Upload
inficio
View
1.156
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
(dari Abstraksi) Kecurangan dalam ujian, termasuk Ujian Nasional (UN), merupakan hal yang kerap ditemukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan meninjau sejarah pelaksanaan ujian berskala nasional di Indonesia, dan tujuan dari pelaksanaannya serta dampak dari tindakan kecurangan terhadap tujuan ini, dapat dilihat bahwa kecurangan dalam UN adalah masalah yang serius. Meskipun masalah krusial ini tidak bisa sepenuhnya ditiadakan, ia tetap dapat diminimalkan demi meningkatkan mutu evaluasi pendidikan di Indonesia.
Citation preview
MINIMALISASI KECURANGAN DALAM
PRAKTIK UJIAN NASIONAL
KARYA ILMIAH
Diajukan sebagai tugas mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah
oleh
Amanda Kistilensa (16010232)
Geavani Eva Ramadhania (16010107)
Ajeng Sabarini Muslimah (16010262)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2010
i
PRAKATA
Penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya atas rahmat-Nya makalah ini, yang merupakan tugas dari mata kuliah Tata
Tulis Karya Ilmiah, dapat disusun dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantunya dalam pembuatan makalah ini, di antaranya: dosen mata kuliah
Tata Tulis Karya Ilmiah, Dra. Anniar Samanhudi, M. Hum., yang telah
memberikan masukan dan koreksi secara berkala dalam penyusunan makalah ini,
beserta rekan-rekan penulis yang telah memberikan bantuan, terutama yang sudi
meluangkan waktunya untuk diwawancara.
Walaupun penulis merasa penyusunan makalah ini cukup sukses, penulis
menyadari kemampuan penyusunan makalahnya bisa ditingkatkan lagi; kritik atau
saran, baik untuk makalah ini maupun gaya penulisan secara keseluruhan, akan
diterima dengan senang hati. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat pada pembaca.
Bandung, November 2010,
Penulis
ii
ABSTRAK
Kecurangan dalam ujian, termasuk Ujian Nasional (UN), merupakan hal yang kerap ditemukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan meninjau sejarah pelaksanaan ujian berskala nasional (seperti UN, EBTANAS, dsb.) di Indonesia, dan tujuan dari pelaksanaannya serta dampak dari tindakan kecurangan terhadap tujuan ini, dapat dilihat bahwa kecurangan dalam UN adalah masalah yang berdampak serius pada dunia pendidikan Indonesia. Meskipun masalah krusial ini tidak bisa sepenuhnya ditiadakan, tetap dapat diminimalkan demi meningkatkan mutu evaluasi pendidikan di Indonesia melalui UN. Oleh karena itu, penentuan faktor penyebab pelaksanaan tindakan kecurangan, serta tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan kecurangan, menjadi tujuan dari penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, digunakan metode deskriptif-analitis dengan pendekatan empiris dan rasional. Data dikumpulkan melalui peninjauan pustaka, yang dapat berupa buku maupun laman web. Selain itu, dilakukan wawancara dengan mantan peserta UN dan narasumber. Dengan demikian, diperoleh pengalaman langsung dari peserta ujian sekaligus opini yang dimiliki pihak ahli yang lebih memahami peranan yang dimiliki UN, dipadukan dengan informasi yang didapatkan melalui pustaka.
Kasus kecurangan yang diperoleh dari pengumpulan data akan ditinjau berdasarkan pelaku dan jenis tindakannya. Selain itu, ditentukan juga faktor pendorong pelaksanaan tindakan kecurangan tersebut, yang bervariasi. Berbagai macam tekanan, seperti psikologis maupun ekonomik, dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan. Dengan meninjau hal ini dan menentukan cara untuk mengurangi—bahkan meniadakan—keberadaan faktor-faktor ini, praktik kecurangan dalam UN dapat diminimalkan demi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Kata kunci: kecurangan akademik, ujian, ujian nasional, pendidikan
iii
DAFTAR ISI
PRAKATA..................................................................................................................i
ABSTRAKSI..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3. Tujuan............................................................................................................2
1.4. Manfaat..........................................................................................................2
1.5. Ruang Lingkup..............................................................................................3
1.6. Metode dan Teknik Pengumpulan Data........................................................3
1.6.1. Metode Penelitian...............................................................................3
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data..................................................................3
1.7. Sistematika Penulisan....................................................................................4
BAB 2 UJIAN NASIONAL..................................................................................5
2.1. Fungsi dari Ujian Nasional............................................................................5
2.2. Sistematika Pelaksanaan Ujian Nasional.......................................................6
2.2.1. Alur Kerja Ujian Nasional..................................................................6
iv
2.2.2. Syarat Kelulusan Ujian Nasional........................................................9
2.3. Pihak-Pihak Utama yang Terlibat dalam Ujian Nasional..............................9
2.3.1. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Pusat...................................10
2.3.2. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Provinsi..............................10
2.3.3. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Kabupaten/Kota.................11
2.3.4. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Satuan Pendidikan..............11
2.3.5. Pengawas Ruang Ujian Nasional......................................................12
2.3.6. Peserta Ujian Nasional......................................................................12
2.4. Riwayat Pelaksanaan Ujian Berskala Nasional di Indonesia......................13
2.4.1. EBTANAS (1980 – 2001) ...............................................................13
2.4.2. UAN (2002 – 2004) .........................................................................13
2.4.3. UN (2005 – 2010) ............................................................................14
2.4.4. UN Mendatang (2011) .....................................................................15
BAB 3 KECURANGAN DALAM UJIAN NASIONAL...................................16
3.1. Prevalensi Kecurangan dalam Ujian Nasional............................................16
3.2. Kecurangan dan Sanksinya Berdasarkan Pihak yang Terlibat....................17
3.3. Pelaksanaan Nyata Ujian Nasional..............................................................19
3.4. Aspek Pendorong Tindakan Kecurangan dalam Ujian Nasional................20
3.4.1. Peranan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan........................20
3.4.2. Pemeringkatan Sekolah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional.............21
3.4.3. Ketidakdisiplinan Penyelenggara Ujian Nasional............................22
3.5. Dampak dari Kecurangan dalam Ujian Nasional........................................23
3.5.1. Dampak pada Pencapaian Tujuan Ujian Nasional............................23
v
3.5.2. Dampak pada Peserta Didik..............................................................24
3.6. Upaya Nyata Minimalisasi Kecurangan dalam Ujian Nasional..................25
3.7. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................26
3.8. Simpulan......................................................................................................26
3.9. Saran............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................28
RIWAYT HIDUP.....................................................................................................56
vi
DAFTAR TABEL
TABEL I JENIS KECURANGAN DALAM UN DAN SANKSINYA...........28
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Transkrip Wawancara dengan D. D. P.........................................31
Lampiran B Transkrip Wawancara dengan R. W.............................................36
Lampiran C Transkrip Wawancara dengan Ghyna...........................................41
Lampiran D Transkrip Wawancara dengan Priscilla........................................48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberadaan kecurangan dalam Ujian Nasional bukanlah hal yang baru,
dan bukan pula hal yang mudah ditiadakan. Tindakan kecurangan dalam ujian
sudah ada sejak pelaksanaan pendahulu Ujian Nasional seperti EBTANAS, dan
UAN, hingga pelaksanaan Ujian Nasional yang terkini pada tahun 2010. Bahkan,
tindakan kecurangan sudah lumrah ditemukan pada ujian berskala lebih kecil
seperti ujian harian.
Kecurangan dalam ujian, lebih spesifiknya Ujian Nasional, memiliki
dampak yang negatif bagi berbagai pihak. Salah satunya adalah tidak tercapainya
tujuan dari pelaksanaan Ujian Nasional, yakni peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia1. Kecurangan, yang merupakan pertanda bahwa pelajar tidak
menunjukkan kemampuannya sendiri dalam pengerjaan ujian, membuat data yang
didapatkan dari pelaksanaan Ujian Nasional tidak kredibel.
Dapat dilihat bahwa kecurangan akademis seperti ini merupakan masalah
yang perlu ditanggapi dengan serius oleh semua pihak yang terlibat dalam proses
pendidikan yang berjalan di Indonesia. Meskipun tidak bisa dimungkiri bahwa
1 Dodi Nandika. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
2006), hlm. 50
1
kecurangan tidak bisa sepenuhnya ditiadakan, keberadaannya tetap dapat
diminimalisasi; hanya dengan melakukan inilah mutu pendidikan di Indonesia
dapat ditingkatkan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat ditemukan dalam
research questions berikut:
Apa sajakah faktor yang menyebabkan sekaligus mendorong pelaksanaan
tindakan kecurangan dalam praktik ujian nasional?
Apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan pelaksanaan tindakan
kecurangan dalam Ujian Nasional?
1.3. Tujuan
Melalui penulisan makalah ini, penulis berharap akan memperoleh
gambaran mengenai penyebab tindakan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional agar mutu evaluasi pendidikan dapat ditingkatkan. Selain itu, cara untuk
meminimalkan kecurangan dalam Ujian Nasional akan ditemukan.
1.4. Manfaat
Sesuai dengan yang tertulis pada Tujuan, penulisan makalah diharapkan
dapat menghasilkan gambaran yang jelas mengenai penyebab tindakan
kecurangan dalam Ujian Nasional, sehingga frekuensi pelaksanaannya pun dapat
diminimalkan. Inilah yang kelak mampu meningkatkan mutu Ujian Nasional.
2
1.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini meliput beberapa aspek yang perlu diteliti
dalam peninjauan tindakan kecurangan dalam Ujian Nasional tingkat SMA/MA.
Pertama, akan ditelaah latar belakang dari pelaksanaan Ujian Nasional di
Indonesia. Hal ini meliput sistematika pelaksanaan Ujian Nasional, serta riwayat
pelaksanaan Ujian Nasional dan pendahulunya seperti EBTANAS dan UAN.
Selain itu, pelaksanaan nyata Ujian Nasional dan prevalensi kecurangan di
dalamnya akan dirangkum dari reportase mantan peserta. Kemudian, kecurangan
dalam Ujian Nasional akan ditinjau berdasarkan pelakunya dan jenis tindakannya.
1.6. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
1.6.1. Metode Penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif-analitis. Metode ini menggunakan pendekatan empiris dan
rasional, yakni melalui peninjauan pustaka dan pengumpulan data langsung
melalui wawancara.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui peninjauan pustaka dan wawancara. Akan
dilakukan peninjauan berbagai pustaka, buku maupun laman web, yang berkaitan
dengan Ujian Nasional. Pihak-pihak yang akan diwawancara adalah mantan
peserta Ujian Nasional.
