Upload
tranhuong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
BERBASIS SUMBERDAYA ALAM UNGGULAN
MELALUI PROGRAM CSR
Studi Kasus di Kota Depok
Oleh : Kholil
Abstarct
Poverty alleviation essentially is an activities to make one be able to live
independently. for independent living, a person must have a fixed income in order to live
independently. Community empowerment is an activity to make a person has a productive
activity, which allows to have a fixed income.
This empowerment model designed to create superior resource-based productive
activities involving academia, business, government and society.
The result of this activity indicates that the ideal model is the role of government as
facilitator, business as a contributor to the fund through its CSR activities and academics
as a program designer and thinker to create the most suitable program based on objective
conditions.
Keywords: Empowerment, Business productive, excellent natural resources, corporate
social responsibility, poverty reduction
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam
yang sangat kaya, baik dalam bentuk
sumberdaya alam yang terbaharui (renewable
resousces) seperti kekayaan laut, pertanian
dan hutan, maupun sumberdaya alam yang
tidak terbaharui (non renewable resources)
seperti tambang, minyak dan gas. Akan tetapi
potensi yang sangat besar tersebut belum
mampu dimanfaatkan secara maksimal untuk
kesejahteraan masyarakat. Ada dua
permasalahan utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan sumber daya tersebut, yakni
kemampuan mengelola dan Teknologi yang
dipergunakan. Tetapi jika di dilihat lebih
jauh, faktor yang paling utama adalah
persoalan kualitas SDM, karena banyak
negara yang miskin sumberdaya alam, namun
karena kualitas SDMnya bagus dapat
mengolah sumberdaya yang terbatas tersebut
secara maksimal, sehingga rakyatnya menjadi
sejahtera, bahkan karena keunggulan SDM
itu mereka memanfaatkan sumberdaya alam
dari negara lain untuk kesejahteraan
bangsanya.
Persoalan lemahnya kemampuan
sumberdaya manusia sangat terkait dengan
kemiskinan yang masih menjadi isu strategis
nasional. Karena kelompok masyarakat
miskin ini tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya yang layak, seperti
sandang, papan, dan pangan. Kelompok ini
juga memiliki akses yang sangat terbatas
terhadap pendidikan, kesehatan, dan
pekerjaan. Oleh karena itu bila ingin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin maka aspek utama yang harus
diperhatikan adalah peningkatan kualitas
SDMnya.
Pemerintah telah menjadikan program
penanggulangan kemiskinan menjadi
program prioritas, oleh karena itu telah
ditetapkan pula menjadi program wajib bagi
seluruh pemerintah daerah. Dalam kurun
waktu beberapa tahun belakang ini
pemerintah telah mengklaim jumlah rakyat
miskin terus menurun. Berdasarkan laporan
BPPS (2010), jumlah rakyat miskin
mengalami penurunan dari 14,2 persen pada
2009 menjadi 13,3 persen pada 2010. Atau
penduduk miskin Indonesia turun dari 32 juta
jiwa menjadi 31,02 juta pada 2010. Angka
tersebut dinilai turun sekitar 1,51 juta jiwa
dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah
32,53 juta (14,15 persen). Namun bila
berdasarkan jumlah penerima beras miskin
(raskin) dan BLT (Bantuan Tunai Langsung
17,5 juta keluarga) dan diasumsikan rata satu
keluarga 4 orang maka jumlah rakyat miskin
masih cukup besar yakni sekitar 70 juta
orang.
