Upload
ririn
View
74
Download
26
Embed Size (px)
DESCRIPTION
motivasi dan penilaian kinerja menurut perspektif Islam
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian kinerja selalu menjadi kebutuhan penting bagi setiap perusahaan di
dalam usaha memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu diupayakan
secara terus menerus dan berkesinambungan dalam menghadapi tuntutan masyarakat.
Untuk menentukan hal ini perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
tersebut.
Kinerja tidaklah mungkin mencapai hasil yang maksimal apabila tidak ada
motivasi, karena motivasi merupakan suatu kebutuhan di dalam usaha untuk
mencapai tujuan organisasi. Begitu juga berbagai ragam kemampuan pegawai akan
sangat berpengaruh terhadap kinerja mengingat pegawai merupakan titik sentral
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis
rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah
upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah,
dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan
dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah
orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat
memuaskan kedua belah pihak. Di samping kewajiban bekerja akan mendapatkan
pahala, juga Allah Swt menjanjikan akan mengampuni dosa-dosanya kaum muslimin.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Bagaimana definisi motivasi secara umum?
1.2.2 Bagaimana definisi motivasi menurut perspektif islam?
1.2.3 Apa saja macam-macam motivasi dalam perspektif islam?
1.2.4 Bagaimana definisi penilaian kinerja secara umum?
1.2.5 Bagaimana definisi penilaian kinerja menurut perspektif islam?
1
1.3 Tujuan makalah
1.3.1 Untuk mengetahui definisi motivasi secara umum.
1.3.2 Untuk mengetahui definisi motivasi menurut perspektif islam.
1.3.3 Untuk mengetahui macam-macam motivasi menurut perspektif islam.
1.3.4 Untuk mengetahui definisi penilaian kinerja secara umum.
1.3.5 Untuk mengeetahui definisi penilaian kinerja menurut perspektif
islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Motivasi
2.1.1 Pengertian Motivasi secara umum
Kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang
artinya dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan
demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab
seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara
sadar. Dari pengertian tersebut berarti pula semua teori motivasi bertolak dari
prinsip utama bahwa: “ manusia (seseorang) hanya melakukan suatu kegiatan,
yang menyenangkannya untuk di lakukan”. Dalam kenyataannya kegiatan
yang di dorong oleh sesuatu yang tidak di sukai berupa kegiatan yang terpaksa
di lakukan, cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien.
Berdasarkan prinsip utama tersebut telah di kembangkan enam teori
motivasi dari sudut psikologi, yang dapat di implementasikan dalam
manajemen SDM di lingkungan suatu organisasi/perusahaan. Keenam teori
itu adalah:
1. Teori kebutuhan (need) dari Abraham maslow.
2. Teori dua factor dari Frederick Herzberg.
3. Teori prestasi (Achievement) dari David McClelland.
4. Teori penguatan.
5. Teori harapan.
6. Teori tujuan sebagai motivasi.
Tiga teori yang disebut terdahulu terfokus pada “apa” yang
mendorong manusia melakukan suatu kegiatan. Teori-teori itu membahas
tentang sesuatu yang mendorong manusia melakukan suatu kegiatan,
termasuk juga yang disebut bekerja di suatu perusahaan atau organisasi.
Tiga teori berikutnya adalah teori-teori yang motivasi yang berfokus
pada “bagaimana” mendorong manusia agar berbuat sesuatu, termasuk juga
dalam bekerja di sebuah organisasi atau perusahaan. Dengan demikian berarti
3
teori-teori motivasi tersebut membahas cara-cara dan langkah-langkah dalam
memberikan dorongan, sehingga di kategorikan sebagai “teori proses“.
Kedua fokus tersebut sama pentingnya bagi setiap manajer dalam
memberikan motivasi kerja bagi para pekerja di lingkungan perusahaannya.
Dari satu sisi para manajer perlu mengetahui dan mampu mendayagunakan
“apa” yang dapat memotivasi para pekerja agar melaksanakan tugas-tugas dan
tanggung jawabnya. Sedang dari sisi lain para manajer perlu pula mengetahui
dan mampu mempergunakan “cara-cara dan langkah-langkah” yang akurat
dalam memotivasi para pekerja, agar bekerja secara efektif dan efisien.
