24
DAFTAR ISI DAFTAR ISI..................................................i KESIMPULAN.................................................ii BAB I.......................................................1 PENDAHULUAN.................................................1 A. Latar Belakang............................................1 B. Rumusan Masalah...........................................1 C. Tujuan Penulisan.........................................2 BAB II......................................................3 PEMBAHASAN..................................................3 SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN MAZHAB.......3 2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist............................3 A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADIST............................3 B. METODE PERIWAYATAN HADIST................................4 C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABI.....................6 D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS.....................8 2.2 Dari segi lapad........................................10 BAB III....................................................14 KESIMPULAN.................................................14 DAFTAR PUSTAKA.............................................15 i

makalah. perbandingan madhab

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah. perbandingan madhab

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i

KESIMPULAN......................................................................................................................... ii

BAB I......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN MAZHAB...................................3

2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist...........................................................................................3

A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADIST................................................................................3

B. METODE PERIWAYATAN HADIST.......................................................................................4

C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABI...................................................................6

D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS...................................................................8

2.2 Dari segi lapad...............................................................................................................10

BAB III..................................................................................................................................14

KESIMPULAN.......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................15

i

Page 2: makalah. perbandingan madhab

KESIMPULAN

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya

juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada saya

sehingga saya dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini. Saya telah

berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang

Konsep Bimbingan dan konseling.

            Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna,

karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu saya mohon

bantuan dari rekan-rekan serta dosen yang bersangkutan.

            Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan,

saya mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima

kasih.

ii

Page 3: makalah. perbandingan madhab

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangPerbedaan ulama dalam masalah hukum Islam yang tidak bersifat prinsip,

yaitu yang dihasilkan oleh ijtihad, dalam sejarah Islam sering menyebabkan

munculnya peristiwa-peristiwa yang memilukan. Padahal, perbedaan-perbedaan

seperti itu sudah muncul sejak masa Rasulullah saw. sendiri masih hidup, dan hal

itu sama sekali tidak menimbulkan hal-hal yang menimbulkan permusuhan dan

kebencian. Nabi Muhammad saw. mentolelir terjadinya perbedaan di antara

sahabatnya. Perbedaan-perbedaan yang sudah ada sejak masa sahabat semakin lama

semakin banyak jumlahnya terutama sejak wilayah kekuasaan Islam semakin

meluas. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab

hukum yang berbeda di kalangan kaum muslimin. Namun, sebagaimana para

sahabat, imam-imam mujtahid dan imam-imam mazhab pun tidak fanatik dengan

pendapatnya. Sikap mereka itu, seharusnya menjadi teladan bagi generasi sekarang

ini.

Makalah ini membahas tentang sebab-sebab yang berkenaan dengan

perbedaan pendapat yang dalam istilah fiqih disebut khilafiyah atau ikhtilaf.

Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) Dari segi periwayatan

hadist(2) Dari segi lapazd

B. Rumusan MasalahDalam pembahasan makalah ini yang akan di bahas di mulai dari Bab I.

Pendahuluan yang mencangkup, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan

Tujuan Penulisan. Bab II Pembahasan mencangkup tentang sebab-sebab perbedaan

pendapat dilihat dari segi lapazd dan dari segi periwayatan hadist

1

Page 4: makalah. perbandingan madhab

C. Tujuan Penulisan Berdasarkan Latar Belakang di atas, tujuan dari Penulisan makalah ini

adalah.

1. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dilihat dari segi lapazd

2. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dilihat dari segi periwayatan

hadist

2

Page 5: makalah. perbandingan madhab

BAB II

PEMBAHASAN

SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN MAZHAB

2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist

A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADISTSebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah

melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang

dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-rwayah

adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr

(penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).

Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan

riwayat.

Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud

dengan al-riwayah adalah:

“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu

kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang

telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis

itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah

melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang

diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak

menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat

dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis”.

Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada

dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadis

yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-

marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang

3

Page 6: makalah. perbandingan madhab

disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan

yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa

ada al- Hadis).

B. METODE PERIWAYATAN HADISTSejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah pada tahun 610 M

yaitu dengan menerima wahyu al-Qur’an, menjadi kewajiban Muhammad untuk

menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada umatnya. Pada saat itulah

tahapan dakwah dimulai karena adanya perintah tabligh dan dengan begitu dimulai

pula fase pertama terjadinya hadis. Permulaan terjadinya hadis adalah seiring

bersamaan dengan awal turunya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia

hadis adalah seusia al-Qur’an sendiri.

Penyampaian hadis oleh nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan

alamiyah, sesuai dengan tugasnya dengan audiens sahabat sebagai penerimanya,

tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakan kata-kata (alat)

penyampai yang sekarang disebut at-Tahamul wa al-ada’ yang rumit, kecuali bahwa

sahabat mendengar dan melihat ucapan dan praktik Nabi baik secara langsung

maupun tidak.

Karena berbagai factor dan seiring dengan semakin menyebarnya sahabat,

kesempatan mereka untuk menimba ilmu dan mengikuti Nabi antar mereka tidak

sama. Hal ini menjadikan pengetahuan mereka mengenai hadis nabi tidak sama.

Diantara merak ada banyak menerima dan meriwayatkan hadis dan adapula yang

sedikit. Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong

mereka untuk eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir

dalam majelisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir.

Dari dorongan nabi tersebut lahir emberio salah satu cabang ilmu hadis yaitu ilmu

riwayah.

Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang

lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar

mengajarhadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode

periwayatan hadis kepada delapan macam: (i) al-sama’ min lafzh al-syaikh; (ii) al-

4

Page 7: makalah. perbandingan madhab

qira’ah ala syaikh; (iii) al-ijazah; (iv) al-muanwalah; (v) al-mukatabah; (vi)

al-‘i’lam; (vii) alwasiyah; (viii) al-wijadah.

Pertama, sama’.Yaitu seorang guru membacakan hadis untuk muridnya.

Cara ini mencakup bentuk berikut: membaca secara lisan, membaca dari buku-

buku, Tanya jawab, dan dikte. Menurut M.M Al-Azami cara ini tersebar luas pada

masa Sahabat.

Kedua, al-qiraah ala al-syaikh atau biasa disebut dengan qiraah atau ardh

adalah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara

periwayat sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakanya dan dia

mendengarkan. Riwayat hadis yang dibacanya itu dapat berasal dari catatanya, atau

dapat juga dari hafalanya. Guru hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknya

melalui hafalanya sendiri atau melalui catatan yang paling teliti yang ada padanya.

Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua

Hijriyah.

Ketiga, Ijazah (Pemberian izin), yaitu memberikan izin kepada seseorang

untuk meriwayatkan sebuah hadis atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang

ahli tertentu yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku

tersebut kepadanya terlebih dahulu. Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu

indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini

tentang keabsahan metode ini.

Keempat, Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid. Praktik ini

sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 –124 H)

memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-Awza’I, dan

Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di

awal masa kelahiran Islam.

Kelima, Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadis menuliskan hadis

yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan.

praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan

diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-

surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadis yabg diriwayatkan oleh

para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadis-hadis dan

5

Page 8: makalah. perbandingan madhab

mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang

menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.

Keenam, I’lam (memberikan informasi tentang hadis), yaitu seorang guru

hadis memberikan informasi kepada seseorang bahwa pemberi informasi telah

memberikan izin kepadanya untuk meriwayatkan sebuah buku tertentu di bawah

bimbingan para ahli. Dan gambaran metode ini sudah dilacak di awal masa periode

Islam.

Ketujuh, washiyah yaitu: mewariskan buku kepada seseorang yang dapat

meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan orang yang memberikan

washiyah tersebut. Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-

buku hadisnya kepada Ayyub al-Syaukani.

