Upload
votuyen
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ANDALUSIA
(Analisis Sejarah Sistem Pembinaan Qâdi Periode 138 H-632 H)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
AISYAH YUSRIYYAH AKHDAL
NIM. 1112044100016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ANDALUSIA
(Analisis Sejarah Sistem Pembinaan QA/i Periode 138 H-632 H)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Aisvah Yusriwah AkhdalNrM. 1112044100016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 Hl20t6l{
1991031002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skipsi yang berjudul "Manajemen Peradilan Islam di Andalusia (Analisis
Sejarali Sistem Pembin aan QAQi Periode 138 H-632 H)" telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Juni 2016 M/26 Sya'ban 1437 H. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 03 Juni 2016
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
Dr. H. Abdul Halim. M.Ag.NrP. 19670608199403 1 005
Arip Purkon. M.A.NtP. 1 97 9 0427 2003 121 002
Drs. Norvamin Aini. M.A.NIP. 196303051 991 031002
Dr. H. Ahmad Tholabi. S.H.. M.H.. M.A.NIP. 1 97608072003 121 00 I
Dr. Diawahir Hejazziev. S.H.. M.A.. M.H.NIP. r955i01s1979031002
:.............)
(......... ...............)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengaa ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkaa
sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syaril Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri IUIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03'Juni 2016 M26 Sya'ban 1437 H
ABSTRAK
Aisyah Yusriyyah Akhdal. NIM 1112044100016. MANAJEMEN
PERADILAN ISLAM DI ANDALUSIA (ANALISIS SEJARAH SISTEM
PEMBINAAN QÂDI PERIODE 138 H-632 H). Program Studi Hukum Keluarga,
Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi + 117 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui praktik manajemen peradilan Islam
di Andalusia melalui sistem pembinaaan para qâdi yang berlaku di sana. Secara
khusus, skripsi ini mendata para qâdi yang pernah bertugas di wilayah yurisdiksi
Andalusia. Skripsi ini juga menganalisa sentra-sentra peradilan yang tersebar di
berbagai kota Andalusia dan mengklasifikasikannya ke dalam yurisdiksi tingkat
pertama dan tingkat banding. Terakhir, skripsi ini mendeskripsikan sistem
pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi yang berlaku di Andalusia.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui
pendekatan kesejarahan (historical approach). Penelitian ini menggunakan
metode pengumpulan data berupa studi dokumen dan data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan diolah menggunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu ±500 tahun (138 H
/756 M-632 H/1235 M), tercatat sebanyak 165 qâdi yang pernah bertugas di
sentra-sentra peradilan di Andalusia. Sentra-sentra peradilan tersebut tersebar di
sejumlah kota, baik di tingkat kabupaten atau provinsi, serta terbagi ke dalam
yurisdiksi tingkat pertama dan tingkat banding. Selain itu, sistem pembinaan
(mutasi-promosi) para qâdi yang berlaku di Andalusia memiliki beragam bentuk,
baik sekedar mutasi ke wilayah hukum lain yang sederajat, atau bahkan promosi
ke wilayah hukum yang lebih besar dan disertai dengan kenaikan jenjang jabatan.
Kata Kunci : Peradilan Islam, Andalusia, Sentra Peradilan, Pembinaan,
Mutasi, Promosi, Qâdi.
Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1966 s.d. Tahun 2014.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah
mencurahkan nikmat jasmani dan ruhani kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi
seluruh umat manusia. Sungguh, penyelesaian skripsi “Manajemen Peradilan
Islam di Andalusia (Analisis Sejarah Sistem Pembinaan Qâdi Periode 138 H-
632 H)” tidak terlepas dari dukungan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk
itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Arip Purkon, M.A., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga yang senantiasa mengarahkan, membimbing
serta membina para mahasiswa/i dengan semangat juang yang tinggi.
3. Drs. Noryamin Aini, M.A., dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan banyak ide, gagasan serta kritik yang membangun semangat
ingin tahu penulis selama masa penulisan skripsi ini. Lebih dari itu, Beliau
juga senantiasa memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengakses
literatur-literatur yang relevan dengan penelitian ini yang ada di perpustakaan
pribadi milik Beliau. Bahkan di tengah kesibukannya mengikuti Visiting
Fellow di Australian National University, Beliau tetap meluangkan waktu dan
memberikan usaha yang tidak sedikit untuk mendapatkan bahan-bahan yang
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Di atas itu
vii
semua, penulis merasa sangat bersyukur mendapatkan kesempatan singkat
untuk belajar banyak hal selama berada di bawah bimbingan beliau. Semoga,
seluruh usaha dan kerja keras Beliau menjadi amal salih baginya dan Beliau
mendapatkan pahala yang sebaik-baiknya.
4. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas yang memadai, sehingga penulis
dapat melakukan studi kepustakaan dengan baik.
5. Hj. Rosidana, M.A., Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa
menyemangati penulis serta memberikan arahan, bimbingan, dan konsultasi
bagi penulis selama menjalani masa studi.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
banyak ilmu dan wawasan yang akan menjadi bekal bagi penulis untuk
melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi serta terjun langsung ke
masyarakat.
7. H. Akhdal dan Hj. St. Rabiah Nur, orang tua penulis yang telah memberikan
amanah dan kepercayaan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di
Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Keduanya
tidak pernah patah semangat untuk selalu berusaha memberikan pendidikan
yang lebih baik bagi putra putrinya, serta tidak putus-putusnya memanjatkan
doa demi kesuksesan penulis dan saudara-saudaranya. Tidak lupa, penulis
juga ucapkan rasa terima kasih kepada kakak dan adik penulis, Anisa Mariani
Akhdal dan Ahmad Syarif Nasrullah Akhdal. Keduanya selalu menjadi
motivasi, kebanggaan, dan semangat penulis.
viii
8. Amirul Yaqin Falsafiyya Hill, S.S. yang banyak memberikan bantuan moril
dan materil dan senantiasa meluangkan waktunya untuk menjadi teman
diskusi penulis. Ia juga selalu mengarahkan dan memotivasi penulis untuk
menghasilkan karya yang lebih baik.
9. Seluruh rekan mahasiswa/i angkatan 2012. Terkhusus kawan-kawan
mahasiswa/i Kelas Peradilan Agama A 2012, penulis sampaikan terima kasih
karena telah menemani dan mengiringi penulis dalam suka dan duka selama
empat tahun menempuh studi di Program Studi Hukum keluarga.
10. Rekan-rekan Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum.
11. Teman-teman KKN Kebangsaan “Laskar Jatibaru” 2015.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
sumbangsih yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang hukum keluarga Islam. Selain itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
yang membangun dari seluruh pembaca dalam rangka perbaikan dan
penyempurnaan kualitas tulisan ini.
Jakarta, 03 Juni 2016 M
26 Sya’ban 1437 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 9
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 13
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ............................................ 14
F. Metode Penelitian ........................................................................ 16
G. Teknik dan Sistematika Penulisan .............................................. 21
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 24
A. Peradilan ..................................................................................... 24
B. Mutasi ......................................................................................... 30
C. Promosi ....................................................................................... 38
BAB III KEKHALIFAHAN ISLAM DI BARAT (ANDALUSIA)........... 46
A. Sejarah Singkat Penaklukan Andalusia ....................................... 46
x
B. Pembagian Wilayah Administrasi Andalusia ............................. 56
C. Sejarah Singkat Peradilan Islam di Andalusia ............................ 63
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI .............................................. 70
A. Para Qâdî di Wilayah Yurisdiksi Andalusia ............................... 70
B. Sentra-sentra Peradilan Islam di Andalusia ................................. 95
C. Sistem Pembinaan (Mutasi-Promosi) Para Qâdi di Andalusia..... 99
D. Konstruksi Peradilan Islam di Andalusia (refleksi akhir) ......... 101
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 109
A. Kesimpulan................................................................................ 109
B. Saran .......................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 112
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tinjauan Studi Terdahulu...................................................................... 15
Tabel 4.1 Para Qâdi di Wilayah Yurisdiksi Andalusia ......................................... 71
Tabel 4.2 Para Qâdi di Andalusia Timur (menurut tahun penugasan) ................. 87
Tabel 4.3 Para Qâdi di Andalusia Tengah (menurut tahun penugasan) ............... 88
Tabel 4.4 Para Qâdi di Andalusia Barat (menurut tahun penugasan) ................... 93
Tabel 4.5 Para Qâdi di Afrika, Maghribi (menurut tahun penugasan) ................. 94
Tabel 4.6 Sentra-sentra Peradilan Islam di Andalusia .......................................... 97
Tabel 4.7 Data Perpindahan Para Qâdi ................................................................. 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ubi Societas Ibi Ius. Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum yang
mengatur. Pada hakikatnya, hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan
manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Individu dan masyarakat dalam
skala besar memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak mustahil
menimbulkan gesekan atau pertentangan antara satu dengan yang lainnya, serta
cenderung menyebabkan kerugian. Perlindungan terhadap kepentingan itu
dapat tercapai apabila terbentuk suatu peraturan hidup atau kaidah yang disertai
sanksi yang bersifat mengikat bahkan memaksa, dan lembaga peradilan adalah
elemen penting untuk menjamin perlindungan terhadap kepentingan itu.
Secara umum, lembaga peradilan adalah alat kelengkapan negara yang
bertugas dalam memastikan tegaknya supremasi hukum. Dalam suatu negara,
keberadaan lembaga peradilan merupakan hal yang sangat krusial karena
lembaga ini bertindak untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat dan menghukum orang-orang yang melanggar hukum
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Dengan adanya suatu lembaga
peradilan, penegakan hukum di tengah masyarakat diharapkan dapat terjamin
dan berjalan sebagaimana mestinya, sehingga hak-hak (baik perorangan atau
kolektif) dari suatu komunitas masyarakat dapat terlindungi, baik dari sesama
atau dari penguasa yang memiliki otoritas.
2
Pada dasarnya, peradilan telah lama dipraktikkan dan merupakan suatu
kebutuhan hidup bermasyarakat. Suatu pemerintahan tidak dapat berdiri tanpa
adanya peradilan, karena peradilan merupakan wadah penyelesaian sengketa
yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu negara yang tidak
mengindahkan keberadaan lembaga peradilan, atau mungkin meremehkan
peranannya, maka roda pemerintahan negara tersebut tidak akan berjalan
dengan baik. Kehidupan bermasyarakat akan kacau dan tidak menentu yang
disebabkan oleh tidak adanya keadilan dan kepastian hukum, sehingga
ketertiban dan kedamaian tidak akan terwujud. Akhirnya, lembaga peradilan
dalam suatu negara diharapkan dapat menegakkan supremasi hukum, sebab
dengan tegaknya hukum dalam suatu negara, maka keadilan akan terwujud.
Pembahasan seputar peradilan, dengan beraneka jenis dan tingkatannya,
selalu berkaitan dengan individu hakim yang memiliki kedudukan sentral
dalam bidang peradilan. Dalam lembaga peradilan yang notabene adalah
sebuah organisasi, para hakim tidak luput dari sistem perpindahan, baik
sekedar mutasi atau bahkan promosi. Setiap individu yang ingin menjadi hakim
harus siap mental dan fisik untuk ditempatkan dan dipindahkan, baik dari suatu
wilayah ke wilayah lain, atau dari suatu jabatan ke jabatan yang lain. Secara
umum, sistem yang demikian diharapkan dapat menjadi penyegaran bagi tiap
hakim yang bertugas sehingga tidak jenuh atau bosan berada di suatu tempat
tanpa adanya suatu perpindahan. Hal tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi pelaksanaan tugas pokok hakim dalam memberikan pelayanan
hukum dan keadilan bagi masyarakat.
3
Selanjutnya, dalam rangka pembinaan hakim, keberadaan sistem nilai
dan norma yang hidup dalam masyarakat perlu mendapat perhatian. Oleh
karena itu, keterlibatan para hakim dalam pergulatan di tiap-tiap daerah sentral
harus dijadikan kunci yang dikaitkan dengan perwilayahan sistem rekruitmen
hakim. Konsekuensi dari hal tersebut adalah adanya pemetaan daerah-daerah
atau wilayah-wilayah yang akan menjadi wilayah hukum atau sentra peradilan
bagi seorang hakim, baik pada peradilan umum atau peradilan agama.
Dalam konteks peradilan agama, capaian sistem peradilan yang ada
sekarang tidak bisa terlepas dari sejarah peradilan Islam dengan segenap
dinamikanya di negara-negara yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adalah Andalusia - yang pada masa sekarang dikenal sebagai Spanyol dan
Portugal - salah satu pusat kekuasaan Islam yang terbesar di benua Eropa
dalam lintas sejarah Islam.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa ternyata benua ini pernah
menyimpan jejak sejarah kejayaan kekuasaan Islam. Dalam sejarah peradaban
Islam, ekspansi pasukan Islam ke wilayah Andalusia merupakan serangan
terakhir dan paling dramatis dari seluruh operasi militer yang pernah djalankan
oleh orang-orang Arab. Serangan ke Andalusia disebut sebagai puncak
ekspansi umat Islam ke wilayah Afrika-Eropa, seperti halnya penaklukan
Turkistan yang merupakan titik terjauh ekspansi ke kawasan Afrika-Asia.1
1 Philip K Hitti, History of Arabs, Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 615.
4
Selama kurang lebih tujuh setengah abad (92-897 H/711-1492 M)2 Islam
memainkan peranan yang sangat besar di Andalusia. Ekspansi besar-besaran di
semenanjung Iberia tersebut menjadi awal kelahiran komunitas besar
masyarakat muslim yang pada awalnya masih tunduk pada pemerintahan Bani
Umayyah di Damaskus. Seiring dengan keruntuhan Bani Umayyah, Andalusia
kemudian berdiri sebagai sebuah pemerintahan Islam yang mandiri dan tidak
tunduk pada pemerintahan pusat yang dikuasai oleh Bani Abbasiyah. Bentuk
pemerintahan pada waktu itu adalah kerajaan. Sebuah kerajaan dalam
bentuknya yang paling sederhana tetap akan memunculkan persoalan-persoalan
terkait siapa yang berwenang untuk menjalankan pemerintahan? siapa yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah bila terjadi sengketa? atau bahkan
bila suatu peraturan akan dibuat/dikeluarkan, bagaimana mekanisme yang
dilakukan?
2 Dalam penelitian ini, penulis selalu berusaha menyajikan data tahun selengkap mungkin,
baik versi Hijriah atau Masehi. Untuk merealisasikan hal tersebut, penulis menggunakan sebuah
software/program sebagai alat bantu, yaitu program Accurate Times (Versi 5.3.9) yang dibuat
oleh Ir. Muhammad Syaukat „Audah. Ia akrab disapa Mohammad Odeh, seorang pakar falak di
dunia Islam yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan hisab, rukyat dan kalender hijriah
terpadu di dunia Islam. Pada tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan
observasi hilal ICOP (Islamic Crescents‟ Observation Project). Hingga saat ini lembaga tersebut
telah memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang
intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia. Adapun Accurate
Times merupakan program terintegrasi yang digunakan untuk menghitung dan menentukan waktu
pada aplikasi ibadah sehari-hari. Program yang dibuat oleh Mohammad Odeh dari Jordanian
Astronomical Society (JAS) ini memiliki kemampuan menghitung: 1). Waktu Shalat (Fajar, Suruq,
Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya); 2). Fase Bulan (Geosentrik dan Toposentrik); 3). Waktu Matahari
(Terbit, Transit, Tenggelam, Twilight); 4). Waktu bulan (Terbit, Transit, Tenggelam); 5). Data
Visibilitas Hilal “old & new moon”; 6). Peta Visibilitas Hilal Dunia “old & new moon”; 7).
Ephemeris bulan dan matahari; 8). Arah kiblat dari suatu lokasi; 9). Waktu menentukan arah kiblat
dengan bayangan mahari; 10). Konversi Kalender Masehi-Hijriyah dan sebaliknya; 11).
Menyuarakan adzan saat waktu shalat tiba; dan 12). Alarm menjelang waktu shalat. Program ini
memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan hanya berselisih beberapa detik dari data almanak
astronomi. Lihat Mohammad Ilyas, Astronomy of Islamic Calendar, (Kuala Lumpur: AS-
Noordeen, 1997), h. 23.
5
Aspek hukum yang mewarnai Andalusia pada masa kekuasaan Islam di
sana sangat beragam. Namun, aspek yang paling krusial untuk dicermati dan
dikritisi adalah aspek peradilan. Betapa tidak, pada masa itu, di berbagai
wilayah kekuasaan Islam, pergerakan sentra-sentra peradilan Islam menjadi
basis pergerakan Islam itu sendiri. Para qâdi (hakim)3 yang tersebar di berbagai
kota atau daerah mengemban tugas untuk menegakkan hukum sekaligus
menyebarluaskan ajaran Islam. Bahkan, sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Rachid El Hour menunjukkan bahwa para qâdi Andalusia dalam kurun waktu
tertentu memainkan peranan yudisial sekaligus politis secara bersamaan.
Adanya dualisme peran yang dimainkan oleh para qâdi, menurut Rachid El
Hour, tergantung pada seberapa penting kota-kota yang ditinggali oleh qâdi
yang bersangkutan.4
3 Term qâdi dan hakim dianggap sebagai dua kata yang bersinonim, sehingga keduanya
kerap dipergunakan secara bergantian tanpa dibedakan satu sama lain. Akan tetapi, hemat penulis,
terdapat perbedaan mendasar yang mempengaruhi penggunaan kedua kata tersebut. Term “hakim”
berasal dari bahasa Arab dan secara etimologi memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai orang
yang membuat, menetapkan dan menciptakan hukum sekaligus sebagai sumber hukum itu sendiri
,Kedua, sebagai orang yang menemukan, menjelaskan .(واضع األحكبم ومثبتهب ومنشئهب و مصدرهب)
memperkenalkan serta menyingkapkan hukum (مدرك األحكبم ومظهرهب ومعرفهب والمكشف عنهب). Lihat
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 87. Hakim dari segi makna
yang pertama dikenal sebagai Syâri‟ atau al-Hâkim (Allah). Sedangkan hakim dari segi makna
yang kedua dikenal sebagai legislator yang bertugas mengeluarkan norma/aturan. Selain itu, para
pakar hukum Islam telah sepakat bahwa tugas utama lembaga peradilan (al-qadâ`) adalah
penegakan hukum syara‟, bukan penetapannya (dalam artian menetapkan suatu hukum yang
belum ada atau yang biasa disebut dengan “tasyrî‟ al-hukm”). Lihat Alaiddin Koto, Sejarah
Peradilan Islam, Ed. I Cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 34. Muhammad Salam Madkur, al-
Qadâ` fi al-`Islâm, Penerjemah Imron AM, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 20. T. M. Hasbi
Ash Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Ed. II Cet. II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), h. 34. Sejauh pengamatan penulis, dalam berbagai literatur fiqh tradisional, individu yang
diberi amanah untuk mengurusi perkara peradilan dan menyelesaikan sengketa disebut sebagai
“qâdi.” Sementara term “hakim” hanya digunakan bila merujuk kepada individu yang bertugas
membuat atau mengeluarkan suatu norma/aturan. Berdasarkan uraian tersebut, dan untuk
mengintegrasikan pemahaman dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan term “qâdi” yang
dalam konteks Indonesia lebih dikenal dengan “hakim.”
4 Rachid El Hour, “The Andalusian Qâdi in the Almoravid Period: Political and Judicial
Authority,” Studia Islamica, No. 90 (2000): h. 83.
6
Hal tersebut kemudian mengundang pertanyaan-pertanyaan besar seperti,
apakah pada masa pemerintahan Islam di Andalusia terdapat sentra-sentra
peradilan? kota-kota apa saja yang menjadi sentra-sentra peradilan Islam di
Andalusia? layaknya hakim pada masa sekarang, apakah sistem perpindahan
– baik mutasi atau promosi – juga berlaku bagi para qâdi Andalusia pada
waktu itu? bila iya, bagaimana penerapan sistem mutasi dan promosi di
sentra-sentra peradilan Andalusia? apakah terdapat pola hubungan antara
satu qâdi dengan qâdi lainnya yang bertugas di sentra-sentra peradilan Islam
di Andalusia? bagaimana silsilah dan mekanisme pengangkatan qâdi di
sentra-sentra peradilan tersebut?
Adapun terkait silsilah dan mekanisme pengangkatan qâdi, pada
dasarnya suatu jabatan/kedudukan (termasuk jabatan seorang qâdi) kerap
diperoleh melalui dua cara. Kedua cara yang dimaksud adalah pewarisan
(ascribed status) dan pencapaian (achieved status).5 Namun, dalam sistem
peradilan tradisionalis, jabatan qâdi kerap diperoleh/diberikan lantaran latar
belakang keluarga seseorang (ascribed status).
Latar belakang keluarga yang dimaksud dapat berupa dominasi
marga/klan tertentu di suatu wilayah/daerah. Masyarakat di suatu
wilayah/daerah yang memiliki rumpun/klan tertentu akan lebih condong
kepada individu yang berasal dari rumpun/klan yang dominan. Kondisi yang
demikian kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah
terdapat dominasi suatu marga tertentu di kalangan para qâdi yang bertugas
5 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h.137.
7
di wilayah yurisdiksi Andalusia? bila ada, marga/rumpun apa yang paling
dominan? apakah komunitas masyarakat Islam di Andalusia memiliki peran
atau bahkan intrik dalam proses pengangkatan atau penurunan qâdi dengan
marga tertentu?
Kemudian, dalam lintas sejarah, pemerintahan Islam di seluruh wilayah
pada saat itu tidak memiliki sebuah lembaga yang kewenangannya khusus
untuk mengeluarkan sebuah peraturan. Qâdi, yang pada masa sekarang terbatas
pada individu yang menyelesaikan sengketa, pada saat itu justru melakukan
double task dengan merangkap sebagai seorang mufti atau legislator. Agaknya,
hal tersebut yang kemudian menyebabkan penetapan-penetapan hukum pada
masa itu tidak memiliki kecenderungan untuk dilakukan secara kolektif
sebagaimana yang diterapkan pada masa sekarang, akan tetapi dilakukan secara
individual.
Kondisi yang demikian juga berlaku bagi pemerintahan Islam di
Andalusia. Wilayahnya yang sangat luas dan terdiri dari kota-kota yang relatif
besar tidak memungkinkan bagi persoalan-persoalan hukum di Andalusia
untuk dikelola atau diselesaikan langsung oleh pusat pemerintahan Islam yang
terletak di Timur.
Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Christian Muller
menunjukkan bahwa pada pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, para
qâdi di Cordova ditunjuk dan dipecat langsung oleh penguasa (khalifah).6
Senada dengan Christian Muller, M. Isabel Calero Secall dari Universitas
6 Christian Muller, “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The Qâdî al-
Jamâ‘a of Cordova in the Fifth/Eleventh Century,” Islamic Law and Society 7 (2000): h. 162.
8
Malaga memaparkan dalam penelitiannya bahwa selama kepemimpinan Bani
Nasrid di Granada (salah satu kota di Andalusia), seorang penguasa (sultan)
memiliki kekuasaan untuk menunjuk atau memecat para qâdi, baik qâdi yang
bertugas di daerah (local qâdis) atau qâdi yang bertugas di pusat pemerintahan
(chief qâdis).7
Sejumlah penelitian tersebut kemudian melahirkan pertanyaan-
pertanyaan lanjutan, seperti siapa yang berwenang untuk mengangkat atau
memberhentikan qâdi di sentra-sentra peradilan Andalusia? Apa yang menjadi
kriteria atau syarat bagi pengangkatan para qâdi di sentra-sentra peradilan
Andalusia? bagaimana hubungan antara para qâdi dan penguasa di
Andalusia? apakah penguasa memiliki kewenangan untuk mengintervensi
jalannya proses peradilan di Andalusia? bagaimana kewenangan yang dimiliki
oleh seorang qâdi, baik absolut atau relatif, pada masa pemerintahan Islam di
Andalusia? apakah terdapat pola hubungan kekeluargaan antara penguasa
yang berwenang dengan qâdi yang bertugas di sentra peradilan Islam di
Andalusia pada masa itu?
Segenap pertanyaan terkait sejarah perkembangan peradilan Islam di
Andalusia serta minimnya kontribusi para pemerhati sejarah yang menulis
tentang perkembangan peradilan Islam di Andalusia menjadi titik tolak penulis
untuk mengangkat tema skripsi “MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI
ANDALUSIA.”
7 M. Isabel Calero Secall, “Rulers and Qâdis: Their Relationship During The Nasrid
Kingdom,” Islamic Law and Society 7 (2000): h. 255.
9
B. Identifikasi Masalah
Selanjutnya, penulis mencoba mengidentifikasi masalah-masalah yang
berpeluang muncul seputar penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan peradilan dalam sistem pemerintahan Islam di
Andalusia?
2. Bagaimana mekanisme pengangkatan qâdi di sentra-sentra peradilan Islam
di Andalusia?
3. Apakah terdapat dominasi suatu marga tertentu di kalangan para qâdi yang
bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia? bila ada, marga/rumpun apa
yang paling dominan?
4. Apakah komunitas masyarakat Islam di Andalusia memiliki peran atau
bahkan intrik dalam proses pengangkatan dan penurunan qâdi dengan
marga tertentu?
5. Siapa yang berwenang mengangkat atau menurunkan qâdi di sentra-sentra
peradilan Andalusia?
6. Apa yang menjadi kriteria/syarat dalam pengangkatan para qâdi di sentra
peradilan Andalusia?
7. Berapa lama masa jabatan para qâdi yang bertugas di sentra peradilan
Andalusia?
8. Apakah terdapat perbedaan antara sistem pengangkatan qâdi yang bertugas
di daerah dengan qâdi yang bertugas di pusat pemerintahan?
9. Bagaimana hubungan antara para qâdi yang bertugas di daerah dan pusat
pemerintahan di Andalusia?
10
10. Apa kriteria dalam pelaksanaan mutasi dan promosi bagi para qâdi yang
bertugas di sentra-sentra peradilan Andalusia?
11. Apakah penguasa memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses
peradilan di Andalusia?
12. Bagaimana kewenangan para qâdi, baik absolut atau relatif, dalam
menyelesaikan perkara di sentra peradilan Islam di Andalusia?
13. Apa yang menjadi sumber hukum yang digunakan para qâdi dalam
memutus perkara di sentra peradilan Islam di Andalusia?
14. Bagaimana mekanisme pengaturan gaji para qâdi?
15. Siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan peninjauan kembali
terhadap putusan qâdi terdahulu di Andalusia?
16. Bagaimana mekanisme peninjauan kembali putusan qâdi terdahulu di
sentra peradilan Andalusia?
17. Apa kriteria putusan qâdi yang dapat ditinjau kembali?
18. Apa mazhab yang paling mendominasi dalam penyelesaian perkara oleh
para qâdi di sentra peradilan Andalusia?
19. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bagi para pihak yang
memiliki mazhab yang berbeda dengan qâdi yang bertugas?
20. Apakah terdapat pola hubungan kekeluargaan antara satu qâdi dengan qâdi
lainnya yang bertugas di sentra-sentra peradilan Islam Andalusia?
21. Apakah terdapat pola hubungan kekeluargaan antara penguasa yang
berwenang dengan qâdi yang bertugas di Andalusia pada masa itu?
11
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan di atas, persoalan yang timbul seputar Manajemen Peradilan
Islam di Andalusia cukup kompleks dan luas. Oleh karena itu, demi
mempertajam pembahasan, penulis memberikan batasan-batasan sebagai
berikut.
a. Skripsi ini berpijak pada analisis sejarah;
b. Skripsi ini menganalisis sejarah sistem pembinaan (mutasi-promosi) para
qâdi yang bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia, sebagai bagian dari
manajemen peradilan Islam;
c. Sumber utama skripsi ini adalah kitab Târîkh Qudât al-`Andalus karya
Ibn al-Hasan al-Nabâhî al-`Andalusiy (w. 793 H/1390 M), dan kitab
Târîkh „Ulamâ` al-`Andalus karya Ibn al-Fardî Ibn al-Walîd al-`Azadiy
(w. 403 H/1012 M).
d. Rentang waktu objek penelitian dalam skripsi ini adalah sejak
pemerintahan Bani Umayyah II (138 H/756 M) hingga akhir kekuasaan
dinasti Muwahhidûn (632 H/1235 M) di Andalusia.
Pembatasan waktu tersebut didasarkan pada 2 (dua) hal:
1) Pada masa sebelumnya bukan berarti proses peradilan belum ada di
tengah masyarakat Muslim Andalusia. Akan tetapi, dalam kurun
waktu sekitar setengah abad lamanya (Islam masuk ke Andalusia pada
92 H/711 M), fokus perhatian dan tenaga umat Islam ditujukan untuk
12
menaklukkan keseluruhan negeri Andalusia. Selain itu, sebagai
sebuah daerah kekuasaan Islam yang baru, setelah sebelumnya
dikuasai oleh kaum Kristen, Andalusia bayak diwarnai pergolakan
politik internal dan eksternal. Pemberontakan banyak terjadi di
berbagai kota Andalusia yang masyarakatnya menolak pemerintahan
Islam. Perebutan kekuasaan sesama kaum Muslim juga turut
memperlambat stabilitas politik di Andalusia. Dengan kondisi yang
demikian, menjadi sebuah kewajaran bahwa proses peradilan pada
masa itu masih dipegang atau dikelola langsung oleh penguasa di tiap
daerah atau kota.
2) Setelah keruntuhan dinasti Muwahhidûn, satu persatu kota-kota besar
di Andalusia jatuh ke tangan penguasa Kristen. Keruntuhan dinasti
Muwahhidûn merupakan titik awal hilangnya sistem pemerintahan
Islam di kota-kota Andalusia, meskipun Andalusia baru dikuasai
secara keseluruhan dalam waktu 2 abad setelahnya.
e. Fokus wilayah dari skripsi ini adalah Andalusia, sebuah wilayah di
Semenanjung Iberia. Andalusia terdiri dari sejumlah kota besar yang
terkenal hingga saat ini, seperti Granada, Cordova, Toledo dan lain
sebagainya yang akan dijelaskan secara lebih rinci pada pembahasan bab
III penelitian ini.
13
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasinya, dan batasan-
batasannya yang telah dikemukakan di atas, fokus permasalahan skripsi ini
adalah sebagai berikut.
a. Siapa saja qâdi yang pernah bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia?
b. Kota-kota apa saja yang menjadi sentra-sentra peradilan Islam di
Andalusia? Peradilan di daerah mana saja yang termasuk yurisdiksi
tingkat pertama dan yurisdiksi tingkat banding?
c. Bagaimana sistem pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi yang berlaku
di Andalusia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan
tertentu, terlebih lagi dalam suatu penelitian. Berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui para qâdi yang pernah bertugas di wilayah yurisdiksi
Andalusia.
b. Untuk mengetahui kota-kota yang menjadi sentra-sentra peradilan Islam
di Andalusia, serta peradilan yang termasuk yurisdiksi tingkat pertama
dan yurisdiksi tingkat banding.
c. Untuk mengetahui sistem pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi yang
berlaku di Andalusia.
14
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang
peradilan serta memperluas wawasan terkait perkembangan pengelolaan
peradilan Islam yang menjadi ranah hukum keluarga Islam. Hal tersebut
dikarenakan penelitian ini akan memperjelas teori-teori yang berkaitan
dengan manajemen peradilan Islam, khususnya sistem pembinaan
(mutasi-promosi) para qâdi.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih yang
besar bagi dunia peradilan Islam yang dalam konteks Indonesia sekarang
lebih dikenal dengan peradilan agama. Lebih dari itu, hasil penelitian ini
dapat menjadi salah satu rujukan dalam persoalan praktik pembinaan
para hakim. Hal tersebut menjadi krusial dikarenakan para hakim
memegang peran sentral dalam mewujudkan proses peradilan yang baik
dan keadilan yang menyeluruh.
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, penulis
telah melakukan studi pustaka dan mendapati bahwa mayoritas penelitian yang
dilakukan oleh para sejarawan dan sarjana, baik lokal atau internasional, adalah
penelitian mengenai sejarah Islam di Andalusia secara global. Literatur atau
penelitian terkait manajemen peradilan Islam di Andalusia sangat minim, untuk
tidak dikatakan tidak ada. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumber-
15
sumber yang khusus membahas peradilan Islam di Andalusia. Penelitian atau
literatur yang ada hanya membahas sistem peradilan Islam secara global yang
didasarkan pada periode khilâfah tertentu, seperti Abbasiyah dan Umayyah.
Sejauh pengamatan penulis, penelitian terkait persoalan peradilan Islam
dalam lintas sejarah dan persoalan sejarah Islam di Andalusia pernah dilakukan
oleh Siti Nuraviva dan Nikma Arini. Adapun rincian kedua penelitian tersebut
adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1
Tinjauan Studi Terdahulu
No Aspek
Perbandingan Penelitian Terdahulu Penelitian Sekarang
1 Judul Penelitian 1. Siti Nuraviva, Manajemen
Peradilan Islam di Era
Abbasiyah, Skripsi,
Konsentrasi Perbandingan
Mazhab dan Fiqh FSH UIN
Jakarta, 2015.
2. Nikma Arini, Andalusia pada
Masa Kekuasaan Dinasti Al-
Murâbitun (1090-1147),
Skripsi, Konsentrasi Sejarah
dan Peradaban Islam FAH
UIN Jakarta, 2010.
Aisyah Yusriyyah Akhdal,
Manajemen Peradilan Islam
di Andalusia (Analisis
Sejarah Sistem Pembinaan
Qâdi Periode 138 H-632 H),
Skripsi, Konsentrasi
Peradilan Agama FSH UIN
Jakarta, 2016.