Berbagai program pengentasan kemiskinan
yang kini digulirkan saat ini cenderung hanya
menyentuh shympthomatic problem–nya saja
yang bersifat snapshot seperti BLT (Bantuan
Tunai Langsung), pembagian Sembako, dan
Raskin. Tetapi persoalan mendasar yang
dihadapi oleh sebagian besar rakyat miskin
belum tersentuh. Bahkan program-program
pemberdayaan ekonomi seperti Program
PERKASA (Menegkop), KUBE (Depsos),
P2DT danP2KP (Bapenas/Depdagri), PUAP
(Deptan) dan KUR (Kredit Usaha Rakyat )
juga belum secara efektif mengurangi jumlah
rakyat miskin tersebut. Pertanyaan mendasar
yang muncul adalah mengapa sejumlah
program dengan dana yang sangat besar itu
belum secara efektif, tahun 2010
diperkirakan program penanggulangan
kemiskinan di seluruh instansi dari pusat
sampai daerah tidak kurang dari 20 trilyun.
Disamping jumlah rakyat miskin yang
belum mampu di turunkan secara nyata
jumlah pengguran juga terus meningkat.
Diperkirakan peningkatan angkatan kerja
mencapai 2.5 juta orang/tahun, sementara
ketersediaan lapangan pekerjaan terbatas.
Untuk mengurangi jumlah rakyat miskin dan
jumlah pengangguran secara nyata, maka
program2 di gulirkan harus dapat
menyentuh fundamental problems yang
menyebabkan seorang menjadi miskin atau
menganggur. Berdasarkan fakta-fakta
dilapangan ada dua masalah pokok yang
menyebabkan sekelompok orang menjadi
miskin atau menganggur, yaitu masalah
teknis yang berkaitan dengan ketrampilan,
knowledge, keterbatasan akses sumberdaya
produktif,sarana dan keterbatasan modal; dan
masalah non teknis yang berkaitan dengan
kebijakan pemerintah, komitmen pemerintah,
sikap mental, partisipasi pelaku usaha,
dukungan lembaga keuangan, kelembagaan,
dan dukungan politik dari DPR. Oleh karena
itu penanganan kemiskinan dan
penggangguran tidak cukup hanya
berdasarkan teknis seperti pemberian bantuan
dana bergulir, Bantuan Tunai Langsung
(BTL), P2KP dan penyediaan sarana usaha ,
tetapi harus dilakukan secara holistik
integrated, dari hulu sampai hilir. Aspek
manusianya harus disentuh, kebijakannya
mendukung, sarananya dibangun dan
iklimnya diciptakan untuk dapat berkembang.
Program penanganan kemiskinan termasuk
program wajib yang harus dilakukan oleh
setiap pemerintah daerah. Hal ini berarti
setiap pemerintah daerah wajib memiliki
program yang jelas dan strategi yang tepat
untuk dapat mengentasikan kemiskinan di
daerahnya. Sebagai bagian dari wilayah
Indonesia Kota Depok tidak lepas dari
persoalan makro yang dihadapi di Indonesia
secara umumnya, termasuk persoalan
kemiskinan. Secara geografis Kota Depok
berada pada posisi yang sangat strategis,
sebagai hinterland bagi Jakarta, dan
perlintasan Bogor- Bekasi dan Bogor-
Tangerang. Posisi ini pula yang
menempatkan Kota Depok sebagai Kota
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi (6.46 %) pada 2010. Namun
pada sisi lain posisi tersebut juga
menempatkan Kota Depok dengan tingkat
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi,
mencapai pada 3,44 %. Akibatnya jumlah
penduduk meningkat secara tajam, pada
tahun 2010 jumlah penduduk Kota Depok
yang memiliki luas 200,29 km2 telah
mencapai sekitar 1.7 juta yang tersebar di 11
kecamatan. Dampak langsung dari tingginya
pertumbuhan penduduk adalah munculnya
permasalahan social, terutama masalah
penangguran, kemiskinan dan tumbuhnya
slump area.
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat
komplek, penanggulangannya merupakan
tanggungjawab semua pihak (pemerintah,
pelaku usaha danmasyarakat ),bukan hanya
menjadi tanggungjawab pemerintah.
Pemerintah melalui UU No 40 tahun 2007
telah mewajibkan pelaku usaha agar memiliki
tanggung jawab social melalui program CSR
(Corporate Social Responsibility).
