12
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda ... 218 PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM SENGKETA KEPAILITAN Agus Triansyah Advokat Kantor Hukum Dr. Dian Korona, S.H.,M.H. E-mail : [email protected] Abstract This study was to formulate a concept of return policies / principles of the law of “Pacta Sunt Servanda” in bankruptcy dispute. By promoting the legal issue Why the provisions of the article 303 of law number 37 year 2004 concerning the bankruptcy and PKPU rule out the law number 30 year 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlement and dispute resolution clause. The research was the normative juridical approach the statutory (statue approach), historical approach, conceptual approach and case approach. Based on: doctrine, theory and law principle and reasoning/logic of the law as a law argument. The principle is a metanorm that should be used as a legal guideline for each pruduct law so that never been out of the occurrence of any legal principle. (1) artcile 303, UUK afflicted materil law, when it is left actually dangerous because it can cause legal uncertainty which may result in less used existing legal rules (article 303 UUK, an article that “excessive, wrong, confused”). (2) Position argument with the law is same, meaning that the agreement in this case in particular the provisions of the Arbitration clause made by the party should be the same as in the case of law on bankruptcy. Keywords : Bankruptcy, delay debt payment obligations (PKPU), Basis of pacta sunt servanda (PSS). Abstrak Penelitian ini untuk merumuskan kembali suatu konsep dasar/prinsip hukum “Pacta Sunt Servanda” dalam Sengketa Kepailitan. Dengan mengedepankan legal issue; Mengapa ketentuan Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengesampingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat klausul arbitrase. Merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach), histrorical approach, conceptual approach dan case approach. Mendasarkan pada: doktrin, teori dan prinsip hukum dengan penalaran/logika hukum sebagai argumentasi hukum. Asas merupakan metanorma yang harus dijadikan pedoman bagi setiap produk hukum agar tidak pernah keluar dari berlakunya asas hukum. (1). Pasal 303 UUK mengalami cacat hukum materil, apabila hal ini dibiarkan justru berbahaya karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada kurang bermanfaatnya aturan hukum yang ada (Pasal 303 UUK, merupakan Pasal yang “kebablasan/salah/keliru”. (2). Posisi perjanjian dengan undang -undang adalah sama/sederajad, artinya perjanjian dalam hal ini khususnya ketentuan mengenai Klausul Arbitrase yang dibuat oleh para pihak seharusnya sama berlakunya seperti halnya UU Kepailitan. Kata Kunci : Kepailitan, PKPU Asas Pacta Sunt Servanda (PSS) .

PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 218

PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM

SENGKETA KEPAILITAN

Agus Triansyah

Advokat Kantor Hukum Dr. Dian Korona, S.H.,M.H.

E-mail : [email protected]

Abstract

This study was to formulate a concept of return policies / principles of the law of “Pacta Sunt

Servanda” in bankruptcy dispute. By promoting the legal issue Why the provisions of the article 303 of

law number 37 year 2004 concerning the bankruptcy and PKPU rule out the law number 30 year 1999

concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlement and dispute resolution clause. The research

was the normative juridical approach the statutory (statue approach), historical approach, conceptual

approach and case approach. Based on: doctrine, theory and law principle and reasoning/logic of the

law as a law argument. The principle is a metanorm that should be used as a legal guideline for each

pruduct law so that never been out of the occurrence of any legal principle. (1) artcile 303, UUK

afflicted materil law, when it is left actually dangerous because it can cause legal uncertainty which

may result in less used existing legal rules (article 303 UUK, an article that “excessive, wrong,

confused”). (2) Position argument with the law is same, meaning that the agreement in this case in

particular the provisions of the Arbitration clause made by the party should be the same as in the case

of law on bankruptcy.

Keywords : Bankruptcy, delay debt payment obligations (PKPU), Basis of pacta sunt servanda (PSS).

Abstrak

Penelitian ini untuk merumuskan kembali suatu konsep dasar/prinsip hukum “Pacta Sunt

Servanda” dalam Sengketa Kepailitan. Dengan mengedepankan legal issue; Mengapa ketentuan Pasal

303 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengesampingkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat klausul arbitrase.

Merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach),

histrorical approach, conceptual approach dan case approach. Mendasarkan pada: doktrin, teori dan

prinsip hukum dengan penalaran/logika hukum sebagai argumentasi hukum. Asas merupakan

metanorma yang harus dijadikan pedoman bagi setiap produk hukum agar tidak pernah keluar dari

berlakunya asas hukum. (1). Pasal 303 UUK mengalami cacat hukum materil, apabila hal ini dibiarkan

justru berbahaya karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada kurang

bermanfaatnya aturan hukum yang ada (Pasal 303 UUK, merupakan Pasal yang

“kebablasan/salah/keliru”. (2). Posisi perjanjian dengan undang-undang adalah sama/sederajad,

artinya perjanjian dalam hal ini khususnya ketentuan mengenai Klausul Arbitrase yang dibuat oleh

para pihak seharusnya sama berlakunya seperti halnya UU Kepailitan.

Kata Kunci : Kepailitan, PKPU Asas Pacta Sunt Servanda (PSS).

Page 2: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

219 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

PENDAHULUAN

Keuntungan dan kerugian merupakan

dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

dunia perdagangan. Setiap perusahaan

selalu mengharapkan mendapatkan

keuntungan dari usaha yang dilakukannya,

dan sebaliknya berusaha mencegah

terjadinya kerugian akibat dari kegiatan

usahanya. Apabila suatu perusahaan

mengalami kerugian, maka akan

menghadapi permasalahan yanng

menyangkut pemenuhan kewajiban-

kewajibannya kepada kreditur, seperti

pengembalian pinjaman modal dan

pembayaran utang.

Untuk itu setiap bisnis pasti

membutuhkan kontrak untuk memastikan

Perjanjian yang disepakati dapat berjalan

dengan lancar. Berdasarkan pertimbangan

tersebut, maka debitur dalam rangka

menyelesaikan utang piutangnya dengan

para kreditur menghendaki penyelesaian

masalahnya secara non litigasi. Apabila

perdamaian yang ditawarkan oleh debitur

disetujui dan disepakati oleh para kreditur,

maka dibuatlah suatu perjanjian yang

disertai dengan klausula Arbitrase.

Perdamaian yang ditawarkan oleh

debitur kepada para kreditur pada dasarnya

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

utang-piutang diluar pengadilan atau

bersifat non litigasi dengan menggunakan

lembaga Arbitrase. Mengingat penyelesaian

sengketa utang piutang melalui lembaga

Arbitrase, prosesnya sederhana dan cepat

mengambil keputusan, dilakukan oleh ahli,

tertutup, putusannya bersifat terakhir dan

mengikat (final and binding) serta

digunakan dalam dunia perdagangan1.

Berbeda halnya dengan penyelesaian

sengketa utang piutang melalui pengadilan

(litigasi) yang prosesnya tidak sederhana

dan membutuhkan waktu cukup lama untuk

mendapatkan putusan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Konsekuensi hukum dari adanya

perjanjian yang memuat klausula Arbitrase

tersebut, maka penyelesaian perkaranya

dilakukan lembaga Arbitrase, dan hal ini

harus ditaati dan dilaksanakan oleh debitur

dan kreditur. Oleh karena menurut Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata, perjanjian yang

dibuat secara sah mengikat sebagai

Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya. ketentuan ini dikenal dengan

asas pacta sunt servanda, sehingga setiap

perjanjian yang dibuat secara sah harus

dilaksanakan secara itikad baik.

Keberadaan perjanjian klausula Arbitrase

tersebut secara yuridis normatif, Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili

perkaranya walaupun dalam praktik

pengadilan tidak seperti yang diharapkan.

Hal ini ditentukan dalam Pasal 3 Undang-

1 Sudikno Mertokusumo. 1991. Hukum Acara

Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, hlm. 203

Page 3: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 220

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, bahwa “Pengadilan Negeri tidak

berwenang untuk mengadili sengketa para

pihak yang telah terikat dalam perjanjian

Arbitrase”. Dari ketentuan ini seharusnya

Pengadilan Negeri tidak berwenang

mengadili sengketa yang telah ditentukan

adanya perjanjian klausula Arbitrase

sebagai perwujudan dari asas pacta sunt

servanda, namun dalam praktik peradilan,

asas tersebut tidak dapat diterapkan

sebagaimana mestinya, seperti halnya

dalam kepailitan.

