Upload
others
View
18
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
MODAL SOSIAL MASYARAKAT BETAWI DI CAGAR
BUDAYA SETU BABAKAN JAKARTA SELATAN DALAM
PELESTARIAN BUDAYA BETAWI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Sukiyanto
NIM: 1111054100038
PRODI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Sukiyanto
MODAL SOSIAL MASYARAKAT BETAWI DI CAGAR BUDAYA SETU
BABAKAN JAKARTA SELATAN DALAM PELESTARIAN BUDAYA
BETAWI
Pertumbuhan wilayah urban yang sangat heterogen mengalami
permasalahan dengan tergerusnya lingkungan kebudayaan masyarakat lokal di
wilayah urban. Permasalahan tersebut menjadi isu penting dalam penataan
wilayah di Indonesia, terkhusus DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang
mengalami perkembangan segala bidang. Penetapan Setu Babakan sebagai Cagar
Budaya Betawi oleh pemerintah DKI Jakarta merupakan salah satu respon akan
terpinggirkannya masyarakat Betawi, sebagai masyarakat lokal. Perkampungan
Budaya Betawi di Setu Babakan memiliki tujuan dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya masyarakat Betawi, selain itu juga terdapat tiga destinasi
wisata yang dapat dinikmati oleh masyarakat dan memberikan manfaat kepada
masyarakat lokal. Sehingga dalam melestarikan dan mengembangkan budaya
Betawi dibutuhkan peran serta pelbagai elemen masyarakat sebagai satu kesatuan
yang akan menjadi kekuatan masyarakat Setu Babakan.
Dalam penelitian ini ingin menganalisa bagaimana peran modal sosial
dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi di Cagar Budaya Setu
Babakan. Dengan pendekatan penelitian kualitatif, penelitian ini akan mencoba
mendeskripsikan peran konsep Kepercayaan, Jaringan, dan Norma sebagai modal
sosial dalam melestarikan budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan, serta
melihat manfaat dari Cagar Budaya Setu Babakan.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, terlihat bahwa Modal Sosial
melalui konsep Kepercayaan, Jaringan, dan Norma memiliki peran penting dalam
menyatukan masyarakat Betawi dan melestarikan budaya Betawi, serta telah
memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar Setu Babakan.
Ketiga konsep dalam memahami modal sosial tersebut memiliki hubungan yang
berkesinambungan. Konsep Kepercayaan menjadi kekuatan yang menyatukan
antar individu dan kelompok masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan
bersama serta acara rutin yang menunjukkan eksistensi budaya Betawi.
Selanjutnya konsep Jaringan sebagai ikatan atau simpul yang menjadi satu
kesatuan dalam mengakomodir kepentingan bersama, serta bekerja sama dalam
melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi. Konsep Norma atau aturan
yang berlandaskan nilai-nilai budaya Betawi menjadi landasan dalam mengatur
dinamika kehidupan masyarakat Setu Babakan dan Cagar Budaya Setu Babakan,
hal tersebut juga dibutuhkan payung hukum terkait peraturan pengelolaan Cagar
Budaya yang menjadi wacana dan saran bagi Pemerintah DKI Jakarta.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, atas berkat rahmat dan hidayahNya penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan hasil penelitian ini menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Modal
Sosial Masyarakat Betawi di Cagar Setu Babakan Jakarta Selatan dalam
Pelestarian Budaya Betawi”. Tidak lupa pula Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Setelah lebih kurang 14 semester menimba ilmu di Prodi Kesejahteraan
Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan segala keterbatasan yang ada,
penulis sangat menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini tidak akan pernah
dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan, bantuan, bimbingan, arahan, dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati, dengan
penuh keikhlasan penulis haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Sunarwi dan Ibu Satria, yang telah
menyelipkan nama anak-anaknya dalam setiap do’a yang telah
dipanjatkan kepada-Nya. Berkat do’a dan ridhonya, penulis mampu
menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini.
2. Adik saya Anniawati, Anis Zakia, Moh. Ali dan juga ipar saya
Akhmaluddin beserta keponakan saya Moh. Mundzirul Anwar yang
selalu memberikan dukungan agar segera menyelesaikan kuliyah
iii
3. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, serta segenap jajaran Dekanat Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si, selaku Ketua dan Hj. Nunung
Khoiriyah, MA, selaku Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta jajarannya. Khususnya
kepada pak Ahmad Zaky, M.Si,Ibu Dr. Siti Napsiyah, MSW, Ibu Ellies
Sukmawati, M.Si, juga kepada pak Ismet Firdaus, M.Si, dan
terimakasih atas pembelajaran diri yang telah penulis terima selama
menjadi mahasiswa Kesejahteraan Sosial.
5. Kepada dosen pembimbing saya pak Ahmad zaky, M.Si yang secara
ikhlas dan sabar senantiasa memberikan pemahaman, petunjuk dan
arahan baik dalam proses penyusunan skripsi ini, maupun dalam
memberikan pemahaman diri kepada penulis. Dan semoga Allah
memberikan kesehatan dan limpahan rizki kepada beliau.
6. Kepada segenap pengurus Cagar Budaya Setu Babakan Jakarta
Selatan, Khususnya kepada pak Murtaji, Bang Sobar, Bang Rafli dan
penulis selama proses penelitian. Serta seluruh keluarga besar Cagar
Budaya Setu Babakan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
7. Kepada HMI Cabang Ciputat, terkhusus keluarga besar HMI
KOMFAKDA. Terimakasih telah menjadi wadah penggemblengan
bagi penulis, dan semoga apa yang sudah penulis pelajari dan dalami
akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan bekal di hari tua, sebagai
iv
kader pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam akan penulis
tanamkan dan tularkan dalam kehidupan sehari-hari.
8. Kepada HMJ Kesejahteraan Sosial dan keluarga besar mahasiswa
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa
memberikan peluang dan tantangan bagi penulis selama berproses
menjadi mahasiswa. Tidak bisa dipungkiri bahwa penulis lahir disini,
dan akan berkembang di luar.
9. Terima kasih kepada teman-teman Kesejahteraan Sosial angkatan 2011
berserta angkatan yang lain yang selalu memberikan motivasi untuk
menyelesaikan masa studi
10. Tanpa mengurangi rasa hormat dan bangga, kepada para senior dan
kawan-kawan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
yang telah mengenal Sukiyanto. Terimakasih yang sebesar-besarnya
atas segala bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan
dukungannya selama penulis berada di Ciputat. Penulis yakin dan
percaya bahwa tanpa bantuan dan dukungan selama ini, maka proses
ini tidak akan sampai disini.
Ciputat, 11 Juli 2018
Penyusun,
Sukiyanto
1111054100038
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI .v
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
D. Metodologi Penelitian 14
E. Tinjauan Pustaka 21
F. Pedoman Penulisan 23
G. Sistematika Penulisan . 23
BAB II KAJIAN TEORI
A. Modal Sosial 21
1. Pengertian Modal Sosial 21
vi
2. Konsep-konsep Modal Sosial 24
B. Pelestarian Cagar Budaya 27
1. Pengertian Pelestarian 27
2. Kriteria Pelstarian 29
3. Pelestarian Cagar Budaya 30
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Kondisi sebelum Setu Babakan menjadi Cagar Budaya 33
B. Proses Setu Babakan Menjadi Cagar Budaya Betawi 33
C. Setu Babakan Sebagai Cagar Budaya Betawi 35
1. Zona Lama 36
2. Zona Baru 38
D. Pemanfaatn Ruang Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan 39
E. Kondisi Mayarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan 40
F. Kondisi Arsitektur pada Kawasan Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan 41
G. Potensi Wisata dan Agenda Kegiatan Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan 43
1. Potensi Wisata 43
2. Agenda Kegiatan 44
vii
BAB IV DATA TEMUAN MODAL SOSIAL DALAM PELESTARIAN
BUDAYA BETAWI
A. Kepercayaan (Trust) 46
B. Jaringan 50
C. Norma, Pelaksanaan, dan Sanksinya 53
BAB V ANALISA DATA TEMUAN LAPANGAN
A. Modal Sosial dalam Pelestarian Budaya Betawi 59
1. Sejarah Cagar Budaya Setu Babakan 59
2. Hubungan Modal Sosial dan Cagar Budaya Setu Babakan
60
B. Manfaat Cagar Budaya Setu Babakan 66
1. Pelestarian dan Pengembangan Budaya Betawi 66
2. Manfaat Sosial Ekonomi 67
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 69
B. Implikasi 69
C. Saran 71
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rancangan Informan 17
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1. Rumah Engkong sebagai kawasan konservasi, tempat arisan
dan pengajian bagi masyarakat Betawi 43
GAMBAR 2. Pagelaran Tari oleh anak-anak perempuan 43
GAMBAR 3. Kelompok Beksi Hasbullah latihan di Zona Lama 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenyataan bahwa pertumbuhan dan perkembangan wilayah-wilayah
urban di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat siginifikan, hal tersebut
menjadikan wilayah-wilayah urban di Indonesia sangat heterogen dalam
kehidupannya serta mengalami tantangan tersendiri dalam menanggapi
tantangan tersebut. Salah satu tantangan dan menjadi permasalahan dalam
kemajuan tersebut adalah mulai tergerusnya lingkungan kebudayaan
masyarakat lokal yang ada di wilayah urban. Hal tersebut menjadi perhatian
tersendiri bagi pemerintah dan elemen masyarakat secara keseluruhan, untuk
secara arif dan bijaksana dalam menanggapi perkembangan dan kemajuan
suatu daerah.
Dalam Al-Qur‘an Surah Ar-Rum Ayat 41 dijelaskan bahwa:
والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملىا لعلهم يرجعىن ظهر الفساد في البر
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).1
Telah dijelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi lebih
disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Kerusakan tersebut juga terjadi
di lingkungan sosial budaya, dimana hal tersebut sering melanda wilayah-
wilayah urban di Indonesia. Dalam menanggapi tantangan dan permasalahan
1 QS. Ar-Rum, ayat 41.
2
tersebut, upaya pelestarian bangunan dan lingkungan cagar budaya di
Indonesia menjadi isu penting dan berkembang sekitar tahun 1990 dalam
penataan ruang di Indonesia.2 Sehingga upaya dalam melestarikan bangunan
dan lingkungan kebudayaan pada wilayah-wilayah urban di Indonesia harus
diusahakan dalam rangka menjawab tantangan dan permasalahan yang sedang
dihadapi oleh wilayah urban di Indonesia. Perhatian pemerintah dan
masyarakat secara umum menjadi penting dalam melaksanakana pelestarian
bangunan dan lingkungan cagar budaya di wilayah-wilayah urban di
Indonesia.
Salah satu wilayah urban di Indonesia yang menjadi perhatian utama
adalah DKI Jakarta sebagai daerah Ibukota. Keadaan tersebut termasuk juga
dengan realitas yang terdapat di kawasan perkampungan Setu Babakan yang
dilokalisir oleh Pemerintah D.K.I Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang
diperuntukkan sebagai kawasan pelestarian kebudayaan betawi yang dianggap
sebagai kebudayaan asli Kota Jakarta. Hal tersebut dibuktikan dengan
ditetapkan dan diberlakukan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2015 tentang
pelestarian Budaya Betawi, yang meiliki tujuan melindungi, mengamankan
dan melestarikan budaya Betawi.3 Sehingga menjadi jelas keterlibatan
pemerintah dan masyarakat secara umum untuk ikut andil dalam
mempertahankan dan melestarikan kebudayaan lokal, yaitu kebudayaan
Betawi.
Sensus penduduk tahun 2013 menyebutkan jumlah penduduk DKI
Jakarta tak kurang dari 9,988 juta. Mereka menempati area seluas 7.659 km
persegi yang merupakan Ibu Kota Republik Indonesia. Sebuah kota yang
usianya bahkan berkali lipat dari usia Republik Indonesia itu sendiri, yakni
489 tahun. Selama itu pula kaum urban, pendatang dari pelosok negeri hingga
2 Try Ananda Rahman , ―Arahan Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Cagar
Budaya Kota Baru Di Yogyakarta‖. (Skripsi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2017) 3 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 4 Tahun 2015,
tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi
3
dari berbagai benua hilir-mudik mencari peruntungannya di Jakarta. Mereka
membentuk kelompok-kelompok baru yang budayanya terus berasimilasi dan
membaur menjadi budaya betawi, sebuah budaya yang kaya corak, ragam dan
tradisi serta memiliki dinamika yang unik dari waktu ke waktu. Menurut Junus
dan Melalatoa yang dikutip oleh Novarida, menjelaskan bahwa betawi adalah
suku bangsa yang berdiam di wilayah DKI Jakarta, dan wilayah sekitarnya
yang termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat. Suku bangsa ini biasa disebut
pula dengan orang Betawi, Melayu Betawi, atau orang Jakarta, atau Jakarte
menurut logat setempat.4
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa etnis Betawi dikenal
sebagai penduduk asli Kota Jakarta. Namun demikian, bila dibandingkan etnis
Betawi di Jakarta dengan etnis lainnya di berbagai kota di Indonesia atau
Pulau Jawa tentu sangat berbeda. Misalnya, di Jawa Barat, sebagai penduduk
asli, etnis Sunda masih terlihat mendominasi. Begitu juga dengan etnis Jawa
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jakarta, sebagai penduduk asli, etnis
Betawi tidaklah dominan baik dari segi jumlah maupun perannya. Wilayah
DKI Jakarta yang ditempati oleh etnis Betawi juga sangat kecil. Etnis Betawi
bermukim secara tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, dan
Tanggerang. Karena itulah kemudian muncul istilah Betawi Udik, Betawi
Pinggir, dan Betawi Tengah.5
Kenyataan tersebut menunjukkan keadaan masyarakat di Jakarta yang
sangat heterogen. Mengingat DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia dan
menjadi pusat pemerintahan, dimana perkembangan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya menjadi sangat terpusat di wilayah DKI Jakarta. Pembangunan
yang terfokus di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan
telah menjadikan kota tersebut sebagai harapan besar untuk tujuan bagi laju
migrasi yang membawa perubahan sosial dalam kemajemukan budaya di
4 Diah Novarida, ―Partisipasi Masyarakat Pendatang Dalam Melestarikan Rumah
Tradisional Betawi‖. (Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 5 Heru Erwanto, Etnis Betawi, Kajian Historis, Balai Penelitian Nilai Budaya Bandung.
diakses dari Jurnal Patanjala Vol 6 Nomor 1, Maret 2014: 2
4
Jakarta. Kemajemukan budaya dengan tersebarnya berbagai macam suku
bangsa di Jakarta telah membawa permasalahan tersendiri atas keberadaan
Suku Betawi sebagai suku bangsa atau penduduk asli yang menjadi identitas
DKI Jakarta.6
Betawi sebagai identitas masyarakat Jakarta merupakan pembauran
banyak unsur budaya, berbagai bangsa dan suku bangsa di Indonesia. Kota
Jakarta sebagai kota heterogen dengan berbagai suku yang ada di dalamnya
termasuk Betawi, Jawa, Sunda, Bali, Batak dan berbagai suku bangsa yang
ada di Indonesia. Begitu juga masyarakat keturunan Cina, Arab, dan India
yang menetap di Jakarta, masyarakat yang hidup di Jakarta akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Hal tersebut terjadi sejak abad ke- 17 dan
diakui sejak abad ke- 19 sebagai kelompok etnis yang berbeda dengan etnis
lainnya yang ada di wilayah Jakarta.7
Dalam perkembangnya, untuk mempertahankan keaslian masyarakat
Betawi serta melestarian lingkungan sosial budaya masyarakat Betawi, maka
ditetapkanlah Condet sebagai kawasan perkampungan budaya Betawi.
Ketetapan tersebut muncul pada masa pemerintahan Ali Sadikin sebagai
Gubernur DKI Jakarta, melalui SK No DI-7903/a/30/1975 yang menetapkan
Condet sebagai wilayah kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Dalam
perkembangannya, daerah Condet terus mengalami perubahan sosial, budaya,
maupun ekonomi. Salah satu perubahan tersebut adalah munculnya kebijakan
dari pemerintah DKI Jakarta, dengan dipindahkannya perkampungan Betawi
Condet ke Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada
masa Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta.8
6 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke
Srengseng Sawah, diakses dari Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September
2010: 563 7 Mutiara Khusnul Chotimah dalam, ―Partisipasi Warga Betawi Setempat dalam Rangka
Keberlanjutan Program Perkampungan Budaya Betawi‖, Tesis Pascasrjana UI, 2017. 8 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke
Srengseng Sawah, diakses dari Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September
2010: 561
5
Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahun 2005, Pemerintah DKI
Jakarta menetapkan daerah Setu Babakan sebagai Cagar Budaya Betawi.
Penetapan Setu Babakan sebagai kawasan cagar budaya Betawi merupakan
respon atas tingginya pergeseran tempat tinggal masyarakat bersuku bangsa
Betawi yang meninggalkan Kota Jakarta atau bergeser ke wilayah pinggiran
Jakarata.9 Keadaan yang menyebabkan bertahannya penduduk bersuku bangsa
betawi di Setu Babakan merupakan suatu kenyataan yang menjelaskan bahwa
peran dan keterlibatan dari masyarakat itu sendiri menjadi titik utama dalam
proses pelestarian budaya serta didukung dengan adanya kebijakan yang
dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Jika dilihat secara keseluruhan perkampungan Setu Babakan sebagai
kawasan Cagar Budaya Betawi sudah ditetapkan sejak dikeluarkannya SK
Gubernur No. 9 Tahun 2000. Sejak penetapan ini, pemerintah dan masyarakat
mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai
kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Selanjutnya,
pada tahun 2004 Setu Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta,
Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi.10
Adanya pengembangan
baik secara fisik memiliki dampak yang besar bagi warga betawi dan
masyarakat sekitar kawasan tersebut. Intervensi yang dilakukan oleh para
stakeholder memiliki pengaruh yang besar karena di tempat ini memiliki
sesuatu yang dapat di manfaatkan oleh publik. Oleh sebab itu adanya kearifan
lokal yang ada ditempat tersebut menjadi unsur yang utama dalam
pengembangannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahun 2005, Pemerintah DKI
Jakarta menetapkan daerah Setu Babakan sebagai Cagar Budaya Betawi.