Studi ini bertujuan untuk membuat model
pemberdayaan masyarakat dalam
penaggulangan kemiskinan melalui program
CSR dengan memanfaatkan sumberdaya
ungggulan daerah di Kota Depok.
B. Anatomi Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
kekurangan hal-hal yang biasa untuk
dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung dan air minum, hal-hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan
yang mampu mengatasi masalah kemiskinan
dan mendapatkan kehormatan yang layak
sebagai warga negara.
Sayogyo dalam Sumardi & Evers (199: 21)
memberi batasan, seseorang disebut miskin
bila pendapatannya setara atau kurang dari
320 kg beras per tahun per orang untuk di
pedesaan dan 480 kg beras per tahun per
orang untuk di perkotaan. Kalori yang
dibutuhkan seseorang untuk hidup per hari
adalah 1.821 kalori atau setara dengan sekitar
0,88 kg beras bila dikaitkan dengan dengan
ukuran yang digunakan Sayogyo.
Cara yang lebih akurat untuk menetapkan
garis kemiskinan adalah dengan menghitung
Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap
rumah tangga. Kebutuhan hidup dalam hal ini
adalah kebutuhan pokok (basic needs) yang
meliputi makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan
partisipasi masyarakat. Ukuran ini akan
berbeda-beda dari satu tempat ke tempat
lainnya serta sesuai jenis-jenis kebutuhan
pokoknya (Sumardi & Evers: VI, 22).
Sebagian besar masyarakat miskin berada di
desa-desa yang justru dekat dengan pusat
kekayaan sumberdaya alam. Di daerah-
daerah sekitar kekayaan sumberdaya alam
yang sangat potensial itulah justru sebagian
besar masyarakat hanya sebagai penerima
dampak akibat eksploitasi sumberdaya alam,
seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Secara umum ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi miskin :
Jika dilihat secara seksama kemiskinan di
Indonesia meliputi kemiskinan yang bersifat
relatif (Relative Poverty) dan yang bersifat
absolut (Absolute Poverty). Kemiskinan
Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat
kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan
minimum untuk bertahan hidup tidak dapat
dipenuhi. Sedangkan Kemiskinan Relatif
adalah suatu tingkat kemiskinan dalam
hubungannya dengan suatu rasio Garis
Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi
pendapatan (kesejahteraan) yang timpang
(tidak merata).
Faktor-faktor penyebab kemiskinan,
disamping faktor-faktor kondisi alam dan
geografis, juga disebabkan oleh faktor-faktor
keterbatasan antara lain, keterbatasan akses
pengetahuan, ketrampilan, akses factor
produksi, lapangan pekerjaan dan system
nilai serta adanya ketidakadilan ekonomi,
sosial ataupun politik yang mengakibatkan
apa yang disebut Kemiskinan Struktural
(Structural Poverty) baik pada tatanan negara
ataupun daerah. Kemiskinan Struktural dapat
dijelaskan dengan fenomena-fenomena urban
bias, rural-urban dualism, proletarianization
serta yang terakhir dapat dijelaskan pula oleh
fenomena environmental destruction.
Kemiskinan tersebar pula dengan pola yang
terstruktur mulai dari remote area, rural
area, sub-urban area, dan urban slum.
Dengan menggunakan pendekatan system
thinking , maka terlihat bahwa penanganan
kemiskinan terkait dengan masalah perilaku
orang (mental, kualitas SDM), dan masalah
kebijakan (dukungan anggaran, sarana serta
keberpihakan terhadap orang miskin). Tetapi
jika diperhatikan secara lebih seksama, aspek
internal yang menyangkut perilaku dan tabiat
orang miskin menjadi sangat penting. Oleh
karena itu program penanggulangan
kemiskinan yang paling penanggulangan
kemiskinan akan efektif jika diarahkan pada
upaya peningkatan kemampuan dan
ketrampilan, yakni diarahkan pada
pemberdayaan. Hal ini seiring dengan
prinsip pembangunan yang berkeadilan,
yang tertuang dalam Inpres No 3 tahun 2010.
