Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
Di Bawah Bimbingan :
Dra. Gefarina Djohan, MA
NIP: 1963310241999032001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG
MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 April 2015
Anisa Hidayati
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa :
Nama : Anisa Hidayati
NIM : 1111112000064
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG
MUSLIMAT NU PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
...............................................................................................
...............................................................................................
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 27 April 2015
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Ali Munhanif, MA Dra. Gefarina Djohan, MA NIP. 196512121992031004 NIP. 1963310241999032001
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Oleh
Anisa Hidayati
1111112000064
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
27 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Ali Munhanif, MA M. Zaki Mubarak, M. Si NIP. 196512121992031004 NIP.19730927200511008
PENGUJI I, PENGUJI II,
Dra. Haniah Hanafi, MA Suryani, M. Si NIP. 196105242000032002 NIP. 197702242007102003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 27 April 2015
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Ali Munhanif, MA NIP. 196512121992031004
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang organisasi sosial keagamaan Nahdlatul
Ulama (NU) di era reformasi berkaitan dengan keputusannya untuk kembali
kepada khittah 1926 dengan studi kasus Badan Otonom NU yaitu Muslimat.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana khittah NU 1926
diimplementasikan di era reformasi seperti sekarang ini, khususnya pada
Muslimat NU periode 2011-2014. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka
dan wawancara dengan beberapa narasumber berkaitan dengan Muslimat NU.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa aturan khittah 1926 secara umum masih
diyakini oleh Muslimat NU. Sebagai organisasi, Muslimat NU memelihara dan
melaksanakan khittah dengan tidak berpihak dalam partai politik manapun. Hal
ini dibuktikan dengan tetap berjalannya program-program organisasi yang
bertujuan sosial dan keagamaan, seperti YKM-NU, YPM-NU, serta masih banyak
lagi yayasan-yayasan Muslimat NU yang berdiri dalam koridor pendidikan,
dakwah, sosial maupun kesehatan. Namun disamping sebagai organisasi, dalam
Muslimat NU terdapat orang-orang yang memiliki hak politik salah satunya ialah
hak untuk menentukan pilihan politiknya. Sehingga tidak menutup kemungkinan
orang-orang dalam Muslimat NU berpolitik atau memilih salah satu partai politik.
Kemudian menjadi buyar nilai khittah 1926 ini dikarenakan identitas
perseorangan dalam lembaga organisasi terbawa ke dalam hak berwarganegara
sehingga Muslimat NU sebagai organisasi yang menjaga khittah kemudian
terkikis oleh oknum-oknum tersebut. Argumen ini dirumuskan melalui hasil
penelitian dari awal sejarah hingga era sekarang melalui implementasi lembaga
dan orang-orang di dalamnya terhadap nilai khittah 1926. Kemudian dikaitkan
dengan kerangka teori yang sudah dibuat.
Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah teori civil
society untuk melihat bagaimana Muslimat NU sebagai organisasi sosial
keagamaan melaksanakan tugas dan tujuannya. Kemudian manajemen organisasi
menjelaskan bahwa jabatan Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum
menjadi latar belakang keputusan individu Khofifah berpengaruh besar terhadap
individu lain di bawah jabatan Ketua Umum. Serta teori kekuasaan untuk melihat
seberapa besar pengaruh Khofifah dalam Muslimat NU yang ditunjukkan dengan
masa Khofifah memimpin muslimat NU selama tiga periode, sehingga menjadi
modal awal Khofifah dalam meraih kekuasaan politik. Dapat disimpulkan bahwa
Muslimat NU sebagai organisasi masih tetap menjaga komitmen khittah 1926
terlepas dari praktik politik orang-orang di dalam lembaga tersebut. Namun
bercermin pada posisi Ketua Umum Muslimat NU yang sudah dijelaskan melalui
tiga teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keputusan NU untuk kembali
pada khittah 1926 sudah tidak relevan apabila diaplikasikan di era reformasi
seperti saat ini. Oleh karena itu, keputusan kembalinya NU kepada khittah 1926
perlu untuk ditinjau bersama demi kebaikan lembaga maupun individu di
dalamnya.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbilaalamiin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad saw beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau dari
dulu, sekarang hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang begitu dalam penulis sampaikan kepada berbagai
pihak yang senantiasa telah membantu dalam penulisan skripsi ini dari proses
untuk meyakinkan diri hingga sampai pada tahap penulisan, wawancara, dan lain
sebagainya, baik berupa moril maupun materilnya. Ucapan terimakasih penulis
sampaikan teruntuk :
1. Prof. Dr. Zulkifli selaku Dekan FISIP UIN Jakarta.
2. Dr. Ali Munhanif, MA serta M. Zaki Mubarak, M.Si sebagai Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ilmu Politik yang senantiasa membimbing
jalannya proses penulisan skripsi.
3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Politik sebagai pahlawan intelektual
yang terus memberikan sumbangsih dalam proses kegiatan belajar
mengajar.
4. Dra. Gefarina Djohan, MA yang dengan sabar membimbing penulis serta
memberikan kesempatan penulis untuk bersilaturahmi dengan berbagai
kalangan nahdliyin dalam proses penulisan skripsi dari awal hingga akhir.
vii
5. Bapak Armen Daulay yang selalu memberikan semangat dan bantuan dalam
studi pustaka penulis.
6. Ibu Anna S. Azmi dan Mas Faghwa yang setia menjadi guru, orang tua serta
sahabat penulis.
7. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Prof. Ismawati, Hj. Umi Azizah serta jajaran
pengurus PP Muslimat NU, PW Jateng dan PC Kab. Tegal atas
kerjasamanya dalam memberikan berbagai pelajaran serta informasi.
8. Bapak Fatchurrohman dan Ibu Muzayanah yang telah menjadi orang tua
terbaik dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang.
9. Teman-teman seperjuangan di Ilmu Politik B angkatan 2011 Mama Riska,
Wiky, Nita, Panda, Layla, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Serta semua mahasiswa FISIP UIN Jakarta yang dibanggakan.
10. Sahabat-sahabat dan adik-adik di Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat
yang sudah banyak sekali memberikan pelajaran hidup kepada penulis, para
senior yang terus memberikan pelajaran dan pengalaman berharga, dan
teruntuk mas yang terspesial diantara yang lain, semoga kita semua
dimudahkan segalanya.
11. Keluarga cemara yang tidak pernah bosan mengingatkan sholat, makan,
istirahat serta setia dalam satu tempat tidur tanpa ranjang (Lia, Ipat dan
Nurul), seluruh warga masyarakat Indonesia yang senantiasa menjaga
keutuhan Bangsa dan Negara, dan seluruh umat manusia yang saling
menghargai satu sama lain.
viii
Diharapkan dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan tambahan
inforamsi baru, dan senantiasa bermanfaat bagi para pembaca maupun penulis
secara pribadi. Penulis sangat menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah
SWT, dan sebagai manusia biasa masih banyak sekali kekurangan dalam diri
penulis maupun dalam penulisan skripsi ini. Sehingga demi terwujudnya
kesempurnaan skripsi ini, maka penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran-
saran yang bersifat membangun ke arah kesempurnaan.
Jakarta, 02 April 2015
Penulis,
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .......................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ....................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 6
D. Tinjauan Pustaka . ............................................................. 7
E. Metodologi Penelitian . ..................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 12
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Civil Society . .......................................................... 14
B. Teori Manajemen Organisasi ........................................... 21
C. Teori Kekuasaan ............................................................... 25
BAB III NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT
NU (MNU) DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH
1926
A. Sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU ............................ 31
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU ............... 40
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926. ......................... 45
BAB IV IMPLEMENTASI KHITTAH 1926 DALAM MUSLIMAT NU
A. Khittah 1926 dalam Muslimat NU .................................... 50
x
B. Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Komitmen Tentang
Khittah 1926 ...................................................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 71
B. Saran ................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA . ................................................................................... . xii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen .................................................37
Tabel III.A.2. Perolehan Suara Pemilu 1955 ........................................................38
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Diskusi mengenai Nahdlatul Ulama (NU) sudah menjadi hal yang umum,
apalagi dalam masyarakat tradisional seperti kiai, ulama dan santri. Sebagai
Organisasi Sosial Keagamaan, NU sudah berkiprah di Indonesia selama 89 tahun
dari tanggal kelahirannya yaitu 31 Januari 1926. Hal ini memperlihatkan bahwa
NU merupakan organisasi yang cukup tua dan matang dalam sejarah. Secara
historis NU tampil sebagai antitesa dari keresahan masyarakat Islam tradisinonal
di era tersebut.
Dalam sejarah tercatat bahwa kemunculan NU merupakan jawaban dari
beberapa peristiwa yang ada di era tahun 20-an. Peristiwa tersebut antara lain
adanya globalisasi wahabi yang terjadi di Arab Saudi, kemunculan penguasa Arab
dari kelompok wahabi melahirkan keresahan tersendiri bagi kaum Islam
tradisional yang kurang sepaham dengan pemikiran kelompok tersebut. Selain itu,
globalisasi yang terjadi di Indonesia akibat penjajahan menjadi nilai tambah
dalam latar belakang ide pembentukan organisasi NU.1 Latar belakang tersebut
diperkuat dengan kemunculan Muhammadiyah serta Syarikat Islam (SI) sebagai
organisasi keagamaan yang membawa nilai-nilai pembaruan dalam Islam,
menjadi alasan yang kemudian meyakinkan para kiai tradisionalis untuk berupaya
1 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2010), h. 45.
2
keras mempertahankan tradisi dan budaya Islam yang dianggap bid’ah oleh
kelompok Islam modernis dengan membentuk organisasi NU.2
Selain didirikan sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam perjalannya
tidak dapat dilupakan bahwa NU juga banyak terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Melalui semangat juang para kiai dan santri-santrinya,
NU menjadi salah satu aktor penting dalam melawan penjajahan kolonial. Atas
semangat juangnya melawan penjajah, pasca kemerdekaan Indonesia, saat Wakil
Presiden Indonesia Moh. Hatta menandatangani Maklumat No. X tanggal 3
November 1945 yang menjelaskan tentang pemberian kesempatan kepada
masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat,3 NU kemudian tertarik untuk
ikut berpartisipasi kedalam partai politik. NU bergabung dengan Ormas Islam
lainnya seperti Muhammadiyah, SI, dan Perti dalam wadah partai yang diberi
nama Masyumi.
Keputusan bergabung di Masyumi menjadi awal sejarah NU dalam politik
praktis. Sangat disayangkan bergabungnya NU di Masyumi tidak bertahan lama
karena beberapa alasan, salah satunya pembagian kekuasaan yang kurang sesuai
dengan apa yang sudah dilakukan dan diberikan oleh NU kepada Masyumi.
Akibat dari kekecewaan ini, pada 3 Juli 1952 setelah kurang lebih 14 kali
2 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 58. 3 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 135.
3
pergantian kabinet, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membuat
partai baru yaitu partai NU.4
NU dalam panggung politik dengan berbagai macam pengalaman dan
sejarah berlangsung hingga era Orde Baru. Pada era ini NU masih bertahan dalam
partai politik melalui fusi partai Islam yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Karena merasa masih sangat berperan dalam ranah politik, NU masih enggan
untuk meninggalkan keterlibatannya dalam panggung politik.5 Baru pada
pertengahan Orde Baru, NU mulai merasa posisinya sudah tidak relevan lagi di
dalam partai politik. Oleh karena itu, tahun 1979 tepatnya pada Muktamar NU di
Semarang, muncul gagasan NU untuk kembali ke khittah 1926.6
Khittah 1926 merupakan istilah yang digunakan NU dalam mengambil
keputusan untuk kembali pada pembentukan awal NU sebagai organisasi sosial
keagamaan. Kata Khittah berasal dari akar kata khaththa yang artinya menulis dan
merencanakan. Kata khittah kemudian diartikan sebagai garis dan thariqah
(jalan).7 Jadi dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 ialah garis jalan NU diawal
berdirinya tahun 1926, yaitu sebagai gerakan sosial dan keagamaan.
Keputusan kembalinya NU ke khittah 1926 serta penegasan bahwa NU
berada pada garis politik netral ditetapkan dalam Muktamar NU di Situbondo
pada tahun 1984. Dalam upaya menunjukkan keseriusannya mundur dari
4 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 62-65.
5 Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1962 (Jakarta: Erlangga,
1992), h. 105. 6 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 241.
7 Ensiklopedi NU, Khittah NU. Diunduh 01 Februari 2015 (https//m.nu.or.id/a,public-
m,dinamic-s,detail-ids,44-id,39709-lang,id-c,nasional-t,Khittah+NU-.phpx)
4
panggung politik, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) direkomendasikan
untuk mengeluarkan aturan yang melarang rangkap jabatan semua pengurus.8
Setelah khittah 1926 ditetapkan, maka NU seharusnya sudah tidak lagi bermain
dalam praktik politik.
Namun kebiasaan NU bermain dalam politik ternyata berakibat pada
generasi NU selanjutnya. Kemunculan NU dalam politik setelah ditetapkannya
khittah 1926 mulai terlihat di awal era reformasi. Munculnya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) yang diyakini sebagai salah satu strategi NU dalam
mempertahankan organisasi, menjadi awal NU kembali dalam politik. Pada
Pemilu 2004 dua tokoh NU juga tampil dalam pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung yaitu Hasyim Muzadi mendampingi calon Presiden
Megawati dan Solahudin Wahid yang berdampingan dengan Wiranto. Seperti
sudah lupa dengan khittahnya, di era reformasi NU kini masih berpolitik. Bahkan
nilai khittah yang menekankan persatuan dan kesatuan semakin dilupakan. Aktor-
aktor tidak bertanggung jawab membawa NU dalam politik demi mendapatkan
kekuasaan. Akibatnya NU kini kembali pada era sebelum adanya ide khittah.
Penulisan skripsi ini ingin melihat relevansi nilai khittah NU di era
reformasi. Namun untuk mempersempit penelitian secara mikro, peneliti
mengerucutkan penelitan pada nilai khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU
sebagai bagian dari organisasi NU yang sudah cukup besar dan matang dalam
kancah politik. Pada Anggaran Rumah Tangga (ART) Muslimat NU tahun 2006,
8 Badrun Alaena, NU: Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2000), h. 86.
5
nilai khittah 1926 yang disebutkan di atas tertera dalam Bab V pasal 32 ayat 1
mengenai rangkap jabatan yang menyatakan bahwa:
“Ketua Umum dan Ketua-Ketua sesuai tingkatannya tidak
diperkenankan merangkap jabatan dengan Pimpinan Harian partai
politik.”9
Namun pada realitanya Muslimat NU diberbagai kesempatan masih andil
dalam praktek politik, bahkan Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU hingga
saat ini masih aktif dalam pentas politik. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaan
Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum Muslimat NU dalam pencalonan
Gubernur di Jawa Timur. Bahkan di Pemilu Presiden 2014 Khofifah tampil
sebagai Juru Bicara pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo
dan Jusuf Kala hingga mengantarkan ia menjadi Mentri Sosial.
Pernyataan masalah di atas menunjukkan bahwa kader NU khususnya
Muslimat NU saat ini tidak konsisten terhadap nilai khittah 1926 yang diatur pada
AD/ART tahun 2006. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih jauh
bagaimana saat ini (periode tahun 2011-2014) khittah diatur dan
diimplementasikan dalam Muslimat NU.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penelitian sekripsi ini akan
mengangkat masalah berfokus pada pertanyaan berikut :
1. Bagaimana implementasi khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU
di era reformasi khususnya di periode pengurusan tahun 2011-2016 ?
9 Pengurus Pusat Muslimat NU, “Bagian Pertama: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
Muslimat NU.” Diunduh 27 Oktober 2014
(http://www.muslimatnu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=57)
6
2. Apa dampak dari implementasi khittah 1926 terhadap organisasi
muslimat NU di periode pengurusan tahun 2011-2014 ?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan :
1. Melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era reformasi
khususnya dalam Muslimat NU.
2. Memahami dampak implementasi khittah 1926 terhadap Muslimat NU.
Manfaat :
Akademis
1. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang implementasi khitttah 1926
dalam Muslimat NU.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang dampak dari implementasi
khittah 1926 dalam Muslimat NU.
Praktis
1. Pengetahuan tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi
khususnya dalam Muslimat NU.
2. Pemahaman tentang dampak implementasi khittah 1926 terhadap
Muslimat NU.
D. Tinjauan Pustaka
7
Banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang organisasi sosial
keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang berfokus pada Muslimat NU. Seringkali
penelitian tentang Muslimat NU justru berfokus pada partisipasi Muslimat NU
dalam politik tanpa mengkritisi posisi Muslimat NU sebagai organisasi sosial
keagamaan itu sendiri. Sangat jarang penelitian melihat dengan kacamata yang
berbeda mengenai seharusnya sikap Muslimat NU dalam politik yaitu untuk
kembali pada khittah 1926. Dari berbagai penelitian yang sudah ada diantaranya
ialah :
Penelitian yang dilakukan oleh Andi Ilman Hakim tahun 2014 seorang
mahasiswa Universitas Brawijaya, yang berjudul “Komunikasi Politik Muslimat
Nahdlatul Ulama Jawa Timur (Studi Partisipasi Politik Perempuan Pada
Pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2013)” menjelaskan bahwa kasus
mulimat NU di Jawa Timur berkaitan dengan komunikasi politik yang memiliki
latar belakang sosial keagamaan. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat latar
belakang adanya partisipasi politik perempuan dari anggota muslimat NU Jawa
Timur khususnya.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses komunikasi politik
Muslimat NU dilatarbelakangi oleh kultur sosial keagamaan Muslimat NU
sebagai kaum nahdliyin dan iklim Muslimat NU yang berbasis keluarga. Hal ini
mampu memberikan pengaruh besar dalam menggerakkan masa dalam proses
partisipasi politiknya. Serta ikatan emosional antar sesama Muslimat juga menjadi
bangunan kesatuan dalam bergerak bersama yang didasarkan atas kebenaran yang
8
diyakininya. Peneliti melihat penelitian ini justru menyetujui adanya unsur politik
praktis dalam tubuh Muslimat NU, sehingga nilai khittah 1926 terabaikan.
Selanjutnya penelitian dari mahasiswa lulusan Universitas Negeri
Semarang, Misbakhul Munir. Melihat bagaimana peran perempuan dalam
mempengaruhi kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dengan studi kasus di
Pimpinan Cabang Muslimat NU Kabupaten Pemalang. Hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa peran Muslimat NU dalam mempengaruhi pembuatan
kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dilakukan dari tahapan agenda setting,
formulasi serta regulasi, dan evaluasi kebijakan. Semua peran dilakukan melalui
Musrenbang, berpartisipasi aktif dalam Pemilu dan Pilkada serta dengan mencari
dukungan politik dari partai politik. Faktor yang menghambat peran Muslimat NU
dalam perannya mempengaruhi pembuatan kebijakan publik adalah belum adanya
kader Muslimat NU yang duduk di kursi parlemen maupun dalam pemerintahan
serta masalah dana yang dapat mengganggu kelancaran setiap aktifitas Muslimat
NU dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten Pemalang.