Penetapan Setu Babakan sebagai kawasan cagar budaya Betawi merupakan
respon atas tingginya pergeseran tempat tinggal masyarakat bersuku bangsa
9 Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan
Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. 10
Salman Paludi, Seputar Setu Babakan, diakses pada Selasa, 25 Juli 2018, melalui
https://setubabakan.wordpress.com/about/
6
betawi yang meninggalkan Kota Jakarta atau bergeser ke wilayah pinggiran
Jakarat. Keadaan yang menyebabkan bertahannya penduduk bersuku bangsa
betawi di setu babakan merupakan suatu kenyataan yang menjelaskan bahwa
peran dan keterlibatan dari masyarakat itu sendiri menjadi titik utama dalam
proses pelestarian budaya serta didukung dengan adanya kebijakan yang
dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Dalam melaksanakan tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta dalam
melestarikan lingkungan kebudayaan asli Jakarta, maka diberlakukanlah
Peraturan Daerah (Perda) No. 3 tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan
Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta
Selatan. Dimana pola pembangunan Perkampungan Budaya Betawi diarahkan
untuk kelestarian budaya Betawi, keserasian bangunan dan lingkungan yang
mencerminkan ciri khas budaya Betawi.11
Dengan dasar hukum itu, untuk
melestarikan kebudayaan Betawi di tetapkanlah Perkampungan Budaya
Betawi di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Salah
satu tujuan dari adanya perkampungan budaya betawi adalah untuk
melestarikan budaya tradisional betawi yang semakin tergerus dengan
perkembangan Kota Jakarta.
Segala bentuk pelestarian ataupun konservasi terkait warisan budaya
yang dilakukan dalam kelompok sosial suatu masyarakat merupakan sebagai
bentuk kepentingan untuk melindungi kelompok sosial tersebut dalam bahaya
marjinalisasi secara sosial dan budaya yang dapat berdampak pada aspek
sosial, ekonomi, dan politik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Monika
Murzyn-Kupisz Jarosław Działek bahwa;
―Activities linked to cultural heritage (cultural and educational but
also conservation and restoration activities) addressed to different
social groups are currently regarded as a chance of social inclusion of
11
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2005
tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan
Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan.
7
persons and social groups in danger of marginalization. Such
individuals or groups disadvantaged for different reasons (economic,
social, political) may also be excluded from cultural participation and
heritage presentation.‖12
(―Kegiatan yang terkait dengan warisan budaya (budaya dan
pendidikan tetapi juga kegiatan konservasi dan restorasi) yang
ditujukan kepada kelompok sosial yang berbeda saat ini dianggap
sebagai peluang inklusi sosial dari perorangan dan kelompok sosial
dalam bahaya marjinalisasi. Individu atau kelompok seperti itu yang
dirugikan karena alasan yang berbeda (ekonomi, sosial, politik) juga
dapat dikecualikan dari partisipasi budaya dan presentasi warisan.‖)
Pelestarian menurut Fitch dalam Rachman ialah upaya untuk
memelihara dan melindungi segala obyek pelestarian dengan
memperhitungkan masyarakat yang hidup bersama obyek tersebut sebagai
suatu kesatuan. Maka terkait dengan hal pelestarian cagar budaya merupakan
salah satu metode yang paling mengedepankan suatu kesatuan yang
terintegritas antara keterlibatan masyarakat dengan obyek yang dipelihara
atau dilindungi,13
yang dalam hal ini ialah cagar budaya Setu Babakan.
Dimana hubungan interaktif antar elemen dalam masyarakat menjadi salah
satu keberhasilan dalam upaya melestarikan cagar budaya. Peran serta
masyarakat, khususnya masyarakat yang bersuku bangsa betawi, dengan tetap
menggunakan budaya betawi dalam kehidupan sosial budaya yang dijalankan
sebagai perilaku berkehidupan menjadi suatu faktor utama dalam hal
pelestarian budaya betawi itu sendiri.
12
Monika Murzyn dan Kupisz Jarosław Dzialek, ―Cultural heritage in building and
enhancing social capital‖. Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable
Development, Vol. 3 Iss 1, 2013. h. 35. 13
Try Ananda Rachman, ―Arahan Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian
Cagar Budaya Kota Baru Di Yogyakarta‖. Skripsi Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
8
Berdasarkan hasil penelitian Muhammad Syaiful Moechtar, bahwa
93% masyarakat masih tetap melestarikan budaya Betawi dan 90% aktivitas
yang mereka lakukan masih memiliki ciri khas budaya Betawi. Budaya
masyarakat di permukiman ini sangat terpengaruh oleh sistem kepercayaan
yang mereka yakini yaitu Agama Islam, karena 88,8% penduduk di
permukiman ini beragama Islam. Di Permukiman Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan, faktor yang mendukung dalam terbentuknya pola
permukiman tersebut ialah sosial budaya yang berbasis Agama Islam.14
Oleh
karena itu, menjadi suatu ketertarikan tersendiri untuk melihat lebih dalam
mengenai fenomena masih adanya 93% masyarakat Setu Babakan masih tetap
melestarikan budaya Betawi dan 90% aktivitas yang mereka lakukan masih
memiliki ciri khas budaya Betawi.15
Mengingat masih kuatnya hubungan interaktif dalam kehidupan
masyarakat betawi, serta upaya-upaya masyarakat atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat betawi yang masih tetap melestarikan budaya Betawi
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, adapun dalam melihat segala
bentuk dari usaha pelestarian budaya, perlu juga melihat aspek modal sosial
yang ada pada kelompok sosial yang merupakan bagian dari cagar budaya di
Setu Babakan. Modal sosial dalam pemaknaannya dapat dilihat sebagai
‗perekat‘ yang menyatukan masyarakat – hubungan-hubungan antar manusia,
orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena adanya
kewajiban sosial dan timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas.16
Modal sosial dalam pelesatarian budaya memiliki posisi penting
dalam upayanya, yang menjadi perekat dalam satu kesatuan masyarakat atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hubungan sosial dalam kehidupan
14
Muhammad Syaiful Moechtar, Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung
Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota
Administrasi Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, Jurnal agroekoteknologi tropika; Denpasar,
2012: 140 15
Muhammad Syaiful Moechtar, Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung
Budaya Betawi Setu Babakan:140 16
Jim Ife dan Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif pengembangan
Masyarakat di Era Globalisasi. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014), h. 35.
9
masyarakat dan bagaimana masyarakat melaksanakan kewajiban sosial dan
hubungan timbal balik terhadap masyarakat lainnya merupakan representatsi
kehidupan masyarakat dalam lingkungan sosial. Karena modal sosial
mustahil untuk diperoleh oleh individu-individu yang yang biasa bertindak
diatas kepentingan sendiri. Alih-alih kebajikan-kebajikan individual, modal
sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.17
Selanjutnya, modal sosial dalam pemaknaan Francis Fukuyama
merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang sangat penting
bagi kesehatan ekonomi sebuah Negara, yang bersandar pada akar-akar
kultural.18
Nilai dan norma kultural yang ada dan berkembang di masyarakat
merupakan suatu modal sosial. Dalam pelestarian budaya suatu masyarakat,
khususnya masyarakat Betawi, nilai-nilai yang menjadi perekat dalam
kehidupan masyarakat Betawi serta solidaritas masyarakat maupun antar
kelompok dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi menjadi suatu
pembahasan yang menarik dalam aktivitas pelestarian budaya Betawi di
Cagar Budaya Setu Babakan.
Kebudayaan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa
atau merupakan salah satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan.
Oleh karenanya, jika masyarakat Betawi tidak lagi memiliki kebudayaan,
maka masyarakat Betawi akan kehilangan kepribadiannya sebagai bagian dari
penduduk Jakarta yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan
pembangunan Jakarta. Dimana Masyarakatlah yang menjadi penggerak dan
pendukung dari kebudayaan yang berkembang di dalam suatu kehidupan
bermasyarakat. Oleh karenanya, bagaimana upaya pelestarian Kebudayaan
Betawi oleh masyarakat akan menjadi penting untuk ditelaah lebih dalam,
karena masyarakatlah yang menentukan berlangsung atau tidaknya
kebudayaan Betawi.
17
Francis Fukuyama, ―Trust; The Social Virtues And The Creation Of Prosperity‖,
Yogyakarta (Penerbit Qalam, 2010), h. 37. 18
Francis Fukuyama, ―Trust‖, h. 49.
10
Sehingga modal sosial yang terdapat di lingkungan sosial masyarakat
Betawi, khususnya yang berada disekitar cagar budaya Setu Babakan,
menjadi penting dalam melestarikan kebudayaan Betawi. Selanjutnya perlu
juga untuk menelaah terkait peran modal sosial dalam pelestarian budaya
Betawi, dan melihat bagaimana peran tersebut menjadi penting dalam
pelestarian budaya Betawi. Atas dasar tersebut penulis akan berusaha untuk
memfokuskan dan memperdalam pembahasan dengan judul ―Modal Sosial
Masyarakat Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan Jakarta Selatan
dalam Pelestarian Budaya Betawi‖.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Melihat latar belakang diatas dan guna mempermudah proses
pembahasan dan penulisan dalam skripsi ini, maka penulis perlu
membatasi pembahasan pada peran modal sosial dalam pelestarian Budaya
Betawi. Dimana akan dikaji lebih dalam terkait modal sosial yang terdapat
dalam Masyarakat Betawi di Setu Babakan, serta bagaimana hal tersebut
berperan dalam pelestarian budaya Betawi. Agar penulisan dalam skripsi
ini lebih terarah, maka penulis akan memberikan pembatasan dan
perumusan masalah yang akan dibahas. Masalah akan dibatasi pada kajian
terkait peran modal sosial dalam pelestarian budaya Betawi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan maslah diatas, dan untuk mempermudah
pemahaman dalam pembahasan dalam skripsi. Maka diperlukan
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Modal Sosial dalam Pelestarian Budaya Betawi di
Cagar Budaya Setu Babakan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
11
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan yang terdapat pada perumusan dan pembatasan
masalah diatas, maka terdapat pula beberapa tujuan dalam penelitian ini.
Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu mengetahui peran modal sosial
dalam pelestarian Budaya Betawi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Segi Akademis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang peran modal sosial dalam pelestarian
cagar budaya.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya program studi Kesejahteraan Sosial yang
berguna untuk bahan rujukan bagi masyarakat secara umum,
praktisi, maupun akademisi terkait peran modal sosial dalam
pelestarian budaya.
b. Segi Praktis
1) Dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut
dimasa mendatang khususnya penelitian yang berkaitan
dengan modal sosial dan pelestarian budaya.
2) Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat Setu Babakan
dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam
pelestarian budaya Betawi, serta modal sosial mampu
berperan dalam pelestarian budaya Betawi.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
12
Penelitian pada dasarnya berarti rangkaian kegiatan atau proses
mengungkapkan rahasia sesuatu yang belum diketahui dengan
menggunakan metode yang sistematik dan terarah. Sedangkan metode
penelitian adalah cara untuk mencapai suatu maksud, sehubungan dengan
upaya tertentu, maka metode menyangkut masalah kerja, yaitu cara kerja
untuk mendapatkan informasi atau fakta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Denzin
dan Licoln, kata kualitatif menyiratkan penekanan pada proses dan makna
yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah,
intensitas, atau frekuensinya. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada meteodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan
ini, penelitian menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial,
hubungan erat antara peneliti dan subjek yang diteliti.19
Pendekatan kualitatif bersifat fleksibel atau tidak kaku mengikuti
perkembangan di lapangan. ―Penggunaan pendekataan kualitatif ini
mempunyai beberapa karakteristik yakni salah satunya bersifat fleksibel,
tidak terpaku pada konsep, fokus pada tekhnik pengumpulan data yang
dirncanakan pada awal penelitian tetapi dapat berubah di lapangan
mengikuti dan menyesuaikan di lapangan dan mengikuti situasi dan
perkembangan penelitian.‖20
Peneliti mengambil metode kualitatif dikarenakan peneliti terjun
langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data baik tertulis maupun
lisan dari informan penelitian. Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian
ini adalah deskriptif. Pada jenis penelitian deskriptif, data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Dalam penelitian ini penelitian memfokuskan analisnya dalam satu
pembahasan yaitu Partisipasi Masyarakat Setu Babakan dalam Pelestarian
Budaya Betawi sebagai modal sosial.
19
Noor Juliansyah, Metodologi Penelitian (Jakrta: KENCANA, 2011) cet. Ke-1, h.33. 20
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan almansyur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:
Ar—ruzz Media, 2012) h.81.
13
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah jenis penelitian
deskriptif. Dimana dalam penelitian deskriptif, data yang diperoleh bisa
berasal dari wawancara, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan
lapangan, dan dokumen resmi lainnya. Penelitian deskriptif ditujukan
untuk mengumpulkan data aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang
ada, mengidentifikasi masalaha atau memeriksa kondisi, juga menentukan
apa yang dilakukan oleh orang lain dalam menghadapi masalah yang sama
dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana yang akan
datang.21
Peneliti menggunakan metode deskriptif karena penelitian ini dapat
menggambarkan tentang suatu peristiwa yang terjadi dan situasi kondisi
bagaimana partisipasi masyarakat Setu Babakan dalam Pelestarian Budaya
Betawi sebagai modal sosial.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Untuk waktu dalam penelitian ini akan dilakukan selama kurang
lebih 4 bulan. Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini diantaranya:
a. Masyarakat daerah sekitar Setu Babakan, Jagakarsa – Jakarta
Selatan.
b. Tempat pelestarian Budaya Betawi di sekitar Setu Babakan.
4. Teknik Pemilihan Informan
Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam
pengertian ini, adalah teknik purposive sampling (tujuan) dimana informan
dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dianggap sebagai orang-orang
yang tepat dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan
penelitian.22
21
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2006), cet, 12, h.25. 22
Soehartono Irawan, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.62.
14
Konsep sampling dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan
bagaimana memilih informan, misalnya orang tersebut dianggap paling
tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa
sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial
yang diteliti.23
Penelitian ini menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya
dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelestarian Budaya Betawi di daerah
Setu Babakan. Untuk lebih jelasnya, keterangan informan yang diperoleh
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Rancangan Informan
No. Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Pengelola
Cagar Budaya
Setu Babakan
Mencari tahu bagaimana regulasi terkait
Cagar Budaya Setu Babakan, serta bagaimana
pelestarian budaya di Cagar Budaya Setu
Babakan.
1 orang
2. Pengurus
Cagar Budaya
Setu Babakan
Mengetahui bagaimana pengelolaan Cagar
Budaya Setu Babakan dalam pelestarian
budaya Betawi, dan mengetahui modal sosial
yang terdapat disini.
1 orang
3. Masyarakat
Setu Babakan
Memahami bagaimana pelestarian Budaya
Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan, dan
bagaimana aktivitas di dalamnya. Serta
mencarai tahu modal sosial yang ada dan
berkembang di Cagar Budaya.
1 orang
23
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alfabeta, 2009), Cet. Ke-5,
h.54.
15
5. Sumber Data
Adapun sumber data pada penelitian ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu sumber data primer dan sekunder. Data Primer diperoleh
proses penelitian langsung atau sasaran penelitian dari hasil wawancara
mendalam dan terbuka, informan dalam data primer ini antara lain ketua
pengelola Cagar Budaya Setu Babakan 1 orang, pengurus Cagar Budaya
Betawi Setu Babakan 3 orang, dan pegiat pelstarian budaya di Setu
Babakan 3 orang.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur,
buku-buku perpustakaan, internet, catatan atau dokumen yang terkait
dengan penelitian di Cagar Budaya Betawi Setu Babakan yang diteliti
seperti brosur, arsip, dan lain-lain.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik
pengumpulan data kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain:
a. Teknik Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan tujuan tertentu.24
Dalam penelitian yang dilakukan,
wawancara merupakan metode yang terpenting karena dalam
penelitiannya peneliti melakukan wawancara dengan berbagai
informan guna memperoleh data yang diperlukan.
Adapun metode wawancara yang digunakan adalah wawancara
mendalam, wawancara terbuka, dan wawancara terstruktur
24
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2006), h.180.
16
dimana peneliti sudah membuat pertanyaan wawancaranya
terlebih dahulu. Wawancara mendalam dilakukan melalui
berbagai pertanyaan terstruktur dan mendalam terhadap beberapa
informan yang sudah ditentukan sesuai dengan tehnik pemilihan
informan.
b. Dokumentasi
Studi Dokumentasi adalah cara mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk
juga buku-buku yang berkaitan mengenai pendapat, teori, maupun
hukum dan lain-lain. Oleh sebab itu dalam setiap penelitian tidak
dapat dilepaskan dari literatur-literatur ilmiah, sehingga kegiatan
kepustkaan ini menjadi penting.25
Dalam teknik ini peneliti
berusaha memperoleh data-data dokumentas yang berkaitan
dengan pengumpulan foto-foto, profil Cagar Budaya Setu
Babakan dengan mempelajari arsip-arsip, serta berbagai bentuk
data tertulis lainnya berupa laporan pihak Cagar Budaya Setu
Babakan yang ada di lapangan.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
interactive model yang dikemukakakn oleh Miles and Huberman. Teknik
analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan lalu diverifikasi.26
Seluruh informasi dan keterangan yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan analisis deskriptif. Dimanan analisis
25
M. Djuanaidi Ghony dan Fuzan Almansyur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 133. 26
M. Djuanaidi Ghony dan Fuzan Almansyur, Metodologi Penelitian Kualitatif, h 306.
17
deskriptif ini adalah mendeskripsikan hasil temuan penelitian secara
sistematis, faktual dan akurat yang disertai dengan petikan wawancara.