Masyarakat miskin harus diperdayakan
dengan memberikan pelatihan pada kegiatan-
kegiatan usaha produktif. Dengan
memberikan pelatihan pada usaha produktif
ini diharapkan kelompok warga miskin akan
mampu melakukan kegiatan yang produkt,
yang pada akhirnya akan memiliki
pendapatan dari usaha produktif tersebut.
Pengembangan kegiatan produktif ini akan
kurang berarti jika tidak didukung oleh
kebijakan yang memihak dari pengambil
kebijakan. Secara umum upaya
pemberdayaan masyarakat miskin ini harus
dilakukan secara holistik, menyeluruh. Tidak
bisa hanya menekankan pada pendekatan
sektoral saja atau salah satu aspek saja, tetapi
harus melibatkan seluruh stake holder ,
karena satu dengan lainnya saling terkait
seperti pada
gambar hubungan timbal balik antar variabel
berikut :
Gambar 1. Diagram Sebab Akibat Pengentasan Kemiskinan
Pada kenyataanya pengenatasan
kemiskinan melalui program-program
yang menggunakan dana pemerintah
(APBN) memiliki keterbatasan, oleh
karena itu perlu melibatkan pelaku-
pelaku usaha (Swasta dan BUMN) untuk
mendukung program-program tersebut.
Salah satu diantaranya adalah dengan
memanfaatkan dana PKBL (bagi
BUMN) atau CRS bagi perusahaan
swasta.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan di
Indonesia, UU No 40 tahun 2007 tentang
Perseroan terbatas telah mewajibkan
setiap perusahaan harus memiliki
tanggungjawab social terhadap
lingkungan sekitarnya. Salah satunya
adalah dengan menerapkan Corporate
Sosial Responsibility (CSR). Penerapan
CSR merupakan komitmen dunia usaha
untuk bertindak etis, beroperasi secara
legal dan berkontribusi untuk
peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan
dan keluarganya sekaligus juga
peningkatan kualitas komunitas lokal dan
masyarakat secara luas. Dengan
demikian kehadiran perusahaan di suatu
daerah memiliki manfaat bagi
masyarakat sekitarnya baik dari sisi
ekonomi, social maupun lingkungan.
C. Telaah Pustaka
Penerapan CSR dangat dipengaruhi oleh
pandangan perusahaan mengenai CSR.
Wibisono (2007) menjelaskan beberapa
cara pandang perusahaan terhadap CSR,
yaitu: (1) Sekedar basa-basi atau
keterpaksaan. Perusahaan
mempraktekkan CSR karena external
driven (faktor eksternal), environmental
driven (karena terjadi masalah
lingkungan dan reputation driven (karena
ingin mendongkrak citra perusahaan); (2)
Sebagai upaya memenuhi kewajiban
(compliance); (3) CSR
diimplementasikan karena adanya
dorongan yang tulus dari dalam (internal
driven).
Saidi (2004) dalam Tanudjaja (2008)
membagi CSR menjadi 4 model, yaitu
keterlibatan langsung, melalui yayasan
atau organisasi sosial perusahaan,
bermitra dengan pihak lain, dan
mendukung atau bergabung dalam suatu
konsorsium. Sementara itu, Wibisono
(2007) menjelaskan bahwa penerapan
CSR yang dilakukan oleh perusahan
dapat dibagi menjadi empat tahapan,
yaitu tahap perencanaan, implementasi,
evaluasi dan pelaporan.
CSR yang diterapkan oleh perusahaan
akan mendatangkan berbagai manfaat
bagi perusahaan dan masyarakat yang
terlibat dalam menjalankannya. Menurut
Wibisono (2007) manfaat bagi
perusahaan yang berupaya menerapkan
CSR, yaitu dapat mempertahankan atau
mendongkrak reputasi dan brand image
perusahaan, layak mendapatkan social
licence to operate, mereduksi risiko
bisnis perusahaan, melebarkan akses
sumberdaya, membentangkan akses
menuju market, mereduksi biaya,
memperbaiki hubungan dengan
stakeholders, memperbaiki hubungan
dengan regulator, meningkatkan
semangat dan produktivitas karyawan
serta berpeluang mendapatkan
penghargaan. Sedangkan manfaat CSR
bagi masyarakat menurut Ambadar
(2008), yaitu dapat meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia, kelembagaan,
tabungan, konsumsi dan investasi dari
rumah tangga warga masyarakat.
