasanya menjadi keras, fibrosis

dan mengalami perlekatan dengan kulit sehingga tendon menjadi tidak berfungsi.

Pada kasus lebih lanjut akan menyebabkan rusaknya tendon gastrocnemius pada

salah satu kaki atau pada kedua kaki (WHITEMAN dan BICKFORD, 1979) serta

akan terjadi nekrosis dari kaput femoralis (VAN DER HEIDE et al., 1981) yang

me-ngakibatkan ayam kehilangan mobilitas.

Gambaran patologi

Pada awalnya, lesi mengeluarkan eksudat bening yang selanjutnya akan

berubah menjadi purulen (ber-nanah). Terdapat akumulasi fibrin pada tendon

yang bengkak atau dapat terjadi hemoragi di atas persendian lutut. Pada kejadian

yang kronis, terdapat pengerasan dan penyatuan selubung tendon dan tulang

rawan per-sendian mengalami erosi (BAINS, 1979). Lesi yang sama juga dapat

ditemukan pada persendian lainnya seperti persendian bahu (BAINS, 1979).

Peradangan menyeluruh dapat terjadi pada daerah persendian lutut dan

tarsometatarsal (KERR dan OLSON, 1969 dalam ROSENBERGER dan OLSON,

1991). MILLS (1986) menyatakan bahwa tendon yang mengalami penebalan dan

udema jaringan persendian, dapat diikuti dengan eksudasi yang tidak nyata. Lesi

sering mengalami infeksi sekunder, sehingga eksudasi berubah menjadi purulen

atau mengalami perkejuan. Pada kasus lebih lanjut, akumulasi fibrin akan dapat

dilihat bersamaan dengan adanya infeksi Staphylococcus aureus (MILLS, 1986).

8

2.5 Diagnosa

Diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus.

Antigen dalam jaringan dapat dideteksi dengan FAT dan AGP, sedangkan

antibody serum tertular atau yang telah divaksinasi dideteksi dengan SN atau

ELISA.

Diagnosa Banding

Avian Infectious Synovitis sering dikelirukan dengan arthritis akibat

infeksi bakteri atau akibat kelainan anatomis diskondroplasia atau oleh material

toksik lainnya.

2.5 Pencegahan dan Pemberantasan

Ayam yang terinfeksi harus diisolasi, kandang dibersihkan dengan

seksama, sehingga dapat me-ngurangi meluasnya penyakit ini dalam suatu

populasi. Penggunaan desinfektan kurang efektif untuk me-ngeliminir virus ini,

tapi larutan iodin organik 0,5% dapat digunakan untuk mengeliminir virus ini

(ROSENBERGER dan OLSON, 1991).

Tidak ada obat yang efektif untuk penyakit ini. Tindakan yang efektif

dilakukan adalah dengan vaksinasi dan menjaga kebersihan kandang. Jenis vaksin

yang dapat digunakan ada 2 yaitu vaksin aktif dan inaktif. Vaksinasi pada ayam

budi daya dapat dilakukan 3 kali, mulai umur sehari, 30 hari dan terakhir sebelum

bertelur. Sistem all in all out juga dapat mengurangi insiden penyakit ini.

9

BAB 3 MATERI DAN METODE

3.1 Prosedur nekropsi / otopsi :

Proses nekropsi atau otopsi dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

1. Sebelum hewan dieutanasi, dipelajari terlebih dahulu diagnosis secara

klinis (menurut pemeriksa sebelumnya / keterangan dari pemilik) dan

dilakukan diagnosis sementara yang paling sesuai.

2. Jika unggas masih dalam keadaan hidup, diperiksa terlebih dahulu tubuh

bagian luar dan diamati gejala klinis tertentu.Diperiksa secara teliti adanya

parasit eksternal pada bulu dan kulit. Diamati warna pial dan cuping

telinga. Diperhatikan pula terhadap kemungkinan adanya diare, leleran

dari paru, nares dan mata serta kemungkinan adanya kebengkakan dan

perubahan warna daerah facial.

3. Unggas yang masih dalam kondisi hidup dapat dibunuh (eutanasi) dengan

cara mematahkan leher pada persendian atlanto-occipitalis, emboli udara

kedalam jantung.

4. Bangkai hendaknya dibasahi dengan air terlebih dahulu untuk menghindari

bulu tidak berterbangan, karena hal tersebut dapat menyebabkan

pencemaran.