Nasir mengemukakan analisis data merupakan bagian yang sangat penting
dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti
dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.27
Dalam penelitian ini, peneliti dapat membuktikan data-data ini
terpercaya berdasarkan hasil wawancara terhadap subyek penelitian.
Adapun dari segi faktual dengan melihat Partisispasi Masyarakat dalam
Pelestarian Budaya Betawi yang dilakukan di Cagar Budaya Betawi di
Setu Babakan. Dalam hal ini peneliti dapat memastikan, bahwa partisipasi
masyarakat dalam pelestarian Budaya Betawi sebagai modal sosial melalui
hasil wawancara terhadap subyek penelitian.
8. Teknik Keabsahan Data
Menurut Patton dalam Moleong data dapat dicapai dengan jalan
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain. Strategi ini dilakukan untuk
meningkatkan kredibilitas (derajat kepercayaan) dengan menggunakan
teknik Triangulasi Sumber. Dalam hal ini jangan sampai banyak
mengharapkan bahwa hasil pembandingan tersebut merupakan kesamaan
pandangan, pendapat, atau pemikiran. Yang penting disini ialah bisa
mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan
tersebut.28
E. Tinjauan Pustaka
27
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Ondonesia, 1993), h. 405. 28
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2010),
h.331.
18
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap
beberapa hasil penelitian terlebih dahulu yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Adapun penelitian tersebut diantaranya:
1. Skripsi dengan judul ―Partisipasi Masyarakat melalui
Pengembangan Desa Wisata Jampang pada Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Zona Madina Dompet Dhuafa‖, penulis
Muhammad Ridwansyah, NIM: 1113054100040, Program Studi
Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syraif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017. Penelitian ini
membahas terkait partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan
ekonomi melalui program Zona Madina Dompet Dhuafa di Desa
Wisata Jampang. Bentuk partisipasi masyarakat dalam penelitian
ini lebih kepada partisipasi dan kontribusi dalam mengikuti
sosialisasi dan perencanaan program, mengikuti kegiatan
pembinaan, pelatihan kewirausahaan, serta berpartisipasi dalam
pemberdayaan kelompok usaha.
2. Skripsi dengan judul ―Pengaruh Modal Sosial terhadap
Produktivitas Petani (Studi Kasus di Kecamatan Cilacap Utara
Kabupaten Cilacap)‖ yang ditulis oleh Nurul Kholifa NIM:
12804244008, Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2016. Dalam
penelitian ini penulis memaparkan terkait dengan pengaruh modal
sosial terhadap produktivitas petani di Kecamatan Cilacap Utara.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan,
partisipasi, jaringan, dan norma sosial memberikan pengaruh
positif secara bersama-sama terhadap produktivitas petani.
3. Skripsi dengan judul ―Partisipasi Masyarakat Pendatang dalam
Melestarikan Rumah Tradisional Betawi (Studi Deskriptif pada
Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan,Kelurahan
Srengseng Sawah) yang ditulis oleh Diah Novarida NIM:
19
1110015000042, Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2015. Dalam karya tulis tersebut
membahas partisipasi masyarakat pendatang dalam pelestarian
budaya betawi, dimana pelbagai bentuk partisipasi dalam
pelestarian budaya betawi dijadikan variabel dalam penelitian
tersebut, diantaranya yaitu: pelestarian rumah adat, sistem
organisasi masyarakat Betawi, kesenian, bahasa, serta makanan dan
minuman khas betawi.
F. Pedoman Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu pada Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang tergabung dalam
Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012. Diterbitkan oleh Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2011.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disajikan kedalam enam Bab, berikut adalah
sistematika penulisan skrispi:
BAB I Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Permusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian
(terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian,
teknik pemilihan subyek dan informan, sumber data, teknik analisis data,
teknik keabsahan data), serta Sistematika Penulisan.
BAB II Landasan Teori, dalam bab ini akan membahas landasan teoritis
yang digunakan adalah teori-teori yang berakitan dengan judul, yaitu
modal sosial, pelestarian dan cagar budaya.
BAB III Profil, menguraikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian
yang terdiri dari Cagar Budaya Betawi yang berada di Setu Babakan, dan
aktivitas didalamnya.
20
BAB IV Hasil Temuan Lapangan ―Peran Modal Sosial dalam Pelestarian
Budaya Betawi, Merupakan hasil temuan lapangan peran modal sosial
dalam pelestarian budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan, serta
manfaat keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan.
BAB V Analisa Temuan Lapangan, membahas terkait sejarah Cagar
Budaya Setu Babakan. Konsep Kepercayaan, Jaringan, dan Norma untuk
memahami peran modal sosial dalam pelestarian budaya Betawi, serta
manfaat Cagar Budaya Setu Babakan.
BAB VI Penutup, terdiri dari; Kesimpulan, Implikasi, dan Saran.
21
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Modal Sosial
Istilah modal sosial lazim digunakan untuk menterjemahkan social
capital. Terdapat beberapa kata berbeda dalam menterjemahkan istilah social
capital, diantaranya yaitu dalam terjemahan penerbit Qalam Yogyakarta
dalam buku tulisan Francis Fukuyama “Trust; The Social Virtues and The
Creation of Prosperity” yang tetap menggunakan istilah social capital dalam
terjemahannya. Selain itu, Robert M.Z. Lawang dalam buku “Kapital Sosial
dalam Perspektif Sosiologik; Suatu Pengantar” menggunkan istilah kapital
sosial untuk menterjemahkan social capital. Dan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan istilah modal sosial yang lazim digunakan untuk
menterjemahkan social capital.
1. Pengertian Modal Sosial
Pengertian tentang modal sosial salah satunya dikemukan oleh
Francis Fukuyama, dalam pengertiannya, modal sosial merupakan
kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah
masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial tersebut
dapat dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling
mendasar hingga kelompok sosial yang lebih besar (Negara), dan beberapa
kelompok yang lain.1
Pengertian modal sosial yang dikemukakan oleh Fukuyama, dalam
pandangan Lawang ada kesan kurang konsisten dalam merumuskan dan
menerapkan konsep kapital sosial. Dimana dalam kedua buku Fukuyama
1 Francis Fukuyama, “Trust; The Social Virtues And The Creation Of Prosperity”,
Yogyakarta (Penerbit Qalam, 2010), h. 37.
22
(Trust dan The Great) yang paling banyak berbicara tentang modal sosial
ditulis dengan latar belakang yang berlainan. Dalam buku Trust,
pembahasan tentang capital sosial lebih banyak dilihat hubungan dengan
perbedaan antara Negara atau masyarakat yang memiliki tingkat
kepercayaan tinggi (high trust) dan yang memiliki tingkat kepercayaan
rendah (low trust). Sedangkan dalam buku The Great, memusatkan
perhatian terhadap kekacauan (disruption) yang ditimbulkan oleh
rendahnya modal sosial.2
Menurut Robert M.Z. Lawang, pendefinisian istilah modal sosial
telah dikemukakan oleh beberapa kalangan ahli dan Bank Dunia yang
sering dirujuk sebagai bahan dalam penulisan makalah maupun penelitian
lapangan. Maka dari itu Lawang mengelompokkan definisi tentang modal
sosial sebagai upaya penyederhanaan terkait modal sosial, berikut
pengelompokan definisi modal sosial menurut beberapa penulis (James
Coleman (1988), Robert Putman (1993),dan Francis Fukuyama (1995),
dan Bank Dunia):3
Penulis Tertambat pada Kapital Sosial
(independen)
Variabel Dependen
Coleman Struktur sosial:
hubungan
sosial,institusi
Fungsi kewajiban,
harapan, layak
percaya; saluran;
norma, sanksi;
jaringan, organisasi
Tindakan aktor atau
aktor dalam badan
hukum
Putman Institusi sosial Jaringan; norma;
kepercayaan
Keberhasilan
ekonomi, demokrasi
Fukuyama Agama, filsafat Kepercayaan, nilai Kerjasama
keberhasilan ekonomi
Bank Dunia Institusi, norma, Tindakan sosial
2 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar”,
(Penerbit FISIP UI PRESS), h. 213. 3 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 210.
23
hubungan
Turner Hubungan sosial,
pola organisasi
yang diciptakan
individu
Kekuatan Potensi
perkembangan
ekonomi
Lawang Struktur sosial
mikro, mezzo,
makro
Kekuatan sosial
komunitas bersama
kapital-kapital lainnya
Efisiensi dan
efektifitas dalam
pengentasan masalah
Lebih lanjut Lawang mendefinisikan modal sosial yang menunjuk
pada,
“semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh
individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang
menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan
atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital-kapital
lainnya.”4
Definisi yang dikemukakan Lawang diatas masih terdapat
penjelasan lebih lanjut yang diperinci per komponen menurut perspektif
sosiologik. Rincian tersebut diantaranya yaitu;
a. Kekuatan sosial menunjuk pada semua mekanisme yang sudah dan
akan dikembangkan oleh suatu komunitas dalam mempertahankan
hidupnya.
b. Pengertian komunitas mengacu pada komunitas mikro, mezzo, dan
makro.
c. Modal sosial pada dasarnya merupakan konstruksi sosial, yang
artinya melalui interaksi sosial individu-individu membangun
4 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 217.
24
kekuatan sosial (kolektif) untuk mengatasi masalah sosial yang
dihadapi.
d. Modal sosial dalam pengertian ini merupakan alat (means) yang
dikonstruksikan oleh individu-individu dalam mencapai tujuan
(end) bersama.
e. Ada kemungkinan modal sosial dominan dalam mengatasi suatu
masalah sosial.5
2. Konsep-konsep Modal Sosial
Konsep dalam modal sosial merupakan penjelasan lebih lanjut
terkait dengan istilah modal yang masih memiliki banyak makna dalam
interpretasinya. Terdapat beberapa konsep dalam menjelaskan istilah
modal sosial, dalam pembahasan ini akan dikemukakan konsep-konsep inti
modal sosial yang terdiri dari kepercayaan, norma dan jaringan sosial
(Coleman, Putman, dan Fukuyama). Sedangkan konsep-konsep tambahan
terdiri dari tindakan sosial, interaksi sosial, dan sikap.6 Yang akan
dijelaskan lebih rinci sebagai berikut;
a. Kepercayaan
Kepercayaan dalam modal sosial menjadi salah satu konsep
utama, dimana kepercayaan yang muncul dalam suatu masyarakat
mampu menjadi kekuatan dalam pengembangan masyarakat tersebut.
pengertian kepercayaan dalam modal sosial salah satunya dipaparkan
oleh Fukuyama, dimana kepercayaan adalah pengharapan yang muncul
dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan
kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi
kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu.7
5 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 217-218.
6 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 45.
7 Francis Fukuyama, “Trust”, h. 36.
25
Selanjutnya pengertian kepercayaan sebagai konsep inti modal
sosial dijelaskan oleh Lawang, yang memahami bahwa kepercayaan
menunjuk pada „hubungan antara dua pihak atau lebih yang
mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua
pihak melalui interaksi sosial‟.8 Kepercayaan yang terbentuk dalam
masyarakat, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan antar
kelompok dapat memberikan harapan, manfaat,dan keuntungan
pelbagai pihak terkait melalui proses interaksi dalam masyarakat.
Kepercayaan yang terdapat dalam lapisan masyarakat,
walaupun tanpa hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan, akan
menjadi pondasi yang kuat sebagai modal sosial. Karena masing-
masing masyarakat ini memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antara
individu-individu walaupun tidak terkait satu secara kekerabatan sama
lain yang pada gilirannya menciptakan basis yang solid bagi modal
sosial.9
b. Jaringan Sosial
Jaringan yang digunakan dalam modal sosial memiliki
pengertian kurang lebih sebagai berikut;
1) Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang
dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yang diikat
dengan kepercayaan.
2) Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui
media hubungan sosial menjadi satu kerja sama, bukan kerja
bersama-sama.
3) Seperti halnya sebuah jarring (yang tidak putus) kerja yang
terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama,
dan malah dapat “menangkap ikan” lebih banyak.
8 Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 46.
9 Francis Fukuyama, “Trust”, h. 86.
26
4) Dalam kerja jaringan itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat
berdiri sendiri, setiap simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan
yang kuat,
5) Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan,
atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat
dipisahkan.
6) Ikatan atau pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah
norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan
medianya itu dipelihara dan dipertahankan.10
c. Norma
Norma sebagai konsep dalam istilah modal sosial merujuk pada
norma yang muncul dan berlaku di lingkungan masyarakat. Norma-
norma itu boleh jadi merupakan persoalan-persoalan “nilai” yang
mendasar seperti Tuhan atau keadilan, tetapi mereka juga sangat
mungkin mencakup norma-norma sekular seperti standar-standar
professional dan aturan-aturan perilaku.11
Dimana norma tersebut
bukan hanya tentang nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat, tapi
juga profesionalitas dan aturan perilaku yang akan memunculkan
punishment (hukuman) bagi yang melanggarnya.
Selanjutnya menurut Lawang, norma-norma tersebut tidak
dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, sifat norma dalam
modal sosial kurang lebih sebagai berikut;
1) Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan,
kalau dalam beberapa kali pertukaran prinsip saling
menguntungkan dipegang teguh maka akan muncul norma dalam
bentuk kewajiban sosial. Yang intinya membuat kedua belah pihak
merasa diuntungkan dari pertukaran itu.
10
Robert M.Z. Lawang, “Kapital Sosial”, h. 62. 11
Francis Fukuyama, “Trust”, h. 36-37.
27
2) Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan
yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu.
3) Jaringan yang terbina dan menjamin keuntungan kedua belah pihak
secara merata, akan memunculkan norma keadlilan.12
Berdasarkan uraian diatas, teori yang akan digunakan untuk
menjelaskan modal sosial dalam penelitian ini yaitu dengan menelaah tiga
konsep utama dalam menjelaskan modal sosial (Coleman, Putman, Fukuyama,
dan Lawang). Tiga konsep tersebut yaitu; Kepercayaan, Jaringan, dan Norma,
dimana masing-masing konsep tersebut sudah dipaparkan diatas.
B. Pelestarian Cagar Budaya
1. Pengertian Pelestarian
Dalam suatu konsep pelestarian atau konservasi pada awalnya
hanya berupa konsep pelestarian yang bersifat statis, artinya bangunan
yang dilestarikan dipertahankan persis seperti keadaan aslinya. Bangunan
yang berbentuk puing-puing (tembok, kolom, reruntuhan) tetap
dipertahankan dalam bentuk puing-puing. Sasaran bangunan yang
dilestarikan pun hanya terbatas pada benda peninggalan arkeologis. Dari
konsep pelestarian yang bersifat dinamis ini sasaran konservasi tidak
hanya berupa bangunan peniggalan arkeologis saja melainkan juga
meliputi karya arsitektur lingkungan atau kawasan dan bahkan kota
bersejarah. Konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian
lingkungan binaan, yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi,
rekontruksi, adaptasi dan revitalisasi.13
Konservasi cagar budaya merujuk pada melindungi cagar budaya
atau heritage dari kerusakan karena cagar budaya merupakan benda yang
12
Robert M.Z. Lawang, Kapital Sosial, h. 70. 13
Eko Budihardjo, Tata Ruang Perkotaan, ( Bandung : PT Alumni, 1996), h. 24-25).
28
tidak dapat diperbaruhi. Delafons menyatakan bahwa konservasi cagar
budaya yang berkelanjutan adalah;
“an approach to conservation tahat preserves the best of the
heritage but does so without imposing insupportable costs and
which affects a rational balance between conservation and
change”.14
(“ sebuah pendekatan konservasi untuk menjaga yang terbaik dari
warisan tetapi melakukannya tanpa memaksakan biaya yang tidak
dapat ditanggung dan yang mempengaruhi keseimbangan rasional
antara konservasi dan perubahan”)
Sementara itu, pengertian pelestarian seperti dijelaskan oleh
beberapa definisi normatif yaitu,
a. Undang-undang 11 tahun 2010 tentang cagar budaya; Upaya
dinamis untuk mempertahankan kerberadaan cagar budaya dan
nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkannya.
b. Kepmendikbud Republik Indonesia Nomor 063/U/1995; Upaya
mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang
disebabkan oleh perbuatan manusai atau proses alam, yang
dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai
manfaat dan keutuhan benda cagar budaya dengan cara
penyelamatan, pengamanan, dan penertiban.
c. Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pengelolaan sumber daya alam
yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
14
John Delafons, Sustainable Conservation, 1997, Journal Article Built EnvironmentVol.
23, No.2, h. 128. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/23288311
29
Dari berbagai definisi di atas mengenai pelestarian dapat
kemukakan bahwa pelestarian kawasan cagar budaya adalah segenap
proses konservasi, interprestasi, dan manajemen terhadap suatu kawasan
agar makna kultural yang terkandung dapat terpelihara dengan baik.
Dalam sebuah pelestarian kawasan cagar budaya perlu disediakan
kesempatan kepada masyarakat yang bertanggung jawab kultural terhadap
kawasan tersebut untuk ikut berpartisipasi dalam proses pelestarian.