Saran yang diajukan kepada PC Muslimat NU Kabupaten Pemalang agar
perannya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten
Pemalang lebih maksimal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga
memperlihatkan adanya aktifitas politik Muslimat NU yang justru sedang
dibangun untuk mendapatkan posisi strategis di dalam pemerintahan. Tujuannya
adalah untuk kemaslahatan Muslimat NU itu sendiri. Namun apabila hal ini terus
9
dilakukan, maka tidak menutupi kemungkinan akan terulang kembali keterlibatan
NU dalam politik ketika para kadernya sudah mulai mementingkan kepentingan
individu bukan kelompok.
Dari penelitian-penelitian di atas, semakin meyakinkan penulis untuk
mengkaji tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam
Muslimat NU di periode 2011-2014 sebagai Badan Otonom dari NU.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi
perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya.10
Penelitian kualitatif
pengumpulan datanya dilakukan melalui studi pustaka. Berbeda dengan
kuantitatif yang lebih menekankan pada penghitungan angka-angka dari hasil
observasi, kualitatif lebih menguatkan kajian pada kasus-kasus aktual. Selain
melalui data primer seperti wawancara langsung dengan aktor terkait untuk
memperkuat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi salah satu bagian penting dalam metode
penelitian ini. Bagaimana memilih cara pengumpulan data yang baik juga akan
10
Deddy Mulyana, Metodeologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 150.
10
sangat berpengaruh pada hasil akhir. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini
metode yang dipilih adalah dengan proses trianggulasi, proses tersebut meliputi11
:
a. Wawancara
Wawancara merupakan proses yang sering digunakan oleh para peneliti.
Melalui wawancara peneliti akan mendapatkan jawaban langsung dari nara
sumber yang dapat dipercaya. Sehingga hasil penelitian pun tidak jauh dari data
yang ada di lapangan. Metode wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung mengenai aturan khittah dan implementasinya di
periode 2011-2014. Sehingga peneliti dapat menemukan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan sebelumnya.
Dalam proses ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
narasumber yang terkait dengan penelitian, diantaranya ialah : pertama, mantan
Ketua Umum PP Muslimat NU yaitu Aisyah Hamid Baidlowi yang lebih awal
mengalami berjalannya kepengurusan Muslimat NU. Melalui informasi ini
peneliti dapat melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era sebelum
periode kepengurusan tahun 2011-2014. Kedua, Ketua VI PP Muslimat NU yaitu
Yani’ah Wardhani yang mewakili PP Muslimat NU di periode 2011-2014
sehingga penulis dapat secara langsung megetahui informasi mengenai aturan-
aturan yang diberlakukan dan pengimplementasiannya, khususnya terkait khittah
1926. Ketiga, Ismawati sebagai Ketua Pengurus Wilayah Jawa Tengah mewakili
kepengurusan di Wilayah untuk dapat menggali pandangan pengurus di wilayah
11
Lexy Moleong J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosada karya,
2004), h. 135.
11
mengenai situasi yang ada di PP Muslimat NU. Keempat, ialah Pengurus Cabang
Muslimat NU, dari PC peneliti dapat menggali informasi di tingkat yang lebih
mikro mengenai situasi di PP Muslimat NU terkait aturan dan implementasi
khittah 1926.
b. Dokumentasi
Dokumentasi ialah pengumpulan data melalui dokumen-dokumen
tertulis, seperti catatan harian, buku, jurnal, karya ilmiah, surat kabar, dan lain
sebagainya. Pengumpulan data melalui dokumentasi ini sering dilakukan dalam
kajian sehari-hari, melalui data-data tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini
peneliti dapat mengkaji dalil maupun teori dari karya orang lain untuk digunakan
dalam penelitiannya.
Dalam penelitian ini, buku-buku, jurnal, surat kabar, dan catatan lainnya
mengenai NU, khittah NU serta muslimat NU, sangat penting untuk dijadikan
acuan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan 26 buku, 5 jurnal dan laporan, dan
beberapa data elektronik yang dapat menjelaskan perkembangan fenomena-
fenomena yang terjadi.
3. Teknik Analisis Data
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney,
metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
12
proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.12
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai profil perjalanan
Organisasi NU. Kemudian disambung dengan profil Badan Otonomnya yaitu
Muslimat NU. Selanjutnya penulisan skripsi ini membahas lebih mendalam
sejarah khittah 1926 serta kembalinya NU pada khittah yang ditetapkan pada
Muktamar tahun 1984 di Situbondo. Terakhir pemaparan terkait perjalan
Muslimat NU di era reformasi yang difokuskan pada periode tahun 2011 sampai
dengan 2014 untuk melihat bagaiman Muslimat NU menanggapi keputusan
khittah 1926 dan mengimplementasikannya.
Adapun sistematika penulisan ini berisi 5 bab dengan masing-masing
sebagai berikut :
Bab I menjelaskan mengenai pendahulun dari penelitian, di dalamnya
membahas mengenai pernyataan masalah yang menjadi rujukan awal penelitian.
Dalam pernyataan masalah memperlihatkan bagaimana alur serta gambaran
umum dari penelitian. Kemudian dikerucutkan dengan pertanyaan penelitian yang
menjadi unsur penting dalam penelitian. Proses penelitian ini tidak lain adalah
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Melalui pertanyaan
12
Eko Manalu, “Metodologi Penelitian.” Diunduh 02 Desember 2014
(http://www.academia.edu/3160247/Metodologi_penelitian)
13
tersebut maka dapat ditarik tujuan serta manfaat yang dapat diambil dari hasil
penelitian. Selanjutnya pemaparan metodeologi penelitian dan sistematika
penulisan yang menjadi dasar-dasar dari penelitian.
Bab II berfokus pada kerangka teori. Bagian kerangka teori menjelaskan
tentang teori-teori apa saja yang digunakan dalam penilitan. Peneliti dalam hal ini
mengambil tiga teori dalam melihat masalah organisasi Muslimat NU dan
implementasi khittah 1926. Teori-teori tersebut antara lain, teori civil society, teori
kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
Bab III lebih banyak membahas mengenai sejarah perjalanan Nahdlatul
Ulama (NU), Muslimat NU dan sejarah serta tujuan diputuskannya NU untuk
kembali ke khittah 1926 sebagai pengantar pada titik permasalahan yang dapat
membantu dalam proses penelitian.
Bab IV merupakan inti jawaban dari pertanyaan penelitian. melalui bab ini
peneliti mengenalkan seperti apa khittah 1926 diatur di Muslimat NU periode
2011-2014 dan bagaimana pengimplementasiannya dan kemudian
disinkronisasikan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di pernyataan masalah
sebelumnya.
Bab V menjadi penutup dari bab-bab sebelumnya. Oleh karena itu, dalam
bab V peneliti memaparkan kesimpulan dari awal hingga akhir penelitian
mengenai Muslimat NU dan khittah NU 1926. Bab ini diakhiri dengan saran-saran
yang kiranya dapat memberikan pengetahuan baru bagi peneliti maupun pembaca.
14
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam melihat implementasi khittah NU di era reformasi khususnya dalam
organisasi muslimat NU ini penulis menggunakan beberapa teori, diantaranya
ialah teori civil society, teori kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
A. Teori Civil Society
Demokrasi sebagai sistem yang diagung-agungkan banyak negara
membuktikan eksistensinya melalui pemberdayaan civil society yang dipengaruhi
oleh pergeseran-pergeseran (shifting) yang terjadi. Kenyataan runtuhnya rezim
totaliter di Eropa Timur, dan surutnya legitimasi rezim-rezim otoriter di negara
berkembang yang kemudian disusul dengan merebaknya gerakan redemokratisasi
menjadi bukti. Sebagai konsekuensinya wacana teoritik dalam ilmu-ilmu sosial,
khususnya ilmu politik, semakin diwarnai oleh pencarian yang lebih relevan
dengan situasi yang baru yaitu tentang proses transisi menuju sistem politik
demokratis.1
Para filusuf mulai mencari landasan filosofis melalui beberapa sumber, baik
sumber klasik maupun modern tentang civil society. Walaupun secara konseptual
belum ditetapkan pemaknaannya, namun ada beberapa nilai dari civil society yang
dapat diserap, antara lain: pertama, individu dan kelompok-kelompok mandiri
dalam masyarakat (politik, ekonomi, kultur). Kedua, adanya ruang publik bebas
1 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta:
Erlangga, 2000) h. ix.
15
sebagai tempat wacana dan kiprah politik bagi warga negara yang dapat menjamin
proses pengambilan keputusan berjalan secara demokratis. Ketiga, kemampuan
masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara, walaupun tidak melenyapkan
secara total.2
Para filusuf dalam lintas sejarah melihat civil society dengan pandangan
yang berbeda-beda. Pemaknaan civil society melalui keragaman berfikir para
filusuf sesuai dengan konteks sejarah pada saat pemikiran tersebut diterapkan,
dapat diklasifikasikan melalui lima kelompok, antara lain3:
Pertama, civil society paling awal dipahami sebagai sistem kenegaraan yang
selalu diidentikan dengan negara (state). Pemahaman ini dikembangkan oleh
filusuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM) yang menyebut civil society dengan
istilah koinonie politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat
terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. 4
Pandangan ini merupakan fase
pertama sejarah wacana civil society itu muncul. Pemikiran Aristoteles kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) yang memandang civil
society sebagai alat peredam konflik. Oleh karena itu, civil society harus memiliki
kekuatan yang mutlak, sehingga ia mampu mengawasi dan mengontrol pola-pola
interaksi politik setiap warga negara. Berbeda dengan Hobbes, John Locke
(1632-1704M) berpandangan bahwa civil society ialah dilahirkan untuk
2 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. x.
3Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi,
(Jakarta: Logos, 1999) h. 21. 4Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 21-22.
16
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.5 Oleh karena itu, civil
society bukan kekuatan absolut seperti sebelumnya, sehingga masyarakat
memiliki ruang untuk memperoleh haknya.
Kedua, makna ini muncul dari Adam Ferguson (1767) yang melihat civil
society melalui sejarah sosial-politik Skotlandia. Sejarah Skotlandia yang tengah
menghadapi kemunculan kapitalisme dan pasar bebas sebagai peristiwa revolusi
industri membuat ia khawatir akan berkurangnya tanggung jawab sosial
masyarakat serta menguatnya sikap individualisme. Oleh karena itu, Ferguson
lebih memaknai civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat
untuk memelihara tanggung jawab sosial yang identik dengan solidaritas sosial
serta adanya sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara
alamiah.6
Ketiga, Thomas Paine (1792) memaknai civil society dalam posisi terpisah
dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis dari negara. Karena
keberadaan negara menurut Paine hanyalah sebuah keniscayaan buruk (necessary
evil) belaka, maka Civil society harus lebih kuat dan dapat mengontrol negara
demi keperluannya.7
Keempat, mengkritisi civil society Thomas Paine, George Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831) mengembangkan civil society yang justru subordinatif
5A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE dan Perdana Media Grup,
2008), h. 193. 6Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 23.
7Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 24.
17
terhadap negara. Berangkat dari fenomena masyarakat borjuis Eropa yang
pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara,
menurut Hegel, civil society merupakan tempat berlangsungnya konflik
pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok, terutama kepentingan ekonomi.
Pandangan seperti ini dikembangkan pula oleh Karl Marx (1818-1883) yang
melihat “masyarakat borjuis” bahwa keberadaannya merupakan kendala bagi
kebebasan manusia dari penindasan dan ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonio Gramsci (w.1937) berbeda dengan
Marx, ia tidak memaknai civil society dari segi produksi melainkan dari sisi
ideologis. Menurutnya civil society ialah tempat perebutan posisi hegemonik
selain negara, yang kemudian dalam proses ini negara dapat terserap dalam civil
society hingga terbentuk sebuah masyarakat yang teratur (regulated society).8
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Hegel dan Marx tidak percaya dengan
adanya civil society yang mandiri. Berbeda dengan Gramsci yang justru sangat
optimis bahwa civil society dapat berdiri sendiri tanpa intervensi dari negara.
Kelima, Sebagai reaksi terhadap model Hegelian, Alex „De Tocqueille
mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang
kekuatan negara. Teori ini dikemukakan berdasar pada pengalaman demokrasi di
Amerika yang dijalankan lewat civil society berupa pengelompokan sukarela
dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi profesional yang membuat
keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi dari negara. Civil society
8 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 25-28.
18
bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu
menjadi kekuatan pengimbang negara, bahakan menjadi sumber legitimasi negara
untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat.9
Paradigam civil society ini memberi sumbangan pemikiran yang besar
dalam perjalanan demokrasi serta menjadi sumber inspirasi bagi pemberdayaan
rakyat di berbagai negara, khususnya di Indonesia. Civil society di Indonesia
sesuai dengan yang didefinisikan oleh Dawam Rahardjo, ialah proses penciptaan
peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam
civil society masyarakat akan bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara. Azyumardi Azra
mengartikan civil society lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, tetapi
mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas. Menurut Nurcholis Majid
makna civil society berasal dari kata civillity yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkahlaku sosial.10
Karakter utama dari civil society ialah „keswadayaan‟ dan „kesukarelaan‟.
Artinya bahwa organisai memiliki tujuan untuk menyalurkan kepentingan
bersama, satu visi, serta gagasan, dan tidak untuk kepentingan individu atau
perorangan saja. Civil society mampu melaksanakan kiprahnya sendiri dengan
keterbukaan serta tanpa ada ketergantungan kepada negara.11
9 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 29.
10 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan, h. 193-197.
11 Muhamad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 85.
19
Akar-akar sejarah civil society di Indonesia dapat diruntut semenjak
terjadinya perubahan keadaan sosial ekonomi pada masa kolonial, tepatnya ketika
kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Civil society telah ikut mendorong
terjadinya pembentukan masyarakat lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan
pendidikan modern. Oleh karena itu, muncul kesadaran baru di kalangan elite
pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial
modern di awal abad ke-20.12
Pertumbuhan civil society di Indonesia sempat mengalami kejayaan pasca
revolusi tahun 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik
dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari masyarakat yang
baru saja merdeka. Namun sangat disayangkan, situasi seperti ini tidak
berlangsung lama sesuai dengan yang diharapkan. Civil society yang sedang
berkembang di Indonesia mulai mengalami penyusutan terus menerus akibat dari
krisis-krisis politik pada level negara, ditambah dengan kebangkrutan ekonom.
Hal ini kemudian menjadi penghalang untuk berlangsungnya perkembangan civil
society, bahkan ormas-ormas serta lembaga-lembaga sosial justru berubah
menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi.
Pada era ini, sekitar tahun 1960-an civil society di Indonesia mengalami
kemunduran yang sangat pesat.13
12
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996)
h. 4. 13
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 5.
20
Situasi terparah dari kemunduran civil society ialah munculnya rezim Orde
Baru dibawah kuasa Soeharto. Pada era ini, politik Indonesia didominasi oleh
penggunaan mobilisasi masa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap
usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai sebuah kemandirian akan
dicurigai sebagai kontra-revolusi. Rezim Orde Baru berupaya untuk memperkuat
posisi negara dalam segala bidang, akibatnya kemandirian sosial serta partisipasi
masyarakat dibungkam oleh negara.14
Perkembangan LSM dan ormas di Indonesia saat ini tidak diragukan lagi,
jumlahnya yang mencapai lebih dari 10.000 menjadi kegembiraan tersendiri.
Namun, LSM dan ormas yang begitu banyaknya dihadapkan pada kenyataan
bahwa kondisi LSM dan ormas sangat lemah ketika harus berhadapan dengan
kekuatan negara. Karena berbagai hal, LSM dan ormas di Indonesia masih harus
bergantung pada negara. Bagi orams-ormas sosial dan keagamaan adanya
campurtangan dan intervensi negara menjadi sebuah ancaman, namun ormas atau
LSM yang ingin survive dengan cepat terpaksa harus masuk dalam jaringan
kooptasi negara.15
Melihat kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa civil society
di Indonesia sudah baik dari segi kuantitas namun msaih sangat jauh menuju
sempurna dari segi kualitasnya. Oleh karena itu, masih sulit kiranya civil society
di Indonesia dijadikan sebagai kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara.
Muslimat NU sebagai civil society aktif dalam kegiatan demokrasi seperti
pembangunan ikatan sosial Muslimat NU dapat dilihat melalui sifat organisasinya
14 Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 4-5.
15 Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 6.
21
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat keagamaan. Jaringan-
jaringan produktif sudah mulai terbangun di era kepemimpinan Mahmudah
Mawardi dengan membuka peluang kerjasama dengan banyak pihak khususnya
organisasi perempuan di Indonesia seperti KOWANI dan lain sebagainya, bahkan
jaringan tersebut mampu menembus hingga kancah internasional (PBB) sampai
sekarang. Solidaritas kemanusiaan dalam Muslimat NU tertuang dalam berbagai
perangkat Muslimat NU sebagai pelayanan langsung untuk masyarakat diluar
pemerintah.
Selain itu, karakter utama dari civil society yang dipaparkan oleh Hikam
diterapkan dalam Muslimat NU melalui program maupun perangkat-perangkatnya
seperti Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU), Yayasan Pendidikan
Muslimat NU (YPM NU), Yayasan Haji Muslimat NU (YHM NU), Induk
Koperasi An-Nisa Muslimat NU (Inkopan MNU), Yayasan Himpunan Da‟iyah
dan Majlis Ta‟lim Muslimat NU (HIDMAT), dan masih banyak lagi perangkat
Muslimat NU lainnya yang aktif bahkan tersebar luas ke seluruh penjuru baik kota
maupun pelosok desa.16
Seperti YKM NU saja saat ini telah berkembang menjadi
148 Wilayah Kerja yang terdiri dari 27 Wilayah Kerja I di tingkat Provinsi dan
121 Wilayah Kerja II pada tingkat Kabupaten/Kota.17
16
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU,
(Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 13. 17
Laporan YKM NU Pusat Periode September 2014 – Maret 2015. Jakarta 1 April 2015, h.
2.
