Upload
ch-munib
View
193
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
akses gratis untuk semua data
Citation preview
PERTANIAN
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Perekinomian Indonesia
yang dibina oleh Drs. Mardono, M.Si
Oleh
Desinta Ar Hidiyah 110431406715
Ida Kurniawati
Maya Andri Kurniawati 110431406716
Muhammad Maulana 110431406723
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI
Desember 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari
pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan
ekonomi jangka panjang maupun dalam rangka pemulihan ekonomi bangsa. Peranan sektor
pertanian adalah sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan,
menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, memberikan sumbangan
terhadap pendapatan nasional yang tinggi, memberikan devisa bagi negara dan mempunyai
efek pengganda ekonomi yang tinggi dengan rendahnya ketergantungan terhadap impor
(multiplier effect), yaitu keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi.
Dampak pengganda tersebut relatif besar, sehingga sektor pertanian layak dijadikan
sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor pertanian juga dapat
menjadi basis dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan melalui pengembangan
usaha berbasis pertanian yaitu agribisnis dan agroindustri. Dengan pertumbuhan yang terus
positif secara konsisten, sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan
ekonomi nasional (Antara,2009).
Pertaniandalam arti luas meliputi sector pertanian, perikanan, peternakan dan
perkebunan. Pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk pemenuhan pangan dan gizi
serta menambah pendapatan (kesejahteraan) masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan
menggalakkan pembangunan sektor pertanian dengan sistem agribisnis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan lingkup dari pertanian?
2. Bagaimanakah perkembangan dari subsector pertanian?
3. Bagaimanakah peran sector pertanian dalam perekonomian Indonesia?
1.2 Tujuan
1. Utuk mengetahui pengertian dan lingkup dari pertanian.
2. Untuk mengetahui perkembangan dari subsector pertanian.
3. Untuk mengetahui peran sector pertanian dalam perekonomian Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DAN LINGKUP PERTANIAN
Sector pertanian yang dimaksudkan dalam konsep pendapatan nasional menurut
lapangan usaha atau sector produksi ialah pertanian dalam arti luas. Di Indonesia, sector
pertanian dalam arti luas ini dipilah-pilah menjadi lima subsektor yaitu :
1. Subsektor Tanaman pangan
2. Subsektor Perkebunan
3. Subsektor Kehutanan
4. Subsektor Peternakan
5. Subsetor Perikanan
Masing-masing subsektor dengan dasar klasifikasi tertentu, dirinci lebih lanjut
menjadi subsektor yang lebih spesifik. Nilai tambah sector pertanian dalam perhitungan PDB
tidak lain merupakan hasil penjumlahan nilai tambah dari subsektor-subsektor ini. Nilai
tambah tersebut dihitung dengan menggunakan pendekatan produksi. tingkat harga yang
dipakai untuk menghitung nilai produksi nilai produksi adalah harga pada tingkat
perdangangan besar.
Subsektor tanaman pangan sering juga disebut subsektor pertanan rakyat. Disebut
demikian karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat, maksudnya bukan oleh
perusahaan atau pemerintah. Subsektor ini mencakup komoditas-komoditas bahan makanan
seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai serta sayur-sayuran
dan buah-buahan.
Sector pertanian tidak terbatas hanyapada tanaman pangan atau pertanian rakyat,
bukan semata-mata kegiatan produksi melalui bercocok tanam. Produsen di sektorpertanian
juga tidak hanya orang perorangan,tapi juga perusahaan berbadan hukum. Kalaupun sector
pertanian lebih sering dipahami terbatas seakan-akan hanya urusan tanaman pangan, hal itu
adalah karena tanaman pangan merupakan subsektor inti didalamsektor pertanian, termasuk
di indonsia. Sebagai pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia, yakni bahan
makanan, kedudukan subsektor tanaman pangan sangat strategis. Itulah sebabnya kepedulian
terhadap subsektor tanaman pangan sanagt besar, jauh melebihi kepedulian terhadap
subsektor-subsektor lain.