2.1.1 Motivasi menurut perspektif Islam
2.1.1.1 motivasi spiritual
Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon
memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh
bahasa dan evolusi bahasa pada gilirannya memberikan penjelasan bagi
pertumbuhan pesat otak besar manusia.Selain itu, karya Viktor Frank telah
menunjukkan nilai penting psikologis dari makna, menjelang akhir tahun
1900 diumumkan bahwa pakar neurosains telah menemukan adanya Titik
Tuhan ( God Spot ) di dalam otak God Spot adalah sekumpuklan jaringan
saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian yang terdapat di
balik pelipis. Jaringan saraf ini berfungsi untuk membuat kita mengajukan
pertanyaan-pertanyaan fundamental seputar makna eksistensi dan membuat
kita mencari jawaban-jawaban fundamental. Titik tuhan ini menyebabkan kita
bersikap idealistis dan mencari solusi-solusi ideal. Sebelum wafat, Abraham
Maslow menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu
seharusnya perlu direvisi. Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian
Marshall, hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik.
Maslow menyesal karena teori yang sebenarnya dimaksud untuk
memaparkan problema masyarakat saat itu, mengilhami orang-orang tertentu
untuk menjadi tamak dan terus-terusan memikirkan kebutuhan fisiknya,
4
kebutuhan ragawinya. kebutuhan aktualisasi yang paling tinggi bukan lagi
aktualisasi diri tapi masih ada kebutuhan yang lebih tinggi lagi yaitu Self
Transdence atau kebutuhan spiritual.
Motivasi spiritual dalam islam. Motif dalam bahasa Arab disebut داع
رسم صورة داع sedangkan سبب motivasi داع مسبب ايجاب , تعليل
Sedangakan niat dalam bahasa Arab adalah دفع يرجوا رجا نية ينوي . نوي
Miftah Faridl berpendapat bahwa niat bisa diartikan dengan motif , karena
pengertian niat ada dua pengertian yaitu getaran batin untuk menentukan jenis
perbuatan ibadah seperti sholat subuh , tahiyatul masjid dan lain-lain. Niat
yang kedua dalam arti tujuan adalah maksud dari sesuatu perbuatan (motif).
Niat dalam pengertian motif mempunyai dua fungsi:
1. Menentukan nilai hokum ( wajib, sunat, makruh dan haram), yaitu untuk
sesuatu amal yang tidak di tentukan secara tegas hukumnya dalam Al-
Quran dan as-Sunah.\
2. Menentukan kualitas pahala dari sesuatu perbuatan-perbuatan yang
tertinggi ikhlas dan perbuatan terendah riya.
Ketika motivasi dikaitkan dengan niat dan niat dikaitkan dengan
keikhlasan maka hal ini sangat sulit diukur, namun yang perlu digaris bawahi
terlepas dari keikhlasan dan riya ketika motivasi itu dibahas dan dibicarakan
maka ada persamaannya yaitu sama –sama sulit diklaim secara mutlak namun
hanya bisa diprediksi kemungkinannya.
Menurut Asep Ridrid Karana kata niat jika disejajarkan lebih tinggi
daripada motivasi karena motivasi seorang muslim harus timbul karena niat
pada Allah. Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama–sama
dipakai dengan arti yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need), desakan (urge),
keinginan (wish), dorongan (drive) atau kekuatan. Walaupun dalam bahasa
inggris intention diartikan niat dan motivation dengan motivasi namun dalam
berbagi penelitian pun kata motivasi yang digunakan. Manusia di ciptakan
tidak lain hanyalah untuk beribada pada alloh semua aspek kehidupan bias di
bernilai ibadah ketika di niatkan karena Allah. Hal ini di kuatkan dengan
5
sebuah hadist dari umar radhiyallahu anha, memurnikan niat Alloh semata
merupakan landasan amal yang ikhlas. Maksud niat disini adalah pendorong
kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan yang di tuntutnya. Maksud
pendorong adalah penggerak kehendak manusia yang mengarah pada amal.
Sedangkan tujuan pendorongnya banyak sekali dan sangat beragam.
Abdul Hamid Mursi menerangkan motivasi dalam perspektif Islam sebagai
berikut :
A. Motivasi fisiologis
Alloh SWT telah memberikan cirri-ciri khusus pada setiap makhluk sesuai
dengan fungsi-fungsinya. Diantara cirri-ciri khusus terpenting dalam tabiat
penciptaan hewan dan manusia adalah motivasi fisiologis. Studi-studi
fisiologis menjelaskan adanya kecenderungan alami dalam tubuh manusia
untuk menjaga keseimbangan secara permanen. Bila keseimbangan itu
lenyap maka timbul motivasi untuk melakukan aktivitas yang bertujuan
untuk mengembalikan keseimbangan tubuh seperti semula.
Adapun dua jenis motivasi fisiologis diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Motivasi menjaga diri.