22
B. Teori Manajemen Organisasi
Meninjau pemahaman terkait definisi manajemen, terdapat banyak penulis
yang mendefinisikannya. Manajemen dapat diartikan bahwa para manajer
mengelola upaya pencapaian tujuan atau sasaran organisasi. Manajemen juga
dapat diartikan sebagai proses kerja sama dengan dan melalui orang-orang dan
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan definisi dari organisasi
itu sendiri ialah merupakan sistem sosial yang terdiri dari sub-sub sistem yang
saling berkaitan dan salah satu sub sistem tersebut ialah sub sistem sosial.18
Suatu
rumusan juga sering dikemukakan mengenai manajemen bahwa itu adalah suatu
proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang-orang lain. Disini manajer
ialah sebagai orang yang memikirkan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan
organisasi. Agar organisasi dapat berhasil mencapai tujuan maka diperlukan
manajemen atau dengan kata lain untuk mencapai sutau tujuan organisasi harus
melalui proses kegiatan kepemimpinan, kegiatan inilah yang dinamakan
manajemen organisasi.
Inti dari pembicaraan mengenai manajemen tertuang dalam fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemotivasian
(motivating), dan pengendalian (controlling). Seluruh fungsi tersebut memang
relevan dengan setiap jenis organisasi atau level manajemen. Harold Koontz dan
Cyril O‟Donell dalam buku Paul Hersey dan Ken Blanchard menyatakan “Dengan
bertindak dalam kapasitas manajerial mereka, semua direktur, kepala departemen,
18 Paul Hersey dan Ken Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan
Sumberdaya Manusia, 4th
ed. Penerjemah Agus Dharma, (Jakarta: Erlangga, 1986) h. 3.
23
mandor, supervisor, dekan fakultas, bishop dan kepala lembaga pemerintahan
melakukan hal yang sama. Sebagai manajer untuk sebagian mereka terlibat dalam
upaya mencapai hasil dengan dan melalui orang lain. Sebagai seorang manajer
setiap orang harus, pada suatu saat atau saat yang lain, melaksanakan semua tugas
yang merupakan tanggung jawab manajer,” bahkan dalam lingkup rumah tangga
sekalipun menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam banyak hal.19
Organisasi itu sendiri memiliki pengertian yang sangat luas. Organisasi
adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dalam
pengertiannya dapat dijelaskan secara rinci, pengertian organisasi yang
dikoordinasikan dengan sadar mengandung arti manajemen. Kesatuan sosial
berarti bahwa unit tersebut terdiri dari orang atau kelompok orang yang
berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi ini tidak semata-mata muncul,
melainkan melalui proses pemikiran . Oleh karena itu, mengingat organisasi
merupakan kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus
diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan, namun juga
memastikan bahwa tugas-tugas yang kritis telah diselesaikan. Sebuah organisasi
memiliki batasan yang relatif, batasan dalam organisasi dapat berubah dalam
kurun waktu tertentu dan tidak selalu jelas. Namun sebuah batasan yang nyata
harus ada agar dapat membedakan antara anggota dan bukan anggota. Batasan ini
19
Paul Hersey dan Ken Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi, h. 4.
24
biasanya dihasilkan dari kesepakatan eksplisit maupun implisit dari anggota di
dalamnya. Pada umumnya dalam organisasi sosial atau sukarela para anggota
memberi kontribusi dengan imbalan prestise, interaksi sosial, atau keputusan
dalam membantu orang lain. Namun dalam organisasi terdapat batasan yang
membedakan antara siapa yang menjadi bagian dan siapa yang tidak menjadi
bagian dari organisasi tersebut.20
Teori manajemen organisasi sendiri merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari struktur dan desain organisasi. Teori ini menjelaskan bagaimana
organisasi sebenarnya distruktur dan menawarkan tentang bagaimana organisasi
dapat dikonstruksi guna meningkatkan keefektifan. Organisasi adalah bentuk
lembaga yang dominan dalam masyarakat. Hampir setiap saat dan setiap sudut
dalam kehidupan manusia menggunakan organisasi, dari manusia lahir hingga
dimakamkan fungsi organisasi tekait erat didalamnya. Organisasi meresap dalam
kehidupan masyarakat secara menyeluruh baik dari segi ekonomi hingga
kehidupan pribadi. Oleh karena itu, teori organisasi secra tidak sengaja sudah
sering kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan Muslimat NU, teori ini melihat bahwa terdapat kelompok
masa yang terorganisir dengan tata sistem kepengurusan terstruktur didukung oleh
proses kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan bersama. Struktur
kepengurusan ini yang di dalamnya terdapat cabang hirarki yang menunjukkan
adanya posisi manajer atau Ketua sebagai penanggung jawab penuh terhadap
20 Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Penerjemah Jusuf
Udaya, (Jakarta: Arcan, 1994) h. 4.
25
kelompok di dalamnya. Adanya tanggung jawab yang besar ini menunjukkan
bahwa posisi manajer atau ketua memiliki pengaruh yang dominan terhadap
anggota lainnya dalam kelompok tersebut.
C. Teori Kekuasaan
Kekuasaan merupakan sebuah kata yang sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Kata ini mudah dipahami oleh banyak orang, namun jarang sekali
untuk didefinisikan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan pelaku.21
Kekuasaan mengacu pada suatu jenis pengaruh yang
dimanfaatkan oleh salah satu objek, individu atau kelompok terhadap individu
atau kelompok lainnya. Seperti dalam tulisan Roderick Martin mengutip artikel
penelitian Robert Dahl pada International Encyclopedia of the Social Sciences
yang menyebutkan bahwa: “istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern mengacu
pada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan sosial seperti pada
perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung pada
perilaku satuan-satuan yang lain.”22
Kebanyakan teori sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian
yang lebih sempit, yaitu sebagai sebuah hubungan yang khas diantara para objek,
antara pribadi-pribadi dengan kelompok. Definisi yang paling berpengaruh dalam
hal ini ialah yang dikemukakan oleh Weber bahwa: “kekuasaan adalah
21
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
h. 18. 22
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1993) h. 68.
26
kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan
sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan
yang menjadi pijakan kemungkinan itu.” Dalam penelitian Martin, psikologi
sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam
membahas teori lapangan Lewin mengenai kekuasaan, kekuasaan adalah
kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi
yang lainnya di dalam sistem yang ada.23
Dahrendorf dan Blau berhasil menemukan kelemahan tertentu dari teori
Weber yang kemudian menjadi dasar Dahrendorf dalam mengemukakan bahwa
kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu dari pada milik
struktur sosial. Perbedaan terpenting antara kekuasaan dengan otoritas terletak
pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya dilekatkan pada
keperibadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peran
sosial. Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seeorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan
kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-
ganjaran yang digunakan maupun dalam bentuk hukuman , keduanya sama-sama
bersifst negatif. Kemampuan untuk memproduk pengaruh melalui kekuatan telah
memberikan cara kepadanya untuk menggunakan sanksi-sanksi yang negatif.24
Berbeda dengan sebelumnya, Parsons memandang kekuasaan sebagai suatu
sumber sistem, yaitu bahwa kekuasaan merupakan sebuah bentuk kemampuan
23 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 69.
24 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 70.
27
yang mampu menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat sesuai dengan
tujan-tujuan kolektif yang telah disepakati dari satuan-satuan yang ada dalam
suatu sistem organisasi kolektif. Jika terdapat perlawanan didalamnya, maka
lembaga yang berkuasa dapat menegakkannya dengan sanksi-sanksi situasional
yang sifatnya negatif.25
Serta masih banyak lagi definidi sosoiologis mengenai
kekuasaan yang kurang lebih dapat dijadikan sintesis maupun antitesis dari
definisi di atas.
Dalam organisasi sendiri, kekuasaan seringkali dikaitkan dengan
kepemimpinan. Pemimpin memperoleh alat untuk dapat mempengaruhi perilaku
para pengikutnya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kutipan Miftah Thoha
dari Hersey, Blanchard, dan Natemeyer menegaskan bahwa para pemimpin
seharusnya tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti
bagaimana mereka dapat mempengaruhi orang lain, namun mereka juga perlu
meniti posisi serta bagaimana cara menggunakan kekuasaan yang tepat.26
Bentuk dari kekuasaan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu seperti
pernyataan Machiavelli yang dikemukakan pada abad ke-16 bahwa hubungan
yang baik itu tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan
(kekuasaan jabatan). Berangkat dari pernyataan tersebut, maka Amitai Etziomi
membahas bahwa bentuk dan sumber dari kekuasaan ialah kekuasaan jabatan
(position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Menurut Etziomi,
25
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 75. 26
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996) h. 289.
28
perbedaan kedua bentuk kekuasaan ini ialah konsep kekuasaan itu sendiri sebagai
suatu kemampuan untuk mempengaruhi perilaku. Seseorang yang mampu untuk
memperngaruhi perilaku orang lain untuk melakukan kerja sesuai jabatannya,
maka orang tersebut memiliki kekuasaan jabatan. Sebaliknya, apabila seseorang
memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya dapat dikatakan sebagai kekuasaan
pribadi.27
Sumber kekuasaan lain ialah yang dikemukakan oleh French dan Roven.
Mereka mengemukakan enam bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh seorang
manajer atau pemimpin. Keenam bentuk kekuasan itu ialah kekuasaan legitimasi,
kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan ahli, kekuasaan referen, dan
kekuasaan informasi.28
Kekuasaan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuasaan yang berasal
dari kedudukan seseorang dalam hirarkhi organisasi. Seseorang mampu
mempengaruhi karena ia memiliki posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi.
Karena jabatan tersebutlah menyebabkan bawahannya patuh kepadanya. Bawahan
di sini memegang peran penting dalam pelaksanaan kekuasaan legitimasi. Jika
bawahan menganggap, bahwa pengguna kekuasaan tersebut sah sesuai kedudukan
seseorang maka mereka akan patuh.
Kekuasaan imbalan (reward power) bertitik tekan pada kemampuan
seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain dalam hal ini bawahan
27
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, h. 292. 28
Indriyo Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, (Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, 1997) h. 82.
29
atau pengikut, dan mereka menganggap imbalan tersebut mempunyai nilai atau
mereka membutuhkan imbalan tersebut. Imbalan itu dapat berupa gaji, upah,
jaminan sosial, promosi, kesempatan jam lembur dan penugasan pada pekerjaan
yang disenanginya.
Kekuasaan paksaan (coercive power) ialah kekuasaan atau kepatuhan
seseorang terhadap orang lain karena mereka takut akan hukuman yang dijatuhkan
kepadanya. Kekuatan dari kekuasaan paksaan tergantung pada implikasi negatif
dari hukuman tersebut dan apakah ada kemungkinan hukuman tersebut dapat
dihindari atau tidak.
Kekuasaan ahli (expert power) merupakan kekuasaan yang dimiliki
seseorang karena ia memiliki kemampuan khusus, keahlian atau pengetahuan
tertentu. Kekuasaan referen (referent power) ialah kekuasaan yang bersumber dari
sifat seseorang yang memiliki daya tarik tertentu atau karisma tertentu. Karisma
merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tokoh
masyarakat, politisi, artis, dan lain sebagainya.
Kekuasaan informasi (information power) merupakan kekuasaan yang
dipunyai seseorang karena ia memiliki informasi-informasi penting yang
berhubungan dengan organisasi.
Pandangan teori kekuasaan menjadi pilihan dalam penelitian karena
penggalian informasi tentang NU dalam politik praktis yang ternyata tujuan NU
dalam politik tidak lain ialah kekuasaan. Teori ini kiranya tepat untuk melihat
perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang matang dalam politik
30
praktis dan pemerintahan. Khususnya dalam melihat khittah NU 1926 dalam
Muslimat NU menunjukkan bahwa faktor kekuasaan menjadi salah satu alasan
penting sikap Muslimat dalam pilihan panggung politik yang justru
mengakibatkan tidak terimplementasinya khittah NU 1926.
Kekuasaan jabatan yang terbangun dalam Muslimat NU seperti yang
dijelaskan dalam teori manajemen organisasi bahwa posisi tertinggi dapat
mempengaruhi posisi lain. Unsur ini muncul karena dilatar belakangi oleh adanya
keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih luas dari Muslimat NU yaitu
dalam politik. Melalui organisasi, seseorang mampu mendapatkan kekuasaan
tertinggi, banyaknya masa dalam sebuah organisasi dapat menjadi modal
seseorang untuk berkompetisi politik.
31
BAB III
NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU)
DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Latar belakang berdirinya sebuah organisasi sosial keagamaan yang diberi
nama Nahdlatul Ulama (NU) tidak lain karena kebutuhan para kiai dan santri akan
legitimasi legal formal. Kebutuhan ini muncul atas dorongan lahirnya berbagai
macam organisasi sosial yang memiliki corak berbeda-beda. Seperti Budi Utomo
(BU) pada tahun 1908 sebagai organisai yang berfokus pada pendidikan dan
budaya serta menjadi pelopor awal munculnya organisasi-organisasi di
Indonesia.1
Selain kemunculan organisai BU sebagai pelopor awal, dalam organisasi
sosial keagamaan, Sarekat Islam (SI) tahun 1912 menjadi yang pertama
mendirikan organisasi yang berfokus pada kelompok saudagar Islam di Indonesia.
Kemudian disusul dengan munculnya Muhammadiyah tahun 1912, Al Irsyad
tahun 1915, dan Persatuan Islam (PERSIS) tahun 1913.
Kehadiran dari berbagai macam organisasi di atas, kiranya organisasi
Muhammadiyah memiliki pengaruh paling besar terhadap latar belakang
didirikannya NU. Muhammadiyah sebagai organisai sosial keagamaan yang
1 Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan
Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas,
(Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996) h. 42.
32
menawarkan bentuk pembaruan dalam Islam memiliki perbedaan tujuan yang
besar dengan NU yang sangat menjaga erat tradisi dan budaya tradisional Islam di
Indonesia.
Lembaga yang memiliki corak Islam seperti NU pada dasarnya merupakan
sebuah fenomena pedesaan. Ziarah ke makam orang yang dihormati seperti
keluarga dan leluhur, guru, wali dan raja dianggap sebagai perbuatan yang
berpahala besar. Bahkan pahala yang diperoleh dari membaca doa-doa atau ayat-
ayat suci al-Qur‟an, tahlilan, serta selametan dapat dipersembahkan bagi arwah-
arwah orang yang sudah meninggal.2
Berbeda pandangan dengan organisasi pembaru seperti Muhammadiyah,
mereka melihat fenomena di atas sebagai kegiatan bid‟ah dan tidak sesuai dengan
ajaran asli Islam. Oleh karena itu, pada abad 20-an ketika Muhammadiyah telah
memperluas jaringan organisasinya hingga wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah
sebagai basis ulama tradisional, menjadi ancaman tersendiri bagi para ulama dan
kiai.3 Disini ulama-ulama tradisional merasa penting untuk membentuk organisasi
baru demi menjaga posisi mereka yang terancam dengan munculnya Islam
reformis.
Pada belahan bumi yang lain, hadir sosok Ibn Sa‟ud dan pengikutnya yang
merupakan kaum Wahabi menentang keras adanya pemujaan pada wali dan
pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama mereka menduduki kota
2 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru.
Diterjemahkan oleh Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994) h. 17-18. 3 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 20-23.
33
Mekkah beberapa waktu sebelumnya, kaum Wahabi telah menghancurkan banyak
makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan membrangus berbagai praktek
keagamaan populer. Bahkan Sa‟ud telah merencanakan pembongkaran makam
Rasullah SAW serta Makam Sayidina Umar. Bagi kaum tradisionalis Indonesia
yang sangat terkait dengan praktik keagamaan merasa kecemasan yang luar biasa
dengan adanya penaklukan Ibn Sa‟ud atas Mekkah.4
Sebagai bentuk perjuangan kaum tradisionalis dalam mempertahankan
tradisi dan budaya Islam, maka kaum tradisionalis memutuskan untuk mengirim
utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah Madzhab dengan Ibn
Sa‟ud. Demi terlaksananya tujuan tersebut, maka mereka membentuk komite
Hijaz. Bertemu di Surabaya pada 31 Januari 1926, kaum tradisionalis menentukan
siapa yang akan diutus. Agar berkesan kuat di pihak luar, komite ini memutuskan
untuk mengubah diri menjadi sebuah organisasi dengan nama Nahdlatul „Oelama
(NU). Inilah menjadi alasan paling kuat dibeberapa masa awal tahun
kehadirannya.5
Proses panjang pendirian NU ini tidak lain karena peran tokoh-tokoh pendiri
NU seperti K.H. Hasyim Asy‟ari dan kyai muda Abdul Wahab. Sebelum
terbentuknya NU, kiyai Abdul Wahab sepulangnya dari Makkah merasa perlu
adanya tindakan untuk melakukan pergerakan dalam mendidik para kader dalam
bentuk tashwir al-afkar yaitu sebuah pertukaran gagasan, maka ide ini kemudian
dijadikan sebagai sebuah kursus perdebatan untuk anak-anak muda dan kiai-kiai
4 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 32.
5 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 33.
34
muda. kursus perdebatan ini sudah diupayakan dari datangnya kiai Abdul Wahab
dari makkah pada tahun 1914, tapi hingga tahun 1918 kegiatan ini berlangsung
lebih fokus membahas soal-soal yang membelah kelompok yang lebih dekat
dengan salafiyah dan kelompok madzhab dari kiai pesantren. Inti dari diskusi ini
adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan dan memperluas ilmu bagi
kalangan pesantren. Kursus ini terus berjalan hingga berdirinya NU pada 31
Januari 1926.6
Setelah melakukan kursus-kursus perdebatan di Surabaya, kiai Wahab
bersama dengan Mas Mansur yang kala itu baru kembali dari Mesir bekerja sama
untuk membentuk Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dan mendapat
pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916. Tujuan dibentuknya
Nahdlatul Wathan adalah untuk memperluas dan memperdalam mutu madrasah-
madrasah yang ada. Pada tahun 1922, Mas Mansur keluar dan bergabung dengan
Muhammadiyah yang lebih cocok dengannya. Inti dari Nahdlatul Wathan ini ialah
tidak hanya sekedar mendidik calon-calon kiai dan mendirikan sekolah-sekolah.
Hal ini juga menjadi fondasi awal untuk memberi pengertian bahwa para pendiri
NU yang legendaris ini sejak awal telah memberikan semangat bahwa perlunya
orang pesantren bukan hanya menjadi santri namun juga mampu berpartisipasi
dalam kebangkitan bangsa.7
Selain perhatian Abdul Wahab Hasbullah terhadap perkembangan sosial dan
pendidikan, para ulama pesantren juga pernah merintis usaha perdagangan dalam
6 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 33-35.
7 Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 36-38.