1.7. Sistematika Penulisan
3
Makalah ini terdiri atas empat bab. Pertama, Bab I: Pendahuluan, yang
mencakup subbab Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat,
Ruang Lingkup, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, dan Sistematika
Penulisan. Pada Bab II: Ujian Nasional, diberikan sedikit latar belakang dari
Ujian Nasional, dari fungsi, hingga sistematika pelaksanaannya, dan riwayat
ujian berskala nasional pendahulunya. Bab III: Kecurangan dalam Ujian
Nasional, sesuai judulnya, memiliki konteks pembahasan yang spesifik
mengacu pada kecurangan dalam UN. Pembahasan dimulai dengan fakta di
lapangan saat penerapan nyata ujian nasional yang tidak sesuai gambaran ideal
karena keberadaan kecurangan. Kemudian, dibahas juga penyebab dan
dampak dari keberadaan tindakan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Bab IV:
Kesimpulan dan Saran menampung kesimpulan dari bab-bab sebelumnya serta
saran untuk perbaikan.
4
BAB II
UJIAN NASIONAL
2.1. Fungsi dari Ujian Nasional
UN, atau Ujian Nasional, adalah ujian berskala nasional dari pemerintah
yang diselenggarakan oleh lembaga mandiri Badan Standar Nasional Pendidikan
(BNSP)2. Mengenai pelaksanaannya, pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) berpendapat bahwa UN dibutuhkan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia3.
Peran UN Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) yang
paling dikenal adalah sebagai salah satu4 penentu kelulusan siswa tingkat
SMA/MA. Apabila siswa tidak lulus UN (atau UN Ulangan), siswa dianggap
tidak lulus tingkat pendidikan tersebut dan harus mengikuti ulang ujian tersebut
tahun depan.
Sebenarnya, peranan UN tidak terbatas pada penentu kelulusan saja. Ujian
Nasional berfungsi sebagai quality control, atau penentu standar sistem
pendidikan yang diberlakukan5. Dari hasil UN, dapat diketahui peta mutu yang
2 Nandika, op. cit., hlm. 50
3 Ibid.
4 Selain UN, terdapat tiga penentu kelulusan lain: peserta didik wajib mengikuti seluruh proses
pendidikan, memperoleh nilai yang cukup dalam mata pelajaran sosial seperti agama, akhlak
mulia, budi pekerti, estetika, olahraga, dan kewarganegaraan, dan lulus ujian sekolah.
5 Ibid.
5
mampu memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan di bidang pendidikan.6
Dikatakan dalam Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006 bahwa telah disediakan
dana bantuan operasional sekolah (BOS) sejumlah Rp900 miliar oleh Depdiknas
untuk membantu sekolah yang mutunya masih kurang7. Dengan demikian,
diharapkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia dapat disetarakan.
2.2. Sistematika Pelaksanaan Ujian Nasional
2.2.1. Alur Kerja Penyelenggaraan Ujian Nasional.
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa tahap yang harus dipenuhi sebelum
dan sesudah Ujian Nasional diselenggarakan. Alur kerja penyelenggaraan Ujian
Nasional yang ditentukan dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN 2010
memiliki tahap sebagai berikut:
1. Pendaftaran calon peserta Ujian Nasional: yang baru maupun yang
mengulang dari tahun pelajaran sebelumnya. Daftar calon peserta
dikirim oleh pihak sekolah ke Penyelenggara UN Tingkat Provinsi
melalui Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota, dan
penyelenggara tingkat provinsi akan mencetak dan mendistribusikan
daftar nominasi sementara (DNS) ke sekolah melalui penyelenggara
tingkat kabupaten/kota8. Setelah DNS diverifikasi, daftar nominasi
6 Op. cit., hlm. 57
7 Op. cit., hlm. 57–58 8 Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010,
Revisi Final 23 Februari 2010. (Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan, 2010), hlm. 10.
6
tetap (DNT) diterbitkan dan kepala satuan pendidikan penyelenggara
UN akan menerbitkan kartu peserta UN9.
2. Penyusunan kisi-kisi soal: pertama-tama, disusun Standar
Kompetensi Lulusan UN (SKLUN) dari SKL tiap mata pelajaran
dari tiap kurikulum yang digunakan10. Dengan melibatkan dosen,
guru, dan pakar penilaian pendidikan, kisi-kisi soal disusun
berdasarkan SKLUN11.
3. Penyiapan bahan Ujian Nasional: penyelenggara UN Tingkat Pusat
membuat master copy soal dengan merancang soal terlebih dahulu,
memperhatikan distribusi kesukaran, dan membandingkan tiap paket
soal untuk memastikan bahwa kesukarannya setara12. Lalu, master
copy digandakan dan dikirim ke penyelenggara tingkat provinsi13.
4. Penggandaan bahan ujian: dilakukan oleh percetakan yang telah
dipekerjakan oleh penyelenggara tingkat provinsi14. Kemudian,
percetakan mendistribusikan bahan ujian ke penyelenggara tingkat
kota/kabupaten, yang menetapkan tempat penyimpanan bahan ujian
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid.
12 Op. cit., hlm. 11.
13 Ibid.
14 Op. cit., hlm. 13.
7
bersama perguruan tinggi, sebelum bahan ujian diberikan pada
penyelenggara tingkat satuan pendidikan15.
5. Pelaksanaan Ujian Nasional: terdiri atas UN Utama, dan UN
Susulan, serta UN Ulangan yang diperuntukkan bagi peserta yang
belum lulus UN Utama atau Susulan16. Pelaksanaan UN dilakukan
secara serentak di seluruh Indonesia17.
6. Pemeriksaan hasil ujian: Kepala Penyelenggara Tingkat Satuan
Pendidikan mengumpulkan amplop LJUN ke penyelenggara tingkat
kabupaten/kota18. Setelah kesesuaian jumlah amplop LJUN
diperiksa, penyelenggara tingkat kabupaten/kota mengirimnya ke
perguruan tinggi, yang memindai lembar jawaban SMA/MA dan
mengirim hasilnya ke Penyelenggara UN Tingkat Pusat19.
2.2.2. Syarat Kelulusan Ujian Nasional
Berikut adalah standar kelulusan peserta Ujian Nasional yang ditentukan
oleh POS UN 2010: “memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata
pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata
pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya”20. Namun,
15 Op. cit., hlm. 15.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Op. cit., hlm. 23
19 Ibid.
20 Op. cit., hlm. 24.
8
Kabupaten/Kota dan/atau satuan pendidikan diberi wewenang menetapkans
standar yang lebih tinggi bila mau21. Apabila siswa ditemukan melakukan
tindakan kecurangan dalam ujian suatu mata pelajaran, dia akan dinyatakan tidak
lulus dalam mata pelajaran tersebut22.
2.3. Pihak-Pihak Utama yang Terlibat dalam Ujian Nasional
Pihak-pihak berikut memiliki peran masing-masing dalam pelaksanaan
Ujian Nasional. Berikut adalah penjelasan tentang sebagian dari pihak yang
terlibat, dan sejumlah peranan yang mereka miliki. Pemaparan lebih lengkap
dapat dilihat dalam POS UN SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010. Tiap pihak
penyelenggara harus memahami Permendiknas dan POS UN, serta “menerapkan
prinsip kejujuran, objektivitas, dan akuntabilitas” dalam menjalani tugasnya.23
2.3.1. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Pusat
Penyelenggara UN Tingkat Pusat ditetapkan dengan Surat Keputusan
BSNP, terdiri atas: BSNP, Sekretariat Jenderal (Sekjen) Depdiknas, Badan
Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Direktorat Jenderal (Dirjen) Perguruan
Tinggi Depdiknas, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Dirjen
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Inspektoral Jenderal
21 Ibid.
22 Op. cit., hlm. 26
23 Op. cit., hlm. 3—7.
9
Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, dan Dirjen Pendidikan
Islam Departemen Agama24. Secara keseluruhan, tugas mereka adalah
merencanakan dan mengkoordinasi pelaksanaan UN dari penyusunan kisi-kisi dan
soal, pencetakan, pemantauan kerja penyelenggara di bawahnya, hingga
penskoran hasil25. Mereka juga mengevaluasi dan menganalisis hasil UN26.
2.3.2. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Provinsi
Penyelenggara tingkat provinsi ditentukan oleh Gubernur dan perguruan
tinggi negeri, yang terdiri atas: perguruan tinggi negeri, Dinas Pendidikan
Provinsi, dan Kantor Wilayah Departemen Agama27. Tugasnya adalah mengatur
pelaksanaan UN di provinsinya28. Penyelenggara tingkat provinsi menetapkan
DNS dan DNT, serta percetakan yang mencetak bahan ujian, yang didistribusikan
ke penyelenggara tingkat kabupaten/kota29. Mereka juga menetapkan tim
pengolah hasil UN dan melakukan pemindaian lembar jawaban30, serta
mengemban berbagai kewajiban lain.
2.3.3. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Kabupaten/Kota
24 Op. cit., hlm. 3.
25 Op. cit., hlm. 3—4.
26 Op. cit., hlm. 4
27 Ibid.
28 Ibid.
29 Ibid.
30 Op. cit., hlm. 5.
10
Bupati/Walikota, atas pertimbangan perguruan tinggi yang bertanggung
jawab, menetapkan Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota yang mengatur
dan memantau penyelenggaraan UN di wilayahnya31. Penyelenggara tingkat
kabupaten/kota terdiri atas pihak perguruan tinggi, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota32. Mereka
harus menjamin keamanan dan kerahasiaan pengumpulan dan penyimpanan
LJUN sebelum LJUN diberikan kepada/oleh penyelenggara tingkat satuan
pendidikan33.
2.3.4. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Satuan Pendidikan
Satuan pendidikan yang dimaksud adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)
atau Madrasah Aliyah (MA) yang memenuhi standar untuk melaksanakan UN34.
Penyelenggara tingkat satuan pendidikan berkewajiban melaksanakan UN pada
satuan pendidikan masing-masing sesuai tata tertib, dan setelah ujian telah diskor,
membagian SKHUN dan ijazah kepada peserta ujian yang lulus35.
