48
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam buku Pengantar Hukum Adat Indonesia, Roelof van Dijk seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda menulis bahwa pada hakikatnya frasa ‘hukum adat’ merupakan suatu istilah yang merujuk pada hukum yang tidak dikodifikasikan yang diperuntukkan bagi kalangan orang Indonesia Asli dan kalangan orang timur asing (china, Arab dan lain sebagainya). Kata ‘adat’ yang semula merupakan unsur serapan dari bahasa arab pada akhirnya diterima dalam perbendaharaan kata bahasa indoneisa yang berarti suatu kebiasaan-kebiasaan 1 . Kebiasaan- kebiasaan yang lahir tersebut kemudian bermanifesatasi dalam bentuk kesusilaan di semua lingkup tata kehidupan individu, masyarakat serta proses sosial yang terjadi dalamnya. Kebiasaan- kebiasaan tersebut pada perkembangannya menjadi sejenis aturan tidak langsung dan menjadi landasan pedoman tingkah laku masyarakat komunal sehingga timbulah berbagai macam persekutuan- 1 Imam Sudiyat, SH, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Tahun 2000, hal 11.

Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dewasa ini di daerah mulai marak mentransformasikan kaedah adat ke dalam Peraturan Daerah. Pada umunya, Dewan daerah meminta pihak pemerintah daerah untuk memuat Naskah Akademik terlebih dahulu sebelum menyusun suatu peraturan daerah.

Citation preview

Page 1: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam buku Pengantar Hukum Adat Indonesia, Roelof van Dijk seorang sarjana hukum

berkebangsaan Belanda menulis bahwa pada hakikatnya frasa ‘hukum adat’ merupakan suatu

istilah yang merujuk pada hukum yang tidak dikodifikasikan yang diperuntukkan bagi kalangan

orang Indonesia Asli dan kalangan orang timur asing (china, Arab dan lain sebagainya).

Kata ‘adat’ yang semula merupakan unsur serapan dari bahasa arab pada akhirnya

diterima dalam perbendaharaan kata bahasa indoneisa yang berarti suatu kebiasaan-kebiasaan1.

Kebiasaan-kebiasaan yang lahir tersebut kemudian bermanifesatasi dalam bentuk kesusilaan di

semua lingkup tata kehidupan individu, masyarakat serta proses sosial yang terjadi dalamnya.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut pada perkembangannya menjadi sejenis aturan tidak langsung dan

menjadi landasan pedoman tingkah laku masyarakat komunal sehingga timbulah berbagai macam

persekutuan-persekutuan adat yang mencoba untuk mengaktualisasikan kehendak masyarakat

adat yang lahir dari berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan.

Persekutuan adat, sebagai bentuk dari cerminan keterwakilan aspirasi segolongan

masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat adat pada prakteknya berusaha untuk

menciptakan banyak sekali kaedah-kaedah yang dapat berlaku adaptif dan impresif bagi

masyarakat adatnya. Kaedah yang pada awalnya hanya berupa kebiasaan-kebiasaan pada

akhirnya menjelma menjadi suatu panduan atau tolak ukur dalam bertingkah laku di masyarakat.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut bahkan dibuat lebih ketat lagi dengan menerapakan sanksi adat

1 Imam Sudiyat, SH, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Tahun 2000, hal 11.

Page 2: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

(adatsanctie) yang diperuntukkan bagi orang atau segolongan orang yang melanggar kebiasaan-

kebiasaan (adat) tersebut.

Oleh karena hukum adat tumbuh berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang hidup, tumbuh,

dan berkembang di tengah-tengah lingkungan masyarakat, maka perkembangan hukum adat itu

sendiri akan menghasilkan suatu ragam atau corak atau karakteristik yang diferensial. Perbedaan

tersebut terjadi sebagai akibat interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat adat tentu akan

berbeda pula prosesnya dengan interaksi sosial pada masyarakat adat lainnya. Hal tersebut bisa

terjadi karena berbagai faktor yang diantaranya adalah, faktor genealogis, tipologis wilayah,

pendekatan religius ideologis dan faktor-faktor lainnya.

Pada dasarnya, untuk mengetahui seberapa jauh konsistensi peenrapan hukum adat di

masyarakatnya adalah hal yang cukup sulit, hal tersebut karena diakibatkan beberapa hal sebagai

berikut, yaitu :

1. Hukum Adat masih terus dalam masa pertumbuhan; dan

2. Hukum Adat secara langsung membawa kita kepada 2 (dua) keadaan yang justru merupakan

sifat dan pembawaan hukum adat, yaitu :

a. Tertulis dan tidak tertulis;

b. Pasti atau tidak tidak pasti; dan

c. Hukum Raja atau Hukum Rakyat dan sebagainya.2

Indonesia, sebagai satu-satunya negara yang diakui sebagai tonggak awal bagi berdirinya

Hukum Adat pada kenyataannya memiliki pluralisme adat yang merupakan representatif dari

berbagai daerah tidak terkecuali dengan Provinsi Bengkulu. Lebih dari 10 (sepuluh) jenis

masyarakat adat yang tergabung dalam satu suku atau etnis yang mendiami Provinsi Bengkulu.

2 Ibid. hal 6.

Page 3: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Mulai dari penduduk asli, kaum pendatang termasuk kaum pendatang yang sudah terasimilasi

secara temporal dengan penduduk asli. Suku-suku tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1. Suku Rejang;

2. Suku Serawai;

3. Suku Melayu Bengkulu;

4. Suku Lembak;

5. Suku Pasemah;

6. Suku Enggano;

7. Suku Minangkabau;

8. Suku Jawa;

9. Suku Batak;

10. Suku Sunda dan lainnya.

Suku-suku tersebut pada dasarnya mewakili berbagai macam karakteristik masyarakat

adatnya masing-masing dengan tipologi budaya dan khasanah adat yang berbeda-beda juga. Suku

Serawai, sebagai salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu, secara domisili berada

dan berasal dari salah satu Kabupaten Seluma yang merupakan kabupaten pemekaran dari

Kabupaten Bengkulu Selatan yang ada di Provinsi Bengkulu. Suku Serawai, dengan segala

keunikan dan kompleksitas adatnya tentu menjadikannya sebagai salah satu lingkungan

masyarakat adat yang sangat patut untuk dlindungi dan dilestarikan.