Allah SWT menyebutkan pada sebagian ayat al-quran tentang
motivasi-motivasi fisiologis terpenting yang berfungsi menjaga
individu dan kelangsungan hidupnya. Misalnya lapar, dahaga,
bernapas dan rasa sakit. Secara tersirat dalam surat Thaha ayat 117-
121 tiga motivasi terpenting untuk menjaga diri dari lapar, haus, terik
matahari, cinta kelangsungan hidup, ingin berkuasa. Sebagia ayat al-
Quran menunjukkan pentingnya motivasi memenuhi kebutuhan perut
dan perasaan takut dalam kehidupan
b. Motivasi menjaga kelangsungan jenis.
Alloh menciptakan motivasi-motivasi dasar yang merangsang
manusia untk menjaga diri yang mendorongnya menjalankan dua hal
terpenting yakni motivasi seksual dan rasa keibuan. Motivasi seksual
merupakan dasar pembentukan keluarga dan dalam penciptaan kaum
6
wanita Allah menganugerahi motivasi dasar untuk melakukan misi
penting yaitu melahirkan anak-anak. Al-Quran menggambarkan
betapa beratnya seorang ibu mengandung dan merawat anaknya.
B. Motivasi psikologis atau social.
a. Motivasi kepemilikan.
Motivasi memiliki merupakan motivasi psikologis yang dipelajari
manusia di tengah pertumbuhan sosialnya, didalam fase pertumbuhan,
berkembang kecenderungan individu untuk memiliki, berusaha
mengakumulasi harta yang dapat memenuhi kebutuhan dan jaminan
keamanan hingga masa yang akan datang.
Harta mempunyai peranan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Urutan pemuasan kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kebutuhan pangan dan papan
2) Kebutuhan kesehatan dan pendidikan.
3) Kebutuhan bagi kelengkapan hidup.
4) Kebutuhan posisi status dan pengaruh social.
Mengenai motivasi kekuasaan al-quran menengarai yang
artinya: ”dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allahlah tempat kembali yang baik (syurga).
b. Motivasi berkompetensi.
Berkompetensi (berlomba-lomba) merupakan dorongan psikologis
yang diperoleh dengan mempelajari lingkungan dan kultur yang
tumbuh di dalamnya. Manusia biasa berkompetensi dalam ekonomi,
keilmuan, kebudayaan, social, dsb. Al-Quran menganjurkan manusia
agar berkompetensi dalam ketakwaan, amal shaleh, berpegang pada
prinsip-prinsip kemanusiaan, dan mengikuti manhaj ilahi dalam
7
hubungan dengan sang pencipta dan sesame manusia sehingga
memperoleh ampunan dan keridhan Allah SWT.
c. Motivasi kerja.
Motivasi kerja dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ada sebagian orang
yang lebih giat bekerja daripada yang lain. Kebanyakan orang mau
bekerja lebih keras jika tidak memnuhi hambatan merealisasikan apa
yang di harapkan. Selama dorongan kerja itu kuat, semakin besar
peluang individu untuk lebih konsisten pada tujuan kerja. Ada juga
yang menyukai dorongan kerja tanpa mengharapkan imbalan, sebeb ia
menemukan kesenangan dan kebahagiaan dalam perolehan kondisi
yang dihadap dan dalam mengatasi situasi yang sulit.
C. Bekerja dan berproduksi
Atas dasar tawakal dan meniadakan fatalism ada tiga unsure yang
menjadikan hidup manusia positif dan berguna. Pertama,
mengimplementasikan potensi kerja yang di anugerahkan Alloh, kedua
bertawakal kepada allah dan mencari pertolongannya ketika
melaksanakan pekerjaan, ketiga iman kepada Allah untuk menolak
bahaya, dan kesombongan atas prestasi yang di capai.
Konsep islam tentang dunia sebagai lading akhirat memposisikan
kepentingan materi bukan sebagai tujuan, namun sebagai saran
merealisasikan kesejahteraan manusia seperti yang tertuang dalam
surat Al-Qashas ayat tujuh. Karenanya syariat islam mempunyai visi
politik tersendiri yang tidak berlandaskan pada individu seperti
kapitalisme atau pada seluruh masyarakat seperti sosialisme. Dasar
politik islam adalah keseimbangan antara kepentingan individu dan
masyarakat. Prinsip ini telah dinyatakan Al-Quran “tidak berbuat
lazim dan tidak dilazimi”. Islam menetapkan prinsip petengahan yang
memungkinkan kehidupan berjalan secara serasi dan damai,
mengintegrasikan pemikiran dan keyakinan, sikap dan tindakan, tidak
memisahkan antara moral individu dan hubungan social, menolak
8
kerancuan atau kontradiksi kepribadian serta menolak sikap boros dan
kikir.