2.3.5. Pengawas Ruang Ujian Nasional
Disebutkan dalam POS UN bahwa pengawas ruang Ujian Nasional adalah
guru yang “memiliki sikap dan perilaku disiplin, jujur, bertanggung jawab, teliti,
31 Op. cit., hlm. 6.
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Op. cit., hlm. 7
35 Ibid.
11
dan memegang teguh kerahasiaan”36, dan ditetapkan oleh perguruan tinggi37. Tiap
ruang ujian memiliki dua pengawas yang bertugas untuk memantau
keberlangsungan ujian38. Pengawas ruang UN harus mengikuti tata tertib yang
berlaku padanya dalam POS UN.
2.3.6. Peserta Ujian Nasional
Peserta Ujian Nasional SMA/MA adalah peserta didik tingkat SMA/MA
yang berada pada tahun terakhirnya atau setara, dan peserta UN tahun pelajaran
sebelumnya yang belum lulus39. Peserta UN juga harus mengikuti tata tertib yang
berlaku, sesuai dengan yang tertera dalam POS UN.
2.4. Riwayat Pelaksanaan Ujian Berskala Nasional di Indonesia
Ujian Nasional bukanlah ujian berskala nasional dari pemerintah yang
pertama diadakan, dan hingga kini pun UN terus mengalami perubahan sistem
pelaksanaan. Berikut adalah riwayat pelaksanaan ujian berskala nasional di
Indonesia.
2.4.1. EBTANAS (1980 – 2001)
36 Ibid.
37 Op. cit., hlm. 18
38 Ibid.
39 Op. cit., hlm. 9.
12
EBTANAS, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, adalah ujian berskala
nasional pertama yang dilaksanakan sejak Ujian Negara yang terakhir
diselenggarakan pada tahun 197140. Selama era penggunaan Ujian Sekolah,
dirasakan kebutuhan akan “nilai yang memiliki makna yang "sama" dan dapat
dibandingkan antarsekolah” demi peningkatan mutu pendidikan41, sehingga
diselenggarakanlah EBTANAS, yang menguji tujuh mata pelajaran untuk tingkat
sekolah menengah atas. Kelulusan siswa bergantung pada nilai rata-rata gabungan
nilai pada tahun terakhir bersekolah dan nilai EBTANAS murni42.
2.4.2. UAN (2002 – 2004)
Sistem UAN, atau Ujian Akhir Nasional, menggantikan EBTANAS pada
tahun 2002. Perbedaan antara UAN dan EBTANAS terletak pada penentu
kelulusan siswa. Dalam UAN, yang menentukan kelulusan siswa adalah nilai
mata pelajaran secara individual43. Mata pelajaran yang diuji dalam UAN ada tiga:
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan, tergantung program studi, Matematika
(IPA), Ekonomi (IPS), atau Bahasa Asing (Bahasa)44. Batas minimal kelulusan
40 Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Sejarah Ujian Nasional. Dalam jaringan
(http://www.kemdiknas.go.id/orang-tua/ujian-nasional/sejarah-ujian-nasional.aspx), diakses 3
Desember 2010.
41 Ibid.
42 Ice Rozalina. UN Sebagai Sistem Dari Pendidikan. Dalam jaringan (http://sman1mandau.
blogspot.com/2010/09/un-sebagai-sistem-dari-pendidikan.html), diakses 10 Desember 2010.
43 Kemdiknas, loc. cit.
44 Bambang Sudibyo. Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia No 1 Tahun 2005 tentang
Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004/2005. (Jakarta, 2005)
13
naik tiap tahun, dan diadakan ujian ulang bagi siswa yang belum lulus, dan
dilakukan konversi nilai UAN45.
2.4.3. UN (2005 – 2010)
Penyelenggaraan ujian berskala nasional tidak lagi menjadi tanggung
jawab pemerintah, dan ditugaskan pada BNSP. UAN diganti namanya menjadi
UN (Ujian Nasional), dan batas minimal kelulusan terus dinaikkan46. Konversi
nilai UAN yang dianggap merugikan siswa yang pandai ditiadakan47. Pada UN
2005, diadakan UN tahap kedua bagi mereka yang belum lulus untuk mengulang
mata pelajaran yang nilainya kurang dan sejak UN 2007 ujian ulang ditiadakan48.
Peserta ujian yang tidak lulus bisa mengambil Paket C atau menunggu tahun
depan untuk mengikuti UN lagi49. Sejak UN 2010, diadakan kembali ujian ulang
dalam bentuk UN Ulangan bagi mereka yang tidak lulus dalam UN Utama50.
Mata pelajaran yang menjadi materi UN tetap berjumlah tiga, hingga UN
2008 menjadi UN pertama yang mencakup enam mata pelajaran, sesuai dengan
program studi yang ditempuh siswa (IPA, IPS, Bahasa), dan bagi SMK nilai mata
45 “Ujian Penghabisan, Ebtanas, UAN, Lalu Apa Lagi…”. Suara Merdeka. 9 November 2005.
46 Ibid.
47 Ibid.
48 Rozalina, loc. cit.
49 Ibid.
50 Ibid.
14
pelajaran praktik kejuruan turut diperhitungkan51. Hingga UN 2010, mata
pelajaran yang diujiankan tetap berjumlah enam.
2.4.4. UN Mendatang (2011)
Sembari menanti kedatangan UN berikutnya, BNSP akan
menyempurnakan lagi sistem pelaksanaan UN52. Diumumkan oleh BNSP bahwa
pelaksanaan UN 2011 direncanakan untuk dilakukan pada bulan April53, lebih
lambat dari UN 2010, dan demikian pula bagi ujian susulannya, yang akan
dilaksanakan pada akhir Mei54.
51 Ibid.
52 Ujian Nasional 2011 Digelar April. Dalam jaringan (http://www.depkominfo.go.id/
berita/bipnewsroom/ujian-nasional-2011-digelar-april/), diakses 9 Desember 2010.
53 Ibid.
54 Ibid.
15
BAB III
KECURANGAN DALAM UJIAN NASIONAL
3.2. Prevalensi Kecurangan dalam Ujian Nasional
Pada kenyataannya, pelaksanaan Ujian Nasional tidak berjalan sesuai
prosedur operasional standar yang telah ditetapkan. Kecurangan marak dalam
pelaksanaan Ujian Nasional, baik dari pihak murid maupun pihak pelaksana,
bahkan dalam UN 2010. Salah satu bentuk kecurangan ini adalah peredaran kunci
jawaban melalui SMS. Bahkan, Komite Independen Pemantau Ujian Nasional
menerima pengaduan tentang guru yang membantu membocorkan soal55.
Meskipun tanggapan dari peserta UN sendiri menunjukkan bahwa
tindakan kecurangan sudah lumrah di kalangan siswa—bahkan, dikatakan
“[s]ontek-menyontek itu pasti ada di sekolah mana pun56”—pengaduan kasus
berjumlah sedikit. Dalam Buletin BSNP, tertera bahwa jumlah kasus kecurangan
yang ditemukan pada UN 2008 adalah 40, sementara pada tahun 2009 berjumlah
22. Hanya 9 kasus yang ditemukan pada UN 201057.
55 Anwar Siswadi, “Dua Tim Pemantau Beberkan Kecurangan Ujian Nasional di Jawa Barat”,
TEMPO Interaktif, Sabtu, 27 Maret 2010.
56 D. D. P., wawancara dengan Amanda Kistilensa, komunikasi pribadi, 27 November 2010.
57 Bambang Suryadi, “Penyelenggaraan UN Tahun Ajaran 2009/2010”, Buletin BSNP, Volume V,
No 2, Agustus 2010, hlm. 10
16
17
3.2. Kecurangan dan Sanksinya Berdasarkan Pihak yang Terlibat
POS UN SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010 mengakui tindakan-
tindakan berikut sebagai pelanggaran terhadap prosedur operasi standar UN,
beserta sanksi dan penindakannya, sesuai jenis kecurangan dan pelakunya.
TABEL I
JENIS KECURANGAN DALAM UN DAN SANKSINYA
No. Pelaku Jenis Kecurangan/Pelanggaran Sanksi/Tindakan
1 Siswa Siswa menggunakan HP di
ruang ujian setelah dilakukan pemeriksaan dan peringatan.
Siswa menyebarkan dan/atau membawa dan menggunakan jawaban soal UN ketika UN berlangsung di ruang UN
Siswa bekerja sama dalam satu ruang ujian setelah diberi peringatan sampai tiga kali oleh pengawas
Tidak lulus pada mata pelajaran yang bersangkutan
2 Guru Guru mengedarkan jawaban
secara langsung Guru menyebarkan jawaban
melalui SMS Guru mata pelajaran yang
diujikan berada di lingkungan sekolah
Guru mengerjakan soal cadangan di sekolah
Guru menawarkan soal dan jawaban
Sesuai PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS
3 Penyelenggara UN Satuan Pendidikan
Penyelenggara UN di sekolah mengganti lembar jawaban
Jika kesalahan bukan ada pada siswa, ujian diulang
Penyelenggara UN menyimpan bahan soal di
Diberi peringatan dan dilaporkan ke
18
satuan pendidikan tanpa dijaga aparat, sementara kunci ruangan dipegang oleh kepala satuan pendidikan
Inspektorat Jenderal (Itjen) Depdiknas
Penyerahan LJUN terlambat Anggota penyelenggara UN
masuk ke ruang UN saat mengedarkan presensi pengawas ujian
Dibuat berita acara dan diberi peringatan
Soal cadangan dibuka oleh penyelenggara UN
Dibuat berita acara dan dilaporkan ke Itjen
4 Pengawas Ruang Ujian
Pengawas ruang ujian tidak mengelem/mengelak amplop LJUN di ruang ujian
Pengawas membiarkan peserta ujian bekerja sama
Pengawas membantu memberikan jawaban ujian pada peserta UN
Dibuat berita acara dan diberi peringatan
Pengawas membaca sisa soal dalam ruang ujian
Pengawas bercakap-cakap dalam ruang ujian yang mengganggu suasana ujian
Pengawas mengerjakan sesuatu di luar tugas dan fungsi kepengawasan di ruang ujian
Diberi peringatan
5 Percetakan Jumlah naskah soal atau
LJUN kurangDiberi peringatan
Me-layout ulang master copy soal
Salah mengepak naskah soal UN (misalnya sampul ujian Matematika, di dalamnya soal Bahasa Indonesia)
Tidak mengikuti ketentuan pencetakan dalam POS Pencetakan UN
Di-blacklist
Sumber: POS UN SMA/MA Tahun Ajaran 2009/2010, hlm. 26—28
19
3.4. Pelaksanaan Nyata Ujian Nasional
Sebagian dari pelanggaran dalam Tabel I ditemukan dalam pelaksanaan
UN di tiap sekolah mantan peserta UN yang telah diwawancara, dengan variasi
tertentu. Dalam suatu sekolah swasta tertentu yang cukup disiplin, pihak
penyelenggara UN dari SMA sangat menentang tindakan kecurangan58. Meskipun
demikian, dinyatakan oleh alumninya bahwa tetap ada kecurangan dalam bentuk
penggunaan kunci jawaban, yang disebarkan melalui SMS59. Identitas pengirim
awal SMS ini umumnya tidak diketahui pasti60, apalagi pembuatnya, meskipun
keakuratan kunci diakui sebagai lebih dari cukup untuk mendapatkan nilai bagus
oleh setiap mantan peserta yang diwawancara.