Pelestarian dan perlindungan hukum adat di suku (tanah/tana) Serawai secara yuridis

normatif tidak bertentangan dengan hukum positif yang menjadi landasan hukum utama di

Indonesia, asalkan proses legalisasi hukum tersebut tetap memperhatikan asas-asas dan

mekanisme pembentukan hukum yang berlaku di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Page 4: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Identifikasi Masalah yang menjadi dasar dari penyusunan Naskah Akademik tentang

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat Tanah

Serawai (KHATS) adalah sebagai berikut :

1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Seluma dalam menyusun

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum

Adat Tanah Serawai ?

2. Mengapa diperlukan suatu penyusunan Rancangan Peraturan Daerah untuk melestarikan dan

melindungi hukum adat tanah serawai ?

3. Apa yang menjadi landasan pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis dari penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum

Adat Tanah Serawai ?

4. Sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan seperti apa yang

diperlukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang

Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai.

C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik yang menjadi dasar dari penyusunan Naskah

Akademik tentang Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan

Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) adalah sebagai berikut :

1. Keberadaan atau eksistensi dari hukum adat tanah serawai pada dasarnya telah dibukukan

secara tertulis dalam Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) namun dalam

perkembangannya untuk dapat terus melindungi dan melestarikan hukum adat tanah serawai

di Kabupaten Seluma diperlukan beberapa mekanisme hukum yang diatur berdasarkan

Page 5: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme hukum inilah yang harus dilakuakn

oleh Pemerintah Kabupaten Seluma untuk melegalformalkan Kompilasi Hukum Adat Tanah

Serawai ke dalam suatu bentuk Peraturan Daerah.

2. Disusunnya suatu Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma dirasakan perlu untuk

segera dilaksanakan mengingat perlunya perlindungan dan pelestarian yang efektif dan

berkelanjutan dalam memenuhi nilai-nilai yuridis normatif bagi arah perkembangan dan

kesinambungan hukum adat tanah serawai yang berada di Kabupaten Seluma. Namun dalam

penyusunan tersebut terdapat beberapa masalah-masalah atau kendala yang harus dicari jalan

keluarnya. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Penyesuaian dengan kaedah hukum positif;

b. Proyeksi ke depan terkait tingkat kepatuhan dan efektifitas terkait dengan peraturan

daerah yang akan dibuat; dan

c. Kebersiapan seluruh perangkat adat yang akan dibentuk atau disahkan melalui peraturan

daerah yang akan dibuat yang wacananya akan meliputi hingga wilayah admisnistratif

desa/kelurahan.

3. Pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis mutlak diperlukan dalam proses penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat Tanah

Serawai.

a. Pertimbangan filosofis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma

tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai.dapat sesuai dengan

landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta norma-norma yang akan diatur tidak

bertentangan dengan sumber hukum tertinggi bangsa Indonesia.

Page 6: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

b. Pertimbangan Sosiologis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma

tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai dapat secara konkrit

memenuhi kebutuhan daerah (masyarakat).

c. Pertimbangan Yuridis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma

tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai tidak bertentangan dengan

konstruksi yuridis sebagaimana yang diatur dalam mekanisme ketentuan peraturan

perundang-undangan.

4. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat

Tanah Serawai diharapkan dapat memenuhi sasaran, ruang lingkup, jangkauan. dan arah

pengaturan .dalam pembentukan suatu peraturan daerah.

5. Metode

Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik mengenai Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakukan Kompilasi Hukum Adat Tanah

Serawai (KHATS) adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif merupakan metode

yang dilakukan melalui studi pustaka yaitu menelaah data sekunder yang berupa peraturan

perundang-undangan, Putusan Pengadilan, dokumen hukum lainnya, hasil penelitian dan/atau

pengkajian serta referensi lainnya. Metode yuridis normatif juga dikembangkan berdasrkan proses

interview atau wawancara terhadap narasumber yang berkaitan langsung dengan judul

penyusunan Naskah Akademik.

Page 7: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Hukum adat atau dalam istilah asing sering dikenal dengan istilah (adatrecht) merupakan

suatu sistem hukum yang tumbuh, hidup dan mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat

Indonesia. Tidak ada yang mengetahui kapan pastinya hukum adat tercipta. Dalam beberapa

literatur dijelaskan bahwa pada dasarnya justru hukum adat telah ada jauh lebih dahulu daripada

beberapa sistem hukum barat bahkan keberadaannya dinilai sebagian sarjan hukum jauh lebih

bersifat elastis, dinamis dan memiliki norma-norma yang lebih kongkrit atau nyata untuk

diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Soepomo, salah seorang ahli hukum adat berpendapat bahwa pada dasarnya tiap-tiap hukum

merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan yang

berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun dengan hukum adat. Sistem hukum adat yang

bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentunya tidak sama dengan alam

pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar tentang hukum adat, orang harus

dapat menyelami alam pikiran orang-orang atau bangsa Indonesia. Dalam buku Het Adatrecht

van Ned. Indie, yang merupakan standardwerk tentang ilmu hukum adat, Van Vollenhoven

melukiskan susunan hukum adat pada tiap-tiap lingkaran hukum adat (adatrechtskring) diseluruh

kepulauan Indonesia. Dalam gambaran tersebut, Van Vollenhoven menggunakan metode dan

istilah-istilah ciptannya sendiri, berlainan daripada metode dan istilah hukum yang lazim dipakai

dalam lukisan sistem hukum barat. Beliau berpendapat bahwa hukum adat merupakan hukum asli

buatan orang atau bangsa Indoensia yang paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.

