Upload
adminpadzandfriends
View
1.386
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sejarah SMA 1 Yogyakarta mulai sejak bernama Algemene Middelbare School (AMS A), SMT A dan B, SMA A Yogyakarta hingga menjadi SMA Teladan Yogyakarta
Citation preview
MENELUSURI PERJALANAN SEJARAH SMA 1 YOGYAKARTA
Sebuah Tinjauan Holistik
Oleh Admin Padz and Friends1
SMA Negeri 1 “Teladan” Yogyakarta pada tahun 2012 merayakan ulang tahunnya yang ke-55. Banyak
yang mengira sejarah sekolah ini baru dimulai 55 tahun yang lalu, namun sebenarnya sejarah SMA
tersebut dapat ditelusuri sampai ke masa kolonial Belanda. Naskah ini akan memaparkan perjalanan
sejarah SMA Negeri 1 Yogyakarta, mulai dari berdirinya Algemeene Middelbare School pada masa
penjajahan Belanda hingga terwujudnya SMA Teladan Yogyakarta pada tahun 1957. Dipaparkan juga
cerita mengenai beberapa institusi lain serta berbagai peristiwa yang turut mewarnai perjalanan sejarah
SMA negeri ini. Semuanya diharapkan dapat memberikan cerita yang utuh mengenai sejarah dibalik
lahirnya SMA Negeri 1 “Teladan” Yogyakarta, beserta gambaran suasana setiap era yang pernah
dilaluinya.
Pengantar
Setiap sekolah tentu memiliki sejarah. Begitu pula dengan SMA Negeri 1 Yogyakarta. SMA yang di tahun
2012 ini memasuki usia ke-55 tahun telah melahirkan banyak cerita, dari 55 generasi yang pernah
mengecap pendidikan di sekolah ini. Namun di balik berdirinya SMA Teladan, ada kisah lain yang jarang
diungkap.
SMA Teladan Yogyakarta tidaklah muncul begitu saja. Sebelumnya ia adalah SMA A Yogyakarta. Ditarik
jauh ke belakang, ia adalah Algemene Middelbare School di jaman Belanda. Dalam rentang tiga jaman,
antara masa penjajahan, revolusi fisik dan era kemerdekaan, tentunya ada banyak kisah yang melingkupi.
Kisah-kisah yang sayang jika terlupakan begitu saja.
Didorong keinginan untuk melengkapi sejarah SMA 1 Yogyakarta, yaitu sejarah sebelum tahun 1957,
penulis melakukan studi pustaka intensif dan menyatukan berbagai cerita dari berbagai sumber untuk
merangkai sebuah kisah yang utuh. Diharapkan potongan-potongan cerita yang tersaji dapat
memberikan suatu gambaran jelas tentang perjalanan sejarah sekolah ini.
Era Kolonial Belanda
Pendidikan menengah di Hindia Belanda sejatinya telah dimulai sejak abad 19, dengan didirikannya HBS
atau Hogere Burger School, suatu sekolah lanjutan yang lama pendidikannya ditempuh dalam waktu 5
tahun. Namun kisah ini baru dimulai pada awal abad ke-20, ketika untuk pertama kalinya didirikan
Algemene Middelbare School di bumi pertiwi.
1 Penulis adalah administrator sekaligus pengarang tumblr Padz and Friends. Email: [email protected]
Algemene Middelbare School secara harfiah berarti Sekolah Menengah Umum. AMS merupakan sekolah
era Belanda yang setingkat dengan SMA, dengan lama pendidikan 3 tahun. AMS pertama kali didirikan di
Yogyakarta pada tahun 1919. Selanjutnya pada tahun 1920 didirikan AMS di Bandung, dan pada tahun
1926 AMS didirikan di Surakarta.
Awalnya ada tiga jenis AMS. Atau dalam bahasa Belanda, ada tiga afdeeling.
AMS afdeeling A-1 khusus mempelajari sastra klasik timur. AMS yang didirikan di Surakarta pada
tahun 1926 adalah AMS tipe ini.
AMS afdeeling A-2 khusus mempelajari sastra klasik barat. AMS yang didirikan di Bandung pada
tahun 1920 adalah AMS tipe ini.
AMS afdeeling B khusus mempelajari ilmu pasti. AMS yang didirikan di Yogyakarta pada tahun
1919 adalah AMS tipe ini. (Dhakidae, 2003, hal. 97)
Selain di tiga kota tersebut, AMS juga didirikan di kota-kota lain seperti Batavia, Semarang, Medan,
dsb. Sebagian besar AMS yang ada masuk ke dalam jenis ketiga atau afdeeling B. Hanya AMS
Bandung dan AMS Surakarta yang siswa-siswanya fokus mempelajari sastra-humaniora.
Pada tahun 1930-an , AMS A-1 Surakarta dan AMS A-2 Bandung dilebur menjadi satu (Legge, 2010).
Hasil dari penggabungan tersebut disebut AMS afdeeling A. AMS A ini kemudian ditempatkan di
Yogyakarta, tepatnya di boulevard dr.Jap , daerah Terbantaman. Gedung yang dahulu ditempati oleh
AMS A sekarang menjadi gedung SMP 1 Yogyakarta.
Dengan penggabungan tersebut, AMS afdeeling A Yogyakarta menjadi satu-satunya AMS yang
menawarkan jurusan Sastra. Selain itu, Yogyakarta menjadi satu-satunya kota yang memiliki dua
buah AMS. AMS afdeeling B Yogyakarta yang lebih dulu berdiri, serta AMS afdeeling A Yogyakarta.
AMS A dan AMS B Yogyakarta dikenal masyarakat sebagai sekolah yang terkemuka, tak hanya di
bidang akademis tapi juga di bidang olahraga. Untuk mengasah kemampuan di bidang tulis-menulis,
siswa kedua sekolah tersebut didorong untuk membuat karangan. Hasil karya mereka kemudian
dimuat dalam majalah Vox Populi Vox Dei. Majalah ini adalah majalah sekolah milik kedua AMS
tersebut, dan terbit sekali setiap bulan. (Anwar, 2010)
Sebagai satu-satunya AMS A di Indonesia, tak ayal AMS A Yogyakarta menjadi tempat menimba ilmu
pelajar dari penjuru Nusantara. Lulusan AMS A ini banyak yang menjadi tokoh penting dalam
perjalanan bangsa Indonesia di kemudian hari. Beberapa tokoh ternama yang pernah bersekolah di
AMS A antara lain Hoegeng (mantan Kapolri), Rosihan Anwar (tokoh pers nasional), Burhanuddin
Harahap (mantan Perdana Menteri Indonesia ), dan Usmar Ismail (sineas ternama, sutradara film
“Lewat Jam Malam”) (Santoso, 2009).
Alumni dari AMS A dan AMS B Yogyakarta tergabung dalam sebuah keluarga yang bernama
ARGABAGYA (Keluarga Bagian A dan B Yogya).2
Akhir dari Penjajahan Belanda
Perang yang melanda daratan Eropa pada tahun 1939, disusul dengan pendudukan Jerman atas
negeri Belanda di tahun 1940, turut meningkatkan ketegangan di kawasan Asia-Pasifik. Hindia
Belanda bersiap menghadapi kemungkinan invasi Jepang.
Serangan angkatan udara Jepang terhadap pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour pada 7
Desember 1941 adalah tanda bahwa peperangan semakin mendekat. Sehari kemudian, tentara
Jepang mulai menyerang Malaya dan Filipina. Pemerintah Hindia Belanda pun menyatakan perang
terhadap Jepang. Suasana menjadi tegang, terutama bagi warga Hindia Belanda berkebangsaan
barat. Di AMS, pelajaran tetap berlangsung, tetapi diselingi latihan LBD (luchtbeschermingsdienst,
pertahanan serangan udara). Pada saat latihan, guru dan murid masuk ke parit-parit perlindungan
sampai sirene membunyikan tanda all clear.
Latihan LBD ini tidak sampai harus dipraktekkan. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di
pantai utara Jawa. Beberapa pesawat pemburu Jepang sempat terlihat terbang di atas kota
Yogyakarta, tetapi tidak ada serangan yang terjadi. Perlawanan pihak Belanda dengan mudah
dipatahkan. Pada tanggal 6 Maret 1942, pasukan Jepang memasuki kota Yogyakarta. Dua hari
kemudian, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat. (Soeprono, 1997)
Masa penjajahan Belanda yang berakhir dengan cepat ini turut berdampak pada dunia pendidikan.
Guru-guru berkebangsaan Belanda ditahan dan dimasukkan ke kamp interniran. Praktis kegiatan
belajar mengajar sangat terpengaruh3. Sekolah-sekolah ditutup tanpa formalitas apapun.
Gedung AMS A di boulevard dr.Jap diambil-alih tentara Jepang. Dari bulan Maret 1942 sampai bulan
Mei 1942, gedung ini dijadikan penjara untuk menahan orang-orang Belanda.
2 Jamak diketahui pada saat ini bahwa keluarga Argabagya adalah keluarga alumni dari AMS B Yogyakarta. Meski demikian beberapa tokoh seperti Hoegeng, Rosihan Anwar, dan Marsekal H.M Soedjono yang notabene merupakan alumni AMS A, ternyata juga tergabung dalam keluarga Argabagya. Hal ini, diperkuat dengan keterangan mengenai kepanjangan ‘Argabagya’ , mengindikasikan bahwa keluarga Argabagya adalah keluarga alumni milik AMS A dan AMS B (lihat lampiran). 3 Pada saat itu, sebagian besar guru AMS berkebangsaan Belanda. Pada awal tahun 40-an, di AMS B hanya ada satu
guru pribumi, yaitu Bapak Katamsi yang mengajar Seni Rupa. Keadaan di AMS A tidak jauh berbeda.
Periode S.M.T dan Masa Penjajahan Jepang
Kedatangan Jepang ke tanah air membawa perubahan besar dalam berbagai sendi kehidupan
bangsa Indonesia. Istilah-istilah berbau Belanda, digantikan istilah dalam bahasa Indonesia maupun
bahasa Jepang. Algemene Middelbare School yang ditutup pada bulan Maret, dibuka lagi pada
pertengahan tahun dengan nama baru, yaitu Sekolah Menengah Tinggi atau disingkat SMT. AMS A
dan AMS B Yogyakarta dijadikan satu dan ditempatkan di kawasan Kotabaru, jalan Taman Krida
nomor 7 (Gedung AMS B). Pada saat dibuka kembali, SMT memiliki 524 murid, yang dulu
merupakan murid AMS A dan AMS B. Tenaga pengajar berjumlah 14 orang. Pimpinan SMT adalah
bapak R.J Katamsi. (Suwarno, 1994)
Semua guru SMT Yogyakarta berkebangsaan Indonesia. Tentunya juga demikian di sekolah lain.
Pada hari pertama sekolah dibuka kembali, mereka diperkenalkan kepada semua murid yang
berkumpul di halaman dalam SMT.
Di antara guru-guru SMT, empat diantaranya masih berstatus sebagai mahasiswa. Arjono dan
Wahjoe yang ditugasi mengampu mata pelajaran Kimia, berasal dari Geneeskundige Hoogeschool4 di
Jakarta. Begitu juga dengan Soejatno yang ditugasi mengampu mata pelajaran Botani. Sedangkan
Soedarto dari Technische Hoogeschool 5 Bandung mengajar Fisika dan menggambar mistar.
Selain keempat orang tadi, masih ada Ir. Marsito dan Ir. Soemarman yang mengajar ilmu pasti.
Bahasa Indonesia ditangani oleh Bapak I.P Simandjoentak dan Bapak Wardojo. Bapak Soegarda
Poerbakawatja mengampu mata pelajaran sejarah. Mata pelajaran ekonomi diajarkan oleh Mr.
Wijono. Mata pelajaran ilmu alam diampu oleh Ir.Soemani. Bahasa Jepang dan Olahraga ditangani
oleh Oemar Slamet dan Hardjoko. Sedangkan Sastra Jawa diampu oleh Soemadi Soemowidagdo. Tak
lupa, bapak R.J Katamsi selain berperan sebagai direktur sekolah juga mengampu mata pelajaran
seni rupa. (Soeprono, 1997, hal. 60-61)
Saat itu kualitas pendidikan di SMT mengalami penurunan, lebih-lebih untuk bagian A. Tenaga
pengajar bangsa Indonesia yang berpengalaman mengajar bagian A sangat sedikit. Karenanya, mata
pelajaran yang menjadi ciri khas bagian A seperti sejarah kebudayaan, sejarah kesenian tidak dapat
diajarkan. Selain itu, pengajaran bahasa asing terkendala kebijakan Jepang yang menghapuskan
segala hal berbau barat. (Penerangan, 1953, hal. 766)
Pada masa penjajahan Belanda, siswa AMS diwajibkan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman
dan Perancis, ditambah bahasa Latin dan Yunani untuk siswa AMS A. Hal tersebut berubah saat
Jepang datang. Di bawah kontrol pihak Jepang, siswa SMT hanya diajarkan pelajaran Bahasa
Indonesia, Bahasa Jepang dan Sastra Jawa.
Kontrol yang dilakukan Jepang tidak terbatas pada pengajaran bahasa saja. Saat itu, proses belajar
mengajar diawasi dengan ketat oleh Jepang. Kerap kali guru-guru menerima gemblengan dari pihak
Jepang. Segala peraturan yang ada harus sesuai dengan kehendak Jepang. Materi yang akan
4 Cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5 Sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung
diajarkan harus disusun dan dibicarakan terlebih dahulu dengan pihak Jepang. Mata pelajaran
seperti Ilmu Bumi dan Sejarah disensor oleh Kenpeitai (Polisi Militer) dan Sendenbu (Barisan
Propaganda). Maka hampir semua pelajaran, kecuali yang bersifat ilmu pasti dan bahasa
Indonesia/daerah, tidak lepas dari campur tangan Jepang.
Dalam kegiatan sehari-hari, siswa-siswi SMT juga tak lepas dari gemblengan Jepang. Setiap pagi
mereka diwajibkan berkumpul, kemudian melakukan Seikerei (menghormat kepada Kaisar Jepang di
Tokyo) dilanjutkan dengan Taiso (senam ala Jepang) bersama-sama. Pelajaran berbaris secara militer
diberikan kepada siswa setiap Minggu sekali. Sesekali diadakan Kinrohoshi atau kerja bakti.
Menanam biji jarak, mencangkul, membersihkan alat-alat pabrik, kerap kali harus dikerjakan dari
jam 8 pagi sampai pukul 4.30 petang. Kerap kali diharuskan juga, seluruh SMT berdiri berjam-jam di
tepi jalan, menunggu datangnya pembesar Jepang. Saat tamunya lewat, tiap-tiap murid dengan
memegang bendera kecil harus mengangkat tangannya ke atas sambil menyerukan, “Banzai...
Banzai... Banzai...” (Penerangan, 1953, hal. 755)
Keadaan yang demikian membuat kehidupan sekolah diliputi rasa tidak tenang dan takut. Inisiatif
dan keberanian pengajar menjadi lenyap. Murid-murid pun demikian. Mereka yang datang dari jauh,
murid-murid yang berasal dari golongan kurang mampu, serta murid-murid yang datang dengan
maksud menambah pengetahuan, semuanya mengeluhkan rutinitas yang dipaksakan Jepang kepada
mereka. Jika ada murid yang dengan patuh mengucap sumpah setiap pagi, seikerei, dilanjutkan taiso
dan kemudian menerima petunjuk yang jelas dan tegas mengenai Kinrohoshi, menanam jarak dan
sebagainya. Maka yang sebenarnya dilakukan pada waktu itu hanya sandiwara belaka. Tidak
seorangpun yang melakukannya dengan keinsyafan dan senang hati.
Di tengah suasana yang keruh tersebut, dirasa perlu ada sebuah kekuatan yang berupa persatuan
lahir batin untuk memperkekal persaudaraan dan kemauan tolong menolong antara murid dan guru.
Maka dari hati para siswa, muncullah kemauan keras untuk mendirikan perkumpulan keluarga SMT
Yogyakarta. Akhirnya, tiga bulan setelah dibuka, lahirlah keluarga pelajar SMT Yogyakarta yang
diberi nama “Padmanaba”. (Penerangan, 1953, hal. 756)
Lahirnya Padmanaba
Kelahiran nama Padmanaba tidak dapat dilepaskan dari pancaran kebijakan dan kearifan seorang
Katamsi.
Pada awal tahun ajaran 1942 Pak Katamsi, yang disamping direktur SMT juga menjadi guru melukis,
mengajarkan cara menggambar teratai/lotus dengan daun bunga berwarna merah (padma), dalam
bentuknya yang masih kuncup. Beliau menerangkan apa arti padmasana (tahta atau tempat duduk
berbentuk teratai) dan apa arti padmanaba (sesuatu yang pusatnya berbunga teratai). (Soeprono,
1997, hal. 62)
Teratai merah dalam bahasa Sansekerta disebut Padma. Dalam riwayat agama dan kepercayaan
bangsa-bangsa Timur, Padma merupakan lambang sakral yang banyak menyangkut aspek
kehidupan manusia. Kuncup merah mengarah ke atas melambangkan kekuatan yang membumbung.
Teratai memberikan perlambang kehidupan yang mengikuti irama hidup. Apabila air pasang akan
ikut naik dan ketika air surut akan ikut turun. Teratai tumbuh di lingkungan yang kotor, berlumpur,
dangan akar serabut yang saling mengait, tetapi bunga teratai tetap bersih, indah dan tidak
tercemar oleh lingkungannya. Ini melambangkan ketikdakterikatan manusia kepada kehidupan
lahiriah.
Susunan kombinasi pertumbuhan daun dan bunga teratai indah dan sempurna serta serasi dengan
alam lingkungan di tempat tersebut tersebut hidup. Ini melambangkan suatu harmoni kehidupan
yang serasi, sesuatu yang tumbuh kembang sebagai bagian lingkungannya namun tidak tercemar
olehnya. Padma melambangkan kesucian dan keberanian, namun keindahannya tetap terjangkau
oleh siapapun, bahkan yang paling rendah dan hina sekalipun.
Dalam agama Buddha sikap duduk Sang Buddha Gautama pada waktu bersemedi melambangkan
posisi seperti bunga teratai dan duduk di atas singgasana teratai (padmasana).
Dalam agama Hindu,dikatakan Padma tumbuh dari pusar Dewa Wisnu, yang ketika terbangun dari
semedinya di atas ananta, menerima wahyu bahwa melalui padma tersebut akan lahir Dewa
Brahma. Padma yang keluar tersebut merupakan perlambang keberanian, kesucian, dan kemajuan.
Dalam babad pewayangan, Dewa Wisnu dan Batara Kresna sebagai titisannya disebut Padmanaba.
Kuncup Padmanaba melambangkan cita-cita pertumbuhan manusia yang suci, beriman, dan
bertaqwa. (Harmanto & Sardadi)
Tugas menggambar ini diberikan kepada semua kelas, sehingga nama “Padmanaba” beserta filosofi
dari bunga Padma menjadi terkenal di kalangan pelajar SMT. Pada akhirnya, ketika pelajar SMT
Yogyakarta bersepakat untuk membentuk keluarga pelajar, nama inilah yang dipakai sebagai nama
bagi organisasi yang baru lahir tersebut.
Secara resmi, keluarga pelajar “Padmanaba” lahir pada 19 September 1942. Logo organisasi
berbentuk Padma, dengan dua kelopak bunga dan delapan daun yang tersusun dalam dua lapis yang
bertolak belakang. Logo ini dibuat oleh Suhud, dengan dibantu oleh Soelaiman. Logo ini kemudian
diwujudkan dalam bentuk insigne/lencana untuk dipakai di baju para pelajar SMT. Dengan demikian,
Padmanaba kemudian menjadi lambang identitas SMT Yogyakarta. Sebagai ketua Padmanaba yang
pertama, muncullah nama Djarot Soebijantoro6. Setelahnya, keluarga Padmanaba berganti pimpinan
dan kepengurusan setiap tahun7.
6 Kelak setelah lulus dari SMT, Djarot Soebijantoro menjadi pejuang ternama. Sepak terjangnya diabadikan di
Monumen Mayangkara, Surabaya. 7 Jika dibandingkan, posisi Padmanaba pada saat itu kurang lebih seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) pada
masa kini.
Kehidupan Pelajar S.M.T
Hidup di bawah penindasan Jepang tidak menjadikan pelajar SMT patah semangat. Lebih-lebih
setelah para siswa menyatu dalam ikatan keluarga Padmanaba. Sedapat mungkin, keseharian
dijalani dengan tetap bersuka cita dan bergembira, seperti tergambar dalam cuplikan otobiografi
R.Soeprono (alumnus 1944) berikut ini:
‘Pergaulan antamurid dan hubungan guru-murid berjalan baik dan akrab. Pada pertemuan-
pertemuan sekolah, Soehoed dari bagian A yang pandai melawak, selalu saja menirukan gaya,
langkah, dan suara Pak Soemadi Soemowidagdo yang luwes keputri-putrian. Disambut ketawa ria
semua yang hadir, termasuk yang bersangkutan. Beliau tidak pernah marah atau menunjukkan
sikap tersinggung.’ (Soeprono, 1997, hal. 61-62)
Walaupun kegiatan pelajaran di kelas menjadi terganggu akibat ulah campur tangan Jepang, tetapi
aksi pelajar SMT di lapangan tidak ikut terpuruk, bahkan nyaris tidak terpengaruh. Melanjutkan
tradisi di masa AMS, pelajar SMT Yogyakarta dikenal masyarakat sebagai jagoan-jagoan olahraga.
Kegiatan olahraga kala itu bahkan lebih semarak dibandingkan saat ini. Atletik, sepakbola, bola
tangan, basket, baseball, rounders, pingpong, badminton dan berenang adalah olahraga yang sering
dilakukan para pelajar SMT. Di setiap cabang muncul prestasi-prestasi yang membanggakan. Tim
Baseball SMT Yogyakarta pernah melawan tim dari SMT Semarang, dengan hasil yang tidak
mengecewakan. Setelah persaingan ketat, akhirnya SMT Yogyakarta berhasil menundukkan
tamunya dari Semarang di inning ketujuh, berkat keuletan Askar Djundjunan yang menjadi pitcher.
Dalam dunia sepakbola, SMT sudah demikian terkenal di Yogyakarta. Banyak pelajar SMT yang turut
bermain membela PSIM di dekade 40-an. Tim sepakbola SMT sendiri kerap didatangkan ke penjuru
Jawa untuk bertanding, dengan hasil yang tidak mengecewakan. Hanya T.R.I.P Jawa Timur yang
mampu menundukkan tim SMT. (Penerangan, 1953, hal. 759-760)
Di atas itu semua, kewajiban utama para pelajar tetap dapat ditunaikan dengan baik. Ketika lulus,
banyak pelajar SMT yang lolos tes masuk dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Utamanya adalah
Koukyou Daigaku 8 Bandung dan Ika Daigaku 9 Jakarta. Di masa pasca kemerdekaan, perguruan
tinggi di Yogyakarta seperti Sekolah Tinggi Teknik dan Perguruan Tinggi Kedokteran juga dipenuhi
pelajar dari Jogja. (Penerangan, 1953, hal. 758)
Selain itu, ada juga pelajar SMT yang meninggalkan sekolah untuk bergabung dengan angkatan
pertama PETA. Setelahnya mereka menjadi Shodan-cho dan dikemudian hari menjadi perwira ABRI.
8 Nama dari Institut Teknologi Bandung di masa penjajahan Jepang
9 Hasil peleburan Geneeskundige Hoogeschool Batavia dan Nederland Indische Artsen School Surabaya. Cikal bakal
FK UI dan FK UGM.
Fajar Kemerdekaan Indonesia
Situasi perang Pasifik yang semakin menyudutkan pihak Jepang membawa dampak langsung di
daerah jajahannya. Memasuki tahun kedua pendudukan, kebijakan yang diambil Jepang semakin
menyudutkan rakyat. Hilang sudah kebijakan populis berbau propaganda yang di awal masa
pendudukan Jepang sering didengungkan demi menarik simpati rakyat. Yang ada sekarang petani
dipaksa menyerahkan sebagian hasil taninya untuk kepentingan perang. Tak jarang juga, tentara
Jepang merampas makanan dan harta benda milik rakyat. Di lain pihak, serangan udara sekutu
sudah mulai merambah wilayah Indonesia.
Pergolakan yang terjadi di luar turut mempengaruhi kehidupan siswa-siswa SMT. Tembok kokoh
tidak dapat menghalau rasa cemas, menghadapi hari depan yang tak pasti. Memasuki tahun 1945,
posisi direktur sekolah diganti. Figur Bapak Katamsi yang lembut dan njawani digantikan oleh Bapak
Soegarda Poerbakawatja yang lebih tegas dan keras. (Soeprono, 1997, hal. 61)
Pada masa kepemimpinan Bapak Soegarda, disiplin Jepang lebih ditekankan dan dilaksanakan.
Kegiatan kinrohoshi ditingkatkan, membuat pelajaran semakin tertinggal. Hubungan guru dan murid
pun tegang. Murid-murid memandang guru sebagai ‘musuh’, karena merupakan alat penjajah.
Padahal apa yang dilakukan oleh sekolah terhadap murid-muridnya sebenarnya bertentangan
dengan kemauan dan pendirian para pendidik itu sendiri. Sekolah terpaksa tunduk menghadapi
tekanan Jepang yang semakin keras.
Keadaan semakin keruh akibat penangkapan-penangkapan yang dilakukan kenpeitai. Pada masa itu,
pandangan fasis Jepang mengakibatkan polisi militer memiliki wewenang yang luar biasa. Siapapun
dapat ditangkap tanpa proses, akibatnya banyak orang yang dijebloskan ke tahanan atas tuduhan
anti-Jepang. SMT Yogyakarta juga tidak lepas dari suasana saling curiga, mengakibatkan hubungan
kekeluargaan antara murid dan guru menjadi rusak. Puncaknya adalah ketika Pak Hardjoko, guru
olah raga yang populer dikalangan pelajar SMT, disekap dan mendapat siksaan kejam dari kenpeitai.
(Penerangan, 1953, hal. 761)
Suasana seperti ini berlanjut sampai pertengahan tahun 1945, ketika perang Pasifik diakhiri secara
paksa oleh dua ledakan bom atom di bulan Agustus. Menyusul berita tentang menyerahnya Jepang
kepada sekutu, para pemimpin bangsa segera bertindak. Detik-detik proklamasi pun akhirnya
berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945.
Di Yogyakarta, berita kemerdekaan sampai melalui transmisi radio pada hari itu juga, sekitar pukul
12 siang. Namun petugas kantor berita Domei cabang Yogyakarta tidak dapat menyebarluaskannya
karena larangan Jepang. Meskipun Jepang sudah menyerah, tetapi tentara Jepang di daerah jajahan
masih memiliki kontrol dan kekuatan yang cukup.
Sehari setelah proklamasi, warga Jogja masih berada di tengah kebingungan. Desas-desus tentang
kemerdekaan sudah mulai terdengar, beredar dari mulut ke mulut serta sempat juga disampaikan
dalam khotbah Jumat sehari sebelumnya. Baru pada tanggal 19 Agustus 1945 masyarakat
Yogyakarta mendapat kepastian. Hari itu harian Sinar Matahari 10 Yogyakarta memuat berita
Proklamasi Kemerdekaan, bersama dengan undang-undang dasar yang telah disahkan PPKI pada 18
Agustus. Sehari kemudian, harian yang sama memuat sambutan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
mengenai Proklamasi Kemerdekaan, yang intinya menghimbau seluruh bangsa Indonesia untuk
berkorban demi kepentingan bersama, yakni menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan
nusa dan bangsa. Selanjutnya, sebagai luapan kegembiraan rakyat, bendera Merah Putih segera
dikibarkan dimana-mana.
Pengibaran sang Merah Putih di Yogyakarta mencapai puncaknya dengan dikibarkannya Merah
Putih di gedung Chokan Kantai (Gedung Agung). Pada tanggal 21 September 1945, beberapa
pemuda bermaksud mengganti bendera Hinomaru yang berkibar di Gedung Agung dengan bendera
Merah Putih. Usaha ini berhasil dicegah tentara Jepang, kemudian para pemuda tersebut
dibubarkan. Namun pada siang harinya, ribuan massa rakyat datang mengepung Gedung Agung.
Dengan bersenjatakan bambu runcing, golok, pentung, sambil meneriakkan seruan “Merdeka!”,
massa rakyat berhasil menerobos pertahanan Jepang. Hari itu juga sang Merah Putih berkibar di
Gedung Agung.
Peristiwa pengibaran tersebut menandai mulai runtuhnya kekuasaan Jepang di Kota Yogyakarta.
Setelah berkibarnya bendera Merah Putih di Gedung Agung, perjuangan dilanjutkan dengan
pengambilalihan kantor-kantor pemerintahan yang dikuasai Jepang. Pada tanggal 26 September,
secara serentak terjadi perebutan kekuasaan oleh segenap pegawai kantor-kantor, perusahaan-
perusahaan, serta pabrik-pabrik yang masih berada di bawah kekuasaan bangsa asing. Insiden dan
bentrokan terjadi, namun akhirnya sampai pukul 22.00 semua pimpinan kantor, perusahaan dan
pabrik sudah berada di tangan bangsa Indonesia.
Perjuangan rakyat terus berlanjut, selanjutnya yang menjadi target adalah markas dan gudang
senjata tentara Jepang di Kotabaru. Pada tanggal 6 Oktober malam, diadakan negosiasi antara pihak
Indonesia dengan pihak Jepang. Perwakilan Indonesia mendesak agar tentara Jepang menyerahkan
senjata mereka. Sementara itu bersamaan dengan berlangsungnya perundingan, ribuan rakyat dan
pemuda bergerak ke arah Kotabaru. Sebagian besar bersenjata sekedarnya, seperti golok, pedang,
bambu runcing , dan lain-lain. Yang membawa senjata api hanyalah pasukan Polisi Istimewa dan TKR.
Sambil menunggu hasil perundingan, mereka semua bergerak mengepung markas Tentara Jepang di
timur Stadion Kridosono 11.
Perundingan dengan Jepang gagal. Tanggal 7 Oktober dini hari, suara letusan granat menandai
dimulainya serbuan rakyat terhadap markas tentara Jepang. Baku tembak mewarnai pertempuran di
Kotabaru ini. Pertempuran berlangsung lebih kurang selama tujuh jam, diakhiri dengan
menyerahnya tentara Jepang dan berkibarnya sang Merah Putih di atas markas Kotabaru. Dengan
berakhirnya serbuan Kotabaru, akhirnya kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat Yogyakarta.
(Nawawi, 2009)
10
Harian Sinar Matahari setelah sepenuhnya dikuasai pihak Indonesia, kemudian menjadi Harian Kedaulatan Rakyat 11
saat ini dikenal sebagai kompleks asrama TNI “Kompi” Kotabaru
Selama perjuangan merebut kekuasaan di Yogyakarta, serta dalam revolusi fisik yang berlangsung
hampir selama 5 tahun, putra-putri SMT Yogyakarta turut menyumbangkan darma baktinya bagi
bangsa Indonesia. Banyak yang maju bertempur di berbagai tempat di pelosok Jawa. Tak sedikit
yang gugur di medan juang demi mempertahankan kemerdekaan. Ironisnya, korban pertama justru
gugur tak jauh dari SMT. Faridan M.Noto menjadi salah satu pemuda yang gugur sebagai pahlawan
dalam pertempuran Kotabaru. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama salah
satu jalan di kawasan Kotabaru, tepat di sebelah barat almamaternya. (Penerangan, 1953, hal. 760)
Dinamika Ibukota Republik
Berakhirnya perang dunia justru menandai dimulainya peperangan di bumi pertiwi. Sesuai dengan
Civil Affair Agreement , Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti pasukan Jepang dan
mengembalikan status quo Indonesia ke masa sebelum pendudukan Jepang. Ini berarti mengambil
Indonesia dari Jepang dan mengembalikannya ke Belanda. Setelah melaksanakan tugas melucuti
senjata, pemerintahan sipil diberikan kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Manuver Inggris dan NICA ini pun mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia. Pertempuran
kemudian pecah di setiap kota yang dimasuki tentara sekutu.
Kondisi ibukota negara saat itu tidak kondusif untuk menjalankan pemerintahan. Baku tembak
terjadi dimana-mana. Menanggapi hal tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menawarkan
Yogyakarta untuk dijadikan ibukota republik. Akhirnya, dengan rangkaian Kereta Luar Biasa,
Presiden Soekarno berangkat ke Yogyakarta. Pada 4 Januari 1946, ibukota NKRI resmi berpindah dari
Jakarta ke Yogyakarta.
Perpindahan ibukota diikuti dengan berpindahnya institusi-institusi negara ke Yogyakarta, beserta
jajaran pegawainya. Sekitar tahun 1946, posisi kepala sekolah SMT beralih dari Bapak Soegarda ke
Prof.Dr.Prijono 12. Tugas yang diemban Bapak Prijono adalah menjadikan suasana di SMT kembali
kondusif.
Seperti sudah diketahui, suasana SMT pada periode akhir masa penjajahan Jepang amatlah keruh.
Ditambah juga, kepengurusan keluarga SMT sudah tidak lengkap akibat revolusi pasca kemerdekaan.
Untuk mengembalikan suasana kekeluargaan, langkah pertama yang diambil oleh Bapak Prijono
adalah mengadakan pemilihan untuk membentuk kepengurusan baru.
Perlahan-lahan, suasana SMT mulai kembali hidup. Dinding aula yang sebelumnya kosong, kembali
dihias dengan lukisan-lukisan besar. Kursi-kursi ditata ulang, tidak lagi berderet seperti dalam sidang
namun diatur berkelompok kecil-kecil. Piano di ujung aula pada saat istirahat selalu dimainkan untuk
memberi hiburan. Di tengah aula dipasang pot tanaman. Kepala sekolah sendiri menyediakan
majalah, untuk bahan bacaan. Aula yang semula sunyi kini penuh, menjadi pusat berkumpul pelajar
SMT.
12
kelak di kemudian hari menjabat sebagai menteri Pendidikan.
Ekstrakurikuler kembali semarak. Di bidang tulis-menulis, suasana juga kembali hidup. Berkumpullah
pengarang-pengarang muda SMT. Atas usaha mereka, majalah dinding “Suara SMT” dapat hadir di
papan baca setiap minggu. Di bidang kesenian, SMT mempelopori siaran pelajar di corong RRI
Yogyakarta. Siaran tiap minggu berganti-ganti, siaran musik barat, gamelan Jogja dan pancaran
sastra, semuanya dibawakan oleh para pelajar SMT. Bidang olahraga juga tak ketinggalan. Class
meeting yang sebelumnya diadakan diluar jam sekolah (Sabtu sore dan Minggu pagi), dengan
persetujuan Bapak Prijono diperkenankan diadakan pada hari Sabtu seluruhnya.
Suasana kekeluargaan SMT Yogyakarta kembali terasa. Pada malam penutupan tahun ajaran
1945/1946, diadakan perayaan di SMT. Aula penuh sesak dan meriah. Banyak pelajar yang datang
dengan memakai pakaian daerahnya masing-masing, sehingga suasana menjadi semarak. Dengan
duduk lesehan di atas tikar, mereka menyaksikan pertunjukan wayang. Prof.Dr.Prijono sendiri yang
menjadi dalangnya. (Penerangan, 1953, hal. 761-762)
Terlepas dari suasana SMT yang kembali hidup, dan kondisi ibukota Yogyakarta yang relatif aman,
pertempuran masih berlangsung di berbagai tempat di Indonesia. Panggilan negara untuk berjuang
tak dilupakan oleh pelajar SMT. Agar para pelajar SMT dapat memenuhi kewajibannya: belajar dan
berjuang, maka dibentuk sebuah peraturan yang membolehkan tiap-tiap kelas meninggalkan
pelajaran selama satu bulan. Dengan begitu, pada akhir tahun ajaran, tingkat pelajaran di semua
kelas tidak akan jauh berbeda. (Penerangan, 1953, hal. 757)
Peran Strategis SMT Yogyakarta
Berdiri di pusat perjuangan membuat SMT Yogyakarta menjadi salah satu pemain dalam beberapa
peristiwa penting. Posisinya yang strategis menjadikan garis sejarahnya bersinggungan dengan garis
sejarah dua perguruan tinggi ternama Indonesia.
Kurang lebih seminggu setelah proklamasi, Koukyou Daigaku Bandung diambil alih pihak Indonesia.
Namanya diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung. Posisi rektor dipegang oleh
Prof.Ir.Roosseno. Namun tidak lama kemudian kegiatan perkuliahan mulai terganggu akibat api
revolusi yang mulai merembet ke Bandung.
Pada bulan Oktober 1945, tentara sekutu memasuki kota Bandung. Suasanapun menghangat. Di
dalam kota, baku tembak pecah antara tentara sekutu dan pejuang. Menyusul kemudian ikrar
mahasiswa STT Bandung yang tidak sudi kembali ke kampus selama kemerdekaan penuh belum
berada di tangan bangsa Indonesia. Akhirnya perkuliahan STT Bandung diakhiri pada November
1945. Dua bulan kemudian, mempertimbangkan situasi Bandung yang tidak kondusif untuk
perkuliahan, STT Bandung dipindahkan ke Yogyakarta dengan nama “STT Bandung di Yogyakarta”.
(Sekolah Tinggi Teknik Bandung)
Bersamaan dengan itu, NICA telah sukses mendirikan sebuah universitas. Mendengar kabar
berdirinya Nood Universiteit van Nederlandsch Indie 13 di Jakarta, tokoh-tokoh pendidikan di ibukota
Yogyakarta segera bertindak. Pada 24 Januari 1946 diadakan pertemuan di aula SMT Yogyakarta.
Tampak di antara hadirin, kepala SMT Prof.Dr.Prijono , serta salah satu pengajar SMT yaitu
Ir.Marsito. Tokoh lainnya yang turut berkumpul adalah Mr.Boediarto, Mr.Soenarjo, Dr.Soleiman,
Dr.Buntaran dan Dr.Soeharto. Dalam pertemuan tersebut, Mr.Soenarjo memaparkan bahwa NICA
telah mendirikan universitas di Jakarta. Bangsa Indonesia tidak boleh ketinggalan. Akhirnya
disepakati untuk mendirikan sebuah balai perguruan tinggi yang bersifat partikelir (swasta) di
Yogyakarta. (Sejarah UGM)
Mendengar akan didirikannya sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, pihak STT Bandung segera
menghubungi Panitia Pendirian Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada. Namun dalam suatu
rapat dengan panitia tersebut, tidak terjadi kesesuaian paham di antara kedua belah pihak. Balai
Perguruan Tinggi yang akan didirikan diputuskan bersifat swasta, sedangkan Prof.Roosseno dkk
telah mendapatkan perintah dari kementerian pendidikan untuk mendirikan STT Bandung di
Yogyakarta yang merupakan institusi pendidikan negeri.
Akhirnya kedua perguruan tinggi tersebut memutuskan berdiri sendiri-sendiri. STT Bandung di
Yogyakarta dibuka pada 17 Februari 1946 dengan menempati gedung SMT Yogyakarta. Kegiatan
perkuliahan STT Bandung menumpang di bangsal olahraga SMT serta pada sore hari juga
menempati ruang-ruang kelas. Untuk perkuliahan pagi, para mahasiswa membangun ruang
berdinding gedeg di emperan samping gedung SMT. (Menyimpan Sepenggal Kenangan Perjalanan
Fakultas Teknik, 2009)
Sementara itu pada 3 Maret 1946 diumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada.
Sebuah ide yang tercetus pada pertemuan di aula SMT akhirnya terwujud. Pada saat berdiri, BPT
Gadjah Mada hanya terdiri dari Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Kegiatan perkuliahan
berlangsung sampai 19 Desember 1948, ketika Ibukota Yogyakarta digempur Agresi Militer II.
Setelah Belanda mundur dari ibukota, pada tahun 1949 BPT Gadjah Mada dan beberapa perguruan
tinggi lain di Yogyakarta dilebur menjadi Universitas Gadjah Mada.
Sekolah Tinggi Teknik sendiri termasuk salah satu perguruan tinggi yang dilebur. Pasca berdirinya
Universitas Gadjah Mada, STT menjelma menjadi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Staff
pengajarnya sebagian tetap bertahan di Yogyakarta. Sedangkan beberapa, termasuk
Prof.Ir.Roosseno, memutuskan untuk kembali ke almamaternya di Bandung, yang kala itu telah
menjadi Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung 14.
Masih seputar pemindahan STT Bandung dan peran strategis SMT Yogyakarta. Pada 4 November
1946 Herman Johannes, salah satu mahasiswa STT Bandung, diminta menghadap ke Markas
Tertinggi Tentara di Yogyakarta. Ternyata beliau diminta membangun sebuah laboratorium
13
Universitas Darurat Hindia Belanda. Kemudian pada tahun 1947 menjadi Universiteit van Indonesie dan saat diambil alih bangsa Indonesia pada 1950, menjadi Universitas Indonesia. 14
Baru kemudian pada 1959 memisahkan diri dari UI dan menjadi Institut Teknologi Bandung
persenjataan TNI, karena saat itu sedang terjadi krisis persenjataan. Akhirnya atas prakarsa Herman
Johannes berdirilah laboratorium senjata TNI, bertempat di laboratorium kimia SMT Yogyakarta.
Sebuah langkah yang cerdas dan berani, karena Belanda tentu tidak menyangka adanya pabrik
senjata di kompleks SMT. Seandainya Belanda tahu, tentu SMT Yogyakarta akan menjadi target
pengeboman pesawat musuh. Dari laboratorium kimia SMT inilah, diproduksi senjata peledak
seperti granat dan bom asap untuk keperluan perjuangan. (Herman Johannes)
Perpisahan dan Politionele Actie
Memasuki masa kemerdekaan, dorongan para pemuda untuk menuntut ilmu meningkat tajam. Jika
di era penjajahan dulu pendidikan adalah barang mewah, maka setelahnya pendidikan dipandang
sebagai salah satu bentuk perjuangan mengisi kemerdekaan. Akibat minat yang meluap-luap
tersebut, sejak tahun 1945 SMT Yogyakarta kebanjiran murid. Kondisi tersebut tentunya tidak baik
bagi kelangsungan pendidikan di SMT.
Setelah ibukota pindah ke Yogyakarta, muncul wacana untuk memisahkan kembali SMA bagian A
dan bagian B. Selain untuk menghadapi jumlah murid yang meningkat, juga untuk memperbaiki
kualitas pendidikan bagian A. Wacana ini mulai terealisasi di tahun 1947. Prof.Dr.Prijono, yang saat
itu sudah disibukkan dengan Yayasan Gadjah Mada, menyanggupi pemberian bantuan. R.J Katamsi
yang kala itu menjabat kepala museum Sonobudoyo juga turut memberikan bantuan. Kebetulan
juga inspektur SMA pada saat itu, Mr.Widodo, adalah alumnus AMS A. Tak lupa Ir.Marsito, yang saat
itu menjabat sebagai kepala SMA A dan B menggantikan Prof.Dr.Prijono, turut menyokong rencana
tersebut. (Penerangan, 1953, hal. 767)
Setelah sempat tertunda akibat Politionele Acti (Aksi Polisionil/Agresi Militer) di bulan Juli 1947,
akhirnya pada awal tahun ajaran 1947/1948, SMA bagian A dapat dipisahkan dari saudaranya, SMA
bagian B. Gedung SMA A yang baru bertempat di jalan Pakem nomor 2 15 . Sebagai kepala sekolah
ditunjuklah R.Soemadi Soemowidagdo. Meskipun telah menjadi dua sekolah dengan gedung dan
pimpinan yang terpisah, pelajar kedua sekolah tersebut masih merasa tergabung dalam ikatan satu
keluarga, di bawah nama Padmanaba. Setiap tiga bulan sekali, kedua sekolah tersebut mengadakan
pertandingan olah raga bersama, kemudian ditutup dengan malam gembira. Demikianlah meskipun
terpisah namun rasa kekeluargaan pelajar kedua sekolah tersebut masih terjaga. Paling tidak pada
masa itu. (Penerangan, 1953, hal. 757)
Tahun ajaran 1947/1948 berlangsung singkat, karena mundur kira-kira dua bulan akibat Agresi
Militer I. Akibatnya tutup tahun hanya ditandai dengan kenaikan kelas. Tidak ada ujian penghabisan
dikarenakan pendeknya tahun ajaran. Ujian penghabisan baru dapat dilaksanakan pada Agustus
1948, awal tahun ajaran 1948/1949. Namun naas, tahun ajaran ini terpaksa berhenti ditengah-
tengah akibat Agresi Militer II Belanda.
15
Saat ini, jalan C.Simanjuntak nomor 2
Minggu pagi, 19 Desember 1948, Yogyakarta dibangunkan oleh serangan udara tentara Belanda.
Hanya dalam waktu beberapa jam, ibukota republik jatuh ke tangan musuh. Para pelajar dan
pejuang segera pergi masuk ke hutan-hutan untuk bergerilya. Seluruh sekolah di Yogyakarta bubar
serentak pada hari itu.
Pasca Agresi Militer II, pemerintah Belanda menuai kecaman dari berbagai negara. Sementara itu
para pejuang melanjutkan gerilya di pelosok republik. Di sisi lain, pemerintahan pendudukan
berusaha membuat kegiatan masyarakat tetap berjalan normal. Sebagai salah satu usahanya, pada
bulan April 1949 sekolah-sekolah lanjutan dibuka kembali. Guru-guru yang mau bersikap kooperatif
terhadap Belanda dikumpulkan. Karena murid yang bersedia sekolah di SMA bentukan Belanda itu
hanya sedikit, kegiatan pengajaran dipusatkan di gedung SMA B Kotabaru. Namun sekolah tersebut
hanya bertahan selama satu bulan.
Berkat langkah-langkah diplomasi di forum internasional, disokong dengan gerilya yang gencar
dilaksanakan di penjuru Indonesia, pada tanggal 29 Juni 1949 Belanda mengakhiri pendudukannya
atas Yogyakarta. Menyusul kembalinya ibukota republik ke Yogyakarta, usaha normalisasi kegiatan
masyarakat pun berlangsung. Sebulan setelah Belanda angkat kaki dari Yogyakarta, SMA A dan B
dibuka kembali. Meskipun begitu, sebagian besar pelajarnya masih tersebar di berbagai medan
gerilya. Dalam kondisi darurat tersebut, untuk sementara SMA A kembali menempati gedung yang
sama dengan SMA B. (Penerangan, 1953, hal. 758)
Berdirinya SMA C Yogyakarta
Situasi ibukota berangsur-angsur normal. SMA A, yang saat dibuka kembali masih menumpang di
gedung SMA B, sudah dapat menempati gedungnya sendiri di jalan Pakem. Di tengah suasana
pemulihan pasca pendudukan ibukota tersebut, SMA A Yogyakarta turut berperan mendirikan SMA
baru yang kemudian disebut SMA C.
Sebelum agresi militer, sudah tercetus ide untuk mendirikan SMA jenis baru, yang memfokuskan diri
dalam bidang ekonomi dan hukum. Pada saat itu hanya ada dua jenis SMA, yaitu SMA A yang
mempelajari sastra-budaya, dan SMA B yang mempelajari ilmu alam dan eksakta. Pembagian ini
dirasa belum cukup. Dibutuhkan sebuah SMA yang dapat mempersiapkan lulusannya di bidang
ekonomi-hukum, sehingga setelah lulus dapat langsung bekerja di jawatan-jawatan pemerintah,
maupun melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Atas dasar itu, dengan usulan Mr.R.M. Widodo Sastrodiningrat, lahirlah SMA jenis baru yang disebut
SMA Juridis-Ekonomis. Di SMA ini selain pelajaran umum juga diberikan pelajaran yang berkaitan
dengan hukum, seperti hukum negara, hukum pidana, hukum sipil dan dagang. Sedangkan pelajaran
yang berkaitan dengan ekonomi diantaranya ekonomi umum serta ekonomi perusahaan.
Untuk menyeragamkan dengan SMA-SMA yang sudah ada, maka SMA Juridis-Ekonomis ini
kemudian disebut sebagai SMA C. Sampai pecahnya agresi militer kedua, SMA C hanya ada di
beberapa kota antara lain Magelang dan Surakarta. Di Yogyakarta belum ada SMA C.
Baru pada tahun 1949, berdirilah SMA C di kota Yogyakarta. Atas prakarsa beberapa tokoh
pendidikan, SMA C Yogyakarta dibuka pada tanggal 17 September 194916. Sedangkan SK Menteri
Pendidikan tentang pendirian SMA C Yogyakarta keluar pada tanggal 27 Oktober 194917. Sebagai
kepala sekolah ditunjuklah bapak Hadiwidjono, yang juga menjabat sebagai acting direktur (P.L.H)
SMA A Yogyakarta.
Masa-masa awal berdirinya SMA C Yogyakarta amatlah sederhana. SMA C bisa dibilang tidak
memiliki modal apapun. Untuk pelaksanaan kegiatan pendidikan, SMA C menumpang di gedung
SMA Stella Duce Kotabaru. Kemudian sempat juga menumpang di gedung SMA B Kotabaru, hingga
pada akhirnya mendapat pinjaman gedung dari yayasan Bopkri 18. Kesulitan-kesulitan yang muncul
di awal berdirinya SMA C dapat diatasi, berkat kerja dan usaha bapak Hadiwidjono. Demikianlah
peran serta SMA A dalam usaha pendirian SMA C, yang saat ini menjadi SMA 5 dan SMA 6
Yogyakarta. (Penerangan, 1953, hal. 769-770)
Seputar SMA A Yogyakarta
Dengan berakhirnya revolusi fisik di Indonesia, pelajar-pelajar yang sebelumnya bertempur di
medan gerilya mulai kembali pulang. Karenanya, murid-murid di SMA kian hari kian bertambah. Hal
itu terjadi juga di SMA A. Untungnya, SMA A mendapat bantuan mengajar dari tenaga-tenaga
istimewa, diantaranya Ibu Prijono (istri Dr.Prijono), Ibu Suriadarma dan Ibu Effendi Saleh.
Selain itu perhatian yang besar juga diterima dari tokoh-tokoh nasional, yang kala itu masih berada
di ibukota Yogyakarta. Beberapa tokoh yang sempat memberikan bantuan mengajar di SMA A
diantaranya Subadio Sastrosatomo, Maramis, Mr.Im.Supomo, Mr.Nitidipuro, Mr.Suhardi, dan
Drs.Sutjipto. Sedangkan Prof.Dr.Prijono, meskipun disibukkan dengan usaha pendirian Universitas
Gadjah Mada, selalu menunjukkan minat akan perkembangan SMA A. Ketika beliau meninggalkan
Yogyakarta untuk kembali bertugas di Jakarta, beliau memberikan hadiah lukisan Bali “Samba-
Yadjnyawati” bagi SMA A Yogyakarta. Bukti perhatian beliau terhadap putra-putrinya yang
mempelajari ilmu budaya, sebagaimana ilmu beliau 19. (Penerangan, 1953, hal. 767)
Dikarenakan jumlah pelajar yang terus bertambah, pada tahun 1950 dibukalah SMA A-II. SMA ini
menempati gedung yang sama dengan SMA A namun masuk pada sore hari. Bersamaan dengan
16 Tanggal ini diperingati sebagai hari ulang tahun SMA 5 Yogyakarta 17 Tanggal ini diperingati sebagai hari ulang tahun SMA 6 Yogyakarta 18
Gedung ini di era kolonial adalah gedung Christelijke MULO (SMP Kristen). Pada tahun 1950-1957 digunakan oleh SMA C (kemudian SMA V C dan VI C). Setelah SMA VI C pindah, sampai tahun 1973 digunakan oleh SMA V Yogyakarta. Saat ini digunakan oleh SMA Bopkri 1. 19
Prof.Dr.Prijono sendiri adalah lulusan AMS A.
dibukanya SMA A-II, dibuka juga SMA B-II di gedung SMA B Kotabaru. Kedua SMA ini pada
hakikatnya sama seperti SMA negeri lainnya, namun diprioritaskan menerima murid-murid ex-
tentara pelajar. Karena itu, sebagian besar muridnya adalah mantan pejuang.
Awal tahun 1950, ibukota republik pindah kembali ke Jakarta. Sementara itu, di kota-kota besar
didirikanlah SMA-SMA negeri. Meskipun tidak lagi berada di pusat pemerintahan, dan tidak pula
menjadi satu-satunya SMA A di Indonesia, SMA A Yogyakarta tidak kehilangan pengaruhnya di
kancah nasional. Sama seperti masa AMS A, SMA A Yogyakarta banyak melahirkan tokoh-tokoh
penting, utamanya di bidang sastra dan budaya. Sastrawan Umar Kayam pernah mengecap
pendidikan di sini, dari tahun 1947 sampai tahun 1951. Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef
(Keduanya mantan Menteri Pendidikan) juga bersekolah di sini, pada waktu yang bersamaan dengan
Umar Kayam20. Ketiganya bersama-sama mengelola majalah dinding milik SMA A Yogyakarta. (Profil
Umar Kayam)
Memasuki tahun 1952, keadaan Yogyakarta telah sepenuhnya kembali normal. Setelah sempat
berganti-ganti pimpinan, mulai tahun 1952 pimpinan SMA A-I dijabat oleh R.M Sutardi Surjohudojo
dari kantor Inspeksi Pusat SMA. Staf pengajar tetap berjumlah 13 orang, dan guru bantu sebanyak
19 orang. (Penerangan, 1953, hal. 768) Diantaranya adalah Bapak F.X Maryono mengajar sejarah,
Pak A.Sutiyoso mengajar ekonomi. Selain itu ada juga Bapak Poerwoko, mengajar tatanegara. Bapak
Anton Timur Djaelani, guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Ki R.DS Hadiwidjana serta Ki Joodkali
Padmapoespita 21 mengajar bahasa Jawa kuno/kawi. (Setiawan, 2010)
Sementara itu, SMA A-II meskipun belum memiliki gedung sendiri, sudah memiliki guru tetap dan
guru bantu, di bawah pimpinan Bapak Wahjudi. (Penerangan, 1953, hal. 768)
Pada tahun 1956, terjadi perubahan nomenklatur (penamaan) SMA negeri di seluruh Indonesia.
SMA-SMA diberi nomor urut berdasarkan jurusannya, sehingga penamaan SMA negeri di Yogyakarta
menjadi:
SMA A-I berubah menjadi SMA I-A
SMA A-II berubah menjadi SMA II-A
SMA B-I berubah menjadi SMA III-B
SMA B-II berubah menjadi SMA IV-B
SMA C-I berubah menjadi SMA V-C
SMA C-II berubah menjadi SMA VI-C
20
Daoed Joesoef satu tingkat di atas Umar Kayam. Beliau masuk pada tahun 1946, saat SMA A masih menjadi satu dengan SMA B. 21
Ki Padmapoespita selain mengajar di SMA A juga mengajar sejarah kebudayaan di perguruan tinggi, salah satunya ASRI. Merupakan pencetus nama “Rakta Pangkaja”, nama Sansekerta SMA A Yogyakarta.
Penamaan ini hanya bertahan selama enam tahun, sampai sekitar tahun 1962/1963 ketika
diterapkannya kurikulum SMA gaya baru. Namun penamaan inilah yang hingga saat ini masih
mengakar kuat di benak warga Jogja. “Tiga Bhe”, “Patbhe”, “Mache”,”Namche” sampai sekarang
masih digunakan untuk menyebut keempat SMA tersebut.
Bertolak belakang dengan empat SMA lainnya, nama “SMA I-A” dan “SMA II-A” saat ini bisa
dikatakan hilang sama sekali. Hal itu dikarenakan kedua SMA tersebut hanya bertahan selama
setahun. Pada tahun 1957, keduanya dilebur menjadi SMA Teladan Yogyakarta.
Munculnya SMA Teladan Yogyakarta
Pada permulaan tahun ajaran 1957/1958, SMA I-A dan SMA II-A mendapat bantuan gedung dari
pemerintah. Kedua SMA inipun dipindahkan ke Pakuncen, menempati gedung baru berlantai tiga.
Sementara itu gedung lama di jalan Pakem diberikan kepada SMA VI-C.
Gedung baru yang ditempati SMA I-A dan SMA II-A adalah gedung prefabricated dari Amerika
Serikat. Rangka gedung yang terbuat dari baja, beserta jendela, pintu dan kusen dibuat di pabrik,
sehingga saat didirikan tinggal memasangnya saja. Gedung ini adalah salah satu gedung bantuan
luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia. Oleh karenanya, tidak mengejutkan kalau di
berbagai tempat di Indonesia, dapat ditemui gedung-gedung yang serupa.
Kota Yogyakarta sendiri menerima empat bantuan gedung prefabricated tersebut. Dua unit
didirikan di Pakuncen, untuk dijadikan gedung ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dan gedung
SMA Teladan. Dua unit lainnya didirikan di Baciro dan saat ini menjadi Asrama Mahasiswa
“Dharmaputra” UGM. Sementara di seluruh Indonesia, gedung serupa digunakan oleh banyak SMA,
diantaranya SMA 1 Magelang, SMA 1 Madiun, SMA 3 Jakarta, dan SMA 1 Bukittinggi.
Sementara itu, tahun 1957 juga ditandai dengan ditetapkannya beberapa SMA Negeri di Indonesia
menjadi SMA Teladan (model school). Keputusan ini adalah langkah nyata pemerintah dalam
mewujudkan pembaharuan pendidikan di tingkat SMA.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PP dan K No. 128079/S tertanggal 16 Desember 1957,
terhitung mulai 1 Desember 1957, ditunjuklah:
1. SMA Negeri III-B Jakarta menjadi SMA Teladan B
2. SMA Negeri I-A dan II-A Yogyakarta menjadi SMA Teladan A
3. SMA Negeri IV-C Surabaya menjadi SMA Teladan C
4. SMA Negeri I-B Medan menjadi SMA Teladan B
5. SMA Negeri II-A/C Bukittinggi menjadi SMA Teladan A
Istilah “TELADAN” sendiri diterjemahkan dari kata “model”, yaitu merujuk pada usulan penunjukan
“model school” di Indonesia. Di sisi lain, nama “TELADAN” menimbulkan anggapan-anggapan di
masyarakat bahwa:
SMA Teladan adalah SMA ‘yang nomor satu’
SMA Teladan mendapat fasilitas istimewa, anggaran yang besar dan perlakuan yang khusus
SMA Teladan adalah sekolah eksperimen
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah:
Pada saat penunjukannya, SMA Teladan adalah SMA “biasa”, yakni SMA Negeri bagian A Yogyakarta
Tidak disediakan fasilitas khusus maupun anggaran khusus
Syarat-syarat untuk suatu eksperimen tidak ada
Pada SK penunjukan itu sendiri, disebutkan bahwa SMA-SMA Teladan tetap mengikuti peraturan
dan ketentuan yang berlaku bagi SMA Negeri 22. Maka dapat dikatakan bahwa SMA Teladan adalah
SMA dengan tugas khusus, tugas eksplorasi untuk memperoleh bahan-bahan yang dapat digunakan
bagi usaha pembaharuan SMA umumnya. (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 11-12)
Eksplorasi SMA Teladan
Setelah SMA I-A dan SMA II-A dilebur menjadi SMA Teladan, posisi kepala sekolah diserahkan
kepada Bapak Poerwoko Soegarda 23. Sedangkan kepala SMA I-A, bapak Sutardi Surjohudojo dan
kepala SMA II-A, bapak Wahjudi menjadi wakil kepala sekolah.
Usaha-usaha pembaruan segera dilakukan. Langkah pertama yang dilakukan Bapak Poerwoko
selaku pimpinan adalah membangun suatu atmosfer yang kondusif bagi jalannya usaha
pembaharuan, sebagaimana disampaikan pada suatu konferensi di bulan Oktober 1961.
“Kami dapati bahwa yang paling dahulu perlu ditimbulkan dan dikembangkan adalah suasana yang
bernafaskan toleransi,kejujuran, keikhlasan, keuletan dan keberanian yang dapat melahirkan suatu
team-spirit dan team-work yang rapi. Mengusahakan spirit tadi bukanlah sesuatu yang mudah,
yang dapat dicapai dalam waktu singkat, tetapi yang terang adalah, bahwa usaha itu harus
dilakukan terus-menerus.” (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 12)
22
Lihat bagian lampiran, SK Menteri PP dan K No.128079/S 23
Sebelumnya adalah salah satu guru di SMA A Yogyakarta. Juga merupakan putra dari Bapak Soegarda Poerbakawatja, kepala sekolah kedua SMT Padmanaba
Setelah melakukan berbagai pertemuan dengan staf pengajar, maka diputuskan bahwa hal-hal
pertama yang memungkinkan dilakukan adalah:
Menambah usaha-usaha pendidikan di luar jam sekolah
Mengadakan perubahan dalam mata pelajaran yang biasanya tidak diuji pada ujian
penghabisan dan yang termasuk ujian pelengkap
Langkah ini diwujudkan dengan mengadakan pelajaran tambahan “Pekerjaan Tangan” di sore hari.
Pelajaran ini diberikan kepada semua murid kelas I, dengan diampu oleh tenaga-tenaga bantuan
dari ASRI. Pada pelajaran pertama, para siswa diajak ke sungai dengan berbekal sebuah pisau.
Kemudian mereka ditugaskan untuk mencari dahan kering yang menyerupai bentuk hewan atau
manusia.
Pada akhir pelajaran, siswa-siswa kembali ke sekolah dengan membawa penemuannya masing-
masing. Kemudian hasil penemuan itu dihaluskan dan divernis sendiri-sendiri. Begitulah gambaran
mata pelajaran tambahan “Pekerjaan Tangan”. Hasil pekerjaan tangan tersebut sebenarnya tidak
begitu penting, namun yang diutamakan dari pelajaran ini adaah nilai-nilai pengembangan diri.
Sambil melaksanakan langkah-langkah di atas, dimulai pula persiapan langkah-langkah berikutnya,
yakni penyelenggaraan pendidikan Prakarya dan penyusunan Seksi Bimbingan dan Penyuluhan.
(Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 14-15)
Merintis Kegiatan Prakarya
Pada tahun 1957, sudah mulai terdengar pendapat-pendapat bahwa lulusan SMA adalah canggung
di dalam masyarakat, tidak dapat bekerja dengan tangan, dan sebagainya. Untuk mengatasi hal
tersebut diadakanlah suatu kegiatan yang kemudian disebut Prakarya.
Pembatasan yang ditetapkan SMA Teladan Yogyakarta pada tahun 1958 perihal Prakarya adalah
sebagai berikut:
Pada fase pertama, prakarya tidak dimaksudkan sebagai mata pelajaran kejuruan dalam arti sesungguhnya
Prakarya diharap dapat berguna bagi lulusan SMA jika ia menjadi mahasiswa, mengikuti kursus-kursus calon pemimpin ataupun –jika perlu- untuk mencari pekerjaan.
Belajar berhubungan dengan masyarakat melalui pelajaran-pelajaran praktek.
Sedangkan murid yang mengikuti kegiatan Prakarya adalah murid kelas II hingga pertengahan kelas
III.
Pada saat itu, Prakarya yang diadakan oleh SMA Teladan Yogyakarta adalah:
Home Economics, dengan staf pengajar dari Sekolah Guru Kepandaian Putri
Jurnalistik, dengan staf pengajar Sdr. Sarmoko dari Jawatan Penerangan D.I Yogyakarta
Perpustakaan, dengan staf pengajar Sdr.Moeksan dari Perpustakaan Negara Yogyakarta
Administrasi Umum, dengan staf pengajar dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas
Yogyakarta
Pendidikan Prakarya yang diadakan SMA Teladan ini rupanya juga menarik perhatian pihak-pihak
diluar sekolah. Beberapa petugas sipil dari Pangkalan Adisucipto (AURI) serta pegawai perpustakaan
swasta mengajukan permintaan untuk mengikuti pendidikan Prakarya Perpustakaan di SMA
Teladan. Permintaan ini dikabulkan. Akhirnya mereka mengikuti pendidikan Prakarya Perpustakaan
bersama murid-murid SMA Teladan. Di akhir pendidikan, mereka juga mendapat surat keterangan
bahwa mereka telah mengikuti pelajaran Prakarya Perpustakaan dengan baik. Demikianlah
pendidikan Prakarya yang diadakan SMA Teladan ternyata membawa manfaat nyata bagi
masyarakat umum. (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 16, 28)
Pelopor Bimbingan dan Konseling
Pada permulaan 1958, terasa benar bahwa guru-guru kekurangan pengetahuan mengenai masalah
“bakat dan minat” yang sering dikemukakan dalam rapat sekolah. Karena itu, dibentuklah suatu
seksi Bimbingan dan Penyuluhan yang langsung dan secara ilmiah mengusahakan bahan-bahan
yang berhubungan dengan proses pertumbuhan pribadi dan proses belajar murid. Seksi ini mula-
mula dijalankan oleh tenaga bantuan dari mahasiswa Fakultas Paedagogik Universitas Gadjah Mada.
Pembaharuan yang diperkenalkan ini ternyata pada awalnya tidak mendapat sambutan yang
hangat di kalangan guru-guru. Usaha ini secara tidak langsung dianggap menyinggung ‘kedaulatan’
guru-guru. Juga pelaksanaan angket, wawancara dan sebagainya dianggap mengganggu jalannya
pelajaran karena ada angket yang harus dilakukan serentak di seluruh sekolah. Akhirnya, soal
anggaran juga menimbulkan kesulitan berhubung dibutuhkan banyak kertas.
Lambat laun dengan adanya wali-wali kelas yang aktif dan makin meluasnya ide pembaharuan serta
pengertian akan pentingnya Bimbingan dan Penyuluhan, akhirnya seksi baru tersebut mendapat
tempat yang wajar dalam organisasi sekolah. Bantuan dari para mahasiswa Universitas Gadjah
Mada sungguh tak ternilai, karena telah membuka jalan ke arah Bimbingan dan Penyuluhan yang
teratur dan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil yang memuaskan dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Penyuluhan di SMA Teladan
Yogyakarta ini disampaikan dalam rapat kerja SMA-SMA Teladan di Surakarta, pada November 1961.
Rapat tersebut kemudian memutuskan bahwa perlu diadakan Seksi Bimbingan dan Konseling di
tiap-tiap SMA. Hasil serupa juga muncul di berbagai konferensi Dinas SMP. Adanya Seksi ini
diterima sebagai hal yang harus diusahakan. Suatu perkembangan yang menguntungkan yang
dapat membawa anak didik ke arah yang sesuai dengan sifat, minat, bakat dan kemampuannya.
Sampai saat ini kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan, yang sekarang bernama Bimbingan dan
Konseling, masih diadakan di SMP dan SMA seluruh Indonesia. Kegiatan ini bermula dan dipelopori
oleh SMA Teladan Yogyakarta. (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 17-18)
Penundaan Diferensiasi
Kelancaran langkah-langkah pertama SMA Teladan Yogyakarta di satu sisi telah meningkatkan
antusiasme di kalangan guru-guru serta meningkatkan rasa percaya diri. Di sisi lain, usaha-usaha
yang dilakukan Seksi Bimbingan dan Penyuluhan membawa para guru makin dekat dengan
masalah-masalah pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler membuka mata para guru akan segi-segi
kemampuan yang beraneka ragam, yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan.
Tes-tes yang dilakukan terhadap murid-murid baru, utamanya lulusan SMP bagian A menunjukkan
bahwa kecerdasan mereka itu normal, tidak kalah dengan lulusan SMP bagian B. Masalah yang
diajukan selanjutnya adalah, apakah tepat ketentuan bahwa pada akhir kelas II SMP, murid-murid
sudah harus dibagi dalam bagian A dan bagian B?
Dengan pertimbangan tersebut maka pada penerimaan murid baru tahun ajaran 1960, SMA
Teladan tidak lagi membedakan lulusan SMP-A dan SMP-B (Pada waktu itu ada juga lulusan SMP-B
yang melanjutkan ke SMA-A). Di SMA Teladan kelas I, mereka diperlakukan sebagai murid yang
belum diketahui arah minat dan bakatnya. Kurikulum baru disusun bagi siswa kelas I, berisi mata
pelajaran dasar: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Aljabar, Ilmu Ukur Ruang, Ilmu Alam, Ilmu Kimia,
Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Ilmu Sejarah, Tatanegara, Ekonomi, Kesehatan, Menggambar, Pendidikan
Jasmani dan Pekerjaan Tangan. Diferensiasi atau penjurusan baru dimulai di kelas II SMA.
Akibat ditundanya diferensiasi, maka SMA Teladan harus menyediakan bagian A, bagian B dan
bagian C sekaligus. Oleh karena itu, sejak tahun 1960 kedua bagian yang belum ada ditambahkan.
SMA Teladan A menjadi SMA Teladan ABC Yogyakarta. (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 19-
20)
Inovasi-Inovasi Lain
Selain usaha-usaha yang telah disebutkan tadi, masih ada beberapa gebrakan yang dilakukan SMA
Teladan. Perbaikan juga mulai dirintis di mata pelajaran Bahasa Inggris, Ilmu Hayat dan Ilmu Pasti.
SMA Teladan Yogyakarta adalah yang pertama-tama menerapkan metode penyampaian oral
approach untuk pembelajaran Bahasa Inggris di SMA.
Sedangkan dari hasil dialog dengan beberapa dosen Universitas Gadjah Mada, diusulkan untuk
memberikan perhatian yang lebih bagi pelajaran Bahasa Indonesia. Juga agar murid-murid lebih
memahami prinsip dasar setiap pelajaran. Akhirnya atas usulan-usulan tersebut, diputuskan bahwa
murid SMA Teladan diwajibkan membuat suatu karangan yang berhubungan dengan salah satu
ilmu pengetahuan yang telah diterimanya di SMA. Karangan ini akan diperiksa oleh dua orang guru,
yaitu guru bahasa Indonesia dan guru mata pelajaran yang bersangkutan pada pokok karangan
tersebut. Nilai dari karangan ini dicantumkan dalam sebuah sertifikat yang dikeluarkan oleh sekolah.
Ujian akhir membuat karangan ini semata-mata merupakan suatu usaha untuk mengetahui sampai
di mana murid-murid mampu menguraikan suatu bidang ilmu pengetahuan dengan bahasa yang
baik. (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. 22-25)
Tanggapan Atas Usaha-Usaha SMA Teladan
Usaha-usaha pembaruan yang dilakukan SMA Teladan Yogyakarta mendapat apresiasi tinggi dari
berbagai pihak. Pujian datang dari Kepala Urusan Pendidikan SMA. Di hadapan Rapat Kerja Direktur
SMA se-Indonesia, beliau menyatakan bahwa “pemikiran dan usaha paling kontinu adalah di (SMA
Teladan) Yogyakarta”. Secara implisit beliau mengatakan bahwa SMA Teladan Yogyakarta-lah yang
paling berhasil menunaikan tugas eksplorasinya.
Pengakuan tersebut membuat SMA Teladan Yogyakarta menjadi sorotan para pendidik di seluruh
negeri. Keberhasilan melakukan usaha-usaha pembaruan membuat SMA Teladan Yogyakarta
banyak dikunjungi tokoh pendidikan. Bahkan SMA Teladan pernah dikunjungi tamu dari Denmark,
seorang pejabat pendidikan bernama Andreas Schanke. Dalam suratnya kepada Bapak Poerwoko,
beliau memberikan kesan-kesannya terhadap kunjungan singkatnya di SMA Teladan.
“In all education, the atmosphere prevailing in the institution will be of basic importance. And
especially i have always felt that unless we are able to create an atmosphere of confidence,
cooperation, and human understanding, our teaching will be of little value. From what i could see
and hear during my too short visit, i feel this was the spirit you wanted to have in your school, and I
was impressed by the warm, human atmosphere” (Poerbakawatja & Soegarda, 1979, hal. lampiran)
SMA Negeri 1 “Teladan” Yogyakarta
Dengan diberlakukannya kurikulum SMA Gaya Baru pada tahun 1962, berakhirlah tugas dari SMA-
SMA Teladan. Sesuai nomenklatur baru, nama SMA Teladan Yogyakarta berubah menjadi SMA
Negeri 1 Yogyakarta, tanpa embel-embel jurusan. Pada kurikulum SMA Gaya Baru penjurusan
ditunda hingga SMA, dan setiap SMA wajib menyediakan semua jurusan yang ada. Hal ini sesuai
dengan hasil eksperimen yang diusahakan SMA Teladan Yogyakarta.
Meski nama “Teladan” secara resmi telah dihapuskan, tetapi nama ini tetap melekat di SMA Negeri
1 Yogyakarta. Begitu juga dengan semangat pembaharuan di SMA tersebut. Kemajuan-kemajuan
terus dicapai, meskipun tidak lagi mengemban tugas eksplorasi. SMA Teladan juga mendapat
dukungan dari masyarakat, salah satunya dari Letkol Katamso Darmokusumo. Perwira yang
menaruh perhatian besar pada masalah sosial dan pendidikan ini banyak memberikan bantuan
kepada SMA Teladan. Bahkan beliau tidak segan mendanai pembangunan Aula di belakang gedung
SMA Teladan. Namun pembangunan Aula tersebut sempat terhenti ketika Letkol Katamso gugur
dalam peristiwa G30S/PKI. Untuk mengenang sumbangsihnya, setelah selesai dibangun Aula
tersebut dinamai Aula Katamso.
Pamor SMA Teladan yang melejit, ditambah sarana berupa gedung sekolah yang besar agaknya
yang membuat SMA Teladan beberapa kali dipercaya oleh dinas pendidikan untuk ‘mengasuh’
beberapa SMA negeri yang baru saja lahir. SMA-SMA tersebut adalah:
SMA Negeri 1 Wonosari
Didirikan pada tahun 1962 sebagai SMA Persiapan Wonosari. Pada tahun 1964, dijadikan
SMA Filial SMA 1 Teladan Yogyakarta. Selanjutnya setelah menjadi SMA negeri, diangkatlah
bapak FX.Doeliman , seorang guru Geografi dari SMA Teladan, sebagai kepala sekolah.
SMA Negeri 1 Bantul
Berdiri pada tahun 1963, selanjutnya terhitung Oktober 1963 statusnya menjadi Filial SMA
Teladan Yogyakarta. Setahun kemudian, resmi menjadi SMA Negeri Bantul.
SMA Negeri 2 Yogyakarta
Awalnya merupakan SMA swasta yang didirikan oleh yayasan POMG SMP 6 Yogyakarta.
Pada tahun 1964, atas prakarsa Bapak Poerwoko, dijadikan Filial SMA Teladan Yogyakarta.
Selanjutnya pada tahun 1965, statusnya naik menjadi SMA negeri. Karena tidak memiliki
gedung sendiri, SMA Negeri 2 menumpang di gedung SMA Teladan, masuk pada sore hari.
Baru pada tahun 1978, SMA Negeri 2 pindah ke kawasan Bener, Tegalrejo.
SMA Negeri 1 Kasihan/Tirtonirmolo
SMA Tirtonirmolo berdiri pada tahun 1978. Pada awal pendiriannya, menempati gedung
SMA Teladan. Kepala sekolah juga dirangkap oleh bapak Soemardji, kepala SMA 1 Teladan.
Baru pada tahun 1979 SMA Tirtonirmolo pindah ke gedung baru di kawasan Bugisan.
SMA Negeri 7 Yogyakarta
Didirikan pada tanggal 1 Juli 1983, dengan dikelola dan dibina oleh SMA 1 Yogyakarta.
Jabatan kepala sekolah dirangkap oleh kepala sekolah SMA Teladan saat itu, Drs.Mulyono.
Kegiatan belajar mengajar dilangsungkan di gedung SMA Teladan pada sore hari. Pada
tahun 1984, kepala sekolah digantikan oleh Ibu Sri Soewarni. Selanjutnya pada awal tahun
ajaran 1985, mulai menempati bekas RSU Pugeran.
Demikianlah, sampai tahun 80-an SMA Teladan Yogyakarta masih memberikan sumbangsih nyata
untuk memajukan dunia pendidikan di Yogyakarta. Tentunya sumbangsih tersebut masih terus
berlanjut, dalam wujud prestasi yang ditorehkan SMA Teladan Yogyakarta. Kiranya hal-hal tersebut
berkenan di hati masyarakat Yogyakarta, hingga kini SMA Teladan menjadi sekolah yang
difavoritkan oleh banyak orang.
Penutup
Dalam perjalanannya yang merentang selama puluhan tahun, SMA 1 Yogyakarta adalah saksi bagi
banyak peristiwa. Peristiwa yang kesemuanya turut berperan membentuk SMA 1 seperti yang kita
kenal saat ini. Peristiwa-peristiwa tersebutlah yang kemudian menjadi sejarah.
Sejarah mungkin hanyalah cerita tentang masa lalu. Di sisi lain, sejarah adalah mutiara kenangan
bagi pelakunya. Namun bagaimanapun berharga suatu peristiwa bagi sang pelaku sejarah, tetaplah
tak ada artinya jika tak seorangpun yang mengingat. Bagaimanapun berarti suatu sejarah, ia tak
lebih dari kumpulan cerita masa lalu jika tidak dimaknai.
Terlepas dari bagaimana pembaca memaknai sejarah, penulis berharap pembaca dapat
memperoleh sesuatu dari tulisan ini. Serta semoga penelusuran sejarah , utamanya sejarah
sekolah-sekolah di Yogyakarta, akan terus berkembang sehingga terungkap kisah-kisah sejarah
yang dapat memperkaya wawasan.
Bibliography Anwar, R. (2010). Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun perjalanan wartawan KMB 1949. Jakarta: Kompas.
Dhakidae. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harmanto, & Sardadi, P. (n.d.). Sejarah Singkat Keluarga Besar Padmanaba. Retrieved Desember 2, 2012,
from Padmanaba: http://padmanaba.or.id/sejarah-singkat-keluarga-besar-padmanaba/
Herman Johannes. (n.d.). Retrieved Desember 16, 2012, from Wikipedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Johannes
Legge, J. (2010). Intellectuals and Nationalism in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.
Menyimpan Sepenggal Kenangan Perjalanan Fakultas Teknik. (2009, Juli 21). Retrieved Desember 16, 2012,
from Universitas Gadjah Mada: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=293
Nawawi, D. H. (2009, Mei 3). Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Yogyakarta. Retrieved
Desember 15, 2012, from sejarah dan nilai tradisional:
http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/05/sekitar-proklamasi-kemerdekaan-17-8-45_03.html
Penerangan, D. (1953). Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Djawatan Penerangan.
Poerbakawatja, P. S., & Soegarda, P. (1979). Pendidikan Menengah Umum dalam Alam Indonesia Merdeka.
Jakarta: Yayasan Idayu.
Profil Umar Kayam. (n.d.). Retrieved Desember 15, 2012, from Merdeka.com:
http://www.merdeka.com/profil/indonesia/u/umar-kayam/
Santoso, A. (2009). Hoegeng: oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa.
Yogyakarta: PT Mizan Publika.
Sejarah UGM. (n.d.). Retrieved Desember 2012, 16, from Universitas Gadjah Mada:
http://www.ugm.ac.id/content.php?page=0&display=2
Sekolah Tinggi Teknik Bandung. (n.d.). Retrieved Desember 16, 2012, from Wikipedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_Tinggi_Teknik_Bandung
Setiawan, H. (2010, Agustus 23). Kesadaran Kebudayaan Rakyat. Retrieved Desember 15, 2012, from Arus
Bawah 2.0: http://arusbawah20.wordpress.com/2010/08/23/kesadaran-kebudayaan-rakyat/#more-92
Soeprono, R. (1997). Selangkah Tapak di Tiga Jaman: mahasiswa pejuang kedokteran. Jakarta: Yayasan
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Suwarno, P. (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah
tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius.
Lampiran I
(Sumber: Laporan Praktik Pengalaman Lapangan di SMA 3 Yogyakarta oleh Riana Amretasari .dkk, 1991)
Lampiran II
(Sumber: Pendidikan Menengah Umum dalam Alam Indonesia Merdeka, hal Lampiran oleh Poerbakawatja &
Soegarda , 1979)