Upload
ngominh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODEL KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PADA HUTAN
TANAMAN INDUSTRI Acacia mangium Sp.
Kelompok 7
1. Putri Septiani E14100032
2. Dyah Ayu Putri E14100056
3. Harlyn Harlynda E14100070
4. Shema Mukti Anggraeni E14100072
5. Nur Fatah Yulianto E14100084
6. Cahya Faisal Reza E14100141
7. Ridwan Adinegoro E14100088
8. Abdul Muis E14100140
9. Andika R. E14100002
Dosen
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan bentang
lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan
dalam persekutuan dengan lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan (UU No. 41 tahun 1999). Kawasan hutan merupakan suatu
areal yang telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai hutan tetap oleh negara.
Secara garis besar, kawasan hutan ini dibagi berdasarkan fungsinya yaitu hutan
produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung. Salah satu fungsinya yang akan
menjadi objek bahasan adalah fungsi hutan sebagai kawasan produksi. Seperti
namanya, hutan produksi berfungsi sebagai hutan yang digunakan untuk
memproduksi hasil hutan baik kayu maupun non kayu, salah satunya adalah
seperti HTI. Karena ada kaitannya dengan produksi, pastinya terdapat yang
namanya suatu korbanan sumberdaya ekonomi dalam bentuk biaya
pengeluaran dan pendapatan (benefits) atau keuntungan. Untuk mengetahui
suatu usaha dari kegiatan produksi pengelolaan sumberdaya hutan itu
menguntungkan atau tidak maka dikenal istilah kegiatan analisis kelayakan
usaha atau disebut juga feasibility study. Analisis kelayakan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat
diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha, dan hasil dari analisis ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam
kelanjutan atau keberlangsungan usaha yang dilakukan.
Pohon jenis Acacia mangium adalah tumbuhan berkayu anggota marga
Acacia yang banyak tumbuh di wilayah Papua dan Maluku. Tumbuhan ini
merupakan pohon yang memiliki potensi kayu yang baik. Dalam sepuluh tahun
terakhir permintaan pohon akasia ini yang umurnya lima tahun semakin
meningkat. Selain digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas, juga banyak
digunakan untuk veener, dan perabot rumah seperti lemari, kusen, dll. Paper ini
dibuat untuk membuat skenario pemodelan kelayakan usaha dari pengelolaan
HTI menggunakan jenis Acacia mangium.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari simulasi pemodelan ini adalah:
Menganalisis kelayakan finansial pengusahaan HTI Acacia mangium sp
pada suku bunga saat ini yaitu 13%.
Menduga pengaruh perubahan suku bunga terhadap kelayakan usaha HTI
tersebut.
1.3 Manfaat
Dari pemodelan ini diharapkan dapat memberi gambaran kelayakan finansial
pengusahaan hutan tanaman industri Acacia mangium sp sehingga dengan layak
atau tidak pengusahaan hutan tersebut dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan dalam pengembilan keputusan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan merupakan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (undang-undang
no. 41 tahun 1999). Definisi lain menyebutkan, hutan merupakan suatu ekosistem
natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas
tertumbuh paling besar yang berkemampuan untuk pulih kembali dari perubahan-
perubahan yang dideritanya, sejauh hal tersebut tidak melampaui batas-batas yang
dapat ditoleransi dari hutan itu sendiri (Arief, 1994).
Sehubungan dengan berkurangnya potensi hutan alam, sebagai upaya untuk
merehabilitasi hutan dan lahan yang tidak produktif dan yang sudah terlanjur
rusak, serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri,
maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1990
tentang Program Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Sejak tahun 1990 sudah
mulai dilakukan berbagai model pengelolaan hutan, baik dengan jenis campuran
maupun yang homogen. Salah satunya adalah pola pengelolaan hutan dengan
jenis seragam atau homogen yang biasa disebut Hak Pengusaaan Hutan Tanaman
Industri (HP-HTI), atau sering juga disebut Hutan Tanaman Industri (HTI).