Page 8: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Suatu sistem sosial yang merupakan pusat perhatian dalam pelbagai ilmu-ilmu sosial

merupakan suatu wadah dan proses daripada pola-pola interaksi sosial. Secara struktural, maka

suatu sistem hukum mencakup unsur-unsur pokok sebagai berikut :

1. Kepercayaan, yaitu hipotesa tentang gejala yang dihadapi, gejala mana yang dianggap benar;

2. Perasaan, yaitu sikap yang didasarkan pada emosi atau prasangka (prejudice);

3. Tujuan yang merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses-proses perubahan, atau

dengan jalan memepertahankan sesuatu;

4. Kaedah, yaitu pedoman tentang tingkah laku yang pantas;

5. Kedudukan, peranan dan pelaksanaan peranan yang merupakan hak-hak dan kewajiban serta

penerapannya di dalam proses interaksi sosial;

6. Tingkatan atau jenjang, yaitu posisi sosial yang menentukan alokasi hak-hak dan kewajiban-

kewajiban;

7. Sanksi, yaitu suatu persetujuan (=sanksi positif) atau penolakan (=sanksi negatif) terhadap

pola-pola perikelakuan tertentu;

8. Kekuasaan yang merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar dia berbuat

sesuai dengan kemauan pemegang kekuasaan; dan

9. Fasilitas yang merupakan sarana-sarana untuk mencapai tujuan.

Hukum adat pada mulanya merupakan kebiasaan-kebiasaan (custom) yang umum terjadi

dalam lingkup suatu komunitas tertentu. Lambat laun kebiasaan-kebiasaan tersebut pada akhirnya

berkembang menjadi tata kelakuan (mores). Tata kelakuan yang timbul sebagai akibat dari

kehendak bersama masyarakat yang menginginkan kehidupan yang aman tentram dan teratur.

Seiring dengan proses perkembangannya, tata kelakuan tersebut pada muaranya berkembang

Page 9: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

menjadi kekuatan yang mengikat masyarakat sehingga terus berkembang dan lahirlah apa yang

disebut dengan Hukum Adat.

Hukum adat merupakan hasil suatu sistem sosial. Sebagai suatu hasil sistem sosial, hukum

adat memiliki kemajemukan atau pluralisme sistem yang berbeda-beda baik antara satu kesatuan

masyarakat suatu daerah dengan daerah lainnya. Setiap kesatuan hukum adat memiliki fungsi dan

tujuan masing-masing. kemajukan tersebut banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor bawaan atau genealogis;

Faktor genealogis merupakan faktor bawaan yang memeang merupakan hasil dari daya karsa,

cipta dan karya pihak pendiri atau pemuka suatu kaum adat dan diteladani yang dikuti oleh

kaumnya. Faktor ini menunjukkan suatu ciri khas tertentu yang membedakan suatu hukum

adat satu dengan hukum adat lainnya.

2. Faktor tipologis wilayah;

Bentuk tipologi suatu wilayah sedikit banyak akan mempengaruhi karakteristik sistem sosial

suatu masyarakat. Tentunya, masyarakat sosial dipegunungan akan memiliki karakteristik

yang berbeda dengan masyarakat yang berada di pesisir pantai.

3. Faktor dinamika sosial;

Suatu masyarakat yang memiliki sistem sosial tersendiri akan mengembankan atau

mengadaptasikan sistem sosialnya sendiri berdasarkan apa yang terjadi di masyarakat

sosialnya.

4. Faktor fungsional religius ideologis;

Masuknya suatu agama atau kepercayaan kedalam suatu golongan masyarakat akan

membawa konsekuensi terintegasinya suatu sistem sosial dengan suatu agama atau

kepercayaan tertentu..

Page 10: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

5. Faktor eksternal;

Faktor ini pada dasarnya juga mempengaruhi karakteristik suatu hukum adat yang timbul

berdasarkan proses akultrasi atau ameliorasi sistem sosial yang dibawa kaum pendatang

yang masuk kedalam suatu sistem kaum tertentu yang didatangi.

Sebagai hasil dari suatu sistem sosial, hukum adat pada akhirnya menjelma menjadi suatu

tatanan kehidupan bagi masyarakat tertentu dan dijadikan tolak ukur, cerminan dan pedoman

dalam bersikap dan bertingkah laku di masyarakat. Sebagian masyarakat bahkan menjadikan

hukum adat menjadi suatu imaje yang sakralistik. Hukum adat yang diagungkan merupakan suatu

konsekuensi hukum logis yang mengikat segolongan masyarakat dan memiliki sanksi

(adatsanctie) bagi yang melanggar aturan tersebut.

Kemajukan masyarakat Indonesia tentu akan melahirkan pluralisme kesatuan masyarakat

hukum adat juga. Pluralisme kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilihat dari banyaknya suku

bangsa di Indonesia yang antara satu suku dengan suku lainnya memiliki norma atau kaedah

hukum adat tersendiri. Dalam dalam majalah Sosiografi Indonesia Nomor 1 tahun 1959

karangangan M.A Jaspan, dengan mengambil kriterai bahasa, daerah kebudayaan serta susunan

masyarakat diterangkan bahwa ada banyak suku bangsa di Indonesia. Suku-suku tersebut

diantaranya di Sumatra memiliki 49 Suku, di Jawa 7 Suku, di Kalimantan 73 Suku, di Nusa

Tenggara 30 Suku, Maluku Ambon 41 Suku dan di Irian Jaya ada 49 Suku.

Pada dasarnya adanya hukum adat menunjukkan bahwa manusia merupakan individu yang

menghendaki kehidupan yang teratur. Akan tetapi kemungkinan keteraturan yang tercipta dapat

idealnya berbeda satu sama lain sehingga masing-masing lingkungan masyarakat membuat suatu

pedoman atau pegangan sendiri-sendiri. Beberapa sistem hukum adat di Indonesia dalam

Page 11: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

melestarikan sistem hukum adat banyak yang mendirikan suatu lembaga pengatur sekaligus

penjaga kewibawaan hukum adat di suatu wilayah yang dikenal dengan nama lembaga adat.

