9

Click here to load reader

Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kinerja aparatur pemerintah dinilai menggunakan istrumen yang irelevan. Akibatnya, pelayanan publik pun menjadi terbengkalai dan kedaban publik di masa depan diragukan kualitasnya. Tulisan ini menguraikan bagaimana sebenarnya kinerja aparatur pemerintah dilakukan, apa kelemahannya, dan strategi dan solusi yang tepat untuk meretas permasalahan.

Citation preview

Page 1: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

Oleh ANTONIUS GALIH PRASETYO

Diskursus mengenai penilaian kinerja aparatur pemerintah di Indonesia dapat dikatakan

merupakan suatu nihilisme. Mengapa? Secara menohok pertanyaan ini langsung dapat

dijawab yaitu bahwa pada dasarnya dengan perangkat formal penilaian kinerja yang

digunakan pemerintah—yang disebut dengan DP3—tidak (akan) dapat digunakan untuk

mengalibrasi realitas yang ada secara obyektif dan adil.

Fakta awal di atas diyakini merupakan konsekuensi dari paradigma pemerintah yang

tidak pernah menganggap kinerja aparatur pemerintah dan pengukurannya sebagai suatu isu

yang penting dan strategis dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang berkualitas.

Tidak ada perangkat penilaian yang mampu menggambarkan kinerja secara nyata pada

tataran individu atau organisasi, bahkan penilaian pada tataran unit kerja tidak pernah

diadopsi pemerintah.

Muara dari pengabaian pemerintah akan pentingnya penyediaan instrumen penilaian

kinerja yang mampu menggambarkan kinerja riil tersebut adalah sebuah kebobrokan

nasional, yang terakumulasi dari tiap-tiap bencana publik yang setiap hari kita dengar. Dari

kerusakan jalan sampai kecelakaan pesawat tempur, dari budaya kerja yang buruk sampai

penegakan hukum yang berpihak. Sayang, para elite kurang sensitif untuk membaca

hubungan kausalitas antara penilaian kinerja yang asal-asalan dengan bencana publik yang

selama ini terjadi. Hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut memang

membutuhkan daya reflektif yang tinggi karena rentangan antara keduanya terentang dalam

kontinum yang cukup panjang. Rentangan yang panjang tersebut dikarenakan starting point

dari proses tersebut—yaitu penilaian kinerja aparatur—sesungguhnya mengandung dimensi

filosofis yaitu memajukan peradaban manusia. Dengan instrumen penilaian kinerja yang

sungguh memampukan pembacaan kinerja secara nyata, maka setiap birokrat akan

dirangsang untuk semakin berkembang ke arah yang positif sehingga tujuan profesi mereka

yang mulia—untuk menyukseskan tujuan-tujuan negara dan mengusahakan kemaslahatan

publik—dapat semakin besar probabilitas keberhasilannya.

Kembali kepada DP3 yang bermasalah dan banyak cacat tersebut. Sebenarnya mengapa

instrumen tersebut dikatakan tidak banyak memberi manfaat bahkan cenderung

Page 2: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

disalahgunakan? Dalam DP3 ada beberapa unsur yang dinilai, di antaranya kesetiaan,

ketaatan, dan pengabdian kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah; prestasi

kerja, dalam arti hasil-hasil kerja apa saja yang telah dicapai oleh pegawai; tanggung jawab;

ketaatan, yang dapat diterjemahkan sebagai taat terhadap perintah kedinasan yang diberikan

oleh atasan yang berwenang; prakarsa; dan kepemimpinan (khusus untuk pejabat struktural).

Terlihat dari unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 di atas, penilaian secara obyektif akan

sangat sulit untuk dilakukan untuk tidak mengatakan mustahil. Variabel-variabel dan materi-

materi penilaian dalam DP3 kurang diarahkan pada hasil kerja melainkan lebih kepada

penilaian karakter dan kepribadian pegawai, absurd (misalnya dalam hal kesetiaan kepada

dasar negara dan konstitusi), tidak kongruen dan selaras dengan visi-misi organisasi, tidak

bersifat diagnostik, dan tidak didasarkan pada rencana kerja atau kontrak kinerja. Akibatnya,

hasil akhir penilaian DP3 menjadi kurang valid dan tepercaya karena selain memiliki banyak

kelemahan sebagaimana yang telah disebutkan juga seringkali digunakan untuk kepentingan-

kepentingan tendensius seperti balas dendam atau pertimbangan like and dislike. Telah pula

menjadi rahasia umum bahwa faktor kesetiaan dan ketaatan terhadap atasan merupakan

faktor determinan yang mempengaruhi penilaian dari pihak penilai. Ini tentu dapat

menyuburkan budaya feodal, patrimonial, dan ABS (Asal Bapak Senang). Herannya,

meskipun berdasarkan survei baik pihak penilai maupun yang dinilai telah mengakui

inefektivitas instrumen DP3, nyatanya instrumen ini masih menjadi satu-saunya alat resmi

untuk mengukur kinerja aparat pemerintah.