35
bentuk koperasi dengan istilah sjirkah al-„inān yang diberi nama Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan usahawan) dengan restu penuh oleh K.H. Hasjim Asj‟ari pada tahun
1918. Diangkat ketua koprasi yaitu K.H. Hasyim Asy‟ari dan Abdul Wahab
sebagai manajer yang menjalankan koperasi. Inti dari dibentuknya Taswirul Afkar
kemudian Nahdlatul Watan dan Nahdlatut Tujjar merupakan bentuk perhatian
para ulama pesantren untuk menghimpun kegiatan bersama serta mengembangkan
kaum muslimin pada masa itu. Himpunan para ulama inilah yang sudah dijelaskan
sebagai pelopor penting lahirnya organisasi NU.8
Setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, NU mulai
menata organsisainya dengan manajemen organisai yang lebih baik. Penataan
manajemen organisasi NU dimulai dengan pembentukan Anggaran Dasar 1926
yang disusun pada tahun 1929 dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1930.
Berdasarkan Anggaran Dasar yang telah dibentuk sebagai tujuan berdirinya
organisai, NU menetapkan tujuannya untuk mengembangkan Islam berlandaskan
ajaran keempat mazhab sebagai berikut9 :
1. Memperkuat persatuan diantara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat
mazhab.
2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai
dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki
organisasinya.
8 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 45.
9 Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, h. 77.
36
5. Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta
membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.
Melalui berbagai macam upaya dan strategi NU ikut berperan dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan ikut serta melawan para penjajah.
Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, NU menutup periodenya
sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang dan
mengeluarkan Resolusi Jihad (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober
1945.10
Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang
pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.11
Disambut baik khususnya oleh NU dengan mengkoordinir organisasi Islam dalam
satu wadah partai. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di
Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 memutuskan untuk dibentuk kembali
Masyumi dengan wajah baru, yaitu yang dianggap sebagai partai politik Islam dan
bukan lagi organisasi bentukan Jepang.12
Awal mula dukungan NU terhadap Masyumi sangat menggelora, namun
kemudian perbedaan kepentingan kelompok dalam Masyumi mulai muncul. NU
dalam keterlibatannya di Masyumi tidak benar-benar terwakili di kepengurusan.
10
Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila, h. 93. 11
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 135. 12
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam
Politik, h. 103.
37
Langkanya anggota NU yang mempunyai tingkat pendidikan umum modern yang
memadai, menyebabkan tidak ada satupun jabatan eksekutif yang jatuh kepada
anggota NU. Situasi seperti ini menjadi awal munculnya problem antara NU
dengan kaum pembaru dan modernis yang mendominasi Masyumi.13
Selain dalam
pengurusan internal partai, di dalam kabinet pun NU merasa berkurang dalam
peranannya. NU hanya mendapat kursi Departemen Agama (dapat dilihat di tabel
I).14
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen
sumber : Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, h. 62-65.
13
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 62. 14
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 63.
No. Nama Kabinet Tahun Periode Keterwakilan NU
1. Sjahrir I 14 November 1945 –
12 Maret 1946 -
2. Sjahrir II 12 Mart 1946 – 2
Oktober 1946 -
3. Sjahrir III 2 Oktober 1946 – 27
Juni 1947
Wahid Hasyim sebagai Menteri Negara
(NU)
4. Amir Syarifudin I 3 Juli 1947 – 11
November 1947 -
5. Amir Syarifudin II 11 November 1947 –
29 Januari 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
6. Hatta I 29 Januari 1949 – 8
Agustus 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
7. Darurat 19 Desember 1948 – 3
Juli 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
8. Hatta II 4 Agustus 1949 – 20
Desember 1949
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
9. RIS 20 Desember 1949 – 6
September 1950
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
(NU)
10. Susanto 20 Desember 1949 – 21
Januari 1950
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama
(NU)
11. Halim RI 21 Januari 1950 – 6
September 1950 -
12. Natsir 6 September 1950 – 27
April 1951 Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
13. Sukiman-Suwrjo 27 April 1951 – 3 April
1952
Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
(NU)
14. Wilopo 3 April 1952 – 30 Juli
1953 -
38
Akibat kekecewaan NU terhadap Masyumi, dalam Muktamar NU ke 19
tahun 1951 di Palembang NU menyatakan keluar dari Masyumi. Pelaksanaan
pendirian partai NU baru terjadi pada 3 Juli 1952, ketika NU secara resmi keluar
dari federasi Masyumi.15
Setelah Muktamar Palembang dan berdirinya partai NU,
orang-orang NU maupun orang yang merasa dekat dengan NU mulai menarik diri
dari Masyumi. Hanya ada beberapa orang muslim tradisionalis yang bertahan di
Masyumi.16
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1955 merupakan pemilu
bersejarah bagi partai NU. Perolehan suara partai NU pada saat itu sangat
mengejutkan, yaitu 18,4 % dari seluruh suara yang sah, bahkan tidak jauh dari
Masyumi dengan prolehan suara 20,9 %. Seperti yang dapat kita lihat di tabel
berikut :
Tabel III.A.2. Perolehan Suara Pemilu 1955
Sumber : Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah, h. 74.
Perolehan suara ini merupakan kemenangan yang sangat menentukan untuk
NU, dari perolehan 8 kursi meningkat tajam menjadi 45 kursi. Partai besar lainnya
15
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 110. 16
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 68.
Nama Partai Jumlah Suara yang
Diperoleh Prosentase
Jumlah Kursi di
Parlemen
PNI 8.434.653 22,3 57
Masyumi 7.903.886 20,9 57
NU 6.955.141 18,4 45
PKI 6.176.914 16,4 39
Lain-lain 8.314.705 22,0 59
39
pun memperoleh suara cukup banyak, namun tidak sedramatis partai NU.17
Demikian keterlibatan NU dalam politik praktis. Secara pengalaman, NU dapat
dikatakan lebih maju dibanding Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai
politik. Meskipun dalam Masyumi, Muhammadiyah memiliki peranan lebih besar
dibanding dengan NU.
Memasuki periode Presiden Soeharto sebagai langkah pemerintah dalam
program penataan kehidupan politik yang dirancang Ali Mustopo, NU terpaksa
bergabung dengan tiga partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang diresmikan pada 5 Januari 1973. Partai politik lainnya
yang berasaskan sosial, nasional, dan kristen disatukan dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Jadi hanya ada dua parati disamping Golkar.18
Fusi partai ini
diresmikan dalam keputusan pemerintah bersama dengan DPR yang berusaha
menyederhanakan partai politik dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golkar.19
Kasus ini menjadi penutup terhadap kegemilangan
Partai NU di kancah politik.
Memasuki era reformasi kekhawatiran muncul dari generasi muda NU yang
dekat dengan Gus Dur, dalam hal ini mereka yang senang dengan garis “non-
politis” NU merasa resah dengan adanya pembentukan partai politik NU yang
baru yaitu PKB. Kemunculan PKB dalam daftar nama partai politik di era
17
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 69. 18
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 102. 19
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 107.
40
reformasi menimbulkan banyak tanda tanya besar. Salah satunya ialah pengaruh
dari kemunculan PKB terhadap pernyataan kembalinya NU pada khittah 1926.20
Gus Dur dalam hal ini memberikan tanggapan bahwa para aktivis dan
simpatisan NU perlu dibimbing dalam pilihan politik mereka. Pernyataan
kembalinya NU pada khittah 1926 di era Orde Baru menjadi perubaha strategi
dalam menghadapi situasi politik yang memberikan keuntungan bagi NU. Pada
saat konflik NU dan PPP semakin parah, disamping itu Golkar menawarkan
prospek yang lebih baik dalam arti kelangsungan hidup bagi kaum tradisionalis
dibidang sosial-keagamaan. Pengambilan strategi ini yang menghidupkan NU
sampai sekarang.21
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU
Secara historis perjuangan kaum perempuan sudah dimulai dari era kolonial.
Kesetaraan perempuan dalam bidang pekerjaan sudah teraktualisasikan di
masyarakat jawa sejak dulu, sebagaimana kaum perempuan jawa bebas bertani di
sawah, bakulan di pasar maupun mengenyam pendidikan.22
Fenomena ini
menunjukkan adanya kebebasan perempuan dalam mengaktualisasikan diri di
ranah publik. Namun secara mendalam kaum perempuan masih terdeskriditkan
dengan budaya patriarki jawa yang memaksakan perempuan untuk tetap berada
dibawah laki-laki.
20
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 428. 21
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 429. 22
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa,” jurnal ilmu
sosial dan ilmu politik 7 (Maret 2004): h. 283-284.
41
Budaya patriarki yang disebut sebagai konco wingking dalam jurnal
perempuan yang ditulis oleh Muhadjir Darwin menunjukkan bahwa perempuan
Indonesia belum terbebas dari ketimpangan gender. Pengaruh distribusi
kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dengan latar belakang budaya ini juga
pernah dialami oleh R.A. Kartini. Sebagai simbol pejuang perempuan, Kartini
juga tepat sebagai contoh dari ketidak berdayaan perempuan melawan budaya
patriaki, karena ia sendiri menyerah ketika dilarang oleh ayahnya untuk sekolah
ke Belanda dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bahkan
perempuan yang memiliki kesemptan bekerja pun belum terbebas dari
diskriminasi baik diskriminasi upah, pelecehan maupaun kekerasan di tempat
kerja.23
Kenyataan seperti ini kemudian menjadi alasan perjuangan perempuan
dalam mendapatkan hak-haknya dari masa ke masa bahkan hingga Indonesia
mencapai puncak kemerdekaannya.
Pada era kemerdekaan organisasi perempuan sudah semakin banyak.
Kesadaran perempuan akan hak-haknya dari hak bersosial hingga hak untuk
berpolitik yang kemudian menjadi sorotan penting di era kemerdekaan hingga
reformasi semakin luas. Perjuangan perempuan di panggung politik sendiri sudah
dimulai sejak organsisai perempuan dalam kongres umum ke 3 KPI (Kongres
Perempuan Indonesia) berusaha mendudukan Maria Ulfah dalam perwakilan
Volksraad, meskipun usaha tersebut belum berhasil. Namun kekecewaan itu
terbayar dengan terpilihnya Rasuna Said menjadi anggota Volksraad dan SK
23
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 284.
42
Timurti terpilih menjadi anggota BPUPKI.24
Keberhasilan Rasuna Said dan SK
Timurti menunjukkan bahwa pengakuan hak perempuan dalam bernegara menjadi
semakin jelas.
Perjuangan organisasi perempuan semkain sulit, bahkan lebih sulit dari era
penjajahan yang sudah jelas melawan musuh yang dapat terlihat secara fisik.
Perjuangan perempuan di era kemerdekaan adalah kesamaan hak politik serta
diskriminasi pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dengan
perempuan.25
Melalui latar belakang persoalan yang seperti ini kemudian kaum
perempuan mulai banyak yang tergugah untuk ikut memperjuangkan haknya,
salah satu organisasi yang muncul kemudian ialah Muslimat NU.
Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) merupakan Badan Otonom dari organisasi
NU.26
Muslimat NU merupakan organisai sosial keagamaan yang menaungi kaum
perempuan dengan harapan untuk menyalurkan aspirasi perempuan NU.
Kelahiran Muslimat dapat dikatakan sebagai hasil dari perjuangan kaum
perempuan NU di era kemerdekaan.
Sebelumnya, kelahiran NU pada 31 Januari 1926 hanya diisi oleh kaum
laki-laki. Sedangkan kaum perempuan pada saat itu masih dianggap belum perlu
untuk masuk dalam organisasi atas dasar kultur patriarki jawa yang menganggap
perempuan hanya konco wingking saja. Kemudian seiring berjalannya waktu
terjadi polarisasi pemikiran tentang pentingnya kaum perempuan di dalam
24
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 286. 25
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 287. 26
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU,
(Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 3.
43
organisasi, sehingga beberapa kaum perempuan mulai menyadari akan perannya
dalam relasi publik.
Menjawab persoalan perempuan di era kemerdekaan serta pentingnya kaum
perempuan dalam badan NU, maka pada Kongres NU di Menes, Pandeglang –
Jawa Barat tahun 1938 menjadi Kongres NU pertama yang mempersilahkan
seorang muslimat untuk tampil di atas podium dan membicarakan mengenai
pentingnya kaum perempuan untuk mendapat pendidikan agama yang sama
seperti apa yang diperoleh oleh kaum laki-laik.27
Nyi R. Djunaisih atas nama
Muslimat menjelaskan dalam pidatonya bahwa sesuai dengan azas dan tujuan dari
NU untuk mendidik umat Islam ke jurusan agama seluas-luasnya, sedangkan
dalam agama Islam bukan saja laki-laki yang harus dididik mengenai soal-soal
keagamaan, bahkan kaum perempuan pun harus dan wajib mendapatkan didikan
yang sesuai dengan kehendak dan tujuan agama.28
Melalui pidato ini para peserta
Kongres merasa mantap dan terkagum-kagum dengan adanya peran perempuan,
selain karena pidatonya yang begitu mempesona, beliau juga merupakan
Muslimat yang pertama kali naik ke mimbar.
Kongres ke XIII yang diadakan di Menes menjadi Kongres pertama NU
yang dihadiri oleh Muslimat sebagai peserta Kongres. Oleh karena itu, di Kongres
berikutnya yaitu Kongres ke XIV yang digelar di Magelang pada bulan Juli 1939
kembali dihadiri oleh kaum Muslimat yang mewakili beberapa daerah, antara lain:
1. Wakil dari NU Muslimat Muntilan
27
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 41-42. 28
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 42.
44
2. Wakil dari NU Muslimat Sukareja
3. Wakil dari NU Muslimat Kroya
4. Wakil dari NU Muslimat Wonosobo
5. Wakil dari Muslimat Surakarta
6. Wakil dari NU Muslimat Magelang
7. Wakil dari Banatul Arabiyah Magelang
8. Wakil dari Zaharatul Iman Magelang
9. Wakil dari Islamiyah Purworejo
dari jumlah perwakilan Muslimat di atas kemudin diberi ruang untuk berbicara
demi menyampaikan saran dan prasarannya.29
Perjuangan kaum Muslimat waktu demi waktu terus berjalan dengan
berbagai macam progres. Hingga pada kongres ke XV di Surabaya kehadiran
kaum Muslimat lebih banyak lagi dari Kongres sebelumnya. Kemajuan yang
ditunjukkan Muslimat saat itu bukan lagi sekedar berperan dalam Kongres, tetapi
juga mengadakan rapat tertutup Muslimat yang diadakan pertamakali pada hari
Selasa tanggal 10 Desember 1940 bertempat di gedung Madrasah NU Bubutan-
Surabaya dengan membahas beberapa hal, diantaranya30
: pertama, Pengesahan
Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) oleh kongres NU. Kedua, pengesahan
Anggaran Dasar NUM oleh Kongres NU. Ketiga, adanya Pengurus Besar NUM.
Keempat, menetapkan datar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat. Kelima,
rencana penerbitan majalah bulanan NUM. Keenam, bertamasya keliling kota
Surabaya pada hari Kamis, tanggal 12 Desember 1940.
29
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 43. 30
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 44-45.
45
Setelah beberapa kali Muslimat mengadakan pertemuan tertutup, tepat pada
12-26 Robiul Akhir 1365 atau pada tanggal 26-29 Maret 1946 digelar Kongres
NU yang ke 16 bertempat di Purwokerto-Jawa Tengah. Pada Kongres ini kaum
Muslimat memenuhi Kogres lebih banyak dari biasanya. Dalam kongres ini
merupakan terakhirkalinya Muslimat duduk hanya sebagai peninjau, melalui
perjuangan dan kegigihan para Muslimat, dengan suara aklamasi (suara bulat)
para utusan Kongres NU menyetujui dan memutuskan bahwa31
:
“Menerima baik usul untuk menjadikan Muslimat sebagai bagian dari
NU yang kemudian disahkan dan diresmikan dalam rapat pleno pada
tanggal 26 Robiul Akhir 1365 atau tanggal 29 Maret 1946 suatu
organisasi Nahdlatul Ulama Muslimat dengan singkatan NUM.”
Dalam putusan ini disahkan pula kepengurusan Muslimat NU yang pertama
dengan diketua oleh Ny. Chadidjah Dahlan. Kelahiran Muslimat NU ini tidak lain
atas budi baik dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhamad Dahlan, atas
ketekunan dan dorongan merekalah Muslimat dapat berdiri di samping NU.32
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926
Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai macam
persoalan yang menghadang, organisai NU telah melewati pengalaman luar biasa
dalam perjalanan hidupnya. Lahir sebagai organisasi Islam yang aktif dalam
berbagai macam kegiatan sosial keagamaan di tahun 1926, di era kolonial NU
juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi NU tertarik
untuk berjihad dalam plolitik praktis bahkan sempat bertransformasi menjadi
31
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46. 32
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46.
46
partai politik sampai pada akhirnya NU lelah dan kembali pada khittahnya sebagai
organisasi massa Islam. Perjalanan panjang itu telah membuktikan bahwa NU,
berbeda dengan organisasi besar lainnya.
Pergulatan politik dalam NU sudah lama dirasakan oleh orang-orang NU
sendiri. Hal ini pernah diungkapkan pada Muktamar ke-22 di Jakarta pada 13-18
Desember 1959. Pada saat itu muncul gagasan dari K.H. Achyat Chalimi selaku
juru bicara Cabang Mojokerto yang mengatakan bahwa :
“Peranan partai politik oleh NU telah hilang dan peranan dipegang
oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena
itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926.”
Gagasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini NU terlalu
mengedepankan kegiatan politik yang sebenarnya bukan inti dari kepentingan
organisasi, melainkan kepentingan para individu di dalamnya. Sedangkan
kegiatan sosial keagamaan yang pada awal berdirinya NU menjadi tugas yang
dominan justru semakin terabaikan. Gagasan demikian ternyata belum dapat
diterima oleh banyak kalangan NU, bahkan dari sekian banyak cabang NU yang
hadir pada Muktamar ini, hanya ada orang dari Cabang Ngawi yang mendukung
gagasan tersebut.33
Setelah gagasan kembalinya NU pada khittah 1926 tidak menarik dukungan,
ternyata pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya gagasan tersebut muncul kembali.
33
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 132.
47
Rois Aam PB NU K.H. Wahab Hasbullah dalam pidatonya kala itu mengajak para
muktamirin untuk kembali pada khittah 1926. Lebih lanjut ia mengatakan34
:
Kaum Nahdliyyin-Nahdliyyat agar kembali kepada Nahdlatul Ulama
tahun 1926. Tentulah yang dimaksud bahwa sekalipun kita berjuang
di tahun 1971, namun kita harus tetap berjiwa NU tahun 1926. Kita
akan selamanya tetap setia kepada Aqidah dan Himmah Ahlussunnah
wal Jamaah.