Konsep motivasi spiritual menurut Umar Chapra sejiwa
dengan apa yang dikemukakan Weber bahwa dunia Barat berkembang
tidak didorong oleh nilai konsumtif melainkan oleh motivasi dari nilai
kreatif yang disebut etos karya. Karena Max Weber seorang protestan,
maka etos karya itu disebut etos Protestan, itulah etos agama. Al-
Quran sendiri menegaskan adanya pengamalan hidup manusia dan
kemuliaan bekerja. Masih banyak ayat Quran yang memotivasi
manusia untuk menekuni pekerjaan sehingga hidupnya menjadi tenang
dan aman, maka dari itu pula manusia mampu bersikap positif, serius,
tekun dalam bekerja serta merasa yakin terhadap janji sang pemberi
Rezeki. Menyandarkan rejeki kepada Allah SWT bukanlah ajakan
untuk bersikap fatalis dan berpangku tangan, melainkan merupakan
ajakan untuk bekerja. Berpangku tangan bertentangan dengan hukum
dan peraturan hidup manusia, serta bertentangan dengan misi yang
diemban manusia. Islam mengajak individu untuk mendayagunakan
potensi yang dianugerahkan Allh SWT kepadanya untuk bekerja
dalam batas-batas kemampuan, tanpa menunggu pemerintah mengurus
seluruh keperluannya.
Iqbal dalam Asy’arie membagi kehidupan religius menjadi tiga
fase, yaitu fase keyakinan, pemikiran dan penemuan. Fase pertama
ditandai dengan disiplin ilmu yang kuat yang harus diterima oleh
seseorang maupun kelompok sebagai perintah Pada fase ini kehidupan
agama mencari landasan pada semacam metafisika suatu pandangan
yang logis mengenai dunia dengan Tuhan menjadi pandangan dari
pandangan tersebut. Fase ketiga metafisika bergeser oleh psikologi
dan selanjutnya kehidupan religuius mengembangkan hasrat
mengadakan hubungan langsung dengan realitas akhir. Pada tahap ini
agama menjadi persenyawaan antar kehidupan dan kekuasaan,
9
sehingga individu mencapai kepribadian merdeka, namun tidak
melepaskan diri dari ikatan hukum dalam kesadaran sendirinya.tanpa
syarat dan tanpa pengetian rasional tanpa makna dan tujuan dari
perintah tersebut. Fase kedua munculnya pengertian rasional terhadap
disiplin ilmu tersebut dan sumber azasinya kekuasaannya. Konsep
kehidupan religius didasarkan pada ketiga motif spiritual dalam Islam
yaitu berdasarkan motivasi aqidah, ibadah dan motivasi muamalat.
a. Motivasi aqidah.
Motivasi spiritual dalam Islam adalah berdasarkan motivasi
aqidah, ibadah dan motivasi muamalat. Motivasi akidah adalah
keyakinan hidup, fondasi dan dasar dari kehidupan, yang
dimaksuddengan akidah Islam adalah rukum iman. Iman menurut
hadist merupakan pengikraran yang bertolak dari hati,
pengucaopan dengan lisan dan aplikasi dengan perbuatan. Jadi
motivasi akidah dapat ditafsirkan sebagai dorongan dari dalam
yang muncul akibat kekuatan tersebut. Sistematika akidah agama
Islam terdiri dari rukun Iman diantaranya,namun dalam motivasi
akidah ini yang dilibatkan hanya unsur iman kepada Allah, iman
kepada kitab Allah dan iman kepada Rasulullah. Ketiga unsur ini
dilibatkan karena pada waktu bekerja terlibat secara nya sehari-
hari .Unsur yang lain tidak dilibatkan dalam aktifitas bekerja
karena belum menjadi pemahaman iman yang bisa dilibatkan
dalam proses produksi maupun meningkatkan kinerja.
b. Motivasi ibadah
Kaidah ibadah dalam arti khas (qoidah “ubudiyah) yaitu tata
aturan ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba
dengan Tuhannya yang tata caranya telah ditentukan secara rinci
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ibadah adalah suatu
perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh orang yang tidak
beragama, seperti doa, shalat dan puasa itu hanya dilakukan oleh
10
orang-orang yang beragama. Ibadah bertitik tolak dari aqidah, jika
ibadah diibaratkan akar maka ibadah adalah pohonnya. Jika ibdah
masih dalam taraf proses produksi, sedangkan output dari ibadah
adalah mu’amalah. Ibadah dalam ajaran Islam dapat dicontohkan
sebagai berikut: doa, shalat, puasa, bersuci, haji dan zakat. Tetapi
unsur motivasi ibadah ini hanya diambil doa, shalat, dan puasa,
karena ketiga unsur ini dilakukan karyawan sehari-hari dalam
proses produksi sehingga patut diduga mempunyai pengaruh
dalam meningkatkan kinerja karyawan. Jika diperhatikan beberapa
ajaran Islam melalui Al-Qur’an mengenai ibadah yang selalu
terkait dengan produksi seperti: zakat, amar ma’ruf nahi munkar,
maka tidak dapat diragukan bahwa umat yang ibadahnya kaffah
akan mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap kinerja.