Menurut sejarahnya, hukum tentang

kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi.2

Kata abngkrut yang dalam bahasa Inggris

disebut bankrupt berasal dari undang-

undang di Italia yang disebut dengan banca

rupta.3 Sementara itu, pada abad

pertengahan di Eropa, terjadi praktik

kebangkrutan yang dilakukan dengan

menghancurkan bangku-bangku dari para

bankir atau pedagang yang melarikan diri

secara diam-diam dengan membawa harta

para krediturnya.4 Adapun di Venetia

(Italia) pada masa itu, dimana para pemberi

pinjaman (bankir) saat itu yang banco

2 Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem Hukum

Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System)

dengan Amerika Serikat (Common Law System).

Sumatera Utara : Fakultas Hukum Sumatera Utara,

hlm. 10

3 Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar

Grafika, hlm.1

4 Ibid

(bangku) mereka yang tidak mampu lagi

membayar utang atau gagal dalam

usahanya, bangku tersebut benar-benar

telah patah atau hancur.5

Bagi negara-negara dengan tradisi

hukum common law, yang hukumnya

berasal dari Inggris Raya, maka tahun 1952

merupakan tonggak sejarah karena pada

tahun tersebut hukum pailit dari tradisi

hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris

dengan diundangkannya oleh parlemen

dimasa kekaisaran Raja Henry VIII sebuah

Undang-Undang yang disebut dengan Act

Againts Such Person As Do Make

Bankrupt. Undang-Undang ini

menempatkan kebangkrutan sebagai hukum

bagi debitur nakal yang ngemplang untuk

membayar utang sambil menyembunyikan

asset-asetnya.6Secara formal, hukum

kepailitan di Indonesia diatur dalam

failissements Verordening (peraturan

kepailitan) stbld. 1905-217 jo stbld. 1906-

348. Kemudian peraturan kepailitan ini

diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Kepailitan yang selanjutnya ditetapkan

sebagai Undang-Undang, yaitu Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1998. Dalam

perkembangannya, Undang-Undang

tersebut diganti dengan Undang-Undang

5 Munir Fuady. 2010. Hukum Pailit Dalam

Teori dan Praktik. Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti, hlm. 3

6 Ibid, hlm. 3-4

Page 4: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

221 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (UUK-PKPU).

Krisis moneter yang menimpa

Indonesia pada Tahun 1998 merupakan

cikal bakal lahirnya Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1998 sebagai pengganti

aturan yang sama tentang kepailitan.

Undang-Undang Kepailitan dirasa harus

direvisi mengingat banyaknya

perkembangan hukum kepailitan yang

memng belum ditaur dalam Undang-

Undang Kepailitan. Belum lagi, kasus-

kasus dipengadilan cukup banyak dan

memerlukan landasan teoritik yang kuat

dalam kajian hukum perdata dan hukum

bisnis.7

Pengaturan mengenai kepailitan dapat

dikemukakan dalam Pasal 1131 sampai

dengan Pasal 1134 KUHPerdata. Selain itu

pengaturan khusus tentang kepailitan adalah

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-

PKPU).8

Penerapan perjanjian klausula

Arbitrase sebagai perwujudan dari Asas

Pacta Sunt Servanda juga seharusnya tidak

dapat diberlakukan dalam perkara

kepailitan. Hal ini dikarenakan adanya

Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan,

7 Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum

Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Gramedia, hlm. 2 8 Ibid

bahwa “Pengadilan tetap berwenang

memeriksa dan menyelesaikan permohonan

pernyataan pailit dari para pihak yang

terikat perjanjian yang memuat klausula

Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi

dasar permohonan pernyataan pailit telah

memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) walaupun telah ada

perjanjian klausula Arbitrase. Adapun

persyaratan pengajuan permohonan pailit

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2

ayat (1) UUK-PKPU adalah debitur

mempunyai dua atau lebih kreditur dan

tidak membayar lunas sekurangnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

Adanya ketentuan Pasal 303 UUK-

PKPU, tentunya menimbulkan

permasalahan berkenaan dengan kekuatan

hukum berlakunya asas pacta sunt

servanda dalam bentuk perjanjian klausula

Arbitrase relevansinya dengan sengketa

kepailitan. Kemudian akibat hukum

pelanggaran terhadap asas pacta sunt

servanda dalam sengketa kepailitan.