2. Kriteria Pelestarian
Kawasan cagar budaya memang perlu untuk dipertahankan dalam
rangka memberikan warisan kepada generasi yang akan datang. Maka dari
itu diperlukan kriteria dan tolak ukur dalam mengkaji kelayakan suatu
bangunan kuno atau lingkungan bersejarah yang akan dilestarikan. synder
dan Catanese dalam Budihardjo memberikan enam tolok ukur, yaitu:
a. Kelangkaaan, yaitu bangunan atau lingkungan bersejarah yang
sangat langka, tidak dimiliki oleh daerah lain;
b. Kesejarahaan, dimana bangunan atau kawasan tersebut meruapakan
lokasi peristiwa bersejarah yang penting;
c. Estetika, dimana bangunan atau kawasan tersebut memiliki
bangunan-bangunan yang bentuknya indah, serta dalam struktur
bangunan dan ornamennya juga indah;
d. Superlativitas, dimana bangunan atau kawasan tersebut memiliki
sebuah niali tertinggi, tertua, atau terpanjang sehingga bangunan
atau kawasan tersebut memiliki nilai tambah yang dapat
mengangkat niali keunikan atau kelangkaan kawasan tersebut;
e. Kejamakan, dimana bangunan atau kawasan tersebut miliki
kesamaan desain, karya yang tipikal, yang mewakili suatu jenis
atau ragam bangunan tertentu;
30
f. Kualitas pengaruh, dimana keberadaan bangunan atau kawasan
tersebut akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya.15
Selain enam tolak ukur tersebut, kerr menambahkan tiga tolak ukur
lagi, yaitu:
a. Nilai sosial, yaitu kawasan atau bangunan-bangunan tersebut
memiliki makna bagi masyarakat banyak;
b. Nilai komersial, yaitu kawasan atau bangunan-bangunan tersebut
memiliki peluang untuk dimanfaatkan secara komersial;
c. Nilai ilmiah, dimana kawasan atau bangunan-bangunan tersbut
miliki peran dalam pendidikan dan pengembangan ilmu.16
3. Pelestarian Cagar Budaya
Pemahaman tentang pelestarian cagar budaya sudah dirumuskan
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dalam
Bab VII tentang pelestarian pasal 53 menyebutkan bahwa;
a. Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi
kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis,
teknis, dan administratif.
b. Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau
dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan
memperhatikan etika pelestarian.
c. Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan
kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti
sebelum kegiatan pelestarian.
15
Budihardjo, Eko Budiharjo. Tata Ruang Perkotaa, h. 67-68. 16
Budihardjo, Eko Budiharjo. Tata Ruang Perkotaa, h. 82.
31
d. Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan
pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.
Dalam Pasal 54 UU No. 11 Tahun 2010, menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran
dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar
Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.” Peraturan tentang
pelestarian cagar budaya sudah menjadi perhatian pelbagai elemen di
masyarakat dan pemerintah secara keseluruhan, yang secara bersama-sama
bertanggung jawab dalam pelestarian cagar budaya.
Selain upaya-upaya dalam pelestarian cagar budaya, pemerintah
juga mengatur larangan terhadap segala tindakan pelanggaran dalam upaya
pelestarian cagar budaya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 55 UU No. 11
Tahun 2010, dijelaskan bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian
Cagar Budaya.”
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya,
Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan. Klasifikasi Cagar Budaya, diantaranya yaitu;
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya,
Situs Cagar Budaya, Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
Kriteria Cagar Budaya adalah: Berusia 50 Tahun atau lebih, Mewakili
masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, Memiliki arti khusus bagi
32
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan,
Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.17
Keberadaan cagar budaya di suatu kawasan merupakan salah satu
bentuk hasil dari nilai budaya dan perilaku rasa, cipta, dan karsa yang
menunjukan integrasi masyarakat setempat pada masa lampau serta
berperan penting sebagai identitas kawasan yanng mempunyai nilai sejarah
yang tinggi. Budaya sendiri merupakan seluruh aktivitas yang berkaitan
dengan kegiatan manusia. Dimana budaya telah mewariskan banyak hal,
dari bahasa, adat istiadat, nilai-nilai, keterampilan, sejarah lisan hingga
monumen dan objek yang bernilai historis.
17
Zakaria Kasimin, “Pelestarian Cagar Budaya”, 2016, materi dalam workshop
Dokumentasi Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar
Budaya Gorontalo, Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Diakses melalui https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/wp-
content/uploads/sites/29/2016/12/WORKSHOP_DOKUEMNTASI_CAGAR-BUDAYA.pdf
33
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
Bab ini menjelaskan mengenai keadaan, luas, letak dan beberapa
keterangan tambahan yang diperlukan untuk mengenal lebih jauh daerah tempat
yang menjadi objek penelitian. Gambaran umum lokasi penelitian meliputi sejarah
Cagar Budaya Setu Babakan, keadan geografis dan penduduk, visi misi serta
nilai-nilai dalam masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan,
struktur organisasi dan tata kerja dalam Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan.
A. Kondisi sebelum Setu Babakan menjadi Cagar Budaya Betawi
Setu Babakan merupakan danau buatan dengan area 30 hektar dengan
kedalaman 1-5 meter dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini
digunakan sebagai tempat wisata alternatif, dan wisata perkampungan budaya
Betawi bagi warga sekitar dan para pengunjung dari luar kawasan. Terletak di
Kelurahan Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta
Selatan. Batas fisik kawasan Perkampungan Budaya Betawi adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Jalan Moch. Kahfi II sampai Jalan Desa Putra, Sebelah
Selatan : Jalan Tanah Merah sampai Jalan Srengseng Sawah, Sebelah Barat :
Jalan Mochamad Kahfi II, dan Sebelah Timur : Jalan Desa Putra sampai Jalan
Mangga Bolong Timur.1
B. Proses Setu Babakan Menjadi Cagar Budaya Betawi
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan awalnya merupakan
perkampungan masyarakat biasa yang mayoritas penduduknya orang Betawi.
Luas kampung setu babakan adalah 289 hektar luas wilayah PBB, dengan 70
1 Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, Pemprof DKI Jakarta
34
hektar adalah milik Pemprov DKI Jakarta, (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
Dinas Tata Air, dan Dinas Pemakaman dan Pertamanan). Dalam sejarahnya,
penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya
sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta
juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai
kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung dilakukan karena seiring
perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya
Betawi-nya.
Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan
kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut.
Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu
Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Alasan ditetapkannya Setu
Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi adalah sulitnya ditemukan
apa yang dinamakan Perkampungan Budaya Betawi di DKI Jakarta, karena
Condet yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi
sudah berubah menjadi kawasan permukiman yang modern. Adapun tujuan
penetapan Perkampungan Budaya Betawi berdasarkan Surat Keputusan
tersebut adalah:
1) Berkembangnya lingkungan kehidupan komunitas Perkampungan
Budaya Betawi di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong,
Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya
Jakarta Selatan;
2) Terlindungi dan terbinanya secara terus menerus tata kehidupan, seni
budaya tradisional Betawi; dan
3) Berkembang dan termanfaatkannya potensi lingkungan guna
kepentingan wisata budaya, wisata agro, wisata air dalam rangka
peningkatan kesejahteraan sosial dan masyarakat.
35
Selanjutnya, pada perkampungan setu babakan mulailah dilakukan
revitalisasi. Revitalisasi dilakukan dengan membangun beberapa bangunan
khas betawi sebagai simbol pusat kegiatan masyarakat betawi. Revitalisasi ini,
merupakan embrio Perkampungan Budaya Betawi yang ada saat ini. Kemudian
pada tanggal 20 Januari 2001, Bamus Betawi mengadakan halal bihalal dengan
organisasi pendukung dan masyarakat Betawi sekaligus diresmikannya
Perkampungan Budaya Betawi oleh Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Selanjutnya, dalam proses berjalannya waktu, pada tanggal 10 Maret
2005 dikeluarkan “Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.3 Tahun 2005”
tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng
Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Konsep dasar pengembangan
Pekampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah meningkatkan harkat dan
martabat masyarakat Betawi dalam wilayah kehidupannya berdasarkan nilai
sosial budaya yang dikembangkan. Bangunan yang terdapat dalam
perkampungan budaya betawi mencirikan citra tradisional yang
menggambarkan perkembangan pemukiman yang berwawasan lingkungan.
C. Setu Babakan Sebagai Cagar Budaya Betawi
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan merupakan permukiman
reka cipta yang bertujuan untuk menyelamatkan budaya Betawi dan
merupakan suatu tempat untuk merawat tradisi Betawi yang meliputi
keagaamaan, kebudayaan dan kesenian Betawi. Pengelolaan kawasan setu
babakan yang dilakukan meliputi penataan baik dari penataan bangunan,
pengelolaan pengunjung, hingga infrastruktur di dalamnya. Perkampungan
Budaya Betawi adalah suatu kawasan di Jakarta Selatan dengan komunitas
yang ditumbuh kembangkan budaya yang meliputi seluruh hasil gagasan dan
karya baik fisik maupun non fisik yaitu: kesenian, adat istiadat, foklor, sastra,
kuliner, pakaian serta arsitektur yang bercirikan ke-Betawian.2
2 Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, Pemprof DKI Jakarta
36
Penataan bangunan dilakukan dengan melakukan reka cipta terhadap
bentuk rumah warga sekitar setu babakan. Hal ini terlihat dari elemen unsur
seni yang masih ditemukan di bagian depan rumah warga Betawi berupa gigi
balang dan langkan yang memiliki pola khas Betawi. Pengelolaan pengunjung
dilakukan dengan menyajikan atraksi khas budaya betawi dan atraksi alam
sebagai tambahan. Atraksi budaya meliputi kesenian, adat istiadat, foklor,
sastra dan fashion serta arsitektur yang bercirikan arsitektur Betawi. Selain
kesenian, terdapat juga kuliner khas betawi.
Mengikuti perkembangan itu, pedagang-pedagang baik dari kalangan
penduduk asli, pendatang maupun di luar kawasan yang ikut meramaikan
kawasan wisata. Mereka menjual makanan, cinderamata, dan atribut
bernafaskan budaya betawi seperti dodol, laksa, toge goreng, rambut nenek,
pakaian adat hingga kerajinan tangan. Bukan hanya bagi kawasan wisata,
perubahan juga terjadi pada rumah-rumah penduduk yang diharuskan
berornamen betawi. Aturan itu sebagian besar dipatuhi, meski tidak sedikit
juga rumah-rumah yang belum menggunakan ornamen betawi pada desainnya.
Secara umum penataan bangunan dan kawasan dilakukan dengan membagi
menjadi dua zona, yakni :
1. Zona Lama
Kawasan konservasi zona lama terletak di ujung akses jalan
sekitar Setu Babakan. Kawasan itu seluruhnya merupakan milik
masyarakat yang disewa oleh pemerintah, baik sanggar maupun
rumah-rumah ada yang dimiliki tetua setempat. Pemiliknya akrab
disapa Engkong mengaku suka rela menjadikan kawasan rumahnya
sebagai kawasan konservasi.
Menurutnya,
rumah itu tidak
pernah sepi tiap
GAMBAR 1. Rumah Engkong sebagai kawasan
konservasi, tempat arisan dan pengajian bagi masyarakat
Betawi
37
GAMBAR 3. Pagelaran Tari oleh anak-anak
perempuan GAMBAR 2. Kelompok Beksi Hasbullah latihan di
Zona Lama
akhir minggu digunakan sebagai tempat arisan dan pengajian bagi
masyarakat betawi. Banyak juga keluarga-keluarga yang menyewa
rumahnya untuk pertemuan rutin.Lantaran ramainya kawasan lama,
anak cucu engkong mengelola warung kecil yang menjua kopi dan
makanan ringan sebagai salah satu mata pencaharian.
Selain dipakai untuk acara-acara keluarga, zona lama juga rutin
dipakai untuk latihan maupun pagelaran tari yang diikuti anak-anak
perempuan hingga remaja. Bersisian dengan panggung, kelompok
Beksi Haji Hasbullah juga memakai arena itu untuk latihan gabungan
akbar tiap minggu pagi.
Lantaran lebih ramai dan hidup, kawasan ini lebih banyak
dipadati pedagang dan pengunjung. Menurut Ibu Rus masyarakat juga
lebih banyak terlibat di zona lama ketimbang di zona baru. Engkong,
yang juga masih saudara dengan Ibu Rus dan Ibu Sami mengatakan
pada pengelolaan zona ini juga lebih melibatkan masyarakat. Tak
heran, meskipun sudah diberikan pemberitahuan mengenai pengalihan
aktivitas dari zona lama ke zona baru, hingga 3 Desember 2016
aktivitas di zona lama tetap ramai.
38
2. Zona Baru
Zona baru berada tak jauh dari zona lama. Namun, berbeda
dengan zona lama, pada zona baru masyarakat lebih sedikit terlibat.
Akses pengunjung juga dibatasi. Rumah adat yang berdiri disana tidak
bisa disewakan. Ibu Sami, Ibu Rus dan Yuliawati mengaku mereka
sama sekali tidak tahu jadwal kegiatan di zona baru. Berikut penuturan
Yuliawati:
“Kalau zona baru itu baru-baru ini, diresmikan jokowi waktu
jadi Gubernur. Sebenarnya sudah lama sejak fauzi bowo,
Cuma peresmiannya baru pas jokowi.”
Selain kedua zona tersebut yang menyajikan atraksi budaya, di
kampong budaya setu babakan juga menyajikan atraksi alam.
Terdapat satu wahana yang banyak diminati pengunjung di setu
babakan ini, yaitu perahu Bebek. Perahu bebek adalah perahu dengan
bentuk replika seekor bebek. Perahu ini disewakan untuk wisatawan
yang ingin berkeliling di tengah danau. Perahu ini bisa digunakan
berdua secara berpasangan. Harga sewa perahu Bebek ini relatif
murah, yaitu hanya Rp. 5.000 per orang.
Pengunjung juga dapat menikmati sekeliling danau yang teduh
dengan berbagai macam tanaman dan tumbuhan buah buahan.
Tanaman dan buah yang ditanam disekeliling danau ini sangat
beragam, antara lain Rambutan, Mangga, Pandan, Palem, Jamblang,
Melinjo, Kecapi, Jambu, Krendang, Nam-nam, Guni, Cimpedak,
Nangka, dan Jengkol. Sebagai perkampungan budaya betawi, di
kampung setu babakan juga banyak pedagang yang menawarkan
berbagai macam makanan dan minuman. Makanan yang umum di
jajakan di danau Setu Babakan yaitu Arum Manis, Kerak Telor, Toge
Goreng, Nasi Uduk, Rujak Bebek, Nasi Ulam, dll. Sedangkan
39
minuman yang umum di jajakan di Setu Babakan yaitu Bir Pletok, Es
Potong, Es Duren, dll.
Aksesibilitas ke lokasi dapat dicapai dari dua jalan utama
melalui Pasar Minggu ke arah selatan masuk ke Jalan Raya Lenteng
Agung, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Srengseng Sawah hingga
sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Untuk pencapaian
dari arah selatan dicapai melalui Jalan Tanah Baru, Jalan Moch Kahfi
2 dan Jalan Setu Babakan hingga sampai kawasan Perkampungan
Budaya Betawi. Lokasi dikelilingi oleh 2 jalan utama yaitu, Jalan
Moch. Kahfi 2 dan jalan Srengseng Sawah. Kedua jalan tersebut
dilintasi oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi, sehingga dapat
dikatagorikan sebagai jalan dengan mobilitas tinggi. Lokasi kawasan
terletak 5 km dari stasiun kereta api Lenteng Agung yang merupakan
lintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta– Bogor.
D. Pemanfaatan Ruang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
Pemanfaatan ruang meliputi penggunaan tanah di sekitar tapak untuk
pertanian buah-buahan. Namun saat ini sebagian dari masyarakat banyak
memanfaatkan lahan kosong mereka untuk dijadikan rumah kontrak (jasa
sewa rumah) sebagai usaha jasa, sehingga lahan hijau semakin berkurang.
Lokasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat dicapai dari
dua jalan utama melalui Pasar Minggu ke arah selatan masuk ke Jalan Raya
Lenteng Agung, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Srengseng Sawah hingga
sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Untuk
pencapaian dari arah selatan dicapai melalui Jalan Tanah Baru, Jalan Moch
Kahfi 2 dan Jalan Setu Babakan hingga sampai kawasan Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan.
Lokasi dikelilingi oleh 2 jalan utama yaitu, Jalan Moch. Kahfi 2 dan
jalan Srengseng Sawah. Kedua jalan tersebut dilintasi oleh angkutan umum
40
dan kendaraan pribadi, sehingga dapat dikatagorikan sebagai jalan dengan
mobilitas tinggi. Lokasi kawasan terletak 5 km dari stasiun kereta api Lenteng
Agung dan 5.5 km dari obyek wisata Kebun Binatang Ragunan. Jalan Raya
Pasar Minggu dan Jalan Raya Lenteng Agung merupakan lintasan Kereta Rel
Listrik (KRL) Jakarta–Bogor dan merupakan jalur akses utama. Jalan masuk
menuju kawasan Perkampungan Budaya Betawi ditandai dengan adanya Pintu
Bang Pitung.
Jalan lokal pada kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakandidominasi oleh jalan lingkungan. Secara umum sirkulasi pada setiap
RW sudah cukup memadai dengan kondisi lebar jalan bervariasi antara 3
meter untuk jalan yang diaspal dan jalan yang belum diperkeras masih berupa
tanah (alami) 1-2 meter. Setu Babakan dikelilingi oleh deretan pepohonan
yang ditanam oleh Pemda DKI Jakarta. Vegetasi di Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakanterbagai menjadi tanaman kebun, tanaman pekarangan
dan tanaman tepi jalan. Tanaman yang ditanam umumnya bersifat ekonomis
untuk dijual/dipasarkan sebagai pemasukan tambahan bagi warga. Tanaman
kebun yang juga terdapat di beberapa pekarangan penduduk Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakanyaitu, alpukat (Persea americana), belimbing
(Averhoa carambola L), rambutan (Nephelium lappaceum L), melinjo
(Gnetum gnemon), pisang (Musa sp), pepaya (Carica papaya), kelapa (Cocos
nucifera), singkong (Manihot esculenta Crantz), mengkudu (Morinda
citrifolia), bambu (Bambusa sp). Tanaman alpukat merupakan tanaman yang
saat ini sedang dibudidayakan di Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakandan mempunyai nilai ekonomi penting.
E. Kondisi Masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakanini didiami setidaknya
3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi
yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian
kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa
41
tengah, Kalimantan, dll yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.
Di dalam Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakandapat ditemui dan
dinikmati kehidupan bernuansa Betawi, berupa; komunitas masyarakat
Betawi, keasrian alam dan hutan kota, pementasan beragam kesenian tradisi di
panggung pentas budaya secara periodik mementaskan kelompok kesenian
budaya Betawi dari seantero Jabodetabek secara bergantian di setiap akhir
pekan, pusat informasi dan dokumentasi ke-Betawi-an, serta dibuka pelatihan
dan kursus kesenian tari, musik tradisional dan pencak silat „Beksi‟ asli
Betawi, serta beragam penganan kuliner Betawi dijajakan disana.