Salah satu lembaga adat tersebut dewasa dikenal dengan Badan Musyawarah Adat (BMA).

Hukum positif di Indonesia, harus diakui banyak dipengaruhi oleh sistem hukum barat

(europa continental). Sistem hukum tersebut wajar kiranya jika bercermin pada sejarah bangsa

Indonesia sebelum masa kemerdekaan merupakan salah satu daerah kolonialisme dan

imprealisme bangsa asing terutama dari Bangsa Belanda. Sejak masuknya VOC masuk ke

Indonesia, sistem di Indonesia, selalu dirudapaksa untuk menyesuaikan diri dengan kehendak

masing-masing penguasa asing kala itu. Hingga setelah melewati beberapa abad, Indonesia pun

harus mengakui keberadaan sistem hukum asing untuk diterapkan di Indoneisia baik dalam

bentuk kodifikasi, adopsi ataupun ordonansi.

Dewasa ini hukum adat di Indonesia justru sedikit banyak eksistensinya menjadi terisolasi

dalam dunia hukum. Kuatnya hegomoni hukum barat menjadi penyebab terbesar. Padahal, dalam

banyaknya penelitian di Inodensia mengenai hukum adat, para sarjana hukum dan para ahli

hukum adat sama bermufakat bahwa justru hukum adat mengatur lebih konkrit, realistis

dan konsisten dalam mengatur tingkah laku masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri, daripada

hukum barat. Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa hal, yaitu :

1. Hukum adat hadir dan tercipta ditengah-tengah masyarakat sehingga lebih bisa menjawab

kebutuhan-kebutuhan hukum yang ada di masyarakat;

2. Hukum adat merupakan hasil kesepakatan bersama segolongan masyarakat sehingga

pelaksanaannya lebih dipatuhi.

Page 12: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Namun pada perkembangannya kehadiran hukum barat, baik secara langsung ataupun tidak

langsung tidak bisa disalahkan sepenuhnya dan pada akhirnya dirasakan sebagai sistem hukum

yang lebih lengkap (complecated) baik dari segi kontekstual maupun segi keberlakuannya.

Hukum barat justru dipandang lebih bisa mengatur beberapa norma, aturan dan/atau kaedah yang

tumbuh kembang di masyarakat yang diantaranya adalah kaedah agama, kesusilaan, kesopanan

dan adat itu sendiri. Dalam era kekinian, konsep negara hukum (lawstates) justru lebih bisa

diterima dalam konsep komunitas dalam suatu entitas bernama negara. Tidak seperti hukum adat

yang hanya mengatur segolongan masyarakat hukum adat dan itupun bersifat limitatif, terbatas

pada golongan kaum atau masyarakat hukum adatnya sendiri dan mungkin tidak dapat berlaku

jika diterapkan dalam masyarakat hukum adat lainnya.

Hukum adat bukannya menjadi hukum yang terpinggirkan dalam konteks hukum positif

Indonesia. Hukum positif di Indonesia juga tidak menjadi satu-satunya hukum yang mencontoh

sistem hukum asing seperti sistem hukum europa continental, sistem hukum anglo saxon,

ataupun sistem hukum lainnya. Hukum positif di Indonesia juga mengadopsi beberapa norma

dalam sistem hukum Islam bahkan sistem hukum adat. Ada cukup banyak norma adat yang

mewarnai sistem hukum di Inodenesia. Beberapa diantaranya justru mendominasi sistem-sistem

hukum yang memegang pengaruh penting dalam tata kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Beberapa diantarana sistem hukum di Indonesia yang ‘disusupi’ oleh hukum adat di Indonesia

adalah sistem hukum yang berkaitan dengan permaslaahan perkawinan, kependudukan,

permasalahan perkawinan, permasalahan kewarisan, permasalahan agraria, dan justru ada

beberapa konsep adat yang diakui keberadaannya oleh hukum Indonesia berdasarkan

yurisprudensi hakim pengadilan perdata seperti pengakan upacara ‘ambil anak’ di Provinsi Bali.

Page 13: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Dalam beberapa hal sebagaimana yang telah disebutkan, hukum adat justru amat menjiwai

beberapa sistem hukum positif.

Sumber hukum tertinggi dan falsafah hukum bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan Pancasila juga mengadopsi nilai-nilai

masyarakat Indoensia. Pancasila merupakan buah karya dari masyarakat tradisional (adat) pada

zaman dahulu yang menghendaki adanya 5 (lima) nilai-nilai budi dan perilaku yang harus

dimiliki masyarakat di Nusantara. Nilai-Nilai tersebut tercermin dalam sila-sila dan butir-butir

Pancasila. Pembukaan (Preambule) dari Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dalam

satu pernyataannya memuat nilai-nilai adat kolektif yang mendasari sifat asli bangsa Indonesia,

yaitu sebagaimana disebutkan :

UUD NRI Tahun 1945

‘bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas

dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Hukum adat dalam hukum positif di Indonesia pada prinsipnya secara hukum telah diakui

keberadaan dan kedudukannya di Indonesia. Pengejantawahan hukum adat dalam hukum positif

Indonesia sama artinya dengan menghilangkan nilai-nilai dan karakteristik hukum positif itu

sendiri yang secara langsung ataupun tidak langsung berdiri dan lahir diatas tatanan hukum adat.

Untuk mengadopsi aturan hukum adat di Indonesia pada dasarnya harus dapat memenuhi

beberapa platform yang tersedia. Artinya, sekalipun hukum adat diakui eksistensinya dalam

hukum nasional tidak serta merta dapat langsung ditransformasikan secara legal yuridis ke dalam

hukum positif Indonesia.

Dalam mengakomodasi beberapa materi hukum adat ke dalam sistem hukum positif, pada

prinsipnya ada beberapa kaedah yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sistem

Page 14: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

hukum positif dibangun berdasarkan pondasi hukum tersendiri dalam konteks kenegaraan.