Kelemahan DP3 akan semakin telanjang terlihat apabila kita menilik hakekat sejati dari

sebuah usaha penilaian kinerja. Pada dasarnya penilaian kinerja memiliki dua tujuan dan

fungsi utama, yaitu pengembangan (development) dan pertimbangan (judgmental) (Daley,

2005). Penilaian kinerja juga adalah merupakan pengukuran tingkat pencapaian hasil yang

diraih setiap aparat atau unit kerja dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Capaian

tersebut menunjukkan tingkat kesuksesan dari target-target yang telah disepakati sebelumnya.

Selain itu, penilaian kinerja juga digunakan untuk mengukur perilaku kerja dan kemampuan

setiap aparat atau unit kerja dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi. Lebih jauh, penilaian

kinerja juga dapat menumbuhkan pengembangan perilaku dan motivasi.

Nilai strategis dari sebuah penilaian kinerja yang tepat juga dikemukakan oleh Dean

Spitzer. Menurutnya, mengukur kinerja merupakan kunci untuk mencapai kinerja yang

tinggi, melakukan berbagai perbaikan, dan kesuksesan dalam usaha manusia.

Page 3: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

Di sisi lain, penilaian kinerja dilihat dan dipersepsikan banyak pihak sebagai sesuatu

yang menakutkan, mengancam, dan bersifat negatif. Hal ini terjadi karena di negeri ini tiap-

tiap usaha penilaian kinerja tidak berpulang dan dilandaskan pada dasar filosofisnya sebagai

usaha perbaikan peradaban manusia, melainkan semata-mata sebagai persoalan besar

kecilnya sebuah keberhasilan atau kesalahan dengan impikasinya reward and punishment.

Apabila semua pihak menyadari bahwa tidak semua hal dalam organisasi dapat dilihat secara

kasat mata dan bersifat fana, maka niscaya penilaian kinerja akan dipahami dan diinsafi

sebagai “meta-mata” (grand eyes), yang dapat memberikan petunjuk tentang hal yang harus

dilakukan oleh suatu organisasi pada masa depan sekaligus merupakan pengejawantahan dari

akuntabilitas organisasi karena ada komitmen yang diukur dalam proses itu. Menggunakan

pemahaman ini, lebih lanjut menurut Peter Senge penilaian kinerja juga dapat menimbulkan

peningkatan obyektivitas, mendorong konsistensi dalam organisasi, mendorong munculnya

feedback yang produktif, membantu usaha-usaha problem solving, dan mengetahui akar

masalah dalam organisasi.

Berdasarkan obyek yang dinilai, penilaian kinerja dapat dibagi menjadi dua macam.

Pertama adalah penilaian kinerja terhadap individu aparat dan kedua merupakan penilaian

kinerja atas organisasi.

Dengan melakukan penilaian kinerja terhadap individu aparatus, idealnya akan dapat

diketahui tingkat kontribusi seorang pegawai terhadap unit kerja atau tingkat kontribusi unit

kerja terhadap organisasi secara keseluruhan. Dalam penilaian ini, titik berat lebih ditekankan

kepada hasil atau capaian yang diperoleh dibandingkan dengan perilaku kerja. Penilaian ini

juga dapat dilakukan untuk mengetahui efektif tidaknya fungsi-fungsi pokok manajemen

sumber daya manusia dalam sebuah instansi.

Ada berbagai paradigma, pendekatan, atau model untuk mengadakan penilaian kinerja

aparat. Salah satunya adalah Model Campuran Manajemen Kinerja (Mixed Model of

Performance Management), yaitu mengukur kinerja pegawai dari dua sisi, yaitu perilaku

kerja (action performance) dan hasil kerja (achievement performance) (Daley, 2005). Maka

dengan menggunakan penilaian berdasarkan model ini, dapat diketahui tingkat capaian tugas

atau kegiatan dari setiap pegawai sekaligus tingkat dukungan perilaku kerja dan kompetensi

pegawai dalam proses pencapaian hasil. Dalam perspektif manajemen kinerja kedua

informasi ini menduduki posisi yang sama penting sehinggga model ini dapat dikatakan salah

Page 4: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

satu model yang terbaik untuk mengukur kinerja aparatur karena mampu mengakomodasi

pembacaan akan kedua hal tersebut.

Konsepsi lain yang penting dari wacana penilaian kinerja menggunakan model ini adalah

prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Timeframed). Pusat

perhatian penilai ditujukan kepada lima sifat yang terangkum dalam akronim SMART

tersebut. Specific artinya hasil dan perilaku yang diharapkan harus jelas dan dapat dipahami

pegawai, Measurable artinya penilaian-penilaian yang dilakukan harus dapat diukur baik

secara kuantitatif maupun kualitatif, Achievable artinya tugas-tugas yang dibebankan kepada

pegawai tidak melebihi batas kemampuan pegawai tersebut, Relevant artinya tugas yang

dinilai harus dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi unit kerja atau unit

organisasi, dan Timeframed artinya tugas yang diberikan dapat dilaksanakan dalam kurun

waktu yang telah ditetapkan (Conrey, 2005).

Agar kelima prinsip tersebut dapat terkawal dengan baik dalam proses penilaian,

pegawai dapat mengantisipasinya dengan membuat catatan kerja harian yang didasarkan pada

kontrak kinerja dan penentuan pekerjaan yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi

serta batas waktu yang jelas. Apabila hasil penilaian pada akhirnya menunjukkan hasil yang

dirasa kurang obyektif, pegawai dapat melakukan feedback dengan menunjukkan catatan

kerja hariannya tersebut. Agar semakin obyektif, penilaian kinerja juga idealnya dilakukan

dengan melibatkan multipenilai dalam sistem penilaian 360 derajat untuk menghindari bias

dan didasarkan pada data serta info yang akurat. Dalam sistem penilaian ini, penilaian tidak

hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan melainkan juga oleh bawahan terhadap atasan

atau setidaknya penilaian oleh sesama pegawai (peer to peer).

Jenis kedua penilaian kinerja berdasarkan obyek yang dinilainya adalah penilaian kinerja

organisasi. Di lingkungan instansi pemerintahan Indonesia, penilaian kinerja organisasi

belum dilakukan meskipun mandat untuk melakukannya telah sejak lama ditetapkan yaitu

melalui Inpres No 13 tahun 1998 Tentang Pengusulan, Penetapan dan Evaluasi Organisasi

Pemerintahan.

Absennya penilaian kinerja organisasi ini mempunyai implikasi yang serius di daerah.

Karena kinerja instansi-instansi di daerah tidak ada yang menilai, mengawasi, dan

mengevaluasi maka sistem akuntabilitas publik pun menjadi macet sehingga pada akhirnya

instansi di daerah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan tugas-

tugasnya. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka sebuah tragedi mismanajemen akan

Page 5: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah

terjadi sebab tiap tahun anggaran publik hanya akan hilang tak berarti dalam jumlah yang

besar karena praktik-praktik pemborosan, penyalahgunaan, dan korupsi. Akibat lain dari

peniadaan penilaian kinerja organisasi adalah merosotnya kapasitas organisasi dan

bangkitnya rasa distrust masyarakat terhadap pemerintah daerah.

Dengan segala silang sengkarut permasalahan mengenai usaha penilaian kinerja aparatur

dan organisasi pemerintahan di Indonesia tersebut, apa dan bagaimana solusi yang tepat

untuk mengatasinya? Apa cara yang harus dilakukan agar penilaian kinerja yang dilakukan

sungguh dapat memetakan dan menginformasikan realitas?

Pertama, perlu dilakukan penyusunan instrumen penilaian kinerja terhadap unit kerja,

sesuai dengan yang dimandatkan oleh UU No 25 Tahun 2004 dan UU No 32 tahun 2004.

Penerapan instrumen ini akan memberikan perubahan paradigma secara mendasar sebab

apabila unit kerja yang menjadi obyek penilaian, maka niscaya pejabat akan lebih

menghargai bawahannya sebab penilaian atas suatu unit kerja merefleksikan pula

kemampuan seorang kepala unit. Pemimpin akan menyadari bahwa mau tak mau

keberhasilan dan pencapaian tujuan unit kerjanya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri

melainkan membutuhkan pula kontribusi pegawai secara signifikan.

Kedua, dilakukan sebuah pendekatan diagnostik dalam penilaian kinerja. Dalam model

ini, baik entitas individu maupun unit kerja harus memberikan input perbaikan. Caranya

adalah dengan memasukkan pendekatan diagnostik tersebut ke dalam instrumen penilaian

kinerja, yaitu mengidentifikasi tiga faktor determinan yang menentukan baik buruknya

kinerja: capacity to perform, willingness to perform, dan opportunity.

Ketiga, instansi pemerintah yang masih stagnan dengan model konvensional penilaian

kinerja ala DP3 hendaknya berani melakukan terobosan dalam hal penilaian kinerja demi

perbaikan dan perkembangan instansi itu sendiri dan dalam tujuannya yang lebih mulia, demi

perbaikan kualitas hidup masyarakat serta peningkatan harkat dan martabat negara.

Penerapan Balanced Score Card sebagai teknik penilaian kinerja kontemporer yang sudah

diadopsi oleh KPK dan beberapa BUMN hendaknya dapat dijadikan benchmark, karena

terbukti dengan instrumen tersebut kualitas instansi yang menggunakannnya dapat terus

terjaga dan bahkan meningkat, selain tentunya instrumen tersebut bersifat lebih obyektif dan

memenuhi rasa keadilan.

Page 6: Menyimak Kinerja Aparatur Pemerintah