c. Motivasi muamalah
Kaidah muamalah dalam arti luas adalah tata aturan ilahi yang
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan manusia
dengan benda atau materi alam. Muamalah diantaranya mengatur
kebutuhan primer, dan sekunder dengan syarat untuk
meningkatkan kinerja. Kebutuhan tersier dilarang dalam Islam
karena dipandang tidak untuk meningkatkan kinerja tetapi
dipandang sebagai pemborosan dan pemusnahan sumber daya.
Bekerja dan berproduksi adalah bagian dari muamalah yang dapat
dikategorikan sebagai prestasi kinerja seorang muslim menuju
tercapainya rahmatan lil’alamin. Motivasi muamalah adalah
dorongan kekuatan dari dalam untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang dilandasi oleh kekuatan moral spiritual, sehingga
dapat menghasilkan kinerja yang religius, karena diilhami oleh al-
Qur’an dan as-Sunnah. Kebutuhan dan urutan prioritas biasanya
dalam tiga tingkatan: keperluan, kesenangan, dan kemewahan.
11
1. Keperluan biasanya meliputi semua hal yang diperlukan untuk
memenuhi segala kebutuhan yang harus dipenuhi.
2. Kesenangan boleh didefinisikan sebagai komoditi yang
penggunaaanya menambah efisiensi karyawan, akan tetapi
tidak seimbang degan biaya komoditi semacam itu.
3. Kemewahan menunjuk kepada komoditi serta jasa yang
penggunaanya tidak menambah efisiensi seseorang bahkan
mungkin menguranginya.
Al-Qur’an Surat al-Jumuah ayat 10, al-Qashas ayat 77, al-Isra, ayat 29
dan al-Furqan ayat 67 , ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang manusia
sebagai makhluk yang direncanakan Allah SWT untuk bekerja dan
berproduksi. Dalam beberapa ayat Al-Quran tersebut dapat disimpulkan
tentang potensi manusia untuk bekerja dan berproduksi secara religious.
1. Bekerja adalah kegiatan alami dalam kehidupan manusia. Bagi islam
bekerja mengelola kekayaan alam yang diberikan Allah SWT untuk
kebaikan manusia.
2. Manusia adalah makhluk yang berakal yang mampu menerapkan
control diri dalam aktivitas kesehariannya. Apapun kondisinya, Islam
menganggap pentingnya setiap individu muslim menyiapkan diri
dalam rangka misi hidupnya. Seorang muslim meraih control diri yang
bersumber dar dalam, hal ini akan menolong untuk berbuat sesuai
dengan perintah agama Islam dan menjalankan aktivitas teknologi.
3. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang secara
potensial mampu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya
dan manusia juga bisa gagal. Manusia dalam Al-Qur’an menerima
mandat dari Allah SWT dan mempunyai tanggung jawab penuh atas
setiap tindakannya. Meskipun Islam berarti ketundukan total terhadap
Allah SWT, manusia merdeka dan bebas mengarahkan tindakannya
dan apabila manusia tidak dipengaruhi oleh siapapun, kualitas
12
kemampuan mengarahkan diri ini akan muncul. Dalam beberapa
situasi manusia membutuhkan pengarahan dan motivasi dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab. Fakta bahwa Islam menekankan disiplin
diri dan keberadaan Allah SWT bersamanya kapan dan dimana saja,
tidak berarti bahwa orang-orang yang diberi jabatan dibiarkan
bertindak sepenuhnya tanpa pengawasan orang lain. Sesuai dengan
konsep Islam tentang manusia, maka pengawasan diperlukan untuk
selalu meminimumkan pengaruh jahat dalam diri manusia dan
merangsang motivasi baik semaksimal mungkin.
4. Manusia adalah makhluk yang berakal yang dapat menggunakan bakat
dan kecerdasan untuk mengembangkan kehidupan di bumi dan
membuatnya semakin sejahtera. Islam mendorong setiap orang baik
dalam skala pribadi, kelompok, maupun masyarakat untuk
menggunakan potensi yang dimiliki demi kemashlahatan hidupnya.
Satu-satunya pembatasan yang dikenakan ialah bahwa kemampuan
inovatif tersebut beroperasi dalam ruang lingkup yang telah digariskan
oleh Islam.