Dalam aspek teknologi, pertanian tidakrelevan untuk selalu diidentikkan denga
keterbelakangan atau ketertinggalan, sebab teknologi disektor pertanian juga selalu
berkembang. Bukan hanya teknologi dalam pengolahan hasil-hasilnya saja, melainkan juga
teknologi prduksi hasil-hasil pertanian itu sendiri, baik dalam hal budidayanya maupun dalam
hal perbenihnya. Bioteknologi pertanian bahkan berkembang sangat pesat dewasa ini. Dimasa
dating perkembangan itu diperkirakan akan jauh lebih pesat lagi sehingga bukan mustahil
akan Berjaya kembali menjadi sector ungguan dimasa mendatang.
Indonesia sangat tertinggal dalam pengembangan bioteknologi pertanian. Ini
disebakan karena kita masih berkutat pada masalah structural yang mendasar disektor
pertanian.
2.2 PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
2.2.1 Subsektor Tanaman Pangan
Subsektor tanaman pangan memegang perananpenting sebagai pemasok kebutuhan
konsumsi penduduk. Khususnya di Indonesia,tanaman pangan juga berkedudukan strategis
dalam memelihara stabilitas ekonomi nasional. Bahan pangan, terutama beras sebagai makan
pokok, masih menjadi salah satu komoditas “kunci” dalam mempengaruhi kestabilan harga-
harga umum. Kenaikan harga beras dapat memicu kenaikan harga barang-barang lain.oleh
karenanya tanaman pangan, khususnya produksi padi, senantiasa menjadi perhatian serius
pemerintah.
2.2.1.1 Produksi
Subsektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar nilai tambah sector
pertanian. Sekedar perbandngan, selama periode 1998-1994 sumbangan subsektor ini rata-
rata diatas 9% setiap tahun, sedangkan subsektor-subsektor lainnya masih masing-masing
belum mencapai 4%. Akan tetapi ditinjau secara dinamis dalama konteks perkembangan,
peranan subsektor tanaman pangan selama periode tersebut mengalami penurunan.
Produksi tanaman pangan dapat ditingkatkan melalui perluasan areal (ekstensifikasi)
dan penngkatan produktifitas (intensifikasi). Argument tekno-agronomis semacam ini telah
menyesatkan banyak orang, termasuk para penentu kebijaksanaan. Argumentasi tekno-
agronomis semata sesungguhnya belum cukup, harus dilengkapi dengan argumentasi
ekonomis. Tersedianya lahan yang lebih luas dan teknologi produksi yang mampu menaikkan
produktivitasnya tidak dengan sendirinya mendorong petani untuk lebih giat menanam,
kecuali jika terdapat rangsanga ekonomi yang dapat menarinya untuk proaktif berproduksi.
2.2.1.2 Konsumsi
Perkembangan subsektor tanaman pangan bukan saja telah berhasil mencukupi
penduduk akan pangan, tetapi juga memperbaiki pola konsumsi masyarakat. Porsi kalori dan
protein yang bersumber dari tanaman pangan atau nabati cenderung menurun, walaupun
masih berandil diatas 75%. Peranan tanaman pangan sebagai sumber kalori menurun dari
82%.
Tanaman padi-padian masih menjadi sumber utama bagi kalori dan protein. Hal ini
mudah dipahami simber utama bagi kalori dan protein. Namun demikian,peranan padi-padian
sebagai sumber utama kalori dan protein menunjukkan gejala penurunan. Dipihak lain,
peranan sayuran dan buah-buahan meningkat. Ini penanda kian membaiknya komposisi
konsumsi penduduk. Perbaikan pola konsumsi dapat pula dilihat melalui perubahan struktur
pengeluaran rumah tangga.