5. Bangkai dibaringkan pada bagian dorsal dan dibuat suatu irisan pada kulit

di bagian medial paha dan abdomen pada kedua sisi tubuh. Paha ditarik ke

bagian lateral dan diteruskan irisan dengan pisau sampai persendian coxo

10

femoralis. Irislah kulit pada bagian medial dari kaki / paha dan periksa otot

dan persendian pada daerah tersebut.

6. Buat irisan melintang pada kulit daerah abdomen, lalu kulit ditarik ke

bagian anterior dan irisan tersebut diteruskan ke daerah thorax sampai

mandibula. Irisan pada kulit juga diteruskan ke bagian posterior di daerah

abdomen.

7. Perhatikan warna, kualitas, dan derajat dehidrasi dari jaringan sub-kutan

dan otot-otot dada.

8. Buat irisan pada otot di daerah brachialis (kiri dan kanan) untuk

memeriksa nervus dan plexus brachialis.

9. Buat irisan melintang pada dinding peritoneum, di daerah ujung sternum

(procesus xyphoideus) ke arah lateral. Di buat juga suatu irisan

longitudinal di daerah abdomen melalui linea mediana ke arah posterior

sampai daerah kloaka. Cara ini akan membuka cavum abdominalis.

10. Buat suatu irisan longitudinal melalui m. pectoralis pada kedua sisi

sternum sepanjang persendian kostokondral semua costae mulai dari

posterior ke anterior. Pada bagian anterior, irisan pada kedua sisi thorax

harus bertemu pada daerah rongga dada, setelah memotong tulang

choracoid dan clavicula. Cara ini akan membuka rongga dada.

11. Periksa kantung udara di daerah abdominalis dan thorakalis. Periksa juga

letak berbagai organ di dalam cavum thorax dan abdominalis sesuai

11

posisinya tanpa menyentuh organ tersebut. Jika akan mengambil sampel

untuk isolasi bakteri, jamur, virus harus dilakukan secara aseptis.

12. Perhatikan kemungkinan terhadap adanya cairan, eksudat, transudat atau

darah di dalam rongga perut dan rongga dada.

13. Saluran pencernaan dapat dikeluarkan dengan memotong oesophagus pada

bagian proksimal proventrikulus. Tarik seluruh saluran pencernaan ke arah

posterior dengan memotong mesenterium sampai pada daerah kloaka.

Periksa bursa fabrisius terhadap abnormalitas tertentu.

14. Hepar, lien dikeluarkan dan dilakukan pemeriksaan.

15. Buat irisan secara longitudinal pada proventrikulus, ventrikulus,

intestinum tenue, coecum, colon dan cloaka. Periksa terhadap

kemungkinan adanya lesi dan penyakit.

16. Saluran reproduksi dikeluarkan dan oviduct di iris secara longitudinal

kemudian periksa ovarium yang meliputi stroma dan folikelnya.

17. Periksa ureter dan ren pada posisinya. Organ tersebut dikeluarkan untuk

dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut.

18. Nervus dan plexus ischiadichus di periksa setelah otot abductor pada

bagian medial paha dipisahkan.

19. Bangkai di balik hingga kepala menghadap operator.

20. Dibuat irisan pada sisi kiri sudut mulut, diteruskan ke pharynx,

oesophagus dan ingluvies. Periksa terhadap adanya abnormalitas pada

organ tersebut.

12

21. Periksa glandula thyroidea dan parathyroidea di daerahtrachea.

22. Iris secara longitudinal melalui larynx, trachea, bronkus sampai ke pulmo.

Organ tersebur dapat dikeluarkan secara bersamaan setelah pulmo

diangkat dari perlekatannya. Pemeriksaan pulmo terhadap ukuran, warna,

konsistensi bidang irisan dan uji apung.

23. Pemeriksaan jantung terhadap keadaan perikardium, ukuran, warna dan

apek cordis. Jantung diperiksa dengan membuat irisan longitudinal melalui

atrium dan ventrikel kiri dan kanan atau irisan melintang di daerah

ventrikel.

24. Paruh dipotong bagian atas secara melintang di daerah dekat mata

sehingga cavum nasi dan sinus infraorbitalis dapat diperiksa terhadap

adanya cairan.

25. Semua persendian diperiksa dengan membuat irisan pada kulit diantara

kaput dan sulkus persendian. Pemeriksaan tendo, khususnya tendo

gastrocnemius dan tendo flexor digitalis.