Kebijakan ini diharapkan bisa menjadi jawaban terhadap pemenuhan kebutuhan
akan kayu yang begitu besar, serta pengelolaan hutan berkelanjutan. Hutan
Tanaman Indonesia adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya
(satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku
industri hasil hutan kayu maupun non kayu (Dephut, 2009). Tujuan dari
pembangunan HTI ini adalah untuk meningkatkan produktivitas hutan produksi
dan mendorong daya saing produk industri perkayuan. Hutan tanaman industri
yang diharapkan dapat mengurangi beban hutan alam dalam memasok bahan
baku industri masih jauh dari harapan baik luas maupun kualitasnya. Sejak
dicanangkan program ini, terjadi pertambahan hutan sekitar 2,5 juta ha, padahal
target yang ditetapkan pemerintah sebesar satu juta ha per tahun.
Sasaran pembangunan kehutanan menurut Rencana Strategis Departemen
Kehutanan. Hutan Tanaman Industri ini begitu penting peranannya, antara lain:
a. Penurunan kapasitas produksi hutan alam dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi hutan
buatan dalam rangka mempertahankan peranan sektor kehutanan dalam
pembangunan nasional.
b. Penurunan supply bahan baku industri perkayuan dari hutan alam perlu
diatasi dengan peningkatan supply dari hutan buatan HTI dalam rangka
mempertahankan pertumbuhan industri kehutanan yang sangat besar
peranannya bagi pembangunan sosial-ekonomi nasional.
c. Penurunan kapasitas pemeliharaan lingkungan hidup dari hutan alam perlu
diimbangi dengan peningkatan peranan dari hutan buatan HTI.
Masih banyak lagi alasan lain tentang perlunya HTI dalam usaha
peengelolaan hutan. Namun perlu dicatat bahwa tidak ada pernyataan yang
menyatakan HTI lebih baik dari hutan alam secara keseluruhan (Darusman, 2006).
Pembangunan Hutan Tanaman dilaksanakan bukan hanya pada kawasan hutan
dengan tipe ekosistem hutan daratan (tanah kering), tetapi juga pada ekosistem
hutan rawa gambut. Pada umumnya kawasan hutan yang dijadikan hutan tanaman
adalah hutan sekunder atau bekas tebangan yang kurang produktif atau semak
belukar. Walalupun demikian pada kawasan hutan sekunder tersebut masih
terdapat beberapa keanekaragaman hayati yang mungkin tergolong unik, khas,
langka, dilindungi atau endemik. Oleh karena itu, sangat penting dalam
pengelolaan mempertimbangkan keberadaan keanekaragaman jenis hayati
tersebut untuk sedapat mungkin dipertahankan ( Santoso, 2006).
Tegakan atau tegakan hutan (forest stand) merupakan suatu areal hutan
beserta pepohonan yang rnendapat pemeliharaan sarna. Menurut Baker
dkk. (1979), tegakan dapat didefinisikan sebagai suatu unit pengelolaan hutan
yang cenderung homogen dan dapat dibedakan secara jelas dengan tegakan di
sekitarnya oleh umur, komposisi jenis, struktur hutan, tempat turnbuh, dan
keadaan geografisnya. Struktur tegakan hutan rnerupakan sebaran jumlah
pohon pada berbagai kelas diameter yang secara matematis pengertian ini
dapat dipandang sebagai hubungan fungsional antara diameter dengan
jumlah pohon per satuan luas. Struktur tegakan hutan memiliki bentuk
tertentu untuk setiap tempat tumbuh, jenis dan keadaan tegakan hutan
(Suhendang, 1985).
Struktur tegakan terbagi atas struktur tegakan vertikal dan struktur
tegakan horizontal. Struktur tegakan horizontal adalah banyaknya pohon per
satuan luas pada setiap kelas diametemya. Struktur tegakan vertical didefinisikan
oleh Richard (1964) sebagai sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk.
