PERANAN NAHDLATUL ULAMA

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Ada kekuatan-kekuatan besar dalam sejarah yang tidak bisa di hapus oleh kekuatan manapun dan oleh peradaban apapun dalam kehidupan suatu umat, suatu bangsa dan golongan. Kekuatan ini merupakan pusat grafitasi sejarah yang menggerakkan dinamika manusia, bukan saja karena eksistensinya yang terikat oleh zaman, ruang dan waktu, tetapi juga karena mereka lahir bukan menghamba dan mengabdi kepada sejarah. Mereka lahir karena ada misi meluruskan sejarah manusia, merubah tragedi dan bencana menjadi rahmat yang gemilang, menyalakan api yang terang benderang ketika dunia di selimuti jubah hitam, bahkan ketika mega kelabu berarak menjadi ratapan, mereka sudah menyibakkannya untuk suatu cahaya yang tak pernah berhenti. Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih bukan karena kehendak sejarah, bahkan bukan karena kerinduan dan kedahagaan akan kebenaran yang telah dipegang zaman kedzaliman. Allah memilihnya bukan pula karena kemauan-kemauan manusia, bukan karena prediksi-prediksi alamiyah dan rekayasa peradaban, mereka lahir bukan oleh legitimasi kebudayaan, bahkan, oleh rekayasa politik yang menyesatkan. Allah memilih mereka karena Allah sendiri yang berkehendak, menurt cakrawala mata pandang dan Amanah-nya.1 Merekalah para Rosul, para Nabi, para Wali, dan para Ulama. Ketika para rosul dan nabi berlalu, tugas-tugas besar dalam sejarah dunia dan kemanusiaan ini di serahkan sepenuhnya kepada para ulama. Dan karena itulah, tak ada pilihan lain bagi para rosul dan anbiya itu menuju waktu yang berlalu.1 Muhammad Luqman Hakim, NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat (Yayasan Pondok PETA, Tulungagung, 1994), hal: 1-2

Terlintas kembali dalam ingatan kita bahwa ketika Indonesia Merdeka adalah merupakan babak baru saat itu bagi bangsa indonesia setelah bertahun-tahun terjajah, namun bukan berarti perjuangan telah tuntas, bangsa Indonesia saat itu harus menentukan kemana arah dan tujuan bangsa ini? Mau di bawa kemana negara ini? Apakah menjadi sekuler ataukah menjadi negara islam. Ada nuansa sejarah yang tak bisa di lupakan di negeri ini, bahawa sejak awal para ulama memerankan diri dalam konstelasi bela negara secara tidak tanggung-tanggung. Hal demikian bukan semata-mata karena kebutuhan sosio politis, bahwa indonesia sebenarnya identik dengan umat islam namun karena kesadaran sejarah akan kelangsungan ajaran islam itulah maka para ulama mambangun struktur institusional yang besar lewat organisasi atau jamiyah keagamaan.2 Jurang pemisah dalam masyarakat Indonesia antara pendukung Negara sekular atau netral-agama dan Negara islam tampak sudah menganga lebar pada saat jepang menyerah pada bulan agustus 1945. Bukan tujuan untuk mengutarakan semua gagasan besar dalam peradaban sengit mengenai bentuk Negara sejak tahun 1920-an. Namun, perlu di catat persamaan pendapat yang terdapat di kalangan tokoh nasionalis Indonesia, dari soekarno hingga Moh. Hatta, dari suparno hingga Ki Hadjar Dewantara: lebih mementingkan kebersamaan kolektivisme, prinsip kekeluargaan dan gotong-royong ketimbang individualisme, intelektualisme, materialisme dan demokrasi parlementer model barat serta keyakinan bahwa kebijaksanaan tradisional indonesai bisa di gunakan sebagai penunjuk jalan untuk memilih hal-hal baik yang bisa di serap dari dunia barat.3 Sampai terjadi perselisihan panjang dan sengit terutama di antara kalangan kaum nasionalis (Kebangsan) dan kalangan islam yang ingin mendirikan islam di Indonesia. Tentu saja2 Ibid, hal: 31

3 Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara Mencari Isi Bentuk dan Makna, (Yogyakarta, Lkis 1999),hal: 30

perdebatan ini menjadi keretakan dan perpecahan di tubuh bangsa ini. Walaupun di Indonesia mayoritas penduduknya muslim, tetapi hal itu bukan menjadi dasar, bagai mana dengan

sekelompok masyarakat yang non islam apakah bisa menerima indonesia menjadi negara islam, mungkin hal ini menjadi pertanyaan bagi bangsa Indonesai. Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologi antara Islam dan Marxisme-Leninisme dapat di lihat pada fungsi kemasyarakatn masing-masing. Dalam kerangka ini, MarxismeLeninisme adalah sebuah paham sekuler yang berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu. Menurut ajaran formal islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus di selaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah. Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dinia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan islam, seperti Sri-langka, Filipina. bukan karena adanya orangorang yang berpaham Marxis-Leninis. karena memang mereka ada di mana-mana.4 Dalam hubungan dengan negara, islam memiliki tiga pandangan utama, pertama,

adanya pandangan untuk mendirikan sebuah negara yang khusus islam, seperti di Iran, Arab Saudi, dan Pakistan. Kedua, Pandangan bahwa islam adalah agama resmi Negara, namun negaranya sendiri bukan negara Islam, Seperti Malaysia. Dan Ketiga, antara negara dan agama tidak di kaitkan secara konstitusional, namun hak melaksanakan syariah di benarkan oleh negara, seperti indonesia. Kenyataan seperti itu mengharus kita untuk menerima kenyataan4Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Jakarta, Grmedia Widiasarana Indonesia, 1999), hal: 136-138

sejarah bahwa dimayoritas kawasan dunia islam hanyalah bentuk hubungan ketiga yang dapat di lestarikan, yaitu negara menjamin hak kaum muslimin untuk melaksanakan syariah agama mereka, walaupun negara itu tidak mencantumkan islam sebagai agama resmi. dalam kaitan inilah harus di baca penegasan Presiden Soeharto kepada sesepuh NU bahwa Pancasila menjamin hak umat beragama islam untuk melaksanakn syariah agamanya tersebut. Pancasila tidak berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari islam atau agama lain, karena ia hanya menjamin hak pemeluk untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.5 Oleh karena itu penerimaan pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, dalam arti mendudukkan agama dan pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus dipertentangkan. Antara pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan aqidah islam menurut faham ahlus sunnah waljamaah sebagai landasan keimanan, tidak dapat saling dipertrentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas pancasila karena kepercayaannya kepada tuhan yang maha esa (dan dengan demikian mengambil salah satu dasar dalam pancasila), sedangkan beraqidah adalah tindakan mengkongkritkan pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.6 Meskipun pada ahirnya Negara Indonesia tidak menjadi Negara islam dan bukan juga sekuler, tetapi Indonesia menjadi Negara yang mempunyai asas ideology pancasila yang berlandaskan islam yang menguntungkan semua pihak dan itu merupakan suatu keberhasilan. Keberhasilan itu tentu saja tidak terlepas dari perjuangan para pejuang yang menginginkan Negara ini tetap satu di atas banyaknya perbedaan. Salah satunya adalah islam sebagai agama yang menghendaki persatuan dan kesatuan serta menghargai perbedaan, dan5 Ibid, hal 91-92

6 Einar Martahan Sitompul, M. Th, NU dan Pancasila, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal: 12

mampu menyisihkan cita-cita keagamaan demi mencapai kemaslahatan bersama. Islam melalui salah satu wadah organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU) telah mampu memberikan kontribusi yang sulit di timbang dengan nuansa fisik, karena kontribusi para Ulama dan Kiyai dalam membimbing spiritualitas kebangsaan, melalui motifasi keagamaan telah sampai pada batas-batas tertentu, yang tak di miliki oleh Negara islam lainnya. Bahwa NU telah memberikan inspirasi setiap even paling penting dan sekaligus ketika Negara dalam keadaan kritis, untuk munculnya suatu perubahan dan stabilitas. Di samping itu juga Nahdlatu Ulama telah membuktikan dirinya telah mampu meredam keinginan Umat Islam untuk mendirikan Negara islam dan mempunyai andil besar dalam perumusan Ideologi Negara Indonesia.7 Kalau di telusuri dengan tekun, dapatlah di buat garis linear dari sikap NU tehadap berbagai aspek pemerintahan dan Negara kita. Sebagaimana dikemukakan diatas. Pada tahun 1945 Nahdlatul Ulama turut menerima dan merumuskan pancasila dan Undang-undang dasar 1945 (Melalui kehadiran KH. A. Wahid Hasim, KH. Mansyur dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan.8 Begitu besarnya perana Nahdlatul Ulama dalam sejarah bangsa Indonesia, dengan semangat perjuangannya membela bangsa indonesia dari segala bentuk penjajahan, terutama ketika masa-masa awal kemerdekaan Indonesia untuk menjadikan Negara islam, walaupun itu tidak terlaksana. Tetapi dengan semangat keagamaan dan patriotismenya Nahdlatul Ulama mampu menyelaraskan kepentingan keagamaan dan negaranya. Meskipun masih banyak anggapan bahwa Nahdlatul Ulama yang sering di kelompokkan7 Luqman Hakim, Op.Cit. NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat hal: 54 8 Ibid, hal:

sebagai kaum tradisionalis tapi bukan berarti Nahdlatul Ulama tidak membuka diri terhadap modernisasi dan perkembangan zaman. Tidak juga berarti Nahdlatul Ulama tidak peka terhadap permasalahan yang melanda negeri ini. Setidaknya anggapan negatif terhadap NU tidak lagi merebak secara berlebihan terutama mengenai kontribusinya terhadap bangsa ini. Sejarah membuktikan bahwa NU mampu turut menentukan nasib bangsa ini dengan memberikan peranan besar pada saat perumusan ideologi Negara. Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan oleh NU tak bisa dilepaskan dengan upayaupaya mengikuti program-program modernisasi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. hal ini sudah menjadi komitmen yang mengemuka dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur, sebagai seorang tokoh NU progresif pada tahun 1980, dengan menyatakan apa yang sangat dibutuhkan adalah upaya menciptakan rasa menjadi sebuah bangsa dan mengtasi persoalan-persoalan yang sangat fundamental seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.9 Cara berpikir NU untuk mempertahankan

tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalngan Nahdliyyin adalah mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik inilah yang menjadi pondasi NU tetap mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu yang baru.10 Oleh karena itulah masalah mengenai peranan NU dalam perumusan ideologi Negara ini sangat penting dalam kaca mata penulis dan menjadi prioritas utama dalam penelitian ini. Karena sepatutnya bahwa kita tidak bisa melupakan sejarah yang memberikan kita lemah dalam setiap peristiwanya, terutama dalam hal perjuangan para pahlawan bangsa seperti9 10Laode Ida, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta, Erlangga 2004), hal: 64