Pengembangan masyarakat adalah salah
satu pendekatan yang harus menjadi
prinsip utama bagi seluruh unit-unit
kepemerintahan maupun pihak korporasi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dalam memberikan pelayanan sosial
(Ambaddar, 2008). Pengembangan
masyarakat menurut Giarci (2001) dalam
Subejo dan Supriyanto (2004) adalah
suatu hal yang memiliki pusat perhatian
dalam membantu masyarakat pada
berbagai tingkatan umur untuk tumbuh
dan berkembang melalui berbagai
fasilitasi dan dukungan agar mereka
mampu memutuskan, merencanakan dan
mengambil tindakan untuk mengelola dan
mengembangkan lingkungan fisiknya
serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini
berlangsung dengan dukungan collective
action dan networking yang
dikembangkan masyarakat. Sejalan
dengan itu, Payne (1995:165) dalam
Ambadar (2008) menjelaskan bahwa
pengembangan masyarakat memiliki
fokus terhadap upaya membantu anggota
masyarakat yang memiliki kesamaan
minat untuk bekerja sama, dengan
mengidentifikasikan kebutuhan bersama
dan kemudian melakukan kegiatan
bersama untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Pengembangan masyarakat sebagai
perencanaan sosial perlu berlandaskan
pada asas-asas, yaitu: komunitas
dilibatkan dalam setiap proses
pengambilan keputusan, mensinergikan
strategi komprehensif pemerintah, pihak-
pihak terkait dan partisipasi warga,
membuka akses warga atas bantuan
profesional, teknis, fasilitas, serta insentif
lainnya agar meningkatkan partisipasi
warga, dan mengubah perilaku
profesional agar lebih peka pada
kebutuhan, perhatian dan gagasan warga
komunitas. Selain memiliki asas-asas,
pengembangan masyarakat juga memiliki
beberapa prinsip. Prinsip-prinsip
Community Development dalam tiga
bagian penting, yaitu ekologi, keadilan
sosial, nilai-nilai lokal, proses, dan
global-lokal. Prinsip yang terkait dengan
masalah ekologi, yaitu prinsip holistik;
keberlanjutan; keanekaragaman;
pembangunan organis dan keseimbangan.
Prinsip yang terkait dengan keadilan
sosial meliputi prinsip menghilangkan
ketimpangan struktural; memusatkan
perhatian pada wacana yang merugikan;
pemberdayaan; mendefiniskan
kebutuhan; dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Prinsip yang terkait
menghargai nilai-nilai lokal yaitu prinsip
pengetahuan lokal; budaya lokal;
sumberdaya lokal; ketrampilan lokal; dan
menghargai proses lokal. Prinsip yang
terkait proses meliputi prinsip proses,
hasil, dan visi; keterpaduan proses;
peningkatan kesadaran; partisipasi;
kooperasi dan konsensus; tahapan
pembangunan; perdamaian dan anti
kekerasan; inklusif; dan membangun
komunitas. Prinsip yang terkait global
dan lokal meliputi prinsip hubungan
antara global dan lokal; serta praktik Anti
Penjajah (Anti-colonialist practice) (Ife,
2002).