Dalam penelitian ini yang dimaksud struktur tegakan adalah struktur tegakan
horizontal yang diterangkan oleh Meyer et al., (1961) sebagai sebaran jumlah
pohon pada berbagai kelas diameter atau hubungan fungsional antara kerapatan
jurnlah pohon dengan kelas diametemya.
Tegakan hutan diklasifikasikan berdasarkan komposisi kelas umur
memjadi dua bagian (Indriyanto, 2006) :
a. Tegakan hutan seumur merupakan tegakan yang berisi pepohonan
yang berumur lebih kurang sama. Akan tetapi, mungkin komponen
tegakan secara keseluruhan berbeda umur. Dapat juga diartikan, bahwa
tegakan seumur merupakan tegakan yang semua pohonnya ditanam pada
tahun yang sama atau ditanam pada waktu bersamaan.
b. Tegakan hutan tidak seumur merupakan tegakan yang berisi pepohonan
dengan umur berbeda. Secara teoritis memang tegakan tidak seumur berisi
pepohonan setiap umur, misalnya dari semai yang belum berumur
setahun sarnpai pohon lewat masak tebang.
Pemodelan (modelling) adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu.
Model adalah abstraksi dari sebuah sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di
dunia nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata
kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya.
Pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Sebuah pengetahuan
karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan urutan yang sesuai.
Sebuah seni, karena pemodelan mencakup bagaimana menuangkan persepsi
manusia atas dunia nyata dengan segala keunikannya.
Sistem sendiri merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau
elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi
atau energi. Karakteristik pemodelan adalah sebagai berikut:
1. Dibuat dalam bentuk grafis dan tambahan keterangan secara tekstual.
2. Dapat diamati dengan pola top down dan partitioned
3. Memenuhi persyaratan minimal redundancy.
4. Dapat merepresentasikan tingkah laku sistem dengan cara yang
transparan.
Dari karakteristik pemodelan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model
dibuat dalam bentuk grafis sehingga dapat memudahkan orang lain dalam
membaca suatu model, karena dilengkapi dengan keterangan dari gambar tersebut.
Menurut Grady Booch, James Rumbaugh dan Ivar Jacobson prinsip dari
permodelan adalah:
1. Memilih model apa yang digunakan, bagaimana masalahnya, dan
bagaimana solusinya.
2. Setiap model dapat dinyatakan dalam tingkatan yang berbeda.
3. Model yang terbaik adalah yang berhubungan dengan realitas.
4. Tidak pernah ada model tunggal yang cukup baik, setiap sistem yang
baik memiliki serangkaian model kecil yang independen
Prinsip pemodelan sistem tidak terlalu menitik beratkan pada bentuk
model apa untuk merancang sebuah sistem, bentuk model ini bebas, bisa
menggunakan bentuk apa saja, sesuai dengan keinginan. Namun yang terpenting
adalah harus mampu merepresentasikan visualisasi bentuk sistem yang diinginkan
oleh user, karena sistem yang dibuat bagi user akan diturunkan dari hasil model
tersebut (Wijaya, 2010). Beberapa macam model sistem adalah:
1. Model konteks merupakan model yang membutuhkan kondisi optimal
dimana batas antara sistem dan lingkungan relatif jelas. Model ini bisa
dilakukan secara break-down menjadi satu atau lebih entitas-entitas sub
sistem yang juga berinteraksi dengan lingkungannya. Perbedaan sistem
dengan sistem lain dalam model ini tidak terikat secara lokasi, tetapi
lebih pada proses yang terjadi.
2. Model perilaku merupakan model yang memiliki fokus pada perilaku
sistem secara menyeluruh. Jenis dari model ini adalah model aliran data
dan model mesin status. Ciri khas dari model ini adalah sebagian besar
sistem bisnis dan sistem real time.
3. Model Aliran data merupakan model yang adanya aliran pemrosesan
dan transformasi data. Contoh dari pemodelan ini adalah diagram air.
Model ini bersifat sederhana dan intuitif.