Permasalahan tersebut perlu adanya

kejelasan dari segi pengaturan hukumnya

demi terwujudnya kepastian hukum sebagai

nilai dasar dari hukum.

PERUMUSAN MASALAH

Bertolak Dari Pendahuluan Tersebut

Di Atas, Maka Permasalahannya Dapat

Page 5: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 222

Dirumuskan Sebagai Berikut : Apakah Asas

Pacta Sunt Servanda Mempunyai Kekuatan

Hukum Untuk Diterapkan Dalam Sengketa

Kepailitan ? Apakah Akibat Hukum

Pelanggaran Terhadap Asas Pacta Sunt

Servanda Dalam Sengketa Kepailitan ?

PEMBAHASAN

PENGATURAN HUKUM TENTANG

ASAS PACTA SUNT SERVANDA

KAITANNYA DENGAN SENGKETA

KEPAILITAN

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata

bahwa perjanjian merupakan salah satu

sumber perikatan. Dalam hukum perjanjian

terdapat beberapa asas penting yang

menjadi dasar berjalannya perjanjian

diantaranya adalah asas pacta sunt

servanda. Penggunaan kata asas oleh

beberapa sarjana disamakan artinya dengan

prinsip (principle).9 Menurut Paton, asas

adalah “Suatu alam pikiran yang

dirumuskan secara luas dan mendasari

adanya sesuatu norma hukum”.10

Pembentukan hukum praktis perlu

berorientasi pada asas-asas hukum

tersebut.11

Sedangkan menurut Ron Jue

bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai

yang melandasi kaidah-kaidah hukum.12

9 Muchtar Kusumaatmadja. 2003. Pengantar

Hukum Internasional. Bandung : Alumni, hlm. 168 10

Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu

Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 36 11

Sudikno Mertokusumo. 2001. Penemuan

Hukum. Yogyakarta : Liberty, hlm.5. 12

Arief Sidharta. 2002. Refleksi Tentang

Berdasarkan pengertian tersebut diatas

bahwa asas hukum merupakan suatu alam

pikiran atau cita-cita ideal yang

melatarbelakangi pembentukan kaidah

hukum, bersifat umum maupun universal

dan abstrak, tidak bersifat konkrit.13

Bahkan

oleh Sekolten dikatakan bahwa asas hukum

itu berada baik dalam sistem hukum

maupun dibelakang atau diluar sistem

hukum. Sahnya nilai asas hukum itu

diwujudkan dalam kaidah hukum dari

sistem hukum positif, maka asas hukum itu

berada dalam sistem. Begitu pula

sebaliknya, sejauh nilai asas hukum itu

tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari

sistem hukum positif maka asas hukum

tersebut berada dibelakang sistem hukum.14

Pacta Sunt Servanda berasal dari

bahasa latin yang berarti “Janji harus

ditepati”.15

Pacta Sunt Servanda merupakan

asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum

civil law, yang dalam perkembangannya

diadopsi kedalam hukum internasional.

Pada dasarnya Asas Pacta Sunt Servanda

berkaitan dengan kontrak atau perjanjian

yang dilakukan diantara para individu, yang

mengundang makna bahwa :

Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm.121.

13 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit, hlm. 6.

14 Ibid, hlm. 22.

15 Harry Purwanto. 2009. Keberadaan Asas

Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian

Internasional. Artikel Dalam Jurnal. “Mimbar

Hukum Volume 21. Nomor. 1. Februari.

