Upload
truongkhanh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEMAHAMI ULANG HADȊTS TENTANG ORANG
YANG MELUPAKAN HAFALAN AL-QUR’ÂN
(KAJIAN IKHTILÂF AL-HADȊTS)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Mohamad Fauzan
1113034000064
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
MEMAHAMIULANG HADITS TENTANG ORANG
YANG MELUPAKAN HAFALAN AL… QUR'AN
“
Иπ 4ⅣJ⊆r7互ИFИニモノDIη
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas UshuluddinUntuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ahli Agama (S.Ag)
Oleh:
Mohamad Fauzan1113034000064
Di bawah Birnbingan:
Dro Ativatul Ulva ⅣI.Ag
NIP.197001121996032001
PROGRAM STUDIILMU AL― QUR'AN DAN TAFSIRFAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1438H/2017M
PERSETUJUAN PARA PENGUJI
Skripsi bettudul“PIEDIIAHAⅣⅡ ULANG HADITS TENTANG ORANG
YANG IⅦELUPAKAN HAFALAN AL‐ QUR'AN ttJf/Ⅳ 【 [■圧ノF ИZ―
二ADIT勁"telah dittikan dalanl sidallg munaqasy〔 澁 Fttmltas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatl11lall Jalctta,pada 29 November 2017.Skripsi ini tclah ditc五 ma
scbagai salah sattl syartt mclnpcrolch gelar Sttana Agama(S.Ag)pada PrOgram
Sttldi 1lmu al― Qur'all dan Tafsir.
Jakarta,29 Novcmbcr 2017
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, S ekretaris Merangkap Anggota,
1003⊇ra.BanlmiBinaninglll■ i,M PdNIP 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I
Pembimbing,
″
―lhr
りし物Dr.Ativatlll Ulva、 M.Ag
NIP:197001121996032001
Penguji II
Hasanuddin Sinaga,MANIP.1971021719980311202003121003
LEⅣIBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini rneruprkan hasil karya asli saya yang diajuk;n untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN
Syar if Hidayatullah .lakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah .Takafia.
3. Jika kernudian hari tcrbukti bahr.,a karya ini bukan hasil karya asli saya
atarr lnerupakan hasil jiplakan clari l<arya orang lain, rnaka sa-va berscclia
menerima sanksi yan_u berlakr-r di UIN Syarif Hidayanillah.Iakarta.
Jakarta, Novcmbcr 2017
Mohamad Fauzan
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts te dan es د
J Je ج
H h dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ر
R Er س
Z Zet ص
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ى
W We
H Ha
Apostrof ` ء
Y ye
iv
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ا
Ī i dengan daris di atas
Ū u dengan garis di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti
huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan
asy-syamsiyyah, al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara
berturut-turut, seperti ت .al-sunnah = الس
6. Ta marbūṯah
v
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti شة Abū = أب ش
Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاس
= al-Bukhāri.
vi
ABSTRAK
Mohamad Fauzan
Memahami Ulang Hadîts Tentang Orang Yang Melupakan Hafalan al-
Qur’ân (Kajian Mukhtalif al-Hadîts)
Problematika utama yang di diteliti dalam tulisan ini adalah apakah
orang yang menghfalkan al-Qur‟an boleh melupakan hafalan al-Qur‟ân?,
Tulisan ini mendiskusikan pemahaman hadîts yang terkait dengan
permasalahan tersebut. Di sini penulis menemukan hadîts yang mengatakan
bahwa dosa yang paling terbesar adalah orang yang melupakan hafalan al-
Qur‟ân, dan orang yang melupakan hafalan al-Qur‟ân pada hari kiamat nanti
akan di potong tangannya. Tapi di satu sisi penulis menemukan hadîts
dimana Rasȗlullah lupa akan ayat al-Qur‟ân. Sehingga dari penjelasan
tersebut secara tekstualis hadîts tentang orang yang melupakan hafalan al-
Qur‟ân berlawanan.
Penelitian skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan
(library research). Untuk itu, digunakan bahan-bahan kepustakaan dengan
sumber primer dari Sunan at-Tirmidzî, sunan Dawȗd, Sahîh Bukhârî, serta
kitab Ikhtilaf al-Hadîts. Dalam mengolah data, langkah yang pertama
dilakukan adalah mentakhrij untuk mengetahui kualitas dari hadîts tersebut.
Kemudian langkah kedua menggunakan teori ikhtilâf al-Hadîts, langkah
yang digunakan sebagai metode penyelesaian hadîts-hadîts yang
bertentangan: al-Jam‟u wa at-Taufiq(kompromi), jika jalan kompromi tidak
bisa dilakukan maka Nasikh wa al-Mansukh (membatalkan salah satu dan
mengamalkan yang lain), dan jika jalan Nasikh wa al-Mansukh tidak bisa
dilakukan maka Tarjih (memilih yang terkuat).
Dengan demikian, jalan yang ditempuh penulis dalam
menyelesaikan hadîts mukhtalif menggunakan metode Tarjih, dengan
mengunggulkan salah satu hadîts dilihat dari kualitas hadîts tersebut.
Berpijak kepada pembahasan disini penulis menyimpulkan, bahwa orang
yang melupakan hafalan al-Qur‟ân tidak mendapatkan dosa karna hadîts
yang mengatakan itu kualitasnya dha‟if, akan tetapi yang mendapatkan dosa
adalah orang yang melalaikan al-Qur‟ân. Dan hadîts yang mengatakan
Rasȗlullah lupa akan ayat al-Qur‟ân, Rasȗlullah Saw bukan lupa secara
sengaja melainkan lupa sesaat dimana itu adalah sifat manusiawi. Tapi di
satu sisi hadits ini juga bisa di kompromikan bila di lihat dari segi makna
dari matan hadits tersebut.
Kata kunci : Penghafal al-Qur‟ân, Ikhtilaf al-Hadîts, Lupa
vii
KATA PENGANTAR
بسن هللا الش حوي الشحن
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan kasih sayang, kesehatan dan ridho-Nya serta memberikan
istiqomah, keikhlasan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul: Memahami Ulang Hadîts Tentang Orang Yang
Melupakan Hafalan al-Qur’ân (Kajian Mukhtalif al-Hadîts) Shalawat
dan salam kepada nabi Muhammad Saw junjungan para umat yang berpikir,
dimana mencari sebuah kebenaran dalam sebuah konsep ketuhanan yang
telah dikonsep secara rapi dan sistematis untuk umatnya hingga akhir
zaman.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya tugas akhir untuk jenjang
pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh. Penulis yakin di dalam
penulisan skripsi ini pasti banyak kekurangan di dalam menyelesaikannya.
Maka dari itu penulis menyadari dan mempunyai kewajiban untuk
menghaturkan permintaan maaf kepada pembaca atas ketidaksempurnaan
yang memang itu telah kodrat bagi manusia itu sendiri.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin
dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari
itu sebagai ungkapan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku
viii
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan
Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua
Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir.
2. Ibu Dr. Atiyatul Ulya M.Ag, selaku dosen pembimbing penulis
yang telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada
penulis, sehingga skripsi dapat terselesaikan. Mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika selama proses bimbingan penulis
banyak merepotkan. Semoga ibu selalu sehat dan diberikan
kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
3. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi MA, selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari
semester satu hingga selesai.
4. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di
Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi,
ilmu pengetahuan, bimbingan wawasan dan pengalaman yang
telah diberikan. Kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan
sayangi ayahanda H. Hamzah dan ibunda tercinta Hj. Romlah
yang selalu memberikan masukan kepada saya untuk selalu
semangat dan sabar dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak
lupa mereka selalu mendoakan saya agar selalu diberikan
kesehatan dan waktu luang agar dapat mengerjakan skripsi ini
dengan baik dan benar. Kedua orang tua adalah sumber
inspirasi bagi penulis dalam menjalankan hidup dan
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada saudara-saudara penulis yang tersayang Hawilah,
Abdul Aziz, Ari Syahrial, Nurul Fachri serta keluarga besar
penulis yang selalu memberikan semangat dan mendoakan
penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
8. Kepada Kiayi Pondok Pesantren al-Qur‟an al-Falah Bandung
(Alm) K.H.Q Ahmad Syahid Ph.D yang telah menjadi inspirasi
saya serta guru yang selalu mengingatkan santrinya dalam hal
apa pun, semoga amal dan ibadahnya di terima disisi Allah.
Amiin.
9. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh teman-teman
Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2013, Salman, Faris Maulana
Akbar, Nur Izzah, Uswah, Muslih, alm. Afif Hasan Naufal,
Fijay dan lainnya. Maafkan penulis tidak dapat menuliskan
seluruh nama-nama kalian seangkatan, tapi percayalah
pertemanan kita akan selalu dikenang.
x
10. Kepada Kaum Jenggot (Haikal, Aristo, Feby, Fauzi, dan
As‟ad) yang telah membantu serta menjadi penghibur disaat
penulis sedang pusing dalam penelitian ini semoga kalian
selalu dirahmati Allah. Amiin.
11. Kepada sahabat Hilma Fauzia Ulfa dan Yuliana Humaeroh,
yang telah menyemangati penulis, mendegarkan keluh kesah
penulis selama penelitian ini berlangsung dan memberikan
semangat serta masukan-masukan, semoga kita menjadi
sahabat selamanya dan juga semoga Allah memeberikan
kesehatan kepada kita semua.
12. Kepada teman-teman el-Haqq Risa, Taufiqurrahman, Wildan
Alwi, Elis, Badrusaalam, Ary Mutawally, yang telah
memberikan waktu luangnya untuk menyemangati penulis dan
selalu menanyakan kapan wisuda?, sehingga penulisan skripsi
ini bisa penulis selesaikan.
13. Teman-Teman KKN Renaissancce: Fajar dan Sandra,
kebersamaan dengan kalian selama kurang lebih sebulan
banyak memberi saya pelajaran yang sangat berharga, serta
memberi banyak masukan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
14. Dan kepada teman-teman yang penulis tidak dapat sebutkan
namanya satu persatu yang mana selalu memberikan semangat
dan motivasi penulis dalam menyelasaikan karya ilmiah ini.
xi
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah
SWT. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Jakarta, Oktober 2017
Mohamad Fauzan
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
BAB 1PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 10
C. Tujuan Masalah ................................................................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 11
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 13
F. Sistematika Penelitian ....................................................................... 15
BAB II DESKRIPSI TENTANG MENGHAFAL AL-QUR’AN ........... 17
A. Sejarah Menghafal al-Qur‟ân ............................................................ 17
B. Metode Menghafal al-Qur‟ân ............................................................ 25
C. Menjaga Hafalan al-Qur‟ân............................................................... 28
D. Keutamaan Menghafal al-Qur‟ân ...................................................... 31
BAB III ILMU MUKHTALIF AL-HADÎTS ........................................... 36
A. Pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadîts ................................................ 36
xiii
B. Metode Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadîts Menurut Para Ulama .......... 39
1. al-Jam‟u wa at-Taufiq (Kompromi) .............................................. 41
2. Tarjih (Memilih yang terkuat) ....................................................... 45
3. Nasikh wa al-Mansukh (membatalkan salah satu dan mengamalkan
yang lainnya)......................................................................................... 48
C. Urgensi Ilmu Mukhtalif al-Hadîts wa Musykiluh ............................. 50
BAB IV PENYELESAIAN HADÎTS SANKSI BAGI ORANG YANG
MELUPAKAN HAFALAN AL-QUR’AN ............................................... 55
A. Teks Hadîts dan Takhrij Hadîts......................................................... 55
1. Hadîts Sanksi Bagi orang yang melupakan hafalan ayat al-Qur‟ân
55
2. Hadîts Nabi lupa akan ayat al-Qur‟ân ........................................... 60
B. Penyelesaian Hadîts Mukhtalif ......................................................... 62
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 74
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Saran .................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 76
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam sebagaimana yang difirmankan Allah adalah agama
yang sempurna, agama yang berlaku untuk semua manusia. Ajarannya
selalu sesuai dengan zaman dan tempat, Salihun likulli zamân wal makân.
Islam sebagai agama yang universal, memiliki sumber yang telah diakui
yaitu al-Qur‟ân dan al-Hadîts.1 Pada masa Nabi Muhammad Saw masih
hidup, beliau menjadi rujukan setiap masalah yang terjadi figur sentral
dalam kehidupan masyarakat. Setelah wafat, perkataan, perbuatan, dan
ketetapan beliau dijadikan rujukan setiap permasalahan yang ada. Dengan
demikian, al-Qur‟ân dan hadîts Nabi menjadi dua sumber pembentukan
hukum Islam, sehingga semua permasalahan merujuk kepada keduanya.
Al-Qur‟ân adalah kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang
diturunkan kepada “pungkasan‟ para nabi dan rasul, dengan perantaraan
malaikat Jibril a.s yang tertulis pada masahif, diriwayatkan kepada kita
dengan mutawatir, membacanya terhitung ibadah, diawali dengan surat Al-
Fâtihah dan diakhiri dengan surat An-Nâs.2 Sebaik-baik bacaan adalah al-
Qur‟ân. Bagaimana tidak, al-Qur‟ân adalah petunjuk bagi manusia yang
tidak mau tersesat hidupnya. Al-Qur‟ân adalah sebagai buku manual. Setiap
produk berteknologi tinggi memiliki buku manual atau panduan
penggunaanya yang dibuat oleh produsen. Begitu pula Sang Pencipta Yang
1 Lihat surat an-Nisa ayat 59.
2 Syekh Muhammad Ali Ash-Shabȗni, Ikhtisar Ulumul Qur‟ân Praktis
(Jakarta:Pustaka Amami, 2001), hal.3.
2
Maha Penyayang tidak begitu saja menciptakan manusia. Manusia diberi
panduan untuk berjalan di kehidupannya sesuai dengan tujuannya
diciptakan. Allah Maha tahu bahwa manusia diciptakan lengkap dengan
atributnya, seperti nafsu kemalasan. Untuk itu manusia harus diberi motivasi
agar mau berbuat baik. Agar manusia mau membaca al-Qur‟ân, yang jelas
merupakan panduan baginya dengan membaca, menghafal, memahami
seerta mengamalkannya.
Membaca dan menghafalkan al-Qur‟ân termasuk meneladani atau
mengikuti sunnah rasul dan para sahabatnya. Karena dalam beberapa
riwayat beliau banyak berbicara tentang keutamaan membaca dan
menghafalkan al-Qur‟ân, riwayat tersebut diantaranya:
ا اا نااذبد اخبشناا ناا نااذبد ػبااذ احدانااذ نااذبد ػبااذ احااشن انااشا مساام ناا
حؼما اش ما ام خ ال ػما ق اا ق اا ق س ادق ل ام ل ػم ػ اؼذع احدؼ ن ن
ػم ل احقشان
“Telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Ibrâhîm telah
menceritakan kepada kami „Abdul Wâhid telah menceritakan kepada
kami „Abdurrahman bin Ishaq telah menceritakan kepada kami an-
Nu‟mân bin Sa‟d dari „Ali ia berkata: Rasȗlullah shallahu „alaihi
wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang
mempelajari al-Qur‟ân dan mengajarkannya.”3
Al-Qur‟ân sendiri memberi isyarat bahwa ia mudah untuk
dihafalkan, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Qamar ayat 17:
3 Abdullah Ibn „Abdirrahman Ibn al-Fadl Ibn Bahram Ibn Abi Samad al-Taimi,
Sunan al-Darimi, (Beirut:Dar al-Fikr, T.th), Bab keutamaan al-Qur‟ân, Juz.2, hal.528.
3
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur‟ân untuk
pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Menghafal al-Qur‟ān merupakan tradisi yang berlanjut sejak
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw hingga saat ini. Pada masa Nabi
Saw hafalan menjadi andalan utama dalam menukilkan ayat-ayat al-Qur‟ān.
Di berbagai pusat studi Islam dewasa ini, selalu dan masih banyak
ditemukan orang menghafal al-Qur‟ān dengan tekun. Setelah dikodofikasi
ke dalam mushaf pada masa Khālifah „Utsmān, tulisan kemudian menjadi
rujukan tambahan.4
Hukum menghafalkan al-Qur‟ân adalah farḏu kifayah, yakni jika ada
sekelompok manusia yang di dalamnya terdapat seorang penghafal al-
Qur‟ân maka gugurlah kewajiban yang lain. Namun jika belum atau tidak
seorangpun dari mereka yang menghafal al-Qur‟ân, maka berdosalah
seluruh anggota kelompok dalam suatu desa atau kampung tersebut.5
Dalam menghafalkan al-Qur‟ân, seseorang tidak terus-menerus
menghafalkannya saja, namun lebih dituntut untuk senantiasa menjaga
hafalannya agar terhindar dari lupa, karena melupakan ayat-ayat al-Qur‟ân
yang telah dihafalkan dampak memberi dampak tersendiri bagi
penghafalnya. Karena orang yang sering lupa akan berpengaruh dalam
kegiatan sehari-harinya, seperti muncul kelupaan ketika kita akan
mengungkapkan perkataan pada lawan bicara kita. Banyak para sahabat
yang menghafalkan al-Qur‟ân berusaha semaksimal mungkin untuk
4 Darwis Hude, Jurnal Studi al-Qur‟ân, (Tangerang Selatan: Pusat Studi al-
Qur‟an, 2007), hal. 419 5 Ahmad Salim Badwilan, Panduan Cepat Menghafal al-Qur‟ân,
(Jogjakarta:DIVA Press, 2009), hal.23.
4
menjaga hafalannya dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengulang-
ulang bacaan yang dihafalkannya baik dalam shalat ataupun diluar shalat
banyak diantara para sahabat yang menulis al-Qur‟ân agar mempermudah
membacanya sesuai yang dibacakan oleh nabi dan menguatkan hafalannya.
Kelupaan itu tidak disandarkan kepada manusia, karena lupa itu
berasal dari setan. Seorang hamba yang lupa dengan ayat-ayat al-Qur‟ân itu
hanya kerancuan dari iblis, dimana menyibukkan seseorang dengan urusan
dunia serta memalingkan perhatian dan hatinya dari ayat-ayat al-Qur‟ân
yang agung, sehingga ia lupa apa yang sudah dihafalnya. Oleh karena itu,
lupa disini disandarkan bukan kepada manusia, melainkan kepada setan.
Lupa terhadap hafalan al-Qur‟ân dibagi menjadi dua bagian: lupa yang
diluar batas kemampuan hamba, sepeerti ketika menderita sakit yang
menghilangkan ingatannya, atau benar-benar tidak mampu mengingat al-
Qur‟ân setelah ia mencoba mengulang-ulang dan menjaganya serta
menyibukkan diri dengannya. Maka kondisi seperti ini bisa dimaafkan dan
dimaklumi. Sedangkan (kedua), yaitu lupa yang berasal dari perbuatan
hamba dengan kesibukannya dari (membaca dan menghafal) al-Qur‟ân serta
berpalingnya kepada dunia dan berbagai kesibukan kehidupan sehingga dia
melupakan Kitabullah dan melupakan apa yang telah dihafalnya. Inilah yang
berdosa, karena dia telah lalai dalam kehidupannya.6
6 Aidh bin Abdullah al-Qarni, 391 hadîts pilihan, (Jakarta: Darul Haq, 2007),
hal.210.
5
Dalam hadîts dijelaskan perumpamaan orang-orang yang menjaga
hafalan al-Qur‟ân itu lebih cepat lepasnya unta dari ikatannya, berikut
hadîtsnya:
أن م أن نشدة ػ نشيذع ػ احؼلء نذبد أند أ مت ػ نذبد م ذ ن د ػ
م ا ق حؼ ذا احقشآن فداحزي نفس نذه حهد أشذ حفص ل احدب م ل ػم م
نل ف ػقمه ال
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-'Ala` Telah
menceritakan kepada kami Abu Usâmah dari Buraid dari Abî
Burdah dari Abî Mȗsa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Peliharalah selalu Al-Qur`ân, demi Dzat yang jiwaku
berada di Tangan-Nya, sungguh ia cepat hilang daripada Unta yang
terikat.”
Dari hadîts tersebut penghafal al-Qur‟ân itu ibarat pemilik unta,
unta yang diikat diibaratkan dengan hafalan al-Qur‟ân. Tetapi ini hanya
penyerupaan secara maknawi saja, al-Qur‟ân adalah azali sedangkan unta
adalah sesuatu yang baru.
Melihat dari realita yang ada, setiap manusia dianugerahi akal dan
otak yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Adakalanya seseorang
mempunyai tingkat menghafal yang tinggi sehingga mampu menjaga segala
apa yang telah dihafalkannya (termasuk ayat al-Qur‟ân) dengan mudah
tanpa harus bersusah payah. Disisi lain banyak juga manusia yang tingkat
kemampuan menghafalnya tidak begitu cemerlang sehingga ia memerlukan
usaha yang lebih serius untuk menjaga apa yang telah dihafalkannya. Dalam
usaha menjaga hafalan al-Qur‟ân, tidak dibedakan antara seseorang yang
mempunyai tingkat kemampuan menghafal yang tinggi ataupun rendah.
6
Mereka sama-sama dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin dalam
upaya menjaga hafalannya. Permasalahan yang muncul, bagaimana hukum
ketika seseorang lupa terhadap ayat-ayat yang telah dihafalkanya, baik lupa
itu disengaja ataupun tidak disengaja, dan lupa yang bersifat sementara atau
selamanya.
Melupakan bacaan atau hafalan al-Qur‟ân yang pernah dihafalnya
adalah suatu dosa besar, mengingat sabda Rasȗlullah Saw, sebagai berikut
ini:
ان ػبذ احؼضيض ن ذ ن ػبذ اح ك احخضص اخبشن ػبذ اح ج نذبد ػبذ احد ب ن
م حكع ا ق ا ق انس ن ندطبع ػ ػبذ ل ن اح طمب ن جشيجع ػ ان ادع ػ س
م ػشضج ػم اجدس امخ نخ احقزاة يخشجه احشجل ل س دق ل م ل ػم
آيتع احقشآن ا دسةع م ػشضج ػم رندب امخ فم اس رنب اػظ م اح سجذ م
سجل ب نسه احه
“Telah menceritakan kepada kami „Abdul Wahhâb bin „Abdul
Hakam al-Khazzaz telah mengabarkan kepada kami „Abdul Majîd
bin „Abdul „Azîz bin Abȗ Rawwâd dari ibnu Juraij dari Muṯâlib bin
„Abdullah bin Hantab dari anas bin Mâlik dia berkata: Rasȗlullah
shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Pahala-pahala ummatku
ditampakkan kepadaku, hingga pahala seseorang yang membuang
debu dari masjid, dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku,
maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu
ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian dia
melupakannya.”7
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan juga “Barang siapa
membaca al-Qur‟ân kemudian ia melupakannya maka ia akan menghadap
7 Abȗ Isa Muhammad Ibn Musa al-Dahaq al-Sulami al-Bughi, Sunan al-Tirmidzi,
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), hal. 178.
7
Allah pada hari kiamat dengan tangan buntung.”8 Seperti dalam hadîts
berikut ini:
ف ئزع س ن ػ ان صي دع ػ يضيذ ن ادسيس ػ احؼل اخبشن ان نذبد م ذ ن ػ
ا م م م ل ػب دث ا ق ا ق س دق ل م ل ػم مشئع يقشأ احقشآن ب ؼذع ن
جل يدم احق مت أجزم يدس ه أال حق ل ػض
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-„Ala, telah
mengabarkan kepada Ibnu Idrîs dari Yazîd bin Abȗ Ziyâd dari „Ȋsa
bin Fâid dari Sa‟d bin „Ubâdah ia berkata: Rasȗlullah shallallhu
„alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mempelajari
(menghafal) al-Qur‟ân kemudian melupakannya, kecuali ia akan
bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan terputus
tangannya.”9
Dari dua hadîts di atas terdapat keterangan bahwa orang yang
melupakan ayat al-Qur‟ân akan mendapatkan dosa yang paling besar
(menurut hadîts pertama) dan akan menghadap Allah pada hari kiamat
dalam keadaaan tangan yang terputus (menurut hadîts ke dua). Sehingga
dari sini menjadi jelas bahwa orang-orang yang mengabaikan al-Qur‟ân
dengan tidak menjaganya dan melupakannya sangat dibenci oleh agama.
Namun demikian, kita sebagai manusia tidak bisa lepas dari
beberapa sifat dasar manusia yang salah satunya adalah sifat lupa, bahkan
kita sering mendengar sebuah wacana bahwa manusia adalah tempatnya
salah dan lupa. Nabi Muhammad pun juga mengalami hal tersebut.
Meskipun seorang utusan Allah, tetapi beliau juga tidak lepas dari sifat lupa.
Sejarah mencatat bahwa beliau juga pernah mengalami lupa akan beberapa
8 Zainal Abidin S, Seluk Beluk al-Qur‟ân, (Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1992), hal.
21. 9 Al-Sijitsani, Abȗ Dawȗd Sulaiman bin Al-Ats, Sunan Abȗ Dâwud, Beirut:
(Maktabah al-„Ashriyah, 275 H),hal.254.
8
ayat al-Qur‟ân. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Ṣahîh Bukhârî dan
Muslim yang redaksi hadîtsnya penulis ambil dari Bukhâri:
نا مع ػا يادنس ػا ادنع أخبشنا ػسا نا م اذ نا ػب نذبد م ذ ن أنال ػا
م سجال يقاشأ فا اح ساجذ ل ػ ئنت سض ل ػده ا حج غ احدب م ل ػم
صاد ػ ازا دسة ازا م زا آيت أ قطخه فق ق سن ل ل حقذ أر شن زا با د نا
خا فسا غ ادث ػبا دع ام فا ن ال ػ ئنات حهجاذ احدبا ام ل ػم ػبذ ل ػا
ا يصم ف اح سجذ فق ق ي ػ ئنت أ دث ػب دع زا امج نؼ ا ق احمه اسن ػب د
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid bin
Maimȗn telah mengabarkan kepada kami 'Ȋsa bin Yȗnus dari Hisyâm
dari bapaknya dari 'Âisyah radliallahu 'anha berkata; Rasȗlullah
shallallahu 'alaihi wasallam mendengar sesoerang membaca Al
Qur'an di masjid lalu Beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati
orang itu. Sungguh dia telah mengingatkan aku tentang ayat ini dan
itu yang aku telah lupa dari surat ini dan itu". Dan 'Abbâd bin
'Abdullah menambahkan dari 'Âisyah radliallahu 'anha: "Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat tahajjud di
rumahku lalu Beliau mendengar suara 'Abbâd yang sedang shalat di
masjid lalu Beliau berkata: "Wahai 'Âisyah, apakah itu suara
'Abbâd?" Aku jawab: "Ya". Maka Beliau bersabda: "Ya Allah
rahmatilah 'Abbâd".
Menurut Ibn Hajar, mengutip dari al-Isma‟iliy, lupa Rasȗlullah
tentang ayat al-Qur‟ân dapat dibagi ke dalam dua keadaan. Keadaan yang
pertama merupakan lupa akan hal-hal yang ia ingat sesaat sebelumnya,
sedangkan yang kedua merupakan lupa akibat dihapusnya ayat al-Qur‟ân
dari hatinya akibat hukum naskh. Keadaan yang pertama terjadi akibat tabiat
manusia, yaitu sifat lupa. Hal ini dikuatkan dengan hadîts yang diriwayatkan
dari Ibn Mas‟ȗd dalam sujud sahwi bahwasannya Rasȗlullah berkata:
„sesungguhnya aku manusia seperti kalian, aku lupa seperti kalian juga
lupa‟. Dan yang perlu ditekankan adalah, bahwa keadaan yang pertama ini
9
cepat hilangnya, atau dalam kata lain Rasulullah akan cepat mengingat
kembali ayat-ayat yang telah ia lupa.
Dari pemaparan di atas dapat diklasifikasikan bahwa ada dua hadîts
yang kelihatannya bertentangan dalam masalah yang sama, yaitu tentang
orang yang melupakan hafalan al-Qur‟an setelah mereka menghafal al-
Qur‟an. Hadîts pertama adalah larangan dari Rasūlullah untuk melupakan
ayat al-Qur‟ân, sedangkan hadîts kedua adalah hadîts yang menerangkan
bahwa Rasȗlullah sendiri ternyata pernah lupa akan ayat-ayat al-Qur‟ân.
Oleh karena itu, di sini penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut hadîts
yang bertentangan tersebut.
Selanjutnya dalam skripsi ini, akan dibahas masalah melupakan
hafalan al-Qur‟ân. Penelitian ini diberi judul, “’Memahami Ulang Hadîts
Tentang Orang Yang Melupakan Hafalan al-Qur’ân (Kajian Ikhtilaf
al-Hadîts )”. Penulis memilih judul tersebut kaarena penulis melihat
problema yang terjadi di masyarakat tentang tema yang akan dibahas,
karena pada umumnya masyarakat kita, masih belum memahami bahkan
banyak yang tidak mengetahui tentang sanksi atau akibat dari melupakan
hafalan al-Qur‟ân.
Dengan penelitian ini, nantinya kita akan dapat mengetahui
kehujjahan hadîts tersebut, dengan harapan apabila hadîts ini ditemukan
oleh masyarakat awam bukan saja dipahami dari tekstualnya saja malahan
nanti bisa dipahami secara kontekstual, dan bisa mengetahui posisi hadîts
tentang melupakan hafalan al-Qur‟ân.
10
Oleh karena itu, tidak semua hadîts kualitasnya sama, maka
memerlukan kajian khusus yaitu penelitian, melalui takhrij al-Hadîts. Baik
penelitian sanad maupun matan.
Tujuannya untuk menyelamatkan hadîts Nabi Saw di tengah-tengah
berkecamuknya pembuatan hadîts palsu, maka ulama hadîts menyusun
berbagai cara dan kaidah di dalam ilmu penelitian hadîts. Kaidah-kaidah
hadîts ini dibuat untuk meneliti kesâhihan sanad dan matan hadîts, terutama
ilmu-ilmu hadîts yang sangat penting kedudukannya dalam upaya penelitian
sanad hadîts diantaranya ilmu rijâl al-Hadîts.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kekeliruan dan kerancuan dalam pembahasan,
maka penulis perlu membatasi masalah yang dikaji dengan hanya meneliti
hadîts-hadîts yang terdapat dalam latar belakang saja, yaitu hadîts yang
diriwayatkan oleh Abȗ Dâwud, at-Tirmidzî dan Imâm Bukhârî. Yang mana
pada hadîts tersebut terdapat dua hadîts yang bertentangan. Hadîts pertama
adalah sanksi untuk yang melupakan al-Qur‟ân, sedangkan kedua adalah
hadîts yang menerangkan bahwa Rasȗlullah sendiri ternyata pernah lupa
akan ayat-ayat al-Qur‟ân.
2. Perumusan Masalah
Bagaimana memahami hadîts tentang orang yag melupakan hafalan
al-Qur‟ân dalam kajian Mukhtalif al-Hadîts?
11
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui lebih jelas lagi kualitas sanad dan matan hadîts
tentang sanksi melupakan hafalan al-Qur‟ân.
Untuk mengetahui pemahaman dari dua hadîts yang bertentangan
tersebut.
Untuk menambah lagi wawasan pengetahuan keagamaan khususnya
mengenai hadîts tentang sanksi melupakan hafalan al-Qur‟ân.
Untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menyelesaikan gelar
sarjana strata satu (SI) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi
ini dengan skripsi lain, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian
yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil
penulusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat
metodologi atau pendekatan yang sama, sehingga diharapkan kajian yang
penulis lakukan tidak plagiat dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan,
penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas hadîts
tentang sanksi bagi yang melupakan hafalan al-Qur‟ân. Namun ada skripsi
yang membahas tentang seputar al-Qur‟ân yaitu judul Keutamaan membaca
al-Qur‟ân karya Farida (109034000060) tahun 2013, yaitu menganalisis
penngetahuan mahasiswa tafsir hadîts dalam membaca al-Qur‟ân.
Membaca dan Menghafal al-Qur‟ân dikalangan Mahasiswa Tafsir Hadîts
12
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Studi kasus
Mahasiswa Tafsir Hadîts semester 3 dan 5 tahun 2013) karya Nurlaila
(1090034000041) tahun 2014. Kemudian skripsi berjudul Metode Membaca
al-Qur‟ân (Studi Komparatif Metode Qira‟ati sengan Metode Iqra) karya
Indriyani Sukmana (105034001208) tahun 2010, kemudian skripsi berjudul
Larangan Melupakan Hafalan al-Qur‟ân dalam al-Kutub al-Sittah (Studi
Analisis Sanad dan Matan Hadîts ) karya Noviyanti (1110034000120),
dalam skripsi tersebut dijelaskan hadîts -hadîts yang melarang melupakan
hafalan al-Qur‟ân, dimana di dalam skripsi tersebut mentakhrij hadîts
dengan satu tema yang sama yang di batasi hanya dengan kitab hadîts dari
kutub as-Sittah, kemudian skripsi yang berjudul Persetujuan Mempelai
Perempuan Dalam Pernikahan Perspektif Hadîts (Kajian Mukhtalîf al-
Hadîts) karya Ririn Rindiana Dewi (1112034000028) tahun 2017, dalam
skripsi tersebut menjelaskan tentang seputar ilmu mukhtalif al-Hadîts, yang
mana di dalam skripsi tersebut menyelesaikan hadîts -hadîts yang
bertentangan tentang Ijbar dalam pernikahan.10
Kemudian skripsi berjudul
Kredit Dalam Perspektif Hadîts (Studi Analisis Mukhtalîf al-Hadîts al-
Imam asy-Syâfi‟î) karya Muhammad Restu Eka Saputra (1111034000019)
tahun 2016, dalam skripsi ini pula dijelaskan tentang seputar ilmu Mukhtalîf
al-Hadîts, baik dari segi pengertian, sejarah, serta pembagian dalam ilmu
tersebut, di satu sisi skripsi ini juga menyelesaikan permasalahan pada
10
Rinrin Rindiana Dewi, Persetujuan Mempelai Perempuan Dalam Pernikahan
Perspektif Hadîts (Kajian Mukhtalîf al-Hadîts), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Jakarta, 2017), hal. 40.
13
hadîts yang bertentangan tentang masalah kredit dan diselesaikan dengan
ilmu Mukhtalîf al-Hadîts.11
Dari tinjauan skripsi diatas, penulis belum menemukan judul skripsi
yang mebahas tentang Sanksi bagi yang melupakan hafalan al-Qur‟ân, apa
lagi dalam skripsi ini penulis menemukan dua hadîts yang bertentangan,
yaitu hadîts pertama membahas tentang sanksi bagi orang yang melupakan
al-Qur‟ân, sedangan hadîts kedua menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah
lupa akan ayat-ayat al-Qur‟ân.
E. Metodologi Penelitian
Untuk menyelesaikan Skripsi ini, penulis menempuh tiga metode yaitu:
1. Pengumupulan Data
Dalam upaya pengumpulan data penulis menggunakan metode
library Research (Kajian Pustaka) yaitu dengan cara mengumpulkan buku
atau tulisan yang ada kaitan dengan tema penelitian kemudian data
dokumen-dokumen tersebut digali sesuai dengan masalah dan tujuan
penelitian. Sumbernya pun tidak terbatas pada buku saja tapi bersumber
dengan yang lainnya juga seperti Jurnal, dan Artikel-artikel yang mencakup
pembahasan tersebut.
2. Analisa Data
a. Mencari data melalui lafaẕ atau melalui pencarian periwayat dari
sahabat yang terdekat dengan Nabi Muhammad Saw dengan
11
Muhammad Restu Eka Saputra, Kredit Dalam Perspektif Hadîts (Studi Analisis
Mukhtalîf al-Hadîts al-Imam asy-Syâfi‟î), (Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta,
2016), hal. 35.
14
menggunakan kitab kamus hadîts al-Mu‟jam al-Mufahrâas li Alfaẕ
al-Hadîts al-Nabawî karya AJ. Wensinck.
b. Mencari data-data yang sudah diperoleh dari kitab kamus tersebut
dan kemudian merujuk pada kitab asli yang datanya sudah dicari
dalam kitab kamus hadîts.
c. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) hadîts dari data yang
diambil dalam kitab asli kemudian menentukan kedudukan hadîts
tersebut dengan cara meneliti kepribadian periwayat hadîts melalui
kitab-kitab rijâl al-Hadîts.
d. Melakukan penelitian kembali melalui ilmu Mukhtalif al-Hadîts,
Ada 3 langkah yang digunakan sebagai metode penyelesaian hadîts-
hadîts yang bertentangan:
1. Al-Jam‟u wa al-Taufîq (Kompromi)
2. Tarjih (Memilih yang terkuat)
3. Nasikh wa al-Mansukh (membatalkan salah satu dan
mengamalkan yang lain)
Dalam hal ini penulis memilih Tarjih dan al-Jam‟u wa at-Taufiq
sebagai metode penyelesaian hadîts-hadîts yang bertentangan yaitu hadîts
yang diriwayatkan oleh Abȗ dawȗd, Turmudzî dan Bukhârî karena dalam
penelitian awal penulis hadîts yang bertentangan tersebut ada keganjalan
dari segi sanad, karena ada beberapa yang statusnya dha‟if.
Pembahasan di dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis, yaitu
suatu penjelasan melalui pengumpulan data-data dan pendapat para ahli,
kemudian ditelaah dan dianalisis sehingga menjadi sebuah kesimpulan.
15
3. Teknik Penulisan
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
F. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pemahaman dalam tulisan ini, maka penulis
susun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan Pendahuluan, didalam bab ini penulis
menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika
penelitian.
Bab kedua pula menjelaskan seputar Menghafal al-Qur‟ân, dalam
bab ini menjelaskan tentang Sejarah Menghafal al-Qur‟ân, Metode
Menghafal al-Qur‟ân, Menjaga Hafalan al-Qur‟ân, dan Keutamaan
menghafal al-Qur‟ân.
Bab ketiga merupakan mengumpulkan data-data yang
dijadikan dalam penelitian ini sebagai teori pemahaman penelitian
yaitu mengenai Mukhtalif al-Hadîts. Hal ini dilakukan sebagai
landasan teori untuk menganalisa data yang dijadikan sebagai fokus
penelitian ini.
Bab keempat penulis akan menganalisa pemahaman hadîts tentang
sanksi bagi orang yang melupakan hafalan al-Qur‟ân yang memiliki
kesimpulan berbeda-beda. Pertama, penulis lakukakan pemaparan teks
hadîts dan takhrijnya. Kedua, menyelesaikan hadîts yang bertentangan itu
16
menggunakan teori ikhtilaf al-Hadîts yang telah penulis paparkan di bab
ketiga serta pendapat ulama hadîts tentang hadîts tersebut
Bab kelima merupakan penutup, di dalam bab ini meliputi
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang dibuat oleh penulis, serta
saran-saran yang insya Allah mendapat manfaatnya.
17
BAB II
DESKRIPSI TENTANG MENGHAFAL AL-QUR’ÂN
A. Sejarah Menghafal al-Qur’ân
Sejak masa awal dakwah Islam, para penghafal al-Qur‟ân telah
memegang peranan penting dalam masyarakat. Rasȗlullah Saw
sebagai nabi dan rasul yang menerima wahyu al-Qur‟ân adalah
teladan utama dalam masalah ini. Sebagai penghafal al-Qur‟ân, ayat-
ayat al-Qur‟ân turun secara berangsur-angsur, jumlah hafalan al-
Qur‟ân pada masa itu adalah sesuai dengan jumlah ayat-ayat yang
telah diturunkan, beliau menjadi juru dakwah Islam yang sangat
menonjol, ulet, gigih, dan sekaligus sabar. Berbagai ancaman,
siksaan, godaan dan rintangan yang menghalangi dakwah beliau
sedikit pun tidak menyurutkan kegigihan dakwah beliau. Sebagai
sosok pertama penghafal al-Qur‟ân, beliau nabi Muhammad Saw
mampu memberikan teladan dalam semua aspek kehidupan beliau.
Di hadapan generasi sahabat dan musuh-musuh Islam, beliau
mencontohkan penerapan tuntunan al-Qur‟ân dalam kehidupan
pribadi, keluarga, dan masyarakat. Beliau menunjukan keindahan
pengalaman ayat-ayat al-Qur‟ân dalam aspek akidah, ibadah, akhlak,
dan mu‟amalah. Beliau menjadi mushaf al-Qur‟ân yang berjalan,
jauh sebelum al-Qur‟ân dibukukan dalam satu mushaf.12
12
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 94
18
Keteladanan para penghafal al-Qur‟ân juga nampak dalam diri
generasi sahabat. Mush‟ab bin Umair adalah juru dakwah muda
yang diutus ke kota Yasrib pada bulan Dzulhijjah tahun 12 kenabian.
Muṣ‟ab bin Umair dengan izin Allah sukses mendakwahkan Islam di
tengah suku Khazraj dan Aus. Banyak penduduk yastrib memeluk
Islam dengan perantaraan beliau. Beliau adalah sosok penghafal al-
Qur‟ân yang memberikan keteladanan indah dalam dunia dakwah.13
Sosok Muṣ‟ab bin Umair, juru dakwah yang hafal al-Qur‟ân dan
meraih syahid dalam perang Uhud dilanjutkan oleh ratusan
penghafal al-Qur‟ân di kalangan sahabat. Pada bulan Shafar tahun 4
H sebanyak 70 orang penghafal al-Qur‟ân dari kalangan Anshar
telah dipilih dan diutus oleh Rasȗlullah Saw untuk menjadi juru
dakwah ke wilayah Nejed, atau untuk membantu sebagian bangsa
Arab yang ditindas oleh bangsa arab lainnya. Namun mereka
dikhianati dan dibantai oleh suku musyrik. Merekalah para
penghafal al-Qur‟ân yang meraih syahid saat menunaikan tugas
dakwah dan jihad dijalan Allah.14
ندااا ح ااا ن ػصااات ر ااادان م حاااكع سضااا ل ػدااال أن سػااال أناااس نااا ػااا
ماااا ق ف مااااذ نساااابؼ اااام ػماااا ػااااذ اااال ا س اااادق ل اااام ل ػم ا ااااخ ذ
13
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 94-95 14
Imam Muslim, Ibnu Ishaq dan sejumlah sejarahwan menyebutkan bahwa
pemilihan rombongan al-Qurra‟ adalah atas permintaan Abȗ Barra‟ „Amir bin Malik agar
mereka mengajarkan al-Qur‟ân dan as-Sunnah kepada penduduk Nejed. Imam Bukhori dan
sejumlah sejarawan lainnya pengirim dan rombongan al-Qurra‟ adalah untuk membantu
Suku Sulaim, induk dari ketiga marga yang berkhianat (Ri‟l, Dzakwan, dan Ushayyah).
Kedua sebab tersebut bisa jadi sama-sama menjadi alasan pengiriman rombongan al-
Qurra‟. Lihat Mahdi Rizqullah Ahmad, as-Sîrah an-Nabawiyah fi Dhaw‟ al-Mashâdir al-
Ashliyah, hal. 413-415
19
يصاااامدن النصاااا س داااا ه احقااااشاء فاااا صماااا نه اااا ندا ي خطباااادن ن حدهاااا س نساااا
ااال احدبااا ااام ل ػم باااذسا نهااا فبمااا ااال نخااا ااا ندا نبواااش مؼدنااات اخماااد ن حم
اااب ا ياااذػد فااا احص ااام فقداااج شاااهش أنااا ء احؼاااشب ػمااا سػااالع ح ػمااا أنااا ءع مااا
ند ح ن ػصت ر دان
“Dari Anas bin Mâlik bahwasanya Banî Ri‟l, Banî Dzakwân,
Bani Ushayyah, dan Banî Lahyân telah meminta bantuan pasukan
kepada Rasȗlullah Saw untuk menghadapi serangan musuh. Maka
Rasȗlullah Saw membantu mereka dengan mengirimkan 70 orang
dari kalangan Anshar, kami biasa menamakan mereka al-Qurra‟
(para penghafal al-Qur‟ân) pada zaman mereka. Mereka mencari
nafkah dengan mencari kayu bakar di siang hari dan mereka tekun
melaksanakan shlat malam di waktu malam. Ketika rombongan al-
Qurra‟ sampai di daerah Bi‟r (sumur) Ma‟unah, marga-marga Arab
itu membantai mereka dan mengkhianati mereka. Berita
terbunuhnya rombongan al-Qurra‟ pun sampai kepada Rasȗlullah
Saw. Maka beliau membaca doa qunut selama sebulan pada waktu
shalat Subuh, beliau mendoakan kecelakaan untuk bebereapa marga
Arab; Bani Ri‟l, Bani Dzakwan, Banî Ushayyah, dan Banî Lahyân.”
(HR. Bukhârî no. 4090)
Pembunuhan secara keji, curang dan khianat terhadap 70 orang
penghafal dari kalangan Anshar tersebut sangat menyedihkan
Rasȗlullah Saw
أنااس جااذ ػماا ااشيتع ااا ق ػاا اام اال ماا سأيااج س اادق ل اام ل ػم
أ ااابدا يااادم نواااش مؼدنااا احااازي جاااذ ػمااا احسااابؼ ت ااا ندا ياااذػدن احقاااشاء مااا
ا يذػد ػم اخمخه ف كث شهش
“Anas bin Mâlik berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasȗlullah
Saw bersedih begitu dalam atas gugurnya sebuah pasukan yang
beliau utus, sebagaimana sedihnya beliau atas terbunuhnya 70 orang
sahabat pada hari Bi‟r Ma‟unnah, mereka dikenal sebagai al-Qurra‟.
Selama sebulan beliau membaca doa qunut, mendoakan kecelakaan
untuk para pembunuh mereka.” (HR. Muslim no. 667)
20
Rasȗlullah Saw biasa mengirim para penghafal al-Qur‟ân
sebagai juru dakwah dan guru di tengah masyarakat. Di antaranya,
beliau mengutus Mu‟adz bin Jabal dan „Alî bin Abî Ṯalib untuk
berdakwah di Yaman. Beliau juga menugaskan beberapa penghafal
al-Qur‟ân dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menajdi tenaga
pengajar di Madinah. Di antara mereka adalah „Utsmân bin „Affân,
„Alî bin Abî Ṯalib, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, „Abdullah bin
Mas‟ud, Abȗ Darda‟ dan Abȗ mȗsa al-Asy‟ari.15
Imâm Abȗ „Ubaid al-Qassim bin Salam dalam kirab al-Qira‟at
menyebutkan di antara para penghafal al-Qur‟ân dari kalangan
sahabat Muhajirin adalah Abȗ Bakar ash-Shiddiq, „Umar bin
Khattab, „Utsmân bin „Affân, „Alî bin Abî Ṯalib, Sa‟ad bin Abi
Waqqash, Thalhah bin „Ubaidillah, „Abdullah bin Mas‟ud,
Hudzaifah bin Yaman, Salim Mawla Abȗ Hudzaifah, Abȗ Hurairah,
„Abdullah bin Saib, „Abdullah bin „Umar, „Abdullah bin „Amru bin
„Ash, „Abdullah bin „Abbâs, „Abdullah bin Zubair bin „awwam,
„Âisyah binti Abȗ Bakar, Hafshah binti „Umar, dan Ummu
Salamah.16
Adapun di antara para penghafal al-Qur‟ân dari kalangan sahabat
Anshar adalah Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Muadz bin Jabal,
Abȗ Zaid Qais bin Sakan, Ubadah bin Shamit, Abȗ darda‟, Abȗ
15
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 96 16
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 98
21
Ayyub al-Anshari, Mujamma‟ bin Jariyah, Fudhalah bin „Ubaid,
Maslamah bin Makhlad, dan Ummu Waraqah binti „Abdullah bin
Harits.17
Para penghafal al-Qur‟ân dari generasi sahabat tidak hanya
menjadi guru mengaji dan juru dakwah semata. Sebagian penghfal
al-Qur‟ân tersebut menjadi khalifah (kepala negara), yaitu Abȗ
bakar ash-Shiddiq, „Umar bin Khaṯtab, „Utsmân bin „Affân, dan „Alî
bin Abî Ṯalib. Sebagian penghafal al-Qur‟ân tersebut menjadi hakim
atau gubernur wilayah, seperti Sa‟ad bin Abî Waqash, „Abdullah bin
bin Mas‟ud, Abȗ Hurairah dan Sa‟ad bin „Ubaid. Sebagiaanya
menjadi panglima perang, seperti Sa‟ad bin Abi Waqash „Abdullah
bin Mas‟ud. Sebagiannya menjadi pengusaha yang sukses lagi
dermawan, seperti „Utsmân bin „Affân, dan Ṯalhah bin „Ubaidullah.
Demikianlah, para pennghafal al-Qur‟ân dari generasi sahabat
memiliki peranan sangat penting di tengah masyarakat kaum
muslimin. Dalam beberapa kondisi genting, mereka bahkan turut
memanggul senjata dan mengorbankan nyawa mereka dibawah
panji-panji Islam. Sebagaimana terjadi pada perang Yanamah, di
mana lebih dari 70 orang sahabat penghafal al-Qur‟ân gugur dalam
pertempuran melawan pasukan nabi palsu Musailamah al-Kadzab.
Gugurnya puluhan para penghafal al-Qur‟ân tersebut menjadi
dorongan bagi khalifah Abȗ Bakar ash-Shiddiq dan „Umar bin
17
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân, hal.
98
22
Khatab untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur‟ân dalam satu
mushaf.
ب نااجع سضاا ل ػداال ااا ق أس اال حاا أنااد نكااشع مقخاال أ اال اح ماات فاا را أن صيااذ ناا
احخطااا ب ػداااذه اااا ق أناااد نكاااشع سضااا ل ػدااال ن ػ اااش أحااا ن فقااا ق ن ػ اااش نااا
ناااا أخناااا أن يسااااخ ش احقخاااال ماااات د اااااذ ا ااااخ ش ياااادم اح احقخاااال نقااااشاء احقااااشآن
نااا أس أن حااا مش نج اااغ احقاااشآن احقاااشآن فاااز ب اااش مااا نااا حقشاء نااا ح دا
و حاا يفؼماال س اادق ل اام حفؼاال شاا اا اام ااا ق ػ ااش امااج حؼ ااش اال ل ػم
سأيااج فااا ل ااذسي حاازحك ااش فماا يااضق ػ ااش يشاجؼداا نخاا شااش ل خ اازا
رحك احزي سأ ػ ش
Dari Zaid bin Tsâbit al-Anshari, ia berkata: “Khalifah Abȗ Bakar
menyuruhku untuk menemui beliau pasca kematian
(pertempuran) penduduk Yanamah, ternyata saat itu „Umar bin
Khaṯab bersama beliau. Abȗ Bakar berkata: Sesungguhnya
„Umar telah mendatangiku dan ia mengatakan kepadaku
“Sesungguhnya para penghafal al-Qur‟ân banyak yang gugur
dalam peperangan Yanamah. Sungguh aku khawatir para
penghafal al-Qur‟ân akan banyak yang gugur dalam peperangan-
peperangan lainnya. Akibatnya banyak ayat al-Qur‟ân yang
terlupakan. Maka aku berpendapat, hendaknya anda
memerintahkan pengumpulan ayat-ayat al-Qur‟ân (dalam satu
mushaf). Abȗ Bakar berkata kepada „Umar, “Bagaimana anda
akan melakukan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasȗlullahb Saw?” „Umar menjawab, “Demi Allah perkara ini
adalah sebuah kebaikan.” Abȗ Bakar berkata: “Umar terus-
menerus mendiskudikan usulan itu kepadaku sampai akhirnya
Allah melapangkan dadaku untuk menerima usulan itu dan aku
sependapat dengan „umar.”(HR. Bukhârî no. 4986)
Para penghafal al-Qur‟ân pada masa salaf memiliki andil
besar dalam memimpin masyarakat, bangsa dan negara. Saran,
pendapat, dan kritikan menjadi pertimbangan penting para khalifah,
gubernur, dan pejabat negara dalam mengambil keputsan yang
23
berkenaan dengan rakyat. Amir bin Wasilah meriwayatkan bahwa
Nafi‟ bin abdul Harits bertemu dengan khalifah „Umar bin Khatab di
wilayah Usfan. Khalifah „Umar sebelumnya telah mengangkat Nafi‟
bin „Abdul Harits sebagai Gubernur Mekkah.18
Khalifah „Umar pun bertanya kepada Nafi‟, “Siapa orang yang
engkau angkat sebagai penggantimu untuk memimpin kota
Mekkah?”
“Ibnu Abza,” jawab Nafi‟
“Siapa dia?” tanya Khalifah „Umar
“Dia adalah salah seorang budak yang telah kami merdekakan,”
jawab Nafi‟
“Engkau mengangkat seorang budak yang telah dimerdekakan
sebagai penggantimu untuk memimpin penduduk Mekkah?,” tanya
khalifah
“(Walau mantan budak) Dia itu hafal al-Qur‟ân dan ahli ilmu
warisan,” jawab Nafi‟
Maka khalifah pun berkomentar, “Sesungguhnya nabi kalian
Saw telah bersabda:
يضغ نل آخشي ن ل يشفغ نهزا احكخ ب أادام
18
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 100
24
Sesungguhnya Allah meninggikan derajat beberapa kaum dengan
perantaraan kitab suci al-Qur‟ân ini dan dengannya pula Allah
merendahkan derajat sebagian kaum lainnya. (HR. Muslim n0\o.
817)
Sahabat „Abdullah bin „Abbâs berkata:
ن احقشاء أ ب شب ن سحل هدال ندا أ من مج حس ػ ش
Para penghafal al-Qur‟ân adalah anggota majelis dan rekan-rekan
bermusyawarah khalifah „Umar bin Khaṯab, baik mereka dari
kalangan orang-orang tua maupun anak-anak muda. (HR. Bukhori
no. 4642)
Pada zaman sekarang, para penghafal al-Qur‟ân memang belum
memilki peranan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan,
ekonomi, dan militer. Namun peranan mereka dalam bidang
dakwah, pendidikan, dan sosial sudah dirasakan oleh masyarakat
luas.
Semoga maraknya gerakan menghafal al-Qur‟ân di tengah
masyarakat akan ikut mendorong peran serta dan sumbangsih para
penghfal al-Qur‟ân di segala bidang kehidupan. Umat Islam
merindukan sumbangsih para pakar di berbagai bidang kehidupan,
yang sekaligus penghafal al-Qur‟ân. Penghfal al-Qur‟ân sekaligus
pengusaha yang sukses, penghafal al-Qur‟ân sekaligus guru atau
dosen, penghafal al-Qur‟ân sekaligus fisikawan, penghafal al-Qur‟ân
sekaligus insinyur, penghafal al-Qur‟ân sekaligus dokter, penghafal
25
al-Qur‟ân sekaligus negarawan, dan seterusnya. Dengan demikian,
dakwah Islam semakin efektif di tengah masyarakat.19
B. Metode Menghafal al-Qur’ân
Untuk mengawali pembicaraan ini akan lebih baik jika
mengingat kembali al-Qur‟ân dari aspek historisnya. Allah Swt
menurunkan al-Qur‟ân kepada nabi yang ummi melalui malaikat
Jibrîl. Kemudian oleh Nabi Saw disampaikan kepada para
sahabatnya. Setiap kali Nabi Muhammad Saw mengajarkan al-
Qur‟ân kepada para sahabatnya, mereka langsung menghafalnya,
selain ada beberapa sahabat yang mampu menulis kemudian mereka
mencatat di pelepah-pelepah kurma. Sehingga dengan demikian
hafalan para sahabat lebih dapat terjaga. Nabi Muhammad Saw
sendiri senantiasa melakukan tadarus al-Qur‟ân bersama malaikat
Jibril, terutama pada setiap bulan Ramadhan, dan kemudia kebiasaan
tadarus Nabi Saw tersebut diikuti oleh para sahabatnya.20
Menghafal al-Qur‟ân merupakan tradisi yang berlanjut sejak
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw hingga saat ini. Pada
masa Nabi Saw hafalan menjadi andalan utama dalam menukilkan
ayat-ayat al-Qur‟ân. Di berbagai pusat studi Islam dewasa ini, selalu
dan masih banyak ditemukan orang menghafal al-Qur‟ân dengan
tekun. Setelah dikodofikasi ke dalam mushaf pada masa Khalifah
19
Abȗ „Ummar & Abȗ Fatiah al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal al-Qur‟ân,
(Sukoharjo: al-Wafi, 2015), hal. 101 20
M.Samsul Ulum, Menangkap Cahaya al-Qur‟ân, (Malang: UIN Malang Press,
2007), hal. 119.
26
Utsman, tulisan kemudian menjadi rujukan tambahan.21
Pada
kesempatan lain Rasȗlullah pernah ditegur pula oleh Allah dengan
firman:
Artinya : “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (Q.S al-Qiyamah:16)
Selama 23 tahun sesuai dengan masa turunnya wahyu akhirnya seluruh
al-Qur‟ân bisa dihafal oleh Rasȗlullah Saw. Beliau membacakan dan
mengajarkan al-Qur‟ân kepada manusia sebagaimana yang diperintahkan.
Setiap setahun sekali Rasȗlullah Saw bertalaqqi (berguru) dan
bermusyafahah (mengecek hafalan) kepada Jibril untuk mengulangi hafalan
wahyu-wahyu (al-Qur‟ân) yang telah diterimanya.22
Ada bebrerapa langkah dalam menghafal al-Qur‟ân, yaitu:
Pertama: Membaca satu ayat dengan bacaan yang bagus, tartil (pelan)
bersuara walau pelan dan utamanya dengan lagu secara ulang-ulang sampai
hafal betul.23
Kedua: menyambung akhir ayat dengan awal ayat berikutnya, hal ini
dilakukan karena menghafalkan satu ayat merupakan satu pekerjaan, dan
21
Darwis Hude, Jurnal Studi al-Qur‟ân, (Tangerang Selatan: Pusat Studi al-
Qur‟ân, 2007), hal. 419. 22
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Pembicaraan Tahfidzul Qur‟an,
(Jakarta:Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khutbah Agama Islam Pusat Ditjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI, 1982), hal. 23. 23
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân,
(Jakarta: Pimpinan Pusat Jam‟iyyatul Qurra‟ wal Huffazh, 2006), hal. 114.
27
menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya merupakan satu pekerjaan
yang lain. Jika dalam menghafal al-Qur‟ân seseorang langsung
menghubungkan akhir ayat dengan dengan awal ayat berikutnya, maka dua
pekerjaan tersebut bisa dilakukan sekaligus. Sehingga ketika ia mengakhiri
satu ayat, ia langsung terngiang dalam benaknya ayat berikutnya.24
Ketiga: Istiqamah adalah hal yang sangat penting sebab tanpa istiqamah
atau konsisten, sulit untuk menentukan lama waktu menghafal.25
Keempat: Takrir dan Tasmi‟. Takrir artinya mengulang-ulang materi
yang sudah dihafalkan, yaitu dengan membacanya (Nderes: Jawa) diwaktu
yang lain. Sedangkan Tasmi‟ ialah memperdengarkan hafalannya kepada
orang lain yang lebih senior, yaitu mereka yang hafalannya lebih kuat.
Dengan Tasmi‟ ini seorang akan diketahui kekurangan pada dirinya. Karena
bisa saja ia lengah dalam mengucapkan huruf atau harakat. Dengan Tasmi‟
seseorang akan lebih berkonsentrasi dalam hafalan.26
Kelima: memperhatikan ayat mutasyabihat, ayat mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang mempunyai kemiripan dalam redaksi antara satu dan lainnya.
Dalam al-Qur‟ân terdapat ayat-ayat mutasyabihat yang sering mengecoh
seorang penghafal. Jika tidak diperhatikan betul, seorang penghafal akan
beralih pada surat yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya penghafal
24
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 115. 25
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 116. 26
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 116.
28
mempunyai catatan kecil tentang ayat Mutasyabihat ini pada buku khusus
supaya mendapatkan perhatian lebih.27
C. Menjaga Hafalan al-Qur’ân
Dalam menghafal al-Qur‟ân tidak mungkin hanya dianagan-angan tapi
harus disuarakan. Jadi menghafal al-Qur‟ân adlah membaca al-Qur‟ân tanpa
melihat mushaf. Oleh karena itu dalam menghfal al-Qur‟ân memerlukan
ketekunan istiqamah si penghafal, berarti orang yang sedang menghafal
pasti membca ayat-ayat al-Qur‟ân berulang kali.28
Cara lain yang membantu seseorang menghfalkan al-Qur‟ân yaitu
membiasakan diri membaca al-Qur‟ân. Artinya, seorang pelajar hendaknya
membiasakan diri mematuhi dan mengulang-ulang materi pelajaran yang
telah dipelajari dan dihafal fari sang guru, kemudian mendisiplinkan diri
untuk konsisten mengulang rutinitas itu (setiap hari). Disamping itu pelajar
juga harus mengingat dan mengenali keterkaitana antar ayat dan surat yang
telah dipelajari dengan ayat atau surah yang baru (dipelajari).29
Dengan dihafalnya tiap-tiap ayat atau halaman al-Qur‟ân tersebut bukan
berarti hafalan itu sudah dijamin melekat didalam ingatan seseorang untuk
selamanya, secara teori, kekuatan hafalan rata-rata bisa bertahan 6 (enam)
jam. Karena itu, selain menghafal seperti di uraikan diatas yang harus
memperoleh perhatian lebih besar bagi seseorang yang menghafal al-Qur‟ân
27
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 117. 28
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Pembicaraan Tahfidzul Qur‟an,
(Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khutbah agama Islam Pusat Ditjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI, 1982), hal. 18-19 29
Muhammad Ahmad Abdullah, Metode Cepat dan Efektif Menghafal al-Qur‟ân
al-Karim, (Yogyakarta: Gara ilmu, 2009), hal. 155.
29
adalah mengulang-ulang dan memelihara hafalannya itu. Nabi Muhammad
Saw mengisyaratkan bahwa al-Qur‟ân itu ibarat berburu dihutan, apabila
pemburu itu pusat perhatiannya kebinatang yang ada didepannya tidak
diperhatikan hasil buruannya, maka hasil hasil buruannya itu akan lepas
pula. Begitu pula orang yang menghfal al-Qur‟ân, kalau pusat perhatiannya
tertuju hanya kepada materi baru yang akan dihafal itu saja, sedangkan
materi yang sudah dihafal ditinggalkan, maka akan sia-sia, karena
hafalannya itu bisa lupa atau hilang.30
Memelihara hafalan al-Qur‟ân ini sangat penting dan berat, Nabi
Muhammad Saw bersabda:
أخبش ائلع ػ مدصدسع ا ق ؼج أن ػبذ اح جذ نذبد شؼبت ػ ذ ل ن ن ػب
م ا ق نوس لنذ أن يقدق نسج آيت ل احدب م ل ػم ج ػبذ ل ػ
ج نل احدؼ ج ق م ذس احش م ف خز شا احقشآن ف نل أ شع حفص د نس
ػقمه م
Artinya: telah mengabarkan kepada kami „Ubaidullah bin „Abdul Majid
telah menceritakan kepada kami Syu‟bah dari Mansur ia berkata Aku
mendengar Abȗ Wa‟il dari „Abdullah dari Nabi Muhammad Saw, beliau
bersabda: “alangkah buruknya bagi salah seorang dari kalian yang
berkata aku lupa ayat ini dan itu tetapi ia dibuat lupa. Maka jagalah al-
Qur‟ân sebab sesungguhnya al-Qur‟ân itu lebih cepat hilang dari dada
(hafalan) seseorang dari pada binatang ternak dari tali pengikatnya”.
Pada dasarnya, seseorang yang menghafal al-Qur‟ân harus berprinsip
apa yang sudah dihafal tidak boleh lupa lagi. Untuk bisa demikian, selain
harus benar-benar baik sewaktu menghafalnya, ia juga harus menjaga
30
Pimpinan Pusat Jami‟iyyatul Qurra wal Hufazh, Bunga Rampai Mutiara al-
Qur‟ân, (Jakarta: Percetakan Online), hal. 94-95
30
hafalannya yaitu dengan cara mengulang-ulang (takrir) hafalan sambil
menambah hafalan yang baru.31
Takrir (pengulangan hafalan) merupakan hal penting yang harus
dilakukan secara konsisten oleh seorang penghafal al-Qur‟ân. Kiat yang
ditengarai dapat mempengaruhi kelancaran hafalan adalah melakukan
pengulangan secara teratur segera setelah materi dihafalkan dengan interval
tertentu.32
Cara menjaga al-Qur‟ân yang sudah ada didalam memori otak kita,
dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Takrir Sendiri
Hafalan yang baru harus selalu takrir minimal setiap hari dua kali
dalam jangka waktu satu minggu. Sedangkan hafalan yang lama
harus ditakrir setiap hari atau dua hari sekali. Artinya, semakin
banyak hafalan harus semakin banyak pula waktu yang
dipergunakan untuk takrir.33
Jangan sekali-kali menambah hafalan
tanpa mengulang hafalan yang sudah ada sebelumnya, karena jika
menghafal terus-menerus tanpa mengulangnya terlebih dahulu
hingga bisa menyelesaikan semua al-Qur‟ân, kemudian
mengulangnya dari awal niscaya hal itu akan terasa berat sekali,
karena secara tidak disadari akan banyak kehilangan hafalan yang
31
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
hal. 88. 32
Darwis Hude, Jurnal Studi al-Qur‟ân, (Tangerang Selatan: Pusat Studi al-
Qur‟ân, 2007), hal. 419. 33
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
hal. 88.
31
pernah dihafal dan seolah-olah menghafal dari nol atau dari awal
lagi, oleh karena itu cara yang paling baik dalam menghafal al-
Qur‟ân adalah dengan menggAbȗngkan antara mengulang dan
menambah hafalan baru.34
2. Takrir dalam shalat
Seseorang yang menghfal al-Qur‟ân hendaknya bisa memanfaatkan
hafalannya sebagai bacaan dalam shalat, baik sebagai imam atau
untuk shalat sendiri. Selain menambah keutamaan, cara demikian
juga menambah kemantapan hafalan. Selalu mengulang hafalan al-
Qur‟ân dalam shalat sangat efektif, karena saat kita shalat seluruh
fikiran benar-benar harus konsentrasi agar bacaan tidak ada
kesalahan.35
3. Takrir bersama
Seseorang yang menghafal perlu melakukan takrir bersama dengan
dua teman atau lebih. Dalam takrir ini, setiap orang membaca materi
takrir yang ditetapkan secara bergantian, dan ketika seorang
membaca maka yang lain mendengarkan.36
D. Keutamaan Menghafal al-Qur’ân
Menghfal al-Qur‟ân jelas banyak keutamaannya, keutamaan tersebut
baik yang bersifat spiritual maupun ilmiah, yang bersifat spiritual yaitu:
a. Banyaknya pahala yang ia dapatkan. Seorang penghafal al-
Qur‟ân sewaktu ia menghafal, sudah tentu ia akan membaca al-
34
Supian, Ilmu-ilmu al-Qur‟ân, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2012), hal. 201. 35
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 88. 36
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟ân, hal. 88
32
Qur‟ân berulang kali. Jika satu huruf dari al-Qur‟ân dibaca akan
mendapat satu kebaikan dan bisa dilipatkan sampai 10 kali
bacaan, sesuai dengan sabda Rasȗlullah Saw:
ااا ن ػااا ػ ننااا سع ناااذبد أناااد نكاااشع اح دفااا ناااذبد احضااا نااا ناااذبد م اااذ نااا
ااا اااا ق ااا ؼج ػباااذ ل نااا ؼااابع احقش مد ااا اااا ق ااا ؼج م اااذ نااا أيااادب نااا
خاا ب ل مسااؼ اااشأ نشف اا ماا اام ماا اال ددع يقاادق ااا ق س اادق ل اام ل ػم
اح سدت نؼنش أم حه فمل نل نسدت
Artinya: Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin
Basyâr telah menceritakan kepada kami Abȗ Bakar al-Hanafi
telah menceritakan kepada kami ad-Dahhâk bin „Utsman dari
Ayyȗb bin Mȗsa ia berkata, aku mendengar Muhammad bin
Ka‟ab al-Quradî berkata: Aku mendengar „Abdullah bin Mas‟ȗd
berkata: Rasȗlullah Saw bersabda: “Barang siapa membaca satu
huruf dari KitAbȗllah (al-Qur‟ân), maka baginya satu pahala
kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan
menjadi sepuluh kali.” (H.R Tirmidzî)37
b. Ketinggian derajat dihadapan Allah SWT, penghafal al-Qur‟ân
jelas orang yang mahir dalam membacanya. Nabi Saw
menggolongkan orang-orang tersebut bersama dengan para
malaikat yang jelas kedudukannya sangat mulia di sisi Allah.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
صسق ػاا نهذحاات ػاا ااف ن نااذبد ػ اا ناا ػبااذ نااذبد مسااذد نااذبد ي اا ػاا
ااام يقااا ق حصااا نب احقاااشآن ااال ػ اااشع اااا ق اااا ق س ااادق ل ااام ل ػم ل نااا
ن ف ن مدضحك ػدذ آخش آيتع حقشؤ سحل دج حشحل ف احذ اسح ااشأ
37
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân,
(Jakarta: Pimpinan Pusat Jam‟iyyatul Qurra wal Hufazh, 2006), hal. 106.
33
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah
menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyân, telah
menceritakan kepadaku „Âsim bin Bahdalah dari Zirr dari
„Abdullah bin „Amr, ia berkata: Rasȗlullah Saw bersabda:
“Dikatakan kepada orang yang membaca al-Qur‟ân: “Bacalah,
dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (jangan terburu-buru),
sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia,
sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau
baca.” (H.R Abȗ Dawȗd dan Tirmidzî)38
c. Pada waktu Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya
menguburkan orang yang mati syahid sesuai perang Uhud, nabi
selalu menanyakan mana diantara mereka yang paling banyak
hafalan al-Qur‟ânnya? Jika diketahui, maka nabi menyuruh agar
orang tersebut lebih dahulu dikuburkan, agar ia lebih cepat
mendapat pahalanya. Ini merupakan perhatian Nabi yang besar
terhadap para penghafal al-Qur‟ân.39
d. Penghafal al-Qur‟ân mempunyai dunianya sendiri, yaitu dunia
spritiual yang hanya bisa dinikmati oleh mereka. Hal itu, karena
seorang yang selalu membaca al-Qur‟ân ia sebenarnya sedang
bermunajat, berbisik-bisik, bercengkrama dengan Allah. Allah
selalu hadir bersamanya, walaupun ia sendirian. Dengan
demikian, penghafal al-Qur‟ân yang selalu tadarus dengan al-
Qur‟ân tidak akan pernah merasa kesepian dan kekosongan
spritual.40
38
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 27 39
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 28 40
A. Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-Qur‟ân, hal. 29
34
Keutamaan menghafal al-Qur‟ân yang bersifat ilmiah, diantaranya
sebagai berikut:
1. Jika disertai dengan amal ṣaleh dan keikhlasan, maka ini merupakan
kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2. Orang yang menghafal al-Qur‟ân akan mendapat anugerah dari
Allah berupa ingatan yang tajam dan pemikiran yang cemerlang.
Karena itu, para penghafal al-Qur‟ân lebih cepat mengerti dan teliti,
dan lebih hati-hati karena banyak latihan untuk mencocokkan ayat
serta membandingkan dengan ayat lainnya.
3. Menghafal al-Qur‟ân merupakan bahtera ilmu, karena akan
mendorong seseorang yang hafal al-Qur‟ân untuk berprestasi lebih
tinggi dari pada teman-temannya yang tidak hafal al-Qur‟ân,
sekalipun umur, kecerdasan, dan ilmu mereka berdekatan.
4. Penghafal al-Qur‟ân memiliki identitas yang baik, akhlak, dan
perilaku yang baik.
5. Penghafal al-Qur‟ân mempunyai kemampuan mengeluarkan fonetik
Arab dari landasannya secara tahbi‟i (alami), sehingga bisa fasih
berbicara dan ucapannya benar.
6. Jika penghafal al-Qur‟ân mampu menguasai arti kalimat-kalimat di
dalam al-Qur‟ân, berarti ia telah banyak menguasai arti kosakata
bahsa Arab, seakan-akan ia telah menghfalkan kamus bahasa Arab.
7. Dalam al-Qur‟ân banyak sekali kata-kata bijak (hikmah) yang sangat
bermanfaat dalam kehidupan. Dengan menghfal al-Qur‟ân, seorang
akan banyak menghfalkan kata-kata tersebut.
35
8. Bahasa dan Uslub (susunan kalimat) al-Qur‟ân sangatlah memikat
dan mengandung sastra Arab yang tinggi. Seorang penghafal al-
Qur‟ân yang mampu menyerap wahana sastranya, akan mendapatkan
dzauq adabi (rasa sastra) yang tinggi. Hal ini bisa bermanfaat dalam
menikmati sastra al-Qur‟ân yang akan menggugah jiwa, sesuatu
yang tidak dinikmati oleh orang lain.
9. Dalam al-Qur‟ân banyak sekali contoh-contoh yang berkenaan
dengan ilmu Nahwu dan Sharaf. Seorang penghafal al-Qur‟ân akan
dengan cepat menghadirkan dalil-dalil dari ayat al-Qur‟ân untuk
suatu kaidah dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.
10. Dalam al-Qur‟ân banyak sekali ayat-ayat hukum. Seorang penghafal
al-Qur‟ân akan dengan cepat pula menghadirkan ayat-ayat hukum
yang ia perlukan dalam menjawab satu persoalan hukum.
11. Seorang penghafal al-Qur‟ân setiap waktu akan selalu memutar
otaknya agar hafalannya kuat. Ia akan terbiasa menyimpan memori
dalam ingatannya.41
41
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 21-22.
36
BAB III
ILMU MUKHTALIF AL-HADȊTS
A. Pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadîts
Secara bahasa mukhtalif adalah isim fa‟il dari kata ikhtilâf yakni
lawan kata dari al-ittifâq (kesepakatan/kesamaan). Dengan kata lain
makna ikhtilâf dan al-Hadîts yang menjadi kata mukhtâlif al-Hadîts
ialah hadîts-hadîts yang satu dengan yang lainnya mengandung
ketidaksamaan atau mengandung ketidaksamaan makna42
Ilmu ini membahas hadîts-hadîts yang tampaknya bertentangan,
bagaimana cara memadukannya, mengkrompromikannya melalui teori
taqyîd al-mutlaq, takhsîs al-„âm, atau memahaminya dengan asbâb al-
wurȗd-Nya yang berbeda-beda. Dengan demikian ilmu Mukhtâlif al-
Hadîts ini dapat di definisikan sebagai berikut:
Taqrîb an-Nawâwî bahwa ilmu Mukhtalif al-Hadîts ialah:
يشجح أنذ مخض دان ن ي ح نذي ن أ ا فد ف نده أ ف اح ؼد ش
“Dua hadîts yang saling bertentangan pada makna zhahir-Nya lalu
dikompromisasikan atau diunggulkan (tarjih) antara keduanya”.43
Abȗ Zahwu mendefinisikan sebagai berikut :
ا د أن يشد نذي ن يد اض ل مده اآل خش ش
42
Mahmȗd Tâhân, Taisîr Mustalâh al-Hadîts, (Jeddah: al-Haramain, 1985), hal.
56. 43
Jalâluddîn „Abdurrahmân as-Suyȗtî, Tadrib ar-Râwî fi Syarhi Taqrib an-
Nawawî, ditahkik oleh „Abdul Wahhab „Abdul Latif (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 196
37
“Hadîts mukhtalif adalah terjadinya dua hadîts yang masing-masing
dari keduanya bertentangan secara lahiriah dengan yang lain.”44
Dari kedua definisi tersebut tampak adanya kesamaan bahwa
hadîts mukhtalif merupakan hadîts-hadîts yang lahiriah maknanya
saling bertentangan. Hanya bedanya, pada definisi pertama
menyebutkan alternatif pemecahannya, sedangkan pada definisi
kedua tidak demikian.
Meskipun begitu jika diteliti secara cermat, definisi-definisi
di atas ternyata masih mengandung kelemahan karena mencakup
semua hadîts yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan,
baik sama-sama maqbûl (diterima) maupun yang satu di antaranya
maqbûl dan yang lainnya mardûd (ditolak). Padahal tidak semua
hadîts yang tampak bertentangan itu perlu dikompromikan atau
dicari penyelesaiannya, kecuali jika hadîts-hadîts itu sama-sama
dalam kategori maqbûl. Apabila salah satunya maqbûl, sedangkan
lainnya mardûd, maka pertentangan yang ada tidak perlu
diindahkan, tetapi cukup dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan
yang mardûd.45
Di samping itu jika diperiksa lebih lanjut, para ulama yang
mendefinisikan hadîts mukhtalif seperti di atas pun sebenarnya
hanya menerima hadîts maqbûl (Shahîh dan Hasan) saja, yang bisa
dipegangi dan dijadikan hujjah, sedangkan hadîts mardûd (Dha‟if)
tidak bisa dipegangi dan dijadikan hujjah.
44
Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Dâr al-Fikr, Beirut,
t.th.), hal. 471 45
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Shan‟ânî, Taudhîh al-Afkâr, (Dâr al-Fikr, Beirut,
t.th), Juz I, hal. 423
38
Dilihat dari definisi Mahmȗd at-Ṯahhan.46
bahwa penyelesaian untuk
mengatasi kasus Mukhtalif al-Hadîts ialah dengan cara al-Jam‟u wa at-
Taufîq dan di Tarjih, lalu meguatkannya dengan mengtaqyid-kan
kemutlkannya maupun men-takhsis keumumannya dengan syarat hadîts
tersebut ialah hadîts maqbȗl atau kualitas hadîts yang bertentangan sama,
Sahih dengan sahih dan hasan dengan hasan.47
Dengan demikian, dua definisi di atas yang memberi batasan
bahwa hadîts mukhtalif itu dua hadîts maqbûl (Ṣahîh atau Hasan)
yang bertentangan dengan hadîts yang sederajat, tampaknya lebih
tegas dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya. Namun
demikian, bukan berarti antara definisi-definisi tersebut terjadi
perbedaan, karena yang tidak memberi batasan maqbûl itu pun
secara implisit mengakui pertentangan yang terjadi pada hadîts
mukhtalif hanyalah pada hadîts maqbûl saja.48
Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai pengertian
hadîts mukhtalif menurut pemahaman para ulama adalah hadîts
maqbûl (hadîts Shahîh atau Hasan) yang secara lahiriah maknanya
tampak saling bertentangan dengan hadîts maqbûl lainnya, namun
maksud yang dituju oleh hadîts-hadîts tersebut tidaklah bertentangan
karena antara hadîts satu dengan yang lainnya sebenarnya dapat
46
Mahmȗd Tâhân, Taisîr Mustalâh al-Hadîts, (Jeddah: al-Haramain, 1985), hal.
57. 47
Mahmȗd Tâhân, Taisîr Mustalâh al-Hadîts, hal. 57. 48
Ali Saifudin, Hadîts-hadîts Mukhtalif Menurut Ibnu Qutaibah (Telaah Kitab
Ta`wil Mukhtalif alHadîts) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,
2007), hal. 38.
39
dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dengan cara-cara
tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut, secara garis besar definisi
hadîts mukhtalif mencakup dua aspek. Pertama, adanya
pertentangan secara lahiriah antara dua hadîts, dan kedua ada
kemungkinan dikompromikannya kedua hadîts tersebut.
Kalau kita lihat bahwa ilmu ini besar manfaatnya, amatlah pantas
dikatakan bahwa “Ilmu Mukhtakif Hadîts” sangatlah dibutuhkan para ahli,
baik ulama hadîts, ulama fiqih maupun yang lainnya, demi mengetahui
kandungan hadîts-hadîts yang tampak bertentangan satu sama lain. Dan
perlu diketahui bahwa ilmu ini telah menciptakan sebuah cabang ilmu hadîts
tersendiri yaitu disebut ilmu mukhtalif al-Hadîts. Oleh karena itu, sebagian
ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan musykil al-Hadîts, ilmu ikhtilaf al-
Hadîts, ilmu Ta‟wil al-Hadîts.49
B. Metode Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadîts Menurut Para Ulama
Dengan memperhatikan definisi di atas, dapat dipahami bahwa ilmu
mukhtalif al-Hadîts adalah ilmu yang membahas hadîts-hadîts yang
menurut zahirnya bertentangan (berlawanan), kemudian menghilangkan
pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya.
Sebagaimana juga ia membahas tentang hadîts-hadîts yang sulit
dipahami isi ataupun kandungannya, dengan cara menghilangkan
kemusykilan (kesulitannya) serta menjelaskan hakikatnya. Dengan
49
Bustamin, Dasar-dasar ilmu al-Hadîts, (Tangerang: Sejahtera kita, 2009), hal.
118.
40
demikian ilmu mukhtalif al-Hadîts merupakan teori (tata cara) yang
dirumuskan para ulama, untuk menyelesaikan hadîts-hadîts maqbul
secara zahirnya tampak saling bertentangan, agar dapat ditemukan
pengkompromian atau jalan keluar penyelesaiannya, sehingga maksud
hadîts-hadîts tersebut dapat dipahami dengan baik.
Adapun yang menjadi objek ilmu mukhtalif al-Hadîts, yakni hadîts-
hadîts yang maqbul yang saling berlawanan, untuk dikompromikan
kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya,
maupun dengan mengkhususkan (takhsis) keumumannya dan
sebagainya. Atau hadîts-hadîts yang musykil, untuk dita‟wilkan, hingga
hilang kemusykilannya, walaupun hadîts-hadîts musykil itu tidak saling
berlawanan.50
Kebanyakan para ulama menyelesaikan hadîts-hadîts mukhtalif
dengan 4 metode : pertama, metode al-Jam‟u wa taufiq, kedua, al-
Nasikh, ketiga, al-Tarjih, keempat, tawaqquf. Lebih lanjut mereka
menegaskan bahwa penggunaan metode ini dilakukan secara
bertahap dan bukan pilihan. Seperti pernyataan al-„asqalany : “hadîts
maqbul jika tidak ada hadîts lain yang bertentangan dengannya
disebut hadîts Muhkam. Tetapi jika hadîts yang setara (maqbul) lain
yang bertentangan dengannya, maka jika dapat dikompromikan
secara wajar, hadîts tersebut dipandang sebagai hadîts mukhtalif. Jika
tidak dapat dikompromikan dan ada sejarah yang menjelaskan mana
hadîts yang terakhir datang, maka yang datang terakhir ini dipandang
50
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadîts, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1991), hal. 294
41
(nasikh), sementara hadîts yang datang lebih awal dipandang
mansukh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan (karena tidak ada
sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan) maka jalan yang harus
ditempuh selanjutnya adalah tarjih. Jika ini pun tidak dapat
dilakukan maka hadîts-hadîts yang bertentangan tersebut harus di
tawaqquf-kan.51
Sedangkan menurut as-Suyȗtî, Imâm asy-Syâfi‟î (w. 204H)
adalah orang yang pertama yang mengupas habis masalah hadîts
mukhtalif, walaupun tidak semuanya. Langkah penyelesaian yang
ditawarkan oleh Imâm asy-Syâfi‟î rupanya banyak diikuti oleh
mayoritas ulama fiqh dan hadîts. Langkah yang diambil Imâm asy-
Syâfi‟î dalam menyelesaikan hadîts-hadîts yang kontradiktif adalah
al-Jam‟u, bila metode al-Jam‟u tidak bisa dilakukan maka harus
dilakukan tarjih. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang
ditempuh dalam menyelesaikan hadîts-hadîts yang kontradiktif:52
1. al-Jam’u wa at-Taufiq (Kompromi)
Dalam menyikapi pertentangan pada hadîts-hadîts mukhtalif,
langkah pertama yang ditempuh ulama adalah menggunakan metode al-
Jam‟u wa taufiq (kompromi). Maksudnya adalah penyelesaian
pertentangan antara hadîts mukhtalif dengan cara menulusuri titik temu
kandungan makna masing-masingnya sehingga makna essensial yang
51
Ibn Hajar al-„Asqalany, Nukhbat al-Fikr, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Araby,
t.th), hal. 60 52
Al-Hadi Rashu al-Tunisi, Mukhtalif al-Hadîts wa Junȗd al-Muhadditsîn fîh,
(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1430), hal. 338
42
dituju oleh hadîts-hadîts tersebut dapat diungkap. Melalui pemahaman
ini maka makna yang dikandung msing-masing hadîts dapat diamalkan
sesuai dengan tuntutannya.53
Imâm asy-Syâfi‟î sendiri, ketika menjelaskan tentang metode al-
Jam‟u wa taufiq, menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadîts yang
bertentangan kecuali ada jalan penyelesaiannya. Ada kemungkinan
antara dua hadîts yang bertentangan itu, satu harus dipahami secara
umum dan yang lain dipahami secara khusus. Kemungkinan kedua,
hadîts yang bertentangan terjadi karena situasi yang berbeda. Untuk
memahami hadîts-hadîts seperti ini dengan baik dan benar harus melihat
mempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbeda tersebut lebih
lanjut terdapat pula kemungkinan-kemungkinan lain seperti untuk
menjwab pertanyaan sahabat tertentu. Pemahaman kontekstualitas ini
dalam analisisnya tentu saja memerlukan kepada data-data historis yang
dapat dipertanggung jawabkan. Kebutuhan ini dalam kerangka hadîts
dibahas secara umum dalam ilmu asbâb wurȗd al-Hadîts.54
Di samping
itu, penguasaan terhadap sirah nabawiyah yang memadai akan sangat
membantu proses penyelesaian tahap wal ini. Dari penjelasan di atas
dapat ditarik beberapa cara penyelesaian dalam benetuk kompromi.55
53
Edi Safitri, al-Imam asy-Syafi‟i Metode penyelesaian hadîts-hadîts
Mukhtalif,(Jakarta: IAIN Hidayatullah, 1990), hal. 151 54
Daniel Juned, Ilmu Hadîts (Paradigma baru dan Rekontruksi Ilmu Hadîts),
(Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 114-118 55
Edi Safitri, al-Imam asy-Syafi‟i Metode penyelesaian hadîts-hadîts
Mukhtalif,(Jakarta: IAIN Hidayatullah, 1990), hal. 98-122
43
a. Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah
ushul
Yang dimaksud pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul di sini
ialah memahami hadîts-hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan
mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah
dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena
masalah bagaimana harusnya memahami maksud suatu hadîts atau untuk
dapat meng-istinbath-kan hukum-hukum yang dikandung dengan baik,
meerupakan masalah yang menjadi objek kajian ilmu ushul.
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para
ulama ushul fiqh, bertolak kepada suatu prinsip yang dirumuskan dalam
kaidah: “Mengamalkan dua dalil yang berbenturan, lebih baik dari
pada menyingkirkan satu diantaranya.”56
b. Penyelesaian beerdasarkan pemahaman kontekstual
Yaitu memahami hadîts-hadîts Rasulullah dengan memperhatikan
dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi munculnya hadîts-hadîts tersebut, atau dengan
perkataan lain dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Pendekatan terhadap hadîts-hadîts mukhtalif yang tampak
bertentangan menyangkut suatu masalah yang dikaji bersama dengan
56
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal. 227
44
hadîts lain yang terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna satu
dengan yang lainnya, agar maksud atau kandungan makna yang
sebenarnya dari hadîts-hadîts tersebut dapat dipahami dengan baik dan
dengan demikian pertentangan yang tampak dapat ditemukan
pengompromiannya.
d. Penyelesaian dengan cara ta‟wil
Yakni dengan cara mena‟wilkannya dari makna lahiriah yang
tampak bertentangan kepada makna lain sehingga pertentangan yang
tampak tersebut dapat ditemukan titik temu atau pengompromiannya.
Adapun syarat-syarat al-Jam‟u wa al-Taufiq adalah sebagai berikut:
a) Mempertegas (tahaqquq) kontroversi dua dalil, yaitu masing-masing
dalil tersebut saling bertentangan dan pantas dijadikan hujjah. Hal
itu dimaksudkan bahwa yang dikehendaki adalah
mengkompromikan dua hadîts yang dapat dijadikan hujjah dan
maqbul. Sebab jika kontroversinya tidak dipertegas seperti salah
satunya merupakan hadîts mardȗd, maka hadîts yang lain niscaya
selamat dari pertentangan. Dengan demikian hadîts yang diamalkan
jelas.
b) Mengkompromikan dua dalil tidak sampai berdampak membatalkan
syariah atau membatalkan bagiannya.
c) Kompromi dapat menghilangkan kontroversi.
d) Kompromi dua dalil tidak menjadikan benturan dengan dalil shahih
yang lain.
45
e) Dua hadîts yang bertentangan terjadi pada satu masa. Jika masa dua
hadîts itu berbeda dan salah satunya menunjukan nasikh atau
mansȗkh, maka yang diamalkan salah satunya.
f) Kompromi dua dalil digunakan untuk tujuan dan cara yang benar.
Maksud dan tujuan yang benar adalah menghilangkan kontroversi
yang ada pada dua dalil itu dan bersandar pada dalil syar‟i.
Sedangkan cara yang benar adalah cara yang dapat diterima, tidak
serampangan dan dipaksakan, tidak keluar dari tujuan universal
syariat dan tidak menggunakan ta‟wil ba‟id, sehingga kompromi
tidak keluar dari kaedah ketetapan bahasa atau kaedah agama yang
dipahami secara pasti dan juga tidak keluar pada konteks yang tidak
pantas ucapan syar‟i.
g) Sebagian ulama menyaratkan kesetaraan dua dalil yang
bertentangan, sehingga kompromi keduanya benar-benar valid.
2. Tarjih (Memilih yang terkuat)
Hadîts-hadîts yang Mukhtalif bila tidak mungkin untuk
dikompromikan dengan cara apapun, ditemukan petunjuk yang mungkin
menguatkan salah satu di antara keduanya, maka digunakanlah dalil
yang memiliki petunjuk yang menguatkan itu. Cara tersebut dinamakan
tarjih.
Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dalil yang dikuatkan
disebut dengan rajih, dan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.
Dalam arti istilah, tarjih adalah ungkapan mengenai di iringinya salah
satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukan kepada apa yang
46
dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk
mengamalkan satu di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.57
Kekuatan atau hujjah suatu hadîts didukung oleh banyak hal, baik
menyangkut sanad maupun matan. Dalam men-tarjih, hal-hal yang
menyangkut sanad dan matan dan hal-hal yang ada kaitannya dengan
nilai hujjah hadîts tersebut, dikaji secara rinci dan mendalam dan
diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya dapat diketahui
manakah sebenarnya di antara hadîts yang lebih tinggi nilai hujjahnya
dan mana yang lemah. Maka dengan demikian pertentangan yang
tampak sudah dapat diselesaikan, yakni dengan memegang dan
mengamalkan yang lebih kuat dan meninggalkan yang lemah.58
Dalam men-tarjih, sebenarnya banyak hal yang bisa dikaji dan
diperbandingkan di antara hadîts-hadîts yang bertentangan tersebut baik
menyangkut sanad maupun matan. Meskipun demikian, seecara garis
besar pentarjihan tersebut tidak terlepas dari empat hal pokok, yaitu: 1).
Dari segi sanad 2). Dari segi matan 3). Dari segi Madlul, dan 4). Dari
segi hal-hal lain yang turut mendukung nilai hadîts tersebut.59
Berikut
penjelasannya:
a. Tarjih dilihat dari segi sanad60
57
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal.
283 58
Edi Safitri, al-Imam asy-Syafi‟i Metode penyelesaian hadîts-hadîts
Mukhtalif,(Jakarta: IAIN Hidayatullah, 1990), hal. 130 59
Edi Safitri, al-Imam asy-Syafi‟i Metode penyelesaian hadîts-hadîts Mukhtalif,
hal. 133-134 60
Abdul Majid Khon, Tarjih dan Metode Pemahaman Hadîts, (Jakarta: AMZA,
2014), hal. 202-204
47
1) Banyaknya periwayat memberikan faedah zham yang lebih
kuat bagi mayoritas ulama.
2) Periwayat senior lebih unggul dibandingkan periwayat
junior, kecuali lebih dhâbith.
3) Salah seorang periwayat lebih kuat hafalannya. Misalnya,
Malik bin Anas lebih kuat ingatannya dari pada Syu‟aib bin
Kisan.
4) Salah seorang periwayat disepakati keadilannya, sedangkan
yang lain diperselisihkan.
5) Salah satu periwayat terlibat dalam suatu kasus dalam hadîts.
6) Salah seorang periwayat menerima hadîts setelah baligh,
sementara yang satunya lagi sebelum baligh.
b. Tarjih dilihat dari segi matan
1) Mendahulukan hadîts yang khusus dari pada yang umum.
2) Mendahulukan makna yang hakikat dari pada yang majas.
3) Mendahulukan makna yang hakikat syar‟iyyah (agama) atau
„urfiyyah (tradisi) dari pada hakikat lughowiyyah
(kebahasaan).
4) Mendahulukan yang muqayyad (ada pembatasan) dari pada
yang muthlak (tanpa pembatasan).
5) Mendahulukan penguat bagi hukum asal dari pada yang
menimbulkan hukum.
6) Mendahulukan yang lebih ihtiyâth (berhati-hati)
c. Tarjih dilihat dari segi penguat yang lain
48
1) Mendahulukan hadîts yang memiliki penguat lain dari pada
yang tidak memilikinya.
2) Mendahulukan hadîts qauli dari pada fi‟il karena qauli
mempunyai bentuk ungkapan (shîghah), sedangkan fi‟il tidak
mempunyainya.
3) Mendahulukan ungkapan yang tegas dan jelas.
4) Mendahulukan amalan mayoritas ulama salaf.
5) Mendahulukan amalan yang sesuai dengan amalan Khulafaur
Rasyidin
6) Mendahulukan yang sesuai dengan amalan ahli Madinah
7) Mendahulukan yang lebih dekat kepada makna lahirnya al-
Qur‟ân.
3. Nasikh wa al-Mansukh (membatalkan salah satu dan
mengamalkan yang lainnya)
Jika al-Jam‟u wa at-Taufiq dan tarjih tidak dapat dilakukan,
ditetapkan bahwa hadîts yang datang belakangan menasakh hadîts
yang lebih dahulu.61
Masalah yang berkaitan erat dengan masalah pertentangan
hadîts-hadîts ialah masalah nasikh. Secara harfiah nasikh berarti
penghapusan atau pembatalan atau annulment. Dalam sebuah hadîts,
ada sebagian ulama yang menjatuhkan nasikh jika sulit baginya
menggAbȗngkan makna di antara yang maknanya bertentangan,
61
Abdul Majid Khon, Tarjih dan Metode Pemahaman Hadîts, (Jakarta: AMZA,
2014), hal. 201
49
sedangkan hadîts yang paling akhir dari keduanya sudah dapat
diidentifikasikan pentarikhannya.62
Pada hakikatnya, pengakuan adanya nasikh dalam hadîts
cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan pengakuan nasikh
dalam al-Qur‟ân. Perlu diingat bahwa ternyata setelah dilakukan
penelitian, sebagian hadîts yang dicurigai telah dimansukh terbukti
tidak dimansukh. Hadîts-hadîts tersebut adakalanya mengandung
makna „azimah (ketetapan) dan makana rukhshah (dispensasi),
sehingga masing-masing disesuaikan dengan hukumnya sendiri.63
Dalam kerangka teori keilmuan, nasakh dipahami sebagai
sebuah kenyataan adanya sejumlah hadîts mukhtalif bermuatan taklif
yang mengandung kesamaan topik, tetapi dengan makna yang
berlawanan dan tidak dapat dikompromikan. Persoalan ini menjadi
pembicaraan dikalangan ulama hadîts dalam karya-karya mereka dan
bahkan telah melahirkan suatu cabang ilmu yang disebut ilmu nasikh
al-Hadîts wa mansukh, yakni satu cabang ilmu hadîts yang
membahas hadîts-hadîts yang tampak mengandung makna saling
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, baik dengan
memperhatikan matan hadîts apakah mengandung penegasan adanya
nask dari Rasulullah saw sendiri atau para sahabatnya, atau dengan
mengkaji kronologi waktu munculnya hadîts, untuk diketahui mana
diantaranya yang naskh dan mana yang mansukh. Untuk mengetahui
62
Yusuf Qardhawi, Studi Kritis as-Sunnah, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), hal. 140 63
Yusuf Qardhawi, Studi Kritis as-Sunnah, hal. 141
50
pembahasan lebih jauh dan mendalam menyangkut masalah nasakh
ini hendaklah kembali kepada kitab-kitab ushul fiqh.64
Ulama yang memperbolehkan adanya nasakh,
mengemukakan bebrapa syarat dalam penetapan nasakh, yaitu:
pertama, yang di nasakh itu adalah hukum syar‟i, yaitu hukum yang
bersifat amaliah, bukan hukum „aqli dan bukan yang menyangkut
„aqidah. Kedua, dalil yang emnunjukan berakhirnya masa berlaku
hukum yang lama itu, datang secra terpisah dan kemudian dari dalil
yang di-nasakh-kan. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama dan tidak
mungkin dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum yang di-nasakh-
kan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya, karena
pemberlakuan secara tetap dan berketerusan, menutup kemungkinan
pembatalan berlakunya hukum dalam suatu waktu.65
C. Urgensi Ilmu Mukhtalif al-Hadîts wa Musykiluh
Ilmu ini termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadîts, ahli fiqih dan
ulama-ulama yang lain. Yang menekuninya harus memiliki pemahaman
yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Dan yang
bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara
hadîts dan fiqih. Dalam hal ini, as-Sakhawiy mengatakan: “Ilmu ini
termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama
diberbagai disiplin. Yang tidak menekuninya secara tuntas adalah
64
Muhammad Adib Ṣalih, Lamhat fî Uṣul al-Hadîts, (Beirut: al-Maktabah al-
Islamy, 1399H), hal. 84. 65
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal.
251
51
mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadîts dan fiqih
dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.66
Menurut Edi Safitri mengapa Imâm asy-Syâfi‟î tidak menganut
prinsip tawaqquf tersebut karena ia melihat dari segi praktisnya. Dalam
hubungan ini Abȗ Zahrah mengatakan bahwa Imâm asy-Syâfi‟î tidak
menganut prinsip ini karena hal itu berdasarkan kepada hasil
penelitiannya yang mendalam terhadap hadîts-hadîts tersebut, dalam
penelitiannya Imâm asy-Syâfi‟î tidak pernah menemukan hadîts-hadîts
mukhtalif yang tidak menemukan jalan penyelesaiannya, sehingga harus
tawaqquf-kan dalam kesimpulan atau penelitiannya tersebut dungkapkan
sendiri oleh imâm asy-Syâfi‟î: “Kami tidak pernah menemukan hadîts-
hadîts mukhtalif, melainkan ada jalan keluarnya.”67
Dengan demikian
jelaslah bahwa tidak dianut prinsip tawaqquf oleh Imâm asy-Syâfi‟î
dalam teori penyelesaian hadîts-hadîts mukhtalif. Tentang pentingnya
prinsip tawaqquf dilihat dari segi praktisnya, juga dikemukakan oleh
„Abdul al-Wahab Khallaf dengan mengatakan bahwa prinsip ini hanya
ada dalam teori namun dalam prakteknya tidak pernah ditemukan, jadi
secara praktis tidak adanya prinsip tawaqquf tidak dapat dikatakan
sebagai suatu kelemahan dari teori penyelesaian hadîts mukhtalif Imâm
asy-Syafi‟î.68
66
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis.(Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), hal. 254 67
Muhammad Idris asy-Syafi‟i, ar-risalah, (T.t: Dar al-Fikr, T.th), hal. 216 68
Edi Safitri, al-Imam asy-Syafi‟i Metode penyelesaian hadîts-hadîts
Mukhtalif,(Jakarta: IAIN Hidayatullah, 1990), hal. 146
52
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafalan hadîts,
pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang „am
dan khash-nya, yang muthlaq dan muqayyad-nya dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi
seseorang hanya dengan menghafal hadîts, menghimpun sanad-sanadnya
dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui
kandungan hukumnya.69
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu Mukhtalif
dan Musykil al-Hadîts ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan
ulama segala persoalan setelah Rasulullah Saw wafat. Mereka
melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar
berbagai hadîts, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian
generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan
antar hadîts yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan
kesulitan dalam memahaminya. Ulama memiliki peran yang besar dalam
menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan
oleh sementara aliran, sperti Mu‟tazilah dan /musyabbihah seputar
beberapa hadîts.70
Kajian ini jauh sebelumnya disuarakan oleh Imâm asy-Syâfi‟î.
Ulama yang pertama-tama menghimpun ilmu Mukhtalif al-Hadîtsini
ialah Imâm asy-Syâfi‟î. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
Imâm as-Syâfi‟î itu tidak ada maksud untuk menjadikan ilmu itu berdiri
69
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis.(Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), hal. 254 70
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis, hal. 254
53
sendiri, tetapi beliau hanya menulisnya dalam membahas masslah-
masalah dalam kitab beliau al-Umm. Kritikan tersebut tidak tepat, sebab
disamping beliau mengutarakan hadîts Mukhtalif didalam kitab al-Umm,
juga menyusun sendiri dalam kitab tertentu dengan nama Mukhtaluf al-
Hadîts. Kitab tersebut dicetak dibagian pinggiran (Hamisy) juz ke-VII
daari kitab al-Umm.71
Setelah muncul kitab Mukhtalif al-Hadîts oleh Imâm asy-Syâfi‟î
maka lahirlah kitab-kitab seperti:72
1. Ta‟wil Mukhtalif al-Hadîts, karya al-Hafizh „Abdullah bin Muslim
bin Qutaibah ad-Dainury (213-276 H). Kitab ini ditulis oleh
pengarangnya untuk memberikan jawaban bagi orang yang
mengadakan tantangan terhadap hadîts dan menuduh para ahli hadîts
yang sengaja mengumpulkan hadîts-hadîts yang saling berlawanan
dan meriwayatkan hadîts-hadîts yang musykil-musykil. Beliau
kumpulkan hadîts-hadîts yang menurut lahirnya saling berlawanan,
kemudian beliau uraikan sehingga hadîts-hadîts tersebut tidak
berlawanan satu sama lain.
2. Musykil al-Atsar, karya Imâm Abȗ Ja‟far Ahmad bin Muhammad
ath-Thahawy (239-321 H). Di samping beliau ini sebagian al-
Muhaddits juga terkenal sebagai al-Faqih (ahli fiqh). Kitab yang
71
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadîts, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1991),
hal. 338 72
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadîts, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1991),
hal. 339
54
beliau susun ini terdiri dari 4 jilid dan telah dicetak di India pada
tahun 1333 H.
3. Musykil al-Hadîts wa Bayanuhu, karya al-Muhaddits Abȗ Bakr
Muhammad bin al-Hasan (Ibnu furak) al-Anshari al-Asbihany (wafat
tahun 406 H), beliau menyusun beberapa hadîts nabawy yang
menurut lahirnya diduga serupa (tasybih), dan berlawanan (tanaqudl)
yang dilemparkan oleh orang-orang yang memusuhi agama.
Kemudian setelah beliau jelaskan hadîts-hadîts itu, batallah tuduhan-
tuduhan mereka. Karena uraian yang beliau kemukakan di samping
berdasarkan kepada nash-nash juga berpijak kepada analisa yang
logis. Kitab ini telah dicetak di India pada tahun 1362 H.
55
BAB IV
PENYELESAIAN HADÎTS SANKSI BAGI ORANG YANG
MELUPAKAN HAFALAN AL-QUR’ÂN DAN HADÎTS NABI LUPA
AKAN AYAT AL-QUR’ÂN
A. Teks Hadîts dan Takhrij Hadîts
1. Hadîts Sanksi Bagi orang yang melupakan hafalan ayat al-Qur‟ân
Hadîts yang diriwayatkan oleh Imâm at-Turmudzî
ػبذ اح ك احخضص اخبشن ػبذ - ان نذبد ػبذ احد ب ن ػبذ احؼضيض ن ذ ن اح ج
م حكع ا ق ا ق انس ن ندطبع ػ ػبذ ل ن اح طمب ن جشيجع ػ ان ادع ػ س
م ػشضج ػم اجدس امخ نخ اح ل قزاة يخشجه احشجل س دق ل م ل ػم
آيتع احقشآن ا دسةع م ػشضج ػم رندب امخ فم اس رنب اػظ م اح سجذ م
احه سجل ب نسه
“Telah menceritakan kepada kami „Abdul Wahhâb bin „Abdul
Hakam al-Khazzaz telah mengabarkan kepada kami „Abdul Majîd
bin „Abdul „Azîz bin Abȗ Rawwâd dari ibnu Juraij dari Muṯâlib bin
„Abdullah bin Hanṯab dari anas bin Mâlik dia berkata: Rasȗlullah
shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Pahala-pahala ummatku
ditampakkan kepadaku, hingga pahala seseorang yang membuang
debu dari masjid, dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku,
maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu
ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian dia
melupakannya.”73
Hadîts pertama ini penulis menggunakan kamus hadîts kitab al-
Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts, penulis menulusuri kata عشض, data
yang di uraikan dalam kitab tersebut sebagai berikut:
73
Al-Tirmidzi, Abȗ Isa Muhammad Ibn Musa al-Dahaq al-Sulami al-Bughi,
Sunan al-Tirmidzi, (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), hal. 178.
56
75م هساجذ
61د صالة
61ث ثاب القشاى
حن 74
Dari keterangan di atas diketahui bahwa hadits yang penulis tetliti
hadits tersebut terdapat pada: Shahih Muslim kitab masajid nomor hadits
157, Abu Dawud kitab Shalat nomor hadits 16, at-Tirmidzi kitab tsawab al-
Qur‟an nomor hadits 19, dan Musnad Imam Hanbal halaman 5, 180 dan
128.
Penulusuran selanjutnya melalui kitab Mausu‟ah Atraf al-Hadits an-
Nabawi al-Syarif penulis menemukan data-data yang diuraikan dalam kitab
tersebut sebagai berikut:
عشضج عل أجس أهخ حخ القزاة خشجا الشجلل هي الوسجذ
١٦٤ -ى
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa hadits tersebut ada di
an-Nasai halaman 461.
1. Susunan riwayat hadits yang di keluarkan Sunan at-Tirmidzi
ػبذ ذ ن ػبذ اح ك احخضص اخبشن ػبذ اح ج ان نذبد ػبذ احد ب ن احؼضيض ن
م حكع ا ق ا ق انس ن ندطبع ػ ػبذ ل ن اح طمب ن جشيجع ػ ان ادع ػ س
74
A.J Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts al-Nabawiyah, juz 6,
hal. 336.
57
م ػشضج ػم اجدس امخ نخ احقزاة يخشجه احش ل جل س دق ل م ل ػم
آيتع احقشآن ا دسةع م ػشضج ػم رندب امخ فم اس رنب اػظ م اح سجذ م
احه سجل ب نسه
2. Susunan riwayat hadits yang di keluarkan Abu dawud
ػبذ أن نذبد ػبذ احد ب ن ػبذ احؼضيض ن اح ك احخضاص أخبشن ػبذ اح جذ ن
م حكع ا ق ا ق أنس ن ندطبع ػ ػبذ ل ن اح طمب ن جشيجع ػ ان ادع ػ س
م ػ ل شضج ػم أجدس أمخ نخ احقزاة يخشجه احشجل س دق ل م ل ػم
آيتع احقشآن أ دسةع م ػشضج ػم رندب أمخ فم أس رنب أػظ م اح سجذ م
أحه سجل ب نسه
3. Susunan riwayat yang dikeluarkan oleh imam an-Nasai
مدصدسع ػ صسيغع ا ق نذبد شؼبت ػ مد ا ق نذبد يضيذ ن أخبشن ػ شان ن
م ا ق نوس لنذ ل احدب م ل ػم ػبذ ل ػ ائلع ػ أن يقدق أن
ذس م ا خز شا احقشآن ف نل أ شع حفص ج نل د نس ج نسج آيت
ػقمل احدؼ م ج ق م احش
Setelah di teliti, ternyata pada hadîts ini terdapat 1 musnad yang di
anggap Tadlis yaitu Ibn Juraij.75
75
Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi asma al-
Rijal, (Beirut Muassasah al-Risalah, 1983), juz 18, hal. 338-347
58
Hadîts yang diriwayatkan oleh Imâm Abȗ Dawȗd
ف ئزع - س ن ػ ان صي دع ػ يضيذ ن ادسيس ػ احؼل اخبشن ان نذبد م ذ ن
ػب دث ا ق ا ق س دق ل م ل ؼذع ن امشئع يقشأ احقشآن ػ م م م ل ػم
جل يدم احق مت أجزم ب يدس ه أال حق ل ػض
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-„Ala, telah
mengabarkan kepada Ibnu Idrîs dari Yazîd bin Abȗ Ziyad dari „Ȋsa
bin Fâid dari Sa‟d bin „Ubâdah ia berkata: Rasȗlullah shallallhu
„alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mempelajari
(menghafal) al-Qur‟ân kemudian melupakannya, kecuali ia akan
bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan terputus
tangannya.”76
Kemudian hadîts ini penulis juga menggunakan kamus hadîts kitab
al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts, penulis menelusuri kata أجزم,
data yang di uraikan dala kitab tersebut sebagai berikut:
16د حش
د فضائل القشاى
حن77
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa hadits tersebut
terdapat pada : Sunan Abu Dawud Kitab Witir halaman 21, Sunan ad-
Darimi kitab Fadhailul Qur‟ân halaman 2, dan Musnad Imam Hanbal
halaman 2.
76
Al-Sijitsani, Abȗ Daud Sulaiman bin Al-Ats, Sunan Abȗ Dâwud, (Libanon: Dar
al-A‟lam Ibn Hanbal, (Beirut dar al-„Alam) hal. 254. 77
A.J Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts al-Nabawiyah, juz 4,
hal. 181.
59
Penulusuran selanjutnya melalui kitab Mausu‟ah Atraf al-Hadîts an-
Nabawi asy-Syarif dan data-data yang diuraikan dalam kitab tersebut
sebagai berikut:
ها هي اهشئ قشأ القشآى ثن سا
١٤ -د الحش ب
1. Susunan hadits yang dikeluarkan Abu Dawud
ي ادسيس ػ احؼل اخبشن ان نذبد م ذ ن ف ئزع ػ س ن ػ ان صي دع ػ ضيذ ن
امشئع يقشأ احقشآن ب م م م ل ػب دث ا ق ا ق س دق ل م ل ػم ؼذع ن
جل يدم احق مت أجزم يدس ه أال حق ل ػض
2. Susunan hadits yang dikeluarkan ad-Darimi
ؼذ سجلع ػ ػس ػ أن صي دع ػ يضيذ ن شؼبت ػ ػ مشع ػ نذبد ؼذ ن
سجلع م ا ق م م ل ػب دة أن س دق ل م ل ػم يخؼم احقشآن ب يدس ه ن
د أجزم ال حق ل يدم احق مت
3. Susunan hadits yang dikeluarkan Ahmad Hanbal
ف ئذع ػ ػس ن أن صي دع ػ يضيذ ن جؼفشع نذبد شؼبت ػ سجلع نذبد م ذ ن
أمش ػنشةع ال أ م أنل ا ق م م ل احدب م ل ػم ػب دة ػ ؼذ ن ح ػ
أنذع يخؼم ا م م جل مغمدال يدم احق مت ال يطمقل ال احؼذق حقشآن ب نسل ل ػض
جل أجزم ال حق ل ػض
60
Setelah di teliti sebelumnya, ternyata pada hadîts ini terdapat 2
musnad yang di anggap Dha’if yaitu ‘Ȋsa bin Fâid78
dan Yazîd bin Abî
Ziyâd.79
2. Hadîts Nabi lupa akan ayat al-Qur‟ân
- أنال ػا نا مع ػا يدنس ػا دنع أخبشن ػس ن م ذ ن ػب نذبد م ذ ن
م سجال يقاشأ فا اح ساجذ ل ػ ئنت سض ل ػده ا حج غ احدب م ل ػم
فق ق سن ل صاد ػبا د نا ازا دسة ازا م زا آيت أ قطخه ل حقذ أر شن زا
خا فسا غ ادث ػبا دع ام فا ن ال ػ ئنات حهجاذ احدبا ام ل ػم ػبذ ل ػا
ايصم ف اح سج ذ فق ق ي ػ ئنت أ دث ػب دع زا امج نؼ ا ق احمه اسن ػب د
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid bin
Maimȗn telah mengabarkan kepada kami 'Ȋsa bin Yȗnus dari Hisyâm
dari bapaknya dari 'Âisyah radhiallahu 'anha berkata; Rasȗlullah
shallallahu 'alaihi wasallam mendengar sesoerang membaca Al-
Qur'ân di masjid lalu Beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati
orang itu. Sungguh dia telah mengingatkan aku tentang ayat ini dan
itu yang aku telah lupa dari surat ini dan itu". Dan 'Abbâd bin
'Abdullah menambahkan dari 'Âisyah radhiallahu 'anha: "Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat tahajjud di
rumahku lalu Beliau mendengar suara 'Abbâd yang sedang shalat di
masjid lalu Beliau berkata: "Wahai 'Âisyah, apakah itu suara
'Abbâd?" Aku jawab: "Ya". Maka Beliau bersabda: "Ya Allah
rahmatilah 'Abbâd".
Kemudian hadîts kedua ini penulis menggunakan kamus hadîts kitab
al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts, penulis menulusuri kata data
yang di uraikan dalam kitab tersebut sebagai berikut:80
66شادث خ
78
Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi asma al-
Rijal, (Beirut: Dar el-Fikr), juz 23, hal. 21 79
Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi asma al-
Rijal, (Beirut: Dar el-Fikr), juz 32, hal. 135-140 80
A.J Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadîts al-Nabawiyah, juz 2,
hal. 477.
61
112م هسافشي
1. Susunan hadits yag di keluarkan Imam Bukhari
ااد م ااذ ناا ػب ياادنسنااذبد م ااذ ناا أناال نع أخبشناا ػساا ناا ناا مع ػاا ػاا
اام سجاال يقااشأ اال ػ ئناات سضاا ل ػدهاا ا حااج اا غ احدباا اام ل ػم ػاا
اادسة اازا ماا اازا آياات أ ااقطخه فاا اح سااجذ فقاا ق سن اال ل حقااذ أر شناا اازا
اام فاا اال ػ ئناات حهجااذ احدباا اام ل ػم ػبااذ ل ػاا صاد ػباا د ناا اازا
خاا فساا غ اادث ػباا دع يصااام فاا اح سااجذ فقاا ق يااا ػ ئناات أ اادث ػباا دع ااازا ن
اامج نؼ ا ق احمه ا سن ػب د
2. Susunan hadits yang di keluarkan Imam Muslim
ناا مع ػاا أنااد شياابع ااا ال نااذبد أنااد أ اا مت ػاا بت أناا شاا نااذبد أنااد نكااش ناا
اام اا غ اال ػ ئناات أن احدباا اام ل ػم اال فقاا ق أناال ػاا احم سجاال يقااشأ ماا
زا دسة زا زا آيت دج أ قطخه م يشن ل ل حقذ أر شن زا
Sedangkan pada hadîts ini penulis tidak menemukan kejanggalan
ataupun kecatatan baik itu dari segi sanad maupun matan.
Dari penulusuran yang penulis lakukan di atas, bahwa kedua
hadîts tersebut secara tekstual adalah hadîts mukhtalif. Oleh karena
itu, selanjutnya penulis akan menyelesaikan hadîts tersebut melalui
pemahaman imam an-Nawâwî81
yang mengatakan hadîts mukhtalif
81
Jalâluddîn „Abdurrahmân as-Suyȗtî, Tadrib ar-Râwî fi Syarhi Taqrib an-
Nawawî, ditahkik oleh „Abdul Wahhab „Abdul Latif (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 196
62
adalah hadîts yang saling bertentangan pada makna zhahirnya lalu
dikompromisasikan atau di unggulkan antara keduanya.
B. Penyelesaian Hadîts Mukhtalif
Melihat dari penelitian hadîts-hadîts di atas, penulis disini
menyimpulkan bahwa metode yang di ambil adalah metode Tarjih,
yaitu mengunggulkan hadîts yang kedua dibandingkan dengan yang
pertama. Dengan beberapa alasan dan bukti-bukti yang menguatkan
sebagai berikut:
Hadîts pertama di temukan sanad yang kualitasnya Tadlis82
(Ibnu Juraij) pada hadîts yang pertama dan Dha’if83
(‘Ȋsa
bin Fâid dan Yazîd bin Abî Ziyâd) pada hadîts kedua,
sedangkan pada hadîts yang kedua penulis tidak menemukan
kecacatan baik itu dari segi sanad maupun matan.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadîts kedua lebih di
unggulkan dari pada hadîts golongan pertama. Sebagai penguat pada
hadîts golongan kedua, penulis akan menjelaskan maksud dari hadîts
tersebut.
أنال ػا نا مع ػا يادنس ػا ادنع أخبشنا ػسا نا م اذ نا ػب نذبد م ذ ن
م سجال يقاشأ فا اح ساجذ ل ػ ئنت سض ل ػده ا حج غ احدب م ل ػم
فق ق سن ل صاد ػبا د نا ازا دسة ازا م زا آيت أ قطخه ل حقذ أر شن زا
82
Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi asma al-
Rijal, (Beirut: Dar el-Fikr), juz 18, hal. 338-347 83
Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi asma al-
Rijal, (Beirut: Dar el-Fikr), juz 23, hal. 21 dan juz 32, hal. 135-140
63
خا فسا غ ادث ػبا دع ام فا ن ال ػ ئنات حهجاذ احدبا ام ل ػم ػبذ ل ػا
ايصم ف اح سج ذ فق ق ي ػ ئنت أ دث ػب دع زا امج نؼ ا ق احمه اسن ػب د
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid bin
Maimȗn telah mengabarkan kepada kami 'Ȋsa bin Yȗnus dari
Hisyâm dari bapaknya dari 'Âisyah radhiallahu 'anha berkata;
Rasȗlullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar sesoerang
membaca Al-Qur'ân di masjid lalu Beliau bersabda: "Semoga
Allah merahmati orang itu. Sungguh dia telah mengingatkan
aku tentang ayat ini dan itu yang aku telah lupa dari surat ini
dan itu". Dan 'Abbâd bin 'Abdullah menambahkan dari
'Âisyah radhiallahu 'anha: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melaksanakan shalat tahajjud di rumahku lalu Beliau
mendengar suara 'Abbâd yang sedang shalat di masjid lalu
Beliau berkata: "Wahai 'Âisyah, apakah itu suara 'Abbâd?"
Aku jawab: "Ya". Maka Beliau bersabda: "Ya Allah
rahmatilah 'Abbâd".
Di dalam kita Fathu al-Bâri ibnu Hajar menjelaskan bahwa
pada hadîts ini ada dua riwayat mengenai suara yang didengar
Rasȗlullah Saw. Pertama, ada yang menyebutkan „Abbâd bin Bisyr,
seorang sahabat senior. Kedua, yaitu „Abbâd bin „Abdullah bin az-
Zubair seorang tabi‟in.
Akan tetapi, „Abdul Ghani bin Sa‟id menegaskan di dalam
kitab al-Mubhamaat bahwa orang yang ditengarai membaca al-
Qur‟ân pada riwayat Hisyâm dari bapaknya, dari „Âisyah, adalah
„Abdullah bin Yazîd al-Anshari. Telah diriwayatkan dari jalur amrah
dari „âisyah bahwa Nabi Saw mendengar suara yang membaca al-
Qur‟ân di masjid, kemudian beliau bertanya, “Suara siapakah ini?”
mereka menjawab, “‟Abdullah bin Yazîd.” Nabi Saw bersabda, حقااذ
Sungguh ia telah mengingatkanku pada) ر شناا آياات يشن اال ل دااج أنسااخه
satu ayat yang aku dijadikan lupa atasnya, semoga allah
merahmatinya). Pendapat „Abdul Ghani ini didukung oleh adanya
kesamaan antara kisah Amrah dari „Âisyah dengan kisah „Urwah
64
dari „Âisyah. Berbeda dengan kisah „Abbâd dari „Âisyah, dimana di
dalamnya tidak disinggung mengenai ayat yang di lupakan.
Ada kemungkinan kedua kisah itu merupakan satu kejadian,
dimana Rasȗlullah Saw mendengar suara 2 orang laki-laki dan
beliau mengenali suara salah seorang dari mereka, maka beliau
bersabda “Ini adalah suara „Abbâd”‟, tapi beliau tidak mengenali
suara yang satunya sehingga beliau pun bertanya tentang pemilik
suara itu. Lalu suara yang beliau tidak kenali suaranya itulah yang
mengingatkan beliau kepada ayat yang telah dijadikan lupa
atasnya.84
Kemudian hadîts ini juga di perjelas pada hadîts Imam
Bukhârî pada bab fadhailul Qur‟ân tentang “lupa al-Qur‟ân”.
ػ ئنااات سضااا ة ػااا ػاااش ي ااا نااذبد صائاااذة ناااذبد نااا م ػاا نااذبد سناااغ نااا
ااام سجااال يقاااشأ فااا اح ساااجذ فقااا ق ل ػدهااا ا حاااج ااا غ احدبااا ااام ااال ل ػم
دسة زايشن ل ل حقذ أر شن زا زا آيت م85
Telah menceritakan kepada kami Rabî' bin Yahya Telah
menceritakan kepada kami Zâidah Telah menceritakan
kepada kami Hisyâm dari „Urwah dari „Âisyah radliallahu
'anha, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mendengar seseorang membaca (Al-Qur`ân) di dalam masjid,
lalu beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati si Fulan,
sesungguhnya ia telah mengingatkanku ayat ini dan ini, yakni
ayat dari surat ini."
84
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bârî bi Syarah Ṣahih Bukhârî
(Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 5, hal. 298-299 85
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari
(Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 9, hal. 97-98
65
ااام سجااال ااال .yakni seorang laki-laki ااا غ احدبااا ااام ل ػم
Penjelasan tentang namanya sudah disebutkan pada pembahasan di
atas.
ااادسة حقاااذ أر شنااا ااازا ااازا ااازا آيااات مااا ibnu Hajar „Asqalani
mengatakan beliau belum menemukan keterangan tentang surat yang
dimaksud. Sungguh aneh orang yang mengatakan maksud perkataan
itu adalah 21 ayat.86
Jalur kedua hadîts ini di riwayatkan dari Muhammad bin
„Ubaid bin Maimȗn, dari „Ȋsa, dari Hisyâm. „Ȋsa yang dimaksud
adalah Ibnu Yȗnus bin abî Ishâq.
ماا ااا ق أ ااقطخه ناا مع اادنع نااذبد ػساا ػاا م ااذ ناا ػب نااذبد م ااذ ناا
ن مع ػبذة ػ مسهشع دسة زا ح نؼل ػم ن87
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin
Maimȗn Telah menceritakan kepada kami „Ȋsa dari Hisyâm
yakni, beliau bersabda: "Yang aku gugurkan dari surat ini."
Hadîts ini diperkuat oleh „Ali bin Mushir dan „Abdah dari
Hisyâm.
Pada hadîts ini ibnu Hajar „Asqalani tidak mensyarahkan apa
pun, hanya mengatakan ini adalah hadîts penjelas dari hadîts yang
disebutkan di atas melaui jalur yang berbeda.
أناال ػاا ة ػاا ػااش ناا م ناا أناا سجاا ءع نااذبد أنااد أ اا مت ػاا نااذبد أن ااذ اناا
اااام سجاااال يقااااشأ فاااا اااادسةع اااال ػ ئناااات ا حااااج اااا غ س اااادق ل اااام ل ػم
86
Amiruddin, Fathu al-Bari Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), hal. 931 87
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari
(Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 9, hal. 98
66
ااادسة ااازا ااازا آيااات داااج أنساااخه مااا ااال فقااا ق يشن ااال ل حقاااذ أر شنااا ااازا ن حم
زا 88
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abî Rajâ` Telah
menceritakan kepada kami Abȗ Usâmah dari Hisyâm bin
„Urwah dari bapaknya dari „Âisyah ia berkakta; Rasȗlullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendengar seseorang
membaca suatu surat di malam hari, maka beliau pun
bersabda: "Semoga Allah merahmati si Fulan, sungguh, ia
telah mengingatkanku ayat ini dan ini aku telah dilupakan
dari surat ini dan ini."
ج أنساااخه دااا (Tadinya aku dijadikan lupa kepadanya).
Kalimat ini menafsirkan kalimat “hilang dariku”. Seakan-akan
beliau bersabda “Hilang dariku karena lupa bukan disengaja”.
Dalam riwayat Ma‟mar dari Hisyâm yang dikutip al-Ismaili, داااج
Al-Ismaili berakta: “Lupa yang .(Aku lupa kepadanya) أنسااااخه
terjadi pada Rasȗlullah Saw terhadap al-Qur‟ân, ada dua macam:
salah satunya lupa yang akan beliau ingat sesaat kemudian, dan ini
berdasarkan tabi‟at manusia, dan ini pula yang diindikasikan sabda
beliau Saw pada hadîts Ibnu Mas‟ud pada pembahsan tentang sujud
sahwi, ن اااا أن ننااااش ماااامك أنساااا حدساااادن (sesungguhnya aku adalah
manusia seperti kalian, aku lupa seperti kalian lupa). Adapun yang
kedua adalah Allah mengangkat dari hatinya dengan maksud
menghapuskan bacaannya. Inilah yang disinyalir pengecualian
dalam firman Allah )اااادقش ئااااك فاااال حدساااا ال م شاااا ءل Kami akan
88
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari
(Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 9, hal. 98
67
membacakan kepadamu sehingga engkau tidak akan lupa kecuali
apa yang dikehendaki Allah).89
Hadîts ini menjadi hujjah bagi mereka yang mengatakan
Nabi Muhammad Saw bisa saja lupa dalam perkara yang tidak
berhubungan dengan penyampaian secara mutlak. Demikian juga
dalam perkara penyampaian, tetapi dengan dua syarat. Pertama, lupa
sesudah hal itu disampaikan. Kedua, lupa yang tidak akan
berlangsung terus-menerus, tetapi beliau akan ingat, baik dari
dirinya sendiri maupun dari faktor luar. Namun, apakah disyaratkan
untuk ingat dengan segera ataukah tidak? Dalam hal ini ada dua
pendapat. Adapun sebelum disampaikan maka mustahil baginya
lupa sama sekali.90
Hadîts ini juga memuat keterangan yang membolehkan
mengeraskan suara membaca al-Qur‟ân di malam hari dalam masjid.
Begitu pula disukai mendoakan orang yang telah mendatangkan
kebaikan meski dia tidak sengaja melakukannya.
Di dalam syarah Ṣahih Bukhârî juga dijelaskan hadîts
golongan yang pertama, Ibnu Hajar al-„Asqalani mengatakan, para
ulama salaf berbeda pendapat tentang lupa terhadap ayat-ayat al-
Qur‟ân. Sebagian menggolongkannya sebagai dosa besar. Abȗ
Ubaid meriwayatkan dari adh-Dhahhak bin Muzahim dengan jalur
mauquf, dia berkata, “Tidaklah seseorang mempelajari al-Qur‟ân,
89
Amiruddin, Fathu al-Bârî Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), hal. 932-933 90
Amiruddin, Fathu al-Bârî Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, hal. 933
68
kemudian lupa melainkan karena dosa yang dilakukannya,”sebab
Allah berfirman dalam surat asy-Syuura ayat 30, مااا أ ااا نكااا مااا
فب ااا سااابج أياااذيك مصااابت (Dan apa musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri).
Sementara lupa terhadap al-Qur‟ân merupakan musibah yang paling
besar.” Kelompok ini berdalil dengan riwayat Abȗ Dawȗd dan at-
Tirmidzî dari hadîts anas, yang di nisbatkan kepada Nabi
Muhammad Saw, ػشضااج ػماا رناادب أمخاا فماا أس رنباا أػظاا ماا اادسة
هاااا سجاااال باااا نسااااه ditampakkan kepadaku dosa-dosa) ماااا احقااااشآن أح
umatku, maka aku tidak melihat dosa yang paling besar dari pada
surah al-Qur‟ân yang diberikan kepada seseorang kemudian dia
lupa). Namun sanadnya lemah (seperti apa yang saya sebutkan pada
penelitian hadîts tersebut diatas). Begitu pula hadîts Abȗ Dawȗd
yang di riwayatkan dari Sa‟ad bin „Ubâdah, dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad Saw, هللا ننن أجنننزم هننني ننن ننن لقلننن شأ القنننشآى ثنننني سل (Barang siapa
membaca al-Qur‟ân kemudian dia lupa niscaya dia akan bertemu
allah dalam keadaan ajdzam). Dalam sanadnya juga terdapat
pembicaraan. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini dari
kalangan ulama madzhab Syâfi‟î adalah abȗ al-Makarim. Dia
beralasan bahwa berpaling dari al-Qur‟ân menyebabkan lupa
terhadapnya. Lupa ini menunjukan kurang perhatian dan
meremehkannya.91
91
Amiruddin, Fathu al-Bari Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka
69
Al-Qurṯubi berkata, “Barang siapa menghafal al-Qur‟ân atau
sebagianya sungguh ia telah meraih kedudukan yang lebih tinggi
dari pada yang tidak menghafalnya. Jika dia merusak kedudukan
hingga menjauh darinya, maka sangat sesuai bila diberi ganjaran
seperti itu, karena meninggalkan interaksi dengan al-Qur‟ân
berakibat kembali kepada kebodohan. Sementara kembali kepada
kebodohan setelah berilmu adalah urusan sangat dahsyat.” Ishâq bin
Rahawaih berkata, “Tidak disukai bagi seseorang yang telah berlalu
40 hari tanpa membaca al-Qur‟ân.” Kemudian dia menyebutkan
hadîts „Abdullah bin Mas‟ud, نااوس م لنااذ أن يقاادق نسااج آياات ااج
Sangat buruk bagi salah seorang mereka mengatakan aku lupa“ ااج
ayat ini dan itu.” Hadîts ini terdapat keterangan yang membolehkan
seseorang untuk mengatakan, “Aku menghilangkan ayat ini dari
surah ini,” jika hal itu dialaminya. Ibnu Abȗ dawȗd meeriwayatkan
dari Abȗ „Abdurrahman as-Sulami, dia berkata, “Jangan katakan,
„Aku hilangkan ayat ini‟, tapi katakan, „aku telah lalai terhadap ayat
ini‟.” Ini adalah adab yang bagus, tetapi bukan suatu kewajiban.92
ػبااذ ل ااا ق ااا ق ائاالع ػاا أناا مدصاادسع ػاا ع نااذبد ااف ن ػاا نااذبد أنااد نؼاا
اااج نااال احدبااا ااام ل ػم اااج ااام ناااوس مااا لناااذ يقااادق نساااج آيااات ااال
د نس 93
Azzam, 2008), hal. 934-935
92 Amiruddin, Fathu al-Bari Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), hal. 935-936 93
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah Shahih
Bukhari, (Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 9, hal. 99
70
Telah menceritakan kepada kami Abȗ Nu'aim Telah
menceritakan kepada kami Sufyân dari Manṣur dari Abȗ
Wa`il dari „Abdullah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Alangkah celakanya seorang yang
mengatakan, 'Aku lupa ayat ini dan ini.' Akan tetapi
hendaklah ia mengatakan, 'Aku telah dilupakan.'"
Seakan-akan maksudnya larangan mengucapkan “Aku lupa
ayat ini dan itu” bukan karena ucapan ini semata, bahkan larangan
melakukan hal-hal yang membuat lupa sehingga seseorang
mengucapkan perkataan itu. Mungkin juga larangan dan
pembolehan ini dipahami dalam dua keadaan. Barang siapa lupa
karena sibuk terhadap urusan agama seperti jihad, maka tidak
mengapa mengatakan seperti itu, sebab lupa tersebut bukan karena
kurang perhatian terhadap agama. Atas dasar ini dipahami hadîts-
hadîts dari Nabi Saw tentang penisbatan lupa terhadap dirinya
sendiri. Sedangkan mereka yang lupa dikarenakan sibuk terhadap
urusan dunia terutama bila perkara itu sesuatu yang dilarang maka
tidak boleh menisbatkan lupa pada dirinya, karena dia telah sengaja
melakukan hal-hal yang membuat lupa.94
Namun demikian, terlepas dari lemahnya derajat hadîts
golongan pertama yang menerangkan tentang orang yang melupakan
ayat al-Qur‟ān akan mendapatkan siksa, sebenarnya apabila kita
teliti lebih dalam maka akan kita dapati bahwa dua golongan hadîts
tersebut tidaklah bertentangan. Hal ini dapat kita rujuk ke dalam
redaksi dari masing-masing hadîts.
94
Amiruddin, Fathu al-Bari Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), hal. 930
71
Hadîts golongan pertama memakai kata سنن (dengan bentuk
kata kerja sekarang atau yang akan datang) dan سنن (dengan bentuk
kata kerja lampau) yang keduanya memiliki arti melupakan.
Menurut penulis, lupa dalam kalimat ini terjadi karena kesengajaan
dari orang yang memiliki hafalan tersebut.
Adapun hadîts golongan kedua menerangkan Nabi
Muhammad SAW mendengar orang yang membaca al-Qur‟ān di
masjid yang kemudian ayat-ayat tersebut ternyata mengingatkan
Nabi atas ayat-ayat yang beliau telah lupa. Untuk menerangkan
hadîts ini, penulis mendapatkan hadîts yang memiliki kesamaan
bahasan dalam kitab Shāhih Bukhāri yang dapat menerangkan hadîts
ini, redaksi dari hadîts tersebut adalah:
أناال ػاا ة ػاا ػااش ناا م ناا أناا سجاا ءع نااذبد أنااد أ اا مت ػاا نااذبد أن ااذ اناا
اااام اااال سجاااال يقااااشأ فاااا اااادسةع ػ ئناااات ا حااااج اااا غ س اااادق ل اااام ل ػم
ااادسة ااازا ااازا آيااات داااج أنساااخه مااا ااال فقااا ق يشن ااال ل حقاااذ أر شنااا ااازا ن حم
زا 95
“Imām Bukhāri telah meriwayatkan dari Ahmad bin Abī Rajā
dari Abū Usāmah dari Hisyām dari „Urwah dari bapaknya
„Urwah dari „Āisyah berkata: Rasūlullah mendengar seorang
laki-laki yang membaca sebuah surat pada waktu sholat
malam, kemudian Rasūlullah berkata: semoga Allah
merahmatinya. Sungguh ia telah mengingatkanku ini dan ini,
yaitu ayat yang aku lupa dari surat ini dan ini.”
Apabila dalam hadîts ini digunakan kata أسنننخا yang berarti
telah dilupakan padaku dengannya, sedangkan di dalam hadîts yang
95
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari
(Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M) juz 9, hal. 98
72
sebelumnya digunakan أسننقخا yang berarti telah aku jatuhkan ia (aku
lupakan), maka imam Ibnu Hajar selaku orang yang menerangkan
kitab shohih Bukhari, dalam kitab “Fath al-Bār”-nya menjelaskan
bahwa kata unsituha merupakan keterangan dari kata asqottuha.
Sehingga menurut Ibnu Hajar terjadinya “lupa” Rasūlullah akan ayat
al-Qur‟ān merupakan buah dari ketidak sengajaan, bukannya timbul
dari sebuah kesengajaan.
Menurut Ibn Hajar, mengutip dari al-Isma‟iliy, lupa
Rasūlullah tentang ayat al-Qur‟ān dapat dibagi ke dalam dua
keadaan. Keadaan yang pertama merupakan lupa akan hal-hal yang
ia ingat sesaat sebelumnya, sedangkan yang kedua merupakan lupa
akibat dihapusnya ayat al-Qur‟ān dari hatinya akibat hukum naskh.
Keadaan yang pertama terjadi akibat tabi‟at manusia, yaitu sifat
lupa. Hal ini dikuatkan dengan hadîts yang diriwayatkan dari Ibn
Mas‟ūd dalam sujud sahwi bahwasannya Rasūlullah berkata:
“sesungguhnya aku manusia seperti kalian, aku lupa seperti kalian
juga lupa.” Dan yang perlu ditekankan adalah bahwa keadaan yang
pertama ini cepat hilangnya, atau dalam kata lain Rasūlullah akan
cepat mengingat kembali ayat-ayat yang telah ia lupa.
Sehingga dari pemaparan di atas, menjadi jelaslah bahwa
sebenarnya terdapat kolerasi antara dua golongan hadîts tersebut.
Yaitu, apabila lupa akan ayat al-Qur‟ān muncul dari sebuah
kesengajaan, maka akan mendapatkan siksa (menurut hadîts-hadîts
yang diriwayatkan oleh sahabat Sa‟ad bin „Ubadah). Namun apabila
73
lupanya terjadi akibat dari ketidak sengajaan, maka kita sebagai
manusia selayaknya tidak takut untuk menghafal al-Qur‟ān karena
memang tabiatnya menjadi tempat salah dan lupa.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, hadîts mukhtalif
tentang Sanksi Bagi Orang Yang Melupakan Hafalan al-Qur‟ân
dapat diselesaikan dengan metode Tarjih dengan mengunggulkan
hadîts tentang Rasȗlullah SAW lupa akan ayat al-Qur‟ân, dimana
pada hadîts tersebut kualitas sanad nya lebih terpercaya dan
kedudukan hadîts tersebut Sahih. Hadîts ini juga diperkuat oleh
pemahaman hadîts-hadîts lain yang berkaitan dengan hadîts tersebut,
dijelaskan bahwa lupa Rasȗlullah Saw itu adalah lupa yang tidak
disengaja atau bisa dikatakan lupa sesaat, Ibnu Hajar al-„Asqalani
mengatakan dalam syarah Shahih Bukhori “Lupa Rasulullah dalam
al-Qur‟ân itu ada 2 macam: Pertama, lupa yang akan beliau ingat
sesaat kemudian, dan ini berdasarkan tabi‟at manusia. Kedua, lupa
karena kehendak Allah. Kemudian telah jelas bahwa orang yang
melupakan hafalan al-Qur‟ân itu tidak mendapatkan dosa. Kalaupun
hadîts itu tetap ingin dijadikan hujjah, bukan lupa yang dijadikan
masalah, akan tetapi orang yang mendapatkan dosa adalah orang
yang meremehkan atau melalaikan al-Qur‟ân.
Tapi di satu sisi sebenarnya terdapat kolerasi antara dua
golongan hadîts tersebut. Yaitu, apabila lupa akan ayat al-Qur‟ān
muncul dari sebuah kesengajaan, maka akan mendapatkan siksa
75
(menurut hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sa‟ad b.
„Ubādah). Namun apabila lupanya terjadi akibat dari
ketidaksengajaan, maka kita sebagai manusia selayaknya tidak takut
untuk menghafal al-Qur‟ān karena memang tabiatnya menjadi
tempat salah dan lupa.
B. Saran
1. Sebagai seorang muslim hendaknya membudayakan
menghafal al-Qur‟ân, karena seseorang yang menghafal al-
Qur‟ân mendapatkan kemuliaan di dunia maupun di akhirat.
2. Jangan pernah ragu bagi para penghafal al-Qur‟ân setelah
melihat hadîts yang mengatakan bahwa orang yang
melupakan hafalan al-Qur‟ân itu dosa besar, karena hadîts
tersebut kualitasnya Dha‟if dan hanya mengingatkan bahwa
orang yang dosa itu adalah orang yang meremehkan atau
melalaikan al-Qur‟ân.
3. Studi tentang mukhtalif al-Hadîts perlu diperbanyak dalam
mengkajinya untuk memudahkan masyarakat dalam
mengamalkan hadîts yang dipandang kontradiktif.
76
DAFTAR PUSTAKA
„Abdur Rauf, „Abdul Azîz, Mengahafal Qur‟ân itu Mudah, serie 2,
Jakarta: Markaz Al-Qur‟ân.
Abȗ Isa Muhammad Ibn Musa al-Dahaq al-Sulami al-Bughi, Sunan
al-Tirmidzi, Riyadh: Dar al-Salam, 1999.
Abû Zahw, Muhammad, Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, Dâr al-Fikr,
Beirut, t.th.
Abidin S, Zainal, Seluk Beluk al-Qur‟ân, Jakarta:PT.Rineka Cipta,
1992.
„Abdurrahmân as-Suyȗtî, Jalaluddin, Tadrib ar-Râwî fi Syarhi
Taqrib an-Nawawî, ditahkik oleh „Abdul Wahhab „Abdul Latif
Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Abdullah Ibn Abdirrahman Ibn al-Fadl Ibn Bahram Ibn Abi Samad
al-Taimi, Sunan al-Darimi, Beirut:Dar al-Fikr, T.th.
Adib Shalih, Muhammad, Lamhat fî Ushul al-Hadîts, (Beirut: al-
Maktabah al-Islamy, 1399H.
Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fathu al-Bari bi Syarah
Shahih Bukhari, Kairo : Dar al-Haramain, 1417H/1996M.
Ahmad „Abdullah, Muhammad Metode Cepat dan Efektif Menghafal
al-Qur‟ân al-Karîm, Yogyakarta: Gara Ilmu, 2009.
Aidh bin Abdullah al-Qarni, 391 hadîts pilihan, Jakarta: Darul Haq,
2007.
Ajaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu
Hadis.Jakarta:Gaya Media Pratama, 2013.
Ali Ash-ShAbȗni, Muhammad, Ikhtisar Ulumul Qur‟ân Praktis
Jakarta:Pustaka Amami, 2001.
Amiruddin, Fathu al-Bari Penjelasan Kitab Shahih Bukhori, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
A.Muhammad Zen & Akhmad Mustafid, Bunga Rampai Mutiara al-
Qur‟ân, Jakarta: Pimpinan Pusat Jam‟iyyatul Qurra‟ Wal
Huffazh, 2006.
Al-Bukhārî, Muhammad bin Ismā‟il bin Ibrāhim al-Ja‟fî, Ṣaḥîḥ
Bukhārî, Kairo: al-Mathba‟ah al-Salafiyyah, 1400 H.
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadîts, Jakarta: Ushul Press, 2009 .
77
Bustamin, dan Salam, Isa , Metode kritik hadîts, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Hude, Darwis, Jurnal Studi al-Qur‟an, Tangerang Selatan: Pusat
Studi al-Qur‟an, 2007.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadîts Nabi, Jakarta, :
Bulan Bintang , 1992.
Idris asy-Syafi‟i, Muhammad ar-risalah, T.t: Dar al-Fikr, T.th.
Juned, Daniel Ilmu Hadîts (Paradigma baru dan Rekontruksi Ilmu
Hadîts), Jakarta: Erlangga, 2010.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Pemahaman Hadis. Jakarta:
AMZAH, 2014.
Al-Khatib, Muhammad „Ajaj. Ushul al-Hadis: Pokok-Pokok Ilmu
Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.
Al-Mubarakfuri, Muhammad „Abd al-Rahman, Tuhfah al-Ahwadzi fi
Syarh Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar. Al-Fikr, T.th.
Al-Mizzi, Hafiz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal
fi asma al-Rijal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983.
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Shan‟ânî, Taudhîh al-Afkâr, Dâr al-Fikr,
Beirut, t.th.
Muhamad bin Idrîs asy-Syâfi‟î, Kitab al-Umm, Dar al-Wafa, 2001.
Al-Naysabūrî, Abî al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayrî,
Ṣaḥîḥ Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991.
Nurdiyanto, Ade, lupa vs melupakan al-Qur‟ân, Surabaya: Griya al-
Qur‟ân, 2013.
Qardhawi, Dr Yusuf. Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah,
Bandung: Pustaka Mantiq, 1994.
Qardlawi, Dr. Yusuf. Studi Kritis as-Sunnah. Bandung: Trigenda
Karya, 1995.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadîts. Bandung: PT
Alma‟arif, 1974.
Rashu al-Tunisi, al-Hadi, Mukhtalif al-Hadîts wa Junȗd al-
Muhadditsîn fîh, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1430.
Al-Sijitsani, Abȗ Daud Sulaiman bin Al-Ats, Sunan Abȗ Dâwud,
Beirut: Maktabah al-„Ashriyah, 275 H.
78
Sa‟dullah, 9 Cara Cepat Menghafal al-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani,
2011
Safri, Edi. Al-Syafi‟i Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif.
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011‟
Salim Badwilan, Ahmad, Panduan Cepat Menghafal al-Qur‟ân,
Jogjakarta:DIVA Press, 2009.
Supian, Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Jakarta: Gaung Persada Press, 2012.
ath-Thâhân, Mahmȗd. Taisîr Mustalâh al-Hadîts, Jeddah: al-
Haramain, 1985.
Ulum, M. Samsul, Menangkap Cahaya al-Qur‟an, Malang: UIN
Malang Press, 2007.
„Ummar, Abȗ & Fatiah al-Adnani, Abȗ Negeri-negeri Penghafal al-
Qur‟an, Sukoharjo: al-Wafi, 2015
Weinsinck, A.J, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadîṡ, Leiden:
Briel, 1969.
79
A. Hadits pertama
م ػشضج ػم أجدس ل ا ق س دق ل م ل ػم
أمخ
أس بي هالل
ػبذ ػبذ اح جذ ن
ادع أن س احؼضيض ن
ػبذ ل ن اح طمب ن ندطبع ػ
ندطبع
جشيجع ان
ػبذ ػبذ احد ب ن
اح ك احخضاص
شؼبت
مدصدسع
ائلع أن
ػبذ ل
صسيغع يضيذ ن
مد ػ شان ن
رواه النسائ سا أب داد سا الخشهز
ػ
ػ
اخبشن
نذبد
نذبد
ػ
ػ
نذبد
اخبشن
ػ
ػ
نذبد
80
B. Hadits kedua
ل امشئع ا ق س دق ل م ل ػم م م م أمخ
ػب دث ؼذع ن
ف ئزع س ن ػ
ان صي دع يضيذ ن
ادسيس ان شؼبت
جؼفشع احؼل م ذ ن ػ مشع م ذ ن ؼذ ن
سا أب داد
سا الذسه
سا أحوذ
نذبد
ػ ػ
ػ
نذبد اخبشن
ػ
نذبد
ػ
نذبد
81
C. Hadits ketiga
م ل سجل يقشأ ف اح سجذ غ احدب م ل ػم
أمخ
ػ ئنت
يدنس ػس ن
أنل
ن مع أند أ مت ػ
ذ ن ػب م ذ ن
د نع م
بت أند نكش ن أن ش
أند شيبع
ن مع أند أ مت ػ
أنل
ػ ئنت
سا اهام هسلن
سا اهام بخاس
ػ
ػ
نذبد
نذبد
ػ
ػ
ػ
اخبشن
نذبد