4. Model state machine merupakan model yang memodelkan perilaku
sistem sebagai tanggapan atas event internal atau eksternal. Biasanya
diterapkan pada sistem real time dan menggunakan notasi UML. Sifat
dari model ini adalah bisa diterapkan superstate dan enkapsulasi
beberapa status.
5. Model data merupakan model yang difokuslan pada fungsional dari
database. Ciri khas dari model ini adalah database dianggap sebagai
sebuah sistem yang independen terhadap sistem perangkat lunak.
6. Model objek merupakan model yang sedang ngetrend sekarang. Latar
belakang dari model ini adalah semakin bertambah kompleksnya
lingkup pengembangan perangkat lunak. Ciri khas dari model ini adalah
terdapat kelas atau objek, atribut, dan behavior atau perilaku dari kelas
bersangkutan.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pembuatan model kelayakan finansial usaha pada hutan tanaman industri
Acacia mangium sp ini dilakukan pada minggu ke-9 sampai minggu ke-14
semester 7 tahun ajaran 2013/2014, bertempat di ruang kuliah RK X 3.04 Fakultas
Kehutanan IPB.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pembuatan model pengelolaan hutan tanaman
industri yang lestari ini adalah seperangkat laptop yang dilengkapi software Stella
9.02, Microsoft Office dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah
data hipotetik dari pengusahaan HTI.
3.3 Prosedur Kerja
1. Mengidentifikasi isu, tujuan, hipotesis dan batasan sistem yang dibuat.
a. Tujuan pembuatan model : Memprediksi kelayakan finansial
pengusahaan HTI Acacia mangium sp pada suku bunga saat ini
yaitu 13% dan menduga pengaruh perubahan suku bunga terhadap
kelayakan usaha HTI tersebut.
b. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka hipotesis yang akan
diuji pada simulasi pemodelan kali ini adalah :
Terdapat batas maksimum suku bunga yang diberikan agar
perusahaan tersebut memiliki NPV=0.
Pemberlakuan suku bunga di atas batas maksimum maka
pengusahaan HTI tersebut tidak layak.
c. Batasan sistem :
Daur adalah interval waktu (dalam tahun) antara penanaman
sampai pemanenan yaitu 7 tahun.
Tegakan hutan seragam dan diasumsikan pertumbuhannya
sama dari awal penanaman sampai akhir penanaman.
Struktur tegakan adalah banyaknya pohon pada blok dengan
luas 100 Ha.
Jenis tanaman yang dikelola adalah akasia.
Pemanenan hasil hutan dilakukan dengan cara tebang habis.
Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar
terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas
diameter dibawahnya dalam periode waktu tertentu.
Mortality adalah banyaknya pohon yang mati dalam periode
waktu tertentu.
Sektor pengeluaran perusahaan tidak meliputi investasi alat
untuk kegiatan pembangunan hutan, penjarangan, dan
pemanenan karena proyek diusahakan dengan melibatkan
kontraktor.
Analisis finansial dilakukan dengan mencari nilai NPV.
2. Mengumpulkan data atau variabel-variabel terkait model.
Variabel-variabel yang digunakan :
a. Sub model areal hutan:
1. State Variabel: Jumlah pohon per ha (Nha)
2. Aliran Materi: Penanaman awal dan pengganti bibit mati,
panen, mortality, dan penjarangan
3. Driving Variabel: Laju penjarangan tahun ke-3 dan ke-5, laju
penananaman untuk mengganti bibit yang mati tahun 1 dan 2,
dan laju mortality tahun ke-1 – ke-7, jarak tanam, luas hutan,
dan daur
b. Sub model sektor pengeluaran:
1. Driving Variabel: Kemampuan pekerja, pupuk yang dibutuhkan,
penjarangan, penanaman awal dan pengganti bibit mati, panen,
daur, luas hutan, biaya kegiatan (persiapan lahan, pembangunan,
perencanaan blok)
2. Auxillary Variabel: Total pengeluaran (bibit, pupuk, perawatan,
pengangkutan, gaji pekerja penanam, gaji pekerja, biaya
penyewaan tanah), total pekerja per kegiatan, jumlah pupuk
yang dibutuhkan, total pengeluaran perusahaan
3. Konstanta : Harga pupuk, gaji pekerja, harga bibit
c. Sub model sektor pendapatan:
1. Driving Variabel: penjarangan, panen
2. Auxillary Variabel: Total pendapatan dari penjarangan, total
pendapatan dari pemanenan, total pendapatan perusahaan
3. Konstanta : Harga kayu hasil penjarangan dan harga kayu hasil
pemanenan
d. Sub model kelayakan usaha:
1. Driving Variabel: Suku bunga, tahun ke, total pengeluaran
perusahaan, total pendapatan perusahaan
2. Auxillary Variabel: Present value cost, present value benefit,
Net PV
3. Melakukan konseptualisasi model berdasarkan variabel-variabel yang ada.
4. Melakukan Spesifikasi model dengan menjelaskan hubungan antar variabel
dalam bentuk persamaan-persamaan.
5. Mengevaluasi model dengan uji sensitivitas.
6. Penggunaan model.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Spesifikasi Model Kuantitatif
4.1.1 Bentuk Umum Model
Bentuk umum model ini berupa persamaan deterministik dan stokastik dengan
menggunakan fungsi grafik terhadap waktu dalam menjelaskan fenomena suatu
variabel.
4.1.2 Basic Time Unit
Waktu dasar perlu ditentukan sebagai suatu generalisasi atas semua proses
simulasi yang dijalankan agar berada pada suatu satuan waktu yang sama. Dalam
pemodelan ini waktu yang digunakan dalam satuan tahun.
4.1.3 Identifikasi bentuk fungsi dari persamaan model
Berikut beberapa persamaan yang digunakan dalam menduga perilaku beberapa
submodel :
4.1.4 Hubungan antar sub model
Sub model struktur tegakan akan menjelaskan pendapatan dan pengeluaran
perusahaan. Pendapatan dan pengeluaran perusahaan merupakan indikator yang
digunakan dalam menganalisis kelayakan finansial perusahaan. Gambar berikut
menjelaskan hubungan antar sub model.
Gambar 1. Hubungan antar submodel
4.2 Hasil Simulasi
a. Struktur model tegakan hutan. Model ini menggambarkan keadaan pengelolaan
hutan pada HTI.
Gambar 2. Bentuk model struktur tegakan
Karakteristik hutan tanaman yang memiliki struktur tegakan seragam
sehingga di asumsikan semua tanaman memiliki pertumbuhan yang sama. Kondisi
hutan akan dilakukan penebangan dengan intensitas 100% atau tebang habis pada
akhir daur sebagaimana dianut pada HTI. Perilaku model dapat diamati sebagai
berikut:
Gambar 3. Output model jumlah tegakan pada intensitas 100%
Gambar 4. Sub model sektor pengeluaran perusahaan
Gambar 5. Sub model pendapatan
Gambar 6. Sub model analisis finansial
Tahun
Total
pengeluaran
perusahaan
(Rp)
Present value
cost (Rp)
Total
pendapatan
perusahaan
(Rp)
present value
benefit (Rp)
0 0 0 0 0
1 6.774.000.000 5.994.690.265 0 0
2 532.800 417.261 0 0
3 207.752.381 143.982.822 1.187.156.465 822.758.981
4 0 0 0 0
5 173.453.314 94.143.509 991.161.792 537.962.911
6 0 0 0 0
7 1.231.974.488 523.663.869 16.799.652.104 7.140.870.938
total 8.387.712.983 6.756.897.726 18.977.970.361 8.501.592.830
NPV 1.744.695.104,00
Tabel 1. Perhitungan pendapatan dan pengeluaran pada saat suku bunga 13%
Gambar 7. Grafik Present value pengeluaran dan pendapatan perusahaan
pada suku bunga sekarang
Pada keempat sub model yang dibuat masing – masing sub model
memiliki variabel yang berbeda – beda, diamana antar sub model tersebut saling
berhubungan dan berkaitan satu sama lain yang secara berurutan dan pada
akhirnya mencari nilai kelayakan usaha dari HTI tersebut.