Kedelapan, wajadah yaitu: seseorang menemukan buku hadis orang lain

tanpa ada rekomnedasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan

kewenangan seseorang. Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadis,

akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah

buku Sa’ad ibn ubaidah (w.15).

C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABIDalam studi periwayatan hadis, persolan bentuk periwayatan juga menjadi

isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi

terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu

hadis harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup

dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.

1. Periwayatan Hadis dengan Lafadz.

Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis

dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran

kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.

Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak

periwayatan hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy

dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali

dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang

berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari

6

Page 9: makalah. perbandingan madhab

gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya. Ibn Shalah

sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab

Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.

2. Periwayatan Hadis dengan Makna.

Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadis dengan

lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan,

perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi. Dan periwayatan hadis bil al-makna yang

diperselisihkan para ulama adalah hadis qauly atau perkataan Rosulullah yang

diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana

dilafalkan oleh Nabi saw.

Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadis bi al-Makna memberikan

persyaratan khusus, yaitu : Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa

kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung

makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat

membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama

dalalahnya.Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang

dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadis itu bukan

lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan

bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-Kalim) dan Keempat,

memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang

tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.

Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn

Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’

‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadis-hadis Rasulullah

baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi wafat. Ia mengakui

bahwa bahwa periwayatan hadis dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya

disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli

sesuai dengan ucapan Nabi.

Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara

lafadz hadis dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama

7

Page 10: makalah. perbandingan madhab

juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadis oleh perawi yang tidak

mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat

mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-

perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan

periwayatan hadis dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan

periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.

D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADISMenurut bahasa sanad adalah thariqah (jalan) atau sandaran. Sedangkan

menurut istilah sanad berarti jalan yang menyampaikan kepada matan hadits. Atau

dengan ungkapan lain sanad hadits sama dengan susunan mata rantai periwayatan

hadits.

Masalah sanad/ Isnad hadis menjadi perdebatan dan persolan polemis. Dan

perdebatab tersebut berputar pada sekitar kapan pemakaian isnad/ sanad dalam

hadis. Pedebatan tersebut menjadi isu yang sangat controversial. Bagi kalangan

yang skeptis berpandanagn bahwa pemakaian isnad dalam hadis jauh belekangan

dan merupakan buatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan

demikian mereka menolak keberadaan hadis Nabi sebagai kenyataan sejarah. Dalam

konteks ini ada beberapa teori yang menyatakan asal-mula sanad hadis

Pertama, Teori skeptis yang dikemukakan oleh orientalis, seperti: Joseph

Scacth, Juinboll, Caetani, Sprenger dan lai-lain. Menurut Caetani, orang pertama

yang menghimpun hadits nabi adalah Urwah (w. 94 H), meskipun ia belum

menggunakan metode sanad, dan juga tidak menyebutkan sumber-sumbernya. Hal

ini terlihat jelas dalam kitab Tarikh ath-Thabari yang banyak mengambil sumber

dari Urwah. Selanjutnya, Caetani juga mengatakan bahwa pada masa Abdul Malik

(sekitar 70-80 H), yakni enam puluh tahun lebih setelah mwninggalnya nabi,

penggunaan sanad adalam periwayatan hadits juga belum dikenal. Dari sini Caetani

berkesimpulan bahwa pemakaian sanad baru dimulai pada antara Urwah dan Ibn

Ishaq (w. 151 H). Oleh karena itu, sebagaian sanad-sanad yang terdapat dalam

kitab-kitab hadits adalah bikinan ahli-ahli hadits abad ke dua, bahkan abad ketiga.

Sprenger juga berpendapat sama, di mana ia berkata bahwa tulisan-tulisan Urwah

yang dikirimkan kepada Abdul Malik tidak menggunakan sanad. Oleh karena itu,

8

Page 11: makalah. perbandingan madhab

pendapat yang mengatakan bahwa Urwah pernah menggunakan sanad adalah

pendapat orang-orang belakangan.