Pada Muktamar kali ini gagasan tersebut memperoleh sambutan lebih
banyak dari sebelumnya. Hal ini terlihat bahwa salah satu dari tiga persoalan
yang diperdebatkan secara sengit ialah kehendak agar NU kembali kepada
garis perjuangan seperti di tahun 1926 ketika didirikan, yaitu berfokus
dalam mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan
saja.35
Ide khittah 1926 semakin kuat pada Muktamar ke-26 di Semarang
pada 5-11 Juni 1979. Hal ini didasari oleh adanya perubahan AD/ART dari
partai politik ke organsasi kemasyarakatan biasa. NU mau tidak mau harus
kembali menjadi organisasi biasa setelah dipaksa untuk berfusi ke dalam
PPP. Proses restrukturisasi organisasi politik yang dilakukan Orde Baru
menjadi alasan kuat untuk kembali ke khittah 1926. Namun dalam
Muktamar ini belum mendapat kepastian kembalinya NU ke khittah 1926.
Baru pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 diputuskan bahwa NU
34
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134. 35
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134-136
48
kembali ke khittah 1926 dalam artian bahwa NU sudah tidak lagi bermain
dalam politik praktis serta dipertegas bahwa NU netral-politik.36
Sebagai Badan Otonom, Muslimat NU terus mengikuti alur politik
Organisasi induknya. Sepak terjang perpolitikan NU ternyata berpengaruh besar
terhadap keterlibatan Muslimat NU dalam politik. Bermula pada tahun 1954
dalam Kongres Muslimat yang pertama sebagai Badan Otonom NU, kaum
perempuan NU mulai menyadari akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam
kepemerintahan. Mengingat banyak keputusan pemerintah yang kadang kala
merugikan kaum perempuan, sehingga demi memperjuangkan hal tersebut
perempuan wajib masuk dalam pemerintahan. Oleh karena itu, dalam kongres
tersebut menghasilkan keputusan yang antara lain sebagai berikut37
:
“memajukan pernyataan kepada PBNU (LAPUNU) agar Muslimat
dicalonkan menjadi anggot DPR – DPRD – KONSTITUANTE
dengan calon prioritas”.
Setelah Muslimat NU sadar akan pentingnya posisi dalam DPR, pada
pemilu tahun 1955 yang merupakan Pemilu bersejarah bagi NU, Muslimat
NU memiliki kesempatan lebih besar untuk duduk di dalam posisi DPR.
Kemenangan Partai NU yang hampir enam kali lipat dari keterwakilannya
dalam DPRS, perempuan NU dengan sendirinya terpilih mencapai 10%
dari seluruh jumlah.38
Anggota yang terpilih pada Pemilu 1955 antara lain :
36
Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 136. 37
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 64. 38
Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 66.
49
1. Ny. H. Machmudah Mawardi – wakil dari Jawa Tengah
2. Ny. H. Maryam Kantasupena – wakil dari Jawa Tengah
3. Ny. Maryama Djunaidi – wakil dari Jawa Timur
4. Ny. Hadiniyah Hadi – wakil dari Jawa Timur
5. Ny. Asmah Sjachruni – wakil dari Kalimantan Selatan
Melihat data di atas, keterlibatan NU dalam politik juga mampu
diikuti oleh Muslimat. Langkah politik Muslimat NU kemudian terhenti
dengan adanya keputusan kembali pada khittah 1926. Sehingga Muslimat
NU mulai menarik mundur kader-kadernya yang ingin tetap berorganisasi
dan melepaskan kader-kader terbaiknya dari organisasi yang menginginkan
untuk tetap berpolitik.
Pada kenyataannya di era reformasi ini, kembalinya NU dalam
politik ternyata diikuti pula oleh Muslimat NU. Tidak sedikit ibu-ibu
Muslimat NU yang kemudian tampil kembali di pangung politik baik
tingkat daerah maupun nasional. Bahkan beberapa kasus di daerah tingkat
Wilayah dan Cabang, banyak Ketua Pimpinan Muslimat NU yang duduk
dalam pemerintahan, dari anggota DPR, DPRD, Gubernur, Bupati maupun
Wakil Bupati. Dalam tingkat Pusat bahkan Ketua PP Muslimat saat ini
sedang menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial di Era kekuasaan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala yang akan dibahas
lebih mendalam di bab selanjutnya.
50
BAB IV
IMPLEMENTASI KHITTAH 1926 DALAM MUSLIMAT NU
A. Khittah 1926 dalam Muslimat NU
Sejak berdirinya pada tahun 1946 Muslimat NU menaruh perhatian tinggi
terhadap permasalahan pendidikan dan sosial. Pada tahun 1950-1979 periode
kepemimpinan Mahmudah Mawardi bergerak memperjuangkan kepentingan
perempuan dan aktif di dalam lembaga pemerintahan seperti DPR dan DPRD.
Keputusan NU untuk menjadi sebuah partai politik pada tahun 1952, menjadi
sumbangan besar bagi Muslimat NU, sehingga para kader Muslimat NU dapat
duduk di kursi pemerintahan. Namun sejak 1984 keputusan NU untuk kembali
pada khittah 1926, membuat langkah Muslimat NU dalam politik terhenti.1
Meskipun telah diputuskan kembali kepada khittah 1926, tetapi langkah-
langkah Muslimat NU berbeda dengan apa yang telah digariskan dalam khittah
1926. Berikut perjalanan khittah 1926 dalam beberapa kepengurusan Muslimat
NU :
1. Tahun 1984 – 1995 (Periode Asamah Sjachruni)
Pada periode kepemimpinan Asamah Sjachruni (1979-1955)2, keterlibatan
Muslimat NU dalam politik dirasa penting demi memperjuangkan kebijakan yang
pro dengan kaum perempuan. Oleh karena itu, Muslimat NU berupaya keras
1 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 66.
2 Saifullah Ma’sum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Bangsa dan
Negara (Jakarta: PP Muslimat NU, 1996) h. 137.
51
untuk membawa kader-kadernya berjuang mewakili kaum perempuan di
pemerintahan. Keadaan demikian terus berlangsung hingga di kepengurusan
Asamah Sjachruni periode kedua. Asamah Sjachruni sendiri sebagai sosok yang
mempunyai pengalaman lebih di kancah poitik dan sedang menduduki anggota
DPR RI pada waktu itu, menganggap penting adanya keterlibatan Muslimat NU.
Namun berbanding terbalik dengan keadaan pada masa kepemimpinannya di
periode ketiga.
Keputusan PBNU pada tahun 1984 tidak berpartai politik dan menetapkan
untuk kembali pada khittah 1926 memaksa Muslimat NU untuk mundur dari
kancah politik yang sudah lama diperjuangkan. Keadaan seperti ini menjadi
dilema besar untuk Muslimat NU yang sudah terbiasa dengan prestasi di politik.
Dalam menghadapi persoalan ini Asamah Sjachruni mengambil langkah untuk
melepaskan kader-kader terbaiknya untuk berjuang di luar Muslimat NU dan
melanjutkan perjuangannya di bidang politik.3
Keputusan kembali pada khittah 1926 yang sangat disayangkan oleh
Asamah Sjahruni tidak membuat pesimis untuk berjuang di bidang politik.
Jabatan Asamah sebagai anggota DPR tetap bertahan hingga tahun 1987. Demi
menghormati keputusan tersebut, kader-kader lain yang berprestasi dalam politik
terpaksa dilepaskan jabatannya di Muslimat NU.4
3 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi , Jakarta, 13 Maret 2015.
4 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
52
2. Periode Tahun 1996-2001 (Aisyah Hamid Baidlowi)
Semakin berkembangnya zaman nilai khittah 1926 mulai mengalami banyak
pergeseran makna sesuai dengan masanya.5 Bila di era Orde Baru keputusan
khittah 1926 dengan keras menyatakan bahwa NU tidak akan berpolitik dan
memihak partai politik manapun, semakin berkembangnya situasi sosial khittah
1926 sedikit demi sedikit mengkerucutkan arti sesuai dengan kepentingan di masa
tersebut. Aisyah Hamid Baidlowi mengambil sikap untuk netral terhadap partai
politik manapun sebagai bentuk implementasi khittah 1926 dalam periode
kepemimpinannya. Aisyah Hamid Baidlowi memperketat aturan bahwa organisai
Muslimat NU tidak terikat dengan partai politik, sedangkan urusan politik
masing-masing anggota adalah urusan pribadi bukan urusan organisasi.
Menurutnya khittah 1926 diputuskan untuk mengingat tujuan awal dibentuknya
NU sebagai organisasi sosial keagamaan bukan partai politik.6 Artinya bahwa
pada periode ini organisasi konsisten untuk dipisahkan dari politik, namun
mengijinkan kader-kader secara individu untuk berpolitik tetapi dengan catatan
tidak membawa nama organisasi Muslimat NU.
Meskipun Aisyah Hamid Baidlowi tidak merangkap jabatan dalam politik,
namun Aisyah tetap mendukung kader-kadernya untuk berjuang dalam
perpolitikan Indonesia. Aisyah memberikan himbauan kepada partai-partai politik
5 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
6 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
53
untuk memberikan dukungan penuh kepada kader-kadernya. Dukungan tersebut
dimaksudkan agar partai politik memberikan kesempatan kader Muslimat NU
yang akan mencalonkan diri sebagai anggota dewan dan dapat menduduki posisi
nomor urut terdepan, sehingga peluang kemenangannya pun akan lebih tinggi.7
3. Tahun 2001-2010 (Khofifah Indar Parawansa)
Memasuki periode pertama (2001-2005) kepemimpinan Khofifah Indar
Parawansa, aturan khittah 1926 kedua masih menduduki posisi dalam AD/ART
tepatnya di ART Muslimat NU tahun 2006 pada Bab V pasal 32 ayat 1 yang
menjelaskan tentang tidak diperbolehkannya organisasi berkaitan dengan partai
politik dan rangkap jabatan organisasi dengan partai politik. Namun pada periode
ketiga (tahun 2011-2015)pengurusan Khofifah Indar Parawansa, aturan tentang
khittah 1926 tersebut tidak lagi memiliki tempat dalam AD/ART Muslimat NU.
Aisyah Hamid Baidlowi menjelaskan bahwa aturan tersebut tidak lagi
dicantumkan secara tertulis, tetapi menjadi aturan tidak tertulis yang
keabsahannya masih tetap harus dilaksanakan oleh organisasi Muslimat NU.8
Perubahan makna khittah 1926 dari masa ke masa dikarenakan sudah
berkurangnya implementasi khittah 1926 dalam Muslimat NU. Semakin lama
nilai khittah 1926 ini sedikit demi sedikit semakin ditinggalkan. Hal ini diakui
oleh Ketua VI PP Muslimat NU dalam wawancara, yang mengatakan bahwa
khittah 1926 saat ini hanya sebuah semboyan karena praktik NU dalam
7 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
8 Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
54
pengawalan politik memang sudah tidak dikendalikan lagi.9 Kenyataannya bahwa
kader-kader NU dan Muslimat NU tidak sedikit yang kembali berpolitik dengan
menggunakan organisasi sebagai alat politiknya dalam menggalang masa
meskipun tidak secara tertulis. Masyarakat dan organisasi NU sendiri tidak
menutup mata akan kenyataan tersebut.
Ketua Cabang Kabupaten Tegal yang menjabat sebagai Wakil Bupati
Kabupaten Tegal, Umi Azizah menegaskan bahwa khittah 1926 tidak dibuat
untuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).10
Oleh karena itu, sah apabila kader
Muslimat NU menyalurkan hak politik sesuai dengan pilihannya secara individu.
Hak politik didapatkan dengan syarat kewajibannya yang tidak pula dilanggar,
mengingat khittah 1926 hingga saat ini masih sama-sama diyakini sebagai aturan
organisasi yang mengantarkan kadernya pada kemaslahatan dan bukan untuk
membatasi kader organisasi dalam berpolitik. Hal inilah yang menunjukkan
pergeseran makna khittah 1926 sesuai dengan perkembangan zaman yang
mencerminkan bahwa aturan khittah 1926 kurang tepat digunakan pada era
demokrasi seperti saat ini.
B. Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Komitmen Tentang Khittah 1926
Pada bagian ini menjelaskan mengenai bagaimana khittah 1926
diimplemetasikan dalam Muslimat NU periode kepemimpinan Khofifah Indar
Parawansa tahun 2011-2014. Oleh karena itu, sebelum memasuki pembahasan
9 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani. Pada 11 Maret 2015 di
UIN Jakarta. 10
Wawancara dengan Ketua Cabang Muslimat NU Kabupaten Tegal, Umi Azizah. Pada 13 Maret 2015.
55
mengenai implementasi khittah 1926 dalam Muslimat NU periode 2011-2014
maka akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai perjalanan politik Khofifah Indar
Parawansa sebagai latar belakang dari pemimpin Muslimat NU periode 2011-
2014.
Selain itu, dijelaskan pula tentang pencalonan Khofifah Indar Parawansa
sebagai Calon Gubernur Jawa Timur tahun 2013, keterlibatan Khofifah dalam
Pemilu Presiden tahun 2014 sebagai Juru Bicara salah satu pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, dan terpilihnya Khofifah sebagai Menteri Sosial di
Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla tahun
2014-2019.
1. Perjalanan Karir Politik Khofifah Indar Parawansa Sebagai Ketua
Umum Muslimat NU Periode 2011-2014
Tiga periode kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dalam Muslimat NU
memiliki perjalanan yang lebih panjang dari periode sebelumnya. Selain sebagai
seorang aktivis, Khofifah juga menuai banyak prestasi dalam karir politiknya di
tanah air. Terbilang sebagai pemimpin yang cukup muda dalam Muslimat NU,
Khofifah Indar Parawansa sangat tidak asing dalam panggung politik bahkan
sebelum memimpin organisasi Muslimat NU. Perjalanan politik Khofifah Indar
Parawansa telah melalui beberapa fase sebagai berikut:
Anggota DPR RI Periode 1992-1998
Keterlibatan Khofifah dalam politik dimulai pada saat Khofifah terpilih
menjadi anggota DPR RI mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode
56
tahun 1992-1998. Khofifah menjadi Pimpinan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan DPR RI tahun 1992-1997. Sebagai aktivis muda, Khofifah
memiliki talenta dalam politik, sehingga dapat menduduki posisi-posisi strategis
di pemerintahan. Tahun 1995-1997 Khofifah terpilih menjadi Ketua Komisi VIII
DPR RI.11
Nama Khofifah mulai disorot dalam panggung politik pada saat tampil
membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam Sidang
Umum MPR tahun 1998. Hal ini dikarenakan pidato Khofifah merupakan pidato
kritis pertama terhadap pelaksanaan Orde Baru dalam Sidang Umum MPR di
Indonesia. Khofifah melontarkan kritikan-kritikan terhadap rezim Orde Baru dan
membredel kecurangan-kecurangan pada Pemilu 1997. Seluruh anggota sidang
MPR yang didominasi oleh orang-orang Golongan Karya (Golkar) terperanjat
mendengar pidato kritis seorang wanita kelahiran tahun 1965 tersebut.12
Keberanian Khofifah sebagai politisi muda dalam pidato ini menjadikan dirinya
sangat disegani di tanah air.
Hijrah Politik dari PPP ke PKB
Memasuki era Reformasi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada saat itu
menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, membentuk partai politik baru yaitu Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi perbincangan internal NU karena
11
Mochamad Nasrul Chotib, “Profil Khofifah Indar Parawansa.” Diunduh 7 Mei 2015
(http://profil.merdeka.com/indonesia/k/khofifah-indar-parawansa/) 12
Mochamad Nasrul Chotib, “Profil Khofifah Indar Parawansa.”
57
melanggar khittah 1926.13
Pembentukan PKB ditujukan untuk menyelamatkan
suara kader-kader NU yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Keran
demokrasi yang dibuka lebar pada era Reformasi memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Oleh karena itu,
Gus Dur membentuk PKB agar para kader NU tidak terpecah belah akibat pilihan
politik yang beragam.14
Perubahan peta politik menyebabkan Khofifah sebagai politisi yang
berangkat dari NU ikut beralih haluan dari PPP dan hijrah ke PKB.15
Keberhasilan
dalam karir politiknya di PPP, Khofifah secara langsung dipercaya untuk
menduduki jabatan salah satu Ketua di PKB. Berkiprah di PKB ternyata tidak
menyurutkan prestasi politiknya di lembaga pemerintahan. Pemilu tahun 1999
kemudian mengantarkan khofifah untuk kembali menduduki kursi DPR RI
mewakili PKB. Bahkan membawanya menjadi Wakil Ketua DPR RI tahun 1999.
Setelah dipercaya untuk memimpin Muslimat NU, perjalanan politik
Khofifah ternyata tidak berhenti. Bahkan melihat kinerjanya di Muslimat NU,
Khofifah semakin dipercaya oleh banyak partai seperti PKB dan PPP. Apabila
dikaitkan dengan khittah 1926, jabatan Khofifah sebagai Ketua Umum Muslimat
NU dengan perjalanan politiknya akan terlihat kurang mencerminkan komitmen
khittah. Hal ini dibuktikan dengan perjalanan politik Khofifah selama tiga periode
kepemimpinannya di Muslimat NU, sebagai berikut:
13
Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi. 14
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 428. 15
Mochamad Nasrul Chotib, “Profil Khofifah Indar Parawansa.”
58
a. Periode Pertama Kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dalam
Muslimat NU (tahun 2001-2005)
Pada periode pertama Khofifah dalam Muslimat NU, karir politiknya
semakin melambung. Jabatan Khofifah sebagai Ketua Umum Muslimat NU
kemudian menjadi alasan Abdurrahman Wahid memilih Khofifah untuk
mengelola PKB dan bergabung dalam pemerintahannya. Berikut perjalanan
politik Khofifah pada periode pertama kepemimpinannya di Muslimat NU:
Menjadi Pengurus PKB
Sejak berdirinya PKB sebagai partai politik, Khofifah telah dipercaya
untuk mengisi kursi jabatan dalam partai tersebut. Bahkan hingga pada saat
Khofifah terpilih sebagai Ketua Umum Muslimat NU, jabatannya dalam PKB
masih tetap dipertahankan. Ketakutan ini yang menjadi pertimbangan para aktivis
muda NU saat Abdurrahman Wahid mendirikan PKB. Bahwa dengan munculnya
PKB sebagai partai dengan basis NU menjadikan para kader NU berpolitik yang
pada dasarnya dilarang dalam keputusan khittah 1926.16
Menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Ketua
BKKBN Tahun 1999-2001
Keberhasilan Khofifah dan kawan-kawan dalam mengelola PKB
mengantarkan Abdurrahman Wahid untuk dipilih menjadi Presiden Republik
Indonesia dengan mengalahkan suara Wakil Presidennya yaitu Megawati
Soekarno Putri. Setelah Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik
16
Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardani.