Diharapkan seluruh kegiatan yang ada dapat dimanfaatkan sebagai
bentuk perlindungan dan pembinaan guna melestarikan dan mengembangkan
tata kehidupan seni budaya tradisi Betawi sesuai dengan kebutuhan kekinian,
dan bermanfaat sebagai bentuk pengembangan potensi lingkungan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar serta sebagai salah satu obyek
wisata budaya yang ada di Jakarta.
Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakantidak hanya menyajikan pagelaran seni maupun budaya,
melainkan juga menawarkan jenis wisata alam yang tak kalah menarik, yakni
wisata danau. Setu Mangga Bolong dan Setu Babakan biasanya dimanfaatkan
oleh wisatawan untuk memancing dan menikmati suasana sejuk di pinggir
danau. Selain itu, wisatawan juga dapat menyewa perahu untuk menyusuri dan
mengelilingi danau.
F. Kondisi Arsitektur Pada Kawasan Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakan
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakanmerupakan ”Betawi
pinggiran” karena letaknya di paling pinggir DKI Jakarta. Rumah tradisonal
Betawi yang terdapat di permukiman ini ada 2 jenis, yaitu rumah gudang dan
rumah bapang. Rumah tradisional Betawi yang terdapat pada kawasan ini
42
dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu
dalam peletakannya.
Hanya ada beberapa bangunan pada kawasan Setu Babakan yang
benar-benar menganut langgam Betawi secara utuh, biasanya bangunan-
bangunan ini adalah rumah-rumah yang terletak di sekeliling area wisata
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakanataupun rumah orang-orang
penting seperti ketua RT dan RW. Yang menjadi penyebabnya adalah banyak
dari warga Betawi yang merasa bahwa arsitektur Betawi sudah terlihat
ketinggalan jaman dan terasa kuno, dan banyak dari mereka juga yang
menginginkan rumah dengan langgam minimalis.
Rumah ini terlihat masih memiliki pekarangan depan yang luas
sebagai ciri khas rumah tradisional Betawi. Pada bagian teras depan (paseban)
juga memiliki pembatas kayu yang bermotif seperti manusia yang disebut
dengan langkan. Pada bagian ujung atap juga diaplikasikan ornamen gigi
balang yang memiliki fungsi persembahan terhadap siapa saja yang datang.
Begitu pula dengan adanya penggunaan lampu gantung yang disebut dengan
blandis. Jendelanya pun menggunakan jendela krepyak. Perihal
pengaplikasian warna cokelat memiliki arti yaitu warna alam, natural, kayu
sementara penggunaan warna hijau melambangkan kesejukan dan kehidupan.
Bangunan-bangunan berarsitektur khas Betawi yang lain cenderung
sudah tidak 100% terlihat utuh kecuali bagian teras atau serambi yang masih
dapat ditemui dalam bentuk dan ukuran yang seadanya saja. Biasanya
masyarakat menambahkan ornamen pada lisplang yang memiliki ukiran khas
Betawi pada bangunan rumah karena dapat menunjukkan kekhasan arsitektur
rumah Betawi. Tetapi hal tersebut kurang sesuai karena ditempatkan pada
rumah-rumah yang cenderung berarsitektur modern. Berikut adalah rumah-
rumah Betawi modern yang hanya menggunakan langgam Betawi secara
parsial.
43
Pada rumah Betawi tempo dulu, material yang digunakan umumnya
adalah kayu nangka, kayu sawo, kayu kecapi, bambu, ijuk, rumbia, genteng,
kapur, pasir, semen, ter, plitur, dan batu untuk pondasi tiang yang pada
dulunya banyak diambil dari pekarangan rumah sendiri. Akan tetapi sekarang,
karena mengikuti perkembangan jaman maka material pun sudah banyak
berganti dan tentunya dipilih yang cenderung lebih ekonomis. Selain itu, pada
kawasan Setu Babakan juga terdapat pula jembatan gantung yang menjadi
penghubung ke pulau buatan yang berada pada bagian tengah Setu Babakan.
G. Potensi Wisata dan Agenda Kegiatan Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakan
1. Potensi Wisata
Perkampungan budaya betawi merupakan sebuah tempat wisata
yang menjadi pilihan para wisatawan lokal maupun mancanegara, yang
memiliki kekhasan dan potensi yang menjadi daya tarik tersendiri.
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki tiga potensi objek
wisata yang dapat dinikmati sekaligus, diantaranya:
a. Wisata Budaya
Wisata budaya merupakan suatu kegiatan dalam menumbuhkan
kembali nilai-nilai tradisional yang dikemas sehingga layak tampil,
layak tonton, dan layak jual. Wisata Budaya yang dapat dinikmati
langsung adalah;
Pergelaran seni musik, tari dan teater tradisional di arena teater
terbuka.
Pelatihan seni tari, musik, teater tradisional bagi anak-anak dan
remaja.
44
Atraksi wisata perkampungan Budaya Betawi dan prosesi
budaya (upacara pernikahan, sunatan, aqiqah, khatam Qur‟an,
nujuh bulan, injak tanah, ngederes, dan lain-lain).
Latihan silat Betawi setiap malam jumat.
b. Wisata Air
Wisata air adalah upaya meningkatkan daya tarik wisata dari aspek
olahraga air yang mampu menarik wisatawan. Dua buah setu yang
dimiliki oleh Perkampungan Budaya Betawi yaitu: Setu Babakan dan
Setu Mangga Bolong. Wisata air yang dapat dinikmati adalah: sepeda
air, olahraga kuno dan memancing.
c. Wisata Agro
Wisata agro adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata yang
memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata dengan
tujuan rekreasi, keperluan ilmu pengetahuan, memperkaya pengalaman
dan memberi peluang usaha bidang pertanian, yang menjadi daya tarik
dan keunikan wisata agro di Perkampungan Budaya Betawi adalah
lokasi pertanian tidak berada di areal khusus, melainkan berada di
pelataran dan di halaman rumah penduduk, sehingga bila musim
datang, ranumnya aneka buah khas betawi dapat menggiurkan para
wisatawan untuk singgah di rumah-rumah penduduk dan biasanya tuan
rumah akan segera menyapa wisatawan dan bergegas memetikkan
buah untuk diberikan kepada wisatawan sebagai tanda hormat.3
2. Agenda Kegiatan
Agenda kegiatan diperkampungan budaya Betawi terbagi atas: 1) agenda
Tahunan meliputi: Pekan Desember, Pekan Nuansa Islami, Pekan Lebaran,
dan Atraksi / festival Budaya Betawi. 2) Agenda Rutin yang merupakan
3 Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, Pemprof DKI Jakarta
45
pergelaran rutin (pergelaran kesenian Betawi setiap hari sabtu dan
minggu). Dan 3) Agenda atau Kegiatan Insidentil, merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat umum, pemerintah atau swasta untuk
kegiatan hiburan, pertemuan, pengembangan dan pembinaan yang tidak
menyimpang dari visi dan misi perkampungan Budaya Betawi.4
4 Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, Pemprof DKI Jakarta
46
BAB IV
DATA TEMUAN MODAL SOSIAL DALAM PELESTARIAN BUDAYA
BETAWI
Dalam bab ini akan mencoba memparkan temuan lapangan terkait peran
modal sosial dalam pelestarian budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan,
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Menurut para ahli (Coleman,
Putman, Fukuyama, dan Lawang), dalam menjelaskan modal sosial terdapat
beberapa konsep untuk menjelaskan modal sosial. dalam penjelasan ini akan
dikemukakan konsep-konsep inti modal sosial yang terdiri dari Kepercayaan,
Jaringan, dan Norma.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, modal sosial yang meliputi
kepercayaan, jaringan, dan norma memberikan kontribusi dalam pelestarian
budaya Betawi dan lingkungan sosial ekonomi masyarakat Betawi yang berada di
sekitar Setu Babakan. Kepercayaan, Jaringan, dan Norma merupakan satu
kesatuan yang saling berkesinambungan dalam pelaksanaannya sebagai konsep
modal sosial, khususnya dalam menjelaskan peran modal sosial dalam pelestarian
budaya. Peran modal sosial akan menjadi gambaran dalam penjelasan hasil
penelitian ini, yang mana akan dijelaskan sebagai berikut;
A. Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan merupakan salah satu konsep utama dalam modal sosial,
dimana kepercayaan dalam suatau masyarakat merupakan satu kekuatan
dalam proses pengembangan masyarakat. Kepercayaan dalam modal sosial
dapat diartikan sebagai sebuah pengharapan yang muncul dalam hubungan
antara dua belah pihak atau lebih yang menguntungkan keduabelah pihak
demi kepentingan bersama. Dalam pembahasan ini melihat bahwa
kepercayaan yang muncul dalam masyarakat menjadi satu kekuatan untuk
membangun masyarakat.
47
Kepercayaan dalam pembahasan ini melihat bahwa suatu kepercayaan
yang muncul dalam interaksi sosial masyarakat disekitar Setu Babakan
mampu menjadi kekuatan dalam pelestarian budaya Betawi di Setu Babakan.
Kepercayaan yang berkembang di masyarakat Setu Babakan merupakan
hubungan melalui interaksi sosial di Setu Babakan yang mengarah pada
kepentingan bersama, yaitu melestarikan seta mengembangkan budaya Betawi
dan memberikan manfaat sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar Setu
Babakan.
Temuan lapangan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Setu Babakan terlihat dari
terselenggaraya beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan Betawi
yang melibatkan kegiatan masyarakat. Kepercayaan dalam interaksi sosial
masyarakat Setu Babakan terlihat dari kagiatan-kegiatan yang muncul dan
berkembang di masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan pemaparan pak Matroji selaku ketua Rt di
perkampungan budaya Betawi Setu Babakan, pak Matroji menjelaskan;
“Alhamdulillah, hubungan antar individu disini masih terjalin sangat
baik dengan adanya kegiatan arisan, majelis ta’lim, jum’at bersih, dan
kerja bakti masyarakat juga masih jalan.”1
Interaksi sosial masyarakat Setu Babakan terjalin dengan sangat baik,
hal tersebut terlihat dari kegiatan rutin masyarakat Setu Babakan. Kegiatan
rutin (seperti arisan, majelis taklim, dan kerja bakti) yang menjadi aktivitas
bersama masyarakat Setu Babakan telah menunjukkan kekuatan dari
kepercayaan antar masyarakat dalam interaksi sosialnya.
Kepercayaan dalam masyarakat sekitar Setu Babakan menjadi satu
kekuatan yang solid sebagai basis dalam kesuksesan acara-acara besar yang
rutin diselenggarakan. Kegiatan rutin tersebut menjadi acara rutin tahunan
1 Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji, selaku ketua rt di Setu Babakan
48
yang diselenggarakan bersama masyarakat Setu Babakan dalam menunjukkan
eksistensi budaya Betawi, kegiatan tersebut melibatkan beberapa kalangan
yang ada di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pemaparan pak Rapli
sebagai penjual Dodol di sekitar Setu Babakan, pak Rapli menjelaskan;
“...untuk kebudayaan betawi sendiri kadang dalam waktu setiap 3 atau
6 bulan sekali di sini suka ada event-event besar seperti festival bikin
manggar kelapa dan festival kembang ondel-ondel, jadi kita dapat
kesempatan untuk menunjukan bahwa ini lah budaya kita sebagai
masyarakat betawi.”2
Sehingga semakin jelas bahwa kepercayaan yang berkembang di
masyarakat Setu Babakan mampu menjadi satu kekuatan yang solid yang
mampu melahirkan kegiatan bersama. Aktivitas rutin yang berjalan di
lingkungan masyarakat Setu Babakan menunjukkan hubungan yang baik antar
individu maupun antar kelompok, sehingga mampu menghasilkan kegiatan
rutin dan acara-acara besar yang telah memberikan keuntungan pelbagai pihak
yang terlibat.
Sebagai suatu masyarakat, sudah tentu setiap individu memiliki
aktivitas atau profesi yang berbeda-beda, sehingga kepercayaan yang
berkembang antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat Setu
Babakan menjadi satu kekuatan yang menyatukan. Kepercayaan yang terdapat
di lingkungan masyarakat Setu Babakan menjadi satu kekuatan yang
menyatukan masyarakat Setu Babakan dalam melestarikan budaya Betawi.
Hal tersebut terlihat dari pemaparan pak Sobar sebagai berikut;
“Nah memang orang-orang disini aktivitasnya beda-beda ya, jadi
kesibukannya beda juga. Yang tinggal disekitar sini sih kebanyakan
pada jualan disekitar setu babakan, ada juga yang ngidupin budaya-
budaya betawi, misal dari makanannya, pencak silat, sanggar.
2 Wawancara Pribadi dengan Pak Rapli, selaku penjual Dodol di Setu Babakan
49
Kebanyakan sih banyak yang ikutan kalo lagi ada acara atau kegiatan
Betawi.”3
Secara umum kegiatan masyarakat Setu Babakan mengarah kepada
pelestarian budaya Betawi, hal tersebut dari penjualan makanan khas Betwai,
pencak silat, dan sanggar sebagai tempat pelatihan. Sehingga hal tersebut
mempermudah kebutuhan dalam kegiatan pelestarian budaya Betawi yang
berada di lingkungan sekitar Setu Babakan, masyarakat dengan pelbagai
profesi menyatu menjadi satu kekuatan dalam pelestarian budaya Betawi.
Sesuai dengan penjelasan pak Matroji dalam mengakomodir beberapa lapisan
masyarakat, serta kepercayaan terhadap perwakilan beberapa kelompok yang
menjadi pemersatu masyarakat dalam melestarikan budaya Betawi melalui
kegiatan bersama.
Pak Matroji menjelaskan sebagai berikut;
“...jadi misalkan ada acara di undang gitu tidak seluruh pedagang yang
diundang jadi cuma perwakilan, jadi kelompok sebelah barat ada ketua
nya, sebelah timur ada ketua nya. Tujuannya supaya memudahkan
untuk kordinasi.”4
Munculnya keterwakilan dalam masyarakat merupakan suatu bentuk
kepercayaan individu-individu dalam suatu kelompok, dimana yang menjadi
wakil merupakan utusan yang sudah diberikan kepercayaan untuk mewakili
kelompoknya. Keterwakilan dalam suatu kelompok tersebut telah
memudahkan masyarakat untuk mengakomodir beberapa lapisan dalam
masyarakat di sekitar Setu Babakan, sehingga kegiatan bersama yang muncul
merupakan bentuk kepentingan bersama dan memberikan manfaat bersama.
Terkait dengan kegiatan bersama, pak Matroji menjelaskan lebih lanjut
kegiatan bersama yang menjadi rutinitas masyarakat Setu Babakan sebagai
berikut;
3 Wawancara Pribadi dengan Pak Sobar, selaku pengurus dan pegiat seni di Setu Babakan
4 Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
50
“Biasanya ada prosesi adat khatam qur’an, prosesi sunatan, prosesi
adat betawi. kalo dari segi Budaya, disini ada sanggar-sanggar budaya
Betawi yang menghadirkan karya Betawi, tari toprng dan sebagainya.
Biasanya ditampilkan hari minggu ada pagelaran budaya Betawi.”5
Kepercayaan yang muncul antar orang-orang ataupun antar kelompok
dalam masyarakat Setu Babakan membentuk satu hubungan harmonis dalam
kegiatan bersama, yang mengarah pada aktivitas-aktivitas dalam pelestarian
dan pengembangan budaya Betawi.sehingga kepercayaan tersebut mampu
menjadi satu kekuatan yang menyatukan masyarakat serta mampu
melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi yang menjadi identitas
masyarakat Setu Babakan.
B. Jaringan
Jaringan dalam modal sosial dengan pengertiannya yang sudah
dipaparkan oleh Robert Lawang, pengertian jaringan disini mengarah pada
ikatan atau hubungan orang atau kelompok yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga jaringan dalam modal sosial sebagai pengikat yang kuat dengan
landasan kepercayaan orang atau kelompok, jaringan sebagai media dalam
hubungan sosial menjadi satu kerja sama.
Jaringan yang berkembang dalam masyarakat Betawi di Setu Babakan
juga merupakan simpul ikatan yang menyatukan orang-orang atau kelompok
dalam masyarakat. Sehingga satu kesatuan masyarakat tersebut memberikan
kekuatan dalam masyarakat untuk bekerja sama, dalam proses penyatuan
ikatan atau simpul tersebut melalui orang-orang atau perwakilan dalam suatu
masyarakat.
Jaringan sosial yang menjadi ikatan satu kesatuan dalam masyarakat
Setu Babakan terlihat dari peran stakeholder (pemangku kepentingan) maupun
5 Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
51
perwakilan (ketua) kelompok terkait dengan keterlibatan dalam suatu kegiatan
pelestarian budaya Betawi. hal tersebut dijelaskan oleh pak Sobar sebagai
berikut;
“Penting ya sebenarnya, soalnya kan beberapa wilayah disini memang
ada kaya ketuanya gitu, ya semisal rt atau rw, atau penanggung jawab
lokasi dan tempat, mereka orang-orang yang bantu koordinasi kalo ada
pertemuan-pertemuan gitu. Ya memang ada beberapa orang yang
dituakan di wilayah sini.”6
Peran ketua atau perwakilan dalam kelompok tersebut telah
memberikan kontribusi besar dalam pelestarian budaya Betawi. Jaringan
sosial yang terbetuk melalui peran yang ada dalam masyarakat Setu Babakan
menjadi satu ikatan kesatuan masyarakat dalam menunjukkan dan
mengembangkan budaya Betawi. Beberap bidang menjadi garapan dari
beberapa kelompok masyarakat, terdapat ketua atau perwakilan dalam
masyarakat maupun kelompok dalam suatu masyarakat.