Dalam melaksanakan suatu program
pengembangan masyarakat terdapat
berbagai macam strategi pengembangan
masyarakat. Chin dan Benne (1961)
dalam Nasdian (2006) memperkenalkan
tiga strategi yang dapat dijadikan strategi
pengembangan masyarakat, yaitu
rational-empirical, normative-
reeducative, dan power-coersive. Nasdian
(2006) menjelaskan bahwa partisipasi
adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh
warga komunitas sendiri, dibimbing oleh
cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses
(lembaga dan mekanisme) dimana
mereka dapat menegaskan kontrol secara
efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam
Nasdian (2006) memberikan pengertian
mengenai partisipasi sebagai berikut:
“…..participation refers to an
active process whereby beneficiaries
influence the direction and execution of
development projects rather than mercly
receive a share of project benefits”.
Melalui keterlibatan pelaku usaha,
pemerintah dan masyarakat maka
pembangunan ekonomi daerah dapat
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat di
daerah tersebut, seperti pada gambar
berikut :
Gambar 2. Sinergitas Pemerintah , Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk menjamin
pembangunan di suatu daerah.
3. Kerangka Pemikiran
Secara umum ada 3 aktor penting yang
harus terlibat dalam pemberdayaan
masyarakat, yakni pemerintah, pelaku
usaha dan masyarakat. Pemerintah
sebagai regulator memiliki peran sangat
menentukan, karena dapat aturan-aturan
dan kebijakan yang mendorong dua actor
lainnya untuk dapat terlibat. Pelaku
usaha memilki peran yang sangat
strategis, bisa menjadi pendukung dari
segi financial, sekaligus menjadi mitra
serta pembina dalam pengembangan
usaha yang dikembangkan oleh para
UKM hasil pemberdayaan yang
dilakukan. Sementara masyarakat akan
memberikan peran sebagai pemberi
dukungan spirit dan kesadaran terhadap
pelaku UKM. Secara umum peran
ketiga actor seperti berikut :
Gambar 3. Peran dan Fungsi 3 aktor utama dalam penanggulangan kemiskinan
4. Metodologi
Metodologi pemberdayaan masyarakat
dilakukan melalui FGD pelatihan secara
langsung (metode praktek) dan advokasi
(pendampingan). FGD dilakukan untuk
memilih potensi unggulan daerah,
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan
SDM melalui pelatihan, strategi
pengembangan dan dilanjutkan dengan
advokasi/pendampingan usaha.
Secara garis besar metode kegiatan
sebagai berikut :
Persiapan
Need Assessment
IdentifikasiPotensi Unggulan
Pendampingan
Pelaporan
FGD dan Survai
Pengembangan Usaha berbasis potensi unggulan
PotensiUnggulan
Pelatihan SDM
Swot analisis
Gambar 3. Tahapan dan Metode Pemberdayaan
5. Hasil dan Pembahasan
Pengembangan model pemberdayaan
masyarakat ini dilakukan di Kecamatan
Tapos Kota Depok. Pemilihan daerah
ini atas pertimbangan sebagai
kecamatan baru hasil pemekaran di Kota
Depok yang sebagian masyarakatnya
masih tergolong kelompok miskin,
padahal secara geografis lokasinya
sangat strategis. Kegiatan
pemberdayaan ini dilakukan atas
dukungan dari program CSR dari PT
PPA .
Hasil needs assessment menunjukkan
bahwa sebagian besar kelompok
masyarakat sasaran menginginkan untuk
memiliki kegiatan usaha produktif
dalam upaya meningkatkan taraf
hidupnya. Diantara sekian banyak
potensi kegiatan usaha yang mungkin,
berdasarkan kondisi sumberdaya
manusia dan potensi alamnya,
pengembangan kegiatan usaha ternak lele
merupakan aktifitas produktif yang
paling cocok. Hasil analisis Swot
terhadap pengembangan usaha ternak
lele sebagai tabel berikut :
a. Faktor Internal
Kekuatan Kelemahan
1. Tidak membutuhkan lahan yang
luas, dapat dilakukan di sekitar
tenmpat tinggal masyarakat.
2. Hampir sebagian masyarakat
memiliki tempat untuk berternak
lele.
3. Mudah system pembudidayaan nya
4. Kebutuhan pasar untuk lele
potensinya yang sangat luas.