Sementara itu, di sekolah lain yang satu kota, SMAN 5 Bandung, guru dan
pengawas justru membantu siswa berbuat curang61. Fenomena yang sama juga
ditemukan di SMAN 28 Jakarta. Menurut penuturan alumninya, R. W., pengawas
ujian berpura-pura tidak menyadari keberadaan siswa yang berbuat curang—salah
satunya siswa yang menyalin jawaban dari siswa lain dengan “terang-terangan”—
seakan-akan terdapat kerja sama antara sekolah tersebut dan tim pengawas62.
Bahkan, di suatu SMA swasta, pengawas juga membantu secara langsung dengan
mengajarkan gerakan tangan untuk digunakan sebagai kode dalam berbagi
58 D. D. P., loc. cit.
59 Ibid.
60 Ghyna Putri, wawancara dengan Amanda Kistilensa, komunikasi pribadi, 28 November 2010.
61 Ibid.
62 R. W., wawancara dengan Amanda K., komunikasi pribadi, 27 November 2010.
20
jawaban63. Disebutkan bahwa kecurangan pada UN SMA/MA memang cenderung
bersifat kolektif ketimbang individualis64.
Terdapat sejumlah pelanggaran yang ditemukan, dan tercantum dalam
liputan pelaksanaan UN 2010 dalam Buletin BSNP. Salah satunya adalah
pembocoran soal dan jawaban oleh pihak penyelenggara UN satuan pendidikan
(e.g., kepala sekolah yang membacakan soal dan jawaban UN sebelum ujian
dimulai)65. Ditemukan pula guru mata pelajaran berkeliaran di sekolah sementara
ujian mata pelajaran tersebut berlangsung, dan siswa yang membawa ponsel ke
dalam ruang ujian66. Selain itu, menurut liputan tersebut pelanggaran terhadap
POS UN yang ditemukan sebagian besar berasal dari pihak percetakan akibat
kompetensi staf percetakan yang dianggap kurang baik67.
3.4. Aspek Pendorong Tindakan Kecurangan dalam Ujian Nasional
3.4.1. Peranan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan
Seperti yang tertera dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional, kelulusan dalam Ujian Nasional adalah salah satu penentu kelulusan
seorang siswa SMA/MA68. Penekanan terhadap UN sebagai salah satu penentu
kelulusan bahkan menimbulkan rasa takut, dan miskonsepsi bahwa UN adalah
63 Priscilla Larasati, wawancara dengan Amanda K., komunikasi pribadi, 7 Desember 2010.
64 Suryadi, op. cit., hlm. 12.
65 Op. cit., hlm. 11.
66 Ibid.
67 Op. cit, hlm. 10.
68 Nandika, op. cit., hlm. 56.
21
satu-satunya penentu kelulusan, terutama karena nilai ujian sekolah cenderung
“dikatrol” oleh sekolah69—bahkan, seorang mantan peserta bisa menuturkan,
“tidak mungkin ada sekolah yang tidak meluluskan siswanya”70 (alasannya
dijelaskan pada 3.4.2). Siswa merasa bahwa tidak sepatutnya mereka mengulang,
setelah tiga tahun bersekolah, akibat ketidaklulusan UN71.
Sebagai akibatnya, banyak siswa—bahkan, mereka yang sehari-hari
berprestasi cukup baik—memilih untuk berbuat curang, seperti menyimpan kunci
jawaban “untuk jaga-jaga”72, meskipun harganya jutaan73. Hal ini bersumber dari
rasa kurang percaya diri yang dimiliki oleh siswa, bahkan setelah mereka
mempersiapkan diri (dengan mengikuti bimbingan belajar, mengurangi kegiatan
ekstrakurikuler, dsb.)74. Keberadaan kunci jawaban membuat mereka merasa lebih
aman, meskipun mereka menyadari perbuatannya itu curang75.
3.4.2. Pemeringkatan Sekolah berdasarkan Hasil Ujian Nasional
Rasa takut terhadap ketidaklulusan UN tidak hanya dialami oleh siswa;
hasil performa siswa suatu sekolah dalam UN kerap dijadikan salah satu aspek
penilaian utama mutu sekolah tersebut, seperti dalam sistem kluster—sistem yang
69 R. W., loc. cit.
70 Putri, loc. cit.
71 D. D. P., loc. cit.
72 Ibid.
73 Larasati, loc. cit.
74 Ibid.
75 D. D. P., loc. cit.
22
mengelompokkan sekolah berdasarkan kluster peringkat—yang menentukan
kluster berdasarkan passing grade terendah dan hasil kelulusan, yang ditentukan
oleh kelulusan UN76. Peringkat yang diperoleh sekolah tentunya menentukan
kualitas dan jumlah murid yang mendaftar ke sekolah tersebut77.
Reputasi sekolah yang bertumpu pada hasil UN siswanya membuat proses
belajar-mengajar dalam sekolah terlalu berorientasi pada UN78. Sebagai akibatnya,
sekolah pun melakukan berbagai upaya untuk menjamin hasil UN yang baik, dan
upaya tersebut tidak sekadar mengajar lebih giat. Selain “katrol nilai” yang kerap
terjadi dalam penilaian ujian sekolah, beberapa sekolah juga menjalin semacam
“kerja sama”: pengawas yang dikirim masing-masing sekolah sengaja
membiarkan—bahkan, mendukung—tindakan kecurangan dalam ruang UN79,
agar keduanya mendapatkan hasil yang baik, meskipun dengan tidak jujur.
3.4.3. Ketidakdisiplinan Penyelenggara Ujian Nasional
Salah satu faktor yang membuat siswa lebih leluasa melakukan tindakan
kecurangan adalah pihak penyelenggara dari sekolah dan pengawas yang tidak
tegas—bahkan, mendukung—tindakan tersebut. Melihat guru dan pengawas yang
justru mendukung kecurangan, siswa merasa lebih santai berbuat curang karena
76 “Sistem Kluster Mendiskriminasi Sekolah”. Pikiran Rakyat. 14 Juni 2010.
77 Ibid.
78 Marjohan Usman, “Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah
Kadaluwarsa”, e-Newsletter Disdik, (http://enewsletterdisdik.wordpress.com/mengukur-peringkat-
pendidikan-berdasarkan-skor-un-sudah-kadaluwarsa/), diakses 7 Desember 2010.
79 Larasati, loc. cit.
23
tahu mereka tidak akan ditangkap80. Ketidakdisiplinan ini dapat disebabkan
berbagai alasan, seperti belas kasihan atau tenggang rasa terhadap siswa, maupun
keinginan sekolah untuk menyandang reputasi yang baik81.
Kejujuran pekerja dari pihak percetakan soal dan lembar jawaban UN juga
dinilai kurang, sehingga ditemukan banyak pelanggaran POS UN dalam
percetakan82. Salah satu contoh kasusnya dalam UN 2010 adalah tindakan
pembocoran soal yang dilakukan oleh suatu oknum karyawan percetakan CV
Budi Utomo, dan soal yang bocor inilah yang menjadi asal-muasal kunci jawaban
yang beredar di kalangan siswa via SMS83.
3.5. Dampak dari Kecurangan dalam Ujian Nasional
3.5.1. Dampak pada Pencapaian Tujuan Ujian Nasional
Dampak dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional terhadap
pencapaian tujuannya—memperoleh pemetaan yang tepat atas mutu pendidikan di
seluruh Indonesia—cukup jelas. Pemetaan yang diperoleh dari UN menjadi tidak
kredibel karena tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya, bertentangan dengan
pakta integritas yang ditandatangani tiap kepala dinas pendidikan provinsi84.
80 Putri, loc. cit.
81 Ibid.
82 Suryadi, loc. cit.
83 Khairul Ikhwan. “Soal UN di Medan Diduga Bocor, Jawaban Beredar Lewat SMS “. detikNews.
22 Maret 2010.
84 Suryadi, op. cit., hlm. 8.
24
Dengan demikian, peningkatan mutu guru dan fasilitas sekolah yang mutunya
kurang baik tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya.
3.5.2. Dampak pada Peserta Didik
Definisi pendidikan, menurut undang-undang sistem pendidikan nasional:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”85
Oleh karena itu, hasil akhir dari proses pendidikan sehendaknya adalah peserta
didik memiliki keterampilan maupun kepribadian yang baik.
Pendidikan yang kurang tepat sasaran juga menciptakan generasi penerus
yang diisi lulusan yang hanya “cerdas di atas kertas [ijazah]”86, atau bahkan
cerdas otak pula, namun tidak berkontribusi banyak karena tidak memiliki
motivasi untuk belajar dan berinovasi87. Dikhawatirkan ketika siswa melihat
kecurangan akademik sebagai perilaku normatif, kelak mereka akan melihat
perilaku bisnis tidak etis sebagai perilaku yang normatif juga88. Dapat dilihat
85 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
86 Usman, loc. cit.
87 Ibid.
88 K. Mangan, “The Impact Of Unethical Reasoning On Different Types Of Academic Dishonesty:
An Exploratory Study”, Journal of College Teaching & Learning, Volume 5, No 12, Desember
2008, hlm. 9
25
bahwa pengaruh kecurangan yang dilakukan peserta didik terhadap pribadinya
tidak hanya dalam kelas89, namun mencakup seluruh aspek kehidupannya.