Keberadaan perwakilan atau tetua dalam suatu masyarakat menjadi
satu simbol ikatan masyarakat Setu Babakan, yang juga ikut terlibat dalam
pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Hal tersebut dijelaskan oleh
pak Matroji terkait keberadaan tokoh masyarakat dalam pelestarian budaya
Betawi, beliau memaparkan;
“Sangat mendukung dengan adanya sanggar-sanggar yang didirikan
disini ya terutama sanggar tari, pencak silat.”7
Sanggar-sanggar tari dan pencak silat merupakan satu bentuk
pelestarian kesenian dalam budaya Betawi. Peran tokoh masyarakat menjadi
sangat penting dalam mendukung pelaksanaan sanggar-sanggar tari dan
pencak silat, sehingga keberlangsungan budaya Betawi masih tetap terjaga.
Jaringan yang terjalin antar pelaku maupun tokoh masyarakat dalam
6 Wawancara Pribadi dengan Pak Sobar
7 Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji, selaku ketua rt di Setu Babakan
52
melestarian kesenian Betawi melalui sanggar-sanggar tersebut menjadi satu
ikatan yang menyatukan sebagai modal sosial dalam pelestarian budaya
betawi.
Ikatan dalam jaringan sosial masyarakat Setu Babakan dilaksanakan
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terdapat dalam masyarakat Betawi.
nilai dan norma yang berkembang tersebut menjadi landasar berfikir dan
berperilaku dalam masyarakat, hal tersebut terlihat dari aktivitas masyarakat
Setu Babakan. Seperti yang dijelaskan oleh pak Matroji sebagai berikut;
“Kalo disini diharuskan atau dianjurkan bagi mereka yang membangun
di daerah sini minimal menunjukkan ciri khas budaya betawi nya
seperti gigi balang, diharapkan dan dianjurkan seperti itu.”8
Budaya Betawi yang melekat dalam masyarakat Setu Babakan terlihat
dari aktivitas masyarakat yang mengarah pada pelestarian dan pengembangan
budaya Betawi. Aturan yang berlaku dalam masyarakat juga merupakan
kesesuaia dengan budaya betawi, yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan
berbagai aktivitasnya. Hal tersebut juga terlihat dari aktivitas para pedagang
yang terdapat di sekitar Setu Babakan, pak Rapli menuturkan;
“Ya lumayan membantu apalagi dalam kondisi libur saat ini, memang
jauh lebih dari cukup buat kita para pedagang.”9
Sehingga jaringan sosial yang terdapat dalam masyarakat Setu
Babakan merupakan satu kesatuan masyarakat dari pelbagai profesi. Satu
kesatuan masyarakat tersebut membentuk kekuatan dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya betawi, hingga mampu menghasilkan keuntungan
bersama yang merupakan hasil dari kerja sama pelbagai pihak. Hal tersebut
diperkuat dengan pernyataan pak Matroji sebagai berikut;
8 Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
9 Wawancara Pribadi dengan Pak Rapli
53
“Ya Alhamdulillah sih menurut saya bisa membantu masyarakat
sekitar dengan adanya ini kan otomatis akan menjadi objek wisata,
plus minus nya pasti ada ya kalo plus nya bisa bantu perekonomian
masyarakat disini dari berdagang, lalu biasanya rumah-rumah warga
suka digunakan untuk event-event tertentu.”10
Jaringan sosial yang menjadi ikatan masyarakat Setu Babakan dalam
melestarikan budaya Betawi merupakan hasil kerja antar orang ataupun
kelompok dalam masyarakat, hingga mampu memberikan manfaat dan juga
keuntungan terhadap masyarakat sekitar. Ikatan budaya masyarakat Betawi di
Setu Babakan menyatukan orang-orang dan kelompok menjadi satu kesatuan
dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi, hal tersebut
dijelaskan oleh pak Sobar sebagai berikut;
“Cukup dekat lah ya, namanya juga masih satu kampung, masih sama-
sama betawi gitu. Kalo ada acara atau kegiatan ya tetangga banyak
yang bantu-bantu. Kalo ada acara di setu babakan juga banyak warga
yang ikutan gabung bantu-bantu buat acara, dan nanti banyak yang
dateng kalau acara udah mulai.”11
Hubungan interaktif antar orang-orang maupun kelompok menjadi satu
pengikat yang mengatur dan menjaga jaringan sosial masyarakat Setu
Babakan. Nilai-nilai dan norma dalam budaya Betawi merupakan landasan
munculnya jaringan dan juga ikatan yang terdapat di masyarakat Setu
Babakan yang mayoritas Betawi, dan juga sebagai landasan dalam
melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi di Setu Babakan.
C. Norma, Pelaksanaan, dan Sanksinya
10
Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji 11
Wawancara Pribadi dengan Pak Sobar
54
Seperti yang sudah dijelaskan di muka, bahwa norma yang
berkembang di masyarakat Setu Babakan berlandaskan pada budaya
masyarakat Betawi. Selanjutnya norma dalam konsep modal sosial mengacu
pada nilai-nilai yang terdapat di masyarakat, profesionalitas, dan aturan-aturan
perilaku dalam masyarakat, khususnya masyarakat dengan kebudayaan
Betawi.
Norma-norma dalam konsep modal sosial merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan yang terdapat
dalam masyarakat. Norma dan juga atauran yang berlaku di Setu Babakan
merupakan suatu bentuk kebutuhan yang muncul pada masyarakat Setu
Babakan, mengingat Setu Babakan sebagai suatu wilayah pelestarian (cagar)
budaya masyarakat Betawi. Sehingga norma dan aturan yang berlaku sesuai
dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat Setu Babakan, serta dapat
memunculkan keuntungan bersama yang diperoleh.
Terkait dengan norma dan aturan yang berlaku di Setu Babakan, pak
Matroji menjelaskan sebagai berikut;
“Harusnya ada ketegasan dari segi hukum kalo kita ingin melestarikan
budaya betawi disini harusnya ada payung hukumnya yang mengatur
bahwa mereka yang membangun disini harus memberikan ciri khas.”12
Aturan dan norma dalam pelestarian budaya Betawi di Setu Babakan
menjadi penting mengingat keadaan masyarakat di Setu Babakan, Jagakarsa
Jakarta Selatan yang sangat heterogen, sehingga dirasa perlu adanya payung
hukum dalam mengatur pelestarian dan pengembangan budaya Betawi.
Dengan adanya aturan tersebut diharapkan muncul kesesuaian perilaku dan
tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma masyarakat Betawi serta
pelestarian dan pengembangan budaya Betawi.
12
Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
55
Norma yang terdapat di masyarakat Setu Babakan bukan hanya aturan
hukum yang berlaku, tapi juga nilai-nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat Setu Babakan, yang mayoritas bersuku Betawi. Norma dan aturan
tersebut dijelaskan oleh pak Sobar sebagai berikut;
“Ya itu tadi kita sama-sama orang betawi dan tinggal deket sini, jadi
ya sama-sama jaga budaya Betawi, ikut acara bareng-bareng. Gak ada
aturan khusus yang ngatur orang musti bagimana, atau dapet tanggung
jawab apa gitu, ya intinya sih sama-sama sadar aja sebagai masyarakat
sini, kalo ada acara ya bantu-bantu, jaga keamanan dan lingkungan
bareng-bareng, disini kan kebanyakan juga sudah pada kenal, jadi ya
masih enak gitu komunikasinya.”13
Aturan dan norma yang berlaku pada masyarakat Setu Babakan
memang sudah tentu harus sesuai dengan budaya Betawi, dan lebih jauh
norma tersebut berusaha untuk mengatur pelestarian dan pengembangan
budaya Betawi. Pelaksanaan norma tersebut terlihat dari aktivitas masyarakat
yang mayoritas bersuku Betawi, dengan kepercayaan dan jaringan sosial yang
berkembang di lingkungan masyarakat, norma dan aturan tersebut menjadi
landasan masyarakat dalam kehidupan sosial serta menjaga keamanan
lingkungan, kelestarian dan pengembangan budaya Betawi.
Selain itu, norma dan aturan yang berlaku juga mengarahkan beberapa
masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang di sekitar Setu Babakan. Norma
dan aturan tersebut berfungsi dalam pengelolaan para pedagang guna menjaga
keamanan dan ketertiban lingkungan sekitar, serta juga tetap sesuai dengan
upaya pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. terkait dengan
pengelolaan pedagang, pak Rapli selaku pedagang Dodol khas Betawi
memaparkan sebagai berikut;
13
Wawancara Pribadi dengan Pak Sobar
56
“Kalau pengelolaan sih sistem sewa untuk para pedagang, Ya dalam
bentuk lapak mas.“14
Pengelolaan para pedagang tersebut dilakukan oleh pengurus
perkampungan Setu Babakan, sehingga memungkinkan pengelolaan dengan
kepercayaan dan juga jaringan yang ada di masyarakat Setu Babakan. Bentuk
pengelolaannya adalah dengan penyediaan tempat berdagang dengan
menggunakan sistem sewa lapak atau tempat, dimana terdapat beberapa
petugas atau pengurus yang mengatur penarikan dana sewa serta pengelolaan
dana tersebut untuk kepentingan bersama dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya Betawi.
Terkait dengan pengelolaan para pedagang, lebih lanjut pak Matroji
selaku salah satu stakeholder Setu Babakan mejelaskan pembagian kelompok
dan keterwakilan dalam kelompok untuk memudahkan koordinasi dan
penyatuan beberapa kelompok dalam masyarakat. Pak Matroji lebih lanjut
menjelaskan sebagai berikut;
“Kalo untuk pedagang disini biasanya ada kelompok-kelompoknya, ya
jadi mereka itu yang membawahi. Jadi kelompok sebelah barat ada
ketua nya, sebelah timur ada ketua nya. Tujuannya supaya
memudahkan untuk koordinasi.”15
Pembentukan kelompok-kelompok dagang dan keterwakilan dalam
sebuah kelompok memang mempermudah koordinasi dan penyatuaan antar
kelompok, hal tersebut berlandas pada kepercayaan dan jaringan sosial yang
berkembang di Setu Babakan. Namun hal tersebut juga memunculkan
kebingungan di kalangan pedagang, dimana penanggung jawab dalam
kelompok terlihat ketidakjelasan pembagian tugas dalam penarikan biaya
sewa bagi para pedagang. Hal tersebut diungkapkan oleh pak Rapli sebagai
berikut;
14
Wawancara Pribadi dengan Pak Rapli 15
Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
57
“Soalnya saya sendiri kurang tau tempat pengelolaannya antara disini
sama di depan sana (Zona A) apakah satu pengelolaan atau tidak.”16
Kebingungan yang muncul dikalangan pedagang tersebut lebih
disebabkan ketidakpahaman pembagian tugas pengurus di beberapa wilayah di
Setu Babakan. Mengingat terdapat beberapa pembagian kelompok ataupun
wilayah yang menjadi tanggungjawab setiap kelompok, dalam hal ini
pengurus Setu Babakan juga ikut bertanggungjawab dalam pengelolaan Cagar
Budaya Setu Babakan. Fungsi dan tugas pengurus juga dipaparkan oleh pak
Sobar sebagai berikut;
“Kalau tugas pengurus sih paling ya ngurusin yang ada di Setu
Babakan, gimana ngatur kegiatan-kegiatan, acara kebudayaan,
pengelolaan tempat buat para pengunjung, parkiran dan lain-lain.
Kebanyakan sih ngurusin urusan-urusan di Setu Babakan.”17
Pengurus bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelestarian, dan
pengembangan di sekitar Setu Babakan yang menjadi Cagar Budaya Betawi.
Terkait dengan pengaturan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab
pengurus Setu Babakan memang belum terdapat satu payung hukum yang
mengatur hal tersebut, sehingga wajar akan muncul ketumpang tindihan dalam
menjalankan fungsi dan tanggung jawab pengurus Setu Babakan sebagai
tempat pelestarian (cagar) budaya Betawi.
Payung hukum dalam mengatur tata kelola Setu Babakan memang
sudah menjadi wacana dan saran yang muncul di kalangan masyarakat, namun
hinggga sekarang belum ada aturan tertulis yang mengatur hal tersebut.
Aturan profesionalisme pengelolaan Setu Babakan yang juga menjadi
tanggung jawab pemerintah Daerah tersebut juga dijelaskan oleh pak Matroji
sebagai berikut;
16
Wawancara Pribadi dengan Pak Rapli 17
Wawancara Pribadi dengan Pak Sobar
58
“Dan itu sudah menjadi aturan dari pemerintah, namun kenyataannya
masih banyak yang belum seperti itu karena belum ada ketegasan dari
segi hukum untuk mereka yang tinggal disini. Dan ini baru menjadi
saran atau anjuran belum menjadi aturan yang tertulis, jadi jika ada
yang melanggar sanksi nya bukan sanksi hukum.”18
Aturan formal atau tertulis dalam pengelolaan Setu Babakan masih
menjadi wacana dan saran bagi pemerintah Daerah, sehingga belum ada sanksi
secara hukum bagi orang-orang atau kelompok yang melanggar aturan
tersebut. Sebagai satu masyarakat yang berlandas pada budaya (khususnya
budaya Betawi) dalam pengelolaan, pelestarian dan pengembangan Setu
Babakan terdapat norma yang menjadi landasan dalam berperilaku dan
berkehidupan masyarakat Setu Babakan. Norma tersebut bersumber dari nilai-
nilai yang berkembang di masyarakat Setu Babakan dan tingkat
profesionalitas serta payung hukum yang masih proses wacana dan menjadi
saran bagi pemerintah Daerah.
18
Wawancara Pribadi dengan Pak Matroji
59
BAB V
ANALISIS DATA TEMUAN LAPANGAN
A. Modal Sosial dalam Pelestarian Budaya Betawi
1. Sejarah Cagar Budaya Setu Babakan
Setu Babakan merupakan sebuah danau buatan yang airnya berasal
dari Sungai Ciliwung, dimana mayoritas masyarakat yang berada disekitar
Setu adalah orang betawi. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000
dipilihlah perkampungan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya
Betawi. Alasan ditetapkannya Setu Babakan sebagai Perkampungan
Budaya Betawi adalah sulitnya ditemukan apa yang dinamakan
Perkampungan Budaya Betawi di DKI Jakarta, karena Condet yang
sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sudah
berubah menjadi kawasan permukiman yang modern. (bab III h. 39-40).
Selanjutnya, dalam proses berjalannya waktu, pada tanggal 10
Maret 2005 dikeluarkan “Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.3
Tahun 2005” tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di
Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.
Konsep dasar pengembangan Pekampungan Budaya Betawi Setu Babakan
adalah meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Betawi dalam
wilayah kehidupannya berdasarkan nilai sosial budaya yang
dikembangkan. (bab III h. 40-41).
Sebagai sebuah kawasan yang ditumbuh kembangkan oleh budaya
betawi, Perkampungan Budaya Betawi yang berada di Srengseng sawah
tetap konsisten menunjukkan aktivitas yang bercirikan ke-Betawian. Hal
tersebut terlihat mulai dari keadaan bangunan rumah bagian depan yang
berupa gigi balang dan langkan yang merupakan pola khas betawi, terdapt
60
pula aktivitas yang menjadi atraksi budaya Betawi meliputi kesenian, adat
istiadat, foklor, sastra, pakaian, arsitektur, dan kuliner khas Betawi.
Dalam perkembangannya, Perkampungan Budaya betawi yang
telah menjadi Cagar Budaya Setu Babakan senantiasa melestarikan dan
mengembangkan budaya Betawi yang menjadi identitasnya.
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki tiga potensi objek
wisata yang dapat dinikmati sekaligus, diantaranya: wisata budaya, wisata
air, dan wisata argo.1
Selain itu juga terdapat agenda kegiatan yang menjadi rutinitas
kehidupan di Setu Babakan, yang terbagi atas: 1) agenda Tahunan
meliputi: Pekan Desember, Pekan Nuansa Islami, Pekan Lebaran, dan
Atraksi / festival Budaya Betawi. 2) Agenda Rutin yang merupakan
pergelaran rutin (pergelaran kesenian Betawi setiap hari sabtu dan
minggu). Dan 3) Agenda atau Kegiatan Insidentil, merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat umum, pemerintah atau swasta untuk
kegiatan hiburan, pertemuan, pengembangan dan pembinaan yang tidak
menyimpang dari visi dan misi perkampungan Budaya Betawi.2
2. Hubungan Modal Sosial dan Cagar Budaya Setu Babakan
Istilah modal sosial dalam pengertiannya memiliki banyak makna
dalam interpretasinya, beberapa ahli telah memaparkan penjelasan terkait
modal sosial.3 Dalam memahami modal sosial terdapat beberapa konsep
untuk menjelaskan istilah modal sosial, diantaranya yaitu; Kepercayaan,
Jaringan, dan Norma. Ketiga konsep tersebut merupakan bagian inti dari
Cagar Budaya Setu Babakan sebagai kawasan pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi.
1 Penjelasan lebih detail terdapat pada Bab III hal. 51-52
2 Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, lihat Bab III h. 52
3 Penjelasan lebih lanjut terdapat pada bab II h. 26
61
Untuk melihat hubungan anatar ketiga konsep tersebut dengan
Cagar budaya Setu Babakan, maka pembahasan lebih rinci tentang
konsep-konsep dalam memahami istilah modal sosial dalam pelestarian
budaya Betawi di Setu Babakan. Hal tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut;
a. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan dalam modal sosial menurut Lawang merupakan
salah satu konsep utama, dimana kepercayaan yang muncul dalam
suatu masyarakat mampu menjadi kekuatan dalam pengembangan
masyarakat tersebut (lihat bab II h. 28). Kepercayaan yang terbentuk
dalam masyarakat, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan
antar kelompok dapat memberikan harapan, manfaat,dan keuntungan
pelbagai pihak terkait melalui proses interaksi dalam masyarakat.
Kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat mampu menjadi
kekuatan dalam kehidupan sosial masyarakat, kepercayaan merupakan
sebuah pengharapan yang muncul dari hubungan antara dua belah
pihak demi keuntungan dan kepentingan bersama. Cagar budaya Setu
Babakan sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya orang Betawi
yang senantiasa menunjukkan identitas ke-Betawiannya dalam
kehidupan masyarakat dan kegiatan atau agenda yang terdapat di
Cagar Budaya Setu Babakan.