2.2.1.3 Kebijaksanaan Padi atau Beras
Tanaman padi layak beroleh perhatian khusus mengingat:Beras merupakan bahan
makanan utama,Padi merupakan tanaman utama yang diusahakan oleh petani, yang nota bene
adalah mayoritas penduduk.Kebijaksanna pangan, khususnya terhadap padi/beras, merupakan
salah satu unsure penting dalam struktur anggaran pemeritah. Sebagai salah satu komoditas
pengendalian tingkat harga-harga umum (inflasi), pemerintah menerapkan kebijaksanaan
khusus untuk pengadaan pangan. Kebijaksanaan dimaksud antara lain meliputi pemberian
subsidi atas harga pupuk, penyediaan kredit, penerapan harga gabah, serta berbagai
mekanisme kelembagaannya. Untuk pengadaan dan pengendalian pangan ini pemerintah
menyerahkan pengelolaannya kepada Badan Urusan Logistik (BULOG, sebuah lembaga
pemerintah nondepartemen). BULOG tidak hanya menangani beras, akan tetapi juga berbagai
barang kebutuhan pokok seperti gula, terigu dan minyak goreng.
Tugas utama BULOG pada dasarnya adalah menjamin harga pembelian gabah pada
tungkat produsn agar tidak jatuh dibawah harga yang ditetapkan. Dalam pengadaan beras,
BULOG bekerja sama dengan KUD-KUD membeli gabah dari petani produsen. Di sisi lain,
KUD menjadi perantara BULOG dengan petani dalam penyaluran sarana produksi padi,
khususnya pupuk dan obat-obatan. Sedangkan dalam hal penyediaan kredit bagi petani,
pemerintah menyalurkannya melalui BRI yang ditunjuk selaku bank pelaksana. Kredit yang
disediakan oleh pemerintah pada umumnya merupakan kredit bersubsidi atau berbungan
rendah. Pengucurannya diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain:
Diberikan langsung kepada petani dalam bentuk barang (benih dan pupuk) serta uang
tunai
Kredit likuiditas yang diberikan kepada BULOG untuk pembelian gabah
Kredit likuiditas yang diberikan kepada BULOG untuk pembangunan gudang-
gudangnya.
2.2.2 Subsektor Perkebunan
2.2.3 Subsektor Kehutanan
Berbeda dengan subsektor-subsektor lain yang berada dibawah naungan Departemen
Pertanian, subsektor Kehutanan secara kelembagaan diurus oleh Departemen Kehutanan.
Hasil utama subsektor kehutanan adalah kayu. Hasil-hasil hutan lainnya digolongkan
sebagai hasil hutan ikutan, meliputi sirap, arang, kayu bakar, bambu, damar, rotan,
gondorukem, terpentin, minyak kayu putih, benang sutera, dan tengkawang. Nilai akhir dari
hasil-hasil hutan yang belum diolah inilah yang termasuk kedalam nilai produk sektor
pertanian dalam perhitungan produk domestik bruto. Sedangkan nilai tambah hasil-hasil
hutan yang sudah diolah terutama kayu olahan, termasuk kayu gergaji – dalam perhitungan
PDB dimasukkan sebagai nilai produk sektor industry pengolahan (manufacturing). Istilah
“konsumsi kayu” berarti konsumsi oleh industri-industri tersebut akan kayu gergajian
(swantimber), kayu lapis (plywood), papan artikel (particle board), bubur kertas (pulp),
kertas, termasuk karton, serta meubeler (furniture).
Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia sebesar
99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan
Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012). Lahan hutan terluas ada di
Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65
juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta
ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).
Berdasarkan tata gunanya hutan di Indonesia dibedakan atas :
Hutan lindung : 29.037.397,02 ha
Hutan suaka alam
Hutan wisata
Hutan produksi :
o Hutan produksi terbatas : 16.215.977,26 ha
o Hutan produksi tetap : 27.823.177,43 ha
o Hutan produksi yang dapat dikonversi : 13.670.535,00 ha
Keempat kategori yang disebutkan diatas merupakan hutan tetap, penggunaannya tidak
dapat dikonversi (non-convertible).
Hutan yang diusahakan untuk diambil hasilnya adalah hutan produksi, yang sebagian
diantaranya berupa areal hutan tanaman industry. Pengelolaan hutan produksi dijalankan oleh
perusahaan-perusahaan berdasarkan Hak Pengusahaan Hutan yang diberikan oleh pemerintah
melalui Departemen kehutanan.