5. Potensi manusia yang besar dapat dibangkitkan dengan motivasinya.
Perbedaan metode motivasi antar barat dengan Islam, bahwa Islam di
samping memberikan insentif material dan keuangan juga
menggunakan insentif spiritual. Efektivitas insentif spiritual terbukti
lebih kuat daripada yang material. Islam selalu menyentuh hati
manusia dan mendorongnya untuk menjaga kesadaran islamnya. Para
ulama islam dan orang-orang yang belajar psikologi percaya bahwa
motivasi spiritual lebih efektif di bandingkan dengan yang lain. Hal ini
tidak berarti menghilangkan sama sekali motivasi material dan
keuangan dalam diri manusia.
13
2.2 Penilaian kinerja
2.2.1 Penilaian Kinerja Secara Umum
Penilaian kinerja sebagai kegiatan manajemen SDM adalah proses
pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh seorang
pekerja. Dari hasil pengamatan itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan
dalam bentuk penetapan keputusan mengenai keberhasilan atau
kegagalannya dalam bekerja. Mondy & Noe (1990: 382) mendefinisikan
penilaian prestasi kerja sebagai: “Suatu sistem yang bersifat formal yang
dilakukan secara periodik untuk mereview dan mengevaluasi kinerja pegawai”.
Penilaian tersebut dilakukan sebagai proses mengungkapkan kegiatan
manusia dalam bekerja, yang sifat dan bobotnya ditekankan pada prilaku
manusia sebagai perwujudan dimensi kemanusiaan maka pengukuran
yang dilakukan bukan secara sistematis yang bersifat pasti, pengukuran
sistematis tidak mungkin dilakukan dalam penilaian kinerja karena
obyeknya adalah perilaku manusia yang rumit dan kompleks. Ada
beberapa definisi dari penilaian kinerja itu sendiri diantaranya adalah:
Penilaian kinerja adalah kegiatan mengidentifikasi pelaksanaan
pekerjaan dengan menilai aspek-aspeknya, yang di fokuskan pada
pekerjaan yang berpengaruh pada kesuksesan
organisasi/perusahaan.
Penilaian kinerja adalah kegiatan pengukuran sebagai usaha
menetapkan keputusan tentang suskes atau gagal dalam
melaksanakan pekerjaan oleh seorang pekerja. Untuk itu
diperlukan perumusan standar pekerjaan sebagai pembanding
(tolok ukur)..
14
2.2.2 Penilaian Kinerja Menurut Prespektif Islam
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi
manusia. Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhiratnya. Agama juga menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada
Allah. Amat jelas bahwa kerja mempunyai makna eksistensial dalam menunjukkan
kehidupan orang islam. Karena berhasil/gagalnya dan tinggi/rendahnya kualitas hidup
seseorang ditentukan oleh amal dan kerjanya.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan
baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik
perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi/18:7). Dengan demikian, lulus/tidaknya manusia
dalam menghadapi ujian hidup di dunia ini dapat dilihat dari amal atau kerja yang
telah dilakukan. Apalagi manusia diberikan tugas sebagai khalifah yang bertugas
sebagai pemakmur bumi. Hal tersebut merupakan tugas besar yang jika tidak
dikerjakan dengan sungguh-sungguh, mustahil rasanya bila amanah tersebut dapat
dilaksanakan.
Manusia yang eksis muncul karena kerja dan kerja itulah yang membentuk
eksistensi kemanusiaan. Pandangan ini sejalan dengan salah satu inti sari dari QS.
An-Najm/53:39 yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh suatu
apapun tanpa usaha yang ia lakukan sendiri. Dengan bekerja, manusia memperoleh
sebuah peran dalam mempertahankan penghidupannya. Bekerja yang baik adalah
bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.
Perlu diperhatikan bahwa Allah bila menyebut perkataan, أمنوا dalam الذين
ayat-ayat al-Qur’an selalu menyambungnya dengan الصالحات Hal . وعملوا
tersebut mengisyaratkan bahwa iman harus disertai amal saleh atau pekerjaan baik.
Amal saleh adalah penjelmaan dari iman. Iman yang tidak melahirkan amal saleh
dapat disebut iman yang mandul. Maka, islam menghubungkan aqidah dengan
perilaku yang dituntutnya secara mutlak. Sehingga iman atau aqidah memancar,
mengarahkan dan berpengaruh amat positif tehadap perilaku pemiliknya.
Menurut Isa ‘Abduh dan Ahmad Isma’il Yahya, ada tiga cara untuk
mewujudkan kinerja yang baik, yaitu:
15
1. Kerja yang dilandasi taqwa.
2. Iklim dan suasana kerja yang tenang dan kondusif.
3. Didukung oleh ilmu pengetahuan terkait dengan bidang pekerjaan, dan bersangkutan
selalu berusaha menambah ilmunya.