Pada sub model areal hutan terdapat stock berupa jumlah pohon per luasan
ha, dimana input atau yang dapat meningkatkan jumlah pohon adalah adanya
penanaman untuk mengganti bibit yang mati pada tahun ke-1 dan ke-2 dan
outpunya merupakan kegiatan pemanenan kayu pada akhir daur. Selain itu output
atau yang dapat mengurangi jumlah pohon dalam tegakan tersebut adalah adanya
kematian pohon setiap tahunnya dan adanya kegiatan penjarangan yang terjadi
pada tahun ke-3 dan ke-5. Kegiatan penjarangan ini dilakukan untuk memberikan
ruang pada tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari lebih banyak dan
mengurangi persaingan unsur hara antar tanaman serta memberikan ruang tumbuh
pada anakan yang berada dibawah tegakan. Penjarangan dilakukan pada pohon
yang sakit, mati, dan pohon yang pertumbuhannya tidak optimal yang akan
mengganggu pertumbuhan pohon disekitarnnya. Selain itu juga penjarangan ini
dapat meningkatkan pertumbuhan pohon karena ruang tumbh lebih besar, hasil
penjarangan akan menjadi pemasukan untuk perusahaan.
Jumlah pohon per hektar akan semakin menurun setiap tahun karena
adanya kegiatan penjarangan dan kematian pohon, dimana jumlah pohon yang
ditanam pada tahun pertama sebanyak 40.000 pohon dan setiap akhir daur.
Penanaman pohon yang dilakukan hanya 2 kali setiap satu daur yaitu pada tahun
ke-1 sebanyak 40.000 pohon dan tahun kedua sebanyak 288 pohon selain itu tidak
ada kegiatan penanaman. Penjarangan yang telah dibahas diatas yaitu hanya
dilakukan 2 kali dalam satu daur yaitu pada tahun ke-3 sebanyak 5.935,78 pohon
dan tahun ke-5 sebanyak 4.955,81 pohon. Kematian pohon terjadi pada tahun ke-2
samapi tahun ke-6 dimana banyaknya pohon yang mati paling besar sebanyak 360
pohon pertahun dan paling sedikit sebanyak 84 pohon pertahun. Kegiatan
pemanenan hanya dilakukan pada akhir daur sebanyak 27.999,42 pohon, dimana
jumlah pohon yang dipanen ini telah dikurangan dari kegiatan penjarangan dan
pohon yang mati.
Pada sub model sektor pengeluaran merupakan kumpulan komponen biaya
atau pengeluaran yang diperuntukkan untuk kegiatan pemeliharaan tegakan
(pemupkan, pembelian bibit dan perawatan tanaman), kegiatan teknis
(pemanenan, penjarangan, pengangkutan, penanaman), penyewaan tanah, dan gaji
pekerja untuk setiap kegiatan pengelolaan hutan. Total pengeluaran dari kegiatan
pengelolaan hutan tergolong cukup besar, biaya terbesar pada awal tahun yaitu
sebesar Rp 6.774.000.000 yang kemudian biayanya menurun dan meningkat
kembali pada tahun ke-7 sebesar Rp 1.231.974.487,62. Pengeluaran perusahaan
paling banyak pada tahun pertama karena pada tahun ini merupakan persiapan
untuk semua kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan tahun berikutnya hanya biaya
yang dikeluarkan pertahun dan meningkat kembali pada akhir daur karena adanya
kegiatan pemanenan hutan sehingga adanya pengeluaran untuk penyedia sarana
dan prasarana untuk kegiatan tersebut. Pengeluaran tidak ada pada tahun ke-4 dan
ke-6 karena tidak adanya kegiatan. Jika daur menjadi lebih pendek maka
produktivitas kayu harus lebih ditingkatkan setiap tahunnya sehingga
membutuhkan jumlah tenaga kerja yang lebih besar untuk setiap kegiatan
pengelolaan hutan dan kegiatan pemeliharaan yang lebih intensif untuk memenuhi
target produksi sehingga biaya yang dikeluarkan juga semakin besar dan begitu
juga sebaliknya. Dengan kata lain jika daur menjadi lebih pendek dari sebelumnya
maka akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat disekitar hutan karena
volume pekerjaan yang dibutuhkan lebih besar.
Untuk sub model sektor pendapatan adalah semua pendapatan yang akan
diterima oleh perusahaan dari hasil usaha tersebut. Sumber pemasukan dari HTI
ini ada dua macam yaitu penjarangan pohon pada tahun ke-3 dan ke-5 serta
pemanenan kayu pada akhir daur (tahun ke-7). Total pendapatan baik dari hasil
penjarangan maupun hasil pemanenan kayu didapatkan dengan mengalikan harga
kayu dengan jumlah pohon yang dijarangi dan jumlah pohon yang dipanen. Total
pendapatan perusahaan merupakan penjumlahan dari pendapatan hasil
penjarangan dan pendapatan hasil pemanenan. Besarnya pendapatan dari hasil
penajrangan tahun ke-3, penjarangan tahun ke-5 dan pemanenan kayu tahun ke-7
masing-masing sebesar Rp 1.187.156.465; Rp 991.161.792; dan Rp 16.799.652.104.
Kelayakan usaha merupakan suatu indikator usaha tersebut dapat
dijalankan dengan pendapatan yang diterima haruslah besarnya lebih besar sama
dengan biaya yang dikeluarkan untuk usaha tersebut. Untuk menyatakan sebuah
usaha dikatakan layak maka ada beberapa indikator yang harus ditentukan
nilainya, dimana dalam kasus ini digunakan NPV (Net Present Value). Untuk
menentukan nilai NPV maka nilai present value cost dan present value benefit
dengan menggunakan discount factor dengan suku bunga 13% dan tahun ke-7.
Nilai NPV didapatkan dari pengurangan antara present value benefit dan present
value cost. Nilai present value cost dimulai dari tahun pertama sebesar Rp
5.994.690.265 dan semakin kecil hingga tahun ke-7 dan kemudian nilainya
semakin besar setiap awal daur selanjutnya dan menurun hingga akhir daur begitu
seterusnya karena dipengaruhi oleh suku bunga dimana semakin lama maka nilai
uang akan semakin tinggi nilainya. Untuk present value benefit dimulai pada
tahun ke-3 sebesar Rp 822.758.981; pada tahun ke-5 sebesar Rp 537.962.911; dan
tahun ke-7 sebesar Rp 7.140.870.938 dan nilainya akan semakin besar pada daur
berikutnya untuk tahun yang sama karena pengaruh suku bunga.
Nilai NPV bernilai negaif pada tahun pertama – Rp 5.994.690.265 karena
belum adanya pendapatan oleh perusahaan dan tahun kedua sebesar –Rp
417.260,55 serta pada tahun pertama dan kedua pada daur. NPV bernilai positif
pada tahun ke-3, ke-5 dan ke-7 karena jumlah pendapatan lebih besar
dibandingkan pengeluaran perusahaan, nilai NPV akan bernilai positif juga pada
tahun ke-3, ke-5 dan ke-7 nilainya semakin besar karena pengaruh suku bunga
tahunan. Pada akhir daur nilai NPV adalah Rp 1.744.695.104, usaha HTI
dikatakan layak jika nilai NPV ≥ 0 dalam HTI Acacia mangium ini telah
memenuhi syarat tersebut sehingga usaha HTI ini dikatakan layak untuk
diusahakan dengan jangka waktu tersebut
4.3 Evaluasi Model
Untuk mengetahui batas suku bunga agar suatu usaha dikatakan layak maka
dilakukan fase evaluasi model, yaitu dengan melakukan uji sensitifitas pada
persen suku bunga. Uji sensitivitas ini dilakukan sebanyak 6 kali yaitu untuk suku
bunga 13%,15%, 17%, 19%, 21%, dan 23%. Berdasarkan pengujian sensitifitas
maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Gambar 8. Pengaruh persen suku bunga terhadap NPV (1) sukubunga 23% (2)
21%(3) 19% (4) 17% (5) 15% dan(6) 13%.
Berdasarkan uji sensitivitas yang digunakan dinamika sistem yang dibangun
menunjukan semakin tinggi nilai suku bunga, maka nilai sekarang dari
pendapatan akan semakin rendah sehingga NPV akan menjadi negatif. Hal ini
sangat tidak diinginkan karena dengan suku bunga yang tinggi maka usaha
tersebut menjadi tidak layak untuk diusahakan. Dan batas suku bunga agar
perusahaan impas atau mempunyai NPV mendekati nol adalah 17-18%. Hal ini
ditunjukan oleh pendapatan dan pengeluaran yang seimbang nilainya.
4.4 Penggunaan Model
Terdapat beberapa simulasi skenario yang dibuat yang berintikan pada
simulasi pemberlakuan suku bunga. Hasil simulasi tersebut telah dianalisis dan
dampaknya bagi kelayakan suatu usaha HTI tersebut dapat diketahui dari hasil
simulasi tersebut. Beberapa studi literatur terhadap kebijakan ekonomi khususnya
diperlukan untuk memprediksi nilai suku bunga dimasa mendatang dan hasil
prediksinya dapat memberikan informasi yang digunakan dalam pengambilan
keputusan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan simulasi pemanenan yang dilakukan pada HTI dengan berbagai
sukubunga yang diberlakukan, maka pada sukubunga yang berlaku sekarang yaitu
13% perusahaan layak secara finansial untuk diusahakan. Batas suku bunga
maksimum yang diberlakukan agar perusahaan tidak mengalami kerugian adalah
17-18% dan untuk suku bunga lebih besar dari itu maka perusahaan tidak layak
diusahakan.
Saran
Untuk peningkatan keakuratan atau agar model ini mendekati keadaan
sebenarnya di alam, maka diperlukan perbaikan terhadap model ini. Terutama
variabel penambahan variabel yang digunakan untuk menganalisis kelayakan
finansialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap lingkungan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Bone .2010. Model dinamika struktur tegakan untuk pengaturan hasil hutan alam
bekas tebangan : kasus HPH PT. Gema Hutan Lestari pulau Buru provinsi
Maluku. Skripsi
Daniel TW, Helms JA, Baker FS. 1979. Principles of Silviculture. New York:
McGraw-Hill.
Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Di dalam:
Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Pusat
Litbang Kehutanan. Bogor.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian
Keberhasilan Reklamasi Hutan. Jakarta: Kementrian Kehutanan
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2002. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
4795/Kpts-II/2002 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Desa Hutan oleh
Pemegang HPHTI. Jakarta: Dephut.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Meyer et al. 1961. Forest Management, 2nd
edition. New York: The Ronald Press
Company.
Richard PW. 1964. The Tropical Rain Forest an Ecological Study. Cambridge at
The University Press. Cambridge.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Santosa H. 2006. Hutan Rakyat Menuju Alternatif Sumber Bahan Baku Industri
Perkayuan di Indonesia. Di dalam: Pasokan Bahan Baku Kayu untuk
Mendukung Industri Perkayuan di Indonesia. In-House Experts Working
Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Hujan Dataran
Rendah di Bengkunat Propinsi DT I Lampung. [Thesis]. Fakultas
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Susanto, Budi. 2005. Pemodelan sistem perangkat lunak. Yogyakarta: FTI
UKDW
Wijaya hendra.2010. definisi, karakteristik dan prinsip-prinsip pemodelan sistem.
{terhubungberkala]http://infopemodelansistem.blogspot.com/2010/06/defi
nisi-karakteristik-dan-prinsip.html (diunduh tanggal 2 januari 2014)