Dalam masyarakat Setu Babakan kepercayaan antar individu
dan kelompok menjadi penting dalam penyelenggarakan kegiatan
masyarakat. Kegiatan rutin (seperti arisan, majelis taklim, dan kerja
bakti) yang menjadi aktivitas bersama masyarakat Setu Babakan telah
menunjukkan kekuatan dari kepercayaan antar masyarakat dalam
interaksi sosialnya (bab IV h. 55). Rutinitas tersebut merupakan
cerminan kehidupan masyarakat Betawi, dimana adat istiadat dan
religiusitas mewarnai kehidupan sosial masyarakat.
62
Kepercayaan yang terdapat di masyarakat Setu Babakan dalam
menunjukkan eksistensi budaya Betawi mampu memberikan dampak
pengembangan budaya Betawi, kegiatan atau acara-acara rutin (bab III,
h 52) telah melibatkan beberapa kalangan masyarakat Setu Babakan.
Acara rutin tahunan tersebut diselenggarakan setiap tiga bulan atau
enam bulan sekali, kegiatan tersebut seperti pembuatan Manggar
Kelapa dan festival kembang ondel-ondel. Aktivitas rutin yang
berjalan di lingkungan masyarakat Setu Babakan menunjukkan
hubungan yang baik antar individu maupun antar kelompok, sehingga
mampu menghasilkan kegiatan rutin dan acara-acara besar yang telah
memberikan keuntungan pelbagai pihak yang terlibat (bab IV h. 56)
Dalam pemahaman Fukuyama, karena masing-masing
masyarakat ini memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antara
individu-individu walaupun tidak terkait satu secara kekerabatan sama
lain yang pada gilirannya menciptakan basis yang solid bagi modal
sosial (bab II h. 29).4 Cagar Budaya Setu Babakan sebagai bagian dari
masyarakat Betawi khususnya yang menetap disekitar Setu Babakan.
Sebagai suatu masyarakat, sudah tentu setiap individu memiliki
aktivitas atau profesi yang berbeda-beda, sehingga kepercayaan yang
berkembang antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat
Setu Babakan menjadi satu kekuatan yang menyatukan (Bab IV h. 56).
Kepercayaan tersebut juga tercermin dalam pembagian
beberapa kelompok yang berada disekitar Setu Babakan, dalam
kelompok tersebut terdapat utusan yang sudah diberikan kepercayaan
untuk mewakili kelompoknya. Keterwakilan dalam suatu kelompok
tersebut telah memudahkan masyarakat untuk mengakomodir beberapa
lapisan dalam masyarakat di sekitar Setu Babakan, sehingga kegiatan
bersama yang muncul merupakan bentuk kepentingan bersama dan
memberikan manfaat bersama (bab IV h. 55-56).
4 Francis Fukuyama, “Trust”, h. 86.
63
Sehingga kepercayaan dalam masyarakat sekitar Setu Babakan
merupakan satu kekuatan dalam menyatukan berbagai kelompok
masyarakat, serta membentuk satu hubungan yang harmonis dalam
kegiatan bersama dalam melestarikan dan pengembangan budaya
Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan. Kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan kepentingan bersama masyarakat Setu Babakan dengan
Cagar Budaya Setu Babakan, telah memberikan memberikan
keuntungan bersama bagi masyarakat dan Cagar Budaya Setu
Babakan.
b. Jaringan
Dalam penjelasan Lawang tentang konsep jaringan dalam
modal sosial memiliki beberapa pengertian yang telah dipaparkan di
bab II h. 29-30. Pengertian jaringan disini mengarah pada ikatan atau
hubungan orang atau kelompok yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga jaringan dalam modal sosial sebagai pengikat yang kuat
dengan landasan kepercayaan orang atau kelompok, jaringan sebagai
media dalam hubungan sosial menjadi satu kerja sama (bab IV h. 58).
Satu kesatuan dalam masyarakat di Setu Babakan terlihat dari
aktivitas bersama yang dilakukan di Cagar Budaya Setu Babakan.
Jaringan sosial yang menjadi ikatan satu kesatuan dalam masyarakat
Setu Babakan terlihat dari peran stakeholder (pemangku kepentingan)
maupun perwakilan (ketua) kelompok terkait dengan keterlibatan
dalam suatu kegiatan pelestarian budaya Betawi. Bentuk perwakilan
tersebut merupakan satu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap
perwakilan mereka yang mempermudah dalam koordinasi beberapa
elemen masyarakat Setu Babakan, dan peran tetua maupun perwakilan
kelompok tersebut telah memberikan kontribusi besar terhadap Cagar
Budaya Setu Babakan.
64
Keberadaan perwakilan atau tetua dalam suatu masyarakat
menjadi satu simbol ikatan masyarakat Setu Babakan, yang juga ikut
terlibat dalam pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Sanggar-
sanggar tari dan pencak silat merupakan satu bentuk pelestarian
kesenian dalam budaya Betawi. Peran tokoh masyarakat menjadi
sangat penting dalam mendukung pelaksanaan sanggar-sanggar tari
dan pencak silat, sehingga keberlangsungan budaya Betawi masih
tetap terjaga. Jaringan yang terjalin antar pelaku maupun tokoh
masyarakat dalam melestarian kesenian Betawi melalui sanggar-
sanggar tersebut menjadi satu ikatan yang menyatukan sebagai modal
sosial dalam pelestarian budaya betawi (bab IV h. 59-60).
Sebagai satu kesatuan anatar masyarakat dan Cagar Budaya
Setu Babakan, kepercayaan antar sesama menjadi dasar terbentuknya
jaringan yang menjadi modal dalam pelestarian buda Betawi. Jaringan
tersebut menghubungkan pelbagai elemen masyarakat, dengan
berbagai aktivitas dan pekerjaannya menjadi satu kesatuan untuk
bekerja sama tetap melestarikan budaya Betawi di Cagar Budaya Setu
Babakan.
Kekuatan jaringan sosial yang terbentuk telah memberikan
keuntungan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Setu Babakan dan
Cagar Budaya. Terlihat dari masyarakat secara harmonis telah
menjunjung budaya Betawi, mulai dari penjualan masakan khas
Betawi, kegiatan-kegiatan kebudayaan Betawi, serta aktivitas
kehidupan masyarakat Betawi yang telah memberikan manfaat
terhadap lapisan masyarakat dan Cagar Budaya Setu Babakan.
c. Norma
Konsep norma dalam memahami modal sosial tidak dapat
dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, sifat norma dalam
penjelasan Lawang meliputi beberapa aspek berikut; Norma itu
65
muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, Norma bersifat
resiprokal, dan Jaringan yang terbina dan menjamin keuntungan kedua
belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadlilan (bab II
h. 30-31).
Norma dan juga atauran yang berlaku di Setu Babakan
merupakan suatu bentuk kebutuhan yang muncul pada masyarakat
Setu Babakan, mengingat Setu Babakan sebagai suatu wilayah
pelestarian (cagar) budaya Betawi. Keberadaan Cagar Budaya Setu
Babakan yang berada dibawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki kelemahan terkait payung
hukum. Dimana tidak adanya ketegasan hukum tertulis dalam
pelestarian dan pengelolaan Cagar Budaya Betawi di Setu Babakan
diikuti pula oleh tidak adanya sanksi bagi para pelanggar (bab IV h.
63). Dengan adanya aturan tersebut diharapkan muncul kesesuaian
perilaku dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma
masyarakat Betawi serta pelestarian dan pengembangan budaya
Betawi.
Selanjutnya norma yang berkembang pada masyarakat Setu
Babakan dan Cagar Budaya Betawi juga memiliki landasan terkait
dengan nilai-nilai dan norma yang melekat di masyarakat Setu
Babakan. Aturan dan norma yang berlaku pada masyarakat Setu
Babkan memang sudah tentu harus sesuai dengan budaya Betawi, dan
lebih jauh norma tersebut berusaha untuk mengatur pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi. Sehingga norma yang berlaku juga
merupakan kepentingan bersama dan memberikan manfaat serta
keuntungan bersama.
Aturan yang berlaku di Cagar Budaya Setu Babakan juga
mengatur tata kelola di lingkungan Setu Babakan. Pengelolaan bagi
para pedagang di Setu Babakan dilakukan dengan mengakomodir para
66
pedagang dan juga penetapan biaya dalam sewa tempat dagang yang
telah dikelola oleh pengurus Cagar Budaya Setu Babakan. Disisi lain
terdapat beberapa tumpang tindih ketidak sepahaman yang dirasakan
pedagang terkait pembagian wilayah di sekitar Setu Babakan (bab IV
h. 66). Dalam hal ini pengurus Cagar Budaya Setu Babakan
bertanggung jawab menjalankan peran dan fungsi dalam kegiatan-
kegiatan dan aktivitas yang terdapat di lingkungan Setu Babakan.
Terkait dengan pengaturan dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawab pengurus Setu Babakan memang belum terdapat satu
payung hukum yang mengatur hal tersebut, sehingga wajar akan
muncul ketumpang tindihan dalam menjalankan fungsi dan tanggung
jawab pengurus Setu Babakan sebagai tempat pelestarian (cagar)
budaya Betawi (bab IV h. 66). Sehingga keberadaan norma sebagai
modal sosial dalam pelestarian budaya Betawi penting dalam mengatur
serta mengelola dinamika kehidupan di Cagar Budaya Setu Babakan.
Aturan profesionalisme pengelolaan Setu Babakan yang juga menjadi
tanggung jawab pemerintah Daerah masih menjadi wacana dan saran
bagi pemerintah daerah.
B. Manfaat Cagar Budaya Setu Babakan
Melihat keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan di Jagakarsa yang
menjadi wilayah pelestarian dan pengembangan budaya Betawi sedikitnya
terdapat dua manfaat atas keberadaannya tersebut, manfaat tersebut yaitu
manfaat pelestarian dan pengembangan budaya dan peningkatan sosial
ekonomi masyarakat. Yang akan dipaparkan sebagai berikut;
1. Pelesatarian dan pengembangan Budaya Betawi
67
Keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan sesuai dengan
ketetapan peraturan Pemerintah Daerah bertujuan untuk meningkatkan
harkat dan martabat masyarakat Betawi dalam kehidupannya
berdasarkan nilai sosial budaya Betawi (bab III h. 41). Sehingga
keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan telah memberikan manfaat
dalam mempertahankan dan mengangkat kebudayaan Betawi, terlihat
dari aktivitas atau kegiatan rutin masyarakat sekitar Setu Babakan
yang berlandaskan pada nilai-nilai dan norma masyarakat Betawi.
Perkembangan budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan
telah memberikan nuansa baru wisata budaya, khususnya budaya
Betawi. Wisata budaya merupakan suatu kegiatan dalam
menumbuhkan kembali nilai-nilai tradisional yang dikemas sehingga
layak tampil, layak tonton, dan layak jual (bab III h. 51). Wisata
budaya turut pula mengangkat keanekaragaman budaya Betawi,
sehingga keberadaannya sagat dirasakan oleg warga Betawi dan
masyarakat umum.
2. Manfaat Sosial Ekonomi
Beberapa manfaat keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan
adalah adanya kemajuan sosial pada masyarakat sekitar Setu Babakan.
Kemajuan sosial tersebut merujuk pada kekuatan-kekuatan yang
menyatukan masyarakat, sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan di
Setu Babakan masih terjaga keasliannya sesuai dengan budaya Betawi.
Hal tersebut juga menjadi salah satu norma yang diberlakukan
terhadap masyarakat Setu Babakan untuk mengangkat nilai-nilai
budaya Betawi.
Kemajuan sosial dalam masyarakat Setu Babakan juga terlihat
dari kepercayaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah Cagar
Budaya Setu Bababakan, kepercayaan tersebut melahirkan beberapa
68
kegiatan bersama ataupun acara-acar rutin dalam mengangkat budaya
Betawi. Selain itu, kepercayaan tersebut juga memiliki utusan atau
tetua dari setiap kelompok yang mewakili kepentingan masyarakat
(bab IV h 55-57). Kapercaayn tersebut melahirkan jaringan sosial
masyarakat Setu Babakan yang solid dalam satu kesatuan mengangkat
harkat dan derajat budaya betawi yang layak tampil, layak jual, dan
layak tonton.
Aktivitas masyarakat Setu Babakan yang berlandaskan nilai-
nilai budaya Betawi merupakan satu bentuk kemajuan sosial
masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi.
Satu kesatuan masyarakat yang memegang teguh budaya aslinya
merupakan alternatif dalam menganggapi tantangan zaman, sehingga
keberadaan Cagar Budaya Setu Babakan juga memberikan manfaat
dalam kehidupan sosial masyarakat Setu Babakan serta masyarakat
Betawi secara keseluruhan.
Selain kemajuan sosial, manfaat keberadaan Cagar Budaya
Setu Babakan juga memberikan manfaat ekonomis bagi warga sekitar
Setu Babakan dan juga pengelola Cagar Budaya Setu Babakan.
Manfaat tersebut sangat dirasakan oleh pada pedagang makanan khas
Betawi yang berada disekitar Setu Babakan, keberadaan wisatawan
ataupun pengunjung Cagar Budaya Setu Babakan memberikan
tambahan pemasukan bagi para pedagang khusunya waktu-waktu libur
maupun event-event budaya (bab IV h. 60-61).
Manfaat ekonomis tersebut juga dirasakan pengelola Cagar
Budaya Setu Babakan, dimana banyaknya jumlah pengunjung
memberikan peningkatan pemasukan bagi pengelola. Selain itu biaya
sewa yang dibayarkan oleh para pedagang kepada pengelola Setu
Babakan menberikan penambahan tersendiri bagi pemasukan
pengelola Cagar Budaya Setu Babakan.
69
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara pemaknaan istilah modal sosial dapat dipahami melalui
beberapa konsep, seperti Kepercayaan, Jaringan, dan Norma. Konsep-konsep
tersebut memiliki peran yang berkesinambungan sebagai modal sosial dalam
melestarikan budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan, ketiga konsep
tersebut juga memberikan pengaruh dalam proses pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi. Selain itu, konsep-konsep tersebut juga untuk
menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan Cagar
Budaya Setu Babakan.
Kepercayaan, Jaringan, dan Norma menjadi konsep-konsep dalam
menjelaskan modal sosial dalam pelestarian budaya, khususnya budaya
Betawi di Cagar Budaya Betawi Setu Babakan sebagai berikut. Kepercayaan
antar individu maupun kelompok telah menjadi satu kekuatan dalam
menyelenggarakan kegiatan atau acara-acara yang berkaitan dengan budaya
Betawi. Kepercayaan tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial
masyarakat Setu Babakan dalam mengangkat harkat dan derajat budaya
Betawi yang layak tampil, layak jual, dan layak tonton.
Selain itu, kepercayaan yang ada di masyarakat juga mampu
membentuk satu kesatuan dari beberapa kelompok masyarakat di Setu
Babakan, terlihat dari adanya utusan atau tetua dalam kelompok yang
menjembatani dan memudahkan koordinasi antar kelompok yang bekerja
sama. Hasil dari kepercayaan antar kelompok menumbuhkan kesadaran
bersama untuk secara bersama-sama melesatarikan dan mengembangkan
70
budaya Betawi, melalui kegiatan dan even rutin kebudayaan Betawi yang ada
di masyarakat.
Konsep jaringan dalam modal sosial merupakan satu ikatan atau
simpul yang kuat dengan landasan kepercayaan, jaringan juga sebagai media
dalam hubungan sosial menjadi satu kerja sama. Jaringan yang terdapat di
Cagar Budaya Setu Babakan merupakan satu upaya penyatuan individu-
individu, kelompok, dan pemangku kepentingan untuk secara bersama-sama
ikut andil dalam pelestarian budaya Betawi.
Ikatan dalam jaringan sosial masyarakat Setu Babakan dilaksanakan
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terdapat dalam masyarakat Betawi.
Sehingga jaringan sosial yang terdapat dalam masyarakat Setu Babakan
merupakan satu kesatuan masyarakat dari pelbagai profesi. Satu kesatuan
masyarakat tersebut membentuk kekuatan dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya betawi, hingga mampu menghasilkan keuntungan
bersama yang merupakan hasil dari kerja sama pelbagai pihak.
Norma dan aturan yang berkembang di Cagar Budaya Setu Bababakan
harus sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Betawi. Aturan hukum
yang tertulis untuk mengatur dan mengelola Cagar Budaya Setu Babakan
masih menjadi wacana dan saran bagi pemerintah daerah, sehingga hal
tersebut menyebabkan tidak adanya sanksi bagi yang melanggar. Dengan
adanya aturan tersebut diharapkan muncul kesesuaian perilaku dan tindakan
yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma masyarakat Betawi serta peestarian
dan pengembangan budaya Betawi.
Pelaksanaan norma tersebut terlihat dari aktivitas masyarakat yang
mayoritas bersuku Betawi, dengan kepercayaan dan jaringan sosial yang
berkembang di lingkungan masyarakat, norma dan aturan tersebut menjadi
landasan masyarakat dalam kehidupan sosial serta menjaga keamanan
lingkungan, kelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Norma yang
menjadi landasaran dalam pelestarian budaya Betawi merupakan modal sosial
71
dalam mengatur dan mengembangkan budaya Betawi di Cagar Budaya Betawi
Setu Babakan.
B. Implikasi
Peran modal sosial yang tergambar dari konsep kepercayaan, jaringan
dan norma yang terdapat pada Cagar Budaya Setu Babakan memberikan
pengaruh yang kuat dalam pelestarian budaya Betawi. Penjelasan konsep-
konsep tersebut lebih melihat hubungan kepercayaan, jaringan, dan norma
dalam pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Melalui kepercayaan
dan jaringan antar individu maupun kelompok telah menghasilkan suatu
aktivitas bersama yang juga aktivitas rutin, secara bekerja sama telah
memberikan manfaat bagi masyarakat dan Cagar Budaya Setu Babakan.