Page 6: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

223 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

1. Perjanjian merupakan Undang-undang

bagi para pihak yang membuatnya, dan

2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran

terhadap kewajiban yang ada pada

perjanjian merupakan tindakan melanggar

janji atau wanprestasi.16

Aziz T. Saliba menyatakan bahwa

Asas Pacta Sunt Servanda merupakan

Sakralisasi atas suatu perjanjian (Sancity Of

Contract). Titik fokus dari hukum

perjanjian adalah asas kebebasan

berkontrak atau yang dikenal dengan

prinsip otonomi.

Asas kebebasan berkontrak menurut

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa

setiap perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-Undang bagi

mereka yang membuatnya. Namun

kebebasan berkontrak, bukan berarti boleh

membuat perjanjian secara bebas,

melainkan harus tetap dibuat dengan syarat-

syarat sahnya perjanjian sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,

yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab

yang halal.

Asas Pacta Sunt Servanda merupakan

salah satu norma dasar dalam hukum, dan

erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk

menghormati atau mentaati perjanjian.17

Aktualisasi pelaksanaan asas itikad baik

16

Ibid,. 17

Wayan Partiana. 2005. Hukum Perjanjian

Internasional Bagian 2. Bandung : Mandor Maja,

hlm. 263.

dari suatu janji antara lain dapat

diilustrasikan sebagai berikut :

a) Para pihak harus melaksanakan

perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud

dan tujuan perjanjian itu sendiri;

b) Menghormati hak-hak dan kewajiban-

kewajiban dari masing-masing pihak

maupun pihak ketiga yang mungkin

diberikan hak dan/ atau dibebani kewajiban;

Tidak melakukan tindakan-tindakan yang

dapat menghambat usaha-usaha mencapai

maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri,

baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku

maupun setelah perjanjian itu mulai

berlaku.18

Pengertian itikad baik dalam subjektif

terdapat dalam Pasal 530 KUHPerdata yang

mengatur mengenai kedudukan berkuasa

(Bexit) yang mengandung makna sikap atau

perilaku yang jujur dalam melaksanakan

setiap tindakan dan perbuatan di dalam

masyarakat.

Salah satu ketentuan penting didalam

perjanjian atau kontrak bisnis adalah

ketentuan atau klausula tentang

penyelesaian sengketa yang mengatur

masalah forum dan hukum apa yang akan

diberlakukan terhadap sengketa yang

timbul. Pelaku bisnis cenderung

menghindari penyelesaian sengketa melalui

pengadilan, dan memilih untuk

18

Ibid,.

Page 7: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 224

menyelesaikannya melalui lembaga diluar

pengadilan.

Arbitrase adalah salah satu lembaga

penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Didalam kontrak bisnisnya, para pihak

memasukkan klausula tentang lembaga

arbitrase yang dipilih sebagai forum untuk

menyelesaikan sengketa mereka.

Dalam praktik bisnis, ada banyak

perjanjian yang dapat diadakan oleh para

pelakunya, antara lain perjanjian utang

piutang yang dibuat antara kreditur dan

debitur. Adakalanya debitur mengalami

kegagalan (wanprestasi) dalam memenuhi

kewajibannya yang berujung kepada

timbulnya sengketa. Permasalahan muncul

ketika salah satu pihak tidak membawa

sengketa utang piutang tersebut untuk

diselesaikan melalui pengadilan perdata

biasa, melainkan langsung mengajukan

permohonan untuk mempailitkan si debitur

ke Pengadilan Niaga.

Sengketa kepailitan pada dasarnya

timbul dari perjanjian utang piutang.

Sengketa kepailitan dipilih oleh para pihak

sebagai upaya untuk meletakkan harta

debitur di bawah sita umum. Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 ternyata

telah menentukan adanya ketentuan hukum

yang dapat meniadakan prinsip hukum

penyelesaian sengketa melalui Lembaga

Arbitrase. Pasal 303 Undang-Undang

tersebut menyebutkan bahwa “Pengadilan

tetap berwenang memeriksa dan

menyelesaikan permohonan pernyataan

pailit dari pihak yang terikat perjanjian

yang memuat klausula arbitrase sepanjang

utang yang menjadi dasar permohonan

pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang ini”.