5. Mudah untuk memperoleh bibit lele
6. Sebagian besar masyarakat gemar
mengkonsumsi ekan lele
1. Belum terbentuk kelembagaan
para petani lele, sehingga harga
ditentukan oleh pembeli.
2. Sistem pembudidayaan ikan lele
oleh para petani masih dilakukan
secara tradisional, sehingga
produktifitasnya rendah.
3. Memerlukan ketekunan dalam
berusaha.
4. Memerlukan sumber air yang
mencukupi dan bukan air sisa
cucian rumah tangga
5. Keterbatasan modal dan
ketrampilan teknis budidaya bagi
masyarakat
6. Keterbatasan akses pasar
b. Faktor Eksternal
Peluang Tantangan
1. Tumbuh dan berkembangnya warung
dan restoran pecel lele.
2. Pengembangan lele menjadi produk
lain seperti sosis dan abon lele.
3. Meningkatnya konsumsi ikan lele oleh
masyarakat
1. Adanya tuntutan Standarisasi
kualitas produk.
2. Munculnya saingan dari kelompok
pengusaha besar yang mampu
menguasai pasar
3. Semakin mahalnya harga tanah
untuk keperluan permukiman atau
bangunan lainnya yang lebih
menguntungkan.
4. Bibit lele yang masih dikuasai oleh
kelompok tertentu saja.
Keberhasilan penciptaan wirausaha baru
memalui pemberdayaan masyarakat
sangat ditentukan oleh beberapa aspek :
1. Peningkatan kapasitas individu
(capacity building) calon pelaku
usaha (kelompok masyarakat
sasaran)
2. Penguatan kelembagaan
kelompok wirausaha baru sasaran
3. Pendampingan kelompok usaha
sasaran
Peningkatan kapasitas individu
mencakup kemampuan dan ketrampilan
berwira usaha. Dalam hal ini para
peserta dilatih untuk dapat melakukan
budidaya lele mulai dari proses
pembibitan, pemberian pakan, pemisahan
sampai pemasaran produknya. Penguatan
kelembagaan petani/pelaku usaha
meliputi pembentukan kelompok usaha
bersama, dan pembentukan koperasi
usaha bersama, Melalui kelembagaan
inilah bantuan teknis dan manajemen
diberikan. Pembentukan kelompok
usaha bersama ini juga memudahkan
monitoring dan evaluasi. Kegiatan
pelatihan dan pendampingan adalah
kegiatan yang harus dilakukan secara
terprogram dan berkelanjutan.
Programnya harus dirancang sesuai
dengan kondisi obyektif yang ada.
Dalam kenyataannya yang dapat
merancang kegiatan berdasarkan hasil
need assessment hanya dari kalangan
akademisi., sementara dukungan
anggaran dan fasilitas diberikan oleh
pelaku usaha danpemerintah setempat.
Pendampingan usaha oleh team
merupakan kunci keberlanjutan usaha,
setiap kelompok didampingi oleh 1-2
orang yang selalu memantau dan menjadi
sumber rujukan dalam setiap menangani
masalah yang dihadapi oleh
kelompoknya.
Pada kegiatan pemberdayaan ini
dibentuk 5 kelompok dengan masing-
masing kelompok 5-7 orang; setiap
kelompok mendapatkan bantuan dana
untuk modal awal Rp 3 juta (beli biibit,
pakan dll). Dalam waktu 6 bulan 4 dari
lima kelompok dibentuk dinyatakan
berhasil dan mampu untuk membuat
kegiatan usaha mandiri, sementara itu
satu kelompok lagi dinyatakan gagal.
Salah satu factor penyebab kegagalannya
karena sebagian besar anggota kelompok
hanya menjadikan sambilan (kurang
seirus) dalam menjalankan kegiatannya.
Dari 4 kelompok yang dinyatakan
berhasil tersebut telah mampu
membentuk kelompok baru sebanyak 2
kelompok dan memberikan pelatihan
kepada kelompok tersebut.