Hukum positif (nasional) merupakan kompleksifitas hukum yang mengatur banyak hal termasuk

di dalamnya hukum adat. Jikapun ada pengaturan mengenai hukum adat yang perlu diatur ke

dalam hukum nasional, itu disebabkan beberapa faktor, diantaranya :

1. Kebutuhan hukum yang mendesak untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvinding) dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara;

2. Pengakuan khusus terhadap kedudukan dan eksistensi dari keberadaan hukum adat di

Indonesia yang di dalam beberapa bidang diakui keberadaannya, termasuk penerapan

yurisprudensi hakim pengadilan negeri keperdataan dalam memutuskan perkara-perkara adat

yang dijadikan petunjuk bagi pelaksanaan hukum adat di daerah lainnya;

3. Adanya pandangan hukum yang sama dari segolongan pembentuk hukum perundang-

undangan yang menyatakan bahwa terdapat nilai-nilai ekslusif dalam hukum adat tertentu

yang cocok untuk berdaya laku secara umum dan tegas di masyarakat dan dapat diterapkan ke

dalam hukum negara.

Dari berbagai penjelasan yang telah diuraikan, jelas dapat diketahui bahwa keberadaan

hukum adat pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum positif tertulis. Hukum Adat

justru mewarnai dan menjadi nyawa bangsa Indonesia yang menunjukkan suatu karakteristik

khusus dan istimewa yang membedakan antara bangsa Indoensia dengan bangsa lainnya. Namun

sekali lagi, untuk dapat melegal yuridiskan hukum adat ke dalam hukum positif Indonesia ada

beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Suatu kaedah hukum adat yang akan diatur dalam hukum positif harus melalui proses dan

mekanisme pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan;

Page 15: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

2. Suatu kaedah hukum adat dapat diatur dalam salah satu produk perundang-undangan seperti

produk hukum daerah (peraturan daerah) pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan

pengaturan kepentingan yang bersifat nasional seperti, agama, pendidikan, pertahanan

keamanan, kependudukan, dan lain-lain;

3. Dalam melegalisasikan hukum adat ke dalam hukum perundang-undangan, ketentuan-

ketentuan di dalam hukum adat tidak boleh bertentanngan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi baik dari segi isi peraturan, makna ataupun tujuan dari legalisasi

tersebut. Hal ini untuk menjamin elektabilitas kepastian hukum dari sistem hukum positif;

dan

4. Pengaturan hukum adat ke dalam hukum nasional, khusus terhadap proses akomodasi

norma (kaedah) adat ke dalam produk hukum daerah, harus memperhatikan kebutuhan

masyarakat di daerah dan adanya ciri khas atau karakteristik khusus suatu daerah dalam

pengaturannya.

Modernisasi hukum adat ke dalam hukum positif, secara implisat tidak diatur secara penuh

dalam tata hukum di Indonesia. Akan tetapi, transformasi sebagian atau keseluruhan kaedah yang

terdapat dalam hukum adat bukan berarti tidak dapat diakomodir ke dalam hukum positif. Proses

transformasi tersebut tetap harus memperhatikan aspek-aspek hukum positif yang menjadi

landasan hukum kenegaraan bangsa Indoensia saat ini. Proses modernisasi hukum adat ke dalam

hukum positif justru dapat memperkaya khasanah hukum positif dan dapat menjamin

keberlangsungan dan ketahanan hukum nasional. Sebagaimana diketahui bahwa hukum itu

sendiri bilamana terus dipertahankan tentu akan menjadi ‘bumerang’ bagi masyarakat yang

menganut dan mematuhi hukum itu sendiri mengingat sifat hukum itu sendiri yang cenderung

statis dan kurang adaptif dan tidak awet.

Page 16: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Harus dipahami bahwa hukum nasional itu sendiri pada dasarnya tidak akan dapat diterima

dan ditegakkan (enforced) sebagai hukum positif Indonesia kalau hukum itu positif di Indonesia

tidak berakar pada konsep-konsep dasar yang telah lama diakui dan dipegang teguh bangsa

Indonesia seperti asas-asas ke-Tuhanan, asas kekeluargaan, asas kesopanan, asas gotong royong,

asas musyawarah dan lain sebagainya3. Walaupun demikian, bukan berarti hukum adat menjadi

satu-satunya sistem hukum yang dapat diutamakan, mengomperasikan berbagai sistem hukum

yang ada dan menerapkannya dalam hukum positif sebagai bahan mencari sistem hukum yang

lebih baik adalah yang paling ideal.

B. Praktik Empiris

Propinsi Bengkulu merupakan salah satu propinsi di Pulau Sumatera yang secara

geografis terletak antara 2o-5o LS dan 101o – 104o BT dan berada di bagian Barat sebelah Selatan

Pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Propinsi Bengkulu berbatasan dengan Propinsi Sumatera

Barat, di sebelah Selatan dengan Propinsi Lampung, sebelah timur dengan Propinsi Jambi dan

Sumatera Selatan, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Luas wilayah

Propinsi Bengkulu adalah 1.978.870 hektar dengan bentuk wilayah relatif memanjang sejajar

garis pantai, dengan panjang garis pantai sekitar 525 km. Lebar daratan dari garis pantai

bervariasi, dari yang tersempit sekitar 32,5 km dan yang terlebar sekitar 102 km. Fisiografi

wilayahnya terdiri atas jalur dataran rendah dan jalur dataran tinggi. Jalur dataran rendahnya

tidak begitu lebar, membentang dari ujung bagian Utara ke bagian Selatan di sebelah barat sejajar

dengan garis pantai; sedangkan dataran tingginya umumnya terletak disebelah Timur yang

merupakan gugusan Pegunungan Bukit Barisan.

3 Hukum Adat dan modernisasi hukum, Pustaka Fajar Ofset, Fakultas Hukum UII,Tahun 1998, hlm 171.

Page 17: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Saat ini Provinsi Bengkulu terbagi menjadi 10 (sepuluh) wilayah administratif, yaitu

Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten

Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Utara,

Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur.