Kedua, teori yang dikemukakan olehHorovits yang tidak sepakat dengan

pendapat Caetani dan Sprengar. Menurutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa

Urwah tidak memakai sanad adalah karena mereka belum mempelajarai kitab-kitab

Urwah berikut sanad-sanadnya. Horovits menunjuk adanya perbedaan dalam sistem

penulisan, antara tulisan yang menjadi jawaban atas suatu pertanyaan, dengan

tulisan yang memang sejak semula disuguhkan kepada orang-orang yang terpelajar.

Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam periwayatan hadits

sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijri.

Ketiga, teori yang dikemukanan oleh Musthafa al-Sibai, yang menyatakan

periwayatan pada era sahabat, dilakukan dengan tidak mempersoalkan otentisitas

dan kredibilitas as-sunnah. Dan keadaan ini berubah dengan adanya fitnah dan

tampilnya seorang Yahudi celaka Abdullah Ibn Saba’ yang melancarkan dakwah

jahat yang dibangun atas dasar paham Syi’ah ekstrem, yang berpandangan baghwa

Ali adalah Tuhan. Semenjak saat itu, para ulama dari kalangan Sahabat dan tabi’in

membangun sifat kehati-hatian dalam penuturan dan penerimaan hadis. Dan kehati-

hatian tersebut diformulasikan dalam system isnad. Ibn Sirin dalam penuturanya

yang dibuat oleh Imam Muslim dalam pendahuluan Kitab Sahihnya menyatakan”

Para sahabat itu tidak pernah bertanya tentang isnad (mata rantai periwayat), setelah

fitnah terjadi mereka berkata; ‘Sebutkan untuk kami tokoh-tokohmu’.Karena

pentingnya isnad hadis sampai al-Zuhri menyatakan bahwa” Isnad adalah bagian

dari keagamaan kalau tidak ada isnad maka siapapun akan dapat berkata tentang

apapun”.

Kempat, teori yang dikemukakan oleh M.Musthafa al-Azami, yang

menyatakan bahwa sebelum Islam datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang

mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak jelas sejauh

mana metode itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam kitab Yahudi, Mishna.

Begitu pula dalam penukilan syair-syair Jahiliah, metode sanad sudah dipakai.

Namun urgensi metode sanad ini baru tampak ketika digunakan dalam periwayatan

hadits.

9

Page 12: makalah. perbandingan madhab

Ketika nabi masih hidup para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadits

kepada kepada sahabat lain yang kebetulan tidak hadir dalam majelis pengajian

nabi. Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka dengar dari nabi, atau hal-hal

yang mereka lihat nabi mengerjakan sesuatau, mereka selalau menisbahkannya

kepada nabi. Bahkan nabi sendiri terkadang menyebutkan bahwa sumber

sabdanyaitu adalah Jibril as. Dan, para sahabat juga menuturkan sumber-sumber

berita yang diterimanya, baik dari nabi maupun dari sahabat yang lain. Apabila

yang meriwayatkan hadits itu tidak melihat sendiri kejadiannyadan tidak

mendengarnya langsung dari nabi maka dengan sendirinya ia akan menyebutkan

sumber hadits di mana ia menerima. Inilah yang disebut pemakaian sanad. Dan,

metede yang digunakan oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits itulah yang

kemudian melahirkan isnad atau metode pemakaian sanad. Tentu saja pada masa

nabi sistem isnad masih sangat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama

hijri, ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkembang.

Dari penjelasan dan pemaparan keempat teori tersebut nampak bahwa

argumen yang dikemukankan oleh M. Musthafa al-Azami lebih bisa diterima.

Karena orang-orang arab sebelum islam sudah terbiasa dengan periwayatan syair,

silisilah dan sebagainya yang hal itu tidak berkonotasi relegiousitas. Dengan

demikian periwayatan hadis yang merupakan symbol keagamaan penting islam,

lebih dimungkinkan untuk menjaganya dengan memakai system isnad.