Khamami Zada dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta, Kompas, 2010), hal: 131

Nahdlatul Ulama dan para pejuang lainnya. Untuk itulah mengapa kemudian penulis merasa perlu mengabadikan peranan Nahdlatul Ulama terutama dalam perumusan ideologi negara ini dengan merefleksikannya kedalam karya ilmiyah yang berupa skripsi dengan judul Peranan Nahdlatul Ulama dalam Perumusan ideology Negara Indonesia 1945. B. Perumusan Masalah Dengan adanya latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama dan perkembangannya di Indoneisa? 2. Bagaimana kondisi Bangsa Indonesia pada tahun 1945? 3. Bagaimana peranan Nahdlatul Ulama dalam perumusan Ideologi Negara Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun dari beberapa rumusan masalah yang ada terdapat tujuan yang akan di capai di antaranya yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah lahirnya Nahdlatul ulama dan perkembangannya di Indonesia. 2. 3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada tahun 1945. Untuk mengetahui bagaimana peranan Nahdlatul Ulama dalam perumusan ideologi Negara Indonesia. D. Kerangka Pemikiran

Nahdlatul Ulama sejak berdirinya tahun 1926 telah memberikan banyak pengaruh besar dalam dunia islam di Indonesia, bukan itu saja NU yang merupakan simbol dari kebangkitan ulama yang secara otomatis bernilai keagaman, juga mampu memberikan nafas kehidupan dalam membangun bangsa Indonesia menjadi Negara yang memiliki ideologi nasionalis namun juga memakai agama islam sebagai landasan. Disamping itu juga sejak enam puluh delapan tahun lalu, NU di dirikan, kehidupan umat islam di Indonesia telah terbangunkan oleh kultur yang berlandaskan ajaran ahlisunnah WalJamaah. Bangunan besar umat islam ini, termasuk bangunan kebangsaan Indonesia tentu tidak bisa di lepaskan sama sekali dari peran para ulama itu sendiri. Tetapi lambat laun, ketika kemajuan demi kemajuan di petik, kemerdekaan di raih oleh bangsa Indonesia.11 Begitu pentingnya peranan Nahdlatul Ulama dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, sehingga penelitian-penelitian dan study-study mengenai NU banyak di lakukan, tidak hanya oleh kaum intelektual di Indonesia saja melainkan juga oleh kaum intelektual mancanegara. Di Indonesia sendiri salah satu study atau penelitian tentang NU pernah di lakukan oleh Einar Martahan Sitompul. M. Th. Seorang kristiani namun mampu secara gemilang mengungkap sisi positif NU sebagai organisasi keagamaan yang juga peka terhadap nasionalisme. Dalam karyanya yang berjudul NU Pancasila. Einar Martahan Sitompul memberikan pandangan bahwa NU berdirinya di pandang sebagai kaitan yang erat dengan perkembangan islam di nusantara, ia juga berpendapat bahwa NU bersifat fleksibel tetapi tidak terlepas dari sikap keagamaan. Ini terlihat ketika NU secara tepat memutuskan bahwa pancasila dapat di terima sebagai ideologi Negara meskipun terjadi pergolakan yang kontroversial di tubuh bangsa11 Muhammad Luqman Hakim, NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, (Tulungagung, Yayasan Pondok PETA, 1994), hal: 20

Indonesia dalam menanggapi pancasila. Namun dalam studynya mengenai masalah NU, Einar Martahan Sitompul, meski memakai beberapa pendekatan sejarah tapi ia tidak menjadikan studynya sebagai uraian sejarah, ia lebih condong kepada uraian bidang keagamaan dan politiknya saja. Oleh karena itu penulis dalam kesempatan ini ingin melakukan penelitian (study) mengenai peranan NU dalam perumusan Ideologi Negara Indonesia 1945 dengan mengsignifikasikan pendidikan ini sebagai uraian sejarah seutuhnya dengan menggunakan metode penelitian sejarah yaitu tahap Heuristik, kritik, interprestasi dan historiografi. Dengan demikian dapatlah di ajukan Hipotesa-hipotesa mengenai Peranan NU, dalam perumusan Ideologi Negara Indonesia ini dengan beberapa hipotesa yaitu: 1. Nahdlatul Ulama (NU) berdirinya sebagai organisasi keagamaan atau politik juga dipandang sebagai reaksi para ulama yang ingin mengadakan kebangkitan bagi umat islam mempertahankan kepentingannya di bidang keagamaan dan memperjuangkan nasib bangsa yang hidup dalam penjajahan tanpa kemerdekan. Oleh sebab itu dengan alasan ini perlu juga kiranya kita mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. 2. Sikap NU yang sangat fleksibel dalam menghadapi pergolakan-pergolakan di Indonesia yang menunjukkan kesanggupan mereka untuk mengilhami perlawanan kepada penjajah belanda yang selama ini menjajah Negara Indonesia. 3. Peranan NU yang sangat besar dalam perumusan ideologi Negara Indonesia memberikan implikasi positif terhadap tegaknya Negara Indonesia yang memiliki asas pancasila sebagai ideologi Negara yang isinya:

a. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara republik Indonesia bukan agama, dan tidak dapat menggantikan kedudukan agama, dan tidak dapat di gunakan untuk menggantikan kedudukan agama. b. Sila ketuhanan yang maha esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia, menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam. c. Bagi nahdlatul Ulama, islam adalah aqidah dan syariah meliputi aspek hubungan manusia dengan allah dan hubungan antar manusia. d. Penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan wujud upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. e. Konsekuensi dari sikap itu , Nahdlatul Ulama wajib mengamankan pengertian yang benar tentang pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.12 E. Langkah-langkah Penelitian 1. Tahapan Heuristik Heuristik berasal dari bahasa Yunani Heurishein yaitu memeliki arti memperoleh, heuristic disini merupakan suatu teknik seni yaitu suatu teknik dan seni umtuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Oleh karena itu dalam tahap penelitian ini penulis akan menggunakan study pustaka (Library Research) yaitu mencari sumber dari berbagai buku yang berkaitan dengan topic penelitian yang penulis dapatkan dari beberapa perpustakaan dan koleksi pribadi. Kemudian sumber-sumber yang di dapat ini penulis mengklasifikasikan kedalam dua12 Khamami Zada dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika dan Politik Kenegaraan (Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal: 80

bentuk yaitu sumber perimer dan sumber sekunder. Pertama: sumber perimer ini penulis gunakan referensi utama dalam proses penelitian ini, terdapat tiga buah buku yang dapat digunakan pada sumber perimer ini yaitu: Muhammad Luqman Hakim, dalam NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Tulungagung: Yayasan Pondok Peta, 1994. Abdurrahman Wahid, dalam Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999. Dan Einar Martahan Sitompul, M.Th., dalam NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Kedua: Sumber skunder yaitu sebagai sumber referensi pembantu pada referensi utama yaitu berupa buku-buku diantaranya: Laode Ida, dalam NU Muda Kaum Progresif Dan

Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004. Andree Feillard, dalam NU Vis--vis Negara Pencarian isi Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKIS, 1999. Dan Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, adalam Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010. F. Tahapan Kritik Tahapan Kritik adalah tahapan di mana penulis melakukan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Dan pada tahapan ini penulis menggunakan kritik intern yaitu suatu tahap pengujian keabsahan tentang kesahihan sumber (Kredibilitas) G. Tahapan Interpretasi Dalam tahapan ini penulis mencoba untuk menafsirkan data dan fakta yang sudah di dapat untuk merekontruksi ulang dan penulis mengadakan analisis terhadap sumber yang di dapat agar menjadi saling keterkaitan.

H. Tahapan Historiografi Tahapan ini merupakan tahapan ahir penelitian. Yaitu penulis menuangkan hasil penelitian ini secara imajinatif kedalam sebuah penulisan sejarah dengan menempuh proses penelitian sejarah dan menggunakan metode sejarah. I. Sistematika Pembahasan Dalam skripsi ini penulis akan menerapkan sistematika pembahasan yang termuat kedalam beberapa bab diantaranya: Bab I. Pendahuluan Membahas: Latar BelakangMasalah. Perumusan Masalah. Tujuan Penelitian. Kerangka Pemikiran. Langkah-langkah Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Bab II. Sejarah Lahirnya NU dan Perkembangannya di Indonesia meliputi: Latar belakang Lahirnya NU. NU Sebagai Organisasi Keagamaan dan perkembangan NU di Bidang Politik. Bab III. Kondisi Bangsa Indonesia Tahun 1945 Meliputi: Masa Pendudukan Belanda. Persiapan Kemerdekaan. Bab IV. Peranan NU Dalam Perumusan Ideologi Negara Indonesia Meliputi: Piagam Jakarta dan Perumusan PancasilaTahun 1945. Dasar-dasar Pemikiran NU dalam Menerima Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Langkah-langkah NU Sebelum Kemerdekaan.Penerimaan NU terhadap Pancasila. Bab V. Penutup Meliputi: Kesimpulan. Dan Saran-saran.