Dari segi budaya dan tradisi, Provinsi Bengkulu terdiri dari beberapa suku bangsa yang

mewakili masing-masing wilayah administratif. Suku bangsa itu sendiri meliputi beberapa

komunitas penduduk dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa suku bangsa yang ada dan

tersebar di Provinsi Bengkulu diantaranya adalah suku rejang, suku serawai, suku lembak, suku

minangkabau, suku jawa, suku melayu bengkulu, suku batak, suku sunda, suku pasemah, dan

suku-suku lainnya.

Kabupaten Seluma memiliki luas administratif, 6.657.364 Kilometer dengan populasi

penduduk sebanyak 297.876 jiwa (sensus penduduk : 2010). Kabupaten Seluma memiliki 15

Kecamatan dan 95 Kelurahan dengan ibukota berada di Tais.

Kabupaten Seluma menjadi salah satu Kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 03

Tahun 2003 sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Bengkulu Selatan. Dahulu Kabupaten ini

termasuk kabupaten yang belum sama sekali memiliki potensi unggulan daerah, namun sejak

tahun 1998 Kabupaten Seluma bukan lagi menjadi kabupaten yang tertinggal karena

menghasilkan padi yang menjadi potensi unggulan. Kabupaten Seluma merupakan salah satu

kabupaten yang didiami oleh sebagian besar suku bangsa serawai.

Adapun batas-batas Kabupaten Seluma adalah sebagai berikut :

1. Sebelah utara kabupaten ini bebatasan dengan Kecamatan Selebar Kota Bengkulu dan

Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Utara.

Page 18: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan.

4. Sebe;ah barat berbatasan dengan Samudra Hindia.

Suku bangsa serawai, sejak masa lalu sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki

persebaran dan populasi cukup besar di Provinsi Bengkulu. Domisili dan mayoritas penduduk

suku serawai terdapat di Kabupaten Seluma. Suku Serawai sebagaimana suku lainnya memiliki

karakteristik dan ciri khas masyarakat tersendiri. Salah satu Karekteristik dan ciri khas Suku

bangsa serawai tercemin dalam kebiasaan masyarakat suku serawai yang pada akhirnya menjelma

menjadi hukum adat serawai. Hukum adat serawai, sebagaimana telah diatur dan termuat dalam

Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) yang terdiri dari 5 (lima) buku, yaitu :

1. Buku Ke-1 tentang Organisasi Perangkat Adat;

Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang sekelumit mengenai organisasi perangkat

adat yang meliputi pembentukan struktur dan perangkat organsiasi, fungsi dan tujuan

organisasi, serta kewenangan organisasi mulai dari lembaga adat yang dibentuk pada setiap

desa/kelurahan, Kerapatan Adat Tanah Serawai, dan Badan Musyawarah Adat.

2. Buku Ke-2 tentang Kompilasi Hukum Adat

Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang segala bentuk ruang lingkup atau

lapangan hukum yang mencakup hukum adat serawai, seperti ritual adat daur hidup (ritual gil

ngandung, kelahiran, ngenjuak namo dan lain-lain), Tato Caro Perkawinan, Adab Pergaulan

Sehari-hari, Reto Bendo, Hak Ulayat Ngen Gimbo Larangan, dan lain sebagainya.

3. Buku Ke-3 tentang Adat Istiadat;

Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang hak dan kewajiban penduduk asli dan

kaum pendatang, Upacara-upacara, dan hal-hal lainnya.

Page 19: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

4. Buku Ke-4 tentang Budaya Adat;

Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang ragam budaya tanah serawai, bentuk-

bentuk budaya tanah serawai, aplikasi budaya tanah serawai, bentuk-bentuk upacara tanah

serawai, pergaulan sehari-hari dan lain sebagainya.

5. Buku Ke 5 tentang Seni Tradisional;

Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang bentuk-bentuk seni yang ada di tanah

serawai seperti seni suaro, seni musik dan lain sebagainya.

Page 20: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Keterkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun

1945

UUD NRI Tahun 1945

‘yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,

Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia…’

Pasal 18 huruf B angka (1)

‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’

Pasal 18 huruf B angka (2)

‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’

B. Keterkaitan dengan Undang-Undang

1. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA);

Sebagian besar muatan materi dalam UUPA merupakan adaptasi yuridis hukum adat yang

merupakan hukum asli bangsa indonesia ke dalam sistem hukum nasional. Praktek

pengelolaan hutan, tanah yang memiliki fungsi sosial, sistem bagi hasi perkebunan dan

Page 21: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

peternakan, status kepemilikan tanah yang meliputi tanah dan bangunan, dan kontekstual

hukum lainnya merupakan beberapa bentuk konsep hukum adat yang dilegalkan dalam

hukum positif Indonesia. Sumbangan nyata konsep hukum adat dalam hukum agraria di

Indonesia juga terdapat dalam pembangunan rumah susun yang menganut asas pemisahan

horizontal (horizontal scheiding) 4Tentunya hal tersebut menjadi apresiasi tersendiri bagi

pengakuan terhadap keberadaan hukum adat di Indonesia.

2. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebagian muatan materi dalam Undang-Undang tentang perkawinan merupakan hasil adopsi

dari hukum adat selain adopsi kaedah mayoritas dari hukum agama. Masalah keperdataan

terkait pengangkatan anak adopsi dan anak angkat menjadi beberapa contoh konkritnya.

C. Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya

1. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 39/K/Sip/1956 tertanggal 19 September 1956 yang

menyangkut masalah hak desa atas tanah di daerah Lamongan yang pada initinya adalah

bahwa orang yang mendapatkan tanah dari desa atas dasar pinjaman, dapat mengalihkannya

kepada pihak lain apabila ada persetujuan desa;

2. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 65/K/Sip/1960 tertanggal 09 Maret 1960 yang

menyangkut hak desa atas tanah di daerah Klaten yang pada intinya adalah bahwa untuk

sahnya pemindahan hak atas tanah diperlukan keputusan desa;

3. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 239/K/Sip/1960 tertanggal 24 Agustus 1960 yang pada

intinya adalah menyangkut hak masyarakat hukum adat atas tanah di daerah Tapanuli yang

apabila terjadi perampasan tanah, maka ’huta’ yang harus menuntut; dan

4 Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Pustaka Fajar Offset, 1998, hal 174.