26. Untuk memeriksa otak, kulit dan tulang leher di daerah persendian diiris

sehingga foramen magnum dan medulla oblongata kelihatan. Otak dapat

dikeluarkan sebagai berikut : kulit di daerah kepala dibuka, kemudian

dibuat irisan dengan gunting dari foramen magnum ke arah os frontalis

yang membentuk sudut 40 pada kedua sisi tulang tengkorak.Selanjutnya

dibuat irisan melintang yang menghubungkan kedua sudut mata luar.

Melalui irisan tersebut tengkorak dibuka. Setelah tengkorak terbuka,

13

meninges di iris, kemudian bulbus olfactorius, nervi cranialis dipotong

sambil mengeluarkan seluruh bagian otak. Hypofisis cerebri yang masih

terlekat pada tulang tengkorak dikeluarkan dengan mengiris durameter

yang mengelilingi sella tursica. Sinus paranasales dan sinus lainnya

diperiksa dengan membuat suatu potongan melalui garis median hidung.

3.2 Prosedur Pengambilan Sampel Histopatologi

Untuk pemeriksaan histopatologi, organ yang dicurigai mengalami

perubahan patologi dan diduga dapat membantu dalam meneguhkan diagnosa

yaitu proventrikulus, duodenum, bursa fabrisius, paru-paru, hati, ren dan otak

diamati kemudian dipotong dengan ukuran sekitar 3 x 2 x 2 cm dan disimpan

didalam botol yang berisi larutan formalin 10%. Usahakan untuk mengambil

jaringan dari daerah yang abnormal dan normal secara bersama-sama. Tahap

berikutnya adalah pemotongan organ untuk pembuatan histopat. Organ dipotong

dengan ukuran 2 - 3 mm kemudian dimasukkan ke dalam petrydisck. Hasilnya

diamati dibawah mikroskop terhadap perubahan yang tampak dari setiap organ.

Semua perubahan patologik yang ditemukan dicatat, diagnosa sementara / post

mortem dibuat disertai penanganan kasus secara cepat.

14

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Signalemen

1. Tanggal Seksi : 12 Juni 2012

2. Pemilik : -

3. Alamat : Pasar Keputran

4. Jenis Hewan : Itik

5. Jenis Kelamin : Jantan

6. Umur : -

7. Tanggal Kematian : 12 Juni 2012

8. Lamanya Sakit : Tidak diketahui

9. Tanda Kematian : Tanpa di sembelih

10. Vaksinasi : Pernah / Tidak pernah*

11. Tanggal Vaksinasi : -

15

4.2 Anamnesa

Tidak dapat dilakukan anamnesa karena tidak bertemu langsung dengan

pemilik itik tersebut.

4.3 Gejala Klinis

Itik datang dengan kondisi nafas bersuara (mengorok) dan keluar transudat

dari sinus, ayam pincang, bulu kusam, dan terlihat lemas.

Gambar 1. Kondisi itik sebelum disembelih

4.4 Hasil Nekropsi

Otak

Tidak terdapat kelainan pada otak

Sinus

Terdapat transudat keluar dari sinus.

Rongga Mulut

Pada rongga mulut penuh dengan eksudat.