BAB II SEJARAH LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

A. Latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama Selama abad ke IX Indonesia mengalami efek pengaruh barat yang membawa akibat ganda sekaligus yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk1. Pemerintah colonial belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan politik kerja paksa untuk menenam tanam paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para pemodal besar untuk mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil produksi industry belanda ke Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk diekspor hasilnya keluar negeri. Tentu saja kebijaksanaan politik itu tidak bisa tidak memerlukan mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah bsar elite priyayi dan pamong

praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan alinasi antara kelas priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian diusul liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar. M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan islam Di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal 38 Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosia yang hampir merata di seluruh Indonesia.2 Ibid hal 38 peang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (18731912), perang Paderi (1821-1838), serta pemberontakan petani banten (1888), merupakan sebagian dari fenomena diatas.3 Ibid hal 39 walaupun pemberontakan pada umumnya pembrontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan melalui oprasi militer pemerintah colonial, namun benih ketidakpuasan para petani it uterus tumbuh dengan suburnya dan mempengaruhi rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah menjadi sikap anti pemerintah asing yang kafir setelah mereka memperoleh legitimasi kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut menjadi satu sudah tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan pemerintah colonial. Pada umumnya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak mungkin menerima kehadiran penjajah belanda yang langsung atau tidak langsung membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, disamping kenyataan yang mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan para petani ummat mereka sendiri.4 ibid hal 39 pada sisi lain para petani sendiri memerlukan para ulama itu sebagai tumpuan harapan menghadapi kesulitan-kesulitan

mereka terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan mereka. Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk-bentuk sekolah dan perkumpulan tarekat dibanyak tempat di seluruh jawa dan luar jawa.5 Ibid hal39 bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para petani memperoleh wadah penyaluran aktualisasi diri bersama dengan menjamurnya lembagalembaga sosial keagamaan dibawah kepemimpinan para ulama. Menginjak tahun-tahun pertama abad ini belanda kemudian mengubah kebijaksanaan politik dengan menerapkanpolitik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng dan member kemakmuran rakyat.6 Ibid hal 40 untuk itu maka dilakukan pembaruan sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, perbaikan perasaan dan fasilitas perekonomian dan member otonomi daerah kepada pribumi.7 ibid hal 40 sayangnya kebijaksanaan politik etis itu tidak di sertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan tradisional yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap menjalankan kekuasaan otoriter memaksakan kehendaknya, akibatnya lembaga-lembaga kekuasaan itu mengalami erosi yang pada ahirnya menimbulkan kegelisahan social yang berkepanjangan.8 Ibid hal 40 Tidak seluruh proses modernisasi yang dijalankan pemerintah dengan kebijaksanaan politik etis itu membawa hasil negatif Bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang mengenyam pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tumbuh menjadi pemimpin rakyat. Tumbuhlahlah di awal abad ini sejumlah perhimpunan social pendidikan, yang walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi

gerakan kebangkitan nasional.9Ibid hal 40 Dalam konteks islam peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan pembaruan di mesir, turki dan india. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar belakang yang berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan . kesadaran sosial politik yang di ilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan barat yang telah maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas umat islam dinegeri meraka. Sementara dimesir dan sebagian timur tengah lainnya muncul gagasan Pan islamisme yang dipelopori Jamal Al-Din Al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia islam, di turki muncul gagasan nasionalisme yang meruntuhkan Khalifah Usmani.10Ibid hal 40 Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh sambutan luar biasa di negerinegeri muslim, termasuk turki pada mulanya, namun lambat laun surut ditengah gelombang gerakan nasionalisme negeri-negeri muslim untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka dari penjajahan barat sepanjang paruh pertama abad ke XX. Pada waktu itu di Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh organisasi sosial kebangsaan maupun social keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat seperti seperti antara lain Budi Utomo11 dan SarIkat Islam12 yang kemudian disusul Muhammadiyah.13 Peristwa ini membangkitkan obsesi sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut pelajaran di Makkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas merka kemudian mendirikan cabang SI di Makkah.14 belum sempat mereka mengembangkan organisasi tersebut karena mereka segera segera pulang ke Indonesia setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin tidak berhenti setelah pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian dari

mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan dakwah yang di beri nama Nahdlatul Watan (kebangkitan tanah air) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan (pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursusu-kursus praktis

kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.15 selanjutnya pada tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul Afkar (Representasi gagasan-gagasan) di Surabaya yang bergerak dalam kegiatan yang sama dengan pendahulunya tetapi lebih menekankan aspek sosialnya.16 Kedua organisasi itu dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas Mansyur dan dibantu oleh beberapa orang lain. Keduanya pernah bertemu di mekkah ketika belajar sama-sama di sana. Abdul Wahab dan Mas Mansyur mempunyai pengalaman belajar dipesantren, Mas Mansyur menghargai Wahab Hasbullah sebagai senior bahkan beliau sebagai tempat bertanya soal-soal pelajaran yang dia terima, sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mas Mansyur sebagai pelajar yang cerdas dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin umat.17 setelah akhirnya keduanya bertemu kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan belajar di luar negeri, mereka pun kemudian giat dalam aktifitas kemasyarakatan dan pendidikan. Salah satu hasil rintisan mereka adalah dua organisasi yang berdiri di Surabaya. Nahdlatul Watan dirintis tahun tahun 1914 mendapat pengkuan badan hokum tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seoarang arsitek bernama soejoto.18 menyadari gerakan social pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit mereka melibatkan seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum muslimin bernama H. Abdul Qahar berasal dari kawatan , perkampungan di sebelah selatan tugu pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian di tunjuk sebagai direktur yang

segera memelopori pembangunan gedung sekolah. Mas Mansyur di percaya sebagai guru kepala, sementara Abdul Wahab sendiri sebagai guru. Kegiatan yang dilakukan Nahdlatul Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal belaka melainkan juga kursus-kursus kepemudaan, organisasi, Dakwah (Ketika itu menggunakan istilah Nadwah berarti pertemuan pengajian untuk menyeru kebenaran), dan perjuangan. Kyai Mas Mansyur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai Abdul Wahab di bagian kursusnya. Sejumlah Kyai muda turut serta dalam kursus itu yang kelak kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi NU19. Adapun alasan komite hijaz itu muncul ialah dimana penguasa baru hijaz

mengemukakan rencananya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional guna membahas pengaturan Mekkah dan Madinah. Adanya rencana baru ini menimbulkan kesibukan khusus para pemimpin Indonesia. Siding khilafah berlangsung intensif dan kongres Al-Islam meningkatkan frekuensinya setelah kongres 1924 yang membicarakan tentang khilafah. Maka kongres berikutnya agustus 1925, Februari 1926, September 1926, dan desember 1926. Kemenangan Ibn Saud dan rencananya untuk menyelenggarakan pertemuan mekkah menimbulkan polirisasi orientasi baru islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan itu akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut ajaran mazhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi.20 Pengalaman traumatis masa lalu mereka yang dipelopori Abdul Wahab amat keras menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka, maka kalangan pesantren cukup khawatir akan tradisi keagamaan mereka menghadapi penguasa baru di hijaz yang

beraliran wahabi itu. Melalui kyai Wahab mereka mencemaskan kehawatiran itu dalam siding-sidang komite khilafah. Sementara sayap yang lain tetap menghendaki agenda lama dipertahankan untuk dibawa ke makkah. Menurut mereka penyerbuan Ibn Saud atas Husin bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang di waktu sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku arab yang melarikan diri.21 Berita-berita yang di muat surat kabar tersebut tidak menggoyahkan kecemasan kalangan pesantren. Pengalaman trumatis masa lalu terus membayangi mereka. Sebenarnya mereka menghendaki agenda masalah yang sederhana saja untuk dibawa kemekkah yaitu tuntutan pelestarian tradisi keagamaan berdasakan ajaran mazhab Ahlusunnah Waljamaahdan perbaikan tata laksana ibadah haji, khususnya tradisi tarekat sufi dan wirid, pembacaan solawat Nabi dan pengajaran kitab-kitab mazhab agar tetap di izinkan.22 polarisasi orentasi ini di pertegas oleh sekelompok aliran baru nonpesantren yang menyelenggarakan pertemuan di cianjur sebelum kongres Al-Islam di bandung, mereka mengadakan loby yang dihadiri kalangan mereka sendiri untuk merancang keputusan kongres bandung tentang delegasi ke mekkah. Sebenanya delegasi ke mekkah itu sudah di putuskan setelah kongres di Yogyakarta sebelumnya. 23 tetapi kemudian di ubah lagi dalam kongres bandung. Kongres bandung memutuskan delegasi ke kekkah: Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansyur (Muhammadiyah).24 kyai Wahab memang tidak menghadiri seluruh acara kongres karena ditengah acara tersebut dating telegram bahwa ayahandanya sakit keras.25 Kyai Wahab kemudian meninggalkan medan kongres. Ketika merancang pertemuan komite hijaz dialog antara kyai Abdul Wahab dengan Kyai Abdul Halim mempersoalkan tujuan komite hijaz yang hendak dicantumkan

dalam surat undangan.26 Kyai Abdul Wahab menjawab: tentu syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemerdekaan. umat islam menuju kejalan itu. Umat islam tidak leluasa sebelumnya Negara kita merdeka.27 Komite hijaz yang di bentuk sebelum januari 1926 di ketuai Hasan Gipo dan wakil Saleh Jamil, sekretaris Muhammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH. Abdul Wahab, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.28 mereka ini mempersiapkan pertemuan komite hijaz 31januari 1926. Pertemuan ini selanjutnya di jadikan hari lahir NU, sebab dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim delegasi ke mekkah,29 lalu timbul masalah atas nama organisasi yang di kirim. KH. Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama mengambil nama organisasi pendahulunya Nahdlatul Watan, usul itu disepakati siding maka komite hijaz di bubarkan.30 Mengapa bukan Nahdlatul Watan dikukuhkan kembali dan di perluas tetapi membentuk perhimpunan baru, barang kali ada beberapa aspek yang dapat di pakai sebagai pertimbangan. Latar belakang orientasi keagamaan yang ahirnya melahirkan pembentkan komite hijazsebelumnya memerlukan wadah organisasi yang berciri keagamaan islam, sebab misi yang hendak di bawa ke mekkah berada dalam lingkup agama maka di pakailah nama Nahdlatul Ulama. Jika tetap menggunakan Nahdlatu Watan, maka nama organisasi itu tidak mengesankan sebagai organisasi yang berkecimpung dalam soal agama. Dengan nama Watan mengesankan organisasi itu sebagai organisasi politikdan social, bukan keagamaan. Mungkin juga nama ulama dapat memberi bobot pengaruh yang luas kepada umat islam. Tiga tahun kemudian, dalam tahun 1929 Nahdlatul Ulama berhasil mengirim utusan yang terdiri dari KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Genaim Al Amir Al