2 Fokus penelitian 1. Fokus pada praktik peradilan
pada masa Abbasiyah serta
manajemen hakim yang
berlaku pada masa itu.
2. Fokus pada sejarah
perkembangan umat Islam
pada masa Dinasi al-
Murabitun di Andalusia, serta
sebab-sebab keruntuhan
dinasti tersebut.
Fokus pada praktik
pembinaan (mutasi-promosi)
para qâdi yang pernah
bertugas di sentra-sentra
peradilan Islam Andalusia.
3 Objek penelitian 1. Dinasti Abbasiyah pada
periode pertama (750 M-
847 M).
2. Dinasti al-Murâbitun (1090 M
-1147 M).
Pemerintahan Islam di
Andalusia sejak masa Bani
Umayyah II (138 H/756 M)
hingga akhir kekuasaan
dinasti Muwahhidûn (632
H/1235 M).
16
4 Metode penelitian 1. Penelitian kepustakaan
(library research)
2. Penelitian kepustakaan
(library research)
Penelitian kepustakaan
(library research).
5 Metode analisis
isi
1. Menggunakan metode analisis
isi kualitatif dan comparative
analysis.
2. Menggunakan metode analisis
isi kualitatif
Menggunakan metode
analisis isi kualitatif.
Selain perbedaan-perbedaan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini
juga memiliki beberapa kelebihan dibanding penelitian sebelumnya. Pertama,
penelitian ini terfokus mengkaji sejarah peradilan Islam dalam rentang waktu
yang cukup lama (±500 tahun) dan di wilayah tertentu (Andalusia). Kedua,
sumber-sumber penelitian ini, baik primer atau sekunder, ditulis oleh individu
yang memiliki kredibilitas di bidang peradilan Islam. Ketiga, penelitian ini
berusaha untuk menyajikan informasi yang memadai terkait peristiwa, tempat atau
individu yang disebutkan dalam setiap bab pembahasan.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).
Penulis berusaha menelaah literatur (kepustakaan), berupa buku-buku,
catatan, dan laporan hasil penelitian-penelitian terdahulu8 yang merekam
jejak sejarah peradilan Islam di Andalusia, khususnya terkait para qâdi yang
pernah bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia.
8 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi dan Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Ghalia
Indonesia, 2002), h. 11.
17
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kesejarahan (historical approach). Penulis membuat
rekonstruksi sejarah peradilan Islam masa lampau – yang berupa reka ulang
tata administrasi wilayah peradilan beserta para qâdi yang bertugas – secara
sistematis dan objektif. Rekonstruksi yang dimaksud ditempuh dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, menyintesis dan memverifikasi bukti-bukti
yang terekam dalam sumber primer dan sekunder. Hal tersebut dilakukan
untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang benar.9 Lebih
dari itu, hal tersebut dilakukan demi memahami praktik peradilan pada
zaman sekarang atas dasar praktik pembinaan para qâdi pada era
pemerintahan Islam di Andalusia.
3. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi
dokumen. Penulis berusaha memahami serta mencandra dokumen-dokumen
yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti. Adapun
data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa informasi yang berkaitan
dengan peradilan Islam di Andalusia dalam kurun waktu tertentu. Informasi
tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) sumber sebagai
berikut.
9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Ed. I Cet. XII, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), h. 34-35.
18
a. Sumber Primer
Sumber primer penelitian ini adalah kitab Târîkh Qudât al-
`Andalus atau yang dikenal juga dengan nama al-Marqabah al-„Ulyâ
fîman Yastahiqqu al-Qadâ` wa al-Futyâ`, yang ditulis oleh Ibn al-Hasan
al-Nabâhî al-`Andalusiy. Kitab ini disusun oleh al-Nabâhî pada masa
kesultanan Bani Ahmar di Granada, dan terdiri dari 2 bab pembahasan.
Bab pertama merupakan pembahasan peradilan secara umum, sementara
bab kedua merupakan pemaparan hasil dokumentasi al-Nabâhî tentang
biografi/riwayat hidup dan perjalanan sejumlah qâdi yang pernah
bertugas di sentra-sentra peradilan Andalusia. Bab kedua dari buku ini
secara langsung berkaitan dengan penelitian ini karena di dalamnya
terekam jejak para qâdi Andalusia, dari segi keturunan, capaian serta
prestasi para qâdi tersebut selama mereka menjabat/bertugas di penjuru
Andalusia. Kitab ini merupakan rujukan induk yang sangat otoritatif
tentang sejarah peradilan Islam di Andalusia, di mana substansi kitab ini
dimulai pada masa Bani Umayyah II dan berakhir di penghujung abad
ke-8 Hijriah.
Sungguhpun kitab tersebut menyediakan rangkaian informasi yang
dibutuhkan, tetapi penulis masih merasa adanya kekurangan di beberapa
sisi. Di antara kekurangan yang dimaksud adalah ketiadaan informasi
tahun wafat dan tahun pengangkatan sejumlah qâdi yang disebutkan
dalam kitab tersebut. Kekurangan lain yang ditemukan dalam sumber
primer tersebut adalah penggunaan istilah yang umum dalam penyebutan
19
beberapa wilayah/tempat, seperti penggunaan istilah “Afrika.” Padahal,
Afrika merupakan wilayah yang sangat luas yang terdiri dari sejumlah
negara dan kota. Hal yang demikian menyulitkan penulis dalam
menganalisis keberadaan para qâdi yang bertugas di suatu daerah tertentu
dalam kurun waktu tertentu.
Kondisi yang demikian menjadi alasan penulis untuk kemudian
menggunakan kitab Târîkh „Ulamâ` al-`Andalus karya Ibn al-Fardî Ibn
al-Walîd al-`Azadiy dalam upaya menghimpun informasi yang akan
melengkapi penelitian ini. Rekam jejak para ulama, fuqahâ` serta perawi
hadis10
yang berasal dari tanah Andalusia terkumpul dalam kitab
tersebut. Informasi dalam kitab tersebut tersusun secara ringkas dan
sistematis (alfabetis); dimulai dari penyebutan nama, kunyah atau
panggilan akrab, silsilah keluarga, tahun kelahiran, ulama tempat
berguru, daerah kelahiran dan tempat belajar, wilayah kekuasaan (bila
pernah memerintah suatu daerah), perjalanan hidup, wilayah hukum (bila
pernah diangkat sebagai qâdi), dan ditutup dengan tahun wafat. Informasi
dalam kitab tersebut, selain melengkapi kekurangan kitab sebelumnya,
juga memudahkan penulis dalam menemukan rincian lain yang relevan
dengan penelitian ini.
10
Di antara sifat-sifat/kriteria-kriteria qâdi yang disepakati adalah seorang qâdi harus
menguasai hukum-hukum syariat yang mencakup ilmu-ilmu `usûl (dasar) dan ilmu-ilmu furû‟
(cabang). Oleh karena itu, dalam lintas sejarah peradilan Islam, para qâdi yang bertugas tidak
hanya memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Para qâdi tersebut juga
merupakan alim ulama dan fuqahâ` yang ahli, baik dalam epistemologi hukum Islam atau ilmu-
ilmu lainnya. Lihat al-Mâwardî, al-`Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah, (Kairo: al-
Maktabah al-Taufîqiyyah, 2006), h. 129. Lihat pula Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 5.
20
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder penelitian ini berupa informasi dari para ahli
yang telah mendalami atau meneliti perihal sejarah peradilan Islam yang
relevan dengan penelitian ini. Informasi tersebut terdokumentasikan
dalam buku atau catatan penelitian, artikel serta review penelitian.
Sumber-sumber sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
- The Andalusian Qâdi in the Almoravid Period: Political and Judicial
Authority, ditulis oleh Rachid El Hour;
- Tabaqât al-`Umam of Qâdi Sa‟îd al-`Andalusiy (1029-1070 A.D.),
ditulis oleh M.S. Khan.
- Muslim Minorities and The Obligation to Emigrate to Islamic
Territory: Two Fatwas From Fifteenth-Century Granada, ditulis oleh
Kathryn A. Miller.
- Legal Practice in an Andalusi-Maghribi Source From The Twelfth
Century CE: The Madzâhib al-Hukkâm fi Nawâzil al-`Ahkâm, ditulis
oleh Delfina Serrano.
- Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The Qâdî Al-
Jamâ‘a of Cordova in the Fifth/Eleventh Century, ditulis oleh
Christian Muller.
- Is al-`Andalus Different? Continuity as Contested, Constructed, and
Performed across Three Maliki Fatwas, ditulis oleh Jocelyn
Hendrickson.
21
- Islamic Legal Thought - A Compendium of Muslim Jurists, kumpulan
biografi sejumlah ahli hukum dari masa ke masa, diedit oleh Oussama
Arabi, David S. Powers and Susan A. Spectorsky.
4. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan diolah menggunakan
metode analisis isi dengan rincian sebagai berikut; penulis berusaha
menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi serta pencarian sebab
akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif. Melalui metode ini,
penulis kemudian berusaha untuk menemukan jawaban dengan
menganalisis isi pesan (teks) yang ada dalam bahan-bahan primer.
Selanjutnya, penulis mengolah jawaban tersebut secara objektif,
sistematis dan generalis, sehingga dapat dilakukan penarikan sebuah
kesimpulan. Terakhir, pada tahap analisis data, penulis berusaha untuk
selalu melibatkan analisis yang logis, bukan analisis statistika. Statistika –
dalam hal ini statistika deskriptif – hanya digunakan apabila diperlukan.
G. Teknik dan Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan pada tahun 2012. Penelitian ini
kemudian terbagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga menjadi sebuah penulisan yang
terarah dan sistematis. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
22
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan kerangka dasar yang menjadi acuan dalam
penelitian ini. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian,
serta teknik dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi kajian kepustakaan tentang teori-teori yang menjadi
fondasi bagi penulis dalam melakukan penelitian. Teori-teori yang
dimaksud merupakan teori-teori yang berkaitan dengan peradilan,
mutasi serta promosi secara umum.
BAB III KEKHALIFAHAN ISLAM DI BARAT (ANDALUSIA)
Bab ini berisi uraian tentang objek penelitian, dalam hal ini terkait
Kekhalifahan Islam di Barat (Andalusia). Bab ini memaparkan
sejarah singkat penaklukan Andalusia, pembagian wilayah
administrasi Andalusia, serta sejarah singkat peradilan Islam di
Andalusia.
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI
Bab ini berisi hasil analisis dan interpretasi penulis. Hasil analisis
penelitian ini terdiri dari beberapa subbab pembahasan. Pertama,
pemaparan data para qâdi yang pernah bertugas di wilayah
yurisdiksi Andalusia. Kedua, penjelasan tentang kota-kota yang
menjadi sentra-sentra peradilan di Andalusia pada masa itu, serta
23
pengklasifikasian sentra-sentra peradilan tersebut ke dalam
yurisdiksi tingkat pertama dan yurisdiksi tingkat banding. Ketiga,
pendeskripsian sistem pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi yang
berlaku di Andalusia. Terakhir, konstruksi peradilan Islam di
Andalusia dipaparkan dalam bab ini sebagai sebuah interpretasi
penulis.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi. Dalam bab penutup
ini, penulis membuat kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, disertai pemaparan poin-poin yang menjadi
kekurangan dari penelitian ini. Terakhir, penulis memberikan
sejumlah rekomendasi yang dianggap dapat berperan penting bagi
keberlanjutan penelitian ini.
24
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini membahas sejumlah teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini.
Bab ini terdiri dari beberapa subbab pembahasan. Subbab pertama membahas hal-hal
yang berkaitan dengan peradilan yang meliputi definisi peradilan, perbedaan
peradilan dan pengadilan, serta kompetensi peradilan. Subbab kedua memaparkan
konsep mutasi secara umum yang meliputi definisi mutasi, dasar pelaksanaannya,
jenis-jenis, metode serta tujuan dan manfaat dari mutasi. Terakhir, subbab ketiga
menjelaskan konsep promosi secara umum yang meliputi definisi promosi, asas-asas,
dasar pelaksanaan, syarat-syarat, jenis-jenis, metode serta tujuan dan manfaat dari
promosi.
A. Peradilan
1. Definisi Peradilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata peradilan berasal dari akar
kata adil, dengan awalan per- dan akhiran -an, yang diartikan sebagai “segala
sesuatu mengenai perkara pengadilan.”1 Sedangkan menurut Kamus Hukum,
peradilan adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara
menegakkan hukum dan keadilan.”2 Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa
peradilan merupakan pelaksanaan hukum dalam bentuk konkrit berdasarkan
1 Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. IV Cet. I,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 10.
2 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), h. 68.
25
adanya tuntutan hak, yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat.3
Selain itu, terdapat beberapa definisi lain tentang peradilan yang
dikemukakan oleh sejumlah pakar, sebagaimana dikutip oleh Hartono
Hadisoeprapto4, antara lain:
a. Van Praag mendefinisikan peradilan sebagai sebuah penentuan atas
keberlakuan suatu peraturan atau hukum pada saat peristiwa yang konkrit
bertalian dengan adanya suatu perselisihan.
b. Apeldoorn menyatakan bahwa peradilan adalah pemutusan perselisihan oleh
suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara atau bukan
merupakan bagian dari pihak yang berselisih.
c. G. Jellinek mendefinisikan peradilan sebagai sebuah perbuatan memasukkan
suatu peristiwa yang konkrit ke dalam norma yang abstrak.
d. Bellefroit berpendapat bahwa peradilan adalah sebuah pemutusan perkara
melalui penetapan hukum.
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. VIII Cet. I, (Yogyakarta:
Liberty, 2009), h. 5.
4 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), h.
94-95.
26
e. Kranenburg menyatakan bahwa peradilan merupakan sebuah proses
pemberian putusan atas perkara-perkara yang konkrit sesuai dengan
peraturan yang dibuat oleh pembuat undang-undang.
Sebagai bahan pertimbangan, dikemukakan pengertian peradilan (yang
dalam bahasa Arab disebut „al-qadâ`‟) menurut pandangan ulama fikih
(fuqahâ) sebagai berikut.
a. Muhammad Salam Madkur menyatakan bahwa al-qadâ` (peradilan) adalah
“al-ikhbâr „an hukm syar‟iy „alâ sabîl al-ilzâm” yang berarti penyampaian
hukum syar‟i dengan jalan penetapan.5
b. T. M. Hasbi Ash Shiddeqy mendefinisikan al-qadâ` (peradilan) adalah
sebuah kekuasaan untuk mengadili suatu perkara (al-wilâyat al-ma‟rûfah).6
c. Samir Aliyah mendefinisikan al-qadâ` (peradilan) sebagai, “suatu
pemberitaan tentang hukum syar‟i dengan jalan pengharusan.”7
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah
sebuah proses penyelesaian atau pemutusan sengketa antara para pihak yang
berselisih. Penyelesaian sengketa tersebut ditangani oleh sebuah lembaga yang
5 Muhammad Salam Madkur, al-Qadâ` fi al-`Islâm, Penerjemah Imron AM, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1993), h. 20. Lihat pula Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h. 1943-1945.
6 T. M. Hasbi Ash Shiddeqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 7.
Lihat pula T. M. Hasbi Ash Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Ed. II Cet. II, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 34.
7 Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam, Penerjemah Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Cet. I, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 316.
27
mandiri berdasarkan peraturan/hukum yang berlaku. Dapat juga dikatakan
bahwa peradilan adalah sebuah proses penegakan hukum demi keadilan.
2. Peradilan dan Pengadilan
Istilah peradilan dan pengadilan, sungguhpun berasal dari kata dasar yang
sama, namun keduanya memiliki makna dan pengertian yang berbeda,
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pakar berikut.
a. Subekti dan R. Tjitrosoedibio menjelaskan bahwa peradilan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan hukum
dan keadilan, sementara pengadilan adalah suatu lembaga yang melakukan
proses peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa-sengketa hukum
atau pelanggaran-pelanggaran hukum.8
b. Abdul Manan menyatakan bahwa peradilan adalah kekuasaan negara dalam
menerima, memeriksa, dan mengadili perkara tertentu untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan hukum/aturan yang berlaku, sementara
pengadilan adalah tempat proses mengadili tersebut dilaksanakan.9
c. Jaih Mubarok berpendapat bahwa peradilan merupakan salah satu pranata
dalam menegakkan hukum yang berlaku, sedangkan pengadilan merupakan
satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum tersebut.10
8 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, h. 68.
9 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan – Suatu Kajian Dalam Sistem
Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22-31.
10 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 2.
28
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa peradilan dan
pengadilan adalah dua hal yang berbeda. Istilah peradilan merujuk kepada suatu
proses penegakan hukum dan pemberian keadilan, sementara istilah pengadilan
merujuk pada tempat proses tersebut dilakukan.
3. Kompetensi Peradilan
Secara bahasa, kompetensi berarti “kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan (memutuskan) sesuatu.”11
Kompetensi yang dimaksud di sini
adalah kewenangan mengadili oleh sebuah lembaga peradilan. Secara umum,
kompetensi peradilan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kompetensi absolut dan
kompetensi relatif.
Kompetensi absolut diartikan sebagai kewenangan mengadili oleh sebuah
lembaga peradilan berdasarkan jenis perkara, jenis pengadilan atau
tingkatan/jenjang pengadilan. Sedangkan kompetensi relatif diartikan sebagai
kewenangan mengadili oleh sebuah lembaga peradilan berdasarkan
yurisdiksi/daerah hukum pengadilan yang bersangkutan.12
Kemudian secara umum, dari segi tingkatannya, peradilan terbagi
menjadi 2 (dua) tingkat13
, yaitu:14
11
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 743.
12 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
26. R. Soeroso, Praktek Hukum Acara perdata; Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), h. 7. R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 23. Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Ed. Revisi Cet. IV, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), h. 164.
13 Biasa disebut juga dengan pemeriksaan dua tingkat.
29
a. Peradilan Tingkat Pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat awal atau permulaan. Pengadilan yang termasuk
peradilan tingkat pertama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dengan
yurisdiksi/daerah hukum meliputi kabupaten/kota.
b. Peradilan Tingkat Banding (peradilan dengan apellate jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Pengadilan yang termasuk
peradilan tingkat banding berkedudukan di ibu kota provinsi dengan
yurisdiksi/daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada satu wilayah
provinsi terdapat beberapa pengadilan tingkat pertama dan 1 (satu) pengadilan
tingkat banding.15
Satu pengadilan banding di tiap provinsi tersebut mewilayahi
sejumlah pengadilan tingkat pertama. Bila dikaitkan dengan pejabat peradilan
yang menjabat/menangani proses peradilan, maka pada tingkat pertama pejabat
itu disebut hakim, sedangkan pada tingkat banding disebut hakim tinggi.
14
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari
kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil.
Untuk mengantisipasi hal tersebut dan untuk memenuhi rasa keadilan, maka peradilan dibagi menjadi
dua tingkat. Di dalam dua tingkatan peradilan itu, diperiksa baik peristiwa atau hukumnya. Lihat
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 32. Lihat pula K. Wantjik Saleh,
Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Simbur Cahaya, 1976), h. 59.
15 Dalam konteks Indonesia, kedudukan/daerah hukum pengadilan – baik tingkat pertama atau
tingkat banding – diatur dalam UU yang secara spesifik mengatur tiap lingkungan peradilan yang ada.
Lingkungan peradilan yang ada di Indonesia adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Contohnya, Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun
1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama (biasa disebut UU
Peradilan Agama). Pasal 4 UU Peradilan Agama menyatakan; (1) Pengadilan Agama berkedudukan di
ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota; (2) Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
30
B. Mutasi
1. Definisi Mutasi
Mutasi atau perpindahan jabatan/pekerjaan merupakan fenomena yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat dan biasa terjadi baik dalam lingkungan
pemerintahan atau perusahaan. Istilah-istilah yang memiliki pengertian yang
sama dengan mutasi adalah pemindahan, transfer dan rotasi kerja.
Menurut Fatah Syukur:
Mutasi adalah suatu perubahan posisi, jabatan, tempat, pekerjaan yang
dilakukan baik secara horizontal atau vertikal (promosi/demosi) dalam suatu
organisasi. Mutasi dalam artian luas mengandung pengertian segala macam
perubahan jabatan seorang pegawai. Mutasi bisa berbentuk kenaikan pangkat
(promosi) dan penurunan pangkat (demosi). Pemindahan bisa berarti
pemindahan wilayah, pemindahan jabatan atau pemindahan instansi.16
Menurut Sastrohadiwiryo, mutasi adalah sebuah kegiatan ketenagakerjaan
yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan
status seorang pegawai/pekerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar yang
bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat
memberikan prestasi kerja yang maksimal.17
Adapun menurut Nitisemito,
Mutasi atau pemindahan adalah sebuah kegiatan memindahkan pegawai dari
suatu pekerjaan ke pekerjaan lain yang dianggap setingkat atau sejajar.18
16
Fatah Syukur, Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan, Cet. I, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2012), h. 142.
17 Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif
dan Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 250.
18 Alex Sumaji Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 118.
31
Sedangkan menurut Moekijat, mutasi adalah suatu perubahan dari suatu jabatan
dalam suatu kelas ke suatu jabatan dalam kelas yang lain dalam tingkatan (gaji)
yang sama.19
Menurut Hasibuan, prinsip mutasi secara garis besar adalah
memindahkan seorang pegawai/karyawan ke posisi yang tepat dan pekerjaan
yang sesuai, agar semangat dan produktivitas kerjanya meningkat.20
Sedangkan
menurut Edy Sutrisno, prinsip mutasi adalah untuk menerapkan konsep “the
right person on the right place”, yang akan membawa suatu organisasi pada
hasil kinerja yang maksimal dan mengurangi kesalahan-kesalahan dalam tugas
atau pekerjaan.”21
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah suatu
proses pemindahan posisi, jabatan atau pekerjaan seorang pegawai/karyawan ke
posisi, jabatan atau pekerjaan lain yang dianggap sederajat. Poin penting yang
bisa ditangkap adalah suatu perpindahan dikatakan sebagai mutasi apabila
perpindahan tersebut terjadi antar jabatan, posisi atau pekerjaan yang sederajat.
Dengan kata lain, tidak ada penambahan dan pengurangan kewajiban atau
kewenangan. Mutasi merupakan kegiatan rutin dari suatu organisasi/perusahaan
yang ingin menerapkan prinsip the right person on the right place.
19
Moekijat, Analisa Jabatan, (Bandung: Alumni, 1974), h. 112.
20 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed. Revisi Cet. IX, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2007) h. 102.
21 Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.
32
2. Dasar Pelaksanaan Mutasi
Menurut Manullang, dalam pelaksanaan mutasi/pemindahan, ada
beberapa hal dasar yang harus diperhatikan, yaitu:22
a. Jabatan baru dari karyawan yang dipindahkan harus sama dengan jabatan
yang ditinggalkannya;
b. Metode dalam melakukan pekerjaan harus sama antara yang satu dengan
yang lainnya; dan
c. Karyawan yang dimutasikan harus memiliki pengalaman-pengalaman yang
memungkinkan ia untuk memahami dasar-dasar pekerjaannya yang baru.
Menurut Hasibuan, ada 3 (tiga) dasar/landasan pelaksanaan mutasi.
Dasar/landasan yang dimaksud adalah:23
a. Merit System, yaitu mutasi yang didasarkan atas landasan yang bersifat
ilmiah dan obyektif (berdasarkan hasil/prestasi kerja seseorang).
b. Seniority System, yaitu mutasi yang didasarkan atas landasan masa kerja,
usia dan pengalaman kerja dari karyawan yang bersangkutan. Mutasi seperti
ini tidak objektif karena kecakapan orang yang dimutasikan berdasarkan
senioritas belum tentu mampu memangku jabatan baru.
c. Spoil System, yaitu mutasi yang didasarkan atas landasan kekeluargaan.
Sistem mutasi seperti ini kurang baik karena didasarkan atas pertimbangan
suka atau tidak suka (like or dislike).
3. Jenis-jenis Mutasi
Pembagian jenis-jenis mutasi dapat ditinjau dari beberapa hal, yaitu dari
segi tempat kerja karyawan yang dimutasi, maksud dan tujuan mutasi, masa
kerja karyawan, sebab atau alasan pelaksanaan mutasi, serta dari segi ruang
22
M. Manullang, Manajemen Personalia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 276.
23 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 103.
33
lingkup mutasi. Berdasarkan tempat kerja karyawan yang dimutasi, menurut
Sulistyaningsih ada 5 (lima) jenis mutasi, yaitu:24
a. Mutasi antarurusan;
b. Mutasi antarseksi;
c. Mutasi antarbagian;
d. Mutasi antarbiro; dan
e. Mutasi antarinstansi.
Berdasarkan maksud dan tujuan pelaksanaan mutasi, menurut Paul Pigors
dan Charles Mayers, sebagaimana dikutip oleh Hasibuan, jenis-jenis mutasi itu
ada 5 (lima), yaitu:25
a. Production Transfer, yaitu mengalihtugaskan karyawan dari satu bagian ke
bagian lain secara horizontal, karena bagian yang lain mengalami
kekurangan tenaga kerja padahal produksi akan ditingkatkan.
b. Replacement Transfer, yaitu mengalihtugaskan karyawan yang sudah lama
masa kerjanya ke jabatan lain secara horizontal untuk menggantikan
karyawan yang masa kerjanya sedikit (masih baru) atau diberhentikan.
Replacement transfer terjadi apabila aktivitas suatu perusahaan atau
organisasi diperkecil sehingga sebagian karyawan harus diberhentikan dan
hanya karyawan yang telah lama masa kerjanya yang tetap dipertahankan.
c. Versatility Tranfser, yaitu mengalihtugaskan karyawan ke jabatan/pekerjaan
lainnya secara horizontal agar karyawan yang bersangkutan dapat
melakukan pekerjaan lain sehingga ahli dalam berbagai lapangan pekerjaan.
d. Shift Transfer, yaitu mengalihtugaskan karyawan secara horizontal dari satu
regu ke regu yang lain dengan jenis pekerjaan yang tetap sama.
e. Remedial Transfer, yaitu mengalihtugaskan seorang karyawan ke
jabatan/pekerjaan lain, dengan jenis pekerjaan yang sama atau tidak, atas
permintaan karyawan yang bersangkutan karena ia tidak dapat bekerja sama
dengan rekan-rekannya.
Berdasarkan waktu/masa kerja karyawan yang bersangkutan, Hasibuan
menggolongkan mutasi ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:26
24
Endang Sulistyaningsih, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: CV Izuva
Gempita, 1993), h. 87.
25 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 105-106.
34
a. Temporary Transfer, yaitu jenis mutasi yang mengalihtugaskan karyawan ke
jabatan/pekerjaan lainnya, baik secara horizontal atau vertikal, yang sifatnya
sementara. Karyawan yang bersangkutan akan ditempatkan kembali pada
jabatan/pekerjaannya yang semula.
b. Permanent Transfer, yaitu jenis mutasi yang mengalihtugaskan karyawan ke
jabatan/pekerjaan baru dalam waktu lama hingga ia dipindahkan (pensiun).
Jadi karyawan tersebut memegang jabatan itu bukan sebagai pejabat
sementara.
Selanjutnya, berdasarkan sebab atau alasan pelaksanaannya, menurut
Hasibuan mutasi terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:27
a. Mutasi permintaan sendiri (personel transfer); yakni mutasi yang dilakukan
atas keinginan sendiri dari karyawan yang bersangkutan dan dengan
mendapat persetujuan pimpinan. Mutasi permintaan sendiri pada umumnya
hanya berupa perpindahan kepada jabatan yang peringkatnya (kekuasaan,
tanggung jawab, serta besaran upah/balas jasa) tetap sama, baik antarbagian
atau pindah ke tempat lain. Alasan-alasan pelaksanaan mutasi jenis ini
adalah sebagai berikut :
1) Kesehatan; misalnya fisik karyawan kurang mendukung untuk
melaksanakan suatu pekerjaan.
2) Keluarga; misalnya untuk merawat orang tua yang sudah lanjut usianya.
3) Kerja sama; misalnya tidak dapat bekerja sama dengan karyawan yang
lain karena terjadi pertengkaran atau perselisihan.
b. Alih Tugas Produktif (ATP) adalah mutasi karena kehendak pimpinan suatu
organisasi/perusahaan untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan
karyawan bersangkutan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan
kecakapannya. ATP didasarkan pada hasil penilaian prestasi kerja karyawan.
Karyawan yang berprestasi baik akan dipromosikan, sedang karyawan yang
tidak berprestasi dan tidak disiplin akan didemosikan.
Alasan lain tugas produktif (production transfer) didasarkan pada
kecakapan, kemampuan, sikap dan disiplin karyawan. Jadi, ATP biasanya
bersifat mutasi vertikal (promosi atau demosi).
Selanjutnya, jenis-jenis mutasi juga dapat diitinjau dari segi ruang
lingkupnya. Menurut Hasibuan, ruang lingkup mutasi mencakup semua
26
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 106.
27 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 104-105.
35
perubahan posisi, pekerjaan atau tempat karyawan, baik secara horizontal atau
vertikal (promosi atau demosi) yang dilakukan karena alasan personal transfer
atau production transfer didalam suatu organisasi. Secara rinci, jenis-jenis
mutasi berdasarkan ruang lingkupnya menurut Hasibuan ada 2 (dua), yaitu:28
a. Mutasi horizontal (job rotation atau transfer), yaitu pemindahan yang
disertai dengan perubahan tempat atau jabatan, tetapi masih pada ranking
yang sama di dalam organisasi/perusahaan itu. Mutasi horizontal ini
mencakup mutasi tempat dan mutasi jabatan;
1) Mutasi tempat (tour of area) adalah perubahan tempat kerja, tetapi tanpa
perubahan jabatan, posisi, atau golongan. Sebabnya adalah rasa bosan
atau tidak cocok pada suatu tempat, baik karena kesehatan atau karena
pergaulan yang kurang baik;
2) Mutasi jabatan (tour of duty) adalah perubahan jabatan atau penempatan
pada posisi semula.
b. Mutasi vertikal, yaitu pemindahan yang disertai dengan perubahan posisi,
jabatan atau pekerjaan, sehingga kewajiban dan kekuasaan orang yang
dimutasi juga berubah. Mutasi vertikal ini mencakup promosi dan demosi;
1) Promosi: mutasi vertikal (ke atas) yang memperbesar authority dan
responsibility seseorang, dalam arti menaikkan pangkat/jabatan
seseorang;
2) Demosi: mutasi vertikal (ke bawah) yang mengurangi authority dan
responsibility seseorang, dalam arti menurunkan pangkat/jabatan
seseorang.29
4. Metode Mutasi
Menurut Hasibuan, mutasi dalam suatu organisasi atau perusahaan dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:30
a. Cara ilmiah, yakni mutasi yang dilakukan dengan:
28
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 104.
29 Mutasi jenis vertikal ini akan dijelaskan lebih jauh pada subbab selanjutnya.
30 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 103-104.
36
1) Berdasarkan norma atau standar kriteria tertentu;
2) Berorientasi pada kebutuhan yang riil atau nyata;
3) Berorientasi pada formasi riil kepegawaian;
4) Berorientasi kepada tujuan yang beraneka ragam; dan
5) Berdasarkan objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Cara tidak ilmiah, yakni mutasi dilakukan dengan:
1) Tidak didasarkan pada norma atau standar kriteria tertentu;
2) Berorientasi semata-mata kepada masa kerja dan ijazah, bukan atas
prestasi atau faktor-faktor riil;
3) Berorientasi kepada banyaknya anggaran yang tersedia, bukan atas
kebutuhan riil karyawan;
4) Berdasarkan spoil system (didasarkan atas landasan kekeluargaan).
Adapun menurut Sulistyaningsih, mutasi dapat dilakukan dengan 2 (dua)
cara berikut, yaitu:31
a. Horizontal (rotasi kerja/mutasi biasa), yaitu pemindahan karyawan dari suatu
posisi/jabatan/pekerjaan ke posisi/jabatan/pekerjaan yang lain tanpa diikuti
dengan kenaikan atau penurunan jabatan/pangkat.
b. Vertikal (promosi/demosi);
1) Promosi; pemindahan karyawan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang
lebih tinggi dan disertai dengan kewenangan, tanggung jawab, status serta
pendapatan yang lebih besar;
2) Demosi; pemindahan karyawan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang
lebih rendah, sehingga wewenang, tanggung jawab, status serta
pendapatannya juga lebih rendah.
5. Tujuan dan Manfaat Mutasi
Mutasi atau pemindahan pada umumnya dimaksudkan untuk
menempatkan seseorang pada tempat yang tepat, dengan maksud agar orang
tersebut memperoleh suasana baru atau kepuasan kerja setinggi mungkin
sehingga dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi lagi.32
Menurut
31
Endang Sulistyaningsih, Pengembangan Sumber Daya Manusia, h. 84.
32 Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1996),
h. 67-68.
37
Hasibuan, pada dasarnya mutasi termasuk dalam fungsi pengembangan sumber
daya manusia, karena tujuan pokoknya adalah untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kerja dalam perusahaan (pemerintahan). Secara rinci tujuan
mutasi menurut Hasibuan adalah:33
a. Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan;
b. Untuk menciptakan keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi
pekerjaan atau jabatan;
c. Untuk memperluas atau menambah pengetahuan karyawan;
d. Untuk menghilangkan rasa bosan/jemu terhadap pekerjaan;
e. Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan
karier yang lebih tinggi;
f. Untuk pelaksanaan hukuman/sanksi atas pelanggaran yang dilakukan;
g. Untuk memberikan pengakuan dan imbalan terhadap prestasinya;
h. Untuk mendorong peningkatan spirit kerja melalui persaingan terbuka;
i. Untuk tindakan pengamanan yang lebih baik;
j. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan; dan
k. Untuk mengatasi perselisihan antar sesama karyawan.
Selain tujuan-tujuan tersebut, mutasi juga memiliki sejumlah manfaat.
Menurut Nitisemito, manfaat mutasi adalah:34
a. Memenuhi kebutuhan tenaga di bagian/unit yang kekurangan tenaga tanpa
merekrut dari luar;
b. Memenuhi keinginan pegawai sesuai dengan minat dan bidang tugasnya
masing-masing;
c. Menjamin keyakinan pegawai bahwa mereka tidak akan diberhentikan
karena kekurangan mereka dalam hal kecakapan dan kemampuan;
d. Memberikan motivasi kepada pegawai;
e. Mengatasi rasa bosan pegawai terhadap pekerjaan, jabatan dan suasana
tempat kerja yang sama.
33
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 102.
34 Alex Sumaji Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 132.
38
C. Promosi
1. Definisi Promosi
Baik mutasi atau promosi, keduanya adalah kegiatan pemindahan
karyawan dari suatu jabatan ke jabatan yang lain. Meskipun demikian, mutasi
dan promosi harus dibedakan, sebab keduanya tidak sama. Menurut Fathoni,
promosi adalah sebuah perpindahan dari seorang karyawan/pegawai pada suatu
bidang tugas yang lebih baik dibanding sebelumnya; dari sisi tanggung jawab
yang lebih besar, prestasi, fasilitas, status yang lebih tinggi, tuntutan kecakapan
yang lebih tinggi, dan adanya penambahan upah atau gaji serta tunjangan lain.35
Selanjutnya, Andrew F. Sikula, sebagaimana dikutip dan dialihbahasakan
oleh Hasibuan, mengungkapkan:36
Technically, a promotion is a movement within an organization from one
position to another that involves either an increase in payment or an
increase in status.
(secara teknik, promosi adalah suatu perpindahan di dalam suatu organisasi
dari satu posisi ke posisi lainnya yang melibatkan baik peningkatan upah
atau status).
Menurut Hasibuan, promosi adalah perpindahan yang memperbesar
authority dan responsibility seorang karyawan ke jabatan yang lebih tinggi di
dalam suatu organisasi/perusahaaan, sehingga kewajiban, hak, status serta
35
Abdurrahmat Fathoni, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineke Citra, 2006), h.
112.
36 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 108.
39
penghasilannya semakin besar.37
Sedangkan menurut Nitisemito, promosi
adalah sebuah proses kegiatan pemindahan karyawan, dari satu jabatan ke
jabatan lain yang lebih tinggi, sehingga promosi akan selalu diikuti oleh tugas,
tanggung jawab dan kewenangan yang lebih tinggi dari jabatan yang dipegang
sebelumnya. Selain itu, Nitisemito menambahkan bahwa promosi memiliki
nilai lain sebagai sebuah pencapaian yang hendak dicapai oleh seseorang selain
unsur-unsur yang telah disebutkan, yaitu bukti pengakuan atas prestasi kerja,
kemampuan, dan potensi yang dimiliki untuk menduduki jabatan yang baru.38
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa promosi adalah
sebuah proses perpindahan karyawan/pegawai dari satu jabatan ke jabatan yang
lebih tinggi yang disertai dengan peningkatan tanggung jawab, status, fasilitas
dan pendapatan. Poin penting yang dapat dipahami adalah bahwa suatu
perpindahan disebut sebagai promosi apabila perpindahan tersebut
menyebabkan orang yang bersangkutan memperoleh peningkatan tanggung
jawab, status, fasilitas dan/atau pendapatan. Sebagaimana mutasi, promosi juga
merupakan perpindahan yang dilakukan untuk menerapkan konsep the right
person on the right place.
37
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 108.
38 Alex Sumaji Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 134.
40
2. Asas-asas Promosi
Menurut Hasibuan, asas-asas promosi harus dituangkan secara jelas
dalam program promosi, sehingga para karyawan dapat mengetahuinya dan
pihak yang berwenang dalam organisasi/perusahaan memiliki pedoman dalam
mempromosikan karyawannya. Adapun asas-asas promosi menurut Hasibuan
adalah:39
a. Kepercayaan; promosi hendaknya berasaskan kepercayaan atau keyakinan
mengenai kejujuran, kemampuan, dan kecakapan karyawan yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
b. Keadilan; promosi harus berasaskan keadilan terhadap penilaian kejujuran,
kemampuan dan kecakapan para karyawan.
c. Formasi; promosi harus berdasarkan formasi yang ada karena promosi
karyawan hanya mungkin dilakukan jika ada formasi jabatan yang kosong.
3. Dasar Pelaksanaan Promosi
Menurut Handoko dan Hasibuan, pedoman yang harus dijadikan dasar
dalam mempromosikan karyawan adalah:40
a. Pengalaman (seniority); bahwa pertimbangan promosi didasarkan pada
pengalaman kerja seseorang. Orang yang paling lama bekerja dalam sebuah
organisasi/perusahaan akan mendapat prioritas pertama dalam tindakan
promosi.
b. Kecakapan (ability); bahwa pertimbangan promosi didasarkan pada
kecakapan. Orang yang cakap atau ahli akan mendapat prioritas pertama
untuk dipromosikan.
c. Kombinasi Pengalaman dan Kecakapan; bahwa pertimbangan promosi
didasarkan pada masa kerja seseorang, sertifikasi atas pendidikan formal
yang dimiliki, dan hasil ujian kenaikan pangkat/golongan.
39
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 108.
40 Handoko, T. Hani, Manajemen 2, (Yogyakarta: BPFE, 1999), h. 122.,Malayu S. P. Hasibuan,
Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 109-110.
41
Sementara menurut Heidjrachman dan Suad Husnan, 2 (dua) dasar yang
biasa digunakan untuk menentukan promosi, yaitu:41
a. Merit System; bahwa promosi didasarkan pada prestasi atau hasil kerja
seseorang.
b. Carier System; bahwa promosi didasarkan pada tingkat karir seseorang.
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Mangkuprawira yang
menyatakan bahwa pada praktiknya, promosi dilakukan berdasarkan dua aspek,
yaitu merit (kecakapan kerja) dan senioritas. Kedua aspek tersebut dianggap
paling layak dan objektif sehingga sering dijadikan dasar dalam pelaksanaan
promosi. Promosi berdasarkan merit terjadi ketika seseorang dipromosikan
karena kinerja yang luar biasa dalam pekerjaannya. Adapun promosi
berdasarkan senioritas sering dilakukan dengan alasan dalam situasi tertentu,
karyawan yang paling senior lebih sering mendapatkan promosi. Senior di sini
berarti seseorang yang memiliki masa kerja paling lama.42
Adapun menurut Siswanto, sebagaimana dikutip Nurjaman, kriteria-
kriteria umum yang harus dijadikan dasar dalam pelaksanaan promosi adalah:43
a. Senioritas; bahwa dengan alasan lebih senior, pengalaman yang dimiliki
seseorang dianggap lebih banyak daripada juniornya, sehingga diharapkan
yang bersangkutan memiliki kemampuan yang lebih tinggi.
b. Kualifikasi Pendidikan; bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi,
diharapkan karyawan yang bersangkutan memiliki daya nalar yang lebih
tinggi terhadap prospek perkembangn jabatan yang dipegangnya.
41
Heidjrachman dan Suad Husnan, Manajemen Personalia, (Yogyakarta: BPFE, 1997), h. 114.
42 Sjafri Mangkuprawira, Manajemen SDM Strategik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 169.
43 Kadar Nurjaman, Manajemen Personalia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 323-324.
42
c. Prestasi Kerja; bahwa prestasi kerja yang tinggi memiliki kecenderungan
untuk memperlancar kegiatan promosi bagi karyawan yang bersangkutan.
d. Karsa dan Daya Cipta; bahwa untuk jenis pekerjaan tertentu, karsa dan daya
cipta sangat diperlukan demi keberlangsungan suatu organisasi/perusahaan.
e. Kejujuran; bahwa untuk jabatan-jabatan yang berhubungan dengan finansial
dan sejenisnya, kejujuran dianggap sangat penting untuk menghindari
kerugian organisasi/perusahaan.
f. Supelitas; bahwa pada jenis pekerjaan atau jabatan tertentu diperlukan
kepandaian bergaul dari karyawan yang bersangkutan.
4. Syarat-syarat Promosi
Persyaratan promosi untuk setiap organisasi/perusahaan/instansi tidak
selalu sama, tergantung pada kebijakan organisasi/perusahaan/instansi yang
bersangkutan. Namun menurut Hasibuan, syarat-syarat promosi pada umumnya
meliputi;44
a). Kejujuran; b). Disiplin; c). Prestasi kerja; d). Kerja Sama; e).
Kecakapan; f). Loyalitas; g). Kepemimpinan; h). Komunikatif; dan i).
Pendidikan. Senada dengan Hasibuan, Nitisemito juga memaparkan syarat-
syarat umum dari sebuah promosi, yaitu: a). Pengalaman; b). Tingkat
Pendidikan; c). Loyalitas; d). Kejujuran; e). Tanggung Jawab; f). Kepandaian
Bergaul; g). Prestasi Kerja; dan h). Inisiatif dan Kreativitas.
Sementara menurut Wursanto, seseorang dapat dipromosikan untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi apabila:45
a. Ada formasi/lowongan jabatan. Lowongan jabatan dapat terjadi karena ada
pegawai yang mengundurkan diri, pindah, pensiun atau meninggal dunia.
b. Pegawai yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
c. Pegawai yang bersangkutan lulus dari seleksi.
44
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 111-112.
45 Wursanto I.G., Manajemen Kepegawaian, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 70.
43
5. Jenis-jenis Promosi
Jenis-jenis promosi, sebagaimana dipaparkan oleh Hasibuan, adalah:46
a. Promosi Sementara (Temporary Promotion), yaitu kenaikan jabatan seorang
karyawan yang dilakukan untuk sementara waktu karena ada jabatan yang
lowong dan harus segera diisi.
b. Promosi Tetap (Permanent Promotion), yaitu kenaikan jabatan seorang
karyawan yang bersifat tetap dan dilakukan karena karyawan yang
bersangkutan telah memenuhi syarat untuk dipromosikan.
c. Promosi Kecil (Small Scale Promotion), yaitu kenaikan jabatan seorang
karyawan dari jabatan yang kecil (mudah) ke jabatan yang besar (sulit) yang
menuntut keterampilan tertentu, tetapi tidak disertai dengan kenaikan
tanggung jawab, kewenangan dan gaji.
d. Promosi Kering (Dry Promotion), yaitu kenaikan jabatan seorang karyawan
ke jabatan yang lebih tinggi dan disertai dengan kenaikan pangkat,
kewenangan dan tanggung jawab, tetapi tidak disertai dengan kenaikan
upah/gaji.
6. Metode Promosi
Menurut Siswanto, sebagaimana dikutip oleh Nurjaman, terdapat 3 (tiga)
macam prosedur/metode promosi yang biasa digunakan, yaitu:47
a. Promosi dari dalam; yaitu promosi dilakukan terhadap individu-individu
yang memang merupakan karyawan atau pegawai pada
organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
b. Promosi dari pencalonan; yaitu promosi dilakukan berdasarkan rekomendasi
atau pencalonan dari seseorang yang memiliki pengaruh pada
organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
c. Promosi dari seleksi; yaitu promosi dilakukan melalui ujian/seleksi
berdasarkan kualifikasi yang telah ditetapkan.
Sementara menurut Nitisemito, metode dalam pelaksanaan mutasi ada 2
(dua) macam, yaitu:48
46
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 113-114.
47 Kadar Nurjaman, Manajemen Personalia, h. 327-329.
44
a. Promosi dari dalam; yakni promosi dilakukan di antara para karyawan dalam
dari organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
b. Promosi dari luar; yakni promosi dilakukan dengan cara menempatkan orang
luar pada suatu jabatan atau prosisi tertentu. Orang luar yang dimaksud
adalah orang yang sebelumnya tidak pernah menjadi karyawan di
organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
Nitisemito menambahkan, bahwa meskipun metode yang lazim dilakukan
adalah promosi dari dalam, tetapi pelaksanaan promosi dari luar juga tidak
mustahil. Promosi dari luar biasa dilakukan apabila di antara para karyawan
dalam belum ada yang memenuhi kriteria-kriteria/syarat-syarat untuk
dipromosikan/ditempatkan pada jabatan atau posisi tertentu.49
7. Tujuan dan Manfaat Promosi
Menurut Manullang, tujuan pokok pelaksanaan promosi adalah:50
a. Meningkatkan semangat kerja; promosi yang dikompensasikan kepada
karyawan yang menghasilkan prestasi kerja tinggi merupakan perangsang
untuk meningkatkan semangat kerja.
b. Menjamin stabilitas karyawan; apabila kebutuhan-kebutuhan karyawan,
termasuk di dalamnya promosi, mendapat perhatian dari pihak
organisasi/lembaga, maka para karyawan akan merasa aman untuk terus
menjalankan hubungan kerja dengan organisasi/lembaga tersebut sehingga
stabilitas karyawan juga akan terjamin.
c. Sebagai bentuk realisasi untuk memajukan para karyawan; peran para
karyawan dapat dikembangkan melalui penugasan pada jabatan atau
pekerjaan yang lebih besar, yaitu melalui program promosi.
48
Alex Sumaji Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 144.
49 Alex Sumaji Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, h. 144.
50 M. Manullang, Manajemen Personalia, h. 109.
45
Selanjutnya, menurut Wursanto, promosi sangat penting dalam rangka
pembinaan dan pengembangan pegawai karena promosi dapat memberikan
manfaat sebagai berikut.51
a. Promosi merupakan motivasi bagi pegawai untuk lebih maju dan lebih
mengembangkan bakat, prestasi dan karirnya;
b. Promosi merupakan usaha meningkatkan semangat dan gairah kerja
pegawai;
c. Promosi merupakan usaha mengisi formasi jabatan dengan memanfaatkan
sumber tenaga kerja dari dalam;
d. Bagi pegawai, promosi lebih penting daripada kenaikan gaji, meskipun pada
umumnya promosi disertai dengan pemberian gaji yang lebih tinggi;
e. Promosi dapat menjamin keyakinan para pegawai, bahwa setiap pegawai
selalu diberikan kesempatan untuk maju dan mengembangkan karir dan
prestasi;
f. Promosi merupakan salah satu usaha menciptakan persaingan yang sehat
antara para pegawai.
51
Wursanto I.G., Manajemen Kepegawaian, h. 69.
46
BAB III
KEKHALIFAHAN ISLAM DI BARAT (ANDALUSIA)
Pembahasan bab ini terfokus pada sejarah kerajaan Islam di Barat
(Andalusia) dan terbagi ke dalam beberapa subbab. Pertama, sejarah singkat
penaklukan Andalusia, yakni masa ekspansi awal umat Islam di bawah
pemerintahan Bani Umayyah ke Andalusia. Kedua, pembagian wilayah
administrasi Andalusia yang menjadi bagian dari pemerintahan Islam dalam lintas
sejarah dahulu. Ketiga, sejarah singkat peradilan Islam di Andalusia.
A. Sejarah Singkat Penaklukan Andalusia
Andalusia adalah sebutan pada masa Islam bagi daerah yang dikenal
dengan semenanjung Iberia, sebuah daratan yang menjorok ke selatan dan
ujungnya hanya dipisahkan oleh sebuah selat sempit dengan ujung benua
Afrika. Pada masa sekarang, daerah ini terdiri dari kurang lebih 93% wilayah
Spanyol dan sisanya Portugal.1 Sebutan “Andalusia” berasal dari kata
Vandalusia, yang berarti negeri bangsa Vandal, karena bagian selatan
semenanjung itu pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka diusir ke
Afrika Utara oleh Bangsa Goth pada abad ke-5 M.2 Dengan mengubah
1 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
h. 7.
2 Ridjaluddin. F. N., Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta & Gaung Persada Press,
2013), h. 220-221. Abdul Halim Quais, Analisa Runtuhnya Daulah Islam, (Solo: Pustaka Mantik,
1994), h.7.
47
ejaannya dan cara membunyikannya, bangsa Arab belakangan menyebut
semenanjung Iberia itu dengan Andalusia.3
Sebelum menaklukkan Andalusia, umat Islam terlebih dahulu menguasai
Afrika Utara4 yang kemudian menjadi salah satu provinsi dari Dinasti Bani
Umayyah (41-132 H/661-750 M). Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara
terjadi pada zaman Khalifah „Abdul Malik (65-85 H/685-705 M) setelah
memakan waktu 53 tahun (30-83 H/650-702 M). Penguasaan atas Afrika Utara
oleh para sejarawan dianggap sebagai pintu yang membuka jalan bagi
ekspedisi yang lebih besar ke Andalusia karena ekspedisi ke Andalusia melalui
Afrika Utara lebih mudah dilakukan.5
Ekspansi pasukan muslim ke Semenanjung Iberia, gerbang Barat Daya
Eropa, merupakan serangan terakhir dan paling dramatis dari seluruh operasi
militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan itu menandai
puncak ekspansi muslim ke wilayah Afrika-Eropa, seperti halnya penaklukan
Turkistan yang menandai titik terjauh ekspansi ke kawasan Afrika-Asia.6
Adapun ekspansi umat Islam ke Andalusia terjadi pada masa Khalifah
Al-Walîd (85-96 H/705-715 M), salah seorang khalifah Bani Umayyah di
3 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Cet. IV, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 159-
160. Bagi bangsa Arab non-muslim, Andalusia lebih dikenal sebagai Isbâniyyâ` (Hispania). Lihat
Sanaa Osseiran, Cultural Symbiosis in al-Andalus: A Metaphor for Peace, (Beirut: UNESCO,
2004), h. 329.
4 Cerita dan keterangan selengkapnya tentang penaklukan Afrika Utara lihat Qasim A.
Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, al-Mausû‘ah al-Muyassarah fî al-Târîkh al-`Islâmiy,
Penerjemah Zainal Arifin, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2014), h. 207-213. `Ahmad „Âdil
Kamâl, `Atlas al-Futûhât al-`Islâmiyyah, Cet. I, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2005), h. 169-171.
5 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 117-118.
6 Philip K Hitti, History of Arabs, Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 615.
48
Damaskus. Al-Walîd mengizinkan gubernurnya, Mûsâ ibn Nusair7 (w. 97 H
/716 M)8, untuk mengirimkan pasukan militer ke Andalusia. Tiga pahlawan
Islam yang berperan besar dalam penaklukan Andalusia adalah Tarîf ibn
Malik, Târiq ibn Ziyâd (w. 102 H/720 M)9, dan Mûsâ ibn Nusair. Pada tahun
91 H/710 M, Tarîf ibn Malik melakukan pengintaian pertama untuk
menyelidiki kekuatan kerajaan bangsa Visigoth.10
Ia menyeberangi selat antara
Maroko dan Eropa bersama pasukan perang sejumlah 500 tentara berkuda dan
mendarat di semenanjung kecil yang terletak di ujung paling selatan benua
Eropa.11
Kemelut yang ada dalam kerajaan Visigoth pada saat itu membuat
Tarîf ibn Malik dapat memenangkan pertempuran dengan mudah.12
Selanjutnya, pada tahun 92 H/711 M Mûsâ ibn Nusair mengirim 7000
pasukan untuk memasuki Andalusia di bawah pimpinan Târiq ibn Ziyâd.
Pasukan tersebut terdiri dari suku Barbar yang mendukung Mûsâ ibn Nusair
dan suku Arab yang dikirim oleh Khalifah al-Walîd. Târiq memimpin
pasukannya menyeberangi selat dan melewati gunung di mana mereka sempat
beristirahat dan menyiapkan pasukan, yang kemudian dikenal dengan nama
7 Mûsâ adalah gubernur Muslim di Qayrawan, Afrika Utara.
8 Louis Ma‟luf, al-Munjid, Cet. XLI, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2005), h. 555.
9 Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 354.
10 Visigoth adalah anggota cabang pengikut Goth di Barat yang menginvasi Kekaisaran
Romawi di akhir abad ke-4 M dan kemudian membentuk kerajaan di Perancis dan Spanyol. Lihat
Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in Andalus, Alih Bahasa Kampung Kreasi (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004), h. 98.
11 Semenanjung ini, sekarang disebut Tarîfa, sejak saat itu menyandang namanya, Jazirah
(kepulauan) Tarîf. Philip K Hitti, History of Arabs, h. 615.
12 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Zikra,
1997), h. 158.
49
Gibraltar (Jabal Târiq). Selanjutnya, pasukan Târiq dan tentara Raja Roderick
(Raja Andalusia saat itu) bertemu dan bertempur di suatu tempat bernama
Bakkah13
dekat kota Sidonia. Perang berkobar selama delapan hari dan
pasukan Visigoth yang dipimpin Raja Roderick mengalami kekalahan besar.
Perang ini menjadi titik penting yang membuka pintu penaklukan seluruh
kawasan Spanyol (Andalusia).14
Târiq dan pasukannya kemudian terus menaklukkan kota-kota penting
seperti Cordova, Granada, dan Toledo (ibukota Kerajaan Goth) setelah Mûsâ
ibn Nusair menambahkan pasukan sebanyak 5000 personel sehingga total
pasukan menjadi 12.000 personel.15
Jumlah ini tidak sebanding dengan
Kerajaan Goth yang memiliki pasukan sebanyak 100.000 personel. Oleh
karena itu, Mûsâ ibn Nusair merasa perlu melibatkan diri dalam ekspansi
tersebut sehingga ia berangkat dengan pasukan yang besar dan menaklukkan
Sidonia, Carmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa Gotik,
Theodomir, di Orihuela. Setelah Mûsâ ibn Nusair bergabung dengan Târiq dan
pasukannya di Toledo, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di
Andalusia mulai dari Zaragoza hingga Navarre.16
13
Nama sebuah lembah. Menurut suatu pendapat lembah itu bernama “Lakkah” (wâdîl-
Lakkah atau Goddelete) sebuah sungai di Andalusia yang bermuara ke Samudera Atlantik. Lihat
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 160.
14 Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, al-Mausû‘ah al-Muyassarah fî al-Târîkh al-
`Islâmiy, h. 215.
15 Pendapat lain menyatakan bahwa pada awalnya terdapat sebanyak 7.000 pasukan dari
bangsa berber, kemudian mendapatkan kekuatan tambahan sebanyak 12.000 pasukan. Lihat Philip
K Hitti, History of Arabs, h.628.
16 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 89.
50
Selanjutnya, pada masa pemerintahan „Umar ibn „Abdil „Azîz (w. 101
H/720 M)17
, tepatnya pada tahun 99 H/717 M, perluasan dilakukan untuk
menaklukkan daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Prancis Selatan.
Perluasan tersebut dipimpin oleh al-Samah.18
Namun, ia gagal dan terbunuh
pada tahun 103 H/722 M. Perluasan kemudian dilanjutkan oleh „Abdul-
Rahmân ibn „Abdillah al-Ghâfiqiy (w. 114 H/732 M) di bawah pemerintahan
Hisyâm ibn „Abdil-Mâlik (71-125 H/690-743 M).19
Al-Ghâfiqi melakukan
penyerangan ke kota Poite dan Torus. Akan tetapi, namun ia dihadang oleh
Charles Martel sehingga ia dan pasukannya mundur kembali ke Spanyol.
Setelah itu, penyerangan-penyerangan juga terjadi ke daerah Avignon (115
H/734 M) dan Lyon (125 H/743 M). Pada akhirnya, Majorca, Corsica,
Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian Sicilia juga dapat dikuasai Bani
Umayyah. Gelombang penyerangan pada permulaan abad ke-8 ini telah
menjangkau Prancis Tengah dan sebagian Italia.20
Ada dua faktor kemenangan umat Islam di Andalusia, yakni faktor
eksternal dan internal.21
Faktor eksternal yang dimaksud meliputi beberapa hal.
Pertama, kondisi dalam negeri Andalusia sendiri. Secara politik, Andalusia
terbagi ke dalam negara-negara kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa Gotik
17
Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 379.
18 Ia adalah al-Samah ibn Mâlik, seorang Jenderal Arab dan orang pertama yang
memindahkan pusat pemerintahan dari Sevilla ke Cordova. Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A.
Saleh, al-Mausû‘ah al-Muyassarah fî al-Târîkh al-`Islâmiy, h. 220.
19 Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 366, 596.
20 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h. 117-118.
21 Philip K Hitti, History of Arabs, h.633-635.
51
yang berpegang pada ajaran Kristen Aria memerintah dengan kejam dan tidak
toleran terhadap penganut aliran agama lain termasuk Yahudi. Tidak hanya itu,
penganut aliran agama lain tersebut dibabtis secara paksa dan akan disiksa
apabila menolak.
Kedua, rakyat Andalusia sebagai penganut Katolik (agama pribumi di
Andalusia), sangat membenci pemerintahan Gotik. Kebencian tersebut agaknya
disebabkan oleh kelumpuhan ekonomi dan kemerosotan kesejahteraan
masyarakat. Kemelaratan juga terjadi terus-menerus sehingga mendorong
rakyat pribumi untuk bekerjasama dengan penakluk yang berusaha menguasai
Andalusia.
Ketiga, konflik kekuasaan yang terjadi antara Raja Roderick dan Witiza,
penguasa Toledo. Selain itu, konflik kekuasaan juga terjadi antara Roderick
dengan Ratu Julian, mantan penguasa Septah. Keadaan yang demikian
diperburuk dengan kondisi tentara Roderick yang – terdiri dari para budak
yang tertindas – tidak memiliki semangat juang. Akhirnya, para budak yang
mayoritas adalah kaum Yahudi itu bersekutu dan memberi bantuan bagi
perjuangan kaum muslim yang berusaha menaklukkan Andalusia.
Adapun faktor internal yang dimaksud adalah spirit perjuangan
pemimpin yang berkuasa, tokoh-tokoh pejuang, dan prajurit Islam. Para
pemimpin bersatu, kompak dan percaya diri. Mereka cakap dan berani serta
tabah dalam setiap persoalan. Sikap toleransi, persaudaraan, dan tolong-
menolong selalu ditunjukkan oleh prajurit Islam.
52
Selanjutnya, Andalusia menjadi salah satu provinsi Daulah Bani
Umayyah hingga tahun 132 H/750 M (tahun keruntuhan Bani Umayyah di
Damaskus). Setelah itu, Andalusia menjadi salah satu provinsi dari Daulah
Bani Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M)22
sampai „Abdul-Rahmân al-
Dâkhil ibn Mu‘âwiyah (w. 172 H/788 M)23
, cucu khalifah Umayyah kesepuluh
Hisyâm ibn „Abdil-Mâlik, memproklamasikan provinsi itu sebagai negara yang
berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak itu, Andalusia berdiri sebagai
sebuah negara yang berdaulat di bawah kekuasaan Bani Umayyah II yang
beribukota di Cordova hingga tahun 422 H/1031 M.
Apabila disimpulkan, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah
Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, umat Islam telah
memainkan peranan yang sangat besar di Andalusia. Sejarah kehidupan umat
Islam di Andalusia dapat dibagi menjadi enam periode24
:
Periode Pertama (92-137 H/711-755 M), Andalusia berada di bawah
pemerintahan para wali atau amir yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah
22
Dikisahkan bahwa saat pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbasiyah di Baghdad,
penguasa Andalusia (Spanyol) memutuskan untuk memisahkan diri dari pusat pemerintahan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa walaupun Andalusia sudah memiliki independensi serta
otonomi sendiri, penguasa di sana tetap loyal terhadap Khilafah Abasiyah. Lihat, Syamsul Bakri,
Peta Sejarah Peradaban Islam, Cet I, (Yogyakarta, Fajar Media, 2011), h.73.
23 Ia adalah salah satu dari sedikit keluarga Bani Umayyah yang berhasil selamat dari
pembantaian yang dilakukan Bani Abbasiyah. Kisah tentang bagaimana ia selamat serta berhasil
menundukkan Andalusia menjadi wilayah kekuasaannya selengkapnya lihat di Philip K Hitti,
History of Arabs, h. 648-653.
24 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 93-99. Didin Saepudin, Sejarah Peradaban
Islam, Cet I, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), h. 102. Ridjaluddin. F. N., Sejarah Peradaban
Islam, h. 223-227. Lihat pula kronologi evolusi historis dari Andalusia di Sanaa Osseiran, Cultural
Symbiosis in al-Andalus: A Metaphor for Peace, h. 42-47.
53
yang berpusat di Damaskus.25
Stabilitas politik Andalusia pada periode ini
belum tercapai secara sempurna, dikarenakan gangguan-gangguan internal
maupun eksternal masih sering terjadi.26
Periode ini berakhir dengan
kedatangan „Abdul-Rahmân al-Dâkhil pada tahun 137 H/755 M.
Periode Kedua (137-299 H/755-912 M) ditandai oleh kedatangan
„Abdul-Rahmân al-Dâkhil ke Andalusia pada tahun 137 H/755 M. Ia kemudian
menjadi penguasa Andalusia dan menjadi amir yang merdeka pada tahun 138
H/756 M27
sekaligus menjadi seteru Dinasti Abbasiyah di Baghdad.28
Sejak itu,
Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia (138-422 H/756-1031 M) berdiri
dengan Cordova sebagai ibu kotanya.29
Pada periode ini, Andalusia memasuki
25
Pemerintahan di semenanjung itu berada dalam genggaman seorang amir yang berkuasa
hampir secara independen, kendati secara nominal berada di bawah gubernur-jenderal Magrib
(Afrika Utara dan Spanyol) yang berkedudukan di Kairo. Dalam kasus-kasus tertentu, sang amir
diangkat dan berkuasa secara langsung di bawah khalifah di Damaskus. „Abdul-„Azîz, putra Musa
ibn Nusair, adalah amir pertama Andalusia dengan Sevilla sebagai pusat pemerintahannya. Lihat
Philip K Hitti, History of Arabs, h. 634.
26 Berbagai pertentangan yang timbul atas kepemimpinan dan kepemilikan daerah-daerah
baru menjadi tak terelakkan adanya. Selama empat puluh tahun berikutnya terdapat 21 orang
gubernur yang saling menggantikan dalam suksesi yang terjadi dalam waktu berdekatan. Kadang-
kadang gubernur ini ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, kadang-kadang oleh Gubernur
Qayrawan di Afrika Utara. Lihat Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in Andalus, h. 36.
27 Ia memerintah Andalusia hingga tahun 172 H/788 M. Di bawah kekuasaan „Abdul-
Rahmân, Andalusia menjadi provinsi pertama yang mengguncang otoritas khalifah yang diakui
oleh sebagian besar dunia Islam saat itu. Hanya saja, kekuasaan atas provinsi Cordova tidak serta
merta memberikan kekuasaan atas Spanyol-Islam. Sepanjang kekuasaannya, „Abdul-Rahmân
harus berhadapan dengan sejumlah pemberontakan. Selengkapnya lihat Philip K Hitti, History of
Arabs, h. 655-661. Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in Andalus, h. 39.
28 Inilah permulaan era desentralisasi di Andalusia, yakni memudarnya kesatuan politik
kekuasaan Islam dan adanya perpecahan dalam berbagai kekuatan politik.
29 Cordova terus menjadi ibukota Andalusia hingga kekuasaan Dinasti Umayyah di
Andalusia hancur. Lihat Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, al-Mausû‘ah al-Muyassarah
fî al-Târîkh al-`Islâmiy, h. 220.
54
babak baru sebagai sebuah negara yang berdaulat dan mulai memperoleh
kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik atau peradaban.
Periode Ketiga (299-403 H/912-1013 M), Andalusia diperintah oleh
penguasa yang bergelar “Khalifah”.30
Pada periode ini, Andalusia mencapai
puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi Baghdad di Timur.
Periode Keempat (403-478 H/1013-1086 M), setelah Bani Umayyah II
runtuh pada tahun 422 H/1031 M31
, Andalusia terpecah menjadi lebih dari 30
kerajaan kecil. Periode ini juga disebut periode Mulûk al-Tawâ`if atau raja-raja
golongan (Raja Lokal).32
Meskipun terjadi ketidakstabilan politik pada periode
ini, peradaban Islam saat itu tetap mengalami kemajuan karena masing-masing
ibu kota kerajaaan lokal ingin menyaingi Cordova sehingga muncul kota-kota
besar seperti Toledo, Sevilla, Malaga dan Granada.
Periode Kelima (478-645 H/1086-1248 M) ditandai dengan kemunculan
kekuasaan baru yang dominan, yakni dinasti Murâbitun (478-537 H/1086-1143
M) yang kemudian digantikan oleh dinasti Muwahhidûn (540-632 H/1146-
30
Penguasa Andalusia yang pertama menyandang gelar Khalifah adalah „Abdul-Rahmân
III (299-350 H/912-961 M) pada tahun 316 H/929 M. Gelar tersebut merupakan ciri kekuasaan
Bani Umayyah yang telah hilang selama 150 tahun lebih. Gelar ini kembali digunakan pada saat
kondisi pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut yang ditandai dengan terbunuhnya
salah satu khalifah Abbasiyah, yang bernama Al-Muqtadir, oleh pengawalnya sendiri. Lihat
Ridjaluddin. F. N., Sejarah Peradaban Islam, h. 225. Philip K Hitti, History of Arabs, h. 663.
31 Keruntuhan dinasti Umayyah di Andalusia oleh para ahli disebut sebagai permulaan dari
proses desentralisasi kebudayaan. Masing-masing ibukota pemerintahan dari kerajaan-kerajaan
kecil kemudian menjadi pusat kegiatan intelektual dan kesenian. Misalnya saja, Toledo, sebagai
ibukota pemerintahan Bani Dzunnûn menjadi pusat kegiatan ilmiah dan sastra. Lihat M.S. Khan,
“Tabaqât al-`Umam of Qâdi Sa‟îd al-`Andalusiy (1029-1070 A.D.),” Indian Journal of History of
Science 30 (1995), h. 134.
32 Yaitu kerajaan-kerajaan yang menguasai kota-kota di Andalusia; di antaranya Bani
Hammûd di Cordova dan Malaga, Bani „Abbâd di Seville, Bani Zihrî di Granada, Bani Hûd di
Saragosa, dan Bani Dzunnûn di Toledo. Lihat Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, h. 104.
55
1235 M). Kedua dinasti tersebut berasal dari Afrika Utara dengan Maroko
sebagai pusat pemerintahan mereka. Di Andalusia, kedua dinasti tersebut lebih
memilih Sevilla daripada Cordova untuk menjadi ibukota pemerintahan kedua
mereka.33
Pada periode ini (setelah keruntuhan dinasti Murâbitun dan
Muwahhidûn), satu persatu kota-kota besar di Andalusia jatuh ke tangan
penguasa Kristen. Cordova jatuh pada tahun 635 H/1238 M dan selanjutnya
Sevilla jatuh pada tahun 645 H/1248 M. Pada akhirnya, seluruh Andalusia
kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.
Periode Keenam (645-897 H/1248-1492 M) ditandai dengan kekuasaan
Islam yang hanya berada di daerah Granada34
, di bawah kekuasaan dinasti Bani
Ahmar35
(629-897 H/1232-1492 M). Setelah Raja terakhir Granada, `Abû
„Abdillâh36
(w. 940 H/1533 M), melarikan diri ke Afrika Utara, Granada
akhirnya jatuh ke tangan penguasa Kristen pada tahun 897 H/1492 M.37
33
Cerita selengkapnya tentang pemerintahan kedua dinasti tersebut di Andalusia lihat
Philip K Hitti, History of Arabs, h. 672-689. Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in
Andalus, h. 103-134.
34 Sebagai ibukota dari kerajaan Islam terakhir di semenanjung Iberia, sejak pertengahan
abad keduabelas hingga kejatuhannya pada tahun 1492, Granada menjadi saksi sejarah akan
perkembangan-perkembangan penting polik, intelektual dan ekonomi yang terjadi pada abad
keempatbelas. Lihat Jocelyn Hendrickson , “Is al-`Andalus Different? Continuity as Contested,
Constructed, and Performed across Three Maliki Fatwas,” Islamic Law and Society (2013), h. 383.
35 Disebut juga Bani Nasrid.
36 Ia juga merupakan raja berkebangsaan Arab terakhir di Andalusia. Ia memerintah selama
kurang lebih 7 tahun, sejak 890 H/1486 M hingga 897 H/1492 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid,
h. 20.
37 Sungguhpun wilayah Andalusia seluruhnya telah jatuh ke tangan Kristen, namun tidak
serta merta kaum Muslim yang ada di sana meninggalkan tempat tinggal mereka dikarenakan
berbagai faktor. Kaum Muslim yang tetap bertahan di bawah pemerintahan Kristen, apapun
alasannya, disebut sebagai kaum Mudejar. Lihat selengkapnya Kathryn A. Miller, “Muslim
Minorities and The Obligation to Emigrate to Islamic Territory: Two Fatwas From Fifteenth-
Century Granada,” Islamic Law and Society 7 (2000).
56
Serangkaian pemaparan di atas memperlihatkan bahwa Andalusia
berhasil mencapai puncak keemasannya dalam kurun waktu lebih dari tujuh
abad kekuasaan.38
Bahkan, Andalusia disebut-sebut mampu menyaingi
Baghdad di Timur.
B. Pembagian Wilayah Administrasi Andalusia
Andalusia modern merupakan salah satu wilayah otonom Spanyol dan
terbagi menjadi 8 (delapan) provinsi yang dinamai sesuai dengan ibukota
provinsi-provinsi tersebut, yakni: Almeria, Cadiz, Cordova, Granada, Huelva,
Jaen, Malaga dan Sevilla. Andalusia berasal dari kata “Al-`Andalus” yang
berarti “untuk menjadi hijau pada akhir musim panas”39
, dan merujuk pada
wilayah yang diduduki oleh kerajaan Muslim di Spanyol Selatan yang meliputi
kota-kota seperti Malaga, Seville, Cordova dan Granada. Andalusia terletak di
benua Eropa Barat Daya dengan batas-batas; di sebelah Timur dan Tenggara
berbatasan dengan Laut Tengah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Benua
38
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 93. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik,
Cet. II, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 120. Philip K Hitti, History of Arabs, h. 567. Kekuasaan
Islam di Andalusia berlangsung pada periode klasik. Sungguhpun terdapat sedikit perbedaan
terkait penyebutan tahun, para sejarawan sepakat membagi periodisasi Islam ke dalam 3 (tiga)
periode; Periode Klasik (29 H/650-647 H/1250 M), Periode Pertengahan (647 H/1250 M-1214
H/1800 M) dan Periode Modern (1214 H/1800-sekarang). Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, h. 6. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press,
1985). Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 20-45.
39 Kata „Andalus‟ dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, di antaranya adalah pertama,
„sesuatu yang terselubung atau tersembunyi‟, dan kedua, „sesuatu yang tergelincir lantaran
licinnya.‟ Dua arti ini oleh para pakar sejarah dianggap menyiratkan aspek ganda dari sejarah
kaum Muslim di Andalusia. Selengkapnya lihat Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in
Andalus, h. 51.
57
Afrika yang terhalang oleh selat Gibraltar, di sebelah Barat dengan Samudera
Atlantik dan di sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Biscy.40
Dalam kurun waktu kurang lebih tujuh setengah abad (92-897 H/711-
1492 M) kekuasaan Islam di Andalusia, sejumlah wilayah berhasil
ditundukkan. Sejak berdirinya kekuasaan Bani Umayyah II, Andalusia menjadi
sebuah negara berdaulat yang terdiri dari beberapa wilayah/daerah bagian
dengan Cordova sebagai ibukota pemerintahan.41
Peta daerah kekuasaan pemerintahan Islam di Andalusia
(area di bagian utara merupakan daerah pemerintahan Kristen)42
40
Selain itu, pegunungan Pyrenees di timur laut membatasi Andalusia dengan Prancis.
Pyrenees merupakan rantai pegunungan di Barat Daya Eropa, memanjang dari pantai-pantai Laut
Mediterania di sebelah timur hingga ke Teluk Biscy di Samudera Antalntik sebelah barat
Pegunungan tersebut menjadi tapal batas alami yang memisahkan orang-orang Kristen Trinitarian
di Eropa bagian selatan dengan kaum Muslim Unitarian di Andalusia. Lihat Ridjaluddin. F. N.,
Sejarah Peradaban Islam, h. 220-221. Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam in Andalus,
h. 35.
41 Sebelumnya, pada pemerintahan bangsa Visigoth, pusat pemerintahan terletak di kota
Toledo. Setelah ekspansi umat Islam berhasil menguasai Andalusia, pusat pemerintahan dipindah
ke Sevilla. Baru pada masa pemerintahan „Abdul-Rahmân al-Dâkhil, Cordova secara kokoh
dijadikan pusat pemerintahan di Andalusia. Lihat W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A
History of Islamic Spain, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992), h. 21.
42 Peta tersebut menggambarkan daerah kekuasaan pemerintahan Islam di Andalusia pada
tahun 422 H/1031 M (setelah keruntuhan Bani Umayyah). Lihat Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat
Umayyah II di Cordova, h. 42.
58
Penting untuk dicatat, pada masa kekuasaan Islam di Andalusia, basis
tata pemerintahan/tata letak wilayah (teritorial) yang pasti untuk dijadikan
rujukan dalam pembagian wilayah administrasi Andalusia tidak ditemukan.
Dengan sumber yang sangat terbatas, penulis mencoba memetakan wilayah
administrasi Andalusia – satu persatu – untuk kemudian dikelompokkan
berdasarkan kecil-besarnya kota tersebut. Hal tersebut dilakukan demi
kemudahan dalam melihat sistem mutasi-promosi para qâdi di Andalusia pada
pembahasan bab selanjutnya.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, setelah keruntuhan Bani
Umayyah II pada tahun 422 H/1031 M, Andalusia terpecah menjadi sejumlah
kerajaan kecil (periode Mulûk al-Tawâ`if). Pada saat itu Cordova tidak lagi
menjadi pusat pemerintahan satu-satunya di Andalusia. Para raja di berbagai
wilayah saling bersaing untuk mengembangkan dan memajukan pusat
pemerintahan masing-masing, hingga akhirnya dikenal kota-kota besar seperti
Granada, Sevilla, Malaga dan lain sebagainya.
Selanjutnya, berdasarkan peta di atas yang menggambarkan daerah
kekuasaan pemerintahan Islam di Andalusia pada tahun 422 H/1031 M, terlihat
bahwa Andalusia terbagi menjadi sejumlah wilayah besar yang merupakan
pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil. Wilayah-wilayah tersebut adalah
Silves (Bani Muzain), Huelva (Bani Bahri), Carmona (Bani Brazîl), Malaga
(Bani Hammûd), Cordova (Bani Jahwar), Granada (Bani Zihrî), Almeria
(Bani Samâd), Albaracin (Bani Râzîn), Alpuente (Bani Qâsim), Valencia
59
(Bani `Amirî), Zaragoza (Bani Hûd), Toledo (Bani Dzunnûn), Badajoz (Bani
al-`Aftas), Sevilla (Bani „Abbâd), dan Murcia (Bani `Amirî Denia).43
Wilayah-wilayah/kota-kota besar tersebut bila dihubungkan dengan
pernyataan Al-Maqqari44
bahwa Jazirah Andalusia terbentuk oleh 3 wilayah
utama45
; Tengah, Timur dan Barat, maka dapat dilakukan pengelompokan
sebagai berikut:
Andalusia Timur: terdiri dari Murcia, Valencia, Alpuente, Albaracin dan
Zaragoza.
Andalusia Tengah: terdiri dari Cordova, Granada, Almeria, Toledo, Carmona
dan Malaga.
Andalusia Barat: terdiri dari Sevilla, Badajoz, Huelva dan Silves.
Selanjutnya, untuk memetakan kota-kota yang lebih kecil yang menjadi
bagian dari masing-masing kota besar di atas, dilakukan pendataan nama-nama
kota yang tertera dalam berbagai literatur yang relevan.46
Setelah itu, dilakukan
43
Lihat Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova, h. 42. Di antara sekian
banyak kerajaan-kerajaan kecil yang muncul, disebutkan bahwa Bani „Abbâd di Seville dan Bani
Dzunnûn di Toledo adalah yang paling penting. Lihat M.S. Khan, “Tabaqât al-`Umam of Qâdi
Sa‟îd al-`Andalusiy (1029-1070 A.D.),” h. 134.
44 `Ahmad ibn Muhammad al-Maqqariy al-Talimasâniy, Nafh al-Tiyâb min Ghusn al-
`Andalus al-Ratîb, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 165-167.
45 Sumber lain menyebutkan bahwa pada abad/periode pertengahan, para ahli
mendeskripsikan Andalusia sebagai sebuah segitiga yang kemudian mereka bagi ke dalam tiga
wilayah; Timur, Barat dan Selatan. Wilayah Andalusia Timur dan Barat dipisahkan oleh sebuah
garis vertikal khayal yang membentang melintasi kota Toledo. Lihat Sanaa Osseiran, Cultural
Symbiosis in al-Andalus: A Metaphor for Peace, h. 37. Berdasarkan penelusuran penulis, wilayah
Andalusia Selatan yang dimaksud oleh para ahli pada periode pertengahan disebut sebagai
Andalusia Tengah oleh para ahli pada periode klasik.
46 Literatur yang dimaksud adalah Nafh al-Tiyâb min Ghusn al-`Andalus al-Ratîb (Jilid I)
karya `Ahmad ibn Muhammad al-Maqqariy al-Talimasâniy, al-Raud al-Mi’târ fi Khabar al-`Aqtâr
karya Muhammad ibn „Abdil-Mun‟im al-Himyariy, History of Arabs karya Philip K Hitti, Sejarah
Daulat Umayyah II di Cordova karya Joesoef Sou‟yb dan Islam in Andalus karya Ahmad
Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim.
60
pengelompokan kota-kota yang telah terdata agar kota-kota tersebut dapat
dipahami sebagai satu kesatuan dengan kota-kota besar yang ada. Berikut hasil
pemetaan yang telah dilakukan.
a. Wilayah Andalusia Timur
- Provinsi Murcia; terdiri dari kota Murcia, Tudmîr47
, Cartagena, Denia,
Ibiza, Mallorca, Alicante dan Menorca.
- Provinsi Valencia; terdiri dari kota Valencia, Jucar, El Puig, dan Jativa.
- Provinsi Alpuente; terdiri dari kota Alpuente.
- Provinsi Albaracin; terdiri dari kota Albaracin.
- Provinsi Zaragoza; terdiri dari kota Zaragoza, Tudela, Barbastro, Huesca,
Tortosa, dan Lerida.
b. Wilayah Andalusia Tengah
- Provinsi Cordova; terdiri dari kota Cordova, Archidona, Belalcazar, Fahs
al-Ballût, dan Levante.
- Provinsi Granada; terdiri dari kota Granada, Las Navas de Tolosa, Baza,
Elvira, Guadix, Albaicin, Baeza, dan Jaen.
- Provinsi Almeria; terdiri dari kota Almeria, Pechina, Berja, dan Lorca.
- Provinsi Toledo; terdiri dari kota Toledo, Guadalajara, dan Salamanca.
- Provinsi Carmona; terdiri dari kota Carmona, Moron de la Frontera,
Arcos, Sidonia, dan Tarif.
47
Sejumlah nama kota yang berhasil terdata tidak ditemukan pengalihan bahasanya ke
dalam bahasa latin. Oleh karena itu, penulisan beberapa nama kota dalam penelitian ini tetap
menggunakan transliterasi asli dari bahasa Arab.
61
- Provinsi Malaga; terdiri dari kota Malaga, Velez-Malaga, Ronda,
Algeciras, Estepona, Marbella, Comares, Regio, dan Multamâs.
c. Wilayah Andalusia Barat
- Provinsi Sevilla; terdiri dari kota Sevilla, Niebla, Ecija, Estepa, Cadiz,
dan Mertola.
- Provinsi Badajoz; terdiri dari kota Badajoz, Merida, Lisbon, Beja
Santarem, dan Cabra.
- Provinsi Huelva; terdiri dari kota Huelva.
- Provinsi Silves; terdiri dari kota Silves dan Algarve.
Selain itu, terdapat sejumlah kota di daerah Afrika Utara (Maghribi) yang
juga termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Islam Andalusia.48
Kota-kota
tersebut terletak di pesisir pantai Mediterania dekat Selat Gibraltar dengan
Maroko sebagai pusat pemerintahan. Kota-kota yang dimaksud adalah Fez,
Rabat, Meknes, Tangier, Ceuta, Tlemcen, Tripoli, Bajayah, Beja, El Adoua,
Qayrawan, Sijilmassa, Salé, dan Melilla.
Selanjutnya, kota-kota yang telah terdata tersebut dikelompokkan ke
dalam kategori kota provinsi (pemerintahan pusat) dan kota kabupaten
(pemerintahan daerah). Hal tersebut dilakukan agar pemetaan wilayah
administrasi Andalusia pada masa pemerintahan Islam dapat dipahami secara
utuh. Adapun pengelompokan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
48
Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova, h. 9.
62
Kota Provinsi (pemerintahan pusat): Silves, Huelva, Badajoz, Sevilla,
Malaga, Carmona, Toledo, Almeria, Granada, Cordova, Zaragoza, Albaracin,
Alpuente, Valencia, Murcia, dan Maroko.
Kota Kabupaten (pemerintahan daerah): Algarve, Merida, Lisbon, Beja
Santarem, Cabra, Niebla, Ecija, Estepa, Cadiz, Mertola, Velez-Malaga, Ronda,
Algeciras, Estepona, Marbella, Comares, Regio, Multamâs, Moron de la
Frontera, Arcos, Sidonia, Tarif, Guadalajara, Salamanca, Pechina, Berja,
Lorca, Las Navas de Tolosa, Baza, Elvira, Guadix, Albaicin, Baeza, Jaen,
Archidona, Belalcazar, Fahs al-Ballût, Levante, Tudela, Barbastro, Huesca,
Tortosa, Lerida, Jucar, El Puig, Jativa, Tudmîr, Cartagena, Denia, Ibiza,
Mallorca, Alicante, Menorca, Fez, Rabat, Meknes, Tangier, Ceuta, El Adoua,
Sijilmassa, Salé, dan Melilla.
Sejauh penelusuran penulis, diantara kota-kota yang telah terdata terdapat
sejumlah kota yang telah ada sejak dahulu (kota lama). Kota-kota lama yang
dimaksud adalah Tudmir, Zaragoza, Cordova, Toledo, Sevilla, Ecija, Ceuta,
Sidonia, dan Melilla. Selain itu, terdapat pula sejumlah kota yang merupakan
hasil pemekaran setelah kekuasaan Islam semakin meluas. Kota-kota hasil
pemekaran yang dimaksud adalah Valencia, Jucar, Jativa, Archidona, Fahs al-
Ballût, Guadix, Granada, Malaga, Algeciras, Sijilmassa dan Salé.
Berdasarkan rangkaian penjelasan di atas, terlihat bahwa Andalusia
adalah sebuah wilayah yang sangat luas. Meskipun terdapat kemungkinan
adanya kota-kota yang belum teridentifikasi, kota-kota Andalusia yang
dipaparkan di atas cukup menggambarkan kemajemukan wilayah Andalusia.
63
C. Sejarah Singkat Peradilan Islam di Andalusia
Sistem administrasi pemerintahan di kekhalifahan Barat (baca:
Andalusia) tidak jauh berbeda dari kekhalifahan Timur. Provinsi-provinsi di
Andalusia masing-masing diperintah oleh seorang gubernur sipil dan militer
yang disebut wali. Beberapa kota penting juga berada di bawah kekuasaan para
wali. Peradilan dijalankan langsung oleh khalifah49
, yang kemudian
mendelegasikan kewenangan kepada para qâdi. Kasus-kasus kriminal dan
kejahatan domestik diadili oleh seorang qâdi khusus yang disebut sâhib al-
syurtah. Qâdi khusus lainnya di Cordova, sâhib al-Mazâlim, bertugas
menerima pengaduan setiap orang yang merasa kecewa atas pelayanan para
pejabat publik.
Hukuman yang biasanya diputuskan oleh pengadilan adalah denda,
skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh, dan dalam beberapa kasus
khusus seperti fitnah, bid‟ah dan murtad, hukuman mati menjadi hukuman
final. Salah satu jabatan yang cukup menarik adalah muhtasib. Jabatan tersebut
tidak hanya mengarahkan polisi, tetapi juga bertindak sebagai pengawas
perdagangan pasar, memeriksa takaran dan timbangan, serta ikut mengurusi
kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak di hadapan
umum.50
49
„Atiyyah Mustafâ Musyrifah menyatakan bahwa kewenangan dalam bidang peradilan
pada dasarnya dikelola dan dipegang oleh seorang khalifah karena khilâfah merupakan sebuah
bentuk perwakilan dari Syâri’ dalam penyebaran agama dan pengaturan urusan manusia. Selain
itu, „Athiyyah menambahkan bahwa diantara hal-hal yang wajib ada pada sebuah khilâfah adalah
kekuasaan dalam menjalankan peradilan. Lihat „Atiyyah Mustafâ Musyrifah, al-Qadâ` fi al-`Islâm,
Cet. II, (t.tp: t.p, 1966), h. 76.
50 Philip K Hitti, History of Arabs, h. 692.
64
Selanjutnya, pada pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad, tepatnya
pada pemerintahan Harûn al-Rasyîd (w. 175-193 H/786-809 M), terdapat
sebuah jabatan baru dalam bidang peradilan Islam yang disebut dengan “qâdî
al-qudâh.”51
Pada saat itu, jabatan qâdî al-qudâh hanya ada di Baghdad dan
dipegang oleh 1 orang. Setelah daerah-daerah kekuasaan Islam satu persatu
memisahkan diri dari pusat pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad, jabatan
qâdî al-qudâh dapat dijumpai di sejumlah pusat pemerintahan Islam.52
Eksistensi jabatan qâdî al-qudâh mengindikasikan penerapan sistem
peradilan berjenjang (lebih dari satu) dalam peradilan Islam. Pada awal mula
pemerintahan Islam berdiri, ketentuan yang berlaku dalam peradilan Islam
adalah penyelesaian perkara/sengketa dalam satu tingkat saja. Keputusan
seorang qâdi pada suatu perkara bersifat tetap, tidak dapat diganggu-gugat dan
51
Secara bahasa, qâdî al-qudâh berarti hakimnya para hakim. Para pakar hukum Islam
memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap jabatan ini. Muhammad Salam Madkur
memaknai qâdî al-qudâh sebagai “hakim agung.” Adapun T. M. Hasbi Ash Shiddeqy menyatakan
bahwa qâdî al-qudâh memiliki makna yang sejajar dengan “menteri kehakiman.” Lihat
Muhammad Salam Madkur, al-Qadâ` fi al-`Islâm, Penerjemah Imron AM, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1993), h. 64. T. M. Hasbi Ash Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Ed. II Cet. II,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 24. Terkait pendapat yang menyatakan bahwa qâdî al-
qudâh adalah “hakim agung,” maka perlu dicatat bahwa pada dasarnya, “hakim agung” merupakan
jabatan yang hanya berkedudukan di pusat pemerintahan suatu negara. Akan tetapi, tidak demikian
halnya dengan qâdî al-qudâh. Setelah daerah-daerah kekuasaan Islam satu persatu memisahkan
diri dari pusat pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad, penguasa tiap-tiap daerah yang
memisahkan diri mengangkat qâdî al-qudâh masing-masing. Sehingga, jabatan qâdî al-qudâh
dapat dijumpai di tiap-tiap daerah bagian pemerintahan Islam, dan salah satunya di Andalusia.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa qâdî al-qudâh adalah “menteri kehakiman,” maka
perlu diingat bahwa pada praktiknya, seorang qâdî al-qudâh langsung menangani persoalan
peradilan sebagaimana para qâdi lainnya, tetapi dengan kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih besar. Namun, lain halnya dengan “menteri kehakiman.” Pada praktiknya, “menteri
kehakiman” menjalankan urusan pemerintahan pada bidang hukum secara umum (aspek
administrasi). Dengan kata lain, “menteri kehakiman” tidak terjun langsung menyelesaikan
perkara-perkara yang masuk ke ranah peradilan. Berdasarkan sejumlah alasan tersebut, hemat
penulis, jabatan qâdî al-qudâh lebih tepat disejajarkan maknanya dengan “hakim tinggi.”
52 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 23. Muhammad Salam
Madkur, al-Qadâ` fi al-`Islâm, h. 39.
65
tidak dapat dibatalkan, meski oleh khalifah (kepala negara). Akan tetapi,
kemungkinan terjadinya kesalahan qâdi dalam putusannya menyebabkan
individu yang menjabat sebagai qâdî al-qudâh diperkenankan meninjau dalam
tingkat kedua (banding) hukum yang diputuskan pada tingkat pertama.53
Dalam
peradilan Islam, pejabat yang bertugas memeriksa dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama disebut qâdi, sedangkan pejabat yang bertugas memeriksa
dan menyelesaikan perkara di tingkat kedua/banding disebut qâdî al-qudâh.54
Di Andalusia, jabatan qâdî al-qudâh disebut qâdî al-jamâ‘ah.55
Ia
ditunjuk dan diberhentikan langsung oleh penguasa setempat.56
Sebelumnya,
jabatan qâdî al-jamâ‘ah ini disebut qâdi al-Jund yang berarti “Hakim para
Tentara.” Hal tersebut wajar, mengingat bahwa pada masa awal pemerintahan
Islam di Andalusia, mayoritas kaum muslimin (baik rakyat biasa, para qâdi
atau pejabat pemerintah) berprofesi sebagai tentara. Setelah „Abdul-Rahmân
al-Dâkhil meletakkan pondasi kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia
53
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam, Penerjemah Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Cet. I, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 79.
54 Sejauh yang dapat diamati, praktik pemeriksaan tingkat lanjutan setelah tingkat banding
(misal kasasi) tidak ditemukan dalam sistem peradilan Islam. Hal tersebut dapat dilatarbelakangi
oleh fakta bahwa ketidakpuasan hukum yang diputuskan oleh para qâdî al-qudâh di tingkat
banding sangat jarang terjadi (untuk tidak dikatakan tidak pernah).
55 al-Jamâ‘ah di sini berarti komunitas muslim yang menetap di ibukota pemerintahan yang
baru, yaitu Cordova. Lihat „Isâm Muhammad Syabârû, Qâdî al-Qudâh fi al-`Islâm, (Beirut: Dâr
Misbâh al-Fikr, t.th), h. 27-28.
56 Pada masa pemerintahan Bani Nasrid di Granada (629-897 H/1232-1492 M), sultan atau
amir (pemegang kekuasaan politik) memiliki kewenangan khusus untuk menunjuk sekaligus
memberhentikan para qâdi atau bahkan qâdî al-jamâ‘ah. Penunjukan dan pemecatan (para qâdi)
kerap berhubungan dengan pertimbangan politis. Kesetiaan kepada sultan atau amir yang berkuasa
memainkan peranan penting dalam menentukan sistem hukum yang berlaku. Lihat M. Isabel
Calero Secall, “Rulers and Qâdis: Their Relationship During The Nasrid Kingdom,” Islamic Law
and Society 7 (2000), h. 255.
66
dengan Cordova sebagai ibukotanya, jabatan qâdi al-jund kemudian berubah
menjadi qadî al-jamâ‘ah dan berkedudukan di Cordova.57
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad, seiring dengan
kemunculan jabatan qâdî al-qudâh dalam peradilan Islam, otoritas absolut
penguasa dalam pengelolaan peradilan akhirnya didelegasikan kepada para
qâdî al-qudâh. Kewenangan pengangkatan para qâdi yang bertugas di daerah
juga diserahkan kepada para qâdî al-qudâh. Kondisi yang demikian juga
berlaku dalam sistem peradilan Islam di Andalusia. Fungsi utama seorang qâdî
al-jamâ‘ah adalah mengangkat para qâdi yang akan bertugas di wilayah/daerah
bagian, mengawasi para qâdi yang bertugas di daerah pada peradilan di
bawahnya, memecat qâdi yang dianggap menyimpang, serta meninjau putusan
para qâdi yang bertugas di daerah-daerah.58
Penting untuk dicatat bahwa pada awalnya, qâdî al-jamâ‘ah merupakan
jabatan yang hanya dipegang oleh qâdi yang bertugas di pusat pemerintahan,
yaitu kota Cordova. Bahkan sebelumnya, ia adalah satu-satunya qâdi di
Cordova, dalam artian tidak boleh memiliki wakil (nâ`ib).59
Namun, seiring
dengan keruntuhan dinasti Bani Umayyah II, yang juga menandai dimulainya
57
Gelar Qâdî al-Jamâ‘ah ini sempat menghilang atau ditinggalkan bersamaan dengan
keruntuhan dinasti Bani Umayyah di Andalusia. Ketika seorang Qâdî al-Jamâ‘ah bernama al-
Saffâr – yang ditunjuk oleh Khalifah Umayyah yang terakhir – meninggal pada tahun 429 H/
1038 M, para penerusnya tidak lagi diberi gelar Qâdî al-Jamâ‘ah. Pada tahun 448 H/1056 M, Bani
Jahwar yang berkuasa di Cordova kemudian menghidupkan kembali gelar tersebut demi
menunjukkan kekuasaan mutlak mereka atas kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Lihat Christian
Muller, “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The Qâdî al-Jamâ‘ah of Cordova in
the Fifth/Eleventh Century,” Islamic Law and Society 7 (2000), h. 162.
58 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 24. Muhammad Salam
Madkur, al-Qadâ` fi al-`Islâm, h. 40, 49.
59 Christian Muller, “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The Qâdî al-
Jamâ‘ah of Cordova in the Fifth/Eleventh Century,” h. 163.
67
periode Mulûk al-Tawâ`if, kerajaan-kerajaan kecil yang ada mengangkat qâdî
al-jamâ‘ah di pusat pemerintahan masing-masing.
Di antara nama-nama yang pernah bertugas sebagai qâdî al-jamâ‘ah
adalah Mundzir al-Balautiy (w.355 H/965 M) di Cordova pada masa
Kekhalifahan Umayyah II di Cordova (317 H/929 M), `Abû Ja‟far al-Tsa‟labiy
al-Qurtubiy (w.548 H/1153 M) di Cordova pada tahun 529 H/1134 M, `Abû al-
Walîd ibn `Abi „Umar ibn Muhammad ibn „Abdillâh al-Qurtubiy60
, Abû al-
Qâsim al-Qurtubiy yang akrab dipangil al-Jayyâniy (w.462 H/1069 M) di
Toledo, `Abû al-Qâsim ibn `Abî al-Walîd al-Qurtubiy al-`Umawiy (w.652 H
/1228 M) di Maroko kemudian Cordova.61
Selanjutnya, ketika „Abdul-Rahmân al-Dâkhil berkuasa, para qâdî al-
jamâ‘ah memutuskan perkara berdasarkan mazhab al-`Auzâ‘iy. Seiring dengan
semakin banyaknya para cendekiawan yang memasuki daerah Andalusia62
,
60
Dari pemahaman penulis terhadap teks yang ada, `Abû al-Walîd ibn `Abi „Umar ibn
Muhammad ibn „Abdillâh al-Qurtubiy menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Cordova pada tahun yang sama
dengan `Abû Ja‟far al-Tsa‟labiy al-Qurtubiy, yakni pada tahun 529 H/1134 M. Adapun teks asli
tersebut berbunyi sebagai berikut.
، وكذلك أبو الوليد بن أبي عمر 3311/ 925"وفي قرطبة، تقّلد أبو جعفر الثعلبي القرطبي، منصب قاضي الجماعة سنة بن محمد بن عبد اهلل القرطبي"
Lihat „Isâm Muhammad Syabârû, Qâdî al-Qudâh fi al-`Islâm, h. 29.
61 „Isâm Muhammad Syabârû, Qâdî al-Qudâh fi al-`Islâm, h. 28-30.
62 Salah seorang yang disebut pertama kali memasukkan mazhab Maliki ke Andalusia
adalah `Abû „Abdillâh Ziyâd ibn „Abdil-Rahmân al-Qurtubiy yang akrab dipanggil syabtuun (w.
193 H/808 M). Disebutkan pula bahwa kerabat darinya banyak berkecimpung dalam dunia
peradilan. Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Tsa‟âlabî al-Fâsî, al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh
al-`Islâmî, Jilid 1 Cet. I, (Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1976), h. 445.
68
mazhab Maliki kemudian mulai dikenal dan digunakan di wilayah Andalusia.63
Akhirnya, pada masa pemerintahan Amir al-Hakam ibn Hisyâm (180-206 H
/796-822 M)64
, mayoritas putusan para qâdi serta fatwa-fatwa yang dikeluarkan
berlandaskan mazhab Maliki.65
Di antara qâdî al-jamâ‘ah yang menggunakan
mazhab Maliki adalah `Abû Ja‟far al-Tsa‟labiy al-Qurtubiy dan `Abû al-Walîd
ibn `Abi „Umar ibn Muhammad ibn „Abdillâh al-Qurtubiy.66
Terkait penggunaan mazhab Maliki di Cordova, tidak ada seorang qâdi
pun yang dapat mengeluarkan atau memberikan sebuah putusan akhir (dari
kasus yang dihadapinya) berdasarkan pertimbangannya sendiri. Untuk dapat
mengeluarkan sebuah putusan akhir yang berkekuatan hukum, qâdi yang
bertugas harus meminta opini hukum dari para ahli hukum (fuqahâ`) yang
tergabung dalam dewan syûrâ. Sementara qâdi yang bertugas tersebut hanya
terfokus pada fakta-fakta dari kasus yang dihadapinya.
Sementara itu, dewan syûrâ yang kemudian memberikan jawaban atas
kasus tersebut berdasarkan doktrin mazhab Maliki. Qâdi yang berwenang harus
menginformasikan kepada dewan syûrâ mengenai fakta-fakta hukum yang ada
melalui laporan tertulis, yang biasa disebut khitâba, yang disegel dalam sebuah
63 Pendapat lain menyatakan bahwa sejak awal mula kaum Muslim Andalusia telah
menyandarkan diri pada al-Muwatta` Imam Mâlik. Ahmad Thomson dan M. „Ata‟ur Rahim, Islam
in Andalus, h. 43.
64 Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 223.
65 W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain, h. 59. Dikatakan
juga bahwa perkembangan mazhab Maliki di Andalusia merupakan salah satu program politik
internal Bani Umayyah yang waktu itu ingin mendirikan pemerintahan yang mandiri di Andalusia
yang akan mampu menandingi pemerintahan Bani Abbasiyyah di Timur, baik secara politis
maupun religius. Lihat Oussama Arabi, David S. Powers and Susan A. Spectorsky, Islamic Legal
Thought A Compendium of Muslim Jurists, (Leiden: Brill, t.th), h. 221.
66 „Isâm Muhammad Syabârû, Qâdî al-Qudâh fi al-`Islâm, h. 54.
69
amplop. Laporan tersebut juga berisi semua dokumen yang terkait dengan
kasus. Berdasarkan laporan yang diberikan, dewan syûrâ akan mengeluarkan
fatwa terkait putusan apa yang harus diambil atas kasus yang sedang dihadapi
oleh qâdi yang bersangkutan. 67
Lebih jauh lagi, sebuah proses peninjauan kembali putusan terdahulu,
yang biasa disebut dengan judicial review, telah dikenal dalam sistem peradilan
di Andalusia. Proses dari judicial review merupakan tanggung jawab qâdi yang
bertugas. Keputusan untuk menguatkan atau menggugurkan putusan qâdi
terdahulu sepenuhnya berada di tangannya (qâdi yang bertugas). Pemerintah
setempat hanya memiliki peran dalam mengkonfirmasi dan atau mengeksekusi
putusan yang memiliki implikasi politik.68
67
Selengkapnya tentang dewan syûrâ ini lihat Christian Muller, “Judging with God‟s Law
on Earth: Judicial Powers of The Qâdî al-Jamâ‘a of Cordova in the Fifth/Eleventh Century,” h.
164.
68 Putusan qâdi terdahulu bisa dibatalkan dikarenakan beberapa faktor, seperti kesalahan
dalam menerapkan hukum, kesalahan dalam fakta-fakta yang menjadi dasar dari putusan tersebut,
atau adanya perubahan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi putusan tersebut. Selengkapnya
tentang judicial review ini lihat Delfina Serrano, “Legal Practice in an Andalusi-Magribi Source
From The Twelfth Century CE: The Madzâhib al-Hukkâm fi Nawâzil al-`Ahkâm,” Islamic Law
and Society 7 (2000), h. 231.
70
BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI
Bab ini terdiri dari 4 (empat) subbab pembahasan. Subbab pertama
memaparkan data para qâdi yang pernah bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia
dan mengelompokkan para qâdi tersebut berdasarkan wilayah tugas mereka. Subbab
kedua menjelaskan kota-kota yang menjadi sentra-sentra peradilan Islam di Andalusia
dan mengklasifikasikan sentra-sentra peradilan tersebut ke dalam yurisdiksi tingkat
pertama dan yurisdiksi tingkat banding. Subbab ketiga mendeskripsikan sistem
pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi yang berlaku di Andalusia. Terakhir, subbab
keempat memaparkan interpretasi penulis terhadap temuan dalam penelitian ini.
A. Para Qâdi di Wilayah Yurisdiksi Andalusia
Berikut merupakan pemaparan data para qâdi yang pernah bertugas di
wilayah yurisdiksi Andalusia yang diperoleh dari kedua sumber utama penelitian
ini: yaitu kitab Târîkh Qudât al-`Andalus (S1) dan Târîkh ‘Ulamâ` al-`Andalus
(S2). Selain itu, demi melengkapi informasi yang dibutuhkan, sumber lain juga
digunakan, yaitu kitab Qudât Qurtubah (S3), al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-
`Islâmî (S4), dan Qâdî al-Qudât fi al-`Islâm (S5).1 Data yang diperoleh disusun
secara sistematis berdasarkan tahun wafat para qâdi.
1 Sumber informasi untuk setiap qâdi dicantumkan di belakang nama setiap qâdi dengan
menggunakan kode-kode yang telah ditentukan.
71
Tabel 4.1
Para Qâdi di Wilayah Yurisdiksi Andalusia
No Nama Qâdi Wafat Keterangan
1 Yahya ibn Zaid al-Tajîbiy
(S1)
172 H/
788 M2
Ia berasal dari Afrika3 dan diangkat menjadi qâdi di
Cordova oleh Khalifah „Umar ibn „Abdil-Azîz.4 Setelah
Amir „Abdul-Rahmân I al-Dâkhil5 berkuasa, Yahya ibn
Zaid diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova.
2
Yazîd ibn Yahyâ ibn
Syuraih ibn ‘Amrû ibn
‘Auf (S2)
-
Ia diangkat menjadi qâdi di Cordova oleh Amir „Abdul-
Rahmân I. Disebutkan bahwa Ia diberhentikan dari
jabatannya dan diganti dengan Mu‟âwiyah ibn Sâlih.
3 Mu‟âwiyah ibn Sâlih al-
Hadromiy (S1)
168 H/
784 M
Ia adalah `Abû ‘Abdirrahmân/`Abû ‘Amrû, berasal dari
Syam. Ia diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova
oleh Amir „Abdul-Rahmân I.
4 ‘Abdul-Rahmân ibn Tarîf
(S2) -
Ia menjadi qâdi di Cordova pada pemerintahan „Abdul-
Rahmân I, Bersama-sama dengan qâdi Mu‟âwiyah ibn
Sâlih.
5 Hassân ibn Yasâr al-
Hudzaliy (S2) -
Ia berasal dari Zaragoza dan menjadi qâdi di sana pada
waktu Amir „Abdul-Rahmân I memasuki Andalusia.6
6
‘Amrû ibn Syarâhîl ibn
Muhammad al-Ma‘âfiriy
(S2)
- Ia berasal dari Cordova dan menjadi qâdi di sana pada
pemerintahan Amir „Abdul-Rahmân I.
7 Nasr ibn Zarîf al-
Yahsubiy (S1) -
Ia diangkat sebagai qâdi di Cordova oleh Amir „Abdul-
Rahmân I.7
8 al-Mus‟ab ibn „Imrân (S1) -
Ia adalah `Abû Muhammad. Ia berasal dari Syam dan
diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Cordova oleh
Amir Hisyâm I ibn „Abdil-Rahmân I.8 Bahkan setelah
Hisyâm I wafat dan digantikan oleh anaknya, Amir al-
Hakam I ibn Hisyâm I9, `Abû Muhammad masih tetap
menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah.
2 Disebutkan bahwa Ia wafat pada saat Amir „Abdul-Rahmân I al-Dâkhil wafat.
3 Penyebutan beberapa daerah dalam sumber-sumber penelitian menggunakan istilah umum,
seperti Afrika, Andalusia Timur, dan lain sebagainya yang tidak ditemukan spesifikasinya.
4 Ia memerintah sejak 61 H/681 M s.d. 101 H /720 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, (Beirut:
Dâr Al-Masyriq, 2005), h. 379.
5 Ia memerintah sejak 138 H/756 M s.d. 172 H/788 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
6 Pada tahun 137 H/755 M.
7 Terdapat informasi yang menyebutkan bahwa Ia menjabat untuk waktu yang cukup lama.
8 Ia memerintah sejak 172 H/788 M s.d. 180 H/796 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
9 Ia memerintah sejak 180 H/796 M s.d. 207 H/822 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
72
9 Fadl ibn ‘Amîrah al-
Kinâniy (S2)
197 H/
812 M
Ia dikenal sebagai `Abû al-‘Âfiyah. Ia berasal dari
Tudmîr (Provinsi Murcia) dan menjadi qâdi di sana
pada pemerintahan Amir al-Hakam I.
10 Muhammad ibn Basyîr al-
Ma‟âfiriy (S1)
198 H/
813 M
Ia berasal dari daerah Beja (Provinsi Badajoz) dan
diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah10
di Cordova (sebagai
pengganti al-Mus‟ab ibn „Imrân) oleh Amir al-Hakam I
ibn Hisyâm.11
11 Al-Faraj ibn Kinânah al-
Kinâniy (S1) -
Ia berasal dari kota Sidonia.12
Ia diangkat sebagai qâdî
al-jamâ‘ah di Cordova oleh Amir al-Hakam I ibn
Hisyâm sejak tahun 198 H/813 M (menggantikan
Muhammad ibn Basyîr)
12 ‘Abbâs ibn Nâsih al-
Tsaqafiy (S2) -
Ia dikenal sebagai `Abû al-‘Alâ`i. Ia berasal dari
Algeciras dan diangkat menjadi qâdi di Sidonia
(Provinsi Carmona) dan Algeciras (Provinsi Malaga)
oleh Amir al-Hakam I.
13 ‘Abdul-Wahhâb ibn
‘Abbâs ibn Nâsih (S2) -
Ia berasal dari Algeciras dan menjadi qâdi di Sidonia
dan Algeciras, menggantikan ayahnya, ‘Abbâs ibn
Nâsih al-Tsaqafiy.
14
Muhammad ibn ‘Abdil-
Wahhâb ibn ‘Abbâs ibn
Nâsih (S2)
-
Ia berasal dari Algeciras dan menjadi qâdi di Sidonia
dan Algeciras, menggantikan ayahnya, ‘Abdul-Wahhâb
ibn ‘Abbâs ibn Nâsih.
15 Hâmid ibn Yahya (S2) 207 H/
822 M
Ia akrab disapa `Abû Muhammad. Ia berasal dari
Cordova dan diangkat menjadi qâdi di sana oleh Amir
al-Hakam I ibn Hisyâm.
16 ‘Abdul-Salâm ibn Walîd
(S2) -
Ia berasal dari Huesca (Provinsi Zaragoza) dan diangkat
menjadi qâdi di sana oleh Amir al-Hakam I ibn Hisyâm.
17 Sa‘îd ibn Muhammad ibn
Basyîr al-Ma‟âfiriy13
(S2)
210 H/
825 M
Ia berasal dari Beja. Ia pernah menjabat sebagai qâdi di
Ecija (Provinsi Sevilla). Kemudian Ia diangkat menjadi
qâdî al-jamâ’ah di Cordova oleh Amir „Abdul-Rahman
II ibn al-Hakam I.14
18 Ziyâd ibn ‘Abdillâh al-
`Ansâriy (S2)
212 H/
827 M Ia adalah seorang qâdi di Toledo.
19 `Ibrâhîm ibn Yahya ibn
Barwana (S2) -
Ia akrab disapa `Abû `Ishâq dan berasal dari kota
Toledo. Ia disebut pernah menjabat sebagai qâdi di kota
Toledo dan beberapa kota lainnya.
20 `Ahmad ibn al-Walîd ibn
Bâhiliy (S2)
Ia berasal dari kota Toledo dan pernah menjabat sebagai
qâdi di kota Toledo dan Jaen (Provinsi Granada).
10
al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Lubnâniyyah,
1989), h. 73-75.
11 Disebutkan bahwa Ia menjabat hingga wafat, dan bahwa Ia sebelumnya bekerja sebagai kâtib
al-Mus‟ab ibn „Imrân.
12 al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 93.
13 Ia adalah anak dari Muhammad ibn Basyîr al-Ma‟âfirriy.
14 Ia memerintah sejak 207 H/822 M s.d. 238 H/852 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
73
21 Zakariyyâ ibn Qatâm (S2) - Ia akrab disapa `Abû Yahyâ dan berasal dari Toledo. Ia
menjabat sebagai qâdi di Toledo hingga wafat.15
22 Yahyâ ibn Ma‘mar al-
`Alhâniy (S1) -
Ia adalah `Abû Bakr. Ia berasal dari kota Sevilla dan
diangkat sebagai qâdi di Cordova oleh Amir „Abdul-
Rahmân I. Setelah beberapa lama menjabat, Yahyâ
kemudian diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di
Cordova, yakni pada masa pemerintahan Amir „Abdul-
Rahmân II.16
23 Syabtûn ibn ‘Abdillâh
(S2)
212 H/
827 M
Ia berasal dari Toledo dan menjabat sebagai qâdi di
sana.
24 ‘Abdul-Rahmân ibn Mûsâ
al-Lahwâriy (S2) -
Ia dikenal sebagai `Abû Mûsâ. Ia berasal dari Ecija dan
menjadi qâdi di sana pada pemerintahan „Abdul-
Rahman II.
25 `Uswâr ibn ‘Uqbah (S2) 213 H/
828 M
Ia adalah `Abû ‘Uqbah. Ia berasal dari Cordova dan
diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di sana oleh ‘Abdul-
Rahmân II, menggantikan Yahya ibn Ma‟mar (ketika
pertama kali diturunkan). Ia menjabat hingga wafat.
26 `Asad ibn al-Furât ibn
Sinân (S1)
213 H/
828 M
Ia diangkat sebagai qâdi di daerah Afrika oleh `Abû
Muhammad Ziyâdatullâh I.17
27
Walîd ibn ‘Abd al-Khâliq
ibn ‘Abd al-Jabbâr ibn
Qais (S2)
225 H/
839 M
Ia berasal dari Toledo dan menjadi qâdi di sana pada
pemerintahan Amir „Abdul-Rahman II.
28
‘Abdul-Rahmân ibn al-
Fadl ibn Râsyid al-
Kinâniy al-‘Utaqiy (S2)
227 H/
841 M
Ia dikenal dengan sebutan `Abû al-Mutarrif. Ia berasal
dari Tudmîr dan menjadi qâdi di sana pada
pemerintahan Amir al-Hakam I. Disebutkan bahwa Ia
menjabat setelah ayahnya, al-Fadl ibn ‘Amîrah.
29 `Ibrâhîm ibn al-„Abbâs al-
Quraisyî18
(S3) -
Ia diangkat menjadi qâdi di Cordova oleh ‘Abdul-
Rahmân II pada tahun 215 H/830 M. Ia kemudian
diberhentikan dari jabatannya.
30 Yukhâmir ibn ‘Utsmân al-
Sya‘bâniy (S3) -
Ia berasal dari Cordova dan diangkat menjadi qâdi di
sana oleh Amir „Abdul-Rahmân II pada tahun 220
H/835 M, menggantikan `Ibrâhîm ibn al-„Abbâs al-
Quraisyî. Ia kemudian diberhentikan dari jabatannya
dan diganti dengan „Alî ibn `Abî Bakr al-Kilâbî.
31 „Alî ibn `Abî Bakr al-
Kilâbî (S3) -
Ia berasal dari Cabra (Povinsi Badajoz) dan menjabat
sebagai qâdi di Cordova, menggantikan Yukhâmir ibn
‘Utsmân al-Sya‘bâniy.
15
Terdapat informasi yang menyebutkan bahwa Ia pernah bertemu dengan Sahnûn ibn Sa‟îd
dan para sahabatnya.
16 Disebutkan bahwa Yahyâ pernah diberhentikan dari jabatannya oleh Amir dan digantikan
oleh `Uswâr ibn ‘Uqbah. Setelah `Uswâr ibn ‘Uqbah wafat, Yahyâ kemudian Ia diangkat kembali dan
menjabat hingga wafat. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 104-108, 112-115.
17 Ia memerintah sejak 201 H/817 M s.d. 223 H/838 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 539.
18 Menjabat beberapa bulan setelah Yahyâ ibn Ma‘mar al-`Alhâniy. Lihat al-Khasyaniy al-
Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 116.
74
32 Mu‟âdz ibn „Utsmân al-
Sya‘bâniy (S1) -
Ia berasal dari Jaen dan diangkat menjadi qâdî al-
jamâ‘ah di Cordova oleh „Abdul-Rahmân II pada tahun
232 H/846 M.
33
Muhammad ibn Ziyâd ibn
‘Abdil-Rahmân al-
Lakhmiy19
(S1)
- Ia berasal dari Cordova dan diangkat menjadi qâdî al-
jamâ‘ah oleh Amir „Abdul-Rahmân II.
34 Mukhlid ibn Yazîd al-
Bajaliy (S2) -
Ia menjabat sebagai qâdi di Regio (Provinsi Malaga)
pada pemerintahan Amir „Abdul-Rahmân II. Ia wafat
pada akhir pemerintahan Amir.
35
„Abd al-Salâm ibn Sa‟îd
ibn Habîb al-Tanûkhiy
(S1)
240 H/
854 M
Ia akrab dipanggil Sahnûn, seorang ulama besar yang
berasal dari Qayrawan, Afrika. Ia diangkat sebagai qâdi
di Qayrawan oleh Amir `Abû al-„Abbas Muhammad ibn
al-`Aghlab20
pada tahun 234 H/848 M ketika ia berusia
74 tahun. Ia kemudian menjabat hingga wafat.
36 Muhammad ibn Sahnûn
(S4)
256 H/
869 M
Ia menjabat sebagai qâdi di Qayrawan menggantikan
ayahnya, „Abd al-Salâm ibn Sa‟îd ibn Habîb al-
Tanûkhiy/Sahnûn.
37 ‘Îsâ ibn Miskîn ibn
Mansur21
(S1) -
Ia berasal dari Afrika dan diangkat menjadi qâdi di sana
oleh Amir `Ibrâhîm ibn `Ahmad ibn al-`Aghlab.22
Disebutkan bahwa Ia menjabat sebagai qâdi di sana
selama 8,5 tahun.
38
`Abû al-Qâsim Hammâs
ibn Marwân ibn Simâk al-
Hamadzâniy23
(S1)
- Ia adalah salah seorang qâdi di Afrika.
39 Sa‟îd ibn Sulaimân al-
Ghâfiqiy (S1) -
Ia berasal dari kota Ghâfiq (Provinsi Cordova)24
dan
dikenal dengan sebutan `Abû Khâlid. Sebelum menjadi
qâdi di Cordova, Ia lebih dulu menjadi qâdi di Merida
(Provinsi Badajoz) dan kota lainnya. Kemudian Amir
„Abdul-Rahmân II ibn al-Hakam mengangkatnya
sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova. Disebutkan bahwa
Sa‟îd ibn Sulaimân tetap menjabat setelah Amir „Abdul-
Rahmân II wafat, yakni pada pemerintahan Amir
Muhammad I ibn „Abdil-Rahmân II25
. Ia menjabat
hingga wafat.26
19
Tercatat bahwa Ia hidup pada masa yang sama dengan Mu‟âwiyah ibn Sâlih dan Ia adalah
ayah dari al-Habîb ibn Muhammad ibn Ziyâd.
20 Ia memerintah sejak 226 H/841 M s.d. 241 H/856 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 539.
21 Ia hidup pada masa yang sama dengan Sahnûn.
22 Ia memerintah sejak 183 H/800 M s.d. 196 H/812 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 539.
23 Salah seorang sahabat Sahnûn.
24 Salah satu kota benteng di Cordova. Lihat Muhammad ibn „Abdil-Mun‟im al-Himyariy, al-
Raud al-Mi’târ fi Khabar al-`Aqtâr, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Lubnâniyyah, 1984), h. 426.
25 Ia memerintah sejak 238 H/852 M s.d. 275 H/886 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
75
40 Masrûr ibn Muhammad
al-Ghâfiqiy27
(S2) -
Ia dikenal juga sebagai `Abû Najîh, berasal dari
Cordova. Ia diangkat menjadi qâdi di Cordova oleh
Amir „Abdul-Rahmân II.
41
`Ahmad ibn Ziyâd ibn
‘Abdil-Rahman al-
Lakhmiy28
(S3)
-
Ia berasal dari Sidonia. Tercatat bahwa Ia menjabat
sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova pada pemerintahan
Amir Muhammad I. Ia diberhentikan dari jabatannya
karena suatu kasus pada tahun 250 H/864 M.
Disebutkan bahwa jabatannya berlangsung selama 9
tahun.
42 Mundzir ibn al-Sabâh ibn
‘Ismah (S2)
255 H/
868 M
Ia berasal dari Cabra dan tercatat pernah menjabat
sebagai qâdi di sana.
43
‘Abdullâh ibn
Muhammad ibn Zarqûn
al-Murâdiy (S2)
-
Ia dikenal juga sebagai `Abû Muhammad. Ia berasal
dari Zaragoza dan diangkat menjadi qâdi di sana oleh
Amir Muhammad I. Disebutkan bahwa Ia menjabat
hingga wafat.
44
Fadl ibn al-Fadl ibn
‘Amîrah ibn Râsyid al-
‘Utaqiy (S2)
265 H/
878 M
Ia dikenal juga sebagai `Abû al-‘Âfiyah. Ia berasal dari
Tudmîr dan menjabat sebagai qâdi di sana
menggantikan ayahnya, qâdi Fadl ibn ‘Amîrah ibn
Râsyid.
45 ‘Amrû ibn ‘Abdillâh al-
Qab‘ah (S3)
273 H/
886 M
Ia dikenal sebagai al-Qab‘ah. Ia berasal dari Cordova
dan diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di sana oleh Amir
Muhammad I.29
46 ‘Abdullâh ibn `Abî al-
Nu‘mân (S2)
275 H/
888 M
Ia berasal dari Zaragoza dan pernah menjabat sebagai
qâdi di sana.
47
Muhammad ibn Salmah
ibn Habîb ibn Qâsim ibn
al-Sadafiy (S2)
-
Ia dikenal juga sebagai `Abû ‘Abdillâh, berasal dari
Tudela (Provinsi Zaragoza). Tercatat bahwa Ia pernah
diangkat menjadi qâdi di Tudela oleh Amir Muhammad
I, yakni pada tahun 272 H/885 M. Disebutkan bahwa Ia
tetap menjabat pada pemerintahan 2 Amir setelah Amir
Muhammad I, yakni Amir al Mundzir30
dan Amir
„Abdullâh31
.
26
Ia wafat setelah Amir Muhammad I memerintah selama 2 tahun. Lihat al-Khasyaniy al-
Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 135-141.
27 Ia diangkat setelah Sa‟îd ibn Sulaimân.
28 Ia adalah saudara Muhammad ibn Ziyâd al-Lakhmiy.
29 Disebutkan bahwa al-Qab‘ah diberhentikan dari jabatannya setelah dua tahun, dikarenakan
suatu kasus, sehingga Ia diganti dengan Sulaimân ibn `Aswad al-Ghâfiqiy. Kemudian pada tahun 260
H/873 M, ketika Sulaimân diberhentikan, al-Qab‘ah diangkat kembali dan menjabat hingga tahun 263
H/876 M. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 172.
30 Ia memerintah sejak 273 H/886 M s.d. 275 H/888 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
31 Ia memerintah sejak 275 H/888 M s.d. 299 H/912 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
76
48 Sulaimân ibn `Aswad al-
Ghâfiqiy32
(S1) -
Ia berasal dari kota Gâfiq dan dikenal dengan sebutan
`Abû `Ayyûb. Ia diangkat menjadi qâdi di kota Merida
pada pemerintahan Amir „Abdul-Rahmân II. Kemudian
Ia diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di kota Cordova
ketika Amir Muhammad I berkuasa.33
49 ‘Âmir ibn Mu‘âwiyah al-
Lakhmiy (S3)
-
Ia dikenal dengan sebutan `Abû Mu‘âwiyah. Ia berasal
dari Regio, namun menetap di Cordova. Ia diangkat
menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Cordova oleh Amir al-
Mundzir.34
50 Yahya ibn Muhammad
ibn Zakariyyâ`(S2)
293 H/
905 M
Ia adalah `Abû Zakariyyâ`, berasal dari Toledo dan
menjabat sebagai qâdi di sana hingga wafat.
51 Muhammad ibn Yûsuf
(S2) -
Ia berasal dari Sidonia dan menjadi qâdi di sana pada
pemerintahan Amir „Abdullâh.
52 Muhammad ibn Sulaimân
al-Ma‟âfiriy (S2)
295 H/
907 M
Ia dikenal sebagai `Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari
Huesca dan menjabat sebagai qâdi di sana.35
53 `Ibrâhîm ibn Hârûn ibn
Sahlin (S2)
296 H/
908 M
Ia berasal dari Zaragoza dan menjabat sebagai qâdi di
sana.
54 Muhammad ibn Junâdah
al-`Ilhânî (S2)
296 H/
908 M
Ia sering disapa `Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari Sevilla
dan diangkat menjadi qâdi di sana oleh `Ibrâhîm ibn
Hajjâj.
55 al-Nadr ibn Salamah al-
Kilâbiy al-Qîsiy (S3)
302 H/
914 M
Ia adalah `Abû Muhammad. Ia berasal dari Cabra dan
pernah menjadi qâdi di Sidonia pada pemerintahan
Amir al-Mundzir. Kemudian Ia diangkat menjadi qâdî
al-jamâ‘ah di Cordova oleh Amir ‘Abdullâh.36
56 Mûsâ ibn Muhammad ibn
Ziyâd al-Lakhmiy (S3) -
Ia berasal dari Sidonia dan diangkat menjadi qâdi di
Cordova (setelah al-Nadr ibn Salamah) oleh Amir
‘Abdullâh. Ia kemudian diberhentikan dari jabatannya.
32
Ia adalah keponakan Sa‘îd ibn Sulaimân al-Ghâfiqiy.
33 Disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Amir Muhammad I, pada tahun 260 H/873 M,
Sulaimân pernah diberhentikan dari jabatannya dan diganti dengan ‘Amrû ibn ‘Abdillâh al-Qab‘ah.
Namun Ia kemudian diangkat kembali pada tahun 263 H/876 M dan menjabat selama 10 tahun, hingga
pemerintahan dipegang – sekitar 40 hari – oleh Amir al Mundzir. Ia kemudian diberhentikan dari
jabatannya oleh Amir al Mundzir. Disebutkan bahwa usianya mencapai 99 tahun 10 bulan, dan Ia
menjadi qâdi selama kurun waktu 32 tahun. Ia wafat pada awal pemerintahan Amir „Abdullâh ibn
Muhammad I. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 155-181.
34 Disebutkan bahwa qâdi Baqî ibn Makhlad yang merekomendasikannya kepada Amir. Setelah
Amir al- Mundzir wafat, Amir „Abdullâh menggantinya dengan al-Nadr ibn Salamah.
35 Disebutkan bahwa Ia pernah bertemu dengan Sahnûn.
36 Disebutkan bahwa Ia pernah diturunkan dari jabatannya karena suatu kasus dan Amir
„Abdullâh menggantinya dengan Mûsâ ibn Muhammad ibn Ziyâd al-Lakhmiy, kemudian Muhammad
ibn Salamah. Setelah memberhentikan Muhammad ibn Salamah, Amir „Abdullâh kembali mengangkat
al-Nadr ibn Salamah untuk kedua kalinya. Tidak lama kemudian al-Nadr diturunkan dari jabatannya
dan diangkat sebagai wazîr oleh Amir „Abdullâh. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h.
186-200.
77
57 Muhammad ibn
Salamah37
(S3) -
Ia berasal dari Sidonia dan diangkat menjadi qâdi di
Cordova (menggantikan Mûsâ ibn Muhammad) oleh
Amir ‘Abdullâh.38
58 `Ishâq ibn Dzûnâbâ (S2) 303 H/
915 M Ia berasal dari Toledo dan menjadi qâdi di sana.
59 ‘Îsâ ibn Muhammad ibn
Dînâr ibn Wâqid (S2) -
Ia dikenal sebagai `Abû Muhammad. Ia berasal dari
Toledo dan menjadi qâdi di sana pada pemerintahan
Amir ‘Abdullâh.
60 ‘Îsâ ibn ‘Alâ` ibn Nadzîr
ibn `Aiman (S2)
306 H/
918 M
Ia dikenal dengan sebutan `Abû al-`Asbagh. Ia berasal
dari Ceuta, Afrika dan menjadi qâdi di sana.
61 ‘Alâ` ibn Tamîm ibn
‘Alâ` ibn ‘Âsim39
(S2)
307 H/
919 M
Ia berasal dari Ecija, namun menetap di Sevilla. Ia
menjabat sebagai qâdi di Sevilla.
62 Khalaf ibn Hâmid ibn al-
Faraj ibn Kinânah (S2) -
Ia berasal dari Sidonia dan diangkat menjadi qâdî al-
jamâ’ah di Cordova oleh Amir „Abdullâh. Kemudian
pada saat Khalifah „Abdul-Rahmân III al-Nâsir li
Dînillâh40
berkuasa, Khalaf ibn Hâmid diangkat menjadi
qâdi di kota Sidonia dan menjabat hingga wafat.
63
`Ahmad ibn Muhammad
ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-
Rahmân al-Lakhmiy41
(S3)
312 H/
924 M
Ia dikenal sebagai `Abû al-Qâsim/al-Habîb. Ia berasal
dari Cordova dan diangkat menjadi qâdi di sana oleh
Amir „Abdullâh, tepatnya sejak 291 H/903 M.42
64 Muhammad ibn ‘Azrah
(S2)
313 H/
925 M
Ia berasal dari Guadalajara (Provinsi Toledo) dan akrab
disapa `Abû ‘Abdillâh. Ia menjabat sebagai qâdi di
Guadalajara.
65
`Abû Wahb ibn
Muhammad ibn `Abî
Nakhîlah (S2)
- Ia berasal dari Guadalajara dan menjadi qâdi di sana.
66
Faraj ibn Salamah ibn
Zuhair ibn Mâlik al-
Balawiy (S2)
-
Ia dikenal sebagai `Abû Sa‘îd. Ia berasal dari Cordova
dan pernah menjabat sebagai qâdi di Regio dan
Guadalajara.
37
Saudara al-Nadr ibn Salamah.
38 Disebutkan bahwa Amir „Abdullâh pernah menurunkan Muhammad ibn Salamah dan
mengangkat kembali saudaranya, yaitu al-Nadr ibn Salamah. Kemudian ketika al-Nadr diangkat
sebagai wazîr, Amir „Abdullâh kembali mengangkat Muhammad ibn Salamah (untuk kedua kalinya)
dan menjabat hingga wafat. Disebutkan pula bahwa Ia wafat pada pemerintahan Amir „Abdullâh. Lihat
al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 200-203.
39 Menggantikan qâdi Suhaib ibn Manî‘.
40 Ia memerintah sejak 299 H/912 M s.d. 350 H/961 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
41 Anak Muhammad ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-Rahmân al-Lakhmiy.
42 Ia terus menjabat hingga Amir „Abdullâh wafat. Ketika Khalifah al-Nâsir li Dînillâh
memerintah, al-Habîb diberhentikan dari jabatannya, yakni pada tahun 300 H/912 M. Ia kembali
diangkat pada tahun 309 H/921 M (pada saat `Aslam ibn „Abdil-„Azîz mengundurkan diri), kemudian
menjabat hingga wafat. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 204-211, 218-220.
78
67 `Aslam ibn „Abdil-„Azîz
(S1)
317 H/
929 M
Ia berasal dari Cordova dan diangkat sebagai qâdî al-
jamâ‘ah di sana oleh Khalifah „Abdul-Rahmân III,
tepatnya pada tahun 300 H (menggantikan `Ahmad ibn
Muhammad ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-Rahmân al-
Lakhmiy/al-Habîb).43
68 Suhaib ibn Manî‘(S2) 318 H/
930 M
Ia akrab disapa `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari Cordova
dan diangkat menjadi qâdi di Sevilla oleh Khalifah
„Abdul-Rahmân III.
69 ‘Abdul-Salâm ibn ‘Aliy
(S2)
318 H/
930 M
Ia berasal dari Pechina (Provinsi Almeria) dan diangkat
menjadi qâdi di Beja oleh „Abdul-Rahmân III pada
tahun 317 H/929 M.
70 `Ahmad ibn Baqî ibn
Makhlad44
(S1)
324 H/
935 M
Ia berasal dari Jaen dan akrab disapa `Abû ‘Abdillâh. Ia
diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova oleh
Khalifah „Abdul-Rahmân III pada tahun 314 H/926 M
dan menjabat hingga wafat pada usia 63 tahun.
71
‘Ubaidûn ibn Muhammad
ibn Fahd ibn al-Hasan ibn
‘Ali al-Jahniy (S2)
324 H/
935 M
Ia sering disebut `Abu al-Ghamr/ Ibnu Khumair. Ia
berasal dari Cordova dan menjabat sebagai qâdî al-
jamâ’ah di sana. Disebutkan bahwa Ia menjabat hanya
selama 1 hari dan wafat hari berikutnya.
72
`Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn
`Abî Tâlib al-`Asbahî
(S1)
326 H/
937 M
Ia akrab disapa `Abû ‘Abdillâh al-`Asbahî. Pada
awalnya, Ia menjabat sebagai qâdi di kota Elvira
(Provinsi Granada). Setelah `Ahmad ibn Baqî wafat, Ia
kemudian diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Cordova
oleh Khalifah „Abdul-Rahmân III. Ia menjabat hingga
wafat, yakni selama 2 tahun.
73 Jahhâf ibn Yumn (S2) 327 H/
938 M
Ia berasal dari kota Valencia. Ia diangkat menjadi qâdi
di sana oleh „Abdul-Rahmân III dan menjabat hingga
wafat.
74 ‘Abdullâh ibn Khalaf al-
Lakhmiy al-„Abbâsiy (S2)
330 H/
941 M
Ia berasal dari Sevilla dan menjadi qâdi di sana pada
masa pemerintahan Amir „Abdullâh. Disebutkan bahwa
Ia menjabat hanya selama 2 tahun, kemudian
diberhentikan.
75 Muhammad ibn Yahyâ
ibn ‘Umar Lubâbah (S2)
330 H/
941 M
Ia berasal dari Cordova dan dikenal sebagai Al-
Baujûn/`Abû ‘Abdillâh. Ia diangkat sebagai qâdi di
Elvira oleh Khalifah „Abdul-Rahmân III.
76 `Ahmad ibn al-Fath al-
Malîlî (S2)
332 H/
943 M
Ia dikenal juga dengan sebutan `Abû Ja‘far/Ibn al-
Hazzâz. Disebutkan bahwa Ia pernah diangkat menjadi
qâdi di kota Melilla, Afrika oleh Khalifah „Abdul-
Rahmân III, yakni pada tahun 325 H/936 M.
43
Disebutkan bahwa Ia pernah mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 309 H/921 M. Ia
kembali diangkat pada tahun 312 H/924 M (setelah al-Habîb wafat). Ia kemudian diberhentikan dari
jabatannya pada tahun 314 H/926 M dikarenakan usianya yang sudah sangat tua. Lihat al-Khasyaniy
al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 212-217, 221.
44 Khalifah mengangkatnya setelah memberhentikan `Aslam ibn „Abdil-„Azîz. `Ahmad ibn
Baqî adalah anak dari `Abû „Abdil-Rahmân Baqî ibn Makhlad al-Qurtubiy (w. 276 H/889 M), salah
seorang imam besar di Andalusia. Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Tsa‟âlabî al-Fâsî, al-Fikr al-Sâmî
fî Târîkh al-Fiqh al-`Islâmî, Jilid 2 Cet. I, (Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1976), h. 83.
79
77
Fadlullâh ibn Sa‘îd ibn
‘Abdillâh ibn „Abdil-
Rahmân ibn Najîh al-
Kazaniy (S2)
335 H/
946 M
Ia adalah `Abû Sa‘îd. Ia berasal dari Cordova dan
menjabat sebagai qâdi di Fahs al-Ballût (Provinsi
Cordova) sejak tahun 330 H/941 M.
78 Mûsâ ibn Hârûn ibn Mûsâ
ibn' „Îsâ (S2) -
Ia adalah `Abû Hârun. Ia berasal dari Huesca dan
diangkat menjadi qâdi di Cordova sejak tahun 335 H/
946 M.
79
‘Umar ibn Yûsuf ibn
Mûsâ ibn Fahd ibn
Khusaib al-`Umawiy (S2)
337 H/
948 M
Ia sering disapa `Abû Hafs/ibn al-Imâm. Ia berasal dari
Tudela dan menjabat sebagai qâdi di sana sejak tahun
325 H/936 M. Ia kemudian menjabat hingga wafat pada
usia 93 tahun.
80
`Ahmad ibn Duhaim ibn
Khalîl ibn ‘Abdil-Jabbâr
ibn Harb (S2)
338 H/
949 M
Ia akrab disapa `Abû ‘Umar. Ia berasal dari kota
Cordova dan diangkat menjadi qâdi di kota Toledo oleh
Khalifah „Abdul-Rahmân III. Ia kemudian menjabat
hingga wafat.
81
Muhammad ibn ‘Abdillâh
ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn
Yahyâ al-Laitsiy (S2)
339 H/
950 M
Ia dikenal sebagai `Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari
Cordova dan pernah menjabat sebagai qâdi di Elvira
dan Pechina. Kemudian pada tahun 326 H/937 M, Ia
diangkat sebagai qâdî al-jamâ’ah di Cordova.
82
Yahyâ ibn ‘Abdillâh ibn
Yahyâ ibn Yahyâ ibn
Yahyâ al-Laitsiy45
(S2)
-
Ia adalah `Abû ‟Îsâ. Ia berasal dari Cordova dan
menjabat sebagai qâdi di Elvira dan Pechina ketika
saudaranya menjadi qâdî al-jamâ’ah di Cordova
83 Muhammad ibn „Abdillâh
ibn `Abî Îsâ (S1) -
Ia pernah menjadi qâdi di sejumlah daerah. Pada
awalnya, wilayah hukumnya meliputi daerah-daerah
yang terletak antara Toledo dan Pecina. Kemudian Ia
menjabat sebagai qâdi di Elvira. Terakhir, Ia diangkat
sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova oleh Khalifah
„Abdul-Rahmân III pada tahun 326 H/937 M. Ia
kemudian menjabat hingga wafat.
84 Sa‘îd ibn ‘Utsmân ibn
Manâzil (S2)
345 H/
956 M
Ia dikenal dengan sebutan Ibn al-Syaqâq/`Abû ‘Utsmân,
berasal dari Pechina. Ia menjabat sebagai qâdi di
Pechina sejak tahun 308 H/920 M hingga wafat.
85
Mundzir ibn Sa‘îd ibn
„Abdillâh ibn „Abdil-
Rahmân ibn Qâsim ibn
„Abdil-Malik ibn Najîh
al-Ballûtiy46
(S1)
355 H/
965 M
Ia adalah `Abû al-Hakam. Ia berasal dari Cordova dan
diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di sana oleh al-Nâsir
li Dînillâh sejak tahun 339 H/950 M. Setelah Khalifah
al-Hakam II al- Mustansir Billâh47
berkuasa, `Abû al-
Hakam tidak diberhentikan dari jabatannya.48
86
‘Abdullâh ibn
Muhammad ibn ‘Abdillâh
ibn `Abî Dulaim (S2)
351 H/
962 M
Ia dikenal dengan sebutan `Abû Muhammad. Ia berasal
dari Cordova dan diangkat menjadi qâdi di Elvira dan
Pechina oleh Khalifah al-Mustansir Billâh.
45
Ia adalah saudara Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy.
46 Ia adalah saudara Fadlullâh ibn Sa‘îd ibn ‘Abdillâh ibn „Abdil-Rahmân ibn Najîh al-Kazaniy.
47 Ia memerintah sejak 350 H/961 s.d. 365 H/976 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
48 Disebutkan bahwa Ia menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah selama 16 tahun, yakni hingga wafat
pada usia 84 tahun. Lihat al-Khasyaniy al-Qarwiy, Qudât Qurtubah, h. 237.
80
87
`Ismâ‘îl ibn Muhammad
ibn `Ismâ‘îl ibn `Abî al-
Fawâris (S2)
357 H/
967 M
Ia akrab disapa `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari Cordova
dan diangkat menjadi qâdi di Sevilla oleh Khalifah al-
Mustansir Billâh.
88
Mutarrif ibn ‘Îsâ ibn
Labîb ibn Muhammad al-
Ghassânî (S2)
357 H/
967 M
Ia adalah `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari Elvira dan
menjabat sebagai qâdi di sana. Disebutkan bahwa Ia
diberhentikan dari jabatannya sebelum wafat.
89
Qâsim ibn Muhammad
ibn Qâsim ibn
Muhammad ibn Qâsim
ibn Muhammad ibn
Sayyâr (S2)
-
Ia dikenal sebagai `Abû Muhammad. Ia berasal dari
Cordova dan pernah menjabat sebagai qâdi di Ecija dan
Cabra. Ia kemudian diangkat oleh Khalifah al-Mustansir
Billâh menjadi qâdi di Sevilla.
90 `Asbagh ibn Qâsim ibn
`Asbagh (S2)
363 H/
973 M
Ia akrab disapa `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari kota
Ecija dan menjadi qâdi di sana hingga wafat.
91
‘Îsâ ibn ‘Abdil-Rahmân
ibn Habîb ibn Wâqif ibn
Ya‘îsy ibn ‘Abdil-
Rahmân ibn Marwân ibn
Saktsân (S2)
366 H/
976 M
Ia dikenal sebagai `Abû al-`Asbagh. Ia berasal dari
Sidonia dan diangkat menjadi qâdi di Archidona
(Provinsi Cordova) dan sekitarnya oleh Khalifah al-
Mustansir Billâh.
92 Muhammad ibn `Ishâq
ibn al-Salîm (S1)
367 H/
977 M
Ia akrab dipanggil `Abû Bakr. Ia diangkat sebagai qâdi
di Cordova sejak tahun 353 H/964 M oleh al-Mustansir
Billâh.
93
Muhammad ibn `Ishâq
ibn Mundzir ibn `Ibrâhîm
ibn Muhammad ibn al-
Salîm ibn ‘Akramah49
(S2)
367 H/
977 M
Ia adalah `Abû Bakr. Ia berasal dari Cordova dan
menjabat sebagai qâdî al-jamâ’ah di sana, , yakni pada
tahun 356 H/966 M.
94 Muhammad ibn Yahya
ibn ‘Abdil-‘Azîz (S2)
367 H/
977 M
Ia adalah Ibn al-Kharrâz/`Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari
Cordova dan menjabat sebagai qâdi di kota Toledo dan
Beja.
95
Qâsim ibn `Ahmad ibn
Muhammad ibn ‘Utsmân
ibn ‘Abbâs50
(S2)
-
Ia dikenal juga sebagai `Abû Muhammad. Disebutkan
bahwa Ia berasal dari Toledo dan menetap di Cordova.
Ia diangkat menjadi qâdi di Toledo oleh Khalifah al-
Mustansir Billâh. Setelah itu Ia diangkat sebagai qâdi di
Badajoz.
96 `Ismâ‘îl ibn Mutarrif ibn
Faraj ibn ‘Ali (S2) -
Ia berasal dari Badajoz dan menjadi qâdi di sana hingga
wafat.
97
Khalaf ibn Farah ibn
‘Utsmân ibn Jarîr al-
Kilâ‘î (S2)
371 H/
981 M
Ia berasal dari Elvira dan akrab disapa `Abû
Muhammad. Ia menjabat sebagai qâdi di Elvira.
98
‘Abdul-Salâm ibn
‘Abdillâh ibn Ziyâd ibn
`Ahmad ibn ‘Abdil-
Rahmân al-Lakhmiy (S2)
371 H/
981 M
Ia adalah `Abu ‘Abdil-Malik. Ia berasal dari Cordova
dan menjabat sebagai qâdi di Toledo pada masa
pemerintahan Amir Hisyâm II al-Mu`ayyid Billâh51
.
49
Menggantikan Mundzir ibn Sa‟îd.
50 Ia dikenal sebagai Ibn `Arfa‘ Ra`sih. Ia diangkat sebagai pengganti Muhammad ibn `Ishâq.
51 Ia memerintah sejak 366 H/976 M s.d. 399 H/1009 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
81
99
`Ahmad ibn `Ishâq ibn
Marwân ibn Jâbiri al-
Ghâfiqiy (S2)
372 H/
982 M
Ia adalah `Abû ‘Umar. Ia berasal dari Cordova dan
pernah menjadi kâtib qâdi Muhammad ibn `Ishâq ibn al-
Salîm. Ia diangkat menjadi qâdi di kota Toledo dan
menjabat hingga wafat.
100
‘Abdullâh ibn
Muhammad ibn
`Umayyah al-`Ansâriy
(S2)
372 H/
982 M
Ia dikenal dengan sebutan Ibnu Ghalbûn/ `Abû
Muhammad. Ia berasal dari Toledo, namun menetap di
Cordova. Ia pernah menjabat sebagai qâdi di Elvira.
101
Muhammad ibn Yûsuf ibn
Sulaimân al-Jahniy al-
Khatîb (S2)
372 H/
982 M
Ia adalah Al-Qabriy/`Abû ‘Abdillâh. Ia diangkat
menjadi qâdi di Cabra oleh Khalifah al-Nasir li
Dînillâh. Ia menjabat hingga wafat.
102 ‘Abdullâh ibn al-Hârits
ibn Mantîl (S2)
373 H/
983 M
Ia dikenal dengan julukan `Abû al-Faraj dan berasal dari
Toledo. Ia adalah seorang qâdi di Toledo.52
103
Muhammad ibn Najâh
‘Abdirrahmân ibn
‘Alqamah ibn Manqûs
(S2)
376 H/
986 M
Ia disebut `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari Cordova dan
menjabat sebagai qâdi di Toledo. Ia menjabat hingga
wafat.
104
Muhammad ibn al-Hasan
ibn ‘Abdillâh al-Zubaidiy
(S2)
379 H/
989 M
Ia disebut sebagai `Abû Bakr. Ia berasal dari Sevilla dan
menjabat sebagai qâdi di sana. Ia diangkat oleh
Khalifah al-Mustansir Billâh.
105 Muhammad ibn Mas‘ud
al-Khatîb (S4)
379 H/
989 M53
Ia adalah `Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari Cordova dan
diangkat menjadi qâdi di Regio oleh Amir al-Mu`ayyid
Billâh. Ia diberhentikan dari jabatannya sebelum wafat.
106
Muhammad ibn `Ahmad
ibn Muhammad ibn
Yahya ibn Mufarrij (S2)
380 H/
990 M
Ia adalah `Abû ‘Abdillâh. Ia berasal dari Cordova dan
diangkat menjadi qâdi di Regio oleh al-Mustansir
Billâh. Ia kemudian menjadi qâdi di Ecija hingga
Khalifah wafat.
107
Muhammad ibn Yabqâ
ibn Muhammad ibn Zarb
ibn Yazîd ibn Maslamah
(S2)
380 H/
990 M
Ia sering disapa `Abû Bakr. Ia pernah menjabat sebagai
qâdî al-jamâ‘ah di Cordova.
108 Muhammad ibn Yabqâ
ibn Zarb (S1)
381 H/
991 M
Ia adalah Ibn al-Qâsim. Ia diangkat sebagai qâdi di
Cordova oleh Amir al-Mansur Muhammad ibn `Abî
„Âmir (w. 393 H/1002 M) dan menjabat hingga wafat.
109 al-Hasan ibn „Abdillâh al-
Judzâmiy al-Mâlaqiy (S1) -
Ia dikenal dengan sapaan Ibn al-Hasan. Disebutkan
bahwa Ia berasal dari Regio dan menjabat sebagai qâdi
di sana hingga wafat.
110 ‘Umar ibn Maslamah ibn
Wardân al-‘Âmiriy (S2)
383 H/
993 M
Ia dikenal dengan sebutan `Abû Hafs. Ia berasal dari
Ecija dan pernah menjadi qâdi di Toledo.
111
‘Abdul-Rahmân ibn
‘Abdillâh ibn `Ahmad ibn
‘Abdillâh (S2)
386 H/
996 M
Ia dikenal dengan sapaan `Abû al-Mutarrif/ibn Fûrtasy.
Ia berasal dari Zaragoza dan menjabat sebagai qâdi di
sana hingga wafat pada usia 61 tahun.
52
Tidak disebutkan sejak atau hingga tahun berapa Ia menjadi qâdi di Toledo, namun tercatat
bahwa Ia menggantikan qâdi Muhammad ibn Yahya ibn „Abdil-„Azîz yang wafat pada tahun 367
H/977 M.
53 Sumber lain menyatakan bahwa Ia wafat tahun 377 H/987 M. Lihat Muhammad ibn al-Hasan
al-Tsa‟âlabî al-Fâsî, al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-`Islâmî, Jilid 2, h. 115.
82
112
Qâsim ibn Muhammad
ibn Qâsim ibn `Asbagh
ibn Muhammad al-
Bayyâniy (S2)
388 H/
998 M
Ia adalah `Abû Muhammad, berasal dari Cordova. Pada
masa Khalifah al-Hakam II, Ia diangkat sebagai qâdi di
Tudmîr. Kemudian pada masa Amir al-Mu`ayyid Billâh,
Ia diangkat sebagai qâdi di Guadalajara.
113 `Ahmad ibn ‘Abdillâh
ibn al-Hasan54
(S1)
392 H/
1001 M
Ia adalah `Abû ‘Umar. Ia juga berasal dari Regio dan
menjadi qâdi di sana hingga wafat.55
114
‘Abdullâh ibn `Ahmad
ibn Muhammad al-
`Ansâriy56
(S2)
392 H/
1001 M
Ia sering dipanggil `Abû Muhammad/ Ibn al-
Barjawalasy. Ia berasal dari Zaragoza dan menjabat
sebagai qâdi di sana.
115 Walîd ibn ‘Abd al-Malik
al-‘Utaqiy (S2)
393 H/
1002 M
Ia adalah `Abû al-‘Abbâs. Ia berasal dari Tudmîr dan
pernah menjabat sebagai qâdi di sana dan Toledo.
116
Muhammad ibn Yahya
ibn Zakariyyâ ibn Yahyâ
al-Tamîmiy57
(S1)
394 H/
1003 M
Ia adalah Ibn Bartâl. Ia diangkat menjadi qâdi di Regio
oleh Khalifah al-Nâsir li Dînillâh. Ia kemudian diangkat
menjadi qâdi di Jaen oleh Amir al-Mu`ayyid Billâh
hingga Ibn Zarb wafat. Setelah itu, Ia menjabat sebagai
qâdî al-jamâ‘ah di Cordova.58
117
`Abû Muhammad
„Abdullâh ibn `Ibrâhîm
ibn Muhammad ibn
„Abdillâh (S4)
400 H/
1009 M
Ia berasal dari Sidonia dan pernah menjabat sebagai
qâdi di Zaragoza.
118
`Abû Muhammad
„Abdullâh ibn
Muhammad ibn Mahsûd
al-Hawâriy (S4)
401 H/
1010 M
Ia berasal dari Houara, Afrika dan pernah menjabat
sebagai qâdi di Ceuta.
119
„Abdul-Rahmân ibn
Muhammad ibn Îsâ ibn
Futais (S2)
402 H/
1011 M
Ia akrab dipanggil `Abû al-Mutarrif. Ia diangkat sebagai
qâdi di Cordova oleh Amir al-Mansur Muhammad ibn
`Abî „Âmir.
120
Yahya ibn „Abdil-
Rahmân ibn Wâfid al-
Lakhmiy (S1)
404 H/
1013 M
Ia akrab dipanggil Ibn Wâfid. Ia diangkat sebagai qâdi
di Cordova oleh Amir al-Mansur Muhammad ibn `Abî
„Âmir sejak tahun 401 H/1010 M.
121
`Ismâ‟îl ibn Muhammad
ibn `Ismâ‟îl ibn Qurays
ibn „Abbâd al-Lakhmiy
al-`Isybaily (S1)
414 H/
1023 M
Ia berasal dari Sevilla dan akrab disapa `Abû al-Walîd.
Tidak disebutkan siapa yang mengangkatnya sebagai
qâdi di Sevilla. Tetapi, pada masa pemerintahan al-
Muzaffar „Abdul-Malik ibn Muhammad ibn`Abî „Âmir
(w. 399 H/1008 M), Ia diberhentikan dan diganti dengan
`Abû „Umar al-Bâjiy selama 1 tahun. Setelah itu ia
diangkat kembali dan menjabat hingga wafat.
54
Ia diangkat sebagai qâdi menggantikan saudaranya, al-Hasan ibn „Abdillâh/Ibn al-Hasan.
55 Ia menjabat sebagai qâdi sejak awal pemerintahan Amir Hisyâm II al-Mu`ayyid Billâh
hingga Ia wafat. Ia hidup pada masa yang sama dengan `Ahmad ibn „Abdillâh ibn Dzakwân.
56 Ia menjabat setelah Abdul-Rahmân ibn Fûrtasy.
57 Ia adalah paman Amir al-Mansur Muhammad ibn `Abî „Âmir.
58 Ia menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah selama 10 tahun 3 bulan, yakni hingga tahun 392
H/1001 M. Ia kemudian diberhentikan dari jabatannya karena faktor usia dan diangkat menjadi wazîr.
83
122 „Abdul-Rahmân ibn
Futais (S1) -
Ia diangkat sebagai qâdi di Cordova oleh al-Muzaffar
„Abdul-Malik ibn Muhammad ibn`Abî „Âmir, dan
menjabat selama 9 bulan.
123 `Ahmad ibn „Abdillâh ibn
Dzakwân (S1) -
Ia dikenal sebagai `Abû al-„Abbâs. Ia diangkat sebagai
qâdi di Cordova oleh al-Muzaffar „Abdul-Malik ibn
Muhammad ibn `Abî „Âmir. Kemudian pada masa
pemerintahan „Abdul-Rahmân (saudara al-Muzaffar), Ia
diangkat menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Cordova.59
124
`Abû al-Mutarrif „Abdul-
Rahmân ibn `Ahmad ibn
Sa‘îd ibn Muhammad ibn
Bisyr ibn Gharsiyyah (S1)
422 H/
1030 M
Ia akrab dipanggil Ibn al-Hisâr. Ia diangkat sebagai qâdî
al-jamâ‘ah di Cordova oleh Amir „Ali ibn Hammûd60
sejak tahun 407 H/1016 M.
125
Yûnus Ibn „Abdullâh ibn
Muhammad ibn Mugîts
(S1)
429 H/
1037 M
Ia akrab dipanggil `Abû al-Walîd. Ia berasal dari daerah
Andalusia Timur dan diangkat sebagai qâdi di sana
sejak tahun 419 H/1028 M oleh Khalifah al-Mu‟tadd
Billâh61
Hisyâm ibn Muhammad.62
126 Muhammad ibn `Ismâ‟îl
(S1)
433 H/
1041 M
Ia akrab disapa `Abû al-Qâsim, berasal dari Sevilla.
Disebutkan bahwa Ia pernah menjabat sebagai qâdi di
Sevilla.63
127 Abû al-Qâsim al-Qurtubiy
(S5)
462 H/
1069 M
Ia akrab disapa al-Jayyâniy. Tercatat bahwa Ia pernah
menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Toledo.
128
`Abû „Abdillâh
Muhammad ibn Al-Hasan
ibn Yahya ibn „Abdillâh
ibn al-Hasan al-Judzâmiy
al-Nubâhiy (S1)
463 H/
1070 M
al-Nubâhiy diangkat sebagai qâdi di Malaga oleh Amir
al-Mu‟talî Billâh Yahya ibn „Ali ibn Hammûd (w. 427
H/1035 M). Setelah Amir Yahya wafat, Ia berhenti dari
jabatannya. Ia diangkat kembali pada tahun 445 H/1053
M oleh Amir al-„Âlî Billâh `Idrîs ibn Yahya ibn „Ali ibn
Hammûd (w. 450 H/1058 M). Setelah Amir Idris wafat,
al-Nubâhiy diangkat oleh Bâdîs ibn Habûs64
menjadi
qâdî al-jamâ‘ah di Granada pada tahun 449 H/1057 M.
129
Muhammad ibn `Ahmad
ibn Îsâ ibn Manzûr al-
Qaisy (S1)
464 H/
1071 M
Ia biasa dipanggil `Abû Bakr. Ia berasal dari Sevilla dan
diangkat oleh al-Mu‟tamad Muhammad ibn „Abbâd65
menjadi qâdi di Cordova.
59
Ia diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah menggantikan Ibn Bartâl, sekitar tahun 392 H/1001 M.
Dikisahkan bahwa Ia sempat diberhentikan dari jabatannya dan diganti dengan Abdul-Rahmân ibn
Futais selama 9 bulan. Setelah itu Ia diangkat kembali pada tahun 413 H/1022 M.
60 Ia memerintah sejak 353 H/965 M s.d. 408 H/1018 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 378.
61 Ia memerintah sejak 420 H/1029 M s.d. 422 H/1031 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 71.
62 Pada saat menjadi qâdi, usianya telah melebihi 80 tahun.
63 Ia menggantikan ayahnya, `Ismâ‟îl ibn Muhammad ibn `Ismâ‟îl ibn Qurays ibn „Abbâd al-
Lakhmiy al-`Isybaily.
64 Ia memerintah sejak 429 H/1037 M s.d. 467 H/1074 M. Lihat S1, h. 121.
65 Ia memerintah sejak 461 H/1068 M s.d. 484 H/1091 M. Lihat S1, h. 127.
84
130 Sulaimân ibn Khalaf al-
Bâjiy66
(S1)
474 H/
1081 M
Ia akrab disapa `Abû al-Walîd. Ia berasal dari Andalusia
Timur dan menjabat sebagai qâdi di sana.
131 Îsâ ibn Sahl „Abdullâh al-
`Asadiy (S1)
486 H/
1093 M
Ia adalah `Abû al-`Asbagh, berasal dari Jaen dan pernah
menjadi qâdi di kota El Adoua, Afrika. Kemudian Ia
diangkat oleh Amir „Abdullâh ibn Buluqqîn ibn Bâdîs
ibn Habûs67
sebagai qâdi di Granada.
132
„Abdul-Rahmân ibn
Qâsim al-Sya‟biy al-
Mâlaqiy (S1)
499 H/
1105 M
Ia dikenal sebagai `Abû al-Mutarrif. Ia berasal dari
Malaga dan menjabat sebagai qâdi di sana.
133
Muhammad ibn Sulaimân
Khalîfah ibn „Abdil-
Wahîd al-`Ansâriy al-
Mâlaqiy (S1)
500 H/
1106 M
Ia akrab disapa `Abû „Abdillâh. Ia berasal dari Malaga
pernah menjabat sebagai qâdi di sana.
134
Muhammad ibn „Abdillâh
ibn Hasan ibn Îsâ al-
Mâlaqiy (S1)
519 H/
1125 M
Ia biasa dipanggil `Abû „Abdillâh. Ia berasal dari
Malaga dan pernah menjabat sebagai qâdi di Granada
sejak tahun 515 H/1121 M.
135 Muhammad ibn `Ahmad
ibn Rusyd (S1)
520 H/
1126 M
Ia dikenal juga sebagai `Abû al-Walîd. Disebutkan
bahwa Ia pernah menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di
Cordova.
136
`Ahmad ibn Muhammad
ibn „Ali ibn Muhammad
ibn „Abdil-„Azîz ibn
Hamdîn al-Taghlabiy (S1)
521 H/
1127 M
Ia dikenal sebagai `Abû al-Qâsim. Ia adalah seorang
qâdi di Cordova. Tercatat bahwa Ia pernah diangkat
sebagai qâdi di sana sebanyak dua kali.
137 Mûsâ ibn Hammâd (S1) -
Ia akrab disapa `Abû „Imrân. Ia diangkat sebagai qâdi di
Granada oleh Amir „Ali ibn Yûsuf ibn Tâsyufîn68
sejak
tahun 524 H/1129 M.69
138
Muhammad ibn `Ahmad
ibn Khalaf ibn `Ibrâhîm
al-Tajîbiy (S1)
529 H/
1134 M
Ia dikenal dengan sapaan Ibn al-Hâjj atau `Abû
„Abdillâh, seorang qâdî al-jamâ‘ah di Cordova. Ia
pernah diangkat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di sana
sebanyak dua kali. Ia menjabat hingga wafat.
139
„Abdul-Haqq ibn Ghâlib
ibn „Abdul-Rahmân ibn
„Atiyyah al-Mahâribiy
(S4)
546 H/
1146 M
Ia akrab disapa `Abû Muhammad. Ia berasal dari
Granada dan menjabat sebagai qâdi di Almeria sejak
tahun 529 H/1134 M.
140 „Abdullâh ibn „Umar ibn
`Ahmad al-Wahîdiy (S1)
542 H/
1147 M
Ia akrab disapa `Abû Muhammad. Ia menjabat sebagai
qâdi di Regio sejak tahun 531 H/1136 M.
141 „Îsâ ibn Yûsuf ibn „Îsâ al-
`Azdiy (S1)
543 H/
1148 M
Ia dikenal juga sebagai `Abû Mûsâ atau Ibn al-Maljûm.
Ia berasal dari kota Fez, Afrika dan menjadi qâdi di
sana.
66
Ia memiliki hubungan keluarga dengan qâdi `Abû Bakr ibn „Abdillâh ibn al-„Arabiy dan qâdi
`Abû al-Fadl „Iyâd ibn Mûsâ al-Yahsubiy yang akan disebutkan nanti.
67 Ia memerintah sejak 467 H/1074 M hingga 483 H/1090 M. Lihat S1, h. 123.
68 Ia memerintah dari 500 H/1107 M s.d. 537 H/1143 M. Lihat Louis Ma‟luf, al-Munjid, h. 539.
69 Tidak tercatat sejak kapan Ia menjabat sebagai qâdi, tetapi disebutkan bahwa Ia pernah
menjabat di sejumlah daerah dan daerah terakhir adalah Granada.
85
142
Muhammad ibn
„Abdullâh ibn
Muhammad ibn „Abdillâh
ibn `Ahmad al-„Arabiy al-
Ma‟âfiry (S1)
543 H/
1148 M
Ia akrab disapa `Abû Bakr. Ia berasal dari Sevilla dan
mulai menjabat sebagai qâdi di sana pada tahun 538 H/
1143 M.
143 „Iyâd ibn Mûsâ ibn „Iyâd
al-Yahsubiy (S1)
544 H/
1149 M
Ia adalah `Abû al-Fadl, berasal dari Ceuta. Ia pertama
kali diangkat sebagai qâdi di Ceuta pada tahun 530 H/
1135 M. Setelah itu, tercatat bahwa Ia menjabat sebagai
qâdi di Granada. Terakhir, Ia tercatat pernah menjabat
sebagai qâdi di Cordova pada tahun 531 H/1136 M.
144
Hamdîn ibn Muhammad
ibn Hamdîn al-Taghlabiy
(S1)
547 H/
1152 M
Ia menjabat sebagai qâdî al-jamâ‘ah di Cordova setelah
`Abû „Abdillâh ibn al-Hâjj, yakni sejak tahun 529
H/1134 M.70
145
Muhammad ibn „Abdillâh
ibn `Ahmad ibn Simâk al-
‘Âmiliy (S1)
-
Ia dikenal juga sebagai `Abû „Abdillâh. Ia berasal dari
Malaga dan merupakan qâdi pertama di Granada pada
pemerintahan Muwahhidûn, yakni sejak tahun 537
H/1142 M. sebelumnya, Ia pernah menjadi qâdi di
Malaga.
146 `Abû Ja‟far al-Tsa‟labiy
al-Qurtubiy (S5)
548 H/
1153 M
Ia adalah seorang qâdî al-jamâ‘ah di Cordova pada
tahun 529 H/1134 M.
147
`Abû al-Walîd ibn `Abi
„Umar ibn Muhammad
ibn „Abdillâh al-Qurtubiy
(S5)
- Ia adalah seorang qâdî al-jamâ‘ah di Cordova pada
tahun 529 H/1134 M.
148 „Umar ibn Muhammad
ibn Wâjib al-Qaisiy (S4)
557 H/
1161 M Ia berasal dari Valencia dan menjadi qâdi di sana.
149
al-Hasan ibn „Abdil-
Rahmân ibn Qâsim ibn
Hânî al-Lakhmiy (S1)
562 H/
1166 M
Ia berasal dari Granada dan menjabat sebagai qâdi di
sana sejak tahun 541 H/1146 M.
150
`Ibrâhîm ibn `Ahmad ibn
„Abdil-Rahmân al-
`Ansâriy (S1)
579 H/
1183 M
Ia dikenal sebagai al-Garnâtiy. Sesuai julukannya, Ia
berasal dari Granada. Ia pernah menjadi qâdi di
beberapa wilayah, dan Mallorca (Provinsi Murcia)
adalah kota terakhir. Ia diangkat sebagai qâdi di
Mallorca oleh Amir `Ishâq ibn Muhammad ibn
Ghaniyah al-Lamtûniy.
151
`Abû al-Qâsim `Ahmad
ibn Muhammad ibn
Khalaf al-Haufiy (S4)
588 H/
1192 M
Ia berasal dari Sevilla dan pernah diangkat menjadi qâdi
di sana sebanyak dua kali.
152
„Abdul-Mun‟im ibn
Muhammad ibn „Abdil-
Rahîm al-Khazrajiy (S1)
597 H/
1200 M
Ia adalah Ibn al-Farâs. Ia pernah menjadi qâdi di
beberapa kota, yakni Jucar (Provinsi Valencia), Guadix
(Provinsi Granada), Jaen dan terakhir di Granada.
153
Muhammad ibn `Abî al-
Qâsim `Ahmad ibn `Abî
al-Walîd Muhammad ibn
`Ahmad ibn Rusyd (S1)
598 H/
1201 M
Ia adalah ibn Rusyd al-Hafîd, cucu qâdî al-jamâ‘ah
`Abû al-Walîd (qâdi no. 135). Ia menjadi qâdî al-
jamâ‘ah di Cordova sejak tahun 532 H/ 1137 M.
disebutkan bahwa Ibn Rusyd al-Hafîd kemudian
mengundurkan diri dari jabatannya.
70
Pada 532 H/1137 M, Ia digantikan oleh `Abû al-Qâsim ibn Rusyd. Setelah `Abû al-Qâsim ibn
Rusyd mengundurkan diri, Hamdîn kembali menjabat.
86
154
Muhammad ibn „Abdillâh
Muhammad ibn `Abî
Zamânain al-Murrî al-
`Ilbîriy (S1)
602 H/
1205 M
Ia dikenal juga dengan sapaan `Abû Bakr. Ia adalah
seorang qâdi di Malaga sejak tahun 592 H/1195 M.
Selain di Malaga, disebutkan bahwa Ia pernah menjadi
qâdi di daerah lain, di antaranya Berja.
155
`Abû Dzar Mus‟ab ibn
Muhammad ibn Mas‟ûd
al-Khasyaniy (S2)
604 H/
1207M
Ia dikenal sebagai Ibn `Abi Rakb, berasal dari Jaen dan
menjabat sebagai qâdi di sana.
156
Muhammad Sâhib al-
Salâh ibn Hasan ibn
Muhammad al-`Ansâriy
al-Mâlaqiy (S1)
609 H/
1212 M
Ia berasal dari Malaga dan menjabat sebagai qâdi di
kota-kota benteng sebelah Barat yang ada di Malaga.
157
`Abû Muhammad
„Abdullâh ibn Sulaimân
ibn Dâwud ibn „Abdil-
Rahmân ibn Hautillâh al-
`Ansâriy al-Mâlaqiy (S1)
612 H/
1215 M
Ia adalah Ibn Hautillâh, berasal dari Malaga. Ia pernah
menjadi qâdi di sejumlah daerah secara berurutan, yaitu
Sevilla, Mallorca, Murcia, Cordova, Ceuta, Salé
(Afrika) dan terakhir (kembali) menjadi qâdi di Murcia.
158
`Abû al-Khattâb `Ahmad
ibn Muhammad ibn
„Umar ibn Muhammad
ibn Wâjib al-Qaisiy (S1)
614 H/
1217 M
Ia adalah anak „Umar ibn Muhammad ibn Wâjib al-
Qaisiy (qâdi no. 148). Ia tercatat pernah menjadi qâdi di
kota Jativa (Provinsi Valencia), kemudian dipindah ke
kota Valencia.
159
`Ahmad ibn Yazîd ibn
„Abdil-Rahman ibn
`Ahmad ibn Baqî ibn
Makhlad al-`Umawiy (S1)
625 H/
1127 M
Ia adalah `Abû al-Qâsim. Ia berasal dari Cordova dan
pernah menjadi qâdî al-jamâ‘ah di Maroko. Ia
kemudian dipindah ke kota asalnya (Cordova) dan
menjadi qâdi di sana.
160
`Abû al-Hasan „Ali ibn
„Abdil-Malik ibn Yahya
al-Kitâmiy al-Hamîdiy
(S4)
628 H/
1230 M
Ia berasal dari Ceuta dan menjabat sebagai qâdi di
Sijilmassa, Afrika. Ia menjabat di sana hingga wafat.
161
`Abû „Abdillâh
Muhammad ibn al-Hasan
ibn Muhammad ibn al-
Hasan al-Judzâmiy al-
Nubâhiy (S1)
631 H/
1233 M
Ia berasal dari Malaga dan menjadi qâdi di sana pada
pemerintahan Amir Muhammad ibn Yûsuf ibn Hûd (w.
634 H/1237 M), tepatnya sejak tahun 626 H/1228 M.
Disebutkan bahwa Ia menjabat sekitar 4 tahun.
162
`Abû Sulaimân Rabî‟ ibn
„Abdil-Rahmân ibn Rabî‟
al-`Asy‟âriy (S1)
633 H/
1235 M
Ia adalah keturunan Bani Rabî‟ yang berasal dari Regio.
Ia diangkat sebagai qâdi di Cordova (setelah `Abû al-
Qâsim) oleh Amir Muhammad ibn Yûsuf ibn Hûd.71
163
`Abû al-„Abbâs `Ahmad
ibn Muhammad ibn al-
Ghammâz (S1)
633 H/
1235 M Ia adalah seorang qâdî al-jamâ‘ah di Afrika.
164
`Abû al- Rabî‟ Sulaimân
ibn Mûsâ ibn Sâlim al-
Himyâriy al-Kalâ‟iy (S1)
634 H/
1236 M
Ia berasal dari Valencia dan menjabat sebagai qâdi di
sana hingga Ia syahid dalam salah satu peperangan di
sana, pada usia 70 tahun kurang 1 bulan.
165
Muhammad ibn „Ali ibn
Khadr ibn Harûn al-
Ghassâniy (S1)
636 H/
1238 M
Ia akrab disapa `Abû „Abdillâh ibn „Askar, seorang qâdi
di Malaga. Ia menjadi qâdi di sana hingga Ia wafat.
71
Ia disebut sebagai qâdi terakhir Cordova sebelum akhirnya kota tersebut jatuh ke tangan
penguasa Kristen, yakni pada tahun 633 H/1235 M. Ia kemudian berpindah ke kota Sevilla dan wafat
di sana.
87
Tabel 4.1 di atas menyajikan informasi tentang para qâdi yang pernah
bertugas di wilayah yurisdiksi Andalusia secara umum. Tercatat 165 qâdi pernah
ditugaskan menangani urusan peradilan di berbagai kota yang ada di Andalusia.
Selanjutnya, para qâdi yang telah terdata di atas dapat dikelompokkan berdasarkan
wilayah tugas (kompetensi relatif) mereka, yaitu sebagai berikut.
Tabel 4.2
Para Qâdi di Andalusia Timur (menurut tahun penugasan)
No Nama Kota dan Para Qâdi yang Bertugas Wafat Asal
Murcia
1 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
Tudmîr
2 Fadl ibn ‘Amîrah al-Kinâniy 197 H Tudmîr
3 ‘Abdul-Rahmân ibn al-Fadl ibn ‘Amîrah ibn Râsyid al-Kinâniy al- ‘Utaqiy 227 H Tudmîr
4 Fadl ibn al-Fadl ibn ‘Amîrah ibn Râsyid al-‘Utaqiy 265 H Tudmîr
5 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn `Asbagh ibn Muhammad al-
Bayyâniy 388 H Cordova
6 Walîd ibn ‘Abd al-Malik al-‘Utaqiy 393 H Tudmîr
Mallorca
7 `Ibrâhîm ibn `Ahmad ibn „Abdil-Rahmân al-`Ansâriy 579 H Granada
8 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
Valencia
9 Jahhâf ibn Yumn 327 H Valencia
10 „Umar ibn Muhammad ibn Wâjib al-Qaisiy 557 H Valencia
11 `Abû al-Khattâb `Ahmad ibn Muhammad ibn „Umar ibn Muhammad ibn
Wâjib al-Qaisiy 614 H Valencia
12 `Abû al- Rabî‟ Sulaimân ibn Mûsâ ibn Sâlim al-Himyâriy al-Kalâ‟iy 634 H Valencia
Jucar
13 „Abdul-Mun‟im ibn Muhammad ibn „Abdil-Rahîm al-Khazrajiy 597 H Valencia
Jativa
14 `Abû al-Khattâb `Ahmad ibn Muhammad ibn „Umar ibn Muhammad ibn
Wâjib al-Qaisiy 614 H Valencia
Zaragoza
15 Hassân ibn Yasâr al-Hudzaliy - Zaragoza
16 ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Zarqûn al-Murâdiy - Zaragoza
17 ‘Abdullâh ibn `Abî al-Nu‘mân 275 H Zaragoza
18 `Ibrâhîm ibn Hârûn ibn Sahlin 296 H Zaragoza
19 ‘Abdul-Rahmân ibn ‘Abdillâh ibn `Ahmad ibn ‘Abdillâh 386 H Zaragoza
20 ‘Abdullâh ibn `Ahmad ibn Muhammad al-`Ansâriy 392 H Zaragoza
21 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn `Ibrâhîm ibn Muhammad ibn „Abdillâh 400 H Sidonia
88
Tabel 4.2 memperlihatkan penyebaran para qâdi di sentra-sentra peradilan
yang ada di wilayah Andalusia Timur. Jumlah qâdi terbanyak ditemukan di kota
Zaragoza, yaitu sebanyak 7 orang qâdi. Selanjutnya terdapat 5 qâdi di kota
Tudmîr, 4 qâdi di kota Valencia, 2 qâdi di kota Tudela, 2 qâdi di kota Mallorca, 2
qâdi di kota Huesca, 2 qâdi di Andalusia Timur72
, serta masing-masing 1 qâdi di
kota Murcia, Jucar, dan Jativa. Jumlah qâdi yang terdata di Andalusia Timur
sebanyak 27 orang qâdi. Mayoritas para qâdi tersebut berasal dari kota-kota yang
termasuk dalam wilayah Andalusia Timur, dan hanya sedikit yang berasal dari
kota-kota luar, seperti Cordova, Malaga, dan Granada.
Tabel 4.3
Para Qâdi di Andalusia Tengah (menurut tahun penugasan)
72
Sumber penelitian ini tidak menyebutkan kota yang dimaksud secara spesifik. Term yang
digunakan dalam sumber yang menjadi rujukan adalah term “syarq al-`Andalus.” Dalam referensi
yang lain ditemukan bahwa secara khusus, term “syarq al-`Andalus” digunakan untuk merujuk ke
beberapa kota tertentu di Andalusia Timur, yaitu Murcia, Alicante dan Valencia. Lihat Sanaa Osseiran,
Cultural Symbiosis in al-Andalus: A Metaphor for Peace, (Beirut: UNESCO, 2004), h. 37.
Tudela
22 Muhammad ibn Salmah ibn Habîb ibn Qâsim ibn al-Sadafiy - Tudela
23 ‘Umar ibn Yûsuf ibn Mûsâ ibn Fahd ibn Khusaib al-`Umawiy 337 H Tudela
Huesca
24 ‘Abdul-Salâm ibn Walîd - Huesca
25 Muhammad ibn Sulaimân al-Ma‘afiriy 295 H Huesca
Andalusia Timur
26 Yûnus Ibn „Abdullâh ibn Muhammad ibn Mugîts 429 H Andalusia
Timur
27 Sulaimân ibn Khalaf al-Bâjiy 474 H Andalusia
Timur
No Nama Kota dan Para Qâdi yang Bertugas Wafat Asal
Cordova
1 Mu‟âwiyah ibn Sâlih al-Hadromiy 168 H Syam
2 Yazîd ibn Yahyâ ibn Syuraih ibn ‘Amrû ibn ‘Auf - -
89
3 Yahya ibn Zaid al-Tajîbiy 172 H Afrika
4 ‘Abdul-Rahmân ibn Tarîf - -
5 ‘Amrû ibn Syarâhîl ibn Muhammad al-Ma‘âfiriy - Cordova
6 Nasr ibn Zarîf al-Yahsubiy - -
7 al-Mus‟ab ibn „Imrân - Syam
8 Muhammad ibn Basyîr al-Ma‟âfiriy 198 H Beja
9 Faraj ibn Kinânah al-Kinâniy - Sidonia
10 Hâmid ibn Yahya 207 H Cordova
11 Sa‘îd ibn Muhammad ibn Basyîr al-Ma‟âfiriy 210 H Beja
12 Yahyâ ibn Ma‘mar al-`Alhâniy - Sevilla
13 `Uswâr ibn ‘Uqbah 213 H Cordova
14 `Ibrâhîm ibn al-„Abbâs al-Quraisyî - -
15 Yukhâmir ibn ‘Utsmân al-Sya‘bâniy - Cordova
16 „Alî ibn `Abî Bakr al-Kilâbî - Cabra
17 Mu‟âdz ibn „Utsmân al-Sya‘bâniy - Jaen
18 Muhammad ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-Rahmân al-Lakhmiy - Cordova
19 Sa‟îd ibn Sulaimân al-Ghâfiqiy - Ghâfiq
20 Masrûr ibn Muhammad al-Ghâfiqiy Cordova
21 `Ahmad ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-Rahman al-Lakhmiy - Sidonia
22 ‘Amrû ibn ‘Abdillâh al-Qab‘ah 273 H Cordova
23 ‘Âmir ibn Mu‘âwiyah al-Lakhmiy - Regio
24 al-Nadr ibn Salamah al-Kilâbiy al-Qîsiy 302 H Cabra
25 Mûsâ ibn Muhammad ibn Ziyâd al-Lakhmiy - Sidonia
26 Muhammad ibn Salamah - Sidonia
27 Khalaf ibn Hâmid ibn al-Faraj ibn Kinânah - Sidonia
28 `Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyâd ibn ‘Abdil-Rahmân al-Lakhmiy 312 H Cordova
29 `Aslam ibn „Abdil-„Azîz 317 H Cordova
30 `Ahmad ibn Baqî ibn Makhlad 324 H Jaen
31 ‘Ubaidûn ibn Muhammad ibn Fahd ibn al-Hasan ibn ‘Ali al-Jahniy 324 H Cordova
32 `Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn `Abî Tâlib al-`Asbahî 326 H -
33 Mûsâ ibn Hârûn ibn Mûsâ ibn' „Îsâ - Huesca
34 Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy 339 H Cordova
35 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Abî Îsâ - -
36 Mundzir ibn Sa‘îd ibn „Abdillâh ibn „Abdil-Rahmân ibn Qâsim ibn
„Abdil-Malik ibn Najîh al-Ballûtiy 355 H Cordova
37 Muhammad ibn `Ishâq ibn al-Salîm 367 H -
38 Muhammad ibn `Ishâq ibn Mundzir ibn `Ibrâhîm ibn Muhammad ibn al-
Salîm ibn ‘Akramah 367 H Cordova
39 Muhammad ibn Yabqâ ibn Muhammad ibn Zarb ibn Yazîd ibn Maslamah 380 H -
40 Muhammad ibn Yabqâ ibn Zarb 381 H -
41 Muhammad ibn Yahya ibn Zakariyyâ ibn Yahyâ al-Tamîmiy 394 H -
42 „Abdul-Rahmân ibn Muhammad ibn Îsâ ibn Futais 402 H -
43 Yahya ibn „Abdil-Rahmân ibn Wâfid al-Lakhmiy 404 H Cordova
44 „Abdul-Rahmân ibn Futais - -
45 `Ahmad ibn „Abdillâh ibn Dzakwân - -
46 `Abû al-Mutarrif „Abdul-Rahmân ibn `Ahmad ibn Sa‘îd ibn Muhammad
ibn Bisyr ibn Gharsiyyah 422 H -
47 Muhammad ibn `Ahmad ibn Îsâ ibn Manzûr al-Qaisy 464 H Sevilla
48 Muhammad ibn `Ahmad ibn Rusyd 520 H -
90
49 Muhammad ibn `Ahmad ibn Khalaf ibn `Ibrâhîm al-Tajîbiy 529 H Afrika
50 `Ahmad ibn Muhammad ibn „Ali ibn Muhammad ibn „Abdil-„Azîz ibn
Hamdîn al-Taghlabiy 521 H -
51 „Iyâd ibn Mûsâ ibn „Iyâd al-Yahsubiy 544 H Ceuta
52 Hamdîn ibn Muhammad ibn Hamdîn al-Taghlabiy 547 H -
53 `Abû Ja‟far al-Tsa‟labiy al-Qurtubiy 548 H Cordova
54 `Abû al-Walîd ibn `Abi „Umar ibn Muhammad ibn „Abdillâh al-Qurtubiy - Cordova
55 Muhammad ibn `Abû al-Qâsim `Ahmad ibn `Abî al-Walîd Muhammad
ibn `Ahmad ibn Rusyd 598 H -
56 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
57 `Ahmad ibn Yazîd ibn „Abdil-Rahman ibn `Ahmad ibn Baqî ibn Makhlad
al-`Umawiy 625 H Cordova
58 `Abû Sulaimân Rabî‟ ibn „Abdil-Rahmân ibn Rabî‟ al-`Asy‟âriy 633 H Regio
Archidona
59 ‘Îsâ ibn ‘Abdil-Rahmân ibn Habîb ibn Wâqif ibn Ya‘îsy ibn ‘Abdil-
Rahmân ibn Marwân ibn Saktsân 366 H Sidonia
Fahs al-Ballût
60 Fadlullâh ibn Sa‘îd ibn ‘Abdillâh ibn „Abdil-Rahmân ibn Najîh al-
Kazaniy 335 H Cordova
Granada
61 `Abû „Abdillâh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Yahya ibn „Abdillâh ibn al-
Hasan al-Judzâmiy al-Nubâhiy 463 H Malaga
62 Muhammad ibn „Abdillâh ibn Hasan ibn Îsâ al-Mâlaqiy 519 H Malaga
63 Îsâ ibn Sahl „Abdullâh al-`Asadiy 486 H Jaen
64 „Iyâd ibn Mûsâ ibn „Iyâd al-Yahsubiy 544 H Ceuta
65 Mûsâ ibn Hammâd - -
66 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Ahmad ibn Simâk al-‘Âmiliy - Malaga
67 al-Hasan ibn „Abdil-Rahmân ibn Qâsim ibn Hânî al-Lakhmiy 562 H Granada
68 „Abdul-Mun‟im ibn Muhammad ibn „Abdil-Rahîm al-Khazrajiy 597 H -
Elvira
69 `Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn `Abî Tâlib al-`Asbahî 326 H -
70 Muhammad ibn Yahyâ ibn ‘Umar Lubâbah 330 H Cordova
71 Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy 339 H Cordova
72 Yahyâ ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy - Cordova
73 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Abî Îsâ - -
74 Abdullâh ibn Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn `Abî Dulaim 351 H Cordova
75 Mutarrif ibn ‘Îsâ ibn Labîb ibn Muhammad al-Ghassânî 357 H Elvira
76 Khalaf ibn Farah ibn ‘Utsmân ibn Jarîr al-Kilâ‘î 371 H Elvira
Guadix
77 „Abdul-Mun‟im ibn Muhammad ibn „Abdil-Rahîm al-Khazrajiy 597 H -
Jaen
78 `Ahmad ibn al-Walîd ibn Bâhiliy - Toledo
79 Muhammad ibn Yahya ibn Zakariyyâ ibn Yahyâ al-Tamîmiy 394 H -
80 „Abdul-Mun‟im ibn Muhammad ibn „Abdil-Rahîm al-Khazrajiy 597 H -
81 `Abû Dzar Mus‟ab ibn Muhammad ibn Mas‟ûd al-Khasyaniy 604 H Jaen
Almeria
82 „Abdul-Haqq ibn Ghâlib ibn „Abdul-Rahmân ibn „Atiyyah al-Mahâribiy 546 H Granada
Pechina
91
83 Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy 339 H Cordova
84 Sa‘îd ibn ‘Utsmân ibn Manâzil 345 H Pechina
85 Yahyâ ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy - Cordova
86 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Abî Îsâ - -
Berja
87 Muhammad ibn „Abdillâh Muhammad ibn `Abî Zamânain al-Murrî al-
`Ilbîriy 602 H Elvira
Toledo
88 Ziyâd ibn ‘Abdillâh al-`Ansâriy 212 H -
89 `Ibrâhîm ibn Yahya ibn Barwana - Toledo
90 `Ahmad ibn al-Walîd ibn Bâhiliy - Toledo
91 Zakariyyâ ibn Qatâm - Toledo
92 Syabtûn ibn ‘Abdillâh 212 H Toledo
93 Walîd ibn ‘Abd al-Khâliq ibn ‘Abd al-Jabbâr ibn Qais 225 H Toledo
94 Yahya ibn Muhammad ibn Zakariyyâ` 293 H Toledo
95 `Ishâq ibn Dzûnâbâ 303 H Toledo
96 ‘Îsâ ibn Muhammad ibn Dînâr ibn Wâqid - Toledo
97 `Ahmad ibn Duhaim ibn Khalîl ibn ‘Abdil-Jabbâr ibn Harb 338 H Cordova
98 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Abî Îsâ - -
99 Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abdil-‘Azîz 367 H Cordova
100 Qâsim ibn `Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Utsmân ibn ‘Abbâs - Toledo
101 ‘Abdul-Salâm ibn ‘Abdillâh ibn Ziyâd ibn `Ahmad ibn ‘Abdil-Rahmân al-
Lakhmiy 371 H Cordova
102 `Ahmad ibn `Ishâq ibn Marwân ibn Jâbiri al-Ghâfiqiy 372 H Cordova
103 ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn `Umayyah al-`Ansâriy 372 H Toledo
104 ‘Abdullâh ibn al-Hârits ibn Mantîl 373 H Toledo
105 Muhammad ibn Najâh ‘Abdirrahmân ibn ‘Alqamah ibn Manqûs 376 H Cordova
106 ‘Umar ibn Maslamah ibn Wardân al-‘Âmiriy 383 H Ecija
107 Walîd ibn ‘Abd al-Malik al-‘Utaqiy 393 H Tudmîr
108 Abû al-Qâsim al-Qurtubiy 462 H Cordova
Guadalajara
109 Muhammad ibn ‘Azrah 313 H Guadalajara
110 `Abû Wahb ibn Muhammad ibn `Abî Nakhîlah - Guadalajara
111 Faraj ibn Salamah ibn Zuhair ibn Mâlik al-Balawiy - Cordova
112 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn `Asbagh ibn Muhammad al-
Bayyâniy 388 H Cordova
Sidonia
113 ‘Abbâs ibn Nâsih al-Tsaqafiy - Algeciras
114 ‘Abdul-Wahhâb ibn ‘Abbâs ibn Nâsih - Algeciras
115 Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhâb ibn ‘Abbâs ibn Nâsih - Algeciras
116 Muhammad ibn Yûsuf - Sidonia
117 al-Nadr ibn Salamah al-Kilâbiy al-Qîsiy 302 H Cabra
118 Khalaf ibn Hâmid ibn al-Faraj ibn Kinânah - Sidonia
Malaga
119 `Abû „Abdillâh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Yahya ibn „Abdillâh ibn al-
Hasan al-Judzâmiy al-Nubâhiy 463 H Malaga
120 „Abdul-Rahmân ibn Qâsim al-Sya‟biy al-Mâlaqiy 499 H Malaga
121 Muhammad ibn Sulaimân Khalîfah ibn „Abdil-Wahîd al-`Ansâriy al-
Mâlaqiy 500 H Malaga
92
Tabel 4.3 menyajikan pengelompokan para qâdi yang bertugas di sentra-
sentra peradilan yang termasuk dalam wilayah Andalusia Tengah. Dengan sentra
peradilan yang cukup banyak, yakni mencapai 16 kota sentra peradilan, wilayah
Andalusia Tengah dipadati oleh 136 qâdi dengan rincian: 58 qâdi di Cordova, 21
qâdi di Toledo, 8 qâdi di Granada, 8 qâdi di Elvira, 8 qâdi di Regio, 7 qâdi di
Malaga, 6 qâdi di Sidonia, 4 qâdi di Jaen, 4 qâdi di Pechina, 4 qâdi di Guadalajara,
3 qâdi di Algeciras, serta masing-masing 1 qâdi di kota Berja, Almeria,
Archidona, Fahs al-Ballût, dan Guadix.
Adapun berdasarkan daerah asal para qâdi tersebut, terlihat bahwa para qâdi
yang bertugas di Cordova memiliki latar belakang daerah yang paling beragam
dibanding para qâdi yang bertugas di kota selain Cordova. Beberapa qâdi yang
bertugas di Cordova bahkan berasal dari luar Andalusia, seperti Syam dan Afrika.
122 Muhammad ibn „Abdillâh Muhammad ibn `Abî Zamânain al-Murrî al-
`Ilbîriy 602 H Elvira
123 Muhammad Sâhib al-Salâh ibn Hasan ibn Muhammad al-`Ansâriy al-
Mâlaqiy 609 H Malaga
124 `Abû „Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hasan al-
Judzâmiy al-Nubâhiy 631 H Malaga
125 Muhammad ibn „Ali ibn Khadr ibn Harûn al-Ghassâniy 636 H -
Algeciras
126 ‘Abbâs ibn Nâsih al-Tsaqafiy - Algeciras
127 ‘Abdul-Wahhâb ibn ‘Abbâs ibn Nâsih - Algeciras
128 Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhâb ibn ‘Abbâs ibn Nâsih - Algeciras
Regio
129 Mukhlid ibn Yazîd al-Bajaliy - -
130 Faraj ibn Salamah ibn Zuhair ibn Mâlik al-Balawiy - Cordova
131 Muhammad ibn Mas‘ud al-Khatîb 379 H Cordova
132 Muhammad ibn `Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya ibn Mufarrij 380 H Cordova
133 al-Hasan ibn „Abdillâh al-Judzâmiy al-Mâlaqiy - Regio
134 `Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn al-Hasan 392 H Regio
135 Muhammad ibn Yahya ibn Zakariyyâ ibn Yahyâ al-Tamîmiy 394 H -
136 „Abdullâh ibn „Umar ibn `Ahmad al-Wahîdiy 542 H -
93
Sedangkan para qâdi yang bertugas di kota-kota selain Cordova, seperti Toledo,
Malaga dan Regio, mayoritas berasal dari kota-kota yang terletak di wilayah
Andalusia Tengah.
Tabel 4.4
Para Qâdi di Andalusia Barat (menurut tahun penugasan)
No Nama Kota dan Para Qâdi yang Bertugas Wafat Asal
Sevilla
1 Muhammad ibn Junâdah al-`Ilhânî 296 H Sevilla
2 ‘Alâ` ibn Tamîm ibn ‘Alâ` ibn ‘Âsim 307 H Ecija
3 Suhaib ibn Manî‘ 318 H Cordova
4 ‘Abdullâh ibn Khalaf al-Lakhmiy al-„Abbâsiy 330 H Sevilla
5 `Ismâ‘îl ibn Muhammad ibn `Ismâ‘îl ibn `Abî al-Fawâris 357 H Cordova
6 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn Muhammad ibn Sayyâr - Cordova
7 Muhammad ibn al-Hasan ibn ‘Abdillâh al-Zubaidiy 379 H Sevilla
8 `Ismâ‟îl ibn Muhammad ibn `Ismâ‟îl ibn Qurays ibn „Abbâd al-Lakhmiy al-
`Isybaily 414 H Sevilla
9 Muhammad ibn `Ismâ‟îl 433 H Sevilla
10 Muhammad ibn „Abdullâh ibn Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Ahmad al-
„Arabiy al-Ma‟âfiry 543 H Sevilla
11 `Abû al-Qâsim `Ahmad ibn Muhammad ibn Khalaf al-Haufiy 588 H Sevilla
12 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
Ecija
13 Sa‘îd ibn Muhammad ibn Basyîr al-Ma‟âfiriy 210 H Beja
14 ‘Abdul-Rahmân ibn Mûsâ al-Lahwâriy - Ecija
15 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn Muhammad ibn Sayyâr - Cordova
16 `Asbagh ibn Qâsim ibn `Asbagh 363 H Ecija
17 Muhammad ibn `Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya ibn Mufarrij 380 H Cordova
Badajoz
18 `Ismâ‘îl ibn Mutarrif ibn Faraj ibn ‘Ali - Badajoz
Merida
19 Sa‟îd ibn Sulaimân al-Ghâfiqiy - Ghâfiq
20 Sulaimân ibn `Aswad al-Ghâfiqiy - Ghâfiq
Beja
21 ‘Abdul-Salâm ibn ‘Aliy 318 H Pechina
22 Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abdil-‘Azîz 367 H Cordova
Cabra
23 Mundzir ibn al-Sabâh ibn ‘Ismah 255 H Cabra
24 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn Muhammad ibn Sayyâr - Cordova
25 Muhammad ibn Yûsuf ibn Sulaimân al-Jahniy al-Khatîb 372 H -
94
Tabel 4.4 menampilkan data para qâdi yang tersebar di sentra-sentra
peradilan wilayah Andalusia Barat. Dalam kurun waktu ±500 tahun (sejak 138 H
/756 M s.d. 632 H/1235 M), tercatat 25 qâdi yang pernah bertugas di sentra-sentra
peradilan di Andalusia Barat. Secara berurutan, penyebaran 25 qâdi tersebut; 12
qâdi di Sevilla, 5 qâdi di Ecija, 3 qâdi di Cabra, 2 qâdi di Merida, 2 qâdi di Beja,
dan 1 qâdi di Badajoz.
Tabel 4.5
Para Qâdi di Afrika, Maghribi (menurut tahun penugasan)
No Nama Kota dan Para Qâdi yang Bertugas Wafat Asal
Maroko
1 `Ahmad ibn Yazîd ibn „Abdil-Rahman ibn `Ahmad ibn Baqî ibn Makhlad
al-`Umawiy 625 H Cordova
Fez
2 „Îsâ ibn Yûsuf ibn „Îsâ al-`Azdiy 543 H Fez
Ceuta
3 ‘Îsâ ibn ‘Alâ` ibn Nadzîr ibn `Aiman 306 H Ceuta
4 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Muhammad ibn Mahsûd al-Hawâriy 401 H Houara
5 „Iyâd ibn Mûsâ ibn „Iyâd al-Yahsubiy 544 H Ceuta
6 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
Qayrawan
7 „Abd al-Salâm ibn Sa‟îd ibn Habîb al-Tanûkhiy 240 H Qayrawan
8 Muhammad ibn Sahnûn 256 H Qayrawan
El Adoua
9 Îsâ ibn Sahl „Abdullâh al-`Asadiy 486 H Jaen
Sijilmassa
10 `Abû al-Hasan „Ali ibn „Abdil-Malik ibn Yahya al-Kitâmiy al-Hamîdiy 628 H Ceuta
Melilla
11 `Ahmad ibn al-Fath al-Malîlî 332 H Melilla
Salé
12 `Abû Muhammad „Abdullâh ibn Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-Rahmân
ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-Mâlaqiy 612 H Malaga
Afrika
13 `Asad ibn al-Furât ibn Sinân 213 H -
14 ‘Îsâ ibn Miskîn ibn Mansur - Afrika
15 `Abû al-Qâsim Hammâs ibn Marwân ibn Simâk al-Hamadzâniy - -
16 `Abû al-„Abbâs `Ahmad ibn Muhammad ibn al-Ghammâz 633 H -
95
Tabel 4.5 menyajikan penyebaran para qâdi yang bertugas di sentra-sentra
peradilan di wilayah Afrika (Maghribi). Sebanyak 16 qâdi bertugas di sentra-
sentra Peradilan Afrika; 4 qâdi di Ceuta, 2 qâdi di Qayrawan, dan masing-masing
1 qâdi di Maroko, Fez, El Adoua, Sijilmassa, Melilla dan Salé. Selain itu, terdapat
4 qâdi yang tercatat bertugas di wilayah Afrika, namun tidak ditemukan informasi
detil tentang kota yang menjadi wilayah hukumnya. Mayoritas para qâdi yang
bertugas di daerah Afrika (Maghrib) berasal dari kota-kota yang termasuk dalam
wilayah Afrika, selain beberapa qâdi yang berasal dari Malaga, Cordova dan Jaen.
B. Sentra-sentra Peradilan Islam di Andalusia
Penelitian ini terfokus pada praktik pembinaan para qâdi di Andalusia,
dalam hal mutasi dan promosi. Oleh karena itu, pendataan sentra-sentra peradilan
di Andalusia merupakan sebuah keharusan. Sentra-sentra peradilan di Andalusia
dapat diketahui melalui penelusuran kota-kotanya – baik kecil atau besar – yang di
dalamnya terdapat sejumlah qâdi yang ditugaskan menangani urusan peradilan.
Sebagaimana telah dipaparkan bahwa kekuasaan Islam di semenanjung
Iberia meliputi wilayah Andalusia dan sebagian wilayah Afrika (Maghribi).
Wilayah Andalusia – terbagi ke dalam 3 (tiga) bagian utama, yakni Timur,
Tengah, dan Barat – dan sebagian Afrika. Masing-masing wilayah terdiri dari
kota-kota utama dan bagian yang dapat dipetakan sebagai berikut.73
73
Sumber pemetaan kota-kota wilayah Andalusia dan sebagian Afrika telah dipaparkan di Bab
III.
96
a. Andalusia Timur
- Provinsi Murcia; terdiri dari kota Murcia, Tudmîr, Cartagena, Denia, Ibiza,
Mallorca, Alicantet, dan Menorca.
- Provinsi Valencia; terdiri dari kota Valencia, Jucar, El Puig, dan Jativa.
- Provinsi Alpuente; terdiri dari kota Alpuente.
- Provinsi Albaracin; terdiri dari kota Albaracin.
- Provinsi Zaragoza; terdiri dari kota Zaragoza, Tudela, Barbastro, Huesca,
Tortosa, dan Lerida.
b. Andalusia Tengah
- Provinsi Cordova; terdiri dari kota Cordova, Archidona, Belalcazar, Fahs al-
Ballût, dan Levante.
- Provinsi Granada; terdiri dari kota Granada, Las Navas de Tolosa, Baza,
Elvira, Guadix, Albaicin, Baeza, dan Jaen.
- Provinsi Almeria; terdiri dari kota Almeria, Pechina, Berja, dan Lorca.
- Provinsi Toledo; terdiri dari kota Toledo, Guadalajara, dan Salamanca.
- Provinsi Carmona; terdiri dari kota Carmona, Moron de la Frontera, Arcos,
Sidonia, dan Tarif.
- Provinsi Malaga; terdiri dari kota Malaga, Velez-Malaga, Ronda, Algeciras,
Estepona, Marbella, Comares, Regio, dan Multamâs.
c. Andalusia Barat
- Provinsi Sevilla; terdiri dari kota Sevilla, Niebla, Ecija, Estepa, Cadiz, dan
Mertola.
97
- Provinsi Badajoz; terdiri dari kota Badajoz, Merida, Lisbon, Beja Santarem,
dan Cabra.
- Provinsi Huelva; terdiri dari kota Huelva.
- Provinsi Silves; terdiri dari kota Silves dan Algarve.
d. Afrika (Maghribi); terdiri dari wilayah Maroko (pusat pemerintahan) dan kota-
kota Fez, Rabat, Meknes, Tangier, Ceuta, Tlemcen, Tripoli, Bajayah, Beja, El
Adoua, Qayrawan, Sijilmassa, Salé, serta Melilla.
Selanjutnya, berdasarkan data yang ada, ditemukan sejumlah kota yang
menjadi sentra-sentra peradilan di Andalusia. Pada kota-kota tersebut terdapat
seorang atau sejumlah qâdi yang ditugaskan menangani masalah peradilan pada
pemerintahan Islam di Andalusia. Kota-kota yang dimaksud tersebar di penjuru
wilayah Andalusia dan sebagian wilayah Afrika yang dapat dikelompokkan
sebagai berikut.
Tabel 4.6
Sentra-sentra Peradilan di Andalusia
Wilayah Nama Kota
Andalusia
Timur
Murcia, Tudmîr, Mallorca, Valencia, Jucar, Jativa, Zaragoza, Tudela, dan
Huesca. Andalusia
Tengah
Cordova, Archidona, Fahs al-Ballût, Granada, Elvira, Guadix, Jaen, Almeria,
Pechina, Berja, Toledo, Guadalajara, Sidonia, Malaga, Algeciras, dan Regio.
Andalusia
Barat Sevilla, Ecija, Badajoz, Merida, Beja, dan Cabra.
Afrika
(Maghribi) Maroko, Fez, Ceuta, Qayrawan, El Adoua, Sijilmassa, Melilla, dan Salé.
Tabel 4.6 di atas menunjukkan dominasi wilayah Andalusia Tengah terkait
sentra peradilan. Hal tersebut agaknya disebabkan karena Cordova, sentra
pemerintahan Islam di Andalusia, terletak di wilayah Andalusia Tengah.
98
Berdasarkan pemetaan, Andalusia Tengah merupakan wilayah yang terdiri dari
kota yang paling banyak, yakni 34 kota. Sementara wilayah Andalusia Timur dan
Barat serta wilayah Afrika, masing-masing hanya terdiri dari sekitar ½ dari jumlah
keseluruhan kota di Andalusia Tengah; Andalusia Timur terdiri dari 20 kota,
Andalusia Barat dan Afrika masing-masing terdiri dari 15 kota. Oleh karena itu,
sentra-sentra peradilan di Andalusia Tengah mencapai jumlah terbanyak, yakni 16
kota. Sementara itu, di Andalusia Timur dijumpai 9 kota sentra peradilan, di
Andalusia Barat hanya ditemukan 6 kota sentra peradilan, dan di Afrika terdapat 8
kota sentra peradilan.
Kemudian berdasarkan data yang telah dipaparkan pada tabel 4.1, ditemukan
bahwa dari 165 qâdi yang terdata, 126 orang diantaranya hanya bertugas sebagai
qâdi di tingkat pertama. Sementara itu, 39 orang lainnya pernah bertugas sebagai
qâdî al-jamâ‘ah di tingkat banding. Kompetensi relatif para qâdî al-jamâ‘ah
tersebut berkisar pada kota Cordova, Granada, Toledo, dan Maroko. Dari 39 qâdî
al-jamâ‘ah tersebut, tercatat 1 qâdî al-jamâ‘ah di Granada, 1 qâdî al-jamâ‘ah di
Maroko, 1 qâdî al-jamâ‘ah di Toledo, 1 qâdî al-jamâ‘ah di wilayah Afrika74
, dan
35 qâdî al-jamâ‘ah sisanya menjabat di Cordova.
74
Tidak ditemukan informasi detil terkait wilayah hukumnya.
99
C. Sistem Pembinaan (mutasi-promosi) Para Qâdî di Andalusia
Selanjutnya akan dipaparkan pemetaan para qâdi yang pernah mengalami
perpindahan jabatan dan atau wilayah hukum tempat bertugas. Hal tersebut
dilakukan untuk melihat sistem pembinaan (mutasi-promosi) para qâdi masa
lampau di Andalusia. Pemetaan yang dimaksud dapat disajikan sebagai berikut.
Tabel 4.7
Data Perpindahan Para Qâdi
No Nama Qâdi Perpindahan Keterangan
1 Yahya ibn Zaid al-Tajîbiy Jenjang Jabatan Cordova (Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah)
2 Sa‘îd ibn Muhammad ibn Basyîr al-
Ma‟âfiriy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Ecija => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
3 `Ahmad ibn al-Walîd ibn Bâhiliy Wilayah Toledo => Jaen/ Qâdi => Qâdi
4 Yahyâ ibn Ma‘mar al-`Alhâniy Jenjang Jabatan Cordova (Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah)
5 Sa‟îd ibn Sulaimân al-Ghâfiqiy Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Merida => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
6 Sulaimân ibn `Aswad al-Ghâfiqiy Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Merida => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
7 al-Nadr ibn Salamah al-Kilâbiy al-
Qîsiy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Sidonia => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
8 Khalaf ibn Hâmid ibn al-Faraj ibn
Kinânah
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Cordova => Sidonia/
Qâdî al-Jamâ‘ah => Qâdi
9 `Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn `Abî Tâlib
al-`Asbahî
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Elvira => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
10 Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Yahyâ
ibn Yahyâ ibn Yahyâ al-Laitsiy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Elvira & Pechina => Cordova/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
11 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Abî Îsâ Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Toledo & Pecina => Elvira =>
Cordova/ Qâdi => Qâdi => Qâdî al-
Jamâ‘ah
12
Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn
Muhammad ibn Qâsim ibn
Muhammad ibn Sayyâr
Wilayah Ecija & Cabra => Sevilla/
Qâdi => Qâdi
13 Qâsim ibn `Ahmad ibn Muhammad
ibn ‘Utsmân ibn ‘Abbâs Wilayah
Toledo => Badajoz/
Qâdi => Qâdi
14 Qâsim ibn Muhammad ibn Qâsim ibn
`Asbagh ibn Muhammad al-Bayyâniy Wilayah
Tudmîr => Guadalajara/
Qâdi => Qâdi
15 Muhammad ibn Yahya ibn Zakariyyâ
ibn Yahyâ al-Tamîmiy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Regio => Jaen => Cordova/
Qâdi => Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
16 `Ahmad ibn „Abdillâh ibn Dzakwân Jenjang Jabatan Cordova
(Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah)
100
17
`Abû „Abdillâh Muhammad ibn Al-
Hasan ibn Yahya ibn „Abdillâh ibn al-
Hasan al-Judzâmiy al-Nubâhiy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Malaga => Granada/
Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
18 Îsâ ibn Sahl „Abdullâh al-`Asadiy Wilayah El Adoua => Granada/
Qâdi => Qâdi
19 „Iyâd ibn Mûsâ ibn „Iyâd al-Yahsubiy Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Ceuta => Granada => Cordova/
Qâdi => Qâdi => Qâdî al-Jamâ‘ah
20 Muhammad ibn „Abdillâh ibn `Ahmad
ibn Simâk al-‘Âmiliy Wilayah Malaga => Granada/ Qâdi => Qâdi
21 „Abdul-Mun‟im ibn Muhammad ibn
„Abdil-Rahîm al-Khazrajiy Wilayah
Jucar => Guadix => Jaen =>
Granada/
Qâdi => Qâdi => Qâdi => Qâdi
22 Muhammad ibn „Abdillâh Muhammad
ibn `Abî Zamânain al-Murrî al-`Ilbîriy Wilayah
Berja => Malaga/
Qâdi => Qâdi
23
`Abû Muhammad „Abdullâh ibn
Sulaimân ibn Dâwud ibn „Abdil-
Rahmân ibn Hautillâh al-`Ansâriy al-
Mâlaqiy
Wilayah
Sevilla => Mallorca => Murcia =>
Cordova => Ceuta => Salé =>
Murcia/ Qâdi => Qâdi => Qâdi =>
Qâdi =>Qâdi => Qâdi => Qâdi
24
`Abû al-Khattâb `Ahmad ibn
Muhammad ibn „Umar ibn
Muhammad ibn Wâjib al-Qaisiy
Wilayah Jativa => Valencia/
Qâdi => Qâdi
25
`Ahmad ibn Yazîd ibn „Abdil-Rahman
ibn `Ahmad ibn Baqî ibn Makhlad al-
`Umawiy
Wilayah dan
Jenjang Jabatan
Maroko => Cordova/
Qâdî al-Jamâ‘ah => Qâdi
Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa dari 165 qâdi yang terdata, 25 qâdi di
antaranya pernah mengalami perpindahan, baik sekedar mutasi wilayah hukum
atau bahkan promosi/demosi jenjang jabatan. Dari total 25 qâdi tersebut, sebanyak
10 qâdi dimutasi ke wilayah hukum yang lain tanpa ada perubahan jabatan.
Namun, bentuk mutasi para qâdi tersebut cukup beragam. Dari 10 qâdi tersebut, 1
qâdi dimutasi antar kota bagian (pinggiran), 5 qâdi dimutasi dari kota bagian ke
kota utama (pusat pemerintahan), 1 qâdi dimutasi dari kota utama ke kota bagian,
sementara 3 qâdi lainnya dimutasi antar kota utama.
Selanjutnya, sebanyak 8 qâdi pernah dimutasi ke wilayah hukum lain
sekaligus dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. Para qâdi tersebut
dimutasi dari kota-kota bagian ke kota-kota utama. Tidak hanya itu, para qâdi
101
tersebut juga mendapatkan promosi jabatan dari yang sebelumnya hanya sebagai
Qâdi di kota-kota bagian (tingkat pertama) menjadi Qâdî al-Jamâ‘ah di kota-kota
utama (tingkat banding).
Kemudian, terdapat 2 qâdi yang dimutasi dari satu kota utama ke kota utama
lainnya. Namun, mutasi mereka itu disertai dengan kenaikan jabatan ke jenjang
yang lebih tinggi, yaitu dari Qâdi menjadi Qâdî al-Jamâ‘ah. Sementara itu, 2 qâdi
lainnya justru mengalami hal sebaliknya. Mereka dimutasi dari kota utama ke kota
bagian, dan diturunkan ke jabatan yang lebih rendah, yakni dari Qâdî al-Jamâ‘ah
menjadi Qâdi. Selain itu, terdapat pula para qâdi yang mengalami promosi jenjang
jabatan tanpa dimutasi ke wilayah hukum lain, yakni sebanyak 3 qâdi. Ketiga qâdi
yang terakhir, mereka semua bertugas di wilayah yang sama, yakni di Cordova.
D. Konstruksi Peradilan Islam di Andalusia (sebuah refleksi akhir)
Temuan-temuan yang telah dipaparkan pada pokok pembahasan sebelumnya
menunjukkan konstruksi peradilan Islam di Andalusia pada masa lampau. Dengan
wilayahnya yang cukup luas, Andalusia pada masa itu telah memiliki sentra-sentra
peradilan yang tersebar di penjuru wilayah sehingga persoalan-persoalan peradilan
masyarakat Islam agaknya dapat tertangani dengan baik. Andalusia Tengah,
sebagai centre spot dari wilayah Andalusia, memiliki perkembangan peradilan
yang lebih progresif. Hal tersebut terlihat dari jumlah sentra-sentra peradilan
paling banyak terdapat di wilayah Andalusia Tengah. Jumlah qâdi terbanyak yang
berhasil terdata juga berada di 2 kota Andalusia Tengah, yaitu Cordova dan
Toledo. Agaknya, hal tersebut dilatarbelakangi oleh fakta sejarah bahwa kota
102
Cordova dan Toledo, yang termasuk dalam kawasan Andalusia Tengah, pernah
menjadi ibukota pemerintahan Islam dan Kristen untuk waktu yang cukup lama.
Berdasarkan data persebaran para qâdi yang telah dipetakan pada subbab
sebelumnya, terlihat bahwa persebaran qâdi paling banyak ditemukan di kota-kota
Tudmir, Zaragoza, Cordova, Toledo, Sevilla, Ecija, Ceuta, Sidonia, dan Melilla.
Hal tersebut agaknya disebabkan oleh status kota-kota tersebut sebagai kota-kota
yang telah ada sejak dahulu (kota lama). Oleh karena itu, angka persebaran qâdi di
kota-kota tersebut cukup tinggi dan telah ada sejak tahun-tahun awal pemerintahan
Bani Umayyah II di Andalusia.
Adapun kota-kota lainnya seperti Valencia, Jucar, Jativa, Archidona, Fahs
al-Ballût, Guadix, Granada, Malaga, Algeciras, Sijilmassa dan Salé, kota-kota
tersebut merupakan kota-kota yang baru terbentuk kemudian, dalam artian kota-
kota tersebut merupakan wilayah hasil pemekaran setelah wilayah kekuasaan
Islam semakin meluas. Oleh karena itu, angka persebaran qâdi di kota-kota
tersebut cukup rendah Meskipun demikian, ada di antara kota-kota tersebut yang
memiliki jumlah persebaran qâdi yang tidak sedikit, seperti kota Granada dan
Malaga. Namun perlu dicatat bahwa peningkatan angka persebaran qâdi di kota-
kota tersebut baru dimulai pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Bani Umayyah
II di Andalusia.
Selanjutnya, proses peradilan di Andalusia telah menerapkan sistem
pemeriksaan bertingkat dalam bentuk peradilan tingkat pertama dan banding,
meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Akan tetapi, peradilan tingkat banding
103
di Andalusia agak berbeda dari konsep peradilan banding pada masa sekarang
yang pada umumnya didapati di tiap ibu kota provinsi. Peradilan banding di
Andalusia pada dasarnya berpusat di Cordova sebagai ibu kota pemerintahan Islam
pada masa Bani Umayyah II. Ketika Andalusia telah terbagi ke dalam sejumlah
kerajaan/pemerintahan kecil yang menjalankan pemerintahan secara mandiri di
wilayah kekuasaan masing-masing, peradilan banding baru dapat dijumpai di
wilayah/kota provinsi lain, seperti Toledo, Granada dan Maroko.
Kemudian, pembinaan para qâdi yang diterapkan oleh pemerintah Andalusia
kala itu tidak terlepas dari sistem perpindahan, yang lazim disebut mutasi. Sistem
mutasi yang diterapkan juga cukup bervariasi. Mutasi/pemindahan para qâdi
Andalusia tidak melulu dari kota bagian ke kota bagian lain yang sederajat.
Terdapat sejumlah qâdi yang dimutasi dari kota-kota bagian ke kota utama. Fakta
historis ini merupakan sebuah indikasi promosi jenjang jabatan bagi para qâdi
yang bersangkutan. Namun, terdapat pula sejumlah qâdi yang dimutasi dengan
pola sebaliknya, yakni dari dari kota utama ke kota bagian (dari kota pusat ke kota
pinggiran).
Mutasi dengan pola yang disebut terakhir memiliki kemiripan dengan
konsep demosi yang dikenal sekarang, yaitu salah satu bentuk mutasi/pemindahan
qâdi yang disertai dengan pengurangan kewenangan atau tanggung jawab. Para
qâdi Andalusia yang dimutasi dari kota utama ke kota bagian, meskipun tanpa
perubahan jabatan, secara implisit mengalami pengurangan tanggung jawab dalam
menangangi urusan peradilan. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya sengketa
104
yang terjadi di kota-kota bagian tidak memiliki kompleksitas yang tinggi
sebagaimana permasalahan yang terjadi di kota-kota pusat pemerintahan.
Pemaparan di atas merupakan cerminan nyata bahwa praktik pembinaan
qâdi yang berlaku di Andalusia telah menerapkan sistem reward and punishment.
Sistem yang demikian merupakan sebuah proses pembinaan yang lazim dijumpai
dalam lembaga atau organisasi secara umum, dan secara khusus dalam lembaga
peradilan dewasa ini. Setiap qâdi yang memiliki kinerja baik atau bahkan dianggap
berprestasi akan dimutasi ke tempat atau daerah yang lebih besar (sentral) atau
diberikan jabatan yang lebih tinggi yang tidak jarang disertai dengan fasilitas yang
lebih baik. Sebaliknya, para qâdi yang memiliki kinerja buruk atau melakukan
kesalahan saat bertugas akan dimutasi ke sentra peradilan yang lebih kecil, atau
bahkan diturunkan dari jabatannya.
Kemudian berdasarkan data yang diperoleh, pola mutasi dan promosi qâdi
yang paling sering terjadi dalam penerapan pembinaan para qâdi Andalusia
didasarkan pada tujuan untuk mengisi kekosongan jabatan. Jabatan Qâdi pada
peradilan tingkat pertama dan Qâdî al-Jamâ‘ah pada peradilan tingkat banding
sering mengalami kekosongan dan pergantian karena qâdi atau qâdî al-jamâ‘ah
yang bertugas sebelumnya wafat.
Hal tersebut selaras dengan data lain yang menunjukkan bahwa dalam
peradilan Islam di Andalusia saat itu, pengaturan yang baku terkait masa
jabatan/periode tugas para qâdi tidak ditemukan. Mayoritas qâdi yang diangkat di
Andalusia menjabat hingga akhir hidupnya, meski ada sejumlah qâdi yang
105
diberhentikan/diturunkan dari jabatannya oleh penguasa yang berwenang. Secara
eksplisit, para qâdi yang tidak diturunkan dari jabatannya hingga wafat dapat
dinilai sebagai sebuah prestasi tersendiri. Kondisi yang demikian agaknya
dilatarbelakangi oleh paradigma yang berlaku saat itu bahwa posisi atau
kedudukan seorang qâdi sungguh sangat mulia dan terhormat.
Masih terkait periode tugas/masa jabatan para qâdi yang bertugas di sentra
peradilan Andalusia, data yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat jeda masa
jabatan antar sejumlah qâdi (dalam satu wilayah/kota) cukup panjang, mencapai
puluhan bahkan ratusan tahun. Hal tersebut tidak dapat serta merta diartikan
sebagai masa kekosongan jabatan qâdi. Jeda waktu yang cukup panjang tersebut
mengindikasikan eksistensi sejumlah qâdi yang tidak terdeteksi dan tidak
ditemukan dalam sumber-sumber penelitian ini.
Hal lain yang sering melatarbelakangi pergantian jabatan qâdi adalah
kehendak penguasa yang berwenang untuk memecat atau memberhentikan para
qâdi dari jabatannya. Alasan di balik pemberhentian/pemecatan tersebut cukup
beragam. Sejumlah qâdi dipecat berdasarkan kasus yang ditanganinya. Namun,
ada pula qâdi yang diberhentikan karena usianya yang sudah sangat tua,
sebagaimana yang dialami oleh `Aslam ibn „Abdil-„Azîz (qâdi no. 67) dan
Muhammad ibn Yahya ibn Zakariyyâ ibn Yahyâ al-Tamîmiy (qâdi no. 116).
Sementara itu, terdata pula sejumlah qâdi Andalusia yang diberhentikan dari
jabatannya seiring dengan munculnya pemerintahan baru. Dari sekian banyak qâdi
yang diberhentikan atas inisiatif penguasa yang berwenang, mayoritas kembali
106
diangkat/ditugaskan sebagai qâdi. Kondisi yang demikian dapat menjadi alasan
untuk mengklaim bahwa intervensi penguasa turut mewarnai sistem peradilan
pada masa itu.
Sungguhpun demikian, perlu diketahui bahwa pada dasarnya, kemandirian
sistem peradilan Islam dari sistem lain telah terealisasi sejak empat belas abad
silam. Demikian itu dikuatkan dengan fakta akan ketundukan para khalifah atau
amir Andalusia dalam permasalahan mereka yang masuk ke dalam ranah
peradilan. Sebab tidak ada hak bagi khalifah atau imam untuk memutuskan bagi
dirinya sendiri, sebagaimana khalifah juga tidak diperbolehkan bersaksi terhadap
dirinya sendiri. Karena itu, para khalifah dalam permasalahan mereka bersandar
kepada otoritas para qâdi. Sejumlah argumen tersebut dapat menjadi dasar
penilaian bahwa pemecatan/pemberhentian para qâdi dilakukan secara obyektif
atas dasar penilaian terhadap kinerja qâdi yang bersangkutan.
Selanjutnya, data penelitian juga memperlihatkan banyak hal lain yang perlu
dicermati lebih jauh, selain fokus permasalahan penelitian ini. Di antaranya adalah
perihal sistem pengangkatan qâdi yang berlaku di Andalusia. Sebagaimana telah
dipaparkan pada bab III sebelumnya, para pakar menyatakan bahwa sejak
kemunculan jabatan qâdî al-qudâh, kewenangan untuk mengangkat serta
menurunkan para qâdi berada di tangan para qâdî al-qudâh atau qâdî al-jamâ‘ah.
Akan tetapi, data yang diperoleh menunjukkan bahwa pengangkatan seluruh qâdi
yang terdata pernah bertugas di Andalusia dilakukan langsung oleh para penguasa
(kepala pemerintahan) Andalusia, baik yang bergelar khalifah atau amir.
107
Pengangkatan para qâdi yang dilakukan oleh pimpinan lokal Andalusia (dan
bukannya pimpinan pusat yang ada di Baghdad) mengindikasikan adanya
pendistribusian kewenangan, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
pemerintahan Islam cenderung bersifat desentralistik.
Selanjutnya, data yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat sejumlah
qâdi Andalusia yang langsung diangkat untuk menjabat di kota-kota besar.
Kondisi yang demikian berbeda dari apa yang berlaku dalam dunia peradilan saat
ini, di mana qâdi yang baru diangkat harus menempati wilayah-wilayah kecil
bahkan terpelosok. Akan tetapi, keterbatasan informasi yang diperoleh
menyebabkan kesulitan dalam menentukan apakah penugasan sejumlah qâdi yang
menjabat di kota-kota besar/pusat pemerintahan tersebut merupakan penugasan
pertama mereka. Kemungkinan lain yang tidak dapat diabaikan adalah para qâdi
tersebut telah ditugaskan di sejumlah daerah/kota bagian sebelum akhirnya
ditugaskan di kota-kota utama/pusat.
Hal lain yang perlu diamati adalah terkait penyebaran para qâdi di sentra-
sentra peradilan di Andalusia. Data yang ada menunjukkan bahwa hampir di setiap
wilayah/kota sentra peradilan hanya terdapat 1 qâdi yang bertugas dalam satu
waktu. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa proses peradilan di Andalusia kala itu
dikelola atau dijalankan dalam sistem tunggal, bukan majelis.
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, penting untuk dicermati juga
perihal marga para qâdi yang bertugas di sentra-sentra peradilan Andalusia.
Terdapat sejumlah marga yang dominan muncul dalam data penelitian ini, yaitu al-
108
Lakhmiy (10), al-`Ansâriy (7), al-Mâlaqiy (6), al-Kinâniy/Kinânah (4), al-
Ma‘âfiriy (4), al-Ghâfiqiy (4), al-'Utaqiy (3), dan al-Qurtubiy (3). Di wilayah
Andalusia Timur, marga yang dominan berasal dari rumpun al-Kinâniy/Kinânah
dan al-'Utaqiy. Di Andalusia Tengah, marga para qâdi berkisar pada al-Ma‘âfiriy,
al-Lakhmiy, al-Ghâfiqiy, al-Kinâniy/Kinânah, dan al-Qurtubiy. Di Andalusia
Barat, marga yang dominan berasal dari klan al-Ghâfiqiy, al-`Ansâriy, al-Mâlaqiy,
dan al-Ma‘âfiriy.
Sementara untuk wilayah Afrika (Maghribi), dengan jumlah qâdi yang
terdata sangat minim, tidak ditemukan dominasi salah satu marga pada para qâdi
yang bertugas. Adapun wilayah Andalusia Tengah kembali mendominasi ragam
marga para qâdi yang bertugas, khususnya di kota Cordova dengan jumlah qâdi
paling banyak yang ditemukan di sana. Marga yang dominan muncul di Cordova
berasal dari rumpun al-Ghâfiqiy, al-Lakhmiy, al-Ma‘âfiriy, dan al-Kinâniy
/Kinânah.
109
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan penelitian yang telah dipaparkan dan
didiskusikan pada bab sebelumnya, ada beberapa kesimpulan yang dapat
dirumuskan.
1. Dalam kurun waktu ±500 tahun (138 H/756 M-632 H/1235 M), tercatat
sebanyak 165 qâdi yang pernah bertugas di sentra-sentra peradilan di
Andalusia. Dari total qâdi tersebut, sejumlah qâdi berasal dari marga/
rumpun yang dominan, yakni al-Lakhmiy (10), al-`Ansâriy (7), al-Mâlaqiy
(6), al-Kinâniy/Kinânah (4), al-Ma‘âfiriy (4), al-Ghâfiqiy (4), al-'Utaqiy (3),
dan al-Qurtubiy (3).
2. Pada pemerintahan Islam di Andalusia, terdapat sejumlah kota yang menjadi
sentra-sentra peradilan Islam yang tersebar di berbagai wilayah Andalusia
(Timur, Tengah, dan Barat) dan sebagian wilayah Afrika. Sentra-sentra
peradilan tersebut terbagi ke dalam yurisdiksi tingkat pertama dan yurisdiksi
tingkat banding. Berdasarkan wilayahnya, sentra-sentra peradilan yang
berada di Andalusia Tengah mencapai jumlah yang paling banyak,
khususnya di kota Cordova dan Toledo.
3. Sistem pembinaan para qâdi masa lampau yang berlaku di Andalusia telah
mencakup sistem perpindahan, baik sekedar mutasi atau bahkan promosi.
Sistem mutasi dan promosi yang diterapkan dalam peradilan Islam di
Andalusia memiliki beragam bentuk. Mutasi/perpindahan para qâdi
110
Andalusia tidak selalu dari kota bagian ke kota bagian lain yang sederajat,
sebagai bentuk mutasi murni. Akan tetapi, mutasi para qâdi juga kerap
dilakukan dari kota bagian ke kota utama, sebagai bentuk promosi tidak
langsung. Selain itu, mutasi para qâdi ke wilayah hukum lain juga sering
disertai dengan promosi/kenaikan jenjang jabatan. Namun, para qâdi di
sentra peradilan Andalusia juga kerap dimutasi dari kota utama ke kota
bagian, atau bahkan diturunkan ke jabatan yang lebih rendah.
B. Saran
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan dari awal hingga
akhir, penulis mengemukakan sejumlah saran di akhir tulisan ini. Saran-saran
yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Skripsi ini terfokus untuk mengkaji sistem pembinaan (mutasi-promosi)
para qâdi di satu wilayah kekuasaan Islam dahulu, yakni Andalusia.
Sehingga, apa yang dipaparkan dalam penelitian ini tidak bisa dianggap
telah mewakili sistem pembinaan qâdi yang berlaku dalam peradilan Islam
secara umum. Oleh karena itu, penelitian lanjutan di berbagai eks wilayah
kekuasaan Islam dahulu hendaknya dilakukan, demi sebuah pemahaman
yang menyeluruh. Penelitian lanjutan dianggap krusial mengingat para
hakim/qâdi memegang peranan sentral dalam mewujudkan proses peradilan
yang baik dan keadilan yang menyeluruh
2. Dalam rentang waktu objek penelitian yang digunakan, skripsi ini terbatas
untuk ±500 tahun (138 H/756 M-632 H/1235 M) masa pemerintahan Islam
di Andalusia. Padahal, Islam berkuasa di Andalusia selama ±7,5 abad. Oleh
111
karena itu, studi lanjutan diperlukan untuk menggali lebih dalam persoalan
peradilan Islam yang masih terpendam bersama sejarah.
3. Sumber utama skripsi ini masih sangat terbatas, begitu pula dengan referensi
lain yang digunakan untuk melengkapi kekurangan informasi dari sumber
utama. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan dan kesulitan untuk
mengakses sumber-sumber lain yang memadai. Oleh karena itu, penelitian
yang lebih mendalam dengan menggunakan sumber-sumber lain hendaknya
dilakukan demi melengkapi kekurangan penelitian ini.
4. Skripsi ini terfokus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah
dirumuskan di awal. Oleh karena itu, sejumlah pertanyaan dari aspek-aspek
lain yang dimunculkan oleh data belum tergali secara maksimal. Penulis
hanya mencoba menunjukkan indikasi-indikasi adanya sejumlah pertanyaan
lanjutan dengan melakukan analisis singkat. Di antara pertanyaan lanjutan
yang perlu dikaji lebih dalam, apa yang menjadi kriteria atau syarat bagi
pengangkatan para qâdi di sentra-sentra peradilan Andalusia? bagaimana
mekanisme pengangkatan para qâdi di sentra-peradilan Andalusia? dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, para peneliti selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan data dalam penelitian ini agar tercipta karya-karya lain
yang melengkapi kekurangan yang ada.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan
sumbangsih yang berarti bagi dunia pengetahuan serta dapat menjadi jalan bagi
pengetahuan yang baru. Aamiin.
112
DAFTAR PUSTAKA
A. Ibrahim, Qasim dan A. Saleh, Muhammad. al-Mausû‘ah al-Muyassarah fî al-
Târîkh al-`Islâmiy. Penerjemah Zainal Arifin. Cet. II. Jakarta: Penerbit
Zaman, 2014.
al-`Andalusiy, Ibn Hasan al-Nabâhî. Târîkh Qudât al-`Andalus. Cet. I. Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1995.
al-`Azadiy, Ibn al-Fardî Ibn al-Walîd. Târîkh ‘Ulamâ` al-`Andalus. Kairo: Dâr al-
Kutub al-Misriy, 1984.
al-Fâsî, Muhammad ibn al-Hasan al-Tsa‟âlabî. al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh
al-`Islâmî. Jilid 1. Cet I. Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1976.
al-Fâsî, Muhammad ibn al-Hasan al-Tsa‟âlabî. al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh
al-`Islâmî. Jilid 2. Cet I. Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1976.
al-Himyariy, Muhammad ibn „Abdil-Mun‟im. al-Raud al-Mi’târ fi Khabar al-
`Aqtâr. Cet. II. Beirut: Dâr al-Kutub al-Lubnâniyyah, 1984.
Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Cet. I.
Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Khalifa, 2004.
al-Mâwardî. al-`Ahkâm al-Sultâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah. Kairo: al-
Maktabah al-Taufîqiyyah, 2006.
al-Qarwiy, al-Khasyaniy. Qudât Qurtubah. Cet. II. Beirut: Dâr al-Kutub al-
Lubnâniyyah, 1989.
al-Talimasâniy, Ahmad ibn Muhammad al-Maqqariy. Nafh al-Tiyâb min Ghusn
al-`Andalus al-Ratîb. Jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Cet. IV. Jakarta: Amzah, 2014.
Arabi, Oussama, S. Powers, David and A. Spectorsky, Susan. Islamic Legal
Thought A Compendium of Muslim Jurists. Leiden: Brill, t.th.
Ash Shiddeqy, T. M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Ed. II. Cet. II.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
113
Ash Shiddeqy, T. M. Hasbi. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1970.
Bakri, Syamsul. Peta Sejarah Peradaban Islam. Cet I. Yogyakarta, Fajar Media,
2011.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Ed. Revisi. Cet. IV. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003.
El Hour, Rachid. “The Andalusian Qadi in the Almoravid Period: Political and
Judicial Authority,” Studia Islamica No. 90 (2000).
Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
F. N., Ridjaluddin. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I. Jakarta: Pusat Kajian Islam
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta
& Gaung Persada Press, 2013.
Fathoni, Abdurrahmat. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineke Citra,
2006.
Hadisoeprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1993.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-pokok Materi dan Metodologi Penelitian. Jakarta: PT.
Ghalia Indonesia, 2002.
Hasibuan, Malayu S. P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed. Revisi. Cet. IX.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Heidjrachman dan Husnan, Suad. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE,
1997.
Hendrickson, Jocelyn. “Is al-Andalus Different? Continuity as Contested,
Constructed, and Performed across Three Maliki Fatwas,” Islamic Law and
Society (2013).
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi, 2006.
I.G., Wursanto. Manajemen Kepegawaian. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
114
Ilyas, Mohammad. Astronomy of Islamic Calendar. Kuala Lumpur: AS-Noordeen,
1997.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2005.
Kamâl, Ahmad „Âdil. `Atlas al-Futûhât al-`Islâmiyyah. Cet. I. Kairo: Dâr al-
Salâm, 2005.
Khan, M.S. “Tabaqât al-`Umam of Qâdi Sa‟îd al-`Andalusiy (1029-1070 A.D),”
Indian Journal of History of Science 30 (1995).
Koto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Ed. I. Cet. I. Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Ma‟luf, Louis, al-Munjid. Cet. XLI. Beirut: Dâr al-Masyriq, 2005.
Madkur, Muhammad Salam. al-Qadâ` fi al-`Islâm. Penerjemah Imron AM.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan – Suatu Kajian
Dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta: Kencana, 2007.
Mangkuprawira, Sjafri. Manajemen SDM Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia,
2004.
Manullang, M. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Martoyo, Susilo. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta, 1996.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. VIII. Cet. I.
Yogyakarta: Liberty, 2009.
Miller, Kathryn A. “Muslim Minorities and The Obligation to Emigrate to Islamic
Territory: Two Fatwas From Fifteenth-Century Granada,” Islamic Law and
Society 7 (2000).
Moekijat. Analisa Jabatan. Bandung: Alumni, 1974.
Mubarok, Jaih. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004.
115
Muller, Christian. “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The
Qâdî Al-Jamâ‘a of Cordova in the Fifth/Eleventh Century,” Islamic Law
and Society 7 (2000).
Musyrifah, „Atiyyah Mustafâ. al-Qadâ` fi al-`Islâm. Cet. II. t.tp: t.p, 1966.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Prenada Media, 2004.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI
Press, 1985.
Nitisemito, Alex Sumaji. Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Nurjaman, Kadar. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Osseiran, Sanaa. Cultural Symbiosis in al-Andalus: A Metaphor for Peace. Beirut:
UNESCO, 2004.
Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Quais, Abdul Halim. Analisa Runtuhnya Daulah Islam. Solo: Pustaka Mantik,
1994.
Rasyid, Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I. Ciputat: UIN Jakarta Press,
2007.
Saleh, K. Wantjik. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Simbur Cahaya, 1976.
Sastrohadiwiryo, Siswanto. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan
Administratif dan Operasional. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Secall, M. Isabel Calero. “Rulers and Qâdis: Their Relationship During The
Nasrid Kingdom,” Islamic Law and Society 7 (2000).
116
Serrano, Delfina. “Legal Practice in an Andalusi-Maghribi Source From The
Twelfth Century CE: The Madzâhib al-Hukkâm fi Nawâzil al-`Ahkâm,”
Islamic Law and Society 7 (2000).
SJ. Fadil. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Cet. Kesatu.
Malang: UIN Malang Press, 2008.
Soeroso, R. Praktek Hukum Acara perdata; Tata Cara dan Proses Persidangan.
Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Sou‟yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova. Jakarta: Bulan Bintang,
1977.
Subekti dan Tjitrosoedibio, R. Kamus Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2003.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1987.
Sulistyaningsih, Endang. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: CV
Izuva Gempita, 1993.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Cet. II. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo,
2003.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sutrisno, Edy. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana, 2009.
Syabârû, „Isâm Muhammad. Qâdî al-Qudâh fi al-`Islâm. Beirut: Dâr Misbâh al-
Fikr, t.th.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Zikra, 1997.
Syukur, Fatah. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan. Cet. I. Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2012.
T. Hani, Handoko. Manajemen 2. Yogyakarta: BPFE, 1999.
117
Thomson, Ahmad dan Rahim, M. „Ata‟ur. Islam in Andalus. Alih Bahasa
Kampung Kreasi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed.
IV. Cet. I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Watt, W. Montgomery dan Cachia, Pierre. A History of Islamic Spain. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.