59
Indonesia, Khofifah kembali mendapatkan kepercayaan penuh dalam mendapat
tempat di kementrian sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Periode
tahun 1999-2001. Sekaligus dihidmat menjadi Ketua Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) tahun 1999-2001.17
Mengemban dua jabatan sekaligus dalam satu waktu membuktikan bahwa
kiprah Khofifah dalam politik sangat diakui dan dipercaya khususnya oleh Gus
Dur sebagai Presiden pada saat itu. Wanita yang cukup muda dengan prestasi
politik yang cemerlang kembali melambungkan nama Khofifah didataran sosok
politik di Indonesia. Bersamaan dengan posisinya sebagai Menteri, Khofifah
terpilih menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU periode tahun 2000-2005.
Kepiawaiannya dalam berpolitik ternyata mampu meyakinkan para ibu-ibu
Muslimat NU untuk memilih dirinya sebagai pemimpin organisasi Muslimat NU.
b. Periode Kedua Kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dalam
Muslimat NU (tahun 2006-2010)
Pada periode kedua dalam memimpin Muslimat NU, Khofifah tidak
mendapatkan kesempatan besar seperti periode sebelumnya. Hal ini dikarenakan
berakhirnya rezim Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, sehingga Khofifah
tidak memiliki peluang besar dalam karir politik. Namun terpilihnya Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden (2004-2009) membuka kesempatan Khofifah untuk
mempertahankan karirnya dalam politik. Setelah tidak ada lagi kesempatan dalam
17
Mochamad Nasrul Chotib, “Profil Khofifah Indar Parawansa.”
60
kursi anggota DPR, Khofifah mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur,
berikut penjelasannya:
Kembali Menjadi Anggota DPR RI Periode Tahun 2004-2006
Terpilih sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU ternyata tidak menghambat
karir politik Khofifah. Berakhirnya rezim Megawati (2001-2004) dan memasuki
masa pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, Khofifah kembali terpilih sebagai Ketua
Komisi VII DPR RI tahun 2004-2006.18
Pada saat yang bersamaan Khofifah juga
dipercaya menjadi Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI. Karir politik
Khofifah di lembaga DPR dan MPR terus berjalan dan mendapat banyak
dukungan khususnya dukungan dari partai politiknya. Terpilihnya Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden yang berlatarbelakang NU menjadi salah satu akses
penting Khofifah dalam karir politik. Meskipun di era berikutnya Jusuf Kalla
belum mendapat kesempatan untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, namun
Khofifah tetap melebarkan sayap politiknya di bidang yang lain.
Mencalonkan Diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur tahun 2008
Akhir periode kedua dalam memimpin Muslimat NU, Khofifah
mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 berpasangan
dengan Mudjiono seorang Purnawirawan TNI dengan jabatan terakhir sebagai
18
Hindra Liauw, “Sosok Mensoso Khofifah Indar Parawansa.” Diunduh 7 Mei 2014
(http://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/1835034/Ini.Sosok.Mensos.Khofifah.Indar.Parawan
sa)
61
Kasdam V Brawijaya, pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Guberur ini
didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).19
Alasan PPP memilih Khofifah dikarenakan beberapa pertimbangan
mendasar yang diambil oleh partai tersebut, antara lain20
: Pertama, Khofifah
memiliki integritas kemasyarakatan yang tidak diragukan. Kedua, pengalaman
memimpin menjadi modal penting untuk menjadikan Jawa Timur lebih baik
(pernah menjadi menteri, wakil ketua komisi di DPR, dan sekarang juga masih
tercatat sebagai anggota DPR). Ketiga, Khofifah merupakan tokoh perempuan
yang diharapkan mempunyai nilai tambah. Dan yang keempat, Khofifah
merupakan pimpinan organisasi perempuan terbesar di Indonesia yakni Muslimat
NU dan juga pernah menjabat sebagai Pimpinan Pusat di dua organisasi
perempuan yang lain yaitu Fatayat NU dan IPPNU dengan jumlah anggota
Muslimat NU di Jawa Timur, baik yang memiliki KTA maupun tidak itu
berjumlah sekitar 4 juta orang. Sedangkan anggota Fatayat NU diperkirakan
sebanyak 2 juta anggota dari IPPNU sekitar 1 juta. Dari kalkulasi berikut maka
tidak diragukan lagi kapasitas Khofifah sebaai calon pemimpin Jawa Timur.
Alasan yang digunakan PPP dalam memilih Khofifah sebagai Calon
Gubernur Jawa Timur selain dari kapasitas pribadi Khofifah sebagai politisi,
poisisinya sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU juga menjadi sorotan utama. PP
Muslimat NU membawahi begitu banyak Banom NU yang secara tidak langsung
19
Inggriht Fatamorgana, “Nahdlatul Ulama dan Pilkda Gubernur Jawa Timur,” Jurnal
Politik Indonesia, Vol 1 No.1 (Juli-September 2012): h. 34-35. 20
Inggriht Fatamorgana, “Nahdlatul Ulama dan Pilkda Gubernur Jawa Timur,” h. 35.
62
mereka mendukung khofifah atas dasar latar belakang tersebut. Artinya bahwa
posisi khofifah sebagai ketua PP Muslimat NU menjadi salah satu kekuatan
penentu dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Meskipun
pada saat pencalonannya, ia menon-aktifkan diri sebagai Ketua Umum PP
Muslimat NU dan berangkat sebagai individu politik, dan tidak membawa
organisasi manapun.
2. Implementasi Khittah 1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-
2014
Pembahasan ini menjelaskan mengenai seperti apa implementasi khittah
1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-2014. Melalui perjalanan politik
Khofifah Indar Parawansa dalam kurun waktu tahun 2011-2014 sebagai berikut:
Tampilnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Calon Gubernur Jawa
Timur tahun 2013
Dalam praktik politik Muslimat NU periode 2011-2014 yang menyatakan
masih berkhittah dapat dilihat melalui rekam jejak perjalanan Ketua Umum PP
Muslimat NU periode 20011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa. Setelah
berjuang di tahun 2008, semangat Khofifah untuk menjadi orang pertama di Jawa
Timur masih membara dengan mencoba kembali keberuntungannya pada periode
ketiga kepemimpinan Khofifah di PP Muslimat NU tahun 2013.
Pada periode ini Khofifah kembali menggunakan kesempatannya untuk
mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur periode 2013-2018
berpasangan dengan Herman Suryadi. Berbeda dengan pencalonan Khofifah
63
sebelumnya, jika pencalonan tahun 2008 Khofifah didukung penuh oleh PPP
maka ditahun 2013 Khofifah tampil melalui dukungan dari Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan lima partai lainnya yaitu Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB),
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Nahdlatul
Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Kedaulatan (PK), dan Partai Matahari Bangsa
(PMB) serta dorongan besar dari para Kiai NU. Mengingat lawan Khofifah dalam
Pilkada ini tidak berbeda dengan periode sebelumny(2008-2013), Khofifah lebih
serius dalam melakukan proses kampanye politik ini. Hampir setiap hari Khofifah
turun ke jalan, mendatangi satu-persatu majlis ta’lim di Jawa Timur untuk
memperoleh dukungan. Namun keberuntungan belum memihak Khofifah untuk
menepati posisi Gubernur dengan hasil suara yang kalah tipis dari pasangan
Soekarwo dan Saefullah Yusuf. 21
Keterlibatan Khofifah dalam pencalonan Gubernur Jawa Timur ternyata
didukung penuh oleh jajaran Pengurus Pusat Muslimat NU. Sebagai bentuk
dukungan terhadap pencalonan ini, para kader Muslimat NU turun ke jalan
sebagai tim sukses dari Khofifah. 22
Bahkan dari Cabang Muslimat NU melihat
realita ini sebagai sebuah prestasi Muslimat NU dalam mengawal kadernya untuk
mencapai prestasi politik. Tampilnya Ketua Umum Muslimat NU sebagai Calon
Gubernur merupakan bukti bahwa perempuan NU mampu memperjuangkan
kepentingan perempuan dalam politik dan dapat membawa Muslimat NU untuk
21
Anggi Kusumadewi, dkk., “Ronde Kedua Duel Khofifah-Soekarwo di Pilkada Jatim”. Diakses pada 17 Mei 2015 (http://politik.news.viva.co.id/news/read/434044-ronde-kedua-duel-khofifah-soekarwo-di-pilkada-jatim).
22 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani.
64
bersaing dengan organisasi lainnya dalam persaingan politik.23
Bukan malah
menjaga khittah 1926, para kader Muslimat NU justru membanggakan Ketua
Umumnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur.
Bersedia Menjadi Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden
Jokowidodo dan Jusuf Kalla (2014-2019)
Kekalahan dua kali dalam pencalonan Gubernur tidak menyurutkan
semangat Khofifah untuk terus berjuang. Tahun 2014 Khofifah kembali
melibatkan diri dalam uforia Pemilu Presiden periode tahun 2014-2019 dengan
memposisikan diri sebagai Juru Bicara salah satu pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla. Peran serta Khofifah dalam
Pemilihan Presiden sangat menguntungkan bagi calon pasangan Presiden yang
didukungnya.24
Kesediaan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden ini
dikarenakan adanya Jusuf Kalla sebagai orang NU yang menjadi Calon Wakil
Presiden. Melalui keterlibatan Khofifah, Jokowi dan Jusuf Kalla mendapatkan
dukungan penuh dari banom-banom NU, khusunya Muslimat NU hingga
mengantarkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla pada kursi kepresidenan sampai saat
ini.25
Sama dengan sebelumnya, kader Muslimat NU menganggap bahwa
keputusan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden mempermudah
23
Wawancara dengan Ketua Cabang Muslimat NU Kabupaten Tegal, Umi Azizah. 24
Sundari, “Khofifah Jadi Jubir Jokowi Mulai 24 Mei.” Diakses pada 17 Mei 2015 (http://www.tempo.co/read/news/2014/05/07/269576083/khofifah-jadi-jubir-jokowi-mulai-24-mei).
25 Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani’ah Wardhani.
65
masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik kepada Calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut.26
Keberadaan khittah 1926 yang semakin tidak terlihat
menjadikan para kader Muslimat NU lupa dengan garis perjuangan tersebut.
Sehingga setiap kader Muslimat NU tampil dalam kompetisi politik menjadi
sebuah kebanggan tersendiri. Meskipun masih ada beberapa kader yang memang
sadar bahwa khittah 1926 tetap sebagai garis perjuangan yang sudah diputuskan
NU, sehingga perjalanan politik Khofifah merupakan sebuah pelanggaran Khittah
1926.27
Kembali Menjadi Menteri Negara Republik Indonesia
Prestasi khofifah memenangkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilu
Presiden tahun 2014 tidak berhenti begitu saja. Melalui loyalitasnya dalam
mendukung Calon Presiden hingga menjadi Presiden membuahkan hasil dengan
diangkatnya Khofifah menjadi Menteri Sosial di pemerintahan Presiden
Jokowidodo. Keputusan Jokowi memilih Khofifah sebagai Menteri Sosial
dikarenakan Khofifah memiliki pengalaman di bidang tersebut.28
Hingga saat ini
Khofifah masih aktif sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU periode ketiga
sekaligus menjabat Menteri Sosial Republik Indonesia.
Muslimat NU sebagai sebuah lembaga organisasi berusaha untuk tidak
berpihak terhadap salah satu partai politik manapun dengan tetap menjaga hak
26
Wawancara dengan Ketua Muslimat NU Wilayah Jawa Tengah, Ismawati. Pada Senin,
23 Maret 2015 di UIN Semarang. 27
Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi. 28
Efendi Ari Wibowo, “Khofifah Indar Parawansa dari Jubir Jokowi Jadi Menteri Sosial.”
Diakses pada 17 Mei 2015 (http://www.merdeka.com/peristiwa/khofifah-indar-parawansa-dari-
jubir-jokowi-jadi-menteri-sosial.html)
66
politik setiap individu di dalam organisasi. Namun jika dilihat kembali praktik
politik yang diklaim sebagai pilihan individu para kader Muslimat khususnya
Ketua Umum Muslimat NU Periode 2011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa,
tidak lagi mencerminkan sebuah pilihan individu. Pilihan politik Khofifah
menjadi Menteri Sosial secara tidak langsung berpengaruh kuat terhadap
organisasi, sehingga mengakibatkan tidak efektifnya aturan khittah 1926.
Dalam pengimplementasian khittah 1926 di Muslimat NU periode 2011-
2014 memiliki banyak pengaruh untuk organisasi maupun orang-orang di dalam
organisasi itu sendiri. Aturan khittah yang tidak tampil dalam AD/ART namun
masih diyakini sebagai aturan tidak tertulis dan tetap menjunjung tinggi koridor
Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki pengaruh positif
terhadap Muslimat NU periode 2011-2014. Khittah 1926 membantu Muslimat NU
menjalankan programnya dengan baik sesuai dengan tujuan Muslimat NU sebagai
organisasi sosial keagamaan. Adanya nilai khittah 1926 menjadi salah satu
pengontrol organisasi dalam politik agar tidak disalahgunakan oleh individu yang
tidak bertanggung jawab. Karena organisasi merupakan sebuah wadah
berkumpulnya masa, menjadi rentan untuk digunakan sebagai alat politik. Oleh
karena itu, aturan khittah 1926 untuk membatasi organisasi untuk tidak berpihak
pada salah satu partai politik dapat mengontrol adanya hal tersebut.
Namun sebaliknya, dengan sistem demokrasi yang digunakan sekarang ini
memberikan peluang penuh kepada semua lapisan masyarakat untuk tampil aktif
dalam publik, salah satunya partai politik. Hal ini membuat keputusan NU untuk
67
kembali ke khittah 1926 kembali dipertanyakan. Pembatasan ruang politik kader
Muslimat NU menjadi tidak relevan dengan sistem pemerintahan yang digunakan.
Oleh karena itu, para kader Muslimat NU menjadi terbatas dalam menggunakan
hak politiknya sebagai warga Negara.
Apalagi aturan khittah yang tidak terimplementasikan dengan benar seperti
penjelasan diatas membawa pengaruh yang kurang baik dalam organisasi.
Pemaparan praktik politik Khofifah Indar Parawansa yang sebelumnya
menunjukkan bahwa tidak terimplementasinya nilai khittah 1926 yang
menyatakan organisasi Muslimat NU tidak berpolitik. Sehingga Muslimat NU
sebagai lembaga organisasi menjadi tidak konsisten dalam mengimplementasikan
keputusan khittah 1926.
Civil society merupakan salah satu pilar demokrasi, untuk mengisi
demokrasi maka civil society ikut mengambil peran. Muslimat NU merupakan
salah satu bagian dari civil society yang ada di Indonesia, sehingga Muslimat NU
ingin ikut serta mengambil peran untuk mengisi peluang demokrasi. Peran yang
diinginkan Muslimat NU yaitu berpartisipasi dalam pemerintahan (menduduki
jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPRD, DPR, Mentri maupun Kepala
Daerah).
Teori manajemen organisasi menjelaskan bahwa di dalam organisasi
terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan yang di dalamnya terdapat sub
sistem tertinggi yaitu itu yang disebut sebagai manajer. Manajer disini merupakan
pengontrol utama dari sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Oleh
68
karena itu, dalam organisasi posisi manajer memiliki peran terpenting dari sub-
sub lainnya yang pada Muslimat NU disebut sebagai Ketua Umum. Secara tidak
langsung jabatan Ketua Umum yang dimiliki Khofifah memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap anggota lain seklaipun itu merupakan hak pilihan
individu masing-masing. Jadi praktik politik Khofifah yang dijelaskan
sebelumnya tidak dapat dikatakan sebagai perilaku individu saja, melainkan
perilaku individu yang berdampak pada organisasi. Posisi ini yang kemudian
mampu membawa bagian-bagian lainnya dalam organisasi untuk mendukung
penuh dirinya dalam panggung politik. melalui pemaparan ini kemudian
menunjukkan bahwa praktik politik Khofifah yang menduduki jabatan sebagai
pengelola sebuah organisasi menjadi salah satu alasan mengapa khittah 1926 tidak
terimplementasikan.
Selain itu, keberadaan khittah 1926 sebagai garis perjuangan organisasi
dalam manajemen organisasi khittah perjuangan itu adalah sebuah jalan pedoman
yang harus diikuti, tetapi kenyataannya garis perjuangan kembali ke khittah 1926
yang ditetapkan oleh organisasi NU pada tahun 1948 tidak dapat
diimplementasikans secara baik oleh Badan Otonom yang berada di bawahnya
sepeti muslimat NU, baik pada periode Asamah Sjachruni, Aisyah Hamid
Baidlowi, maupun pada masa Khofifah Indar Parawansa. Karena hal ini
ditunjukkan dengan keterlibatan pemimimpin Muslimat NU sebagai pucuk
pimpinnan Muslimat ke dalam politik khususnya yang dilakukan oleh Khofifah
Indar Parawansa (Ketua Umum Muslimat NU periode 2011-2014) yaitu
69
mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur, Juru Bicara Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla (2014), dan menjadi Menteri Sosial
(2014-2019).
Seperti halnya teori manajemen organisasi, teori kekuasaan juga digunakan
sebagai tolak ukur seberapa jauh Khofifah menggunakan posisinya dalam politik
yang tidak lain dilatarbelakangi oleh faktor kekuasaan. Melalui kekuasaannya di
Muslimat NU yang sudah tidak diragukan lagi, sehingga ia mampu menjabat
selama tiga periode berturut-turut, Khofifah menggali kekuasaan yang lebih luas
lagi dengan ikut berkompetisi dalam politik praktis. Kompetisi ini tidak lain untuk
mendapatkan kembali kekuasaan, bahkan lebih luas dari porsi kekuasaan yang ia
miliki saat ini. Melalui perspektif kekuasaan, keterlibatan pengurus Muslimat NU
dalam politik yang bertentangan dengan khittah 1926 merupakan hal yang sah-sah
saja mengingat kekuasaan adalah sebagai jembatan keterlibatan atau partisipasi
politik civil society (Muslimat NU) dalam mengisi demokrasi di indonesia. Hal ini
yang membuat tidak tepatnya keputusan khittah 1926 diterapkan di era
demokratisasi.
Melalui tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Muslimat NU periode
2011-2014 berusaha untuk berkembang dengan tetap konsisten sebagai organisasi
sosial keagamaan dan tidak berpolitik. Namun dalam praktik politiknya Muslimat
NU tidak mampu membendung keinginan kader organisasi untuk berpolitik yang
dipengaruhi oleh perkembangan sistem demokrasi. Dilema dalam Muslimat NU
dikarenakan aturan khittah 1926 menjadi kendala dalam berpolitik sehingga kader
70
Muslimat NU berpolitik atas nama individu bukan organisasi. Jika seperti ini,
maka praktik politik Khofifah yang telah dijelaskan sebelumnya dan kaitannya
dengan teori-teori yang ada menunjukkan bahwa khittah 1926 tidak
terimplementasikan dengan baik di Muslimat NU periode 2011-2014.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melalui pemaparan skripsi ini dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 yang
diputuskan pada tahun 1984 menyatakan NU sudah tidak menjadi partai politik
dan netral-politik. Oleh karena itu, demi kemaslahatan bersama semua pihak
akhirnya dapat menerima dengan lapang dada. Keputusan tersebut hingga saat ini
masih berlaku, walaupun secara implementatif nilai khittah 1926 yang
menyatakan netral-politik sudah mulai ditinggalkan oleh orang-orang NU.
Muslimat sebagai Badan Otonom NU terus mengikuti jejak para kiainya.
Sama halnya dengan NU, kader-kader Muslimat NU juga mulai meninggalkan
komitmen khittah 1926. Keterlibatan dalam kancah politik sudah menjadi hal
biasa baik bagi anggota, pengurus, bahkan Ketua Umum. Keterlibatan Ketua
Umum PP Muslimat NU periode 2011-2014 dalam mencalonkan diri sebagai
Gubernur di Jawa Timur pada tahun 2013, menjadi Juru Bicara Calon Presiden
dan Wakil Presiden 2014 hingga saat menjadi Menteri Sosial menjadi lumrah,
bahkan dianggap sebuah prestasi dalam pengurusan Muslimat NU. Khittah 1926
menjadi sebuah simbol yang tidak terimplementasi dengan baik, bahkan orang-
orang dalam NU sendiri sudah pesimis dengan komitmen khittah 1926.
Suburnya demokrasi di Indonesia mendorong kader-kader Muslimat NU
untuk ikut berkompetisi dalam politik. Keberadaan Khittah 1926 menjadi sebuah
batas bagi kader Muslimat NU untuk ambil peran dalam demokrasi. Apalagi
72
keterlibatan Muslimat NU dalam politik memang menguntungkan bagi organisasi
dan kaum perempuan di Indonesia. Adanya keterlibatan Muslimat NU dalam
politik membantu untuk memperjuangkan hak perempuan melalui kebijakan-
kebijakan politik, serta membuka peluang besar untuk saling bersinergi dengan
lembaga pemerintahan dalam menjalankan programnya masing-masing.
Melihat realita, diperkuat dengan fakta bahwa jumlah perempuan ternyata
lebih banyak dari laki-laki, maka harus ada dukungan kebijakan yang pro dengan
perempuan. Kebijakan ini sulit terimplementasi jika keterwakilan permpuan
sedikit dalam memperjuangkan aspirasi tersebut. Oleh karena itu, khittah 1926
yang pada Orde Baru dapat dijadikan sebagai kontrol politik, namun saat ini
justru menjadi pembatas muslimat NU dalam berperan sebagai civil society.
Secara umum Muslimat NU sebagai sebuah organisasi memiliki komitmen
terhadap khittah 1926. Tetapi keterlibatan Ketua Umum PP Muslimat NU periode
2011-2014 dalam politik menunjukkan bahwa khittah 1926 tidak terimplementasi
dengan baik. Diperkuat dengan kenyataan bahwa demokratisasi saat ini menjadi
identitas utama, maka dalam mengambil peran dalam demokrasi, organisasi ini
harus berpolitik sehingga keputusan khittah 1926 kembali dipertanyakan. Dapat
disimpulkan bahwa keputusan khittah 1926 sudah tidak relevan diterapkan pada
era demokratisasi seperti sekarang.
73
B. SARAN
Kenyataan bahwa praktik politik dari kader-kader Muslimat NU sulit
ditinggalkan, memberikan gambaran bahwa khittah 1926 dalam Muslimat NU
periode 2011-2014 belum dapat terimplementasi dengan baik. Hal ini juga
menunjukkan bahwa keputusan khittah 1926 sulit untuk disinkronisasikan dengan
sistem demokrasi yang diterapkan pada negara kita saat ini.
Oleh karena itu, salah satu saran terbaik dalam pengimplementasian khittah
1926 ialah mencoba untuk meninjau kembali keputusan khittah 1926. Peninjauan
ini dilakukan untuk menjawab perlu atau tidaknya khittah 1926 diterapkan dalam
negara dengan sistem demokrasi. Setelah itu, dapat ditegaskan posisi aturan
khittah 1926 secara tertulis, jelas dan rinci. Sehingga Muslimat NU dapat
mengimplementasi dan mengikuti keputusan tersebut dengan baik.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Alaena, Badrun. NU: Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2000.
Ambardi, Kushridho. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia era Reformasi. Jakarta: Penerbit KPG, 2009.
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Yogyakarta: LP3ES, 2010.
Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru.
Diterjemahkan oleh Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Feillard, Andree. NU vis-à-vis Negara. Yogyakarta: LkiS, 2009.
Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: LP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Hersey, Paul dan Ken Blanchard. Manajemen Perilaku Organisasi:
Pendayagunaan Sumberdaya Manusia, 4th
ed. Penerjemah Agus Dharma.
Jakarta: Erlangga, 1986.
Hikam, Muhamad A.S.. Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society.
Jakarta: Erlangga, 2000.
Hikam, Muhammad A.S.. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES,
1996.
J., Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosada
karya, 2004.
Karni, Asrori S.. Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah”
Demokras. (Jakarta: Logos, 1999.
xiii
Ma’sum, Saifullah dan Ali Zawawi. 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk
Bangsa dan Negara. Jakarta: PP Muslimat NU, 1996.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1962. Jakarta:
Erlangga, 1992.
Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1993.
Mulyana, Deddy. Metodeologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Noer, Deliar. Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa. Bandung: Mizan, 2001.
PP Muslimat NU. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU.
Jakarta: PP Muslimat NU, 2012.
Ridwan, Nur Khalik. NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Robbins, Stephen P.. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi.
Penerjemah Jusuf Udaya. Jakarta: Arcan, 1994.
Sitompu, Einar Martahan. Nu dan pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam
Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila
sebagai Satu-satunya Asas. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996.
Sudarmo, Indriyo Gito dan I Nyoman Sudita. Perilaku Keorganisasian.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997.
Thoha, Miftah. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, ed.. Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE dan
Perdana Media Grup, 2008.
Zuhri, Saifuddin, dkk.. Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama. Jakarta: PP Muslimat
NU, 1979.
xiv
Artikel/Jurnal/Laporan/Karya Ilmiah :
Fatamorgana, Inggriht. “Nahdlatul Ulama dan Pilkda Gubernur Jawa Timur,”
Jurnal Politik Indonesia. Vol 1 No.1. Juli-September 2012.
Hakim, Andi Ilman. “Komunikasi Politik Muslimat Nahdlatul Ulama Jawa Timur
(Studi Partisipasi Politik Perempuan Pada Pemilihan Gubernur Jawa
Timur Tahun 2013).” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya, 2014.
Laporan YKM NU Pusat Periode September 2014 – Maret 2015. Jakarta 1 April
2015.
Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa,” jurnal
ilmu sosial dan ilmu politik 7 (Maret 2004): h. 283-284.
Munir, Misbakhul. “Peran Organisasi Perempuan dalam Mempengaruhi
Pembuatan Kebijakan Publik di Kabupaten Pemalang: Studi Kasus di
Pimpinan Cabang Musliat NU Kabupaten Pemalang.” Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2011.
Naskah Elektronik :
Chotib, Mochamad Nasrul. “Profil Khofifah Indar Parawansa.” Diunduh 7 Mei
2015 (http://profil.merdeka.com/indonesia/k/khofifah-indar-parawansa/)
Liauw, Hindra. “Sosok Mensoso Khofifah Indar Parawansa.” Diunduh 7 Mei
2014
(http://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/1835034/Ini.Sosok.Mensos.K
hofifah.Indar.Parawansa)
Manalu, Eko. “Metodologi Penelitian.” Artikel diunduh pada 02 Desember 2014
(http://www.academia.edu/3160247/Metodologi_penelitian)
Pengurus Pusat Muslimat NU. “Bagian Pertama: Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga Muslimat NU.” Artikel diunduh pada 27 Oktober 2014
(http://www.muslimatnu.or.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=50&Itemid=57)
Setiawan, Ebta. “Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Artikel diunduh pada 03
Desember 2014 (http://ebsoft.web.id/)
Wibowo, Efendi Ari. “Khofifah Indar Parawansa dari Jubir Jokowi Jadi Menteri
Sosial.” Diakses pada 17 Mei 2015
xv
(http://www.merdeka.com/peristiwa/khofifah-indar-parawansa-dari-jubir-
jokowi-jadi-menteri-sosial.html)
BUTIR-BUTIR PERTANYAAN WAWANCARA
Narasumber : Ibu Hj. Aisyah Hamid Baidlowi
Jabatan : Mantan Ketua Umum PP Muslimat NU
1. Ibu memimpin PP Muslimat NU dari periode tahun berapa hingga
tahun berapa ?
Saya memimpin Muslimat NU sebagai Ketua Umum selama 1 periode, yaitu dari
tahun 1995 sampai dengan tahun 2000. Namun selain Ketua Umum, saya sudah
aktif di Muslimat NU sejak tahun 1963 tepatnya pada periode kepemimpinan Ibu
Mahmudah Mawardi.
2. Dalam masa kepemimpinan Ibu di PP Muslimat NU, hal apa yang
mengesankan dan masih diingat hingga saat ini ?
Banyak yang mengesankan menurut saya, tapi ketika saya menjabat sebagai
Ketua Umum PP Muslimat NU saya mulai menerapkan kepemimpinan
colegial/periodisasi dan cara tersebut hingga saat ini masih digunakan. Masing-
masing ketua secara periodesasi kepemimpinan digilir setiap 6 bulan sekali, setiap
6 bulan PP Muslimat NU mengadakan rapat pleno untuk serah terima Ketua
Periodik. Saya ingin membagi pengalaman, kewenangan, dan tanggung jawab
pada yang lain. Sehingga tidak hanya satu orang yang memegang dan berkuasa.
3. Bagaimana pandangan Ibu mengenai Muslimat NU saat ini ?
Secara keseluruhan Muslimat NU saat ini mengalami kemajuan, meskipun
diberbagai hal masih banyak yang harus dibenahi oleh Muslimat NU. Sekarang
keterlibatan Muslimat NU lebih banyak pada program-program yang dilakukan
oleh pemerintah (kerjasama dengan pemerintah secara MOU dan dilakukan
bersama-sama) dari pada program lainnya. Pada masa kepemimpinan saya, selain
bekerjasama dengan pemerintah, Muslimat NU juga menjalin kerjasama dengan
LSM-LSM dan lembaga asing.
4. Ketua Umum PP Muslimat NU sudah memasuki periode ke-3,
bagaimana sesungguhnya aturan main yang berlaku untuk hal
tersebut ?
Sampai dengan kepengurusan Ibu Khofifah di periode ke dua dalam AD masih
ada aturan batasan kepemimpinan Muslimat NU selama 2 periode. Namun,
menjelang periode ketiga aturan tersebut dirubah menjadi tidak ada batasan
kepemimpinan.
5. Jika ditinjau dari AD/ART ketentuan kepemimipinan PP
Muslimat NU hanya dua periode berturut-turut, bagaimana
pandangan Ibu tentang hal tersebut ?
Jadi pada awal mulanya, di masa kepemimpinan Ibu Mahmudah Mawardi sampai
dengan Ibu Asmah Syajhruni periode ke dua aturan kepemimpinan tidak ada
batasan. Kemudian menjelang periode ketiga kepemimpinan Ibu Asamah mulai
diberlakukan aturan batasan kepemimpinan selama 2 periode. Lalu kembali lagi
dirubah pada kepemimpinan Ibu Khofifah di periode ketiga menjadi tidak ada
batasan lagi hingga saat ini.
Menurut saya pribadi memang idealnya suatu kepemimpinan harus ada batasan,
sehingga tidak akan ada rasa kepemilikan dalam organisasi. Sehingga kita sadar
dan tau bahwa ada batasan dalam memimpin, karena segala sesuatu memang
harus ada batasnya, bahkan umur manusia pun ada batasannya.
Semestinya ada, tidak mungkin tidak ada satupun orang yang bisa menggantikan
Ketua Umum dari sekian banyak ibu-ibu di Muslimat. Kalau mereka diberi
kesempatan pasti ada, tidak mungkin sebegitu banyak orang Muslimat tidak ada
yang bisa.
6. Sebagai orang yang pernah memimpin PP Muslimat NU, apa arti
Khittah NU 1926 dan bagaimana pengaruh terhadap Muslimt NU
menurut Ibu ?
Diberlakukannya khittah 1926 di Situbondo itu pada kepemimpinan Ibu Asamah.
Periode kepemimpinan saya dulu, kita berlakukan betul-betul nilai khittah 1926
itu, dengan aturan bahwa organisasi tidak terkait dengan partai politik serta urusan
politik masing-masing anggota adalah urusan pribadi bukan urusan organisasi.
Menjelang pemilu tahun 1996 saya mengeluarkan instruksi pada seluruh Cabang
bahwa Muslimat tidak terlibat dengan partai politik manapun. Kalaupun ada
individu Muslimat yang menyalurkan aspirasinya dalam partai politik
dipersilahkan, dengan catatan ia berangkat secara perorangan bukan dari
organisasi. PP Muslimat NU juga mendukung calon-calon yang diajukan oleh
partai politik dengan membuat surat kepada pihak partai politik untuk diberi ruang
calon-calon dari Muslimat untuk diberi kesempatan dalam pemilu dengan nomor
urut kecil. Rangkap jabatan sendiri tidak diperbolehkan hanya dalam struktur
kepengurusan, karena dikhawatirkan ada kepentingan. Namun dalam segi
keterlibatan secara individu sebagai anggota masih diperbolehkan.
7. Lalu, apa pendapat Ibu mengenai keterlibatan Muslimat NU
dalam politik praktis ?
Seharusnya Muslimat NU sebagai institusi tidak boleh terlibat dengan politik
praktis. Ketua Umum tidak boleh melibatkan diri kemanan-mana, harus netral.
Kenapa banyak pimpinan wilayah dan cabang berpolitik, karena pimpinann
pusatnya juga begitu.
8. Adakah ketentuan-ketentuan Muslimat NU mengenai politik
praktis dalam AD/ART ?
Tidak ada, seperti halnya ada aturan tertulis dan tidak tertulis. Dalam aturan tidak
tertulis sendiri terdapat penerapan nilai khittah yang sebenarnya. Nilai khittah
yang sebenranya ialah tidak boleh membawa organisasi pada politik praktis, oleh
karena itu pembentukan PKB oleh Abdurahman Wahid itu pun menyalahi khittah
sebenarnya. Bahkan hingga kini Ketua Umum NU masih memiliki syahwat
politik yang tinggi, misal Hasyim Muzadi, Khofifah, Said Aqil, dan masih banyak
lagi.
9. Bagaimana tanggapan Ibu terhadap Ketua Umum PP Muslimat
NU yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa
Timur?
Kalau saya tidak jauh beda dengan sebelumnya, bahwa beliu masih punya sahwat
politik yang tinggi. Secara kebetulan dalam proses pencalonan beliau masih
memimpin Muslimat NU, jadi mau tidak mau Muslimat NU ikut terlibat di
dalamnya, seharusnya tidak boleh seperti itu.
10. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai keterlibatan Ketua PP
Muslimat NU sebagai juru bicara dalam kampanye politik
pasangan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala?
Menurut saya sebetulnya tidak boleh, karena kita tidak terlibat politik praktis. Bila
seperti itu berarti Muslimat NU saat ini sudah tidak lagi menggunakan nilai
khittah 1926. Bahkan NU nya pun sudah jauh dari nilai khittah, seperti kenyataan
bahwa KH. Said Aqil yang masih selalu berpihak pada PKB. Jadi seolah-olah
PKB bagian dari NU padahal sudah lain.
11. Setelah Ketua Umum PP Muslimat NU menjabat sebagai menteri
sosial, apa tanggapan Ibu melihat hal tersebut?
Ada positif dan negatifnya, beliau sebagai Ketua Umum Muslimat NU dalma
kmentrian dapat terlibat untuk mensejahterakan bangsa termasuk warga Muslimat
NU di dalamnya. Keterlibatan Muslimat NU dalam masalah yang berkaitan
dengan politik akan lebih menonjol, mau tidak mau akan terbawa. Seandainya
menteri sosial tidak berhasil dalam kinerjanya, maka pasti akan berdampak juga
pada Muslimat NU.
12. Apa harapan Ibu untuk Muslimat NU di periode saat ini dan
periode mendatang kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia?
Saya masih tetap beranggapan bahwa Muslimat NU jangan terlibat dalam politik
praktis. Sebab bagaimanapun juga yang seharusnya dijalankan oleh Muslimat NU
adalah politik kebangsaan yang berkaitan dengan mensejahterakan masyarakat,
mempersatukan masyarakat, mencegah terjadinya pecah belah di dalam bangsa
ini, saya inginnya Mulismat ke depan lebih banyak perhatian dalam hal yang
fundamental yaitau menjaga akhlak dan moral bangsa yaitu dengan dakwahnya
yang ditingkatkan. Kelompok ibu-ibu muslimat harus mempehatikan keluarga,
memberi panutan, dan meningkatkan kwalitas keluarga. Karena anak merupakan
produk keluarga.
Jum’at, 13 Maret 2015
BUTIR-BUTIR PERTANYAAN WAWANCARA
Narasumber : DR. Hj. Yani’ah Wardani, M.A.
Jabatan : Ketua VI PP Muslimat NU
1. Sejak kapan dan sudah berapa lama Ibu menjadi Pengurus PP
Muslimat NU ?
Saya sudah lima belas tahun duduk di Muslimat NU.
2. Posisi apa yang Ibu emban saat ini ?
Sebagai wakil ketua vii ibu khofifah, membidangi penelitian dan litbang.
3. Selama Ibu menjadi pengurus Muslimat NU, hal apa yang menarik
hingga saat ini ?
Banyak sekali di kepemimpinan ibu khofifah ini, bahkan dalam tiga periode
kepemimpinannya. Dalam hal ini yang membuat menarik adalah sosok Ibu
Khofifah yang memiliki banyak kesolehan sosial dan banyak menyapa umat.