Pemberlakuan perjanjian klausula

arbitrase sebagai dasar penyelesaian

sengketa kepailitan menunjukkan

ketidakpastiaan hukum dikarenakan adanya

ketidaksinkronan dari segi pengaturannya

antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 dengan Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 adalah sebagai berikut :Pasal 3

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak

berwenang untuk mengadili sengketa para

pihak yang telah terikat dalam perjanjian

arbitrase. Kemudian Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang tersebut menyatakan

bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak

dan tidak akan campur tangan didalam

suatu penyelesaian sengketa yang telah

ditetapkan melalui arbitrase, kecuali hal-hal

tertentu yang ditetapkan dalam Undang-

Undang ini.

Pasal 303 Undang-Undang 37 Tahun

2004 menyatakan bahwa Pengadilan tetap

berwenang memeriksa dan menyelesaikan

permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terikat perjanjian yang memuat

Page 8: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

225 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

klausula arbitrase. Yang dimaksud dengan

pengadilan tersebut menurut Pasal 1 angka

7 Undang-Undang tersebut adalah

pengadilan niaga dalam lingkungan

Peradilan Umum.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka

untuk terciptanya kepastian hukum dalam

rangka penyelesaian sengketa kepailitan

yang terdapat klausula arbitrase, maka

keberadaan Pasal 303 Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004, perlu dilakukan

pembahasan dan penyempurnaan dengan

cara menyelaraskan dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

KEKUATAN HUKUM PEMBER-

LAKUAN ASAS PACTA SUNT

SERVANDA DALAM SENGKETA

KEPAILITAN

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa

perjanjian arbitrase adalah “suatu

kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis

yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa atau suatu perjanjian arbitrase

tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa”. Berdasarkan pengertian

normatif tersebut, Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa

perjanjian arbitrase harus dibuat secara

tertulis. Syarat tertulis ini berupa

kesepakatan para pihak, dimana adanya

perjanjian tersebut berarti meniadakan hak

para pihak untuk mengajukan penyelesaian

sengketa ke Pengadilan Niaga. Demikian

pula, pengadilan niaga tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang

telah terikat perjanjian arbitrase. Hal ini

mempunyai arti bahwa perjanjian arbitrase

melahirkan kompetensi absolute bagi para

pihak untuk menentukan sendiri cara

penyelesaian sengketa yang

dikehendakinya.

Idealnya asas pacta sunt servanda

tersebut mempunyai kekuatan hukum

dalam keberlakuannya. Namun asas

perjanjian ini perlu dipertanyakan

keberadaannya dalam kaitannya dengan

ketentuan Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 yang menentukan kewenangan

pengadilan niaga untuk memutus perkara

permohonan kepailitan yang memenuhi

persyaratan kepailitan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang tersebut.

Arbitrase merupakan kesepakatan para

pihak yang bertujuan untuk menentukan

cara penyelesaian sengketa yang timbul dari

perjanjian yang telah disepakati.

Pencantuman klausula arbitrase disalam

perjanjian merupakan bagian dari

Implementasi dari asas hukum perjanjian

yang berupa asas pacta sunt servanda

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata. Hal tersebut

merupakan konsekuensi dari Pasal 1233

Page 9: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 226

KUHPerdata yang menyatakan bahwa

setiap perikatan dapat lahir dari Undang-

Undang maupun karena perjanjian. Dengan

demikian, perjanjian merupakan sumber

dari perikatan.

Hukum pada hakikatnya merupakan

perlengkapan masyarakat untuk menjamin

agar kebutuhan-kebutahan dalam

masyarakat dapat dipenuhi secara teratur.

Sebagaimana dikatakan Roscoe Pond

bahwa hukum dibuat tidak hanya untuk

mengisi kekosongan tetapi hukum dibuat

agar efektif.19

Demikian pula apabila

melihat pasa ciri-ciri yang melekat pasa

hukum, yaitu :

a Kehadiran hukum menimbulkan suatu

kemantapan dan keteraturan dalam usaha

manusia;

b Memberikan kerangka sosial terhadap

kebutuhan-kebutuhan masyarakat;

c Sebagai kerangka sosial untuk

kebutuhan manusia yang menampilkan

wujudnya dalam bentuk sarana-sarana.