Jadi, kerja atau amal didukung oleh kesehatan dan ilmu pengetahuan, yang
secara dinamis merupakan bagian urgen dan sistematis dari iman sampai ke amal
saleh. Ketiganya (iman, amal dan ilmu) secara organis berhubungan amat erat.
Sehubungan dengan kerja dan tanggung jawab, rasulullah saw. pernah menegaskan ,
“masing-masing kamu adalah pengembala, dan setiap pengembala bertanggung
jawab atas gembalaannya....”. dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa Allah
memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai khalifah di bumi. Bekerja demi
terselenggaranya “ma’isyah” atau penghidupan yang baik merupakan kewajiban.
Keharusan kerja bagi manusia mencapai tingkat “tugas istimewa” hingga keengganan
mereka untuk bekerja bukan sekedar maksiat yang merugikan orang yang
bersangkutan saja. Kerja disukai oleh Allah dan Rasul-Nya bila kerja itu dilaksanakan
sungguh-sungguh dilandasi niat mencari ridho-Nya.
Terdapat sejumlah firman Allah yang berkaitan dengan perintah bekerja
kepada orang-orang yang beriman, antara lain, “Dia yang menjadikan bumi mudah
bagimu, maka berjalanlah ke berbagai penjuru bumi dan makanlah sebagian dari rizki
Allah...” (QS. Al-Mulk/67:15). Ayat ini mengandung perintah langsung agar manusia
giat bekerja dan menghindari bermalas-malasan. Bekerja untuk memperoleh rizki
guna menunaikan nafkah keluarga adalah sebuah amanah yang harus
ditunaikan.Berdasarkan kaidah syar’iyyah, “sesuatu amal wajib yang tidak
tertunaikan, tidak sah tanpa dilakukannya sesuatu itu, konsekuensi logisnya sesuatu
itu ikut menjadi wajib hukumnya”. Dengan demikian, bekerja guna memenuhi
kebutuhan anak dan keluarga sebagaimana tersebut di atas hukumnya pun menjadi
wajib, kalau tanpa kerja, amanah berupa anak dalam keluarga akan terlantar, amanah
itu lalu tidak dapat dipenuhi sebagimana mestinya.Islam menempatkan posisi kerja
pada posisi sentral yang berhubungan erat bahkan tidak terpisahkan dari keimanan.
16
Dengan demikian, hukum bekerja dalam islam adalah setara dengan wajib, manakala
sesuatu yang mensyaratkan merupakan sesuatu yang hukumnya wajib.
Sebagai homosapiens, Allah sudah memberi kita sebuah alat yang disebut
akal-otak. Akal inilah yang harus difungsikan seoptimal mungkin untuk berpikir dan
mencari solusi yang tepat. Jika kita berada di dalam sebuah organisasi, dan
menghadapi pekerjaan yang sulit dan rumit, sementara penyelesaiannya dituntut
segera, kita tidak bisa mengandalkan orang yang biasa-biasa saja. Kita membutukan
pribadi-pribadi yang tergolong memiliki high-performer, performa atau kinerja yang
tinggi. Orang dengan kinerja tinggi itu adalah orang yang mampu menghadapi situasi
jalan yang tidak saja mulus dan lurus, tetapi turunan dan tanjakan, yang berkelok
tajam sekalipun.
Allah berfirman dalam QS 9: 105: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya,
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” Sebagai agama
universal, yang konten ajaran tidak pernah lekang oleh waktu, atau lapuk oleh zaman,
dengan basisnya Al Quran, Islam sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa kinerja
harus dinilai. Ayat yang harus menjadi rujukan penilaian kinerja itu adalah surat at-
Taubah ayat 105.
Dan, katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka, Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan”. Kata “i’malû” berarti beramallah. Kata ini juga bisa
berarti “bekerjalah”.
Pada hakikatnya penilaian kinerja islami merupakan pancaran nilai yang ikut
membentuk corak khusus karakteristik nilai kerja islami. Dalam memilih seseorang
ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya
dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau
17
senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja. Dalam al-Qur’an dikenal kata
itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
(An-Naml : 88). Sedangkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon
(tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki).Sebagaimana dalam awal tulisan ini
dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh
amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah).
mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (Al-Baqoroh: 264).