Berikut adalah jumlah Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan Menurut Provinsi,
2007-2011 :
ProvinsiJumlah Perusahaan
2007 2008 2009 2010 2011
Nanggroe Aceh
Darussalam 8 7 7 2 0
Sumatera Utara 6 6 6 3 3
Sumatera Barat 4 4 4 3 3
R i a u 15 13 6 5 4
J a m b i 3 2 2 2 2
Sumatera Selatan 2 2 2 1 1
Bengkulu 1 1 2 0 0
Nusa Tenggara Barat 0 0 0 0 0
Kalimantan Barat 25 26 24 20 14
Kalimantan Tengah 60 57 58 52 51
Kalimantan Selatan 6 6 5 3 3
Kalimantan Timur 87 86 87 68 67
Sulawesi Utara 2 2 2 1 1
Sulawesi Tengah 15 14 13 9 5
Sulawesi Selatan 0 0 0 2 2
Sulawesi Tenggara 3 3 3 2 2
Gorontalo 4 4 3 2 2
Sulawesi Barat 6 5 4 3 3
M a l u k u 11 9 11 9 8
Maluku Utara 17 16 16 14 14
Papua Barat 23 20 22 23 22
Papua 26 25 27 24 24
Indonesia 324 308 304 248 231
Sumber : Statistik Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan, BPS
Dengan Luas Areal Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan, 2008-2011 :
ProvinsiLuas Areal (Ha)
2008 2009 2010 2011
Nanggroe Aceh
Darussalam 409,644 409,644 145,000 -
Sumatera Utara 328,803 328,803 212,523 212,523
Sumatera Barat 210,240 194,290 160,726 160,726
R i a u 715,128 318,408 353,011 233,858
J a m b i 45,825 45,825 45,825 45,825
Sumatera Selatan 108,170 108,170 56,000 56,000
Bengkulu 23,000 56,070 0 0
Nusa Tenggara Barat 0 0 0 0
Kalimantan Barat 1,214,065 1,195,570 1,003,315 644,815
Kalimantan Tengah 4,120,635 4,086,305 3,743,413 3,785,837
Kalimantan Selatan 359,361 279,421 182,721 182,721
Kalimantan Timur 6,581,712 6,183,873 5,248,748 4,729,844
Sulawesi Utara 60,800 60,800 34,000 34,000
Sulawesi Tengah 902,245 854,245 578,890 412,030
Sulawesi Selatan 0 0 244,540 244,540
Sulawesi Tenggara 385,590 385,590 89,590 89,590
Gorontalo 185,570 145,000 123,500 123,500
Sulawesi Barat 249,407 214,245 193,165 193,165
M a l u k u 554,695 697,195 548,465 503,765
Maluku Utara 913,040 804,820 818,849 818,849
Papua Barat 3,560,590 3,885,970 3,418,090 3,364,290
Papua 5,241,293 5,516,643 4,708,828 4,722,828
Indonesia 26,169,813 25,770,887 21,909,199 20,558,706
Sumber : Statistik Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan, BPS
Berkurangnya jumlah HPH dibeberapa provinsi dari tahun ke tahun disebabkan
karena adanya penggabungan (akuisisi) antarperusahaan, serta penertiban terhadap pemegang
HPH yang melanggar ketentuan.
Hutan di Indonesia dijuluki sebagai hutan tropis karena tumbuh di daerah tropis. Kayu yang
dihasilkan bermacam-macam antara lain jati, meranti, kruing, bangkirai, agathis, dan kayu ramin.
Lebih dari separuh kayu bulat yang dihasilkan adalah kayu meranti, yang berasal dari hutan di
Kalimantan.