Norma inilah yang merupakan sarana untuk

menjamin agara anggota masyarakat dapat

dipenuhi kenutuhannya secara

terorganisasi.20

Seiring berjalannya waktu, keberadaan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998

kemudian dicabut dan diganti dengan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004,

19

Ibid, hlm. 133. 20

Ibid, hlm. 134.

memunculkan suatu ketentuan yang

memberi kewenangan yang eksplisit kepada

Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan

menyelesaikan permohonan pernyataan

pailit dari para pihak yang terikat perjanjian

yang memuat klausula arbitrase (Pasal 303

UU Nomor 37 Tahun 2004).

KEWENANGAN MENGADILI SENG-

KETA KEPAILITAN

Seiring dengan perkembangan zaman

khususnya dalam dunia perdagangan,

sekarang ini berkembang lembaga

penyelesaian sengketa diluar pengadilan

(non litigasi) diantaranya adalah arbitrase.

Dengan adanya Lembaga Arbitrase maka

dapat membantu para pelaku bisnis dalam

menyelesaikan suatu masalah hukum.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 memberikan definisi

arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata diluar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang bersengketa. Pasal 1 angka 10

Undang-Undang tersebut memberikan

definisi alternatif penyelesaian sengketa

adalah "lembaga penyelesaian sengketa

atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakti para pihak, yakni penyelesaian

diluar pengadilan dsngan cara konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian

ahli.

Page 10: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

227 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 menyatakan, "pengadilan

negeri tidak berwenang untuk mengadili

sengketa para pihak yang telah terikat

dalam perjanjian arbitrase". Dengan kata

lain, lembaga arbitrase mempunyai

kompetensi absolute untuk memutus

perkara kepailitan yang para pihaknya

membuat klausula arbitrase.

Pasal 303 Undang-Undang 37 Tahun

2004 menyatakan bahwa Pengadilan tetap

berwenang memeriksa dan menyelesaikan

permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terikat perjanjian yang memuat

klausula arbitrase, sepanjang utang yang

menjadi dasar permohonan pernyataan

pailit telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang ini.

Pada sisi ini, Pengadilan Niaga yang

memiliki kekhususan sebagai Lembaga

Peradilan bagi sengketa kepailitan

seharusnya dipergunakan sebagai upaya

terakhir atau the last resort bagi para pihak,

yaitu apabila penyelesaian di Luar

Pengadilan, dalam hal ini Lembaga

Arbitrase yang disepakati para pihak telah

ditempuh dan tidak ada itikad baik debitur

untuk melaksanakan Putusan Lembaga

Arbitrase.

Masalah kewenangan yang memutus

perkara kepailitan yang terdapat klausula

arbitrase kurang memberikan kepastian

hukum. Menurut Mahdi Surya

Aprilliansyah, bahwa walaupun masalah

kepailitan merupakan kewenangan absolute

dari Pengadilan Niaga, namun apabila

terkait masalah kepailitan itu dikarenakan

sebagai konsekuensi dari adanya suatu

perjanjian antara kedua belah pihak, dimana

dalam perjanjiannya diakui adanya klausula

arbitrase sebagai upaya penyelesaian

sengketa, maka perjanjian yang telah

disepakati itu harus ditaati sesuai dengan

asas pacta sunt servanda, maka perjanjian

tersebut merupakan dasar hukum bagi

pembuatnya. Oleh karena itu, Pengadilan

Niaga tidak berwenang menyelesaikan

perkara kepailitan, melainkan kewenangan

lembaga arbitrase. Hal ini sebagai salah

satu bentuk penjunjungan tinggi asas

hukum perjanjian yaitu asas pacta sunt

servanda yang diimplementasikan dalam

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 yang menyatakan bahwa “Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili

sengketa para pihak yang terikat dalam

perjanjian arbitrase”.21

SANKSI HUKUM MELANGGAR ASAS

PACTA SUNT SERVANDA

KAITANNYA DENGAN SENGKETA

KEPAILITAN

Perjanjian arbitrase merupakan

perikatan untuk berprestasi yang berupa

21

Mahdi Surya Aprilliansyah. Tinjauan

Yuridis Penyelesaian Sengketa Kepailitan Terhadap

Adanya Klausula Arbitrase.