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan
dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan
petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan
aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya
sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah
SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai penilaian yang harus
selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya
iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disamping
mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan
utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang
teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental
sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah
serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-
mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi
18
untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu
memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang
berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-
dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung
pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi
rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung
kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak
membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya. Rasulullah Saw. sudah
mengingatkan akan pentingnya melihat hasil kerja atau amal seseorang. Hal ini
dibuktikan oleh sebuah hadis dari Imam Ahmad, dari Anas ibn Malik ra., Rasulullah
Saw bersabda: “Lâ ‘alaykum an ta’jabû bi ahadin hattâ tanzhurû bi mâ yakhtimu
lahû, kalian tidak perlu merasa takjub (bangga) atas seseorang hingga kamu melihat
sesuatu yang dihasilkannya”. Jelas sekali bahwa ungkapan “hattâ tanzhurû bi mâ
yakhtimu lahû” merujuk pada kinerja, hasil kerja seseorang.
Hadis lain yang berasal dari Abu Sa’îd ra., Sa’îd ibn Sa’âd ibn Malik al-Khudri ra.,
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Innallâha mustakhlifukum fî hâ fa
yanzhura kayfa ta’amalûn” (HR Muslim). Ungkapan “kayfa ta’amalûn” menjadi
bukti bahwa Allah pun akan menilai cara kerja kita, termasuk dalam bekerja sebagai
wujud dari “hablun minan nâs”. Setelah bekerja dan beramal, seluruh penilaian itu
akan dikembalikan kepada Allah untuk mendapatkan hasil; baik atau buruk.
Ungkapan “saturaddûna” yang bermakna “kelak kalian akan dikembalikan” adalah
buktinya. Ungkapan ini menunjuk pada kepastian adanya “hari kebangkitan”.
Maknanya, dalam Islam, amalan (ritual atau sosial, muamalah), termasuk bekerja
19
sebagai karyawan atau pebisnis selalu bernuansa akhirat karena
pertanggungjawabannya tidak saja dalam konteks dunia, tetapi juga sampai akhirat.
Lalu, setelah sampai di akhirat, Allah melakukan “yunabbi-ukum” , yaitu
memberitakan atau mengabarkan kepada setiap manusia. Artinya, hasil dari penilaian
itu akan disampaikan kepada semua orang sebagai pelaksana, untuk kemudian
mendapatkan kompensasi atau balasan (ujrah). Reward and punishment pasti
diberlakukan. Dalam bisnis modern pun, pemberian kabar ini biasanya melalui press
release yang disebarkan ke semua bagian. Paling tidak, melalui cara ini, semua
karyawan mengetahui siapa saja yang telah melakukan perbaikan diri sehingga
mendapatkan kinerja yang baik, dan siapa yang saja yang masih memiliki mind-set
lama. Kita sangat tahu bahwa di dalam organisasi bisnis yang sudah besar,
manajemen kinerja merupakan sebuah kewajiban yang mutlak. Karena itu, seluruh
kru manajemen merasa berkewajiban untuk menyusun dan mengembangkannya
dengan mantap dan komitmen tinggi. Masalahnya, adakah ukuran sukses tentang
pelaksanaan kinerja seseorang?
Kerapkali, ukuran kesuksesan kinerja seseorang yang akan berpengaruh kepada
kinerja perusahaan selalu dihubungkan dengan pencapaian KPI (key performance
indicator). Orang yang sukses mengembangkan konsep key performance indicator
adalah Robert S. Kaplan dan David P. Norton dalam bukunya The Balanced
Scorecard: Translating Strategy into Action, 1996). Dalam hal ini, ada empat
indikator utama baik dan tidaknya kinerja seseorang, yaitu finansial, fokus pelanggan,
proses bisnis internal, dan grow and learn.
Kita semua tahu bahwa memastikan pencapaian KPI, baik oleh individu maupun
perusahaan, merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Bahkan, pencapaian itu
sebagai sesuatu yang positif yang harus dihargai oleh perusahaan. Tetapi, kita juga
harus sadar bahwa perusahaan akan berada di ambang masalah besar, yang kelak
akan berpengaruh pertumbuhannya, bila banyak karyawan merasa berpuas diri
dengan pencapaian itu.
Harus disadari bahwa ungkapan “Pokoknya, KPI kami sudah tercapai” bisa saja
menjadi boomerang bagi seluruh tim. Dalam kondisi demikian, harus ada pihak-pihak
20
yang selalu menjadi “nâshihun amîn”, penasihat yang terpercaya agar seluruh
karyawan tidak terlena oleh pencapaian itu. Sikap mental yang harus dibangun oleh
“nâshihun amîn” adalah kokohnya kesadaran bahwa ada hal yang lebih penting yang
harus dikembangkan, yaitu komitmen dan disiplin kepada mekanