Upload
lie-ellisa
View
114
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
19
Citation preview
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alasan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari berbagai jenis penyakit
yang menyerang sistem kardiovaskular atau yang berpengaruh pada sistem
kardiovaskular dan sering terjadi di masyarakat. Juga sebagai wadah pengetahuan untuk
membantu masyarakat awam dan juga praktisi kesehatan untuk dapat mengenal lebih jauh
penyakit-penyakit sistem respirasi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui etiologi, epidemiologi,
penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan dari penyakit-penyakit sistem
kardiovaskular yang umumnya sering terjadi pada manusia.
1
II
PEMBAHASAN
2.1 Anamnesa
Anamnesa merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit
pasien. Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri maupun dari keluarga terdekat.
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab, dan radiologi (kalau diperlukan).
Hal yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain1:
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan
serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk
memulai evaluasi pasien.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti data
diri pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien
pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami
sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter
dan kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.
Pada riwayat penyakit sekarang dokter dapat menanyakan mengenai:
sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut,
frekuensi serangan / kualitas penyakit
sifat serangan / kuantitas penyakit
lamanya penyakit tersebut diderita
perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
lokasi sakitnya
akibat yang timbul
gejala-gejala yang berhubungan
2
Berdasarkan anamnesa, maka keluhan yang didapat adalah :
Seorang pria 55 tahun keluhan sesak nafas yang memberat sejak 3 hari
terakhir.
Sesak nafas awalnya timbul saat beraktifitas dan berkurang saat istirahat,
namun sejak 1 hari yang lalu sesak timbul terus menerus.
Pasien merasa lebih nyaman dan sesaknya berkurang dengan posisi ½
duduk.
Pasien adalah seorang perokok, memiliki riwayat sakit darah tinggi dan
jantung koroner, namun tidak berobat teratur.
Sejak 1 tahun terakhir ini pasien merasa kondisinya menurun dan mudah
lelah jika melakukan aktifitas berat.
2.2 Pemeriksaan
Setelah melalui proses anamnesa dan diketahui keluhan dari pasien lalu dapat dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan yang dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan antara lain: pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang1.
2.2.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik jantung
1. Inspeksi
Yang dinilai pada pemeriksaan inspeksi antara lain2 :
Bentuk thorax yakni astenikus (bentuk thorax pada orang berbadan kurus), piknikus
(bentuk thorax pada orang berbadan gemuk), dan atletikus (bentuk thorax pada
orang berbadan atlet)
Jenis pernafasan yakni abdomen, toracal, abdomen-toracal, atau thoracal-abdominal.
Iktus cordis, Dalam keadaaan normal, dengan sikap duduk, tidur terlentang atau
berdiri iktus terlihat didalam ruangan interkostal V sisi kiri agak medial dari linea
midclavicularis sinistra. Pada anak-anak iktus tampak pada ruang interkostal IV.
Kadang-kadang kita tidak dapat melihat iktus kordis sehingga hanya dapat diketahui
dengan palpasi.
Bentuk dada : pada orang normal diameter transversal terhadap diameter
enteroposterior adalah 2:1 dan simetris.
3
2. Palpasi
Yang dinilai pada periksaan palpasi antara lain:
Pemeriksaan iktus cordis2
o Hal yang dinilai adalah teraba tidaknya iktus, dan apabila teraba dinilai kuat
angkat atau tidak, iramanya regular atau tidak, dan frekuensinya.
o Pada keadaan normal iktus cordis dapat teraba pada ruang interkostal kiri V, agak
ke medial (2 cm) dari linea midklavikularis kiri.
o Diameter iktus kordis pada keadaan normal sekitar 1-2 cm.
3. Perkusi
Pada pemeriksaan perkusi paru akan terdengar sonor pada kedua lapang paru, kecuali
daerah jantung3.
Pemeriksaan perkusi pada jantung menentukan2:
Batas atas jantung
Perkusi pada linea parasternal sinistra sampai terdengar perubahan bunyi dari sonor
ke redup. Terdapat pada intercostal 2-3 linea parasternal sinistra.
Batas kanan jantung
Tentukan batas paru hati yakni perkusi pada linea midclavicula sampai terdengar
perubahan bunyi dari sonor ke pekak kemudian naik 2 jari ke atas sampai terdengar
perubahan bunyi dari sonor ke redup. Biasanya pada linea sternalis dextra dan linea
midsternalis.
Batas kiri jantung
Tentukan batas baru lambung yakni perkusi pada linea axilaris anterior sampai
terdengar perubahan bunyi dari sonor ke timpani kemudian naik 2 jari ke atas
sampai terdengar perubahan suaran dari sonor ke redup. Terdapat pada intercosta 4-5
linea midclavicula sinistra.
4. Auskultasi
Pada pemeriksaan ini hal yang dinilai adalah bunyi jantung dan lokasi bunyi jantung.
Pada keadaan normal, ada 2 jenis bunyi jantung, yakni2:
BJ I : Terjadi karena getaran menutupnya katup atrioventrikularis, yang terjadi pada
saat kontraksi isometris dari bilik pada permulaan systole
4
BJ II : Terjadi akibat proyeksi getaran menutupnya katup aorta dan a. pulmonalis
pada dinding toraks. Ini terjadi kira-kira pada permulaan diastole. BJ II normal
selalu lebih lemah daripada BJ I
Bunyi jantung tambahan/abnormal2 :
Murmur : bunyi yang diakibatkan turbulensi
Gallop : irama derap kuda
Spliting : bunyi yang trimbul karena penutupan katup
yang tidak bersamaan
Opening snap : terjadi pada sternosis
Lokasi bunyi jantung :
Katup mitral (atas iktus cordis, linea midclavicula kiri intercostal 4-5)
Katup trikuspid (linea sternalis kanan intercostal 4-5)
Aorta (lateral linea sternalis kanan intercostal 2)
Pulmonal (lateral linea sternalis kiri intercostal 2)
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan :
Berat Badan : 9 kg
Suhu Tubuh : 37,8°C
Pernapasan : 33x/menit
Nadi : 112/menit
Anak pucat pada wajah dan konjungtiva, tidak sianostik
Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher
Suara napas vesikuler, tanpa disertai retraksi dinding dada
2.2.2 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Radiologi4
Pemeriksaan Rontgen thorax
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis
5
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari
20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis
Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg
didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya
udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral,
tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Echocardiography
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah
bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark
miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui
adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Angiografi
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi
jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan,
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary
wedge pressure.
B. EKG (Elektro Kardio Grafi)
Diagnosa klinik terutama bergantung pada sejarah pasien, dan yang
selanjutnya pada pemeriksaan fisik. EKG dapat dijadikan penunjang
diagnosis, dan dalam beberapa kasus dapat menjadi sangat penting bagi
manajemen perawatan pasien. Bagaimanapun, kita penting untuk melihat
bahwa EKG digunakan sebagai alat penunjang untuk diagnosis dan bukan
mutlak digunakan sebagai dasar kita menegakkan diagnosis.5 (buku ECG
made easy)
6
Dari sekenario didapatkan hasil EKG:
- Hipertrofi ventrikel kiri yang dapat dilihat dari gelombang R yang
meninggi ( > dari 25 mm) di sadapan V5 dan V6 dan gelombang S yang
dalam pada sadapan V1 dan V2.
- Takikardi dapat dilihat dari adanya gelombang R dari PVC (Premature
Venticular Complex) pada gelombang T denyutan sebelumnya.
C. Biokimiawi
Beberapa pemeriksaan biokimiawi yang bermakna antara lain: elektrolit,
fungsi ginjal, dan hematologi (anemia).6
Uji elektrolit (serum): Normalnya: Kalium 3,5-5,3 mEq/l. Natrium: 135-145
mEq/l.
Kadar elektrolit serum menjadi normal segera setelah kerusakan miokardium.
Kalium seluler hilang dan begitu juga kadar kalium serum dapat meningkat
jika pengeluaran urine menurun. Kadar tersebut dapat dapat normal atau
menurun jika natrium berpindah ke dalam sel jantung. Diuretik boros kalium
(mis; hidroklorotiazid, furosemid) yang digunakan untuk mengobati gagal
jantung kongestif, dapat menyebabkan pengeluaran kalium dan natrium.7
Fungsi ginjal
Uji klirens kreatinin (12 atau 24 jam) dilakukan untuk menentukan laju
filtrasi Glomerulus (GFR) dan insufisiensi ginjal. Biasanya uji ini mencakup
kadar serum kreatinin di pagi hari atau di awal uji. Laju kadar kreatinin serum
dan urin dikaji, sedangkan laju klierens kreatinin dihitung. Jika hasil uji <40
ml/ min, uji tersebut memberikan kesan terjadinya kerusakan ginjal sedang
sampai berat.7
Hematologi (pemeriksaaan Laju Endap Darah); Normalnya: Dewasa di bawah
usia 50 tahun (metode Westergren): 0-10mm/jam; wanita: 0-20mm/jam. Di
atas usia 50 tahun (metode Westergren), pria: 0-20 mm/jam; wanita: 0-30
mm/jam.7
Peningkatan laju endap kemungkinan dapat terjadi setelah MI atau
endokarditis bacterial.
7
Penurunan laju endap darah kemungkinan dapat terjadi karena polisitemia
vera, CHF (Chronic Heart Failure), angina pectoris, anemia sel sabit,
mononucleosis infeksius, defisiensi faktor V, arthritis degenerative.7
2.3 Differential Diagnosis
2.3.1 Gagal Jantung Akut 8
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau
disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari pre-load atau after-load, seringkali memerlukan
pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada
kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
Gejala dan Tanda Klinis
Pada gagal jantung akut ini dapat pula diklasifikasikan lagi baik dari gejala klinis
dan foto thorax (Killip), klinis dan karakteristik hemodinamik (Forrester) atau
berdasarkan sirkulasi perifer dan auskultasi paru. Dapat pula dibagi berdasarkan
dominasi gagal jantung kanan atau kiri yaitu Forward (kiri dan kanan (AHF),
Left heart backward failure (yang dominan gagal jantung kiri), dan Right heart
backward failure (berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung sebelah
kanan)
Ada beberapa gejala yang lebih spesifik, antara lain:
Nyeri. Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang
disebut iskemi), maka oksigen yang tidak memadai dan hasil metabolisme
yang berlebihan menyebabkan kram atau kejang. Angina merupakan
perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas, yang timbul jika
otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya
nyeri atau ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa
orang yang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan
nyeri sama sekali (suatu keadaan yang disebut silent ischemia).
Sesak nafas merupakan gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung.
8
Sesak merupakan akibat dari masuknya cairan ke dalam rongga udara di
paru-paru (kongesti pulmoner atau edema pulmoner).
Kelelahan atau kepenatan. Jika jantung tidak efektif memompa, maka
aliran darah ke otot selama melakukan aktivitas akan berkurang,
menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini seringkali
bersifat ringan. Untuk mengatasinya, penderita biasanya mengurangi
aktivitasnya secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai bagian dari
penuaan.
Palpitasi (jantung berdebar-debar)
Pusing & pingsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama
jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk,
bisa menyebabkan pusing dan pingsan.
2.3.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 9
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
Gejala danTanda Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan.
- Batuk kronik hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan
- Berdahak kronik terus menerustanpa disertai batuk
- Sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana
eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat
Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK)
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
9
1. Pemberian obat obatan
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat
digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik
bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi
2.3.3 CKD (Chronic Kidney Disease) 10
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan
fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
Manifestasi klinis
Gangguan pernafasan
Udema
Hipertensi
Anoreksia, nausea, vomitus
Ulserasi lambung
Stomatitis
Proteinuria
10
Hematuria
Letargi, apatis, penuruna konsentrasi
Anemia
Perdarahan
Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit
Distrofi renal
Hiperkalemia
Asidosis metabolic
Penatalaksanaan
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki
abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan
membantu penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal
akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada
gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui
serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI :
5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat
tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi
dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat
[kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang,
tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral
11
dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan
digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
2.4 Working Diagnosis
Dari informasi yang didapat melalui anamnesis, pemeriksaan penunjang diduga
pasien tersebut menderita Gagal Jantung Kronik.
2.5 Etiologi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan mempertahankan curah jantung yang cukup
untuk kebutuhan tubuh; sehingga timbul akibat klinis dan patofisiologi yang khas.11
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik
yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam
keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung
dalam keadaan istirahat.12
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, pericardium,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan
Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat infark miokard, yang
merupakan penyebab paling sering pada usia < 75 tahun, disusul hipertensi dan
diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah
sakit di Palembang menunjukan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul
penyakit jantung koroner dan katup.12
2.6 Epidemiologi
Gagal jantung terjadi 1-2% pada orang berusia >= 65 tahun dan 10% pada usia >=75
tahun.13 Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan
jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki.14
2.7 Patofisiologi
12
Gagal jantung merupakan sindrom, walaupun penyebabnya berbeda-beda, namun bila
terjadi memiliki gejala , tanda, dan patofisiologi yang sama. Curah jantung yang tidak
adekuat menstimulasi mekanisme kompensasi yang mirip dengan respons terhadap
hipovolemia. Walaupun awalnya bermanfaat, pada akhirnya mekanisme ini menjadi
maladaptive:15
Aktivasi neurohormonal terjadi dengan peningkatan vasokonstriktor (renin,
angiotensin, katekolamin) yang memicu retensi garam dan air serta
meningkatkan beban akhir (afterload) jantung. Hal tersebut mengurangi
pengosongan ventrikel kiri (LV) dan menurunkan curah jantung, yang
menyebabkan aktivasi neuroendokrin yang lebih hebat, sehingga
meningkatkan afterload dan seterusnya, yang akhirnya membentuk lingkaran
setan.
Dilatasi Ventrikel: terganggu fungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan
retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang
berdilatasi tidak efisien secara mekanis (‘hukum Laplace’). Jika persediaan
energi terbatas (misalnya pada penyakit koroner) selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas dan aktivasi neuroendokrin.
Beberapa klasifikasi gagal jantungKlasifikasi menurut New York Heart Association.15
Kelas NYHA Sesak napas
I Tidak ada
II Pada aktivitas berat
III Pada aktivitas sedang
IV Saat istirahat
· NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkan gejal-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
nafas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.16
· NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak nafas atau nyeri dada.16
13
· NYHA kelas III, penderita penyakit dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang
kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
seperti yang tersebut di atas.16
· NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.16
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American College of Cardiology/American
Heart Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF
berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari jantung dan perkembangan status
fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4
stages A, B, C, dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya mengingatkan pelaksana
pelayanan kesehatan (health care provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk
kedalam keadaan HF. Stage A menandakan ada faktor risiko HF (diabetes, hipertensi,
penyakit jantung koroner) namun belum ada kelainan fungsional. Sedangkan pada
stage B ada faktor-faktor risiko HF seperti pada stage A dan sudah terdapat kelainan
structural, LVH cardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat
asimptomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah HF, yang
didasari oleh kelainan structural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk
ke dalam refractory HF, dan perlu advanced treatment strategics. Juga apabila dilihat
dari segi onset nya, maka HF dapat diabagi menjadi new onset HF, transient HF dan
Chronic HF. New onset HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada periode waktu
tertentu, walaupun pengobatan jangka panjang masih diperlukan, misalnya HF karena
myokarditis ringan dan sembuh secara baik. HF karena ischemia, dilakukan
revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut yang tidak memerlukan terapi
diuretic jangka panjang. Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan HF atau
mengalami dekompensasi akut dari Chronic HF. Perburukan HF yang didasari
Chronic HF (dekompensasi) merupakan HF terbanyak dari seluruh HF yang dirawat
di di rumah sakit yaitu sekitar 80% dari semua kasus.17
Respons Kompensatorik18
Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat
dilihat: (1) meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis, (2) meningkatnya beban awal
akibat aktivasi renin-angiotensin aldosteron, dan (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga
14
respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah
jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung
pada tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada
keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunna curah jantung
biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi
menjadi semakin kurang efektif.
I. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respons
simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal.
Denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk menambah curah
jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke
organ-organ yang metabolismenya rendah (misal, kulit dan ginjal) untuk
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Veno konstriksi akan meningkatkan
aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan
kontraksi sesuai dengan hukum Starling.
Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada
gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada
katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.
Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan
menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
II. Peningkatan Beban awal Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan
beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum
Starling.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut:
(1) Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus, (2)
pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi renin dengan
angiotensinogen dalam darah untuk mengahsilkan angiotensin I, (4) konversi
15
angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi aldosteron dari
kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus
pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan
menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati,
sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik
akan meningkat pada agagal jantung berat, yang selanjutnya akan
meningkatakan absorbs air pada duktus pengumpul.
III. Hipertrofi Ventrikel
Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium
atau bertambah tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam
sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial
tergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung.
Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai
dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam.
Respon miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta,
ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini
diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial
2.8 Manifestasi Klinik18
Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relative terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya timbul saat beraktivitas fisik; tetapi , dengan bertambah beratnya gagal
jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih
awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti
vascular paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Dispnea saat beraktivitas menunjukan gejala awal dari
gagal jantung kiri.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah cirri
16
khas gagal jantung ; ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronchial yang terjadi akibat
distensi vena. Distensi atrium kiri atau vena pulmonalis dapat menyebabkan
kompresi oesofagus dan disfagia (sulit menelan).
Gagal ke belakang pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis (JVP); vena-vena
leher mengalami bendungan. Tekanan vena central (CVP) dapat meningkat secara
paradox selama inspirasi. Meningkatnya CVP selama inspirasi ini dikenal sebagai
Tanda Kussmaul. Jika terjadi insufisiensi katub trikuspidalis, terliahat gelombang V
pulsatil pada pada vena jugularis. Hasil uji refluks yang positif dapat dibang kitkan;
kompresi manual pada abdomen kuadran kanan atas menyebabkan peningkatan
tekanan vena jugularis karena jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan
dengan aliran balik vena.
Dapat terjadi Hepatomegali (pembesaran hati); nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati. Gejala saluran cerna lain (seperti anoreksia, rasa penuh,
atau mual) dapat disebabkan oleh kongesti hati dan usus.
2.9 Penatalaksanaan19
Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam hal ini disfungsi sistolik dapat berupa :
- Sarana umum,tnapa obat-obatan
- Pemakaian obat-obatan
- Pemakaian alat dan tindakan bedah
Penatalaksanaan umum,tanpa obat-obatan :
1.Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta upaya
bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
2.Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi, aktivitas seksual, serta
rehabilitasi
3.Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air dan kebiasaan alkohol
4.Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
5.Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
6.Hentikan kebiasaan merokok
17
7.Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus
8.Konseling mengenai obat,baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu
seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil,diltiazen,dihidropiridin efek
cepat,antidepresan trisiklik,steroid.
Terapi Farmakologi :
1.Angiotensin-converting enzyme inhibitors/penyekat enzim konversi angiotensin
- Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan
fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki
simtom,mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit.
- Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai
retensi cairan harus diberikan bersama antidiuretik
- Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung,segera sesudah
infark jantung,untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark serta
kekerapan rawat inap
-Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis,
bukan berdasarkan perbaikan gejala.
2.Diuretik
Loop diuretic,metolazon
- Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan,
kongesti paru dan edema perifer.
- Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi dengan
penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.
3.β blocker (obat penyekat beta)
- Direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang dan berat yang stabil
baik karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar seperti
diuretic atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan
adanya kontraindikasi terhadap penyekat beta.
- Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit, meningkatkan klasifikasi fungsi
- Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik atau
asimtomatik,penambahan penyekat beta jangka panjang pada pemakaian penyekat
enzim konversi angiotensin terbukti menurunkan mortalitas
18
- Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasikan yaitu
bisprolol, karvedilol, metoprolol suksinat dan nebivolol
4.Antagonis Reseptor Aldosteron
- Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta,
diuretic pada gagal jantung berat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
- Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin dan
penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung atau diabetes, menurunkan
morbiditas dan mortalitas
5.Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin II
- Masih merupakan alternative bila pasien tidak toleran terhadap penyakit enzim
konversi angiotensin
- Penyekat angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin
pada gagal jantung kronik dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
- Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel,penyekat
angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam
menurunkan mortalitas
- Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian
penyekat enzim konversi angiotensin pada pasien yang simtomatik guna
menurunkan mortalitas
6.Glikosida (Digitalis)
- Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal
jantung,terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab
- Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai
sendiri-sendiri tanpa kombinasi
- Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka
kekerapan rawat inap
7.Vasodilator
- Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal jantung kronik
8.Hidralazin-isosorbid Dinitrat
- Dapat dipakai sebagai tambahan,pada keadaan dimana pasien tidak toleran
terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II. Dosis
19
besar hidralazin (300mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa
penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada
kelompok pasien Afrika-Amerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20mg dan
hidralazin 37,5mg,tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
memperbaiki kualitas hidup
9.Nitrat
- Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak, jangka panjang tidak
terbukti memperbaiki simtom gagal jantung.Dengan pemakaian dosis yang sering,
dapat terjadi toleran oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam atau
kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin
10.Obat Penyekat Kalsium
- Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasikan dan
dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan penyekat beta
- Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival
bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretic. Data
jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan
sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian
nitrat atau penyekat beta
11.Nesiritid
Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang
dikenal sebagai natriuretik peptide tipe B. Obat ini identik dengan hormone endogen
dari ventrikel,yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan
merupakan pre dan afterload meningkatkan curah jantung tanpa efek
inotropik.Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini
12.Inotropik Positif
- Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan
mortalitas
- Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan,namun tidak ada bukti
manfaat,justru komplikasi lebih sering muncul
- Penyekat fosfodiestrase,s eperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung dengan
penyekat beta dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai
20
juga dengan efek takiaritmia atrial dan ventrikel dan vasodilatasi berlebihan dapat
menimbulkan hipotensi
- Levosimendan merupakan sensitasi kalsium yang baru,mempunyai efek
vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiestrase, tidak menimbulkan
hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.
13.Anti Trombotik
- Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium,riwayat fenomena
tromboemboli, bukti adanya thrombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat
dianjurkan
- Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner,dianjurkan pemakaian
antiplatelet
- Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dangan gagal jantung
yang memburuk
14.Anti Aritmia
- Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung
kronik,kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi
- obat anti aritmia klas I tidak dianjurkan
- Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati
mendadak,dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron
- Anti aritmia klas III,amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel
aritmia.Amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan
Suatu data survey di eropa menunjukkan bahwa pemakaian obat-obat pada gaal
jantung kronik masih belum maksimal,demikian juga yang terjadi dalam praktek
sehari-hari di Indonesia.Sebagai acuan praktis dari ESC guidelines 2005,strategi
pemilihan kombinasi obat pada berbagai keadaan gagal jantung secara sistematis.
2.10 Prognosis19
Prognosis CHF tergantung dari derajat disfungsi miokardium. Menurut New York
Heart Assosiation, CHF kelas I-III didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-
masing 25% dab 52%. Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-
50%.
21
2.11 Pencegahan19
Pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan resiko tinggi :
- Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard,faktor risiko jantung
koroner.Pengobatan infark jantung segera di triase,serta pencegahan infark ulangan
- Pengobatan hipertensi yang agresif
- Koreksi kelainan congenital serta penyakit jantung katup
- Memerlukan pembahasan khusus
- Bila sudah ada disfungsi miokard,upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari,selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung
22
III
KESIMPULAN
Gagal jantung adalah ketidakmampuan mempertahankan curah jantung yang cukup
untuk kebutuhan tubuh; sehingga timbul akibat klinis dan patofisiologi yang khas.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang
komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat
atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, pericardium,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Semakin tua juga dapat
meningkatkan resiko gagal jantung.
Pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok
dengan resiko tinggi :
- Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard,faktor risiko jantung
koroner.Pengobatan infark jantung segera di triase,serta pencegahan infark ulangan
- Pengobatan hipertensi yang agresif
- Koreksi kelainan congenital serta penyakit jantung katup
- Memerlukan pembahasan khusus
- Bila sudah ada disfungsi miokard,upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari,selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Santoso M. Pemeriksaan Fisik Diagnostik. Anamesa. Jakarta: Bidang Penerbitan
Yayasan Diabetes Indonesia; 2004.h.2-3.
2. Santoso M. Pemeriksaan Fisik Diagnosis. Pemeriksaan Fisis Sistem Organ. Jakarta:
Bidang Penerbit Yayasan Diabetes Indonesia; 2004.p.50-65.
3. Burnside, Mc Glynn. Adams Diagnosis Fisik. Thoraks : Pemeriksaan Dasar. Jakarta:
EGC; 1995.p.195-202.
4. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive).
In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
5. Hampton J.R. The EGC Made Easy. Abnormalities of P Waves, QRS complexes and
T Waves. United Kingdom: Elsevier.p.66-103.
6. Davey P. At a Glance Medicine. In: Rahmalia A, Novianti CR. Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta: Penerbit Erlangga : 2006.p.150-1.
7. Kee JLF. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Edisi 6. Dalam:
Kapoh RP, editor. Pengkajian Laboratorium/Diagnostik Fungsi Tubuh. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008.p.686-93.
8. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis
dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007.p.125-37
9. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaannya di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diunduh dari:
http://www.klikpdpi.com. 02 September 2010.
10. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
2001.
11. Davey P. At a Glance Medicine. In: Rahmalia A, Novianti CR. Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta: Penerbit Erlangga : 2006.p.150-1.
12. Simadibrata MK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Gagal Jantung
Kronik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.p.1596-1601.
13. Davey P. At a Glance Medicine. In: Rahmalia A, Novianti CR. Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta: Penerbit Erlangga : 2006.p.150-1.
24
14. Simadibrata MK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Gagal Jantung
Kronik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.p.1596-1601.
15. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. In:
Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Disfungsi Mekanis Jantung
dan Bantuan Sirkulasi. Volume 1, Edisi 22. Jakarta: EGC; 2005.h.630-41.
16. Gagal Jantung Kongestif . Kepala Medikal Bedah. Diunduh dari:
http://ilmukeperawatan.wordpress.com. 02 September 2010.
17. Simadibrata MK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Gagal Jantung
Kronik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.p.1596-1601.
18. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. In:
Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Disfungsi Mekanis Jantung
dan Bantuan Sirkulasi. Volume 1, Edisi 22. Jakarta: EGC; 2005.h.630-41.
19. Simadibrata MK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Gagal Jantung
Kronik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.p.1596-1601.
25