Sebagai mantan menteri di peiode Gusdur, Ibu Khofifah banyak mengkaitkan
bidang-bidang di Muslimat dengan lembaga kementrian. Sehingga program-
program kementrian dapat tersalurkan kepada masyarakat di 33 provinsi di
Indonesia dengan baik. Banyak sekali program muslimat yang menolong rakyat
kecil yang notabene program tersebut juga didukung oleh lembaga kementrian
terkait. Jadi kesimpulannya, kementrian memiliki program dan Muslimat
memfasilitasi SDM.
4. Bagaimana pendapat Ibu mengenai PP Muslimat NU saat ini ?
Bagus sekali dibawah kepemimpinan Ibu Khofifah saat ini, bahkan kadang
program Muslimat sebagai Badan Otonom justru melebihi organisasi NU sendiri.
5. Jika dilihat dari ketentuan dasar AD/ART menyebutkan bahwa ketua
umum terpilih hanya boleh menduduki posisi dua periode berturut-
turut, sementara Ketua Umum PP Muslimat NU saat ini sudah
memasuki periode ke-3, bagaimana Ibu melihat hal tersebut ?
Keputusan kongres di Lampung saat itu memutuskan bahwa kempemimpinan
Muslimat tidak terbatas. Bahkan menurut KH. Said Aqil Ibu Khofifah dapat
menjabat semaunya, hal ini menjelaskan bahwa Ibu Khofifah memang belum ada
tandinganya. Walaupun memang tidak semuanya baik dalam kepemimpinan
seperti itu, karena dapat memutus generasi. Tapi apa boleh buat, karena memang
belum ada orang lain yang dapat mengungguli beliau terutama dari relasinya.
Orang yang dapat mengungguli kecerdasannya mungkin ada, namun dari segi
kesolehan sosialnya ini beliau belum ada tandingannya. Bahkan kemarin saja,
sepulang dari India beliau membawa satu koper besar untuk oleh-oleh pimpinna
Muslimat di wilayah-wilayah. Sebesar itu perhatian beliau kepada masyarakat.
Beliau banyak menyapa umat dan orang yang sederhana. Sangat baik sebagai
pemimpin dengan kriteria seperti itu.
6. Sebagai salah satu pengurus PP Muslimat NU, apakah arti khittah NU
1926 menurut Ibu ?
Menurut saya khittah 1926 itu sudah hanya dalam tulisan saja, kenyataanya sudah
tidak ada. Sekarang banyak yang orang-orang NU dan Banom-Banomnya yang
duduk di partai politik. Artinya bahwa khittah 1926 sudah tidak digubris lagi.
7. Sejauh mana pengaruh nilai khittah 1926 terhadap organisasi
Muslimat NU menurut Ibu ?
Banyak sekali orang-orang NU dan khusunya Muslimat NU yang duduk di partai
politik. namun pengaruh terhadap Muslimat dalam segi ini tidak ada. Sebaliknya,
keuntungan untuk Muslimat sendiri begitu besar. Karena orang-orang yang duduk
di parlemen selalu membantu muslimat secara berkala.
8. Apa pendapat Ibu mengenai keterlibatan Muslimat NU dalam politik
praktis?
Banyak dari NU dan Banomnya, bahkan di pemerintahan Jokowi sekarang ini
lebih dari 50% orang-orang NU ada di dalamnya. Mungkin karena sudah
dipercaya. Hanya tinggal meningkatkan kwalitasnya saja.
9. Sejauh yang Ibu ketahui, seperti apakah keterlibatan Muslimat NU di
politik praktis diatur dalam AD/ART ?
Sudah tidak diatur dalam AD/ART.
10. Bagaimana tanggapan Ibu terhadap Ketua Umum PP Muslimat NU
yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur
?
Saya merupakan salah satu tim suksesnya, dan itu bagus sekali. Karena sangat
banyak pertimbangan untuk Jawa Timur. Kalau saya yang terjun ke sana, Jawa
Timur itu ibarat Timur Tengah. Kenapa para Nabi di turunkan di Timur Tengah,
karena kondisi Timur Tengah yang justru tidak baik dan lebih banyak kejahatan.
Sama halnya dengan Jawa Timur, banyak Kiai-kiai besar di Jawa Timur tapi
tingkat kejahatan di Jawa Timur justru semakin tinggi. Maka bagus jika Ibu
Khofifah dapat memimpin Jawa Timur. Artinya bahwa ada Imam yang bagus
yang memang menegakkan syariat agama.
11. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai keterlibatan Ketua PP Muslimat
NU sebagai juru bicara dalam kampanye politik Presiden Joko
Widodo dan Jusuf Kala ?
Semula kenapa Muslimat itu berpihak kepada Jokowi bukan Prabowo, ialah
karena ada Jusuf Kalla. Jusuf Kalla itu Imam masjid di NU, bahkan sebagai orang
yang kaya Jusuf Kala banyak memberikan zakatnya kepada Muslimat. Setiap Idul
Fitri, bertruk-truk Zakat Jusuf Kala yang diberikan ke Muslimat dan disalurkan ke
seluruh wilayah di Indonesia. Sehingga seperti itu, karena melihat Jusuf Kala
maka Muslimat mendukung Jokowi.
12. Setelah Ketua Umum PP Muslimat NU menjabat sebagai menteri
sosial, apa tanggapan Ibu melihat hal tersebut ?
Sangat Baik, karena keberhasilan prestasi dia adalah keberhasilan Muslimat.
Kekayaan dia adalah kekayaan muslimat. Oleh karena itu, jika dia sejahtera maka
Muslimat juga sejahtera. Sampai saat ini banyak rapat-rapat di Muslimat yang
didanai oleh dana pribadi Ibu Khofifah sendiri, jiwa dan ruhnya itu ada di
Muslimat. Sehingga dia sangat mementingkan Muslimat. Jadi kita sangat
mendukung, apalagi Ibu Khofifah memang jiwanya adalah jiwa sosial jadi sangat
pas jika dia duduk dikementrian sosial.
13. Apa harapan Ibu untuk PP Muslimat NU di periode saat ini dan
periode mendatang kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia ?
Harapannya ya karena ibu-ibu yang duduk di PP Muslimat adalah ibu-ibu yang
bisa diperhitungkan dengan berlatarbelakang dosen, politisi, ekonom, dokter
bahkan doktor juga banyak, maka harapan kedepan jika akan berpolitik carilah
politik yang bersih, yang jauh dari kekisruhan politik saat ini. Selain itu, harapan
kepada ibu-ibu yang dari Muslimat yang sudah duduk di parlemen hendaknya
bawalah aspirasi keislaman dan moralitas bangsanya sebagai pejuang wanita.
Karena dari zaman dahulu kala sudah banyak ibu-ibu yang sudah duduk di
anggota legislatif dengan memperjuangkan hak wanita. Sebagai ibu bangsa
memang sangat bagus jika di perpolitikan.
Rabu, 11 Maret 2015
BUTIR-BUTIR PERTANYAAN WAWANCARA
Narasumber : Prof. Dr. Ismawati, M.Ag.
Jabatan : Ketua PW Muslimat NU Jawa Tengah
1. Sejak kapan dan sudah berapa lama Ibu menjabat sebagai Ketua PW
Muslimat NU Jawa Tengah ?
Menjabat sebagai ketua PW Jawa Tengah sudah 10 Tahun. Sebelumnya saya di
Kabupaten Kendal 15 Tahun.
2. Selama Ibu memimpin, kira-kira program apa saja yang menjadi
unggulan menurut Ibu ?
Ada 3 hal yang menjadi fokus utama dalam program Muslimat PW Jawa Tengah
yaitu Bidang Kesehatan, Pendidikan baik agama (dakwah) maupun umum, dan
Ekonomi.
3. Ketua Umum PP Muslimat NU sudah memasuki periode ke-3,
bagaimana sesungguhnya aturan main yang berlaku untuk hal
tersebut?
Memang telah disepakati kawan-kawan dari pengurus-pengurus PW yang
mewakili Kabupaten dan Kota bahwa Ibu Khofifah sebagai figur yang masih
perlu untuk dimunculkan kembali. Apalagi di AD/ART sudah tidak ada lagi batas
kepemimpinan.
4. Jika ditinjau dari AD/ART, ketentuannya adalah ketua umum dipilih
dan boleh menduduki jabatan selama dua periode berturut-turut,
bagaimana pandangan Ibu tentang hal tersebut ?
Seperti sebelumnya bahwa di AD/ART saat ini sudah tidak ada lagi batasan
periode kepemimpinan. Walaupun dulu ada batasan kepemimpinan 2 periode,
namun kongres terakhir teman-teman baik pusat, wilayah maupun cabang tidak
sepakat dengan adanya batasan tersebut. Oleh karena itu, di kongres terakhir
aturan tersebut dihapuskan. Karena disamping tingkat pusat masih dibutuhkan
figur sentral seperti Ibu Khofifah, ternyata di kabupaten dan kota juga banyak
yang tidak memungkinkan dua kali periode dapat selesai. Maka atas dasar seperti
itu, usulan dari bawahlah yang menginginkan tidak ada batasan.
5. Sebagai Ketua PW Muslimat NU Jawa Tengah, apakah arti khittah
NU 1926 menurut Ibu ?
Secara kelembagaan memang tidak ada di satu lokus politik, walaupun orang-
orangnya bisa saja andil dalam politik. Nilai khittah yang sebenarnya adalah
mengingatkan kembali bahwa jamiyah NU beserta Banom-banomnya sebagai
lembaga jamiyah keagamaan bukan politik.
6. Sejauh mana pengaruh nilai khittah 1926 terhadap organisasi
Muslimat NU menurut Ibu ?
Memang implementasinya sudah banyak ditinggalkan orang-orang Muslimat,
namun orang-orang sekarang ini sudah mulai cerdas. Sudah mulai bisa
membedakan mana yang berangkat dari lembaga dan mana yang berangkat secara
perseorangan.
7. Apa pendapat Ibu mengenai keterlibatan Muslimat NU dalam politik
praktis?
Sikap sami’na wa ato’na masih tetap melekat dalam muslimat NU. Politik praktis
memang sekarang menjadi pilihan, namun dari Muslimat sendiri masih
memandang siapa yang memimpin dan akan dibawa kemana kepemimpinan
tersebut.
8. Sejauh ini seperti apakah keterlibatan Muslimat NU dengan politik
praktis diatur dalam AD/ART ?
Diatur bahwa ketua tidak boleh dari partai politik, ketua yang ikut dalam partai
politik hanya boleh dalam tingkat anggota. Artinya bahwa tidak boleh ada
rangkap jabatan dalam Muslimat.
9. Bagaimana tanggapan Ibu terhadap Ketua Umum PP Muslimat NU
yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur
?
Ya faktanyakan tidak terpilih. Jika saja kemarin terpilih menjadi Gubernur
mungkin akan lain ceritanya. Karena tidak mungkin Ketua PP Muslimat tinggal di
Jawa Timur. Pada dasarnya Allah sudah mengatur sedemikian rupa.
10. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai keterlibatan Ketua PP Muslimat
NU sebagai juru bicara dalam kampanye politik Presiden Joko
Widodo dan Jusuf Kala ?
Tidak apa-apa, justru bagus Khofifah sebagai orang Muslimat yang berhadapan
langsung dengan masyarakat mampu menyalurkan aspirasi masyarakat kepada
calon presiden dan wakil presiden yang sekarang terpilih.
11. Setelah Ketua Umum PP Muslimat NU menjabat sebagai menteri
sosial, apa tanggapan Ibu melihat hal tersebut ?
Saya menyaksikan langsung bagaimana Ibu Khofifah mampu menjalani kedua-
duanya. Dalam satu hari beliau mendatangi lebih dari 9 tempat pertemuan
kementrian sosial, namun disisi itu setiap beliau singgah tidak pernah lupa untuk
mampir ke cabang Muslimat terdekat. Artinya bahwa Ibu khofifah memang orang
yang luar biasa dan layak untuk diperhitungkan.
12. Apa harapan Ibu untuk PP Muslimat NU di periode saat ini dan
periode mendatang kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia ?
Saya berharap Muslimat kedepan memandang politik bukan hanya sekedar
kekuasaan, namun adalah bagaimana mengambil manfaatnya untuk
mensejahterakan rakyat dan menomersatukan rakyat.
Senin, 23 Maret 2015
BUTIR-BUTIR PERTANYAAN WAWANCARA
Narasumber : Dra. Hj. Umi Azizah
Jabatan : Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Tegal
1. Sejak kapan dan sudah berapa lama Ibu menjabat sebagai Ketua
Umum Muslimat NU Cabang Kabupaten Tegal ?
Menjabat sebagai Ketua PC Kab. Tegal pada ahun 2005 sampai sekarang.
2. Selama Ibu memimpin, kira-kira program apa saja yang menjadi
unggulan?
Program utama yang konsisten dijalankan adalah bagaimana membangun
Muslimat NU menjadi sebuah organisasi yang mandiri. Artinya bahwa Muslimat
dapat mencukupi sendiri kebutuhan hariannya, sehingga dapat menemukan
kemerdekaan dalam sebuah sikap. Karena dari kemandirian ini yg akan membawa
kenyamanan dalam berorganisasi. Cara untuk mencapai kemandirian tersebut
ialah dengan penguatan konsolidasi internal dan membangun serta
memberdayakan jejaring yang ada. Dalam Muslimat NU banyak perangkat
Yayaysan dengan pengurus di dalamnya yang harus kuat sehingga mampu bekerja
dengan baik. Dari sikap ini akhirnya PC Muslimat Kab. Tegal telah memiliki
ribuan kelompok majlis ta’lim, ratusan sekolah dan lain-lain.
3. Sebagai Ketua Muslimat NU Cabang Kab. Tegal, apakah arti khittah
NU 1926 menurut Ibu ?
Khittah 1926 merupakan keputusan organisasi untuk memisahkan diri dengan
partai politik dan kembali berkiprah sebagai organisasi sosial keagaam melalui
dakwah dan program sosial lainnya.
4. Sejauh mana pengaruh nilai khittah 1926 terhadap organisasi yang
Ibu pimpin saat ini ?
Pengaruhnya sangat baik, memberi kontrol terhadap organisasi.
5. Apa pendapat Ibu mengenai keterlibatan Muslimat NU dalam politik
praktis?
Secara kelembagaan Muslimat NU tidak terlibat dalam politik, hanya saja orang-
orang dalam Muslimat NU harus memiliki pilihan politik sebagai warga yang
bernegara.
6. Adakah ketentuan yang membolehkan Ibu sebagai Ketua Cabang
Kab. Tegal terjun dalam arena politik tersebut ?
Seacra kelembagaan kami harus netral dalam politik, akan tetapi karena kita hidup
dalam negara yang segala ssuatunya harus melalui jalur politik maka sebagai
masyarakat demokrasi justru diharuskan untuk memiliki pilihan politik.
7. Setelah Ibu menjabat sebagai wakil Bupati Tegal, apakah posisi ini
berpengaruh terhadap tanggung jawab Ibu dalam Muslimat NU ?
Banyak pengaruhnya, khusunya dalam merealisasikam program pemerintah.
Program-program pemerintah lebih cepat tersalurkan kepada masyarakat melalui
jaringan Muslimat NU yang lebih dekat dengan masyarakat. Apalahi orang-orang
yang sbeleumnya belum mengenal muslimat NU menjadi ingin tahu yang
akhirnya ikut dalam muslimat NU.
8. Bagaimana cara Ibu membagi waktu dalam menjalankan dua
tanggung jawab sekaligus ?
Kegiatan-kegiatan Muslimat kebanyakan dilaksanakan di luar jam kerja saya, bisa
malam atau sore setelah kerja. Bahkan hari libur saya yaitu sabtu dan ahad saya
perioritaskan untuk kegiatan Muslimat.
9. Bagaimana pandangan Ibu melihat posisi Ketua Umum PP Muslimat
NU yang sudah memasuki periode ke-3 ?
Idealnya termasuk di cabang pun hanya dua periode, namun dengan adanya situasi
dan kondisi pada saat ini serta melihat Ibu Khofifah yang masih muda dan
dibuthkan oleh Muslimat serta beliau mampu menempatkan diri di Muslimat.
Meskipun dalam hal regenerasi kurang baik, namun melihat tantangan saat itu dan
saat ini masih membutuhkan sosok Khofifah sehingga saya tidak mampu
mempertahankan argumen. Apalagi proses pengkaderan organisasi yang non-
profit menjadi tantangan sendiri untuk menemukan bibit-bibit pemimpin yang
tepat.
10. Bagaimana tanggapan Ibu terhadap Ketua Umum PP Muslimat NU
yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur
?
Itu merupakan ekspresi politik individu ibu Khofifah sebagai warga negara
11. Apa tanggapan Ibu mengenai keterlibatan Ketua PP Muslimat NU
sebagai juru bicara dalam kampanye politik Presiden Joko Widodo?
Tidak masalah, sebatas itu berangkat melalui perseorangan sebagai Khofifah.
Bukan sebagai Ketua Muslimat.
12. Setelah Ketua Umum PP Muslimat NU menjabat sebagai menteri
sosial, apa tanggapan Ibu melihat hal tersebut ?
Bagus, artinya bahwa orang-orang dalam Muslimat NU mampu memperjuangkan
haknya dalam politik, asalkan tidak membawa organisasi dalam politik.
13. Apa harapan Ibu untuk PP Muslimat NU di periode saat ini dan
periode mendatang kaitannya dengan perpolitikan di Indonesia ?
Jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki harus didukung dengan
kebijakan pro perempuan. Kebijakan ini sulit diwujudkan ketika keterwakilan
perempuan sedikit. Oleh karena itu, selagi bukan atas nama organisasi perempuan
khususnya dalam Muslimat harus berjuang dalam mewujudkan kebijakan
perempuan.
Senin, 16 Maret 2015
Wawancara dengan Ketua Umum PP Muslimat NU Periode tahun 1995 – 2000
Hj. Aisyah Hamid Baidlowi di Kantor Yayasan Sosial Kebayoran Baru – Jakarta
Selatan.
Wawancara dengan Ketua PW Jawa Tengah -Prof. Dr. Ismawati, M. Ag- di Lab.
Fak. Dakwah UIN Wali Songo Semarang.
Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU DR. Yani’ah Wardani, M. A di
Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wawancara dengan Ketua PC Muslimat NU Kab. Tegal – Jawa Tengah -Dra. Umi
Azizah- yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Tegal, di Kator
Pemda Kab.Tegal.
Serah terima Ketua Periodik Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU) di
kediaman Ibu Ida Salahuddin Wahid.
Foto bersama pengurus YKM NU Pusat.