Secara ekonomis kegiatan usaha dari
kelompok hasil binaan sangat layak,
tetapi permasalahan utama yang dihadapi
adalah skala usaha, yang disebabkan oleh
keterbatasan modal. Oleh karena itu
dukungan program CRS dari pengusaha
sangat diperlukan. Hal ini juga
memberikan petunjuk bahwa program
penanggulangan kemiskinan harus
dilakukan secara lebih focus dengan
memperhatikan potensi daerah yang
dimiliki. Dengan modal kerja Rp 3
juta/kelompok (6-7 orang) dan biaya
operasional selama 6 bulan bagi
pendamping Rp 4.5 juta atau total untuk
4 kelompok Rp 16.5 juta akan mampu
menyerap sekitar 20 orang. Jika
dibandingkan program penanggulangan
kemiskinan secara nasional yang
memakan biaya trilyunan dengan hasil
yang belum begitu jelas, maka program
pemberdayaan ini jauh lebih efektif.
Oleh karena itu pola ini bisa direplikasi
untuk dijadikan model nasional.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada
kegiatan ini, maka model pemberdayaan
masyarakat yang ideal seperti berikut :
Gambar 4. Model pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan WUB
Pengentasan kemiskinan melalui
pengembangan Wirausaha Baru (WUB)
harus dilakukan secara integrative-
holistik, mulai dari pembangunan sarana
infrastrukturnya, dan kebijakan yang
harus memihak (oleh pemerintah),
dukungan permodalan (oleh pelaku usaha
dan perbankan/lembaga keuangan),
pelatihan dan pendampingan oleh
akademisi. Dengn kata lain integrasi
ABG (Academicus, Businessman dan
Government) dalam program
pengentasan kemiskian merupakan
bentuk yang ideal dengan peran dan
fungsinya masing-masing.
Kesimpulan
Keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat untuk menciptakan Wira
Usaha Baru (WUB) dalam kaitannya
dengan penanggulangan kemiskinan
ditentukan oleh : (1) ketepatan program
pelatihan yang diberikan, (2)
pendampingan yang berkelanjutan dan
(3) kelembagaan bagi para wirausaha
baru yang dibentuk. Pengembangan
usaha berbasis sumber daya alam
unggulan daerah merupakan pilihan
yang paling cocok bagi penciptaan
wirausaha baru. Model pemberdayaan
masyarakat yang ideal adalah model
terpadu yang melibatkan ABG
(Academicus, Businessman,
Government), dengan peran dan
fungsinya masing-masing.
Daftar Pustaka
Bappeda Depok. 2010. Depok Dalam
Angka 2009. Pemerintah Kota Depok.
Hamid,S.E. 2010. Targets and Strategies
of Poverty Alleviation in
Indonesia. Faculty of
Economics_Islamic Univerity
of Indonesia. Jogyakarta.
Pemda Depok. 2009. Rencana Induk
Penaggulangan Kemiskinan
Kota Depok. BAPPEDA
Depok.
______________. 2006. Rencana
Pembangunan Jangka
Menengah Kota Depok
(2006-2011)
Sumardjo. 2010. Karakteristik
Pembangunan Perdesaan :
Pemikiran Guru Besar
Perguruan Tinggi Badan
Huku Milik Negara. IPB
Press, Bogor.
Susetiawan. 2010. Pembangunan
Perdesaan Dalam Rangka
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat. Pemikiran
Guru Besar Perguruan
Tinggi Badan Huku Milik
Negara. IPB Press, Bogor.
Sumodiningrat,G. 2009. Poverty
Alleviation in Indonesia : an
Overview, Bappeas, Jakarta.
WWW.Scribd.com. Strategi
Penanggulangan di
Indonesia, download 7 Maret
2011.
WWW.P2KP.Org. Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan,
download 7 Maret 2011.
WWW.ahmadrizani.wordpress.com.
Strategi Penciptaan
Wirausaha Kecil Menengah
yang Tangguh. Download 6
Maret 2011