Saluran Pernafasan

Trachea

16

Pada trachea terjadi pendarahan (haemorrhagi) yang ditandai dengan

adanya ptechiae

Gambar 2. Haemorrhagi pada trachea

Paru-paru

Paru-paru terlihat belang dikarenakan adanya haemorrhagi

Gambar 3. Haemorrhagi pada paru-paru

Hati

Hati tampak normal

Gambar 4. Hati itik

Jantung

Terdapat warna kehitaman pada jantung

Gambar 5. Warna merah kehitaman pada jantung

Limpa

Tidak terdapat kelainan pada limpa

17

Ginjal

Tidak terdapat kelainan pada ginjal

Saluran Pencernaan

Oesophagus

Oesophagus tidak mengalami kelainan

Proventriculus dan Ventriculus

Proventriculus dan ventriculus terlihat normal

Gambar 6. Proventriculus dan ventriculus normal

Duodenum

Terdapat penebalan dindig duodenum disertai sedikit ptechiae

Gambar 7. Penebalan dan ptechiae pada dinding usus

Caecum

Tidak terdapat kelainan pada caecum

Gambar 8. Caecum normal

Pankreas

Pankreas juga tidak mengalami perubahan

18

Nervus Ischiadicus

Nervus ischiadicus terlihat asimetris

Gambar 9. Nervus ischiadicus asimetris

Saluran Reproduksi

Tidak terdapat kelainan pada saluran reproduksi

4.5 Histopatologi Organ

Trachea

Deskripsi lesi

-Infiltrasi sel radand dan eritrosit di dalam sel kelenjar trachea

-Terjadi rupture pada epitel trachea

Paru-paru

Deskripsi lesi

-terjadi rupture pada septa alveoli

-adanya infiltrasi eritrosit dan sel radang pada septa alveoli

-terjadi penebalan pada septa alveoli

-sel-sel alveoli tampak tidak seragam ukurannya

19

4.6 Diagnosa

Berdasarkan hasil perubahan patologi anatomi yang tampak diduga itik

menderita Chronic Respiratory Disease (CRD)

4.7 Pembahasan

Berdasarkan perubahan patologi anatomi yaitu haemorraghi pada trcahea,

paru, dan jantung serta terdapat transudat pada sinus juga kepincangan yang

dibuktikan dengan asimetrisnya nervus ischiadicus mengarah pada perubahan

patologi anatomi penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD). Penebelan

dinding usus juga terlihat. Nafas itik juga terlihat berat dan terdengar suara ngorok

saat itik bernafas. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan kerusakan pada sel

epitel trachea dan rupture pada septa alveoli. Terjadinya kerusakkan silia dan

permukaan mukosa saluran pernapasan. Dari pemeriksaan Patologi anatomi dan

juga pemeriksaan histopatologi dapat meneguhkan diagnose bahwa penyebab

penyakit adalah penyakit CRD. Namun jika pemeriksaan patologi masih belum

dapat meneguhkan diagnose dapat diteruskan dengan pemeriksaan microbiologi

untuk menentukan jenis bakteri penyebab penyakit dari itik.

Dalam pemeriksaan laboratoris membutuhkan waktu yang lama kurang

lebih 2 minggu untuk mendapatkan hasil lab, sebagai dokter hewan selama

20

menunggu hasil laboratorium kita harus memberikan multivitamin dan mineral

kepada ternak kita untuk meningkatkan imun tubuh unggas agar unggas dapat

bertahan terhadap lingkungan disekitar. Hal ini dapat mencegah kematian ternak

masal akibat suatu penyakit yang belum diketahui agen penyebabnya.

21

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil nekropsi yaitu;

1. Itik datang dengan kondisi tubuh lemas, muka pucat, bulu kusam,

nafas terlihat berat dan ngorok serta keluar transudat dari sinus.

2. Perubahan patologi anatomi yang terlihat yaitu haemorraghi pada

trachea, paru-paru, dan jantung. Terlihat pula penebalan pada

dinding usus, serta nervus ischiadicus asimetris.

3. Dari gejala klinis dan perubahan patologi anatomi diduga itik

menderita Chronic Resiratory Disease (CRD).

5.2 Saran

Chronis Respiratory Disease (CRD) merupakan penyakit dengan tingkat

morbiditas yang tinggi, infeksi sekunder dapat memperparah penyakit ini.

Tidakan vaksinasi dan biosecurity dapat mengurangi potensi penyakit.

22

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012 . CRD kasus Penyakit Pernapasan yang Tidak Pernah Tuntas.

http://www.majalahinfovet.com/2007/10/crd-kasus-penyakit-

pernafasan-yang.html

Anonimus. 2008 . Biangnya CRD Kompleks. Info Medion. http://info.

medion.co.id/index.php/artikel/broiler/penyakit/crd-kompleks

Setiawan, Iwan. 2010 . Chronic Respiratory Disease (CRD). http:// www.

centralunggas.blogspot.com/2010/09/chronic-respiratory-disease-

crd.html

Sofyadi, Cahyan. - . Penyakit Ngorok pada Ayam dan Cara Mengatasinya.

http://www.deptan.go.id/daerah_new/banten/dispertanak_pandeglang/

artikel_10a.htm

Yudi. 2009 . Penyakit bakterial Unggas. http://drhyudi.blogspot.com/2009/02/

penyakit-bakterial-unggas.html

23

MAKALAH KASUS PENYAKIT UNGGAS

CHRONIC RESPIRATORY DISEASE

Oleh:

Heri Irawan 061131127

Tri Bhawono Dadi 061131147

Mardini Kusumojati 061131173

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2012

24