Page 11: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 228

penyelesaian sengketa melalui lembaga

arbitrase. Pemenuhan suatu prestasi

merupakan hakekat dari suatu perikatan.

Pembuatan perjanjian arbitrase adalah

perwujutan dari asas kebebasan berkontrak

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata, yaitu setiap orang

bebas membuat suatu kontrak yang

bagaimanapun bentuk dan isinya sebelum

tidak bertentangan dengan Undang-Undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan.

Kemudian memuat Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya,

dan ketentuan ini dikenal dengan asas

pacta sunt servanda. Selanjutnya dalam

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik (asas itikad baik).

Perjanjian arbitrase merupakan hasil

kesepakatan antara kreditur dengan debitur

yang berisikan mekanisme penyelesaian

sengketa kepailitan melalui lembaga

arbitrase. ketentuan tersebut dapat

dikatakan bahwa perjanjian arbitrase

sebagai pencerminan dari asas pacta sunt

servanda mempunyai kekuataan hukum

mengikat bagi para pihak yang

membuatnya, sehingga penyelesaian

perkara kepailitan yang terjadi harus

melalui lembaga arbitrase. Apabila salah

satu pihak mengingkarinya, seperti

penyelesaian perkara kepailitan tidak

dilakukan melalui lembaga arbitrase, tetapi

dimohonkan kepada Pengadilan Niaga,

maka yang bersangkutan melakukan

wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan

atas tidak dilaksanakannya perjanjian

arbitrase, maka berhak menuntut ganti

kerugian atas dasar wanprestasi melalui

Pengadilan Negeri yang berwenang.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah

dikemukakan, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan sebagai berikut, Perjanjian

arbitrase merupakan kesepakatan para pihak

untuk menyelesaikan sengketa kepailitan

melalui lembaga arbitrase sebagai

perwujudan dari asas pacta sunt servanda

yang menyatakan bahwa perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya

(Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Oleh

karena itu asas pacta sunt servanda

mempunyai kekuatan hukum dalam

pemberlakuannya, sehingga yang

berwenang menyelesaikan sengketa

kepailitan adalah lembaga arbitrase. Hal ini

sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 yang menentukan

bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang

mengadili sengketa para pihak yang telah

tersebut dalam perjanjian arbitrase.

Page 12: PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM …

229 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020

Perjanjian arbitrase merupakan

kesepakatan para pihak untuk

menyelesaikan sengketa kepailitan melalui

lembaga arbitrase dan sesuai dengan asas

pacta sunt servanda yang menyatakan

bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata), sehingga perjanjian

tersebut harus dilakukan dengan itikad baik.

Apabila isi perjanjian arbitrase tidak

dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka

menurut hukum perikatan pihak yang

melanggar perjanjian arbitrase tersebut

dinyatakan wanprestasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aprilliansyah, Mahdi Surya. Tinjauan

Yuridis Penyelesaian Sengketa

Kepailitan Terhadap Adanya

Klausula Arbitrase.

Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu

Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Fuady, Munir. 2010. Hukum Pailit Dalam

Teori dan Praktik. Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti.

Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta :

Sinar Grafika.

Kusumaatmadja, Muchtar. 2003. Pengantar

Hukum Internasional. Bandung :

Alumni.

Mertokusumo, Sudikno. 1991. Hukum

Acara Perdata Indonesia.

Yogyakarta : Liberty.

Mertokusumu, Sudikno. 2001. Penemuan

Hukum. Yogyakarta : Liberty

Partiana, Wayan. 2005. Hukum Perjanjian

Internasional. Bandung : Mandor

Maja.

Purwanto, Harry. 2009. Kebebasan Asas

Pacta Sunt Servanda Dalam

Perjanjian Internasional. Jakarta.

Sidharta, Arief. 2002. Refleksi Tentang

Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti.

Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem

Hukum Kepailitan Antara Indonesia

(Civil Law System) Dengan Amerika

Serikat (Common Law System).

Sumatera Utara : Fakultas Hukum

Sumatera Utara.

Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum

Kepailitan di Indonesia. Jakarta :

Gramedia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang