Makalah-SDLB.doc

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN HASIL PENELITIAN

BIDANG PENDIDIKANTENTANG PENERAPAN BIMBINGAN KONSELING PADA ANAK TUNAGRAHITA UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI DALAM BELAJAR DI SDLB KARANGREJO, MAGETAN

Oleh:

XXXXXXXXXXXXDEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN2007

KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, yang telah menganugerahkan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul: Penerapan Bimbingan Konseling Pada Anak Tunagrahita Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Dalam Belajar di SDLB Karangrejo, Magetan. Penulisan makalah ini ditujukan dalam rangka memenuhi persyaratan dalam..

Penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi, khususnya kepada:1.

2.

3.

4.Bapak .., selaku Kepala SDLB Karangrejo, Magetan beserta staf dan guru yang telah memberikan bantuan informasi, izin melakukan penelitian, dan dukungan moril hingga terselesaikannya penelitian ini.5.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya, terima kasih atas segala bantuan dan dorongan semangat selama penulis menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.

Magetan, xx Mei 2007

PenulisDAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PERSETUJUAN

iiKATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

v

BAB IPENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah

1B. Rumusan Masalah

4BAB IITINJAUAN PUSTAKA

5A. Pengertian Bimbingan Konseling

5

B. Pengertian Belajar

11C. Pengertian Tunagrahita

13BAB IIIPEMBAHASAN

17

A. Keberadaan Tunagrahita

17B. Proses Belajar Mengajar pada Anak-Anak Tunagrahita

18

C. Masalah Psikologis Anak Tunagrahita

20

D. Layanan Bimbingan Konseling pada Anak Tunagrahita untuk Peningkatan Kepercayaan diri dalam Belajar

23BAB IVPENUTUP

30A. Kesimpulan

30B. Saran

31DAFTAR PUSTAKABAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang PermasalahanPendidikan adalah hak seluruh warga negara. Berkaitan dengan hal tersebut, semua anak, baik normal maupun yang memiliki kelainan, mempunyai kesempatan sama didalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan atau kelainan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikhisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya. Anak luar biasa diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani maupun rohani yang berkelainan dibanding anak normal. Oleh karena itu anak digolongkan luar biasa apabila anak itu tidak masuk pada kategori sebagai anak normal baik fisik, mental maupun intelegensianya. Untuk pendidikan luar biasa atau khusus seringkali disatukan atau terpadu, karena pada dasarnya sekolah luar biasa atau sekolah khusus bukan merupakan upaya untuk memisahkan pendidikan anak-anak tuna atau berkelainan dari anak-anak normal. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disusun berdasarkan visi terwujudnya pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara atau masyarakat Indonesia berubah dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif mengisi kemerdekaan dan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dalam pasal 15 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, secara jelas dinyatakan bahwa: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan misalnya tuna netra, tuna rungu, tunagrahita atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan secara berkelompok (inklusif) atau berupa satuan khusus pada tingkat dasar dan menengah. Penyelenggaraan pendidikan juga menganut upaya pemberdayaan semua komponen masyarakat dalam arti bahwa pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah, lembaga sosial maupun masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerjasama yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Oleh karena itu diberbagai daerah tumbuh dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi yang dibidani berbagai elemen masyarakat, misalnya yayasan. Bahkan sekarang menjamur tumbuhnya sekolah-sekolah yang mengadopsi pola belajar model negara-negara barat (asing), pendidikan anak terlantar dan kaum miskin (pengemis), dan sebagainya. Pendidikan khusus yang ada di Indonesia sebagian besar dimonopoli oleh Sekolah Anak Luar Biasa (SLB) bagian C. Sebenarnya SLB digolongkan menjadi 5 (lima) jenis pendidikan, yaitu: SLB bagian A diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada penglihatan atau tuna netra; SLB bagian B diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada pendengaran dan kadang-kadang bicara atau tuna rungu dan tuna wicara; SLB bagian C diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan mental atau tuna grahita; SLB bagian D diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan tubuh atau cacat tubuh atau tunagrahita; dan SLB bagian E diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kelainan tingkah laku atau hiperaktif. Terdapat pula golongan yang diidentifikasi sebagai ketunaan ganda atau anak yang memiliki kelainan ganda yang biasanya masuk dalam kelompok SLB C dan atau D. Permasalahan mendasar bagi anak-anak luar biasa, biasanya ditunjukkan dengan perilakunya ketika melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak normal pada umumnya. Contoh, ketika bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun sosial. Dari beberapa kajian yang telah dilakukan terhadap isolasi sosial anak menunjukkan anak sering menjadi kaku, mudah marah dan bila dihubungkan dengan perilakunya menunjukkan seakan bukan pemaaf dan tidak mempunyai rasa sensitif terhadap orang lain. Hal lain menunjukkan bahwa anak-anak seperti itu mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan komunikasi. Sifat-sifat seperti itu merupakan rintangan utama dalam melakukan kepuasan hubungan interpersonal bagi anak-anak luar biasa. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri merupakan tantangan dalam melakukan sosialisasi dan penerimaan diri akan kelainan yang dimilikinya.Jika dikaitkan dengan kesinambungan masa depan dari anak-anak penyandang kelainan tersebut, terutama dalam hal pemupukan atau peningkatan kepercayaan diri dalam belajar, maka diperlukan suatu upaya pemberian layanan bimbingan dan konseling yang disesuaikan dengan keadaan kekurangan yang dialami para siswa penyandang kelainan tersebut. Penyampaian layanan bimbingan dan konseling kepada para siswa berkelainan tersebut memerlukan suatu usaha yang lebih maksimal dibandingkan dengan penyampaian layanan bimbingan dan konseling yang disampaikan kepada anak-anak atau siswa normal. SDLB Karangrejo, Magetan merupakan salah satu institusi atau sekolah khusus yang didirikan untuk menyampaikan suatu layanan pendidikan bagi para penyandang cacat yang ada di Magetan, khususnya di wilayah Kecamatan Karangrejo. Berkaitan dengan penerapan bimbingan konseling pada siswa atau anak berkelainan tersebut, maka penerapan layanan bimbingan dan konseling pada siswa yang berkelainan, khususnya siswa tuna grahita yang ada di sekolah tersebut, diperlukan suatu perhatian yang lebih intensif. Penyelenggara pendidikan, dalam hal ini pihak sekolah dan para guru yang ada di dalamnya, harus mampu menyampaikan suatu bentuk layanan bimbingan konseling yang mampu meningkatkan kepercayaan diri, khususnya dalam mengikuti proses belajar di sekolah tersebut.B.Rumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat disampaikan suatu rumusan masalah sebagai berikut: bagaimanakah penerapan bimbingan konseling pada anak tunagrahita untuk meningkatkan kepercayaam diri dalam belajar di SDLB Karangrejo, Magetan?BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA.Pengertian Bimbingan KonselingBeberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda mengenai pengertian bimbingan dan konseling. Meskipun pendapat-pendapat tersebut berbeda, namun pada hakikatnya memiliki beberapa kesamaan yang dapat dipelajari.

1.Pengertian BimbinganTerdapat beberapa pendapat yang menjelaskan pengertian bimbingan.

a) Sirley A. Hamrin (dalam Vitalis, 2006: 62), merumuskan bahwa: Bimbingan memberikan pertolongan kepada seseorang agar ia dapat mengenal dirinya sendiri sedalam-dalamnya.

b) Dunsmor dan Miller (dalam Kardi, 2005: 9), bimbingan membantu individu untuk memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan pendidikan, jabatan, dan prinadi yang mereka miliki atau dapat mereka kembangkan dan sebagai satu bentuk bantuan yang sistematik melalui nama siswa dibantu untuk dapat memperoleh penyesuaian yang baik terhadap sekolah dan terhadap kehidupan.

c) Smith (dalam Kardi, 2005:9), bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individu-individu guna membantu ,mereka memperoleh pengetahuan yang diperlukan dalam membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interpretasi-interpretasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri yang baik.

d) Crow and Crow (dalamVitalis, 2006: 62), bimbingan memerlukan bantuan yang diberikan oleh seorang pembimbing yang berwewenang

e) A. J. Jones (dalam Vitalis, 2006:63), bimbingan memberi pertolongan kepada seseorang dalam mengambil keputusan tentang kemana dia akan pergi, apa yang ia akan lakukan atau bagaiman cara yang sebaik-baiknya mencapai tujuannya, bimbingan membantunya dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupannya.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa bimbingan adalah suatu proses memberi pertolongan atau bantuan yang diberikan oleh seseorang yang telah dipersiapkan dengan pengetahuan, pemahaman, latihan, dan ketrampilan kepada seseorang atau sekelompok orang dari segala usia agar mereka memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya.

2.Pengertian Konseling

Dilihat dari asal katanya, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu consilium yang berarti dengan atau bersama, yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti menyerahkan atau menyampaikan (Kardi, 2005: 10). Selain itu, beberapa pengertian tentang konseling dapat diuraikan melalui pendapat-pendapat berikut ini.

a)Adam (dalam Vitalis, 2006: 63) mengartikan konseling sebagai pertalian timbal balik, yang satu membantu yang lain untuk dapat memahami diri.

b)Jones (dalam Kardi, 2005: 11) mengemukakan bahwa konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk dialokasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah. Konselor tidak memecahkan masalah untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dan individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri berupa bantuan.

c)Williamson and Foley (dalam Vitalis, 2006: 64) menyatakan bahwa: Konseling merupakan suatu situasi pertemuan langsung (face to face situation) dimana seseorang yang terlibat dalam situasi itu yang karena latihan dan ketrampilan yang dimilikinya, karena mendapat kepercayaan dari yang lain (klien), berusaha menolong pihak kedua dalam menghadapi, menjelaskan, memecahkan, dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam konseling terdapat beberapa ciri khas sebagai berikut: (1) adanya hubungan yang akrab antara konselor dengan klien; (2) konselor bersama-sama klien menghadapi suatu masalah; dan (3) konselor membantu klien untuk dapat melihat dan memahaminya dirinya serta masalahnya dan akhirnya dia sanggup melaksanakan suatu pilihan yang tepat untuk pemecahan masalahnya.

Dari pengertian bimbingan dan konseling tersebut di atas, maka dapat dijelaskan mengenai pengertian bimbingan dan konseling, bahwa konseling merupakan inti dari program bimbingan dan terpadu di dalamnya sebagai salah satu teknik penerapan program bimbingan. Bimbingan dan konseling juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk proses pemberian bantuan psikologis dan kemanusiaan secara ilmiah dan profesional yang diberikan oleh pembimbing (konselor) kepada yang dibimbing (klien, peserta didik) agar dia dapat berkembang secara optimal, yaitu mampu memahami diri, mengarahkan diri, dan mengaktualisasikan diri, sesuai dengan tahap perkembangan, sifat-sifat potensi yang dimiliki, dan latar belakang kehidupan serta lingkungannya sehingga tercapai kebahagiaan dalam kehidupannya.

3.Macam-macam BimbinganSebagai suatu bentuk bidang layanan, maka bimbingan dan konseling memiliki beberapa prinsip, macam, sifat, fungsi, serta tujuan yang jelas, sehingga dapat memberikan batasan cakupan atau bidang layanan bimbingan dan konseling tersebut.

Terdapat berbagai macam bentuk bimbingan. Menurut Vitalis (2006: 70-74), macam-macam bimbingan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain:

1) Ditinjau dari sifatnya, bimbingan dapat dibedakan menjadi:

a) Bimbingan preventif, yaitu bimbingan pencegahan atau bimbingan yang diberikan sebelum timbul permasalahan.

b) Bimbingan kuratif, yaitu bimbingan yang bertujuan untuk mengatasi atau memecahkan masalah yang menimpa atau yang sedang dihadapi siswa. Jadi sifat bimbingan ini lebih menunjuk kepada penyembuhan atau pemecahan masalah.

c) Bimbingan preservatif, yaitu bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk memelihara keadaan yang sudah baik atau mapan supaya tetap terjaga kebaikannya, atau dikembangkan menjadi lebih baik. Jadi lebih menunjuk kepada pemeliharaan agar masalah yang telah diatasi tidak muncul lagi.

2) Ditinjau dari segi jenisnya, bimbingan dibedakan menjadi:

a) Vocational guidance, yaitu bimbingan dalam memilih lapangan pekerjaan atau jabatan/profesi, dalam mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja dan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan dari pekerjaan tertentu.

b) Educational guidance, yaitu bimbingan dalam hal menemukan cara belajar yang tepat, dalam mengatasi kesulitan-kegagalan belajar, memilih jurusan atau studi lanjut.

c) Personal-social guidance, yaitu bimbingan dalam menghadapi dan mengatasi masalah kesulitan-kesulitan pribadi.

3) Ditinjau dari fungsinya, bimbingan dapat dibedakan menjadi:

a)Fungsi pemahaman

Yang pertama dan paling awal dilakukan oleh konselor sekolah adalah mengetahui siapa dan bagaimana siswa yang dikenai bimbingan itu. Mengetahui siapa dan bagaimana individu siswa berarti berusaha mengungkapkan dan memahami apa masalah dan kesulitan yang dihadapinya, apa dan bagaimana kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Hal ini dapat diperoleh melalui berbagai informasi tentang diri siswa, dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang sesuai.

b) Fungsi penyesuaian

Layanan bimbingan dan konseling berfungsi membantu terciptanya penyesuaian antara diri siswa dengan lingkungannya.

c) Fungsi penyaluran

Dalam keseluruhan proses pendidikan di skeolah siswa perlu dibantu agar memperoleh hasil belajar yang maksimal. Untuk itu setiap siswa hendaknya memperoleh kesempatan menyalurkan bakat, minat, dan kemampuannya, serta kebutuhan dan kecakapannya.

d) Fungsi pemecahan/pemberian bantuan

Fungsi ini merupakan upaya yang banyak membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang antara lain berupa: sikap dan kebiasaan belajar dalam belajar, masalah pribadi, masalah emosi, kondisi situasi masa remaja yang belum dipahami siswa, perasaan rendah diri, masalah adaptasi, dan lain-lain.B.Pengertian Belajar

Menurut Wittrock dalam Good dan Brophy (dalam Ibrahim, 2003), belajar adalah suatu terminologi yang menggambarkan suatu proses perubahan melalui pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relatif permanen berupa sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan keterampilan melalui pengalaman. Sedangkan Good dan Brophy (dalam Ibrahim, 2003) mengatakan bahwa belajar itu bagaimana seseorang memanipulasi lingkungan.Pengertian dan konsepsi hasil belajar yang dikemukakan oleh ahli-ahli sedikit banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran atau teori-teori yang dianutnya. Skiner dengan teori Kondisioning Operannya sebagaimana dikutip Gredler (dalam Ibrahim, 2003) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan respon (tingkah laku) yang baru. Walaupun Skiner mengatakan bahwa hasil belajar adalah berupa respon yang baru, namun pada dasarnya respon yang baru itu sama pengertiannya dengan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) yang baru. Gagne (dalam Ibrahim, 2003) berpendapat, belajar ialah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi dari lingkungan menjadi beberapa tahapan pengolahan informasi yang diperlukan untuk memperoleh kapabilitas yang baru. Kapabilitas inilah yang disebut hasil belajar. Berarti belajar itu menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlain-lainan, seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, informasi, dan nilai. Berbagai macam tingkah laku yang berlain-lainan inilah yang disebut kapabilitas sebagai hasil belajar.

Menurut Gagne dan Briggs (dalam Ibrahim, 2003) ada 5 (lima) kategori kapabilitas hasil belajar, yaitu 1) keterampilan intelektual (intellectual skills), 2) strategi kognitif (cognitive strategies), 3) informasi verbal (verbal information), 4) keterampilan motorik (motor skills), dan 5) sikap (atitudes). Sedangkan Bloom dengan kawan-kawannya sebagaimana dikutip oleh Degeng (1989:176-177), mengklasifikasikan hasil pengajaran (belajar) menjadi 3 (tiga) domain atau ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotor, dan sikap. Ranah kognitif, menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektual; Ranah psikomotor berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau keterampilan motorik; dan ranah sikap berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai, dan emosi. Dapat diasumsikan bahwa untuk menghasilkan kelima kategori kapabilitas atau kelima ranah hasil belajar tersebut sedikit banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor internal seperti pengetahuan prasyarat atau kemampuan awal dari masing-masing kategori hasil belajar yang telah dimiliki oleh siswa, yang berkaitan dengan kapabilitas atau keterampilan yang sedang dipelajari (baru).

Reigeluth (dalam Ibrahim, 2003) berpendapat hasil belajar atau pembelajaran dapat juga dikatakan sebagai pengaruh yang memberikan suatu ukuran nilai dari metode (starategi) alternatif dalam kondisi yang berbeda. Ada hasil nyata dan diinginkan. Hasil nyata, hasil-hasil kehidupan nyata dari menggunakan metode (strategi) sepesifik dalam kondisi yang spesifik pula, sedangkan hasil diinginkan adalah tujuan-tujuan (goals) yang umumnya berpengaruh pada pemilihan suatu metode. Ini berarti hasil belajar sangat erat kaitannya dengan metode (strategi) yang digunakan pada sesuatu kondisi (pembelajaran) tertentu. Semakin ketepatan pemilihan metode atau strategi (pembelajaran) pada suatu kondisi semakin baik hasil belajar. Selanjutnya Reigeluth (dalam Ibrahim, 2003) mengatakan secara spesifik, hasil belajar adalah suatu kinerja (performance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabiltas (kemampuan) yang telah diperoleh. Hasil belajar tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan-tujuan (khusus) perilaku (unjuk kerja).

Dari paparan beberapa teori dan konsep tentang belajar dan hasil belajar tersebut di atas, maka dapat dibuat suatu defenisi konseptual belajar atau hasil belajar sebagai suatu kesimpulan. Belajar atau hasil belajar adalah merupakan perilaku berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, informasi, dan atau strategi kognitif yang baru dan diperoleh siswa setelah berinteraksi dengan lingkungan dalan suatu suasana atau kondisi pembelajaran. Pengetahuan, keterampilan, sikap, informasi dan atau strategi kognitif tersebut adalah baru, bukan yang telah dimiliki siswa sebelum memasuki kondisi atau situasi pembelajaran dimaksud. Belajar atau hasil belajar tersebut bisa juga berbentuk kinerja atau unjuk kerja (performance) yang ditampilkan seseorang setelah selesai mengikuti proses pembelajaran atau pelatihan.C.Pengertian TunagrahitaTarmansyah (2006) mendefinisikan tunagrahita sebagai istilah lain dari tuna fisik; yang dimaksud disini adalah berbagai jenis gangguan fungsi fisik, yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Anak tunagrahita ini mudah diketahui karena ketunaannya tampak secara jelas. Sementara, Slamet Riadi, dkk. (dalam Carolina, 2006), mendefinisikan iIstilah lain dari tunagrahita adalah kelainan tubuh, cacat tubuh, cripple. Masing-masing ahli memilih istilah yang disukai dengan alasan sendiri-sendiri.

Adapun beberapa macam kelompok tunagrahita, diidentifikasi oleh Djaja Rahardja (dalam Carolina, 2006) sebagai berikut: a) Tunagrahita murni, golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, seperti poliomylitis serta cacat ortopedis lainnya, dan b) Tunagrahita kombinasi, golongan ini masih ada yang normal namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy.Namun terdapat pula yang berpendapat bahwa tunagrahita dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : a) Tunagrahita taraf ringan, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunagrahita murni dan tunagrahita kombinasi ringan. Tunagrahita jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang (buntung) dan cacat fisik lainnya; b) Tunagrahita taraf sedang, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini banyak dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tuna mental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal; c) Tunagrahita taraf berat, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umumnya anak yang terkena kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil dan idiot. Slamet Riadi, dkk. (2004: 17) membedakan tunagrahita menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: polio, cerebral palsy dan cacat tubuh yang lain. Uraian lebih lanjut dari ketunaan tersebut adalah: Polio, yang lebih lengkap disebut polio meningitis. Pada umumnya bila penderita sudah parah sulit untuk disembuhkan, penyebab penyakit ini adalah baksil atau virus. Kebanyakan yang terserang penyakit polio ini adalah anak yang berusia 2-6 tahun. Oleh karena itulah disebut sebagai penyakit lumpuh anak-anak.Beberapa jenis penyakit polio ini adalah hemiplegia, tubercoluse tulang dan muscle dystophie.

Cerebral palsy, menurut artinya dari cerebral atau cerebrum yang artinya otak. Palsy artinya kekakuan. Jadi cerebral palsy berarti kekakuan yang disesabkan kelainan didalam otak. Oleh karena itu cerebral palsy merupakan cacat sejak lahir yang sifatnya gangguan-gangguan atau kerusakan-kerusakan dari fungsi otot dan urat saraf. Cacat tubuh lain, dengan sendirinya semua kelainan fisik yang tidak termasuk dalam kategori polio dan cerebral palsy termasuk didalam ketunaan/ cacat tubuh lain.BAB III

PEMBAHASANA.Keberadaan TunagrahitaTunagrahita. Barangkali orang nyaris tak pernah mendengarnya. Sekalipun bukan kategori cacat fisik, mereka adalah juga penyandang cacat. Sering kali orang menyebutnya dengan istilah keterbelakangan. Namun, mereka sesungguhnya penyandang cacat fisik dan intelektual. Di kategori penyandang cacat, nasib mereka masih terabaikan.

Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental (mental retardation). Tuna berarti merugi, grahita berarti pikiran. Retardasi mental berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: lemah fikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh atau dungu (idiot), dan sebagainya. American Asociation on Mental Deficiency/AAMD (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006), mendefinisikan tunagrahita sebagai kelainan:

yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes;

yang muncul sebelum usia 16 tahun;

yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.

Sedangkan pengertian tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006) sebagai berikut:

1. Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.

2. Kekurangan dalam perilaku adaptif.

3. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.

Dilihat dari kurva normal, anak yang mengalami tunagrahita adalah mereka yang mengalami penyimpangan 2 (dua) standar deviasi, yaitu: mereka yang ber IQ 70 ke bawah menurut skala Wechsler, sedangkan mereka yang ber IQ antara 71 85 termasuk tunagrahita borderline (Brown, et. al., 1996, dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006).

Pendapat lain mengatakan, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ 70 ke bawah. Hallahan (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006), mengestimasikan jumlah penyandang tunagrahita adalah 2,3 %. Namun pada tahun 1984, Annual Report to Congress menyebutkan 1,92 % anak usia sekolah menyandang tunagrahita dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3 : 2.

Pada Data Pokok Sekolah Luar Biasa (2003: 11), dilihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang kelainan adalah 48.100.548 orang, jadi estimasi jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang tunagrahita adalah 2 % X 48.100.548 orang = 962.011 orang. B.Proses Belajar Mengajar pada Anak-Anak TunagrahitaTunagrahita atau anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.

Kelemahan anak tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai. Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.

Anak-anak tunagrahita sebenarnya tidak selamanya memiliki keterbelakangan mental. Ada yang mempunyai kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal. Bahkan tidak jarang kelainan yang dialami seorang anak tunagrahita tidak mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada di antara anak tunagrahita hanya mengalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya. Secara umum, perbedaan antara anak tunagrahita dengan anak normal terutama terdapat dalam tingkat kemampuannya. Namun hal ini juga sangat tergantung dari berat ringannya ketunaan yang mereka sandang. Dengan adanya ketunaan dalam diri seseorang seringkali eksistensinya sebagai manusia terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak maka dibutuhkan keterampilan sesuai dengan kemampuan dirinya. Oleh karena itu orang-orang yang terlibat didalam pendidikan bagi anak luar biasa harus mempunyai keterampilan dalam mengungkapkan dalam kebutuhan-kebutuhan personal psikologis yang dibutuhkan anak luar biasa. Layanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi anak luar biasa.

C.Masalah Psikologis Anak TunagrahitaKebutuhan merupakan sesuatu yang dapat mendorong munculnya aktifitas seseorang atau individu untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan juga merupakan prasyarat yang harus dipenuhi apabila ingin menciptakan sesuatu yang ideal atau yang dikehendaki. Manusia yang ideal adalah manusia yang dapat mengembangkan potensi diri dan sosialnya sesuai dengan kemampuan yang tersedia didalam dirinya. Kebutuhan manusia bukan hanya mencakup kebutuhan dasar dan pemenuhan kebutuhan fisik tetapi juga fisiologis. Kebutuhan fisiologis bagi anak luar biasa tentu saja sangat memerlukan bantuan orang lain didalam memenuhi kebutuhan hidup dan bathinnya, bahkan bantuan orang lain itu dapat saja berlangsung sepanjang hidupnya sebagai akibat dari beratnya keluarbiasaan yang disandang oleh anak tuna. Ditinjau dari aspek psikologis anak tunagrahita cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Keluarbiasaan jenis apapun yang disandang anak tuna merupakan pengalaman personal. Ini berarti siapapun yang berada diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami dan mengalaminya. Anak atau siswa tunagrahita yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan adanya keluarbiasaan dalam diri seseorang sering eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat saja terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu maka efek psikologis yang ditimbulkannya juga tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya itu, kapan saat terjadinya kecacatan, seberapa besar kualitas kecacatan dan karakteristik susunan kejiwaan anak atau siswa tersebut sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya. Masalah psikologis taraf ringan anak tunagrahita pada umumnya terjadi oleh gangguan lateralisasi. Beberapa anak tunagrahita hanya kesulitan untuk menggunakan anggota tubuh saja, ini sebagai akibat oleh kerusakan yang terdapat pada hemisper dominannya. Dalam hal ini anak yang mengalami gangguan anggota tubuh secara psikologi berlangsung normal sebagaimana permasalahan anak normal.

Masalah psikologis taraf sedang anak tunagrahita disebabkan sebagai akibat kerusakan pusat syaraf, sehingga anak seringkali mengalami kesulitan untuk mengolah rangsangan visual, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam konsep bentuk, keseimbangan posisi, ruang warna, perasa, bunyi dan peraba. Gangguan motorik berakibat pula terhadap kondisi jiwa, termasuk didalamnya adalah emosi, misalnya rasa rendah diri, mudah tersinggung dan keras kepala, tetapi intelegensinya tidak jauh berbeda dengan anak normal.

Masalah psikologis taraf berat anak tunagrahita pada umumnya sebagai akibat retardasi mental. Retardasi mental anak tunagrahita mencakup sebagian besar fungsi mental dan intelektual. Problema ini sebagai akibat dari kondisi ketidakmampuan anak yang disebabkan oleh imaturation, keterbatasan kemampuan untuk belajar dan berlatih, kesukaran untuk bergaul maupun bermain, kurang cepat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kemampuan dinilai lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal diusianya. Dengan demikian maka sikap anak atau siswa luar biasa, khususnya tunagrahita, akan tampak perbedaan sikap dari masing-masing anak ketika ia merespon sesuatu. Ada yang bersifat kekanak-kanakan atau infatil walaupun secara umur sudah bukan anak lagi. Jadi sikap anak luar biasa kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan umurnya. Bahkan ada juga yang bersikap apatis atau acuh tak acuh terhadap kehadiran orang lain, sikap pasif dan atau sikap menentang perintah (negativistik). Dalam sikap itu tersimpul didalamnya suatu kecenderungan corak perasaan dan kemauan. Corak perasaan dan kemauan seseorang tampak pada tingkah laku seseorang, namun tingkah laku biasanya didahului dengan usaha persiapan, yaitu proses berpikir.

D. Layanan Bimbingan Konseling pada Anak Tunagrahita untuk Peningkatan Kepercayaan diri dalam BelajarPengertian yang cukup mengenai fase-fase perkembangan manusia pada umumnya merupakan syarat utama apabila ingin membantu atau melayani seseorang anak atau siswa mengembangkan dirinya hingga memperoleh perkembangan yang harmonis dan optimal. Tiap fase perkembangan mempunyai sifat khas yang berlain-lainnan antar individu atau anak, oleh karena itu apabila memiliki pengertian dan pemahaman yang cukup tentang sifat khas dari fase-fase pekembangan tertentu maka akan dapat mengambil sikap yang tepat guna ikut mendorong individu berkembang dengan sebaik-baiknya. Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang dan atau sekelompok orang yang bertujuan agar masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya secara optimal, sehingga dapat mandiri dan atau mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Jadi yang ingin dicapai dengan bimbingan ialah tingkat perkembangan yang optimal bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut merupakan tujuan utama pelayanan bimbingan di sekolah, dan tujuan tersebut terutama tertuju bagi murid-murid sebagai individu yang diberi bantuan. Akan tetapi sebenarnya tujuan bimbingan di sekolah tidak terbatas bagi murid saja, melainkan juga bagi sekolah secara keseluruhan dan bagi masyarakat. Dengan demikian hakekat tujuan bimbingan dan konseling yaitu suatu upaya bantuan kepada individu agar dapat menerima dan menemukakan dirinya sendiri secara efektif dan produktif, sehingga dapat mengerahkan kemampuan dirinya dengan tepat, mengambil keputusan dengan benar dan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Oleh karena itu sudah saatnya dalam rangka menyongsong berlakunya Undang Undang Nomor : 14 Tahun 2006, tentang Guru dan Dosen maka Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kongkrit dengan mengangkat atau menetapkan profesi dan sertifikasi guru layanan bimbingan dan konseling pada sekolah-sekolah luar biasa, sehingga perhatian terhadap anak luar biasa menjadi tidak terabaikan dan sekaligus menepis isu diskriminasi terhadap anak didik.Kepercayan diri yang baik merupakan modal dasar untuk sukses di usia dewasa dan merupakan salah satu pertahanan terbaik dari depresi, cemas, dan penyakit mental lain yang seruapa di masa dewasa. Orang-orang dengan kepercayan diri yang baik cenderung melihat dunia berbeda dengan orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah. Jika sesuatu yang buruk terjadi di dalam kehidupan mereka, orang yang memiliki kepercayan diri tinggi biasanya melihat pada faktor di luar dan tidak telalu menyalahkan dirinya atas kegagalan yang terjadi. Jika itu memang itu kesalahannya, biasanya ia berusaha untuk belajar bagaimana caranya ia berubah dan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sementara jika sesuatu justru berlangsung, dengan baik, orang dengan kepercayaan diri tinggi biasanya menikmati kesuksesan dengan menghargai dirinya.Orang dengan kepercayan diri rendah cenderung menyalahkan dirinya sendiri terhadap semua kegagalan dan hal-hal yang salah. Ia melihat semuanya sebagai kesalahanya pribadi, bahkan jika sumber kesalahan berasal dari luar. Sementara jika sesuatu berlangsung dengan baik, orang yang memiliki kepercayan diri rendah biasanya tidak menghargai dirinya sendiri atas kesuksesan itu.Kebanyakan anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak-anak tunagrahita, menderita kepercayan diri yang rendah karena mereka tidak mampu belajar, bekerja sama dalam kelompok atau melakukan hal-hal lainnya semudah orang-orang lain dan mereka menerima banyak pesan yang mengatakan padanya bahwa mereka tidaklah sebaik orang-orang lain atau mengasingkan mereka karena mereka berbeda.

Seorang guru yang ingin melibatkan semua muridnya, termasuk murid tunagrahita dalam pengajarannya seharusnya memperhatikan beberapa hal di bawah ini:

Mencoba memahami murid-muridnya Mencoba mawas terhadap latar belakang dan pengalaman dari muridnya yang dibawa ke kelas yang memengaruhi bagimana mereka menangkap pelajaran dari sang guru

Mencoba memahami diri sendiri dan bagaimana latar belakang akademik dan pribadi yang dimiliki, dapat memengaruhi cara guru merencanakan dan mengajar dalam kelas atau beriteraksi dengan murid-murid Mempertimbangkan cara mengajar yang diterapkan Mencoba memperluas gaya yang digunakan dalam metode pengajaran supaya dapat lebih efektif dengan menghadapi murid-murid yang beragam

Mempertimbangkan apa yang diajarkan agar seluruh murid di kelas dapat memperoleh pemahaman yang sama dan dapat memberikan akomodasi terhadap kondisi muri-murid yang beragan dan dengan perspektif yang berbeda-beda tanpa membuat mereka merasa rendah diri. Berdasarkan beberapa uraian tentang masalah psikologis yang dimiliki para anak tunagrahita dan adanya upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar pada anak-anak tunagrahita tersebut di atas, maka di bawah ini disampaikan beberapa layanan bimbingan dan konseling yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar pada siswa SDLB Karangrejo, Magetan.1. Setiap guru dapat memulai layanan bimbingan dan konseling dengan selalu ingat bahwa seorang guru memiliki pengaruh yang amat penting dan bersifat jangka panjang terhadap murid-murid mereka.Dengan demikian, maka setiap guru perlu memiliki pandangan bahwa tanpa bantuan dari diri mereka, maka akan membuat perkembangan psikologis murid-murid SDLB Karangrejo, Magetan tersebut terganggu. Adanya pikiran tersebut akan membuat setiap guru merasa bertanggung jawab terhadap murid-muridnya, termasuk dalam hal upaya peningkatan kepercayaan diri murid dalam belajar. Selain itu, setiap guru juga perlu mendorong kepercayan diri di kelas berkaitan erat dengan meningkatnya motivasi dan pembelajaran. Strategi untuk menumbuhkan rasa kepercayan diri bisa di pengaruhi secara bersamaan dengan belajar kemampuan akademik dan kebutuhan akan tambahan waktu bagi guru. Fokus pada kepercayan diri bisa menimbulkan lingkungan pengajaran yang lebih menyenangkan dan memuaskan. 2. Layanan bimbingan dan konseling yang disampaikan kepada setiap siswa diarahkan untuk membantu murid-murid merasa bahwa mereka diterima di sekolah itu. Dengan membuat murid-murid merasa diterima di sekolah dan tidak ada bentuk pembedaan atau perlakuan yang berbeda, maka murid akan merasa nyaman untuk belajar dan akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam belajar.3. Dalam upaya mendukung penyampaian layanan bimbingan dan konseling untuk peningkatan kepercayaan diri dalam belajar tersebut, maka guru dapat memberikan murid-murid tanggung jawab yang cocok dengan kemampuan mereka supaya mereka dapat melihat diri mereka memiliki kontribusi berarti dan membuat suatu perbedaan di dalam kelas, bahkan jika itu sesuatu yang tampak kecil/sepele, seperti menyirami tanaman. Dengan adanya tanggung jawab yang diberikan kepadanya, maka jika murid merasa berhasil mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya akan membuat murid tersebut semakin yakin terhadap kemampuan yang dimilikinya, yang pada akhirnya diharapkan akan dapat mendukung rasa percaya diri murid dalam belajar. Guru juga dapat membuat tugas-tugas yang realitis dan dapat dikerjakan sehingga anak dapat merasakan kesuksesan.4. Guru yang bertugas menyampaikan layanan bimbingan dan konseling perlu menawarkan pada murid-murid kesempatan untuk membuat pilihan-pilihan dan keputusan dan mengatasi persoalan mereka. Guru juga perlu mencari peluang untuk menawarkan pilihan-pilihan untuk membiarkan murid melatih kemampuannya dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, murid merasa diberi tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan tidak merasa aktivitasnya diatur oleh pihak sekolah atau guru. 5. Setiap ada permasalahan, misalnya adanya kesalahan yang dilakukan oleh murid, maka guru perlu mengkomunikasikan dorongan dan feedback positif. Kerusakan pada kepercayaan diri dapat terjadi ketika murid-murid merasa direndahkan, diacuhkan atau dituduh sebagai pemalas, pengganggu, atau buruk ketika mereka berusaha memahami apa yang sedang diajarkan. Untuk itu, guru perlu menghindari penggunaan kata-kata sarkasme dengan anak-anak, mengingat sebagian besar anak tidak dapat mengerti dengan baik dan seringkali menyalahartikan. Hal ini terutama amat penting bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus atau anak-anak tunagrahita tersebut. Ketika mendiskusikan suatu tema atau permasalahan, hindari mengungkit-ungkit kesulitan-kesulitan di masa lalu. Memahami kesalahan adalah suatu hal yang pasti dan penting sebagai bagian dari proses pembelajaran. Guru dapat menggunakan kesalahan sebagai kesempatan untuk mengajar, bukan kesempatan untuk mempermalukan.

6.Yang terakhir, guru harus selalu ingat bahwa perhatian yang tulus seringkali lebih efektif dari pada pujian. Untuk itu, guru perlu menampilkan perhatian yang murni dan terdalam pada diri anak tunagrahita. BAB IVPENUTUP

A.KesimpulanBerdasarkan uraian tentang layanan bimbingan konseling untuk peningkatan kepercayaan diri dalam belajar pada anak tunagrahita yang dilakukan sebelumnya, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental (mental retardation). Tuna berarti merugi, grahita berarti pikiran. Retardasi mental berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: lemah fikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh atau dungu (idiot), dan sebagainya.

2. Pada anak-anak yang mengalami kelainan yang berupa tunagrahita, memiki kecenderungan tingkat kepercayaan dirinya rendah. Tidak jarang, diperlukan suatu eprlakuan khusus agar anak-anak tunagrahita tidak merasa tersinggung dan kepercayaan dirinya turun.3. Pada pembelajaran di sekolah, terdapat suatu layanan pengembangan diri yang termasuk di dalam layanan bimbingan konseling. Dengan adanya bentuk layanan ini, maka dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan diri para anak tunagrahita dalam belajar. Bagaimanapun juga, para anak tunagrahita ini juga perlu belajar demi masa depan mereka.4. Terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh para guru dan pengelola layanan bimbingan konseling dalam meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar pada anak-anak tunagrahita, diantaranya adalah dengan membantu murid-murid merasa bahwa mereka diterima di sekolah dan memberikan murid-murid tanggung jawab yang cocok dengan kemampuan mereka supaya mereka dapat melihat diri mereka memiliki kontribusi berarti.B.SaranDari beberapa ulasan mengenai penerapan layanan bimbingan konseling pada anak tunagrahita untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar tersebut dapat disampaikan beberapa saran berikut ini:1. Sebaiknya, layanan bimbingan konseling yang diberikan kepada para anak tunagrahita tersebut tidak terbatas pada upaya peningkatan kepercayaan diri dalam belajar saja, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan upaya pemberian bantuan bimbingan dalam pengembangan diri, sehingga dimungkinkan setiap murid juga memiliki penguasaan suatu ketrampilan khusus, misalnya dalam hal pertukangan, sehingga dapat dijadikan sebagai bekal hidup di kemudian hari.2. Layanan bimbingan dan konseling pada anak-anak tunagrahita sebaiknya juga diimbangi dengan berbagai kegiatan positif lain, seperti dengan mengikutkan anak pada even olahraga khusus anak berkelainan, misalnya dengan mengikutikan anak yang berprestasi dan berbakat pada salah satu cabang olah raga tertentu di even Special Olympics Indonesia (SOIna). Diharapkan, dengan adanya pengalaman berinteraksi dengan orang banyak dan dunia luar, meskipun tidak mencapai prestasi yang tinggi, dapat meningkatkan rasa percaya diri anak-anak tinagrahita tersebut.3. Bagaimanapun juga, anak-anak tunagrahita memerlukan penanganan khusus. Untuk itu, sebaiknya setiap guru yang menangani anak-anak tunagrahita juga perlu menciptakan suatu interaksi batin yang kuat dengan siswa. Dengan adanya perhatian penuh yang direspon oleh anak, maka upaya pembelajaran dan pengembangan diri yang disampaikan akan direspon dengan baik pula oleh anak.DAFTAR PUSTAKACarolina, 2006, Anak Luar Biasa Tuna Daksa Perlu Perhatian Lebih, www.KBI.Gemari.or.id. Degeng, I. Nyoman S., 1989, Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud,Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006, Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita, www.ditplb.or.id. Ibrahim, Nurdin, 2003, Hubungan Tempat Tutorial Tatap Muka Dengan Hasil Belajar Siswa SLTP Terbuka, Jurnal Teknodik, Edisi No. 12/VII/Oktober/2003.Kardi, 2005, Pengantar Bimbingan dan Konseling, Madiun: IKIP PGRI.Tarmansyah, K., 2006, Pengetahuan tentang Kelainan Tunagrahita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Vitalis, D. S., 2006, Pengantar Pengajaran Bimbingan dan Konseling, Buku Modul 2, Madiun: IKIP PGRI.