Produksi Kayu Bulat oleh Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan Menurut
Jenis Kayu, 2007-2011
Jenis
Kayu
Produksi Kayu (M3)
2007 2008 2009 2010 2011
Agathis 12,754 18,121 6,034 5,853 6,380
Bakau 188,224 55,558 110,205 160,989 0
Bangkirai 72,178 77,127 77,818 82,063 99,244
Benuang 7,066 39,945 36,450 36,109 0
Damar 2,615 2,409 1,491 525 0
Duabanga 0 0 0 0 0
Indah 24,457 85,434 59,699 45,307 48,094
Jelutung 38,734 24,813 17,431 21,340 0
Kapur 496,354 281,591 268,621 250,500 209,827
Kruing 238,990 372,044 369,933 342,897 168,467
Meranti
4,876,1
71
4,362,2
97
4,062,6
71
4,385,5
10
4,091,9
90
Mersawa 14,610 106,304 105,334 100,886 3,657
Nyatoh 25,760 41,595 39,141 35,449 22,337
Palapi 22,197 35,767 15,756 7,222 0
Ramin 65,788 92,425 67,707 31,583 35,256
Resak 3,566 7,458 6,756 4,822 246
Lainnya 925,403 908,950 904,864 960,546 948,357
Rimba
Campuran
1,499,3
61
1,546,8
96
1,249,3
38 869,666 739,554
Indonesia
8,514,2
28
8,058,7
34
7,399,2
49
7,341,2
67
6,373,4
09
Sumber : Statistik Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan, BPS
Kayu bulat yang dihasilkan pada umumnya dicadangkan untuk keperluan bahan baku
industri kehutanan di dalam negeri, terutama industri kayu gergaji, kayu lapis, dan industri
kertas. Sebagian lagi digunakan untuk bahan baku industri perabot rumah tangga atau
meubeler. Ekspor kayu bulat/glondongan dilarang sejak tahun 1980-an. Rotan mentah juga
terkena larangan ekspor, sejak tahun 1989. Pelarangan ekspor kayu bulat dan rotan mentah
dimaksudkan agar industri terkaitnya di dalam negeri tidak mengalami kelangkaan bahan
baku.
2.2.4 Subsektor Peternakan
Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting
untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak
utama dan hasil produksinya merupakan gambaran tingkat ketersediaan sumber bahan protein
nasional. Tingkat konsumsi yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia
dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan daging dan produksi ternak lainnya dan tingkat
pendapatan rumahtangga (purchasing power). Faktor tingkat pendapatanlah yang akan
menentukan apakah rumahtangga/individu akan lebih banyak mengkonsumsi sumber
karbohidrat atau protein, yang akan berpengaruh pada tingkat konsumsi berkualitas dan
sesuai dengan persyaratan gizi.
Populasi Ternak
Sumber produksi daging adalah dari ternak sapi potong, ternak unggas, kambing, domba dan
sebagian kecil dari ternak kerbau, sapi perah dan kuda afkiran. Pada tahun 2004 populasi sapi
potong, kerbau dan kuda masing masing sebanyak 10,4 juta ekor, 2,5 juta ekor dan 0,4 juta
ekor. Perkembangan populasi dari ternak-ternak penghasil daging tersebut pada tahun 2004
relatif tetap kecuali untuk populasi sapi potong yang mengalami penurunan sekitar 1%
dibandingkan tahun 2003. Selain itu, ternak besar ini lebih banyak diproduksi di luar Jawa
daripada di Jawa.
Sementara itu, populasi ternak kambing dan domba pada tahun 2004 masing-masing
meningkat 5,7% dan 5,6% dibanding tahun 2003. Pada periode yang sama, ternak babi
meningkat 6,8%, dan ternak ayam pedaging meningkat sebesar 4,9%. Ternak kecil penghasil
daging ini lebih banyak di produksi di Jawa dibandingkan di luar Jawa
Wilayah-wilayah yang merupakan sumber utama ternak sapi potong adalah Jawa Timur,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Barat, Bali, NTT, Sumsel, NTB, dan
Lampung. Kemudian wilayah yang mempunyai potensi cukup besar untuk ternak kambing
dan domba adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumut, NAD, Banten,
dan Sulsel. Sedangkan wilayah yang potensial untuk perkembangan ternak domba adalah
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Untuk ternak ayam ras petelur dan pedaging banyak berkembang di wilayah Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Populasi dari masing-masing
ternak tersebut pada tahun 2003 mencapai 277,4 juta ekor; 79,2 juta ekor dan 33,9 juta ekor.
Sementara, produksi telur ayam ras dan itik meningkat, produksi telur ayam buras menurun
sebesar 2,0% (Tabel 36).
Ternak sapi perah yang merupakan penghasil utama susu segar pada tahun 2003 meningkat
sekitar 4,3% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 358,4 ribu ekor pada tahun 2002
menjadi 373,8 ribu ekor, dan pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 381,6 ribu ekor.
Wilayah propinsi yang paling banyak populasi ternak sapi perahnya adalah Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat dengan jumlah kontribusi masing-masing sekitar 37,2%, 32,6% dan
25,4% dari total populasi sehingga ke 3 propinsi tersebut merupakan pemasok utama susu
untuk kebutuhan konsumsi susu nasional
Tabel populasi ternak di Indonesia
Populasi ternak (000 ekor) tahun 2000-2005
Ternak 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sapi Potong 11,008 11,137 11,298 10,504 10,533 10,569
Sapi Perah 354 347 358 374 364 361
Kerbau 2,405 2,333 2,403 2,459 2,403 2,128
Kuda 412 422 419 413 397 387
Kambing 12,566 12,464 12,549 12,722 12,781 13,409
Domba 7,427 7,401 7,641 7,811 8,075 8,327
Babi 5,357 5,369 5,927 6,151 5,98 6,801
Ayam Buras 259,257 268,039 275,292 277,357 276,989 278,954
Ayam Ras Petelur 69,366 70,254 78,039 79,206 93,416 84,79
Ayam Ras Pedaging 530,874 621,87 865,075 847,744 778,97 811,189
Itik 29,035 32,068 46,001 33,863 32,573 32,405
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan
Produksi Daging, Telur, dan Susu
Dengan perkembangan populasi ternak potong yang relatif masih rendah tersebut, maka
jumlah produksi daging yang dapat diproduksi dari dalam negeri juga sangat terbatas. Pada
tahun 2004 produksi daging hanya meningkat 7,9% dari tahun 2003, yaitu dari 1,9 juta ton
menjadi 2,0 juta ton dan pada tahun 2005 sedikit meningkat menjadi 2,1 juta ton.
Peningkatan produksi daging berasal dari daging sapi, kambing, babi dan daging ayam
Sementara itu, meskipun populasi sapi perah menunjukkan peningkatan (Tabel 37), namun
produksi susu malahan menurun, yaitu dari 553,4 ribu ton, menjadi 549,9 ribu ton, atau turun
sebesar 0,6%
Produksi telur untuk konsumsi di dalam negeri sebagian besar berasal dari ternak ayam buras,
ayam ras petelur dan itik. Produksi telur pada tahun 2004 mencapai 1,1 juta ton atau
meningkat 13,7% dibandingkan pada tahun 2003; dan tahun 2005 meningkat lagi menjadi
1,15 juta ton. Wilayah propinsi yang merupakan penghasil utama telur adalah Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara (Tabel 40).
Konsumsi
Berdasarkan data konsumsi daging, telur dan susu menunjukkan peningkatan. Konsumsi
daging pada tahun 2004 meningkat sebesar 3,1% dibandingkan tahun sebelumnya, konsumsi
telur meningkat sebesar 7,9% dan konsumsi susu meningkat sebesar 2,8%. Apabila
dibandingkan dengan tingkat produksi daging, konsumsi daging secara total tersebut dapat
dipenuhi dari dalam negeri, meskipun untuk setiap jenis daging belum tentu demikian.
Sedangkan konsumsi susu hanya mencukupi 21,9% nya
Dengan tingkat konsumsi total seperti dalam Tabel 41, maka rata-rata konsumsi nasional
daging, telur dan susu per kapita pada tahun 2004 masing-masing adalah sebesar 6,2 kg; 4,4
kg; dan 6,78 kg. Konsumsi daging per kapita per tahun tersebut meningkat 1,5%, yaitu dari 6
kg pada tahun 2003 menjadi 6,05 kg pada tahun 2004. Konsumsi telur meningkat sebesar
6,6% yaitu dari 4,11 kg menjadi 4,38 kg pada periode yang sama. Demikian juga dengan
konsumsi susu yang mengalami kenaikan 1,3% dari 6,7 kg menjadi sebesar 6,8 kg.
Sekitar 60% konsumsi daging nasional berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, DKI Jaya,
Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Tingkat konsumsi daging per kapita yang paling
tinggi berada di wilayah DKI Jakarta, Bali dan Kalimantan Timur yaitu di atas 10
kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi daging per kapita yang paling rendah adalah masyarakat
yang berada di wilayah Maluku Utara, Maluku dan Papua.
Dengan tingkat konsumsi tersebut, tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia
masih jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Sebagai contoh, rata-rata tingkat
konsumsi protein hewani di Indonesia hanya mencapai 4,7 gram/ orang/hari. Sedangkan di
Malaysia, Thailand dan Philipina rata-rata telah di atas 10 gram/orang/hari. Kemudian di
negara maju seperti Jepang, Australia, dan New Zealand konsumsi rata-rata telah mencapai di
atas 20 gram/kapita/hari.
Ekspor - Impor
Dalam perdagangan produk peternakan, Indonesia masih merupakan net importer. Pada tahun
2002 nilai ekspor produk peternakan mencapai US$ 154,5 juta dan pada tahun 2003 menurun
menjadi US$ 89,9 juta. Penurunan terjadi karena menurunnya ekspor kulit secara signifikan,
yaitu dari US$ 65,3 juta menjadi US$ 137,4 ribu. Ekspor produk peternakan pada tahun 2002
yang paling besar berasal dari kulit, susu, babi ternak dan daging ayam dengan total nilai
mencapai US$ 149,3 juta. Sementara itu, pada tahun 2003 ekspor produk peternakan yang
paling besar berasal dari susu, babi ternak, dan daging ayam dengan total nilai mencapai US$
81,4 juta
Nilai impor pada tahun yang sama masing-masing mencapai US$ 428,5 juta, dan US$ 366,6
juta. Impor produk peternakan pada tahun 2002 yang paling besar berasal dari produk susu,
kulit, mentega, sapi bakalan, daging sapi, keju, dan DOC ayam bibit dengan total nilai
mencapai US$ 413,1 juta atau sebesar 96,4% dari total nilai impor produk peternakan.
Sedangkan impor produk peternakan pada tahun 2003 yang paling besar berasal dari produk
susu, sapi bakalan, mentega, daging sapi, keju, dan DOC ayam bibit dengan total nilai
mencapai US$ 351,2 juta atau sebesar 95,8% dari total nilai impor produk peternakan (Tabel
43). Dengan demikian, defisit perdagangan produk peternakan pada tahun 2002 dan 2003
masing-masing mencapai US$ 274 juta dan US$ 276,6 juta.
2.2.5 Subsektor Perikanan
Orientasi subsektor perikanan berbeda dengan orientasi keempat subsektor lainnya
di jajaran sektor pertanian. Tanaman pangan dan peternakan bersifat substitusi impor.
Sedangkan perkebunan dan kehutanan cenderung diprioritaskan untuk memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri. Adapun subsektor perikanan, di samping untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri, lebih berorientasi promosi ekspor. Dilihat dari segi lahan
tempat budidayanya, subsektor ini dibedakan atas perikanan darat dan perikanan laut.
Perikanan darat dibedakan lagi menjadi perikanan di perairan umum seperti sungai, waduk,
dan danau, serta budidaya ikan darat yang diusahakan di tambak, kolam, keramba, dan
sawah.
Jumlah Perusahaan Budidaya Perikanan Menurut Jenis Budidaya, 2000-2010
Jenis Budidaya 2007 2008 2009 2010*
Tambak 135 145 148 150
Pembenihan 59 54 51 51
Air Tawar 13 7 6 6
Laut 27 22 24 27
Jumlah 234 228 229 234
* Angka Sementara
Produksi perikanan secara keseluruhan meningkat dari tahun ke tahun. (lihat
tabel Luas Usaha Budidaya dan Produksi menurut Sub Sektor Perikanan, 2007-2011).
Produksi tertinggi dicapai oleh perikanan laut dengan 5,345.73 (000 ton). Perikanan
yang diperoleh dari hasil tangkapan di laut lebih banyak daripada hasil tangkapan di
perairan umum. Hasil-hasil tangkapan di laut inilah yang pada umumnya diekspor.
Ada baiknya diketahui, hasil-hasil tangkapan di laut tidak seluruhnya berupa ikan,
melainkan termasuk pula udang, ubur-ubur, teripang, mutiara, rumput laut, dan
ganggang laut. Udang bahkan menjadi “primadona” ekspor komoditas perikana.
Luas Usaha Budidaya dan Produksi menurut Sub Sektor Perikanan, 2007-2011
Rincian Tahun Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya
Perikanan Laut
Perairan Umum
Sub Jumlah
Budidaya Laut
Tambak Kolam Karamba Jaring Apung Sawah Sub Jumlah
Luas Usaha Budidaya (Ha) 2007 - - - 84,481 611,889 125,398 44 1,058 118,320 941,580
2008 - - - 87,790 613,175 241,891 43 45 127,944 1,071,743
2009 - - - 42,676 682,725 270,354 43 1,306 127,679 1,125,041
2010 - - - 117,649 682,857 146,577 44 45 165,688 1,114,161
2011 - - - 169,292 749,220 126,382 44 1,294 151,630 1,198,379
Produksi (000 Ton) 2007 4,734.30 310.40 5,044.70 1,509.50 933.80 410.40 63.90 190.90 85.00 3,193.50
2008 4,701.93 494.40 5,196.33 1,966.00 959.51 479.17 75.77 263.17 111.56 3,855.18
2009 4,812.24 372.74 5,184.97 2,820.08 907.12 554.07 101.77 238.61 86.91 4,708.56
2010 5,039.45 344.97 5,384.42 3,514.70 1,416.04 819.81 121.27 309.50 96.61 6,277.92
2011 5,345.73 368.54 5,714.27 4,605.83 1,602.75 1,127.13 131.38 375.43 86.45 7,928.96
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pertumbuhan produksi perikanan Indonesia sebenarnya masih belum menggembirakan. Bahkan dengan laju yang tidak jauh berbeda dari laju pertumbuhan produksi subsektor pertanian, pertumbuhannya tergolong lamban. Banyak kendala yang menyebabkan lambannya pertumbuhan subsektor perikanan diantaranya :
1. Perikanan laut yang menguasai sekitar 75% produksi subsektor perikanan terhambat pengembangan produksinya karena sarana-sarana yang kurang memadai. Armada penangkap ikan mayoritas terdiri atas kapal-kapal kecil dan menengah. Pengembangan armada terhalang oleh keharusan menggunakan kapal produksi dalam negeri, ijin impor kapal sulit diperoleh. Di lain pihak, kapal dalam negeri bukan hanya lebih mahal tetapi juga cenderung membutuhkan waktu pesan/ pembuatan yang lebih lama dibandingkan dengan kapal impor.
2. Penyebab kedua sering terjadinya pencurian ikan secara besar-besaran oleh kapal-kapal asing tanpa berhasil ditangkap oleh satuan patrol pantai perairan Indonesia.
3. Dan penyebab ketiga adalah berkaitan dengan perikanan darat, khususnya produksi udang, yakni rendahnya produktivitas lahan udang. Sebagai gambaran: sampai dengan awal tahun 1990-1n produktivitas tambak udang di Indonesia rata-rata hanya 0,5 ton/ hektar, padahal di beberapa Negara tetangga produktivitas udang mereka sudah melebihi 5 ton/ hektar.
Subsektor perikanan nyaris luput dari perhatian pembangunan. Setidak tidaknya curahan perhatian untuk pengembangannya tidak seintensif seperti perhatian perhatian terhadap subsektor- subsektor lain di lingkungan sektor pertanian, khususnya bila dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan. Situasi demikian agaknya perlu dimaklumi mengingat tanaman pangan lebih erat dan langsung berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
22
DAFTAR RUJUKAN
23