3.6. Upaya Nyata Minimalisasi Kecurangan dalam Ujian Nasional
Tiap tahun, dilakukan upaya untuk mengurangi pelaksanaan tindakan
dalam Ujian Nasional, meskipun beberapa hal seperti penyebaran kunci jawaban,
masih ditemukan dari tahun ke tahun. Sistem pelaksanaan UN sendiri mengalami
perubahan; contohnya adalah UN 2010 yang memiliki UN Ulangan bagi mereka
yang tidak lulus UN Utama atau UN Susulan, untuk mengurangi beban psikologis
pada peserta seandainya mereka belum lulus90. Tim Pemantau Independen (TPI)
juga memiliki wewenang langsung memasuki ruang ujian jika muncul tanda-tanda
kecurangan91. Namun, sangat disayangkan, upaya-upaya ini belum berhasil
meniadakan kecurangan dalam Ujian Nasional.
89 Jacqueline Eastman, et. al., “The Impact Of Unethical Reasoning On Different Types Of
Academic Dishonesty: An Exploratory Study”, Journal of College Teaching & Learning, Volume
5, No 12, Desember 2008, hlm. 9
90 Suryadi, loc. cit.
91 Ibid.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kecurangan dalam Ujian Nasional adalah suatu masalah serius yang patut
diperhatikan, terutama karena dampak buruknya pada perkembangan peserta didik
dan pencapaian dari penyelenggaraan UN dan pendidikan secara keseluruhan.
Akibat keberadaan kecurangan, hasil dari pelaksanaan UN menjadi tidak kredibel
dan tidak dapat dimanfaatkan untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia.
Meskipun kecurangan ini dianggap “lumrah” oleh siswa, kasus yang terungkap
tidak begitu banyak, dan meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk
menangkal kecurangan yang terjadi, kasus kecurangan seperti pembocoran soal
marak terjadi.
Pada umumnya, kecurangan dilakukan oleh pihak siswa dan
penyelenggara satuan pendidikan yang, tentunya, memiliki kepentingan dengan
hasil UN—siswa demi kelulusan, penyelenggara satuan pendidikan demi nama
baik institusi—sehingga berusaha mencapai hasil yang baik dengan cara yang
tidak sah. Penyebab dari perilaku ini juga ketidakpercayaan peserta dengan
kemampuannya sendiri, terutama di bawah tekanan UN yang batas minimal
kelulusannya naik tiap tahun.
26
27
4.2. Saran
Peserta UN perlu diyakinkan bahwa mereka mampu mengerjakan Ujian
Nasional dengan kemampuannya sendiri. Pihak sekolah dan pengawas ujian yang
mengakomodasi tindakan kecurangan akan membuat siswa makin merasa tidak
mampu mengerjakan UN sendiri, sehingga harus ditindak dengan lebih tegas.
Sekolah juga tidak akan terlalu menekan murid untuk mendapatkan hasil yang
bagus dalam UN jika reputasinya tidak terlalu bergantung pada hasil UN
siswanya.
Pengawas ujian yang mengakomodasi kecurangan juga mendorong peserta untuk
berbuat curang. Sanksi yang ada bagi pengawas ujian yang melanggar ketentuan
POS UN bisa dimodifikasi agar pengawas ujian lebih sangsi melakukan
pelanggaran. Selain itu, penyelenggaraan UN, terutama saat penggandaan dan
pengedaran soal, harus dijaga dengan lebih ketat.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2005. “Ujian Penghabisan, Ebtanas, UAN, Lalu Apa Lagi…” Dalam
Suara Merdeka, 9 November 2005. Dalam jaringan (http://www.suara
merdeka.com/harian/0511/09/nas21.htm), diakses 3 Desember 2010.
______, 2010. Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMA/MA
Tahun Pelajaran 2009/2010, Revisi Final 23 Februari 2010. Jakarta: Badan
Standar Pendidikan Negara.
______, 2010. “Sistem Kluster Mendiskriminasi Sekolah”. Dalam Pikiran Rakyat. 14
Juni 2010. Bandung.
______, 2010. “Ujian Nasional 2011 Digelar April”. 15 Oktober 2010. Jakarta. Dalam
jaringan (http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/ujian-nasional-2011-
digelar-april/), diakses 9 Desember 2010.
Kementerian Pendidikan Nasional. Sejarah Ujian Nasional. Dalam jaringan
(http://www.kemdiknas.go.id/orang-tua/ujian-nasional/sejarah-ujian-
nasional.aspx), diakses 3 Desember 2010.
Nandika, D. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Rozalina, Ice. 2010. UN Sebagai Sistem Dari Pendidikan. Dalam jaringan
(http://sman1mandau.blogspot.com/2010/09/un-sebagai-sistem-dari-
pendidikan.html), diakses 10 Desember 2010.
Siswadi, A. 2010. “Dua Tim Pemantau Beberkan Kecurangan Ujian Nasional di
Jawa Barat”. Dalam TEMPO Interaktif, 27 Maret 2010. Bandung. Dalam
28
29
jaringan (http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/03/27/
brk,20100327-236099,id.html), diakses 4 Desember 2010.
Suryadi, B. 2010. “Penyelenggaraan UN Tahun Ajaran 2009/2010”. Dalam
Buletin BNSP, Volume V/No. 2/Agustus 2010: 8—13.
Usman, Marjohan. 2009. Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN
Sudah Kadaluwarsa. Dalam e-Newsletter Disdik. Dalam jaringan
(http://enewsletterdisdik.wordpress.com/mengukur-peringkat-pendidikan-
berdasarkan-skor-un-sudah-kadaluwarsa/), diakses 7 Desember 2010.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran A
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P.
Hari/Tanggal Wawancara: Minggu/27 November 2010.
Identitas Informan
Nama: D. D. P.
Status: Mahasiswa Tingkat 2 Universitas Kristen Maranatha
Jenis kelamin: Lelaki
Peserta UN tahun: 2009
SMA dan Jurusan Asal: - (sekolah dirahasiakan), IPS
Pewawancara (P): Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan
mengetahui bahwa tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?
D: Yah, nggak takut-takut amat, sih, soalnya dari dulu sudah dikasih tahu kalau
ujian sekolah [UAS] tuh lebih susah dari ujian negara [UN], jadi santai saja.
P: Biasanya siswa lebih takut terhadap UN ketimbang UAS, kok berbeda di
sekolah Anda?
D: Beda, di SMA saya tuh kalau lulus UAN tapi nggak lulus UAS, tetap saja
nggak lulus, dan UAS tuh nggak ada yang digampangin biar jadi lulus.
P: Berarti sekolah Anda disiplin sekali, ya... Apakah dengan demikian siswa di
sekolah Anda menjalani UN dengan nyantai, tanpa nyontek dan sebagainya?
32
Lampiran A
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)
D: Nggak juga, [s]ontek-menyontek itu pasti ada di sekolah mana pun. Saya juga
ikut terlibat.
P: Bukankah lebih santai menghadapi UN ketimbang UAS?
D: Untuk jaga-jaga... Kalau-kalau soal yang keluar aneh-aneh, jadi sudah ada
pegangan.
P: Hm, apakah Anda tidak yakin atas kemampuan Anda sendiri?
D: Yakin, sih, tapi kan kalau sesuatu ada pegangan tuh, jadi merasa lebih aman,
apalagi kalau nilai yang keluar bisa bagus atau mendekati sempurna.
P: Dan bagaimana nilai Anda, dan teman-teman Anda? Mendekati sempurna?
Bagaimana dengan yang nggak pakai?
D: Yang menggunakan [s]ontekan jelas nilainya jadi bagus-bagus. Yang biasanya
nilainya jelek juga jadi bagus. Kalau yang nggak pakai sih karena mereka
memang pintar, jadi nilai mereka pasti bagus.
P: Anda merasa tidak pintar?
D: Nggak.
P: Apakah teman-teman Anda yang menyontek itu "tidak pintar" juga?
33
Lampiran A
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)
D: Yap,dan beberapa yang sebenarnya biasa saja juga ikut nyontek. Kayaknya
biar mereka juga merasa aman...
P: Bisa jadi, ya... Apakah dengan itu menurut Anda hal itu menjadi sah untuk
dilakukan?
D: Hahaha, kalau sah sih jelas nggak... Yang namanya curang itu nggak sah, tapi
ini demi kelulusan saja. Nggak lucu juga kalau udah 3 tahun sekolah di SMA,
gara-gara ini nggak lulus, harus ngulang lagi...
P: Tentang kelulusan, tentu kalau banyak siswa yang nggak lulus, hal itu akan
berdampak buruk bagi imej sekolah juga... Bagaimana pandangan pihak guru dan
sekolah tentang menyontek saat UN?
D: Mereka sangat tidak setuju... Banyak upaya juga dari guru biar murid-
muridnya nggak nyontek,tapi sepertinya murid-muridnya lebih pintar
nyembunyiin [s]ontekannya. Biasanya pagi-pagi [mereka] sudah menghapal kunci
jawabannya. Sebelum masuk kelas, kunci jawaban yang sudah dihapal dibuang.
P: Kunci jawaban ini didapat dari mana, ya?
D: Kalau saya sih dapatnya dari teman, malam sebelum ujian tuh dikirimin SMS
kunci jawaban, terus dihapalin saja... Tapi ada beberapa teman yang beli soal,
nggak tahu tuh dapatnya dari mana.
34
Lampiran A
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)
P: Kalau melihat keakuratan kunci jawaban, kira-kira kunci jawaban ini
bersumber dari mana?
D: Waduh, nggak tahu juga, sih... tapi kayaknya dari pihak Depdiknasnya.
P: Hal itu memang masih menjadi misteri... Setelah setahun lebih sejak mengikuti
UN, bagaimana pendapat Anda sekarang, terhadap sontek-menyontek, dan UN
sendiri?
D: Kalau contek-mencontek sih kayaknya udah biasa... Hal seperti itu sangat
susah untuk dihilangkan...
P: Kalau UN?
D: Yah,kalau UN-nya sih lebih baik tetap ada… Dan diusahakan agar soalnya
tidak bocor ke siswa, atau nilai UN itu hanya lima puluh persen dari total nilai
untuk lulus. Lima puluh persennya lagi UAS, biar anak-anak nggak bisa nyepelein
UAS dan UN, dan kalau satu gagal, bisa diselamatin sama yang lain. Anak-anak
juga jadi nggak tegang waktu ngerjain ujiannya, jadi tingkat kecurangan bisa
dikurangi.
P: Kalau tidak bocor ke siswa, enggak kasihan sama angkatan bawah yang "tidak
pintar"?
35
Lampiran A
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)
D: Haha… Yah, memang ironis, sih, tapi mau gimana lagi... Kalau gini terus,
mutu pendidikan bisa jeblok.
P: Jadi, setidaknya Anda menyadari kalau tindakan Anda itu sebenarnya tidak
benar.
D: Yap.
P: Cukup sampai di situ, terima kasih atas partisipasinya...
D: OK, sama-sama
36
Lampiran B
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W.
Hari/Tanggal Wawancara: Minggu/27 November 2010.
Identitas Informan:
Nama: R. W.
Status: Mahasiswa Tingkat 2 Institut Teknologi Bandung
Jenis kelamin: Perempuan
Peserta UN tahun: 2009
SMA dan Jurusan Asal: SMA Negeri 28 Jakarta, IPA
P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa
tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?
R. W. (R): Senang sekali, saya sudah menunggu lama kapan waktunya saya bisa
lulus dari sekolah.
P: Tidak ada rasa gelisah? Bagaimana dengan siswa yang lain?
R: Tidak sama sekali. Saya sangat excited dengan lulus sekolah-jadi-anak-
kuliahan-thingy. Yang lain waktu awal-awal kelas tiga penuh semangat mengejar
jurusan impian, UN nggak begitu dipikirkan. Baru pas semester dua mulai
menyadari keberadaan UN.
P: Dan setelah menyadari keberadaan UN itu, bagaimana perasaan mereka?
37
Lampiran B
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)
R: Hm, waktu itu kan SIMAK [ujian mandiri Universitas Indonesia] jaraknya
dekat dengan UN, mereka awalnya bingung menentukan prioritas. Sembilan
puluh persen anak di sekolah saya ikut SIMAK, nah waktu itu kan SIMAK dulu
baru UN. Mereka memprioritaskan SIMAK. Setelah SIMAK keluar dan banyak
yang nggak lulus SIMAK, mereka baru memikirkan UN, menyadari bahwa ujian
tidak mudah, dan menjalani hari menuju ujian dengan raut wajah muram.
P: Begitu menyadari bahwa UN tidak mudah, apakah ada yang berpaling ke cara-
cara yang kurang benar?
R: Banyak. Biasanya tanya-tanya teman yang pintar di ruang penjagalan. Ada
juga yang taruh kertas [s]ontekan di toilet, ada yang beli kunci jawaban.
P: Anda tidak terlibat?
R: Tidak.
P: Mengapa demikian?
R: Waktu itu saya iseng-iseng, sih, mengkampanyekan gerakan UN tanpa belajar.
Jadi saya bilang ke yang lain, UN itu santai saja, gak usah nyontek, ngebet, pasti
lulus. Toh kita masuk universitas nggak perlu NEM. Saya menjalani UN dengan
keyakinan "sejelek-jeleknya nilai saya masa iya saya nggak lulus", saya tidak
tertarik membagus-baguskan nilai saya, jadinya tidak tergoda nyontek.
38
Lampiran B
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)
P: Bagaimana tanggapan teman-teman Anda terhadap gerakan tersebut?
R: Teman-teman saya karena baru patah hati ditolak UI, mereka jadi tidak
percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri. Saya nggak ikut SIMAK jadi
masih percaya diri.
P: Jadi, masalah kepercayaan diri, ya... Teman-teman Anda yang nyontek, mereka
bisa dapat sontekan itu dari mana?
R: Tanya teman yang pinter, yang duduk di sekitar.
P: Tidak ada yang mendapatkan sontekan dari luar?
R: Itu kunci jawaban, sih, jadi ada teman saya yang kaya raya. Dia dan gengnya
mendapat pasokan kunci entah beli sama siapa tapi dengar-dengar kuncinya tepat.
P: Setelah melihat hasil ujian yang keluar, bagaimana?
R: Hm bukan habis lihat hasil sih, kan biasa ya habis ujian anak-anak
mencocokkan jawaban. Nah, waktu dibahas ini, kunci jawaban anak orkay [orang
kaya] itu lebih dari delapan puluh persen jawabannya tepat.
P: Selain itu, jumlah murid yang lulus pasti berpengaruh bagi imej sekolah juga...
Bagaimana pandangan guru dan sekolah terhadap sontek-menyontek dan
penggunaan kunci jawaban?
39
Lampiran B
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)
R: Waktu itu di angkatan saya—di sekolah-sekolah lain juga—entah kenapa
sekolah kelihatan bekerja sama dengan pengawas ujian untuk memperkendor
pengawasan. Misalnya, jelas-jelas ada anak yang menyontek, tapi mereka
membiarkan. Bahkan ada yang melongokkan kepala sampai nyaris berdiri untuk
melihat jawaban teman di depannya tapi pengawas pura-pura nggak melihat.
P: Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?
R: Saya tidak suka cara mereka. Apalah artinya lulus seratus persen kalau ujian
tidak jujur dan nilai dikatrol. Saya mau biar nilai pas-pasan yang penting hasil
sendiri. Jujur saya menyumpah-nyumpahi anak orkay yang pakai kunci itu, lha
wong dia pemalas, tahu-tahu lulus karena beli kunci yang mahal… Tidak adil!
P: Dikatrol? Apakah itu yang dilakukan sekolah terhadap nilai UAS?
R: Iya. Sedih betul.
P: Mengapa sedih?
R: Kalau dari pihak murid, pasti malas-malasan UAS. Belajarnya setengah hati.
Pikirannya juga "Ah, mana mungkin ada sekolah yang mau muridnya tidak lulus".
Pihak sekolah juga bingung kan, kalau serius dibuat standar kelulusan, pasti ada
banyak yang tidak lulus, soalnya standar kelulusan di sekolah saya 76. Akhirnya
Lampiran B
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)
40
dikatrol, bantu sedikit-sedikit. Ya sedih lah, mungkin sebetulnya saya juga tidak
lulus UAS praktikum Olahraga.
P: Sepertinya sekolah juga benar-benar ingin muridnya lulus, ya. Lalu,
bagaimana peranan Dinas Pendidikan dalam pelaksanaan UN?
R: Yah begitu-begitu saja. Melihat pelaksanaan UN 2009 yang tidak bisa dibilang
baik, jadi yah… Begitu deh. Mengerti lah maksud saya.
P: Mungkin bisa diperjelas?
R: Pokoknya kurang memuaskan. Nah… Terus yang bikin soal UN Biologi, siapa
itu? Saya masih ingat itu soalnya tidak sesuai kurikulum… Nyambung gak sih?
P: Hahaha, tidak masalah... Terakhir, apakah Anda punya saran perbaikan agar
kecurangan dari pihak murid maupun sekolah bisa dikurangi?
R: Susah, sih. Mungkin ESQ di H-1, jangan jauh-jauh soalnya efek ESQ tidak
lama kan. Kalau untuk sekolah sebetulnya tergantung murid, kalau muridnya
baik-baik dan rajin masa iya mereka tetap mendukung kecurangan.
P: Sepertinya cukup sampai di situ... Terima kasih atas partisipasinya
R: Sama-sama.
41
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA
Hari/Tanggal Wawancara: Senin/27 November 2010.
Identitas Informan:
Nama: Ghyna Amanda Putri
Status: Mahasiswa Tingkat 2 Universitas Pendidikan Indonesia
Jenis kelamin: Perempuan
Peserta UN tahun: 2009
SMA dan Jurusan Asal: SMA Negeri 5 Bandung, IPA
P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa
tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?
Ghyna (G): Sedikit merasa pesimis karena pada dasarnya saya tidak punya
kematangan dalam jurusan yang saya ambil.
P: Bagaimana dengan teman-teman, pesimis jugakah?
G: Teman-teman yang lain juga agak merasa pesimis—mungkin—soalnya UN itu
tidak tertebak.
P: Maksudnya?
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
42
G: Yaa, kan kadang-kadang ada anak yang pintar tapi tidak lulus, sedangkan yang
biasa-biasa saja lulus gemilang.
P: Kira-kira mengapa bisa demikian?
G: Karena... karena kalau yang pintar mungkin kebanyakan pasrah dengan
kemampuannya, sedangkan yang biasa-biasa saja merasa tidak akan bisa, jadi cari
alternatif… belajar, [s]ontekan, atau apapun…
P: Alternatif, ya... Sebagai orang yang merasa pesimis terhadap performanya
dalam UN, apa alternatif yang Anda dan teman-teman ambil untuk menghadapi
UN?
G: Bimbingan belajar, pelajaran tambahan di sekolah, dan sebagainya.
P: Setelah mengambil tambahan seperti itu, apakah Anda merasa lebih optimis
untuk menghadapi UN?
G: Optimis, tapi hanya [untuk] mencapai standarnya saja.
P: Apakah dengan demikian Anda dan teman-teman berpasrah dengan
kemampuan sendiri, atau mencari kepastian dengan metode lain... sontekan,
misalnya?
G: Kalau [s]ontekan tidak dicari sih, biasanya datang sendiri, jadi pasrah pada
kemampuan sendiri kalau dapat [s]ontekan ya... lihat-lihat dulu terpakai apa tidak.
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
43
P: Lha, kok bisa datang sendiri?
G: Kalau UN begitu suka ada sumbernya, jadi tanpa diminta pun datang sendiri
P: Sumbernya dari mana, bila boleh tahu?
G: Dari orang tidak dikenal yang datang lewat SMS, atau kadang ada beberapa
orang yang kalau zaman saya sih disebut Sumber Pengki, mereka juga punya
jawaban; entah dari mana, yang pasti tiap sebelum ujian jawabannya sudah
disebar lewat SMS.
P: Dijarkom, ya, sepertinya?
G: Iya macam itu, tapi dari berbagai sumber.
P: Apakah kunci jawaban yang diberikan sumber yang berbeda juga berbeda?
G: Yaa... kadang ada yang sama dan kadang ada yang beda.
P: Lalu, bagaimana cara memilih yang mana yang sebaiknya "dipakai" bila
demikian?
G: Cari yang paling banyak sama, atau kalau semuanya beda… ya semuanya
dipegang buat jaga-jaga.
P: Dengan kunci jawaban, apakah jawabannya diikuti begitu saja atau tidak?
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
44
G: Tidak sih, kecuali kalau sudah lebih dari setengah jawaban dari siswa terpintar
sama dengan kunci baru dipakai. Ada satu-dua orang yang paling pintar yang
menyamakan dulu, nanti setelah disamakan dan terbukti sama lebih dari
setengahnya, baru kunci dianggap valid dan disebar.
P: Bagaimana caranya kuncinya bisa disamakan sebelum UN? Soalnya sudah
diketahui sebelumnya?
G: Nggak, jadi kuncinya dicatat oleh semua anak. Nanti saat ujian, siswa yang
paling pintar yang juga pegang kunci menyamakan sampai setengahnya... Habis
itu baru dia kasih kode kunci mana yang [patut] dipakai sama anak-anak yang lain
P: Bagaimana caranya?
G: Yaa, tinggal bisik-bisik saja dari satu orang ke orang lain. Ngasih tahu kunci
yang mana [yang benar] kan lebih gampang ketimbang ngasih tahu semua
jawabannya.
P: Selain itu, dari pihak guru dan sekolah sendiri, bagaimana tanggapan mereka
terhadap kerja sama antarsiswa ini? Apakah mereka tahu?
G: Tahu lah, bahkan kadang sumber kuncinya kan dari guru.
P: Bisa dibilang, mereka juga mendukung, dong?
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
45
G: Ya pastinya mendukung, pihak sekolah juga kan nggak mau nama baik
sekolahnya jatuh karena nilai UN siswanya yang hancur.
P: Sementara pada saat penyelenggaraan ujiannya sendiri, apakah mereka juga
melakukan upaya lain?
G: Hm, nggak begitu tahu sih, soalnya guru-guru saat UN kan nggak ada di
tempat.
P: Bagaimana dengan pengawas ujian?
G: Pengawas ujian kadang ada yang peduli kadang tidak, ya kebanyakan tidak
peduli. Entah karena ada titipan pesan dari sekolah atau faktor lainnya.
P: Tidak peduli? Maksudnya?
G: Ya, membiarkan saja situasi kelas mau bagaimana juga, asal tidak ribut.
P: Meskipun ada murid yang menunjukkan tanda-tanda bekerja sama?
G: Iya.
P: Bagaimana pendapat Anda terhadap hal ini?
G: Hm, bagaimana ya, tidak bisa menyalahkan walau hal tersebut tetap salah…
soalnya sebagai peserta ujian saya juga diuntungkan, kan?
P: Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi—dari pihak murid maupun guru?
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
46
G: Kalau menurut saya sih karena masih mental orang Indonesia yang
menjunjung tenggang rasa, dimana para guru banyak yang tak tega buat menegur
karena mereka tahu bagaimana nasib murid-muridnya sendiri… sedangkan yang
murid ya senang-senang saja karena tidak ditegur.
P: Hm, apakah ada sesuatu dalam sistem pelaksanaan UN yang mengakibatkan
sikap tenggang rasa ini muncul saat pelaksanaannya?
G: Mungkin karena tuntutannya terlalu tinggi, jadi membuat berbagai kalangan
ketakutan, bukan cuma muridnya tapi juga gurunya.
P: Takut tidak lulus?
G: Yap.
P: Apakah bisa mengurangi rasa takut dari pihak murid dan sekolah ini?
G: Hm... mungkin jika tuntutan kelulusan tidak hanya pada UN rasa takut bisa
berkurang.
P: Tapi, nyatanya kelulusan juga ditentukan oleh UAS dan akhlak baik, namun
sepertinya yang diperhatikan hanya UN saja.
G: Eng... kelulusan hanya dari UN kan, pada zaman saya, sedangkan UAS
pelengkap saja… jadi tidak lulus satu mata pelajaran UN ya tidak lulus SMA.
Lampiran C
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA (sambungan)
47
P: Ya, memang kalau tidak lulus UN tidak lulus, tetapi kalau tidak lulus UAS
juga tidak lulus. Namun, tidak banyak murid yang takut tidak lulus UAS.
G: Soalnya UAS itu ditentukannya oleh sekolah, dan tidak mungkin ada sekolah
yang tidak meluluskan siswanya… yaa, walau ada saja sih… Kan sekolah juga
tidak mau pamornya turun karena ada siswanya yang tidak lulus.
P: Tentu... Dan, terakhir, setelah setahun lebih sejak mengikuti UN, bagaimana
pendapat Anda sekarang terhdap sontek-menyontek, dan UN-nya sendiri?
G: Sepertinya sih budaya menyontek dan segala macamnya susah untuk dipisah
dari pelajar kita, intinya sudah mendarah daging, kecuali kalau pemerintah bisa
lebih tegas dan membuat sistem pendidikan yang lebih baik.
P: Lebih baik, misalnya bagaimana?
G: Ya, tidak seperti UN yang dijadikan satu-satunya faktor kelulusan, karena
yang namanya sekolah kan tidak hanya mengajar dan mengejar nilai tapi juga
mendidik… kalau penyamarataan pendidikan macam ini terus, yang sama
hanyalah kuantitas angka, bukan kualitas akhlak serta norma.
P: Ya, terima kasih atas partisipasinya, sepertinya cukup sampai di sini.
G: Sama-sama.
48
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA
Hari/Tanggal Wawancara: Selasa/7 Desember 2010
Nama: Priscilla Linda Larasati
Status: Mahasiswa Tahap Persiapan Bersama Institut Teknologi Bandung
Jenis kelamin: Perempuan
Peserta UN tahun: 2010
SMA Asal: SMA Mardi Yuana Depok
P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa
tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?
Pr: Cukup tegang, karena tahun itu tahun terakhir dengan segala beban yang
harus dipikul untuk persiapan UN dan SNMPTN.
P: Bagaimana dengan teman-teman? Merasa tegang juga?
Pr: Sebagian lebih tegang lagi, mungkin karena faktor nilai mereka dari Kelas 10
yang kurang menjanjikan, hehehe… Sebagian lagi, tenang, tapi cukup tegang
untuk menyusun persiapan.
P: Persiapan apa yang dilakukan oleh Anda dan teman-teman?
49
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
Pr: Rata-rata nyari bimbel [bimbingan belajar], kalau aku termasuk setop semua
ekskul juga. Fokus ngatur waktu, meng-deactivate Facebook, Twitter, dan kawan-
kawan, hahaha…
P: Apakah dengan persiapan itu seseorang menjadi pasti dengan kemampuan
sendiri, atau mencari kepastian dengan metode lain... bocoran soal, kunci
jawaban, dan semacamnya?
Pr: Tergantung individunya, kalau dia merasa belum mampu sampai mendekati
hari-H, pasti nyari alternatif; sebagian temanku termasuk [yang] mengambil
langkah alternatif itu. Ada seseorang yang dapat channel dari luar untuk kunci
jawaban, harganya jutaan, dan sebagian teman-temanku di IPA patungan beli itu.
Yang IPS lebih parah lagi jumlah massanya.
P: Bagaimana, tuh?
Pr: Ya itu tadi, ada salah satu orang yang dapat channel untuk jual-beli kunci
jawaban. Nah, dia kasih tahu ke yang lain, otomatis yang lain juga mau.
Jangankan di sekolahku, teman-temanku dari [sekolah] negeri pun yang
sekolahnya termasuk sekolah-sekolah dengan rating tinggi di kotaku… di sana
juga banyak penyebarluasan kunci.
P: Hoo... Dan bagaimana hasil ujian mereka yang menggunakan kunci jawaban
tersebut?
50
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
Pr: Wah, bagus-bagus, lah. Bahkan di sekolahku yang dapat nilai UN tertinggi itu
seseorang tak terduga, dan dia beli “kunci” [kunci jawaban]. Malahan juara-juara
umumnya paling cuma di-rating 4, 5, 8, bahkan 20-an. Jadi sebenarnya aku nggak
suka UN karena… banyak kecurangan di sana. Yang bisa membuktikan seorang
anak berhasil dalam studinya itu berdasarkan rapotnya… yang juara umum pasti
ketahuan… kalau UN justru yang juara umum tersingkir. Artinya dunia
pendidikan kita sudah termanipulasi oleh anak didiknya sendiri, kan?
P: Seharusnya lebih dilihat dari sehari-harinya, ya?
Pr: Yep, karena belajar dan prestasi itu menurutku proses… dan jangka waktunya
panjang. Bukan cuma blek “UN bagus”, lalu seseorang jadi pintar… nggak gitu.
Aku termasuk salah satu yang menentang UN, dengan alasan percuma UN ada
tapi kecurangan masih banyak di mana-mana… Itu cuma buang-buang waktu,
tenaga… malahan bikin anak stress.
P: Ya…
Pr: Coba bayangkan mereka yang dari kampung, dari Papua gitu, yang belajar
dengan fasilitas minim, sekolah nggak punya lab bahasa, TV pun belum tentu
punya, tiba-tiba UN harus listening Bahasa Inggris… aku saja yang di kota masih
kelabakan. Mereka yang miskin belum tentu punya duit [untuk] beli “kunci”, tapi
mereka semua korban ketidakadilan sistem pedidikan di negeri kita yang—kalau
51
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
aku boleh jujur, aku berpendapat—serba instan, cuma terpatok kurikulum yang
kurang strategi, dan anak-anak belajar semata-mata ngejar nilai, bukan ngejar
ilmu. Terbukti, kok, pas kuliah. Semua yang diajarin pas SMA itu—khususnya
aku yang merasakan—serba instan, rumus tanpa kita tahu aplikasi dan asal-
mulanya, lalu cuma metode cepat yang sama sekali mematikan karakter kita untuk
melatih olah pikir… Curcol nih lama-lama…
P: Hahaha, nggak apa… Namun, sepertinya sekolah juga sangat mengutamakan
kelulusan muridnya dalam UN, berhubung imej mereka juga berkaitan dengan
jumlah murid yang lulus UN…
Pr: Nah, itu dia, setuju! Cuma demi mempertahankan akreditasi… Sistem
pendidikan kita seakan-akan terlalu dibonekakan oleh UN.
P: Apakah ada upaya yang dilakukan pihak guru dan sekolah Anda untuk
memastikan kelulusan siswa dalam UN?
Pr: Upaya? Nggak ada, cuma ngajar doang. Tapi ada beberapa hal yang aku
sendiri rasakan pas hari-H UN… jadi, guru dari sekolah lain ngawas di kelas
aku… Aku benar-benar benci banget dengan sistem pengawasan mereka. Masa
mereka ngobrol-ngobrol di luar pintu? Aku sudah berusaha pura-pura batuk,
bentar “ck, ck, ck”, supaya mereka tuh nyadar. Eh, tetap saja nggak nyadar…
ganggu konsentrasi banget. Nah, ada beberapa teman yang bilang pengawas
52
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
sengaja gitu supaya ngasih kesempatan [kepada] kita [untuk] nyontek. Lalu, ada
dua guru dari dua sekolah berbeda justru malah ngajarin kita sistem tukar
jawaban gitu, yang dulu aku diajarin “A B C D E”-nya. “Ini A, ini B, ini C…” dan
seterusnya [Priscilla menunjukkan gestur tangan]. Aku curiga, antara guru
Sekolah A dan Sekolah B memang sudah ada kesepakatan sendiri untuk
mengawas dengan “baik hati”—jadi ada Guru X yang bilang ke kita setelah
membagi soal, “Kalian satu jam pertama kerjain dulu saja yang baik, jangan
ganggu teman-temannya dulu… Nanti satu jam terakhir kalau kalian sudah
mentok, baru deh”… sambil [siswa] diajarin metode tangan “A B C D E”.
Mungkin baik untuk sebagian anak yg benar-benar pas UN terdesak dan panik
karena nggak bisa ngisi... Aku curiga memang sudah ada kesepakatan khusus
antarpengawas soal “kebaikan mengawas”… yang seharusnya itu “kebijakan
pengawas”.
P: Bisa dijelaskan lagi yang “A B C D E” itu dalam kata-kata?
Pr: Nggak bisa, Man, aku bingung… soalnya kan itu gerakan gitu, hahaha…
Pokoknya gitu, lah… Intinya kode dengan gerakan tangan. Tapi aku rasa percuma
juga, wong yang lain sudah punya kunci jawaban, perlu tukar jawaban pun nggak
jadi masalah.
Pr: Sebenarnya, kasihan juga untuk sebagian orang yang benar-benar butuh…
karena nggak tega juga lihat dia nggak lulus… Di satu sisi, memang kesalahan dia
53
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
dan pihak sekolah yang nggak matang mempersiapkan UN. Aku saja UN 80%
persiapan sendiri, percuma ngandalin sekolah, karena serba “instan”.
P: Bisa dibilangkah bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa merasa
kurang siap untuk UN adalah metode pengajaran sekolah yang "instan"?
Pr: Betul. Lalu, faktor mental juga. Aku sendiri juga merasakan, “malasnya
belajar buat UN”…
P: Hoo?
Pr: Faktor kecanduan social-network site… Faktor mental yang lain… Aku
menemukan beberapa temanku ngeluh, “Ah, udah lah, nggak sanggup lah gue
lihat rumus-rumus entah berantah kayak gini, entar dekat UN juga dapat
“kunci”…”, jadi otak mereka ter-set untuk menyepelekan belajar, karena sudah
tenang dengan “kunci”. Nanti, giliran kunci salah, baru kelabakan deh mereka…
wakakaka… sayangnya kunci kemarin benar.
P: Jadi dari awal mereka memang sudah berniat menggunakan kunci?
Pr: Sebagian iya, nggak semuanya, ya… bahkan, sebagian kecil yang berpikir
gitu: beberapa anak yang beli kunci karena mereka “terpaksa”… karena mereka
benar-benar nggak mampu dan kurang persiapan.
54
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
P: Jadi, mayoritas masih berusaha belajar dulu, ya… Tetapi, mereka tetap
menggunakan kunci jawaban?
Pr: Yep. Ada juga mereka beli kunci karena nggak PD [percaya diri] dengan
kemampuan diri sendiri… cuma sebagai pegangan doang buat jaga-jaga. Mereka
nggak yakin dengan diri mereka sendiri, Man… Mental anak didik di Indonesia
itu rata-rata mental penyontek. Dulu aku, pas SMA, ulangan-ulangan juga pernah
sih nyontek sekali-kali… Lama-lama aku mikir, nyontek itu cuma mematikan
karakter kejujuran kita… Jadi, pas kuliah, begitu dapat statement “mahasiswa
yang menyontek akan kehilangan status kemahasiswaannya” aku sudah nggak
kaget, karena aku sudah meng-set-kan diri untuk jujur dalam ujian. Lebih baik aku
ngulang, daripada aku lanjut ke tingkat lebih tinggi padahal aku belum mampu di
tingkat lebih basic-nya, ujung-ujungnya aku akan ngulang lagi.
Pr: Sistem pendidikan kita salah itu terutama karena kurangnya pendidikan budi
pekerti dan moral… Setahuku dulu bahkan ada pelajaran budi pekerti, nggak tahu
kenapa sekarang nggak ada... Pendidikan Pancasila dulu ada, sekarang malah
nggak ada, diganti Kewarganegaraan yang cenderung ke segi politis [sebenarnya
diganti menjadi PKn, Pancasila dan Kewarganegaraan —pewawancara]. Padahal
kalau pendidikan moral itu ditanamkan dari kecil, itu menumbuhkan pribadi-
pribadi baru sebagai generasi bangsa yang jujur, antikorup…
55
Lampiran D
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)
Pr: Nah, aku juga menilai faktor-faktor rusaknya moral anak-anak bangsa karena
lingkungan juga, media massa terutama… Sinetron-sinetron yang nggak
mendidik, dan kawan-kawan… Anak kecil itu kan dalam proses sosiologinya
cenderung “meniru”, kalau dari kecil yang ditiru negatif-negatif, sampai gede
perilakunya negatif juga.
P: Bisa jadi… Rasanya cukup itu saja, terima kasih atas partisipasinya.
Pr: OK…
56
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Amanda Kistilensa
Tanggal 16 November 1992 menandakan kelahiran
anak kedua dari Siswanda Harso Sumarto dan Hetifah
Sjaifudian di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Pada hari itu juga, anak perempuan itu diberi nama
Amanda Kistilensa. Seusai kelahirannya, ia tinggal di
Bandung bersama kedua orang tua dan kakaknya,
Amirah Kaca, dan dua tahun kemudian adiknya, Asanilta Fahda, lahir.
Sesudah melalui masa taman kanak-kanak, Amanda memasuki SD Islam
Ibnu Sina. Tidak lama kemudian, adiknya yang kedua, Nahla Tetrimulya, lahir.
Selama empat tahun ajarannya di sana, prestasinya cukup baik sebagai peraih
peringkat pertama tiap tahun. Pada akhir kelas empat, kedua orang tuanya
memutuskan melanjutkan studi mereka di Flinders University yang terletak di
Kota Adelaide, Australia, dan membawa keempat anak mereka ke sana.
Mengulangi kelas empat, Amanda memulai persekolahannya di Australia
di Flagstaff Hill Primary School bersama Asanilta yang berada di kelas dua. Pada
akhir kelas enam, ia memutuskan untuk berpindah ke sekolah menengah Pasadena
High School. Sebagai salah satu murid kelas tujuh yang jumlah totalnya hanya
tiga orang, ia dimasukkan ke kelas delapan. Pada akhir semester pertama,
57
keluarganya selain kakaknya kembali ke Indonesia, dan ia dipindahkan lagi ke
kelas sembilan.
Enam bulan kemudian, setelah empat tahun menimba ilmu di Australia, ia
beserta kakaknya kembali ke Indonesia. Amanda menjalani satu semester yang
singkat di SMPN 7 Bandung, sebelum diterima sebagai siswa SMAN 1 Bandung.
Salah satunya prestasinya adalah menjadi juara dua lomba spelling bee. Pada
tahun ketiganya di SMA, 2008, ia mengikuti ajang pemilihan Mojang-Jajaka Kota
Bandung dan menjadi Mojang Remaja Wakil ke-2. Tidak lama kemudian,
kelulusan tiba, dan Amanda melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Ia memulai kehidupan mahasiswanya di Universitas Kristen Maranatha,
jurusan Teknik Elektro. Meskipun Amanda amat menikmati perkuliahannya di
universitas tersebut, ia memutuskan untuk mengikuti USM Terpusat ITB, dan
mengambil peluang untuk menekuni bidang yang dirasa lebih cocok dengan
dirinya, sains. Kini, ia kembali menjadi mahasiswa tingkat pertama di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, dengan
harapan melanjutkan studinya di program studi Fisika.
58
Geavani Eva Ramadhania
Geavani Eva Ramadhania lahir di
Palembang pada tanggal 15 November 1992.
Geavani, yang biasa dipanggil Vani, merupakan
putri kedua dari pasangan Drs. H. Eddy Roflin
M.M. dan Hj. Tati Suhartati. Vani memiliki
seorang kakak bernama Ferani Eva Zulvia dan
adik bernama Abizard Bagas Putra. Dari kecil
hingga lulus SMA, ia tinggal bersama
orangtuanya di Palembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia melanjutkan
pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dan tinggal di Bandung bersama
kakak perempuannya hingga sekarang.
Vani memulai pendidikannya dengan bersekolah di TK dan SD Islam Az-
zahra, sebuah sekolah yang berada di bawah bimbingan Yayasan Al-Azhar
Jakarta. Pada tahun 2004, ia diterima di SMP Negeri 1 Palembang. Vani berada
dalam urutan ke-13 dari 40 siswa terbaik, sehingga ia diterima di kelas bilingual
di sekolahnya. Selama menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, ia
dan teman-temannya sering diminta untuk mewakili sekolahnya dalam
perlombaan-perlombaan dalam bidang akademis maupun nonakademis dengan
hasil yang cukup membanggakan. Ia juga aktif dalam Organisasi Intra Sekolah
yang biasa dikenal dengan singkatan OSIS.
59
Saat melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Palembang pada tahun
2007, ia kembali masuk ke dalam kelas unggulan. Namun, Vani tidak kembali
berpartisipasi dalam OSIS karena ingin mempersiapkan diri untuk menghadapi
Ujian Nasional dan ujian saringan masuk ke perguruan tinggi yang dia inginkan.
Tahun ini keinginannya terpenuhi saat ia diterima di perguruan tinggi terbaik
favoritnya yaitu Institut Teknologi Bandung. Saat ini ia masih menjalani
pendidikannya di perguruan tinggi tersebut. Vani memilih Fakultas Ilmu
Pengetahuan Alam. Ia mengikuti program beasiswa minat dan tahun depan ia
sudah ditetapkan akan dijuruskan ke jurusan Astronomi. Ia bercita-cita ingin
menjadi pimpinan di National Aeronautics and Space Administration (NASA),
Amerika Serikat. Ia juga mempunyai ambisi untuk mendirikan sebuah badan
antariksa negara di Indonesia berskala internasional dan mampu bekerja sama
dengan badan-badan antariksa lainnya di seluruh dunia. Karena ambisinya itulah,
ia memutuskan untuk memilih prodi Astronomi.