Misri untuk menghadap Raja Ibnu Saud. Setelah pulang dari delegasi hijaz ke mekkah ahirnya KH. Wahab Hasbullah membawa berita yang menggembirakan, mengenai ibadah dan pengajian yang dia dakan dalam Masjidil Haram oleh guru dari empat mazhab. Disamping itu juga utusan Nahdlatul Ulama juga telah berhasil mencegah dirusaknya beberapa makam ddari keluarga nabi dan dapat dicegah pula di rusaknya makam dari imam empat yang ada di sekitar Kabah.31 Solihin Salam dkk, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta, 1966 hal49. Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. dan resmi berbadan hokum pertama kali pada tanggal 06 Februari 1930. Dengan menunjuk Khdlratus Saikh KH. Hasyim Asyari sebagai rais Akbar (Pemimpin besar). Nahdlatul ulama (NU) menganut faham Ahlussunah Waljamaah, yaitu suatu pila nalar dalam islam yang merujuk pada Al-Quran, Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta sunnah Khulafar rasyidin (Empat khalifah islam yang sekaligus merupakan para sahabat utama Nabi) yang secara teoritis dan faktual banyak terkait dengan konsep teologis Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan empat Mazhab dalam fikih, yaitu Imam Hanafi, maliki, SyafiI dan Hanbali, serta tradisi tasawuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.32 Drs. H. Achmad Djauhari, M.SI dkk, Potret Gerakan Dakwah NU (Hasil Mukernas IV Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama), PP LDNU Publishing, Yogyakarta 2007 hal 3-6 Prinsip dasar Ahlusunnah wal jamaah, yang bersumber kepada Al-Quran, sunnah, ijma, dan qias ini telah menjadi paradigma sosial kemasyarakatan warga NU yang terus di kembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat islam dan

pemikirannya. Prinsip-prinsip dasar itu meliputi: Prinsip Tawassuth Yaitu, jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau kiri. Dalam paham Ahlusunnah wal jamaah, baik di bidang hukum (syariah) bidang aqidah, maupun bidang akhlak, selalu di kedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjungjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrim. Prinsip Tasamuh Yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hl yang bersifat Firuiyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (Ukhuwah islamiyyah) Prinsip Tawazun Yaitu, menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Prinsip Amar maruf nahi munkar Yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran . dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbuatan yang baik dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan kehidupan kelembah kemungkaran. Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat di lihat bahwa ciri dan inti ajaran

Ahlusunnah wal jamah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta.33 Tim Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Maarif NU, Nahdlatul Ulama Ideologi Garis Politik dan Cita-cita Pembentukan Umat, PP. Lembaga Pendidikan Maarif NU, Jakarta, 2004, hal 33-36 Pertemuan ulama pesantren awal tahu 1926 di Surabaya menyepakati pendirian suatu organisasi yang akan menghimpun kegiatan mereka dengan nama Nahdlatul Ulama kurang lebih empat bulan sesudah itu telah di rintis penyelenggaraan muktamar yang pertama. Salah satu masalah yang menjadi perhatian para pendiri organisasi itu ialah mengenailambang organisasi sehubung dengan akan di laksanakan muktamar. Kyai Abdul Wahab Hasbullah kemudian meminta kepada KH. Ridwan untuk menciptakan lambing dengan cirri-ciri orisinal, tidak meniru lambang yang sudah ada, tahan lama, dan mencerminkan sifat ulama.34 Selama kurang lebih empat bulan Kyai Ridwan belum berhasil menciptakan lambang tersebut. Dengan bekerja keras mencari inspirasi dan ilham siang dan malam ahirnya inspirasi dan ilham itu dating di tengah malam beberapa minggu menjelang muktamar di buka. Segera kemudian kyai Ridwan membuat sketsa di tengah malam itu dan menyelesaikan penyempurnaannya keesokan harinya. Setelah lambang itu tercipta timbul kesulitan untuk mendapatkan kain warna hijau untuk bahan membuat bendera petaka yang di kala itu memang agak sulit di dapat. Kira-kira dua hari menjelang muktamar di buka bendera petaka dengan lambang NU berhasil di gelar di depan jembatan penilih kota Surabaya, dekat tempat berlangsungnya muktamar. Kemudian timbul persoalan lagi dalam muktamar itu ketika seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda menanyakan arti lambang. Tidak seorang pun dalam siding

muktamar yang dapat memberi jawaban apa arti lambang. Ketika Kyai Ridwan di hubungi untuk menjelaskan arti lambang yang di ciptakan beliau agak tertegun ditengah kesibukan kepanitiaan muktamar, sebab lambang yang di ciptakannya tidak dibayangkan mempunyai arti falsafah tertentu. Kyai Wahab pun ketika memintanya untuk membuat lambang NU tidak disertai permintaan semacam itu. Tidak urung karena desakan Kyai lain terutama kyai Wahab sendiri ahirnya Kyai Ridwan tanpa ekspresi yang menunjukkan kesiapannya mengenakan jas dan sorban memasuki ruang sidang. Tanpa di duga tiba-tiba Kyai Ridwan lancer sekali menguraikan makna dan falsafah lambang NU yang di ciptakannya sendiri. Gambar bola dunia dan tali yang melingkar melambangkan asas persatuan dan perdamaian, Sembilan bintang salah satu yang paling besar terletak di bagian paling atas melambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan umat, empat bintang di bawahnya melambangkan Khulafa rasyidin, dan empat bintang di bawahnya lagi melambangkan empat imam mazhab. Seluruh jumlah bintang ada Sembilan buah melambangkan Wali Songo, sebuah metodologi islam yang sangat popular di nusantara.34 Proses penciptaan lambang NU tersebut di yakini oleh sebagian besar anggota NU mempunyai arti mistis sebagai petunjuk tuhan melalui kontemplasi dan ibadah. Demikian pula arti lambang di yakini sebagai rahmat tuhan karena Kyai Ridwan ketika menjelaskan arti lambang di hadapan pesrta muktamar dan pejabat pemerintah sedang dalam keadaan Irtijal (Tnpa persiapan), kondisi luar biasa yang di percaya di atas kesadaran normal manusia.35 M. Ali Haidar Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, Hal 63.

B. NU Sebagai Organisasi Keagamaan Bagi orang yang kurang akrab dengan NU, apabila mendengar nama itu di sebut, maka akan berasosiasi pada sosok ulama berjubah dan bersorban, yang bergerak perlahan menjaga keanggunandirinya, yang hanya paham akan hokum-hukum agama saja, dan kalau ia tampil di arena politik maka sosok itu akan bertampang kaku. Itu hanya gambaran lahiriyah saja. Apabila kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang bahwa NU adalah sebuah organisasi islam yang telah banyak merasakan garam pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu mampu berdiri tegak. Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal skarang ini adalah pewaris dan penerus tradisi kyaiNU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walau ia sering menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya ialah karena para kyai memiliki suatu perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu menghormati tradisi. Rahasia keberhasilan kyai dalam mengembangkan system organisasi yang kuat dan stabil itu terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur social yang mana pun haruslah mempercayai general consensus, bukan mempercayakan atau menggantungkan persetujuan yang di paksakanatau system organisasi yang rumit.36 Einar Martahan Sitopul , M.Th, NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 58 Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan bertujuan membangun mengembangkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa, berahlak mulia, cerdas, terampil, tentram, adil dan makmur dalam naungan ridla Allah SWT. Drs. H. Achmad Djauhari, M.Si dkk, Potret Gerakan Dakwah NU Hasil Mukernas IV Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, PP LDNU Publishing,

Yogyakarta, 2007, hal 45-46 Pada saat di dirikan, NU merupakan Jamiyah Diniyah (Organisasi Keagamaan) melengkapi organisasi-organisasi sosial kebangsaan dan organisasi sosial keagamaan (Islam) yang sudah ada sebelumnya, seperti Budi Utomo (1908) sebagai gerakan cultural politik, Serikat Islam (1911) bercirikan politik keagamaan, Muhammadiyah (1912) gerakan modernis islam bercorak pendidikan keagamaan,37 dan NU mengambil bentuk dan peran keagamaan sebagai gerakansayap tradisionalis islam. keberadaan NU sebagai gerakan sayap tradisionalis seperti di tunjukkan oleh istilah Nahdlatul Ulama bukan Nahdlatul Umat atau yang lain, bukanlah merupakan suatu yang sifatnya kebetulan, tetapi mengndung konotasi sebagai sebuah organisasi perjuangan, berupa kebangkitan pergerakan para ulama, yang mengandung unsur berupa dinamika, kesadaran yang tinggi dan keterlibatan warganya menjadi organisasi sebagai alat perjuangan ulama di dalam NU memberikan cirri diferensiasi yang menjadi salah satu unsure pembeda dari fenomena organisasi islam selain NU. Demikian penting dan sentralnya kedudukan ulama di dalam organisasi bukan sebagai pemakarsa atau pendiri, tetapi karena otoritas tradisional yang melekat pada keberadaa dan kedirian ulama. Kehadiran NU sebagai Jamiyah Diniyah yang bermotif keagamaan sudah semestinya menjadikan Agama sebagai landasan sikap, prilaku, dan karakteristik perjuangannya disesuaikan dengan norma-norma ajaran agama islam menurut paham Ahl al-sunnah Wa al-jamaah.38 Pada dua dasawarsa pertama setelah pendiriannya, kegiatan NU lebih fokus pada usaha pembinaan keagamaan sesuai dengan aliran paham yang di yakininya, di samping pembinaan masyarakat di bidang pendidikan, social, dan perekonomian, seperti tergambar di dalam anggaran dasar organisasi. Selanjutnya pada 1935, sebagai hasil

evaluasi terhadap keberadaannya dan kendala utama yang menghambat kemampuan umat sehingga tidak bisa berperan sebagai Khaira Ummah, maka di cenangkan suatu gerakan keagamaan, Mabadi Khaira Ummah yang mengarah pada semangat tolong menolong (Muawanah) di lapangan ekonomi bangsa Indonesia dengan meningkatkan pendidikan moral yang bertumpu pada tiga prinsip, yaitu: Alsidqu (Jujur), Alamanah Wa-alwafa bialahdi (Dapat dipercaya, menetapi segala janji) Al-taawun (Tolong menolong)8 gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik, yaitu suatu umat yang mapu melaksanaka tugas Amar maruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari peranan NU. Karena kedua hal tersebut merupakan sendi yang di perlukan untuk dapat mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diridlai Allah SWT. Pada awalnya gerakan ini dapat menumbuhkan semangat berorganisasi dalam berbagai bidang kegiatan organisasi yang membawa dampak positif bagi pembinaan internal dan pengembangan NU keluar. Akan tetapi, kemudian mengalami stagnasi, sehingga pada tahun 1992 (setelah Khittah) gerakan ini perlu di tumbuhkan kembali dengan menambah nilai prinsip dasar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan kehidupan bangsa.39 H. Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 43-48 Seperti telah di singgung dalam uraian terdahulu, maka pembentukan Jamiyah NU tiada lain merupakan upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren yang sudah ada, untuk di tingkatkan dan di kembangkan lebih luas lagi. Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha memersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan belaka, tetapi lebih di tingkatkan lagi

pada kepekaan

terhadap

masalah-masalah

sosial,

ekonomi

maupun

persoalan

kemasyarakatan pada umumnya. Khoirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatalu Sala, Surabaya, 1984, hal 15 Adanya dua kekuatan dalam diri NU sebagai organisasi keagamaan, pertama, NU Jamiyah dan NU Jamaah, merupakan kelebihan yang dimiliki oleh organisasi islam terbesar di Indonesia ini. Kelebihan ini merupakan kekuatan yang dahsyat, asalkan di kelola secara terarah, terpadu, dan terjaga. NU Jamiyah dan NU Jamaah ialah two in one, tak terpisahkan. NU Jamaah tannpa NU Jamiyah hanya akan menjadikan NU sebagai sebuah paguyuban seperti arisan atau rukun kematian. Sebaliknya, NU jamiyah tanpa NU jamaah hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang kering, tidak berakar di masyarakat. Agar NU menjadi besar dan berwibawa, kedua-duanya tidak boleh bertabrakan atau berselisih jalan. Menurut Mbah Muchith, NU jamiyah dapat jadi pengikat, NU Jamaah dan di harapkan menjadi tempat berkumpulnya para tokoh NU. Berkumpul bukan hanya untuk silaturrahmi, melainkan juga untuk mempersatukan pendapat, pendirian, dan langkah agar seluruh warga NU dapat di kerahkan dan diarahkan menuju cita-cita bersama.40 Ayu Sutarto, Menjadi NU menjadi Indonesia, Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa timur, Surabaya, 2005, hal 20-21. Karena misi NU ialah: 1. Mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahiriah maupun batiniah, debgan mengupayakan system perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. 2. Mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dengan melakukan upaya

pemberdayaan dan advokasi masyarakat

3.

Mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berakhlakul karimah.

C. NU Dan Perkembangannya Dalam Bidang Politik Dalam pertemuan Rembang Jilid 2 yang di hadiri sejumlah ulama NU structural dan cultural, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan tujuh seruan kepada Nahdliyin sebagai panduan untuk menyikapi kondisi politik dalam tubuh organisasi yang ahir-ahir ini mengalami krisis, pada butir pertama seruan itu di sebutkan tiga model politik yang selama ini di laksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan,dan politik kekuasaan.41 Bagi NU, dari tiga macam politik itu, politik kekuasaan (praktis) menempati kedudukan paling rendah. Pernyataan ini implicit untuk mengingatkan para politisi NU yang sudah keluar dari khittah 1926. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU lebih meminati politik kekuasaan praktis, padahal jenis politik ini banyak menimbulkan perpecahandalam tubuh organisasi? Di kalangan NU ada asumsi, politik kerakyatan dan kenegaraanakan mendapatkan puncak pada peraihan politik kekuasaan. Secara historis kelahiran Nahdlatul Ulama di bidani Hadratus Syekh Hasyim Asyari dan ulama-ulama terkemuka lain, seperti: KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Sansuri, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan muslim Indonesia yang beda dengan praktik dan pemikiran keagamaan muslim di timur tengah, khususnya Arab Saudi. Meminjam kerangka teori Elnerst Gellner, NU berdiri untuk membela praktis islam yang cenderung dekat dengan local islam. Dalam kitab Qonun Asasi LI Jamiati Nahdlatul ulama, KH. Hasyim Asyari memprihatinkan adanya geerakan keagamaan baru

yang menyerukan pemberantasan Bidah (heterodoksi) dengan kedok kembali kepada Al-Quran. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bidah. Pernyataan KH. Hasyim Asyari ini bisa di anggap (1) merespon situasi Internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di timur tengah, dan (2) terhadapsituasi nasional tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) islam Dari sini bisa di simpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU di nilai member perlindungan. Bila ini bisa di sebut tindakan politik kerakyatan dalam pengartian luas maka politik jenis inilah yang patut di sebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena saat itu (1926) diskursus tentang Negara belum ada.42 Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama menjelang pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa Negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencantumkan piagam Jakarta didalam dasar Negara kita. Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik keagamaan, NU tidak pernah terlibat kasus kasus pemberontakan islam. Komitmen terhadap Negara dan bangsa di letakan diatas segala-galanya karena NU menyadari, eksistensi Negara adalah haal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dua model politik NU itu kerakyatan dan kenegaraan merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. Mengapa? Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum (mashlahah ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini Karena godaan poltik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU.43 Keterlibatan pertama NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organasasi terhadap pendirian masyumi. Ketika menjadi organisasi penyangga masyumi, tokohtokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maun di luar partai (eksekuip). Politik kekuesaan masa ini akhiri dengan perpecahan keterlibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah dari masyumi. Khamami Zada, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010, hal 3-5. Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah RI yang baru di proklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan member kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai politik agar segala aliran dapat di arahkan kejalan yang teratur. Keputusan ini kemudian di sambut hangat oleh rakyat dan para politisi. Muktamar islam Indonesia yang di selenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November memutuskan membentuk partai politik Masyumi yang di anggap sebagai satu-satunya partai islam.45 Tujuan ini ternyata tidak sepenuhnya tercapai karena pada tahun itu juga organisasi persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang berpusat di Sumatra Barat menyatakan tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi dan membentuk partai sendiri

dengan nama Perti. Muhammad Nasir yang dating ke Sumatra barat selaku utusan Masyumi untuk membentuk partai ini di Sumatra barat segera stelah Masyumi berdiri, tidak berhasil meyakinkan pemimpin organisasi Perti untuk bergabung kedalam Masyumi. Barang kali ini akibat dari pengaruh negative pertentangan Kaum Tua dengan Kau Muda yang berkembang di Sumatra barat tidak sejalan dengan kalangan kaum tua yang berada di belakang perti. Bahkan sebelumnya memang sudah terjadi ketidak sesuaian paham dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) suatu organisasi islam untuk seluruh sumatra barat yang kemudian di rubah menjadi Masyumi. 46 Dukungan NU kepada Masyumi pada mulanya memang tampak bergelora dengan suaranya kepada para anggota sendiri maupun kepada umat islam untuk bergabung ke dalam masyumi. Dalam kongres NU Di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga NU membanjiri partai politik Masyumi dan di putuskan NU akan menjadi tulang punggung Masyumi.47 perbedaan kepentingan politik antar berbagai kelompok dalam Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat di pertahankan lagi. Setelah NU keluar dari Masyumi di putuskan dalam kongres ke 19, April 1952, di Palembang. Keputusan itu sebelumnya di dahului kritik dan protes yang di lancarkan terhadap Masyumi. Dalam kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta ketegangan sempat terjadi karena salah seorang tokoh Masyumi, Muhammad Saleh (Walikota Yogyakarta) mengatakanpolitik ini saudara-saudara, tidak bisa di bicarakan sambil memegang tasbih, 48 Selanjutnya di katakana bahwa urusan politik ini cukup luas, tidak hanya berada disekeliling pondok pesantren. Politik itu luas menyebar ke seluruh dunia.234 Segera saja ucapan itu dip rotes delegasi dari NU meninggalkan ruangan. hal

yang mirip dengan itu juga terjadi di bogr dalam sidang dewan partai Masyumi tahun 1952. peristiwa senada barangkali juga terjadi di tempat lain, karena memang hubungan antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi, umumnya politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang berpendidikan model barat, seperti Zainul Arifin dan Muhammad Iljas, jumlahnya tidak banyak. Sementara dari kalangan Masyumi memandang rendah lulusan pesantren dan dengan demikian juga memandang rendah pemimpin-pemimpin NU. Mungkin hal ini adalah salah satunya alasan NU keluar dari Masyumi.49 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal 102-105 Keterlibatan NU secara organisatoris dalam pentas politik sering dinyatakan beawal pada tahun 1952, saat NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menegaskan dirinya sebagai partai politik. Mulai saat itu sebutan Partai NU lebih popular karena keterlibatannya secara langsung dalam kegiatan-kegiatan dan prosesproses politik, disamping masih tetap melakukan kegiatan keagamaan. keadaan demikian berlangsung sampai dengan tahun1984, tatkala NU secara organisatoris resmi menanggalkan aktifitas politiknya lewat PPP. pada periode 1952-1984 para ulama dan politisi NU mempunyai peran berlebih terutama para ulamanya disampaing pelaku politik juga sebagai pembimbing umat, sehingga prilaku politiknya merupakan refleksi dan paham keagamaan yang bersumber dari tradisi keberagamaannya, dan sebaliknya prilaku keagamaannya bernuansa politik. Sehubungan dengan itu, berbagai perubahan dan pergeseran dalam politik NU tidak terlepas Dimensi kepentingan ideologis dan politis, yakni kepenti

Ngan mempertahankan dan mengembangkan paham Ahl al-sunnah Wa al-jamaah dan kepentingan memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan. Oleh karena itu, secara nyata NU menampakkan sikap politiknya, baik dalam percaturan politik diantara sesama tokoh-tokoh islam (Kalangan modernis)yang sering menampakkan adanya persaingan dan menimbulkan ketegangan, maupun ketegangannya dengan pemerintah. berbagai peristiwa apenting berikut ini dapat memberikan gambaran sikap politik NU dalam percaturan di pentas politik pada masa antara 1952-1984.50 Penglaman politik selama kurang lebih lima tahun bersama Masyumi merupakan pelajaran berharga bagi NU dalam memasuki babak baru percaturan politiknya, setelah menyatakan diri sebagai partai politik pada tahun 1952. Para ulama akan terlibat secara langsung di dalam prmainan politik di samping tetap harus mengurus pesantren, sehingga era ini menendai perpolitikan pesantren, karena NU tidak bisa di lepaskan dan berbasis dari pesantren. Kekurangan kader politisi yang matang dan mapan dari kalangan pesantren menyebabkan NU harys merekrut tenaga-tenaga muda yang berpendidikan, sebab tidak semua ulama atau kiai pesantren berkesempatan dan tertarik mengurus partai dan terjun langsung dalam percaturan politik. dalam muktamar di Palembang, NU juga menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berkaitan politik pemerintahanagar segera mengadakan pemilihan umum.51 Pemilihan umum bagi NU mempunyai makna yang sangat penting dan strategis. Lewat pemilu ini NU akan mempunyai perwkilan dengan mendudukkan orang-orangnya di DPR dan konstituante yang akan merupakan arena pembukuan bagi kemampuan bermain di pentas politik yang sekaligus berfungsi sebagai sarana dalam rangka pencarian legitimasi kekuasaan politiknya berdasar dukungandari pengikutnya yang selama ini di

ragukan oleh Masyumi. Dengan pelaksanaan yang semakin dekat dan mendesak, menjadikan persiapan NU relative kurang, sebab waktu yang ada lebih banyak di gunakan untuk menata dan membenahi intern organisasi, terutama pembentukan pengurus partai di daerah-daerah (Wilayah dan cabang) sampai ke desa-desa, dengan memanfaatkan pengurus Jamiyah NU yang sudah ada. oleh karena itu pada muktamar ke 20 di Surabaya September 1954, disamping membicarakan masalah diniyah yang menjadi garapan pokok NU juga membahas masalah strategi yang akan di laksanakan dalam rangka menghadapi pemilu 1955.52 untuk melapangkan jalan dalam percaturan politik, pada dasarnya sikap politik NU bersifat Akomodasionis luwes di bidang politik dan lebih suka mengambil bagian dalam pemerintahan. Diantara langkah-langkah penting yang menunjukkan sikap akomodasionis NU adalah: mengadakan pendekatan dan koalisi dengan partai-partai yang seiramadalam tradisi poitiknya dan dekat dengan pusat kekuasaan, ikut serta dalam percaturan memperoleh kedudukan dalam cabinet, dan melakukan pendekatan dengan pusat kekuasaan (Presiden). Sehubungan dengan itu, maka langkah yang dilaksanakan NU adalah mengajak PSII, Perti, dan Masyumi membentuk sebuah federasi dan ajakan tersebut mendapat tanggapan positif kecuali dari Masyumi, sehingga pada Agustus 1952 Liga muslimin Indonesia. sebagai badan federasi antara PSII dan Perti terbentuk di sisi lain dalam banyak hal politisi NU lebih dekat dengan kaum nasionalis sekuler (PNI) dari pada dengan elite Masyumi yang berpendidikan barat, karena NU sebagai mana juga PNI, berbasis kuat di jawa. dan di liputi nilai-nilai tradisi jawa. Kedua partai ini lebih berorientasi ke dalam dari pada keluar dan lebih menghargai gaya kepemimpinan tradisional dari pada cita-cita demokrasi barat. oleh karena itu, tidak heran apabila dalam polarisasi hubungan antar partai, kemudian NU menjadi lebih dekat

dengan PSII dan Perti (Kelompok tradisional islam-sekuler), dan menjadi makin dekat dengan Soekarno. Sebaliknya Masyumi lebih menunjukkan sikap oposisi dan semakin menjadi penentang soekarno. Akibatnya, dalam berbagai hal NU sering bersilang pandangan dengan Masyumidalam merespon perkembangan politik.53 Dengan pola hubungan akomodasionis ini mengantarkan NU semakin berperan dalam percaturan politik nasional selama era kepemimpinan Presidn Soekarno dan sebaliknya Masyumi semakin terpuruk sampai ahirnya harus bubar pada tahun 1960 keberhasilan ini antara laindi tandai oleh: pertama, perolehan suara yang diraih NU dalam pemilu pertama (1955) yang menempati urutan ke tiga dari 28 partai yang memperoleh kursi di DPR. Kedua, tidak pernah absen dalam emerintahan (Kabinet) sejak awal kehadirannya sebagai partai politik bahkan pada masa krisis menjelang pelaksanaan demokrasi terpimpin, sampai dengan akhir dekade 1960 an keikut sertaan NU dalam pemerintahan masih bisa di pertahankan.54 H. Rozikin Daman, Membidik NU Dilema percaturan Politik NU Pasca Khittah, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 93-114 Ketika Orde Baru berkuasa, NU menjadi organisasi terpinggirkan. NU dituduh pernah memiliki hubungan mesra dengan Soekarno sehingga penguasa orde baru memangkas akses politik NU. Departemen agama tidak lagi di hunu oleh aktifis NU, seakan jalur politik NU di bending di semua area. Akibatnya, tidak hanya di departemen agama, di hampir semua wilayahpolitik NU juga termarjinalkan. Di partai Persatuan Pembangunan (PPP), setelah NU berfusi dalam partai ini dengan beberapa partai islam lainnya, NU kembali menempati posisi pinggiran. Masa NU terbesar di berbagai wilayah seakan menjadi Silent Majority (Mayoritas yang bisu) karena tidak mendapatkan akses untuk menyuarakankepentingandan aspirasi mereka.

Waktu itu warga NU hanya menjadi kumpulan Suara Politik yang di sapa ketika musim pemilihan umum tiba. Maka, Khittah NU yang mencuat pada muktamar Situbondo 1984 Hendaknya di maknai sebagai reaksi atas rasa sakit hati yang di derita NU. Khittah NU diarsiteki kalangan muda NU progresif, di antaranya KH.Ahmad Siddiq dan Gus dur. Intinya adalah ingin mengembalikan NU ke ide dasar pendirian organisasi massa (Ormas), yakni sebagai Jamiyah Islamiyah dan atau ormas islam yang mengurusi masalah social (Mabarot), Ekonomi (Iqhtishadiyah), pendidikan (Tarbiyah), dan Dakwah.54 Khamami Zada, Opcit, hal 27-28

BAB III K0NDISI BANGSA INDONESIA TAHUN 1945

Masa Kedudukan Kolonial Belanda Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan bangsa ini mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik (dan ekonomi), baik yang dijalankan oleh Negara pada tingkat nasional atau kebijakan politik (dan ekonomi) mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah kolonial belanda dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek maritim di Negara kepulauan ini,

termasuk di kawasan pantai barat Sumatra. Kehadiran kaum kolonialis telah menggiring aktifitas bahari Indonesia umumnya dan daerah-daerah negara kepulauan ini hususnya kedalam suatu tatanan ekonomi kolonial, sebuah tatanan ekonomi yang antara lain menciptakan adanya daerah Pusat dan Pinggiran. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya daerah-daerah di Indonesia yang di jadikan sebagai bagian dari tatanan kegiatan ekonomi hindia belanda semata, tetapi hindia belanda itu sendiri juga menjadi bagian tatanan kegiatan ekonomi internasional. Artinya, hindia belanda sendiri menjadi sebuah daerah dari sebuah pusat dalam tatanan ekonomi dunia global.1 Potret lain dari kolonialisme yang tergambar dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran di pantai barat Sumatra adalah politik Subur garap; tandus tinggalkan. Politik ini adalah analog perilaku eksploitatif anak manusia terhadap hutan untuk di jadikan perladangan atau lahan garapan. Bila sebuah perladangan atau lahan garapan tidak produktif lagi maka akan di tinggalkan begitu saja. Dengan kata lain gagasan di atas adalah sebuah gambaran sikap dan politik eksploitatif pemerintah kolonial terhadap sumber daya yang terdapat di daerah-daerah. Bila sebuah daerah memiliki sumber daya ekonomi atau posisi geopolitis yang bisa mendatangkan keuntungan bagi Negara pusat, maka daerah itu akan mendapat perhatian yang besar.2 Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra, Ombak, Yogyakarta, 2007, hal 12-14. Selama tiga setengah abad bangsa Indonesia telah dijajah oleh belanda. Pada masa penjajahan dahulu, Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya, Belanda telah menjalankan politik kolonial yang terkenal. Adapun politik Kolonial Belanda yang di praktekkan di Indonesia, antara lain ialah: Melaksanakan politik divide et impera.

Mencekoki rakyat dengan teori kolonial,White mans Burden, mengatakan bahwa kedatangan bangsa eropa ke Indonesia adalah untuk melakukan tugas suci. Menanamkan Values yang dapat menimbulkan Inveriority Complex di kalangan Bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan politik Kolonialnya, pertama-tama Belanda menjalankan siasat Adu Domba dan memecah belah bangsa Indonesia. Di pecahnya bangsa in donesia menjadi berkeping-keping, dan kemudian diadu domba antar suku, antar daerah, antar golongan, antar agama, bahkan juga sesama kaum muslimin. Dengan sengaja di carinya jalan dan cara untuk dapat memecah belah Bangsa Indonesia. Sudah barang tentu dengan timbulnya penyakit kedaerahan, kesukuan, kegolongan, malahan di antara kaum muslimin juga di tanamkan rasa permusuhan dan kebencian satu sama lain, ini yang menjadikan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan menyebabkan patah serta lumpuhnya kekuatan islam pada waktu itu. Seperti di ketahui, bahwa Belanda selama di Indonesia tidak hanya melakukan penjajahan di lapangan politik, ekonomi dan militer saja, akan tetapi juga menjajah di lapangan kebudayaan. Bahkan bukan rahasia lagi, bahwa kegiatan agama sekalipun telah di pergunakan Belanda untuk kepentingan politik kolonialnya. Sebagai contoh misalnya, dengan dalih menjalankan suatu Mission Sacree Belanda melakukan pula Imperialisme kebudayaan. Rakyat Indonesia di ajar untuk hidup, makan dan minum, berpakaian, bersekolah, bercakap, dan bergaul secara Belanda. Sehingga maunya rakyat Indonesia ini hendak di belandakan dalam segala hal. Di tanamkannya kepada rakyat bahwa apa saja yang datang dari Belanda adalah serba baik dan modern, sedangkan yang bukan berasal dari Belanda di nilainya jelek.