Kepercayaan dan jaringan masyarakat Setu Babakan telah meperkuat
satu kesatuan masyarakat Betawi untuk sama-sama sadar melestariakn budaya
Betawi, dan berkehidupan susuai dengan nilai-nilai dan norma budaya
masyarakat Betawi. Norma dan aturan yang berkembang di Cagar Budaya
Setu Babakan haruas sesuai dengan budaya Betawi, namun dalam hal ini
payung hukum dalam mengatur tata kelola cagar budaya masih wacana dan
saran kepada pemerintah daerah.
Implikasi dari penelitian ini memaparkan bagaimana peran modal
sosial melalui konsep kepercayaan, jaringan, dan norma dalam pelestarian
budaya Betawi di Cagar Budaya Setu Babakan. Dari hasil penelitian ini
terlihat bagaimana kekuatan dan kesatuan muncul dari modal sosial
masyarakat Setu Babakan, terutama menjadi satu kesatuan kekuatan
masyarakat dalam melestarikan dan mengangkat derajat budaya Betawi.
C. Saran
Mengacu pada hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan,
beberapa permasalahan perlu dikemukakan sebagai saran dan masukan
72
khususnya bagi masyarakat dan pengelola Cagar Budaya Setu Babakan,
Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sehingga konsep kepercayaan, jaringan, dan norma
yang terdapat pada masyarakat dan Cagar Budaya Setu Babakan mampu
menjadi modal sosial dalam pelestarian dan pengembangan budaya Betawi di
Setu Babakan. Beberapa saran tersebut diantaranya adalah;
1. Memetakan modal sosial yang terdapat pada masyarakat Setu
Babakan menjadi dasar kekuatan membentuk ikatan kesatuan
dalam pelestarian budaya Betawi. Modal sosial yang memberikan
pengaruh besar dalam pelestarian budaya Betawi perlu
mendapatkan perhatian untuk pengembangan, selain itu modal
sosial yang menimbulkan ketidaksesuaian atau masalah harus
segera ditangani dan dicarikan solusi dalam pencegahannya.
2. Memberikan kesadaran kepada masyarakat dan Cagar Budaya Setu
Babakan terkait dengan peran modal sosial dalam pelestarian
Budaya Betawi. Melihat bahwa modal sosial yang berkembang di
masyarakat seringkali terabaikan dan kurang mendapat perhatian,
sehingga peluang pemanfaatan modal sosial dalam pelestarian
budaya Betawi menjadi tidak ada.
70
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko, Tata Ruang Perkotaan, Bandung : PT Alumni, 1996.
Djunaidi Ghony, M dan Fauzan almansyur, Metode Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Ar—ruzz Media, 2012.
Fukuyama, Francis. “Trust; The Social Virtues And The Creation Of Prosperity”,
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2010.
Ife, Jim dan Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif pengembangan
Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014)
Irawan, Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Lawang, Robert MZ, “Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu
Pengantar”, Penerbit FISIP UI PRESS.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2010.
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
2006.
Nasir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Ondonesia, 1993.
Rakhmat, Jalaludin, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2009.
Tri Iin, Rahayu dan Ardani Ardi Tristiandi, Obsevasi dan Wawancara, Malang:
PT . Bayu Media, 2004.
71
Referensi Jurnal, Skrispsi, dan Perda
Brosur, “Profil Perkampungan Budaya Betawi”, Pemprof DKI Jakarta
Heru Erwanto, Etnis Betawi, Kajian Historis, Balai Penelitian Nilai Budaya
Bandung. diakses dari Jurnal Patanjala Vol 6 Nomor 1, Maret 2014.
John Delafons, Sustainable Conservation, 1997, Journal Article Built
EnvironmentVol. 23, No.2, h. 128. Diakses melalui
http://www.jstor.org/stable/23288311
Muhammad Syaiful Moechtar, Identifikasi Pola Permukiman Tradisional
Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah,
Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan, Provinsi DKI
Jakarta, 2012. Jurnal agroekoteknologi tropika; Denpasar.
Monika Murzyn dan Kupisz Jarosław Dzialek, “Cultural heritage in building and
enhancing social capital”. Journal of Cultural Heritage Management and
Sustainable Development, Vol. 3 Iss 1, 2013.
Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke
Srengseng Sawah, diakses dari Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.
16, Nomor 5, September 2010.
Salman Paludi, Seputar Setu Babakan, diakses pada Selasa, 25 Juli 2018, melalui
https://setubabakan.wordpress.com/about/
Zakaria Kasimin, “Pelestarian Cagar Budaya”, 2016, materi dalam workshop
Dokumentasi Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, Wilayah Kerja Provinsi
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Diakses melalui
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/wp-
content/uploads/sites/29/2016/12/WORKSHOP_DOKUEMNTASI_CAG
AR-BUDAYA.pdf
72
Diah Novarida, “Partisipasi Masyarakat Pendatang Dalam Melestarikan Rumah
Tradisional Betawi”. (Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015).
Mutiara Khusnul Chotimah dalam, “Partisipasi Warga Betawi Setempat dalam
Rangka Keberlanjutan Program Perkampungan Budaya Betawi”, Tesis
Pascasrjana UI, 2017.
Try Ananda Rachman, “Arahan Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam
Pelestarian Cagar Budaya Kota Baru Di Yogyakarta”. Skripsi Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2017.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 4 Tahun 2015,
tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di
Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2005
tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng
Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan.
Hasil wawancara dengan Pak Matroji selaku ketua RT di Kampung Betawi
1. Bagaimana harapan masyarakat di sini dengan adanya perkampungan
budaya betawi?
Bisa melestarikan budaya-budaya betawi yang mungkin sekarang ini kalo
keliatannya udah jarang. Kemudian dengan adat istiadatnya mulai dari
sunatan, pindah rumah, penganten dan sebagainya. Itu diharapkan
dengan adanya perkampungan budaya betawi hal-hal itu bisa muncul dan
timbul kembali.
2. Apa saja program-program yang ada disini?
Biasanya ada prosesi adat khatam qur’an, prosesi sunatan, prosesi adat
betawi. Kalo dari segi budaya, disini ada sanggar-sanggar budaya betawi
yang menghadirkan karya betawi, tari topeng dan sebagainya. Biasanya
ditampilkan hari minggu ada pagelaran budaya betawi.
3. Apakah terdapat aturan di perkampungan budaya betawi?
Kalo disini diharuskan atau dianjurkan bagi mereka yang membangun di
daerah sini minimal menunjukkan ciri khas budaya betawi nya seperti gigi
balang, diharapkan dan dianjurkan seperti itu. Dan itu sudah menjadi
aturan dari pemerintah, namun kenyataannya masih banyak yang belum
seperti itu karena belum ada ketegasan dari segi hukum untuk mereka
yang tinggal disini. Harusnya ada ketegasan dari segi hukum kalo kita
ingin melestarikan budaya betawi disini harusnya ada payung hukumnya
yang mengatur bahwa mereka yangmembangun disini harus memberikan
ciri khas. Dan ini baru menjadi saran atau anjuran belum menjadi aturan
yang tertulis, jadi jika ada yang melanggar sanksi nya bukan sanksi
hukum.
4. Hubungan antar individu di perkampungan budaya betawi seperti apa?
Alhamdulillah, hubungan antar individu disini masih terjalin sangat baik
dengan adanya kegiatan arisan, majelis ta’lim, jum’at bersih, dan kerja
bakti masyarakat juga masih jalan.
5. Bagaimana dampak ekonomi masyarakat dengan adanya pengelolaan
perkampungan budaya betawi?
Ya Alhamdulillah sih menurut saya bisa membantu masyarakat sekitar
dengan adanya ini kan otomatis akan menjadi objek wisata, plus minus
nya pasti ada ya kalo plus nya bisa bantu perekonomian masyarakat disini
dari berdagang, lalu biasanya rumah-rumah warga suka digunakan untuk
event-event tertentu. Namun untuk minusnya, karena ini jadi objek wisata
dan orang-orang yang masuk kesini dari berbagai suku kemudian suka
bawa etnik yang bukan etnik betawi, kemudian juga jam tutup disini jam
18.00 wib kadang suka ada yang masih di sini walaupun sudah jam tutup.
6. Bagaimana pengelolaan pedagang yang ada di perkampungan budaya
betawi?
Kalo untuk pedagang disini biasanya ada kelompok-kelompoknya ya jadi
mereka itu yang membawahi jadi misalkan ada acara di undang gitu tidak
seluruh pedagang yang diundang jadi cuma perwakilan, jadi kelompok
sebelah barat ada ketua nya, sebelah timur ada ketua nya. Tujuannya
supaya memudahkan untuk koordinasi.
7. Apakah terdapat kas untuk para pedagang?
Saya kurang tahu ya mas, karena saya tidak memegang itu.
8. Bagaimana peran tokoh masyarakat terhadap perkampungan budaya
betawi?
Sangat mendukung dengan adanya sanggar-sanggar yang didirikan disini
ya terutama sanggar tari, pencak silat.
9. Sudah berapa lama berdirinya perkampungan budaya betawi ini?
Sejak tahun 2000 dan diresmikan oleh Gubernur saat itu Bpk. Sutiyoso.
10. Berapa jumlah warga yang ada di perkampungan budaya betawi?
Disini meliputi RW 08, RW 09, RW 06 , dan sebagian RW 05. Dan ada 13
RT. Ya sekitar diatas 46 lah ya mas.
Hasil Wawancara Terhadap Pedagang Dodol (pak Rapli) di Kampung
Betawi
Pewawancara : Sudah berapa lama berjualan dodol betawi?
Informan : Kalau usaha ini sendiri saya baru gabung di rumah produksi dodol
ini tapi kalau untuk produksi sendiri sudah cukup lama juga.
Pewawancara : Kalau ibu sendiri sudah berapa lama mendirikan toko dodol ini ?
Informan : Sudah lumayan mas saya di sini, kurang lebih lima tahun?
Pewawancara : Bagaimana dalam segi pengelolaan dari pihak tempat ini terhadap
para pedagang ?
Informan : Kalau pengelolaan si sistem sewa untuk para pedangan,
sebenernya kalau untuk masalah lebih dalam lagi saya sendiri
kurang paham.
Pewawancara : Dalam bentuk apa ibu membayar uang sewa tersebut ?
Informan : Ya dalam bentuk lapak mas
Pewawancara : Selain dari sistem sewa, apakah ada feedback dari pengelola
untuk para pedagang ?
Informan : Kalau dari segi itu saya kurang paham ya karena saya sendiri
masih baru gabung di rumah produksi dodol ini mas.
Pewawancara : Menurut ibu apa dampak dari pengelolaan kampung betawi
terhadap sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar ?
Informan : Ya lumayan membantu apalagi dalam kondisi libur saat ini,
memang jauh lebih dari cukup buat kita para pedagang.
Pewawancara : Lalu bagaimana proses penyewaannya, apakah langsung
berhubungan dengan pihak pengelola atau ada pihak lain ?
Informan : Biasanya si ada pengurusnya yang datengin kita, perbulan atau
perminggu si pasti ada yang datang untuk menagih biaya uang
sewa.
Pewawancara : Apakah ada semacam aturan antar pedagang sesama pedagang
atau pedagang dengan pengelola ?
Informan : Saya kurang paham ya mas
Pewawancara : Sebagai masyarakat betawi asli bagaimana harapan ibu dengan
adanya pengelolaan kampong betawi ini ?
Informan : Kalau buat saya sendiri memang si untuk tempat ingin adanya
peningkatan, kita pingin di buat lebih bagus dan menarik lagi.
Soalnya saya sendiri kurang tau tempat pengelolaannya antara
disini sama di depan sana (Zona A) apakah satu pengelolaan atau
tidak.
Pewawancara : Menurut ibu sendiri apa dampak dari pengelolaan kampung
betawi ini terhadap kelestarian budaya betawi sendiri ?
Informan : Bagus menurut saya, untuk kebudayaan betawi sendiri kadang
dalam waktu setiap 3 atau 6 bulan sekali di sini suka ada event-
event besar seperti festival bikin manggar kelapa dan festival
kembang ondel-ondel, jadi kita dapat kesempatan untuk
menunjukan bahwa ini lah budaya kita sebagai masyarakat
betawi.
Pewawancara : Dari pihak pengelola dengan masyarakat dan tokoh-tokoh
masyarakat apakah ada interaksi antara mereka untuk
melestarikan budaya betawi ?
Informan : Ada, yaitu seperti menyelenggarakan festival-festival besar atau
kegiatan yang istilahnya untuk menunjukan kepada masyarakat
bahwa ini budaya kita yang di kondisikan di setu babakan ini.
Pewawancara : Bagaimana dengan pendapatan ibu sebelum bergabung kampung
betawi ini dan sesudah bergabung ?
Informan : Kalau untuk masalah itu saya tidak bisa menebak gitu ya,
mungkin kita dalam bulan ini dapat satu juta tapi belum tentu
bulan depan dapat segitu.
Pewawancara : Untuk saat ini rata-rata berapa pendapatan ibu dalam satu hari
atau perbulan ?
Informan : Kita sendiri (penjual dodol) untuk satu minggu kita hanya buka
sabtu dan minggu, untuk dua hari itu kisaran ya mungkin seharga
satu renceng dodol ini, kurang lebih sekitar tiga sampai empat
juta dalam dua hari dalam kondisi liburan seperti ini.
Pewawancara : Kenapa hanya buka sabtu dan minggu untuk berjualan dodol ini ?
Informan : Ya memang hari biasa memang tidak ada, paling hanya beberapa
pedagang saja.
Pewawancara : Apakah kesepakatan berjualan hanya dua hari itu sendiri aturan
dari pihak pengelola kampung betawi atau dari pihak pengelola
dodol ?
Informan : Dari pihak kita (pengelola dodol) sendiri, bukan dari pihak
pengelola tempat. Karena kita sendiri mencari kondisi dimana
keramaiian itu ada seperti hari minggu.
Hasil Wawancara dengan Pak Sobar selaku pengurus Pencak Silat di
Kampung Betawi
1. Bagaimana harapan masyarakat disini tentang adanya Cagar Budaya Setu
Babakan ?
Ya kalo harapan sih emang ini udah dari lama ya, ya harapannya itu bisa
melesatrikan dan mengembangkan budaya betawi, dan ya setidaknya bisa
memberi manfaat buat masyarakat sekitarnya.
2. Bagaimana aturan yang berlaku di Cagar Budaya Setu Babakan?
Aturan disini ya harus nunjukin adat istiadat betawi, karena kita orang betawi dan
tinggal disekitar sini (tempat pelestarian budaya betawi).
3. Bagaimana hubungan antar individu di Cagar Budaya Setu Babakan?
Nah emang orang-orang disini aktivitasnya beda-beda ya, jadi kesibukannya beda
juga. Yang tinggal disekitar sini sih kebanyakan pada jualan disekitar setu
babakan, ada juga yang ngidupin budaya-budaya betawi, misal dari makanannya,
pencak silat, sanggar. Kebanyakan sih banyak yang ikutan kalo lagi ada acara atau
kegiatan betawi.
4. Bagaimana aturan yang berlaku di Cagar Budaya Setu Babakan
membentuk kepercayaan antar individu?
Ya itu tadi kita sama-sama orang betawi dan tinggal deket sini, jadi ya sama-sama
jaga budaya betawi, ikut acara bareng-bareng. Gak ada aturan khusus yang ngatur
orang musti bagimana, atau dapet tanggung jawab apa gitu, ya intinya sih sama-
sama sadar aja sebagai masyarakat sini, kalo ada acara ya bantu-bantu, jaga
keamanan dan lingkungan bareng-bareng, disini kan kebanyakan juga sudah pada
kenal, jadi ya masih enak gitu komunikasinya.
5. Bagaimana keadaan hubungan dalam masyarakat sekitar di Cagar Budaya
Setu Babakan?
Hubungannya ya baik-baik aja sebagai masyarakat sini, belum ada masalah yang
serius.
6. Dalam melaksanakan aktifitas bersama di Cagar Budaya Setu Babakan,
bagaimana peran pemangku adat, pengurus, dan masyarakat sekitar dalam
pelaksanaannya?
Penting ya sebenarnya, soalnya kan beberapa wilayah disini memang ada kaya
ketuanya gitu, ya semisal rt atau rw, atau penanggung jawab lokasi dan tempat,
mereka orang-orang yang bantu koordinasi kalo ada pertemuan-pertemuan gitu.
Ya memang ada beberapa orang yang dituakan di wilayah sini.
7. Bagaimana gambaran ikatan kekeluargaan di Cagar Budaya Setu
Babakan?
Cukup dekat lah ya, namanya juga masih satu kampung, masih sama-sama betawi
gitu. Kalo ada acara atau kegiatan ya tetangga banyak yang bantu-bantu. Kalo ada
acara di setu babakan juga banyak warga yang ikutan gabung bantu-bantu buat
acara, dan nanti banyak yang dateng kalau acara udah mulai
8. Bagaimana hubungan interaktif anatar individu maupun kelompok di
Cagar Budaya Setu Babakan?
Ya hubungannya normal orang hidup di masyarakat, itu kelihatan banget kalo lagi
ada acara disini, orang pada dateng bantu-bantu buat kelancaran acara sampe
selesai.
9. Apakah terdapat tugas pokok dan fungsi pengurus atau pengelola di Cagar
Budaya Setu Babakan?
Kalau tugas pengurus sih paling ya ngurusin yang ada di setu babakan, gimana
ngatur kegiatan-kegiatan, acara kebudayaan, pengelolaan tempat buat para
pengunjung, parkiran dan lain-lain. Kebanyakan sih ngurusin urusan-urusan di
Setu Babakan
10. Bagaimana nilai dan norma yang berkembang dan dipelihara di Cagar
Budaya Setu Babakan?
Yang pasti sih nilai-nilai betawi ya yang berkembang disini, dan menjadi
pegangan masyarakat disini.