2.2 Dari segi lapadAdap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat

ulama, antara lain, sebagai berikut:Bingung dan kecewa dengan para ulama.

Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan

Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan

ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi

perbedaan pendapat itu.Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama

berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".Dalam merespon

sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan

pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan

10

Page 13: makalah. perbandingan madhab

pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub

mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri

"menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan

pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.

Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya

saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).

Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan

sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini,

sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala

perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya.

Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya

masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi).

Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada

ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'"

sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau

Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih

kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru"

yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf

"fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi

tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227

mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib

dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA"

dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan).

Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan

sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum

empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua

11

Page 14: makalah. perbandingan madhab

berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari

jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad,

dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum

('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya.

Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya,

bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu

memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi

al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah

khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah

ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena

kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis

harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk

mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"

itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke

dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu

ayat sbb:lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, ataulafaz umum tetapi

maksudnya untuk khusus; danlafaz khusus dan memang maksudnya khusus;

ataulafaz khusus tetapi maksudnya umum.Begitu juga perbedaan soal mujmal-

mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang

mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini

malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-

buku ushul al-fiqh).

d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz

berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:al-aslu fil

amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)al-aslu fil amri

li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)al-aslu fil amri

lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz

"kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah,

tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn

12

Page 15: makalah. perbandingan madhab

nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk

perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab

Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).

13

Page 16: makalah. perbandingan madhab

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa perjalanan hadis hingga era kodifikasi dalam korpus resmi telah

melewati beberapa fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari

rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi

tersebut, sampai masa pembukuanya secara resmi pada zaman Umar bin

Abdul aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata dan fatwa

sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi hadis menjadi

menggelembung, tetapi setelah diseleksi menjadi sedikit lagi.

2. Periwayatan hadis nabi sudah dimulai semenjak awal permulaan Islam. Dan

periwayatan hadis pada masa nabi berjalan secara alamaiyah, seiring dengan

perkembangan wilayah Islam yang luas dan untuk menghindari berbagai

pemalsuan maka kemudian menuntut adanya suatu metode yang disebut

dengan al-tahamul wa ada’ al-hadis. Dan ternyata metode ini telah digunkan

secara luas pada abad pertama Hijrah.

3. Untuk menjaga otentisitas hadis Nabi juga telah mencuatkan tentang

fenomena bentuk periwayatan hadis dengan lafazd atau makna. Demikian

juga untuk mejaga otentisitas dan kredibilitas hadis Nabi dalam

persambungan periwayatan antara satu generasi dengan generasi

sesudahnya, pada masa awal Islam telah lahir teori system Isnad. Sehingga

hadis Nabi yang diriwayatkan bisa dipertanggungjawabkan secara baik dan

benar.

14

Page 17: makalah. perbandingan madhab

DAFTAR PUSTAKA

Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, Ttp: Maktabah Libnan, tt

Fathurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.

Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2002

Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-

Fikr, tt.

Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh taqrib an-

NawawiBeirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1399 H/ 1979 M.

Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973

Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan

Bintang, 1988.

Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah,

Bogor: Lentera Antar Nusa, 1992.

Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaditsun, Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,

1984.

M.M. Azami, Hadits Nabawi dan sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)

M. Musthafa al-Azami, Metode Kritik Hadis, alih bahasa A. Yamin, Jakarta:

Pustaka Hidayah, 1992.

Musthafa al-Sibai, Sunnah dan Peranya Dalam penetapan Hukum Islam: Sebuah

Pembelaan kaum Sunni, Penerjemah dan Pengantar edisi Indonesia Oleh Nurcholish

Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)

Muhammad al-Sabbagh, al-Hadits al-Nabawiy, Riyadh: Mansyurat al-Kutub al-

Islamiy, 1972.

Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdits, Tahqiq: Bahjah Baithar,

Kairo Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1961.

15