Melihat politik Kolonial Belanda yang amat merugikan umat islam dan kaum muslimin, para alim ulama tidak tinggal diam, melainkan memberikan reaksi spontan dan menoloak konsepsi Kolonial Belanda yang merugikan umat islam. 3 Solichin Salam dkk, Sejarah Ringkas Nagdlatul Ulama, Jakarta, 1966, hal 44 Bila kita melihat kembali pada sejarah bangsa Indonesia pada masa silam, tepatnya pada tahun 1945, tidak sedikit organisasi-organisasi islam atau bahkan yang lainnya menorehkan tinta emasnya guna memperjuangkan kemerdekaan Indonesia salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) peranan dan sepak terjang yang dilakukan Nahdlatul Ulama sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat muslim Indonesia pada saat itu. Namun, tidak seperti organisasi-organisasi yang lainnya Nahdlatul Ulama tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Pada masa kedudukan Kcolonial Belanda tidak menyurutkan niat dan tekad para ulama dan santri NU untuk terus menyerukan kemerdekaan, dan menentang ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan adat budaya bangsa Indonesia seperti yang di tulis oleh Choirul Anam, tujuan melawan penjajah tampak implisit bila kita menyimak jawaban kiai Wahab mengenai masalah kemerdekaan sehari sebelum lahirnya NU, tahun 1926: tentu, itu sarat nomor satu, umat islam menuju kejalan itu, umat islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka. Kemudian ditanya lagi apakah usaha semacam itu bisa menuntut kemerdekaan. Kiai Wahab menjawab : ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa kita harus yakin tercapai negeri merdeka.4 Dari kutipan tersebut sudah jelas bahwa walaupun Nahdlatul Ulama tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya namun berupaya dan memperjuangkan bangsa Indonesia menjadi Negara merdeka tanpa ada intervensi

tekanan Negara lain yang menjajah bangsa Indonesia. Selai itu juga, para ulama melarang para santri memakai kebudayaan kolonial belanda apabila niat

penyerupaannya itu dimaksudkan untuk keseluruhannya termasuk kesombongannya, kekafirannya, dan kegagahannya orang belanda. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan mengambil sikap tegas dalam urusan keagamaan, dan mengadukkan campur tangan Belanda dalam urusan agama islam. Peraturan pemerintah mengenai guru-guru sekolah (guru ordonantil) merupakan sumberutama ketidak puasan dengan memberlakukan administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk pesantren, penguasaan kolonial mengancam kehidupan sekolah yang pengelolaannya kurang teratur. NU juga memprotes ketika tahun 1931 masalah-masalh warisan di tarik dari wewenang pengadilan agama, artinya hokum adat kembali di berlakukan di jawa, Madura dan Kalimantan selatan. Bukan semata-mata hokum adat yang menjadi soal, melainkan penggerogotan kekuasaan pengadilan agama yang merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang lebih menimbulkan rasa tidak senang tersebut. Selama masa penjajahan, NU juga menentang sebuah rencana undang-undang perkawinan, keluasaan mengutarakan kritik terhadap agama islam dan meminta supaya pengetahuan keagamaan para pegawai yang di tugaskan di bagian urusan umat islam di awasi.3 Penentangan tersebut dilakukan karena hokum-hukumyang berkaitan dengan pernikahan jauh menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadits.5 Andree Feillard, NU Vis--vis Negara, LKiS,Yogyakarta, 1999, hal 15. Ibid. hal 16. Ibid. hal 17

Tampilnya KH. A. Wahid Hasyim sebagai ketua dewan MIAI, jelas merupakan usaha mengibarkan bendera NU sebagai penggerak persatuan umat islam Indonesia. Dan kemudian menempatkan posisi umat islam sebagai diperhitungkan oleh pihak lain, terutama pihak pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Terlebih lagi penampilan KH. A. Wahid Hasyim di arena percaturan politik cukup gemilang, baik di masa pra kemerdekaan, revolusi, maupun pada masa kemerdekaan. Semua itu telah memaksa kita mengakui keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya.6 Dalam muktamar ke 15 pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya merupakan muktamar terahir bagi NU di masa penjajahan Belanda. Pada muktamar tersebut memutuskan berbagai masalah keagamaan, juga mendesak pemerintah hindia belanda untuk segera mengadakan perbaikan dan tindakan terhadap beberapa hal, diantaranya ialah: Memberikan pertolongan jamaah haji Indonesia yang menderita di Mekkah akibat pecahnya perang antara Jerman dan Bbelanda. Mencabut Goeroe Ordonanti 1925. Memberikan kebebasan kebebasan kepada mubaligh dan guru agama untuk mengajarkan islam. Memberikan kuasa penuh kepada pengurus masjid untuk mempergunakan kas-kas masjid bagi kepentingan kemaslahatan islam. Menindak tegas para penghina islam dan memindahkan pelanggar makam islam ketempat lain. Meniadakan pemberian subsidi karena menyalahi prinsip netral terhadap agama.

Mengadakan aksi pengembalian pelajar Indonesia dari Saudi arbia semata-mata karena pecahnya perang dunia II. Melarang pemuda Indonesia khususnya pemuda islam untuk memasuki milisi Bbelanda. Mengharamkan pemberian sumbangan darah bagi kepentingan militer belanda.7 Beberapa uraian di atas memberikan kesan bahwa, semacam penjajahan Belanda selain NU tetap berikhtiar memajukan bidang pendidikan, dakwah maupun sosial, juga peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan terutama masalah perjuangan menuju tercapainya kemerdekaan yang hakiki. Dari pernyataan tersebut diatas bahwa dapat penulis simpulkan ada satu corak pemikiran yang luas yang dilakukan NU sebagai organisasi islam yaitu pertama, membentuk dan menjadikan masyarakat Indonesia yang relegius yang di syariatkan Rosulullah yang tertuang dalam Al-quran dan Hadits. Kedua, menjaga bangsa Indonesia dari tekanan intervensi bangsa belanda dan yang ketiga, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia walaupun disadari betul bahwa NU berkembang pesat di bawah penjajahan Belanda. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatalu Sala, Surabaya, 1985, hal 110 Opcit hal 111 Persiapan Kemerdekaan Setelah pendudukan belanda berhasil di tekan oleh NU lewat para ulama tokoh dan aktifis muda, maka persiapan kemerdekaan Indonesia menjadi langkah awal gerakan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan nasional kemerdekaan Indonesia. Meskipun tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik. Para pemimpin NU

memperhatikan juga bentuk Negara akan datang. Pada muktamar XV yang berlangsung bulan Juni 1940 (Muktamar terahir masa pemerintahan Kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang di hadiri oleh sebelas ulama di bawah pimpnan Mahfudz Shiddiq membicarakan calon yang pantas untuk di jadikan presiden pertama Indonesia mendatang. Sebelas tokoh NU menentukan pilihandi antara dua nama yang di sebut disitu, yaitu: Soekarno dan Muhammad Hatta. Para Ulama memilih Soekarno dengan suara 10 banding satu.8 keputusan ini perlu mendapat perhatiankhusus karena diambil berlangsungnya perdebatanseru mengenai apakah indonesiaakan dijadikan Negara islam atau bukan? Andree Feillard, NU Vis--vis Negara, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal 10-11 Kesempatan yang lama di tunggu-tunggu kaum nasionalis untuk berkumpul guna merencanakan suatu Negara merdeka di masa depan, direalisasikan dengan bantuan jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenam puluh dua anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia atau BPUPKI yang diresmikan pada hari itu, diberikan kebebasan besar oleh jepang untuk membicarakan persoalanpersoalan konstitusional dan ideologi. Bagi Soekarno dan rekan-rekan nasionalisnya iilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penghinaan yang diderita di bawah penguasa jepang tidaklah sia-sia. Terutama Soekarno yang mengobarkan semangat sehinggapanitia didorong mengambil suatu kesimpulan dengan kecepatan yang mencengangkan pihak jepang. Setelah sidang selama tiga hari, yang terutama di pergunakan untuk membahas manifesto-manifesto ideologis, BPUPKI membentuk suatu sub komite yang terdiri dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Soekarno untuk menyelesaikan persoalan

agama yang ruwet. Panitia lengkap bertemu lagi dari tanggal 1 s/d 17 Juli dalam suasana yang lebih tegas dan dalam waktu singkat menerima sebuah Undang-undang Dasar yang terdiri dari lima belas pasal minoitas paling sulit merupakan wakil-wakil muslim yang selalu menyampaikan pendapat bahwa di butuhkan suatu Negara islam di mana syariat agama berlaku. Posisi Soekarno yang di gariskan dalam pidatonya pacasila yang termasyhur pada tanggal 1 Juni, menekankan bahwa Negara harus di dasarkan atas Percaya kepada Allah yang maha Esa, apakah disembah menurut agama islam atau Kristen. Kalau pihak islam menghendaki lebih dari itu, mereka harus memperjuangkannya melalui proses demokratis.9 wakil-wakil muslim sama sekali tidak puas dan Soekarno mengerahkan seluruh kuasa kepribadiannya untuk mencapai suatu kompromi. Pada tanggal 22 Juni sub komite menghasilkan suatu konsep mukadimah Undang undang dasar yang mengakui keharusan bagi mereka yang memeluk agama islam untuk mematuhi syariat islam.8 sidang BPUPKI pada bulan Juli membuat konsesi selanjutnya bahwa presiden harus seorang islam. Walaupun tidak memenuhi harapan-harapan umat islam, ini merupakan hasil maksimal dalam upayanya mendirikan Negara islam. Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996, hal 31 Ibid hal 32 Pada tanggal 06 Agustus 1945 sebuah. Bom Atom di jatuhkan di atas kota Hirosima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih menegaskan keinginan

dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 09 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen inipun di manfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Soekarno Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI di terbangkan ke dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka di kabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrirtelah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang di berikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir member tahu penyair Chairil Anwar tentang di jatuhkannya bom atom di Nagasakidan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari sekutu untuk menyerah.10 Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ketanah air dari Dalat, syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan Kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Tentara dan

angkatan laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Syahrir, Wikana, Darwis, dan Khaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tu tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.11 Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Khaerul Saleh yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (Bersama Fatmawati dan Guntur yang baru usia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Disini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun resikonya. Di Jakarta, golongan muda, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo

melakukan perundingan. Mr. Ahmad Aeobardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan indonesia di Jakarta. Maka di utuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo kerengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta kembali ke Jakarta. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilan kekuasaan. Ahirnya Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jendral Moichiro Yamamoto, komandan angkatan darat pemerintah militer Jepang di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jendral Otoshi Nishimura, kepala departemen urusan umum pemerintah militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa. Soekarno menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kapada sekutu, dan tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberikan kemerdekan. Setelah itu mereka bermalam dikediaman Laksamana Maeda untuk melakukan rapat dan menyiapkan teks proklamasi, rapat tersebut di hadiri oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Ahmad Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Melik. Dalam penyusunan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02:00-04:00 dini hari. Teks proklamasi di tulis di ruang makan di kediaman Soekarno, para penyusun teks proklamasi itu ialah Ir. Soekarno, Drs, Moh . Hatta, dan Mr, Ahmad Soebardjo. Konsep teks proklamasi di tulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Sudiro. Sukarni mengusulkan agar yang menanda tangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Atas nama Bngsa Indonesia. Teks proklamasi inonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekano membacakan teks Proklamasi, kemudian bendera

Merah Putih, yang telah di jait oleh ibu Fatmawati, di kibarkan.12 Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-undang Dasar sebagai dasar Negara Republik Indonesi, yang selanjutnya di kenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah pemerintah Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang di lakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan di bemtuk kemudian. http:www.topix.com/world/Malaysia/T70N1UH1UM90MCLBG

BAB IV PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM PERUMUSAN IDEOLOGI NEGARA INDONESIA

Piagam Jakarta Dan Perumusan Pancasila Tahun 1945 Pada tanggal 18 Juni 1945 di bentuklah sebuah panitia 9 orang anggota untuk merumuskan rancangan keputusan. Panitia 9 itu ialah Drs. Moh. Hatta, Subardjo, Maramis, Ir. Soekarno, Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Abukusno Tjokorsujoso,

dan Agus Salim. selanjutnya panitia inilah yang berhasil merumuskan suatu persetujuan kompromi antara dua belah pihak yang oleh Sukiman di sebut gentlemen agreement dan oleh yamin di sebut Jakarta Cahrter atau piagam jakarta.1 Dalam teks Piagam Jakarta Pembukaan Bahwa sesungguhnya kemerdekan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,, dan kerakyatan yang di pimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.2 Dari rangkaian pemikiran yang akan dijadikan sebagai dasar ideologi, corak

berfikir dan pandang bangsa indonesia yang berhasil dirumuskan oleh panitia 9 (sembilan) atas dasar satu persetujuan dan kompromi kedua belah pihak antara golongan islam (NU) dan kebangsaan yang Sukiman sebut gentlement agreement dan oleh yamin di sebut Jakarta cahrter atau di sebut dengan sebutan piagam jakarta. Namun dari piagam jakarta yang dirumuskan oleh panitia 9 tersebut menuai protes dari golongan protestan (Latuharhary) keberatan dengan kalimat yang terdiri dari tujuh kata Dengan kewajiban menjalankan menjalankan Syariat Islam bagi pemelukpemeluknya.3 akibatnya mungkin besar terhadap agama lain. Karena itu diminta supaya dalam UUD diadakan pasal yang terang, kalimat tersebut bisa juga menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat. Agus Salim menjawab, pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya telah selesai. Kontroversi mengenai tujuh kata itu terus berlangsung, meskipun untuk sementara untuk diredakan oleh ketua sidang. Soekarno yang berkali-kali menegaskan bahwa kalimat itu merupakan kompromi yang bisa di capai dengan susah payahdan melihat sudah tidak ada keberatan yang diajukan dalam sidang panitia 9 (sembilan), maka pokok-pokok dalam preambule dianggap sudah diterima.4 namun ketika sidang membicarakan detil pasal-pasal UUD, Wahid Hasyim mengaitkan salah satu inti yang telah di sepakati mengenai preambule dengan pasal yang mengatur tentang presiden dan wakil presiden dan mengenai agama dan negara. Wahid Hasyim mengusulkan perubahan pasal 4 ayat 2 agar hanya orang yang beragama islam yang dapat diterima sebagai presiden dan wakil presiden, dan agama negara ialah islam, dengan jaminan kemerdekaan bagi penganut agama lain untuk beribadah menurut agama masing-

masing.5 Menurut Supomo, sistem negara berdasar ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, berarti negara memperhatikan keistimewaan penduduk yang terbesar yang beragama islam. Rumusan itu merupakan hasil gentlement agreement dari dua golongan islam dan kebangsaan. Artinya, sudah dapat di capai kompromi supaya kita bangsa indonesia dapat bersatu atas dasar memberi dam menerima. Prinsip dari gentlement agreement ialah bahwa kedua belah pihak tidak boleh menghendaki lebih dari apa yang telah di kompromikan. Di ingat pula bahwa kedua belah pihak telah di wakili dalam panitia, dari golongan islam Wahid Hsyim dan Agus Salim sedang pihak lain Maramis dan Latuharhary.6 Sekali-kali bukan maksudnya akan mengganggu, dan membatasi golongangolongan lain yang beragama lain, saka sekali tidak. Itu juga di terangkan. Memang kita menghendaki dasar ke-tuhanan dan dasar kemanusiaan, dan atas dasar-dasar itu dengan sendirinya kita harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing...ini adalah suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan beragama islam tidak boleh-umpamanya-minta atau mendesak supaya mengurangi jaminan kepada kaum islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang sangat luhur, dan begitu sebaliknya....janganlah golongan agama minta jaminan lebih lagi untuk di tambahkan dalam pasal apapun...jadi kedua belah pihak sudah cukup terjamin kepentingannya. Golongan kebangsaan tidak akan mendesak terhadap agama islam dan sebaliknya agama islam tidak akan meminta jaminan lagi terhadap agama lain...tetapi saya kemukakan lagi bahwa hal itu sudah menjadi gentlement agreement

yang tidak boleh di kurangi dan di tambah.7 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal 244 Ibid hal 245 Ibid hal 246 Ibib hal 249 Ibid hal 250 Bertolak pada kontroversi yang terjadi tentang perumusan UUD dan Pancasila pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke UUD 45 dengan syarat Piagam Jakarta diakui Menjiwai dan Satu rangkaian dengan Undang-undang dasar tersebut. Meskipun pengurus besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha yang telah di lakukan untuk mendukung piagam jakarta. dan usaha-usaha itu tidak berhenti disitu. Pada tahun 1962, dalam muktamarnya yang ke 23 Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya

mengupayakan seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis di jiwai oleh piagam Jakarta.8 artinya bahwa seluruh aktifitas harus di jiwai dengan UUD (Piagam Jakarta) karena UUD dijadikan sebagai falsafah dan tolak ukur dalam menjalankan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua itu keterikatan pada Piagam Jakarta di tegaskan pada bulan-bulan berikutnya pada pertemusn ke-7 para pengurus partai, bulan April 1966 di bogor, di keluarkan sebuah statemen yang menyatakan: Karena Negara di landaskan pada pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang

tudak dapat di pisahkan dari Piagam Jakart, jalan terbuka untuk mewujudkan citacita partai. Sebab, bila Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945benar-benar di jalankan dalam kehidupan negara dan bila piagam jakarta benar-benar di jalankan dalam Masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai. Dengan demikian, perjuangan partai harus di tujukan untuk mempertahankan pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan piagam jakarta yang mengilhaminya.9 Melihat hal tersebut Nahdlatul Ulama tidak menuntut di lakukannya perubahan Undang-undang Dasar 1945 demi piagam jakarta, namun lebih pada penjabaran Dekrit 5 Juli 1959 secara islami. Nahdlatul Ulama tidak mempertentangkan Pancasila dan Piagam Jakarta seperti ketika dalam majlis Konstituante, melainkan memadukan keduanya. Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara, LkiS, Yogyakarta, 1999, hal 121 Opcit hal 123 Opcit hal 124 Dasar-dasar Pemukiran NU Dalam Menerima Pancasila Sebagai Ideologi Negara Mengutip pendapat Drs. Moh. Hatta yang menegaskan bahwa dalam negara kesatuan seperti indonesia, masalah kenegaraan harus di pisahkan dari masalah agama. Selanjutnya Supomo mengatakan adanya dua pendapatmengenai masalah tersebut. Pendapat pertama, dari para ahli agama menyatakan bahwa indonesia haruslah menjadi negara islam. Dan pendapat kedua, yang di sarankan Drs. Moh. Hatta, satu negara kesatuan nasional yang memisahkan masalah kenegaraan dari masalah keagamaan, dengan kata lain negara indonesia bukan negara islam.10 Supomo mengingatkan agar jangan sekedar meniru negara lain di timur tengah

yang dianggap sebagai negara islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya berbeda. Dikatakan oleh Supomo bahwa di negra-negara islam sendiri juga terjadi perbedaan, khususnya mengenai bagai mana syariah islam harus di sesuaikan dengan kebutuhan internasional, dengan persaratan masa kini, dengan pikiran modern. Jadi seandainya kita disini mendirikan negara islam, pertentangan itu pasti akan timbul juga.8 Supomo mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwa syariah islam bisa di ubah mel