Page 22: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

4. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 361/K/Sip/1975 tertanggal 30 Desember 1975 yang

menyangkut hak masyarakat hukum adat atas tanah Ambon. Pokok persoalan adalah seorang

bukan anak dati tidak berhak makan dati kecuali ada persetujuan dari kepala dati dan anak-

anak dati. Tanaman yang disebut sebagai pusaka dati, diwariskan kepada anak dan cucu dari

anak dati yang bersangkutan.5

5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2002, hal 169.

Page 23: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS

Landasan filosofis dari konstruksi penerapan hukum adat dalam sistem hukum nasional

(hukum negara) adalah Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir

(ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Rudolf Stamler6 mengatakan

bahwa rechtsidee berfungsi sebagai leitsern (bintang pemandu) bagi terwujudnya cita-cita sebuah

masyarakat. Dari rechtsidee itulah disusun konsep dan politik hukum dalam sebuah negara.

Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945

‘bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, msks

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan

keadilan…’

Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945

‘yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,

Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia…’

6 Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, (Jogyakarta: RadjaGrafindo, 1996) hal. 11

Page 24: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Selain dari apa yang disebut secara implisit dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945), pengakuan tentang keberadaan hukum adat

juga dapat ditemui secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 18 huruf B angka (1) dan Pasal 18

angka (2).

Pasal 18 huruf B angka (1)

‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’

Pasal 18 huruf B angka (2)

‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’

B. LANDASAN SOSIOLOGIS

Sebagaimana telah diketahui bahwa penduduk asli Kabupaten Seluma merupakan masyarakat

mayoritas suku serawai. Suku serawai sebagaimana suku lainnya tentu memiliki kearifan lokal

tersendiri yang terakumulasi dalam suatu komunitas hukum adat sendiri yang mandiri. Sebelum

hadirnya hukum nasional, disinyalir bahwa masyarakat suku serawai telah mendasarkan norma

dan prilakunya pada hukum adatnya sendiri. Hukum adat masyarakat serawai pada dasarnya

apabila dikaji secara lebih mendalam dinilai cukup lengkap dan konkrit dalam mengatur dan

menjaga pola interaksi sosial dalam masyarakat serawai disamping adanya norma-norma lainnya.

Hal ini dapat diketahui dalam kompilasi hukum adat tanah serawai yang didalamnya mengatur

pola setiap segi kehidupan bagi masyarakat serawai. Pengaturan tersebut meliputi :

1. Perihal Ragam Pengaturan Adat;

2. Perihal Lembaga Adat;

Page 25: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

3. Perihal Perkawinan Adat;

4. Perihal Harta Benda (waris adat);

5. Perihal Hukum Pribadi;

6. Perihal Pola Tingkah Laku Masyarakat;

7. Perihal Sanksi Adat; dan

8. Perihal Seni dan Budaya Adat Tanah Serawai.

C. LANDASAN YURIDIS

Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945

‘bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, msks

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan

keadilan…

Kesamaan penderitaan, perasaan senasib dan sepenanggungan tersebut pada hakikatnya

membuahkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan persatuan. Sekalipun masyarakat

hukum adat yang satu memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan masyarakat hukum

adat yang lain, ternyata terdapat nilai-nilai kebiasaan yang sama dianut dan ditaati bersama.

Norma-norma tersebut pada akhirnya terjalin menjadi suatu pernyataan kebangsaan bersama

mengenyampingkan perbedaan suku bangsa dan lainnya sebagaimaana yang tercantum dalam

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Secara tegas implisit, keberadaan hukum adat lebih ditegaskan lagi dalam batang tubuh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) yaitu dalam Pasal 18

huruf B angka (1) dan Pasal 18 huruf B angka (2).

Page 26: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

Pasal 18 huruf B angka (1)

‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’

Pasal 18 huruf B angka (2)

‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’

Secara analogi, kaidah-kaidah tersebut pada dasarnya menginterprestasikan sesuatu bahwa

pluralisme hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tetap diakui keberadaan dan

eksistensinya dalam hukum negara. Namun apabila dikaji dengan lebih cermat terdapat

pernyataan yang bersifat limitatif kritis di dalamnya, yaitu :

1. Pengakuan istimewa terhadap suatu kesatuan masyarakat beserta perangkat daerah yang

dinyatakan khusus karena keistimewaannya, seperti pengakuan terhadap Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD);

2. Hukum adat diakui keberadaannya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat;

3. Hukum adat diakui keberadannya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaiman yang diatur dalam Undang-Undang.

Berdasarkan hal tersebut, tentu keberadaan hukum adat ditengah-tengah perkembangan

hukum positif nasional tidak menjadi persoalan berarti dan justru dapat memperkaya khasanah

hukum positif itu sendiri.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

’Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi

muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

Page 27: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi’

Pengaturan norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah beberapa kali

diubah, terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pada prinsipnya menunjukkan adanya asas keterbukaan bagi hukum adat

untuk mengambil peran dalam dinamika hukum positif di Indonesia. Peranan tersebut pada

prinsipnya dapat diambil selama proes adopsi hukum adat ke dalam hukum nasional tetap

mengutamakan aturan dalam hukum nasional, tidak bertentangan dengan hukum nasional dan

murni ingin menunjukkan suatu aspirasi masyarakat daerah dalam rangka mengakomodir

kebutuhan hukum masyarakat hukum itu sendiri.

Elektabilitas dan ekses hukum adat ke dalam hukum nasional dalam bentuk peraturan

daerah pada dasarnya juga diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu Pasal 18 ayat (2) dan Pasal

18 ayat (6).

Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

‘Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan’

Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945

‘Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas-tugas pembantuan’

Page 28: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELUMA

A. Ketentuan Umum Rumusan Akademik

Ketentuan umum dalam rumusan akademik pada dasarnya merupakan suatu bentuk yang

berisikan :

1. Batasan pengertian atau definisi;

2. Singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasn pengertian atau definisi; dan/atau

3. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya, antara lain ketentuan

yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam suatu

pasal atau bab.

B. Materi Yang Akan diatur

Materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang

Pemberlakuan Hukum Adat Tana Serawai.hanya mengatur mengenai pemberlakuan Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tana

Serawai dan pemberlakuan lembaga-lembaga adat yang terkandung dalam kompilasi hukum

tersebut.

Pasal 1

Memberlakukan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai Kabupaten Seluma Provinsi

Bengkulu.

Pasal 2

Muatan materi dalam Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 mencakup Organisasi Perangkat Adat, Ruang Lingkup Adat, Adat Istiadat, Budaya

Adat, Seni Tradisional dirangkum secara mandiri dan sistematis.

Page 29: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

C. Ketentuan Sanksi

Adapun jenis sanksi adat yang diterapkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten

Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai Kabupaten Seluma adalah

sebagai berikut :

1. Sanksi moral, yang apabila tidak dipatuhi maka si pelanggar mempertanggung jawabkan

perbuatannya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. Uang Adat, yaitu apabila si pelanggar adat melanggar salah satu ketentuan adat maka wajib

membayar sejumlah uang sebesar sebagiamana ditentukan dalam Kompilasi hukum Adat

Tanah Serawai; dan

3. Dendo Adat, suatu sanksi adat yang mengharuskan si pelanggar adat untuk membayar ganti

rugi sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan tanpa berbentuk uang. Contoh Dendo

Adat adalah berupa permintaan maaf atau pemberian nasi kunyit sejambar sebagai bentuk

pelanggaran akibat menyalahi atauran pertunangan (Berasan dan Ngantat Belanjo).

D. Ketentuan Peralihan

Ketentuan Peralihan merupakan ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan

atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama

terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk :

1. Menghindari terjadinya kekosongan hukum;

2. Menjamin kepastian hukum;

3. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan

perundang-undangan; dan

4. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Page 30: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi norma-norma atau kaedah hukum adat serawai ke dalam hukum positif

sebagaimana sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya

terhadap peraturan daerah secara yuridis normatif merupakan hal yang dibolehkan dan tidak

dilarang. Eksistensi hukum adat pada dasarnya telah diakomodir secara penuh oleh sumber

hukum tertinggi yang dijadikan sebagai landasan hukum utama Indonesia yaitu terdapat pada

Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (2).

Dalam mengimplementasikan kaedah adat ke dalam peraturan daerah sekalipun

sebagaimana telah dijelaskan dibolehkan secara yuridis normatif, akan tetapi ada batasan-batasan

yang harus diperhatikan oleh para pembentuk (pemerakarsa) peraturan daerah tersebut. Batasan-

batasan tersebut antara lain adalah :

1. Muatan materi peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi atau peraturan yang sederajat. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak

menimbulkan dualisme dalam menginterprestasikan hukum terutama dalam lingkup psikologi

dan sosiologi hukum;

2. Muatan materi tersebut harus sesuai dengan mekanisme pemebentukan perundang-undangan

sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Perundang-Undangan; dan

3. Mauatan materi peraturan daerah tersebut mencerminkan kebutuhan, aspirasi dan karakteristik

suatu daerah.

Peraturan daerah yang mengatur pemberlakuan suatu hukum adat dalam bentuk kompilasi

hukum juga harus perlu menyesuaikan dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang

ada. Sekalipun suatu peraturan daerah hanya memuat masalah pemberlakuan kompilasi hukum,

bukan berarti analisis kristis terhadap kompilasi tersebut menjadi diabaikan. Justru kajian yang

cermat dan mendalam diperlukan untuk menguji kompilasi hukum tersebut. Pengkajian dimaksud

adalah untuk mengelimininasi kaedah-kaedah yang tidak sesuai antara peraturan daerah terkait

Page 31: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

dengan kompilasi hukum yang diberlakukan oleh peraturan daerah tersebut. Sehingga diharapkan,

peraturan daerah yang ditetap dan disebarluaskan tidak akan menimbulkan pertentangan dan

dualisme hukum di kemudian hari.

B. Saran

Dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang

Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai dan demi penyempurnaan konstruksi

hukum yang konkrit, disarankan :

1. Untuk mengkaji kembali muatan materi dalam Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai secara

kasuistis terhadap pasal-pasal yang berkenaan dengan sanksi adat. Sedapatnya agar pasal-

pasal yang terkait dengan sanksi adat dapat dikaji kembali dan bila perlu diubah sesuaikan

secara lebih adil dengan tidak terlalu memberatkan pelanggar adat. Hal tersebut disebabkan

oleh karena dalam beberapa hal, terkadang pelanggaran dalam hukum adat juga telah diatur

dalam hukum positif dan tentunya ini dapat mmemicu terjadinya dualism hukum di

masyarakat. Tanpa mengurangi esensi dan nilai sakralistik dalam suatu norma adat,

sedapatnya hal ini perlu untuk dikaji kembali.

2. Agar jika dimungkinkan, dalam muatan materi Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang

Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Serawai juga mengakomodir norma-norma adat

serawai lain yang mungkin belum dilakukan penelitian terhadapnya dan belum diatur dalam

Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai.

.

Page 32: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

DAFTAR PUSTAKA

Imam Sudiyat, SH, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Tahun 2000.

Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Pustaka Fajar Offset, Yogyakarta, 1998

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2002

Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, Jogyakarta, RadjaGrafindo Tahun 1996.

Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern Society ;USA, Berg Puolisher, Tahun 1994.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Press;Cetakan V, Yogyakarta, Tahun 1997.

Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan, Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University Press, Tahun 2000.

Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;

3. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah beberapa

kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah; dan

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 33: Naskah Akademik Pemberlakuan Kpmpilasi Hukum Adat

NASKAH AKADEMIS

PEMBERLAKUAN

KOMPILASI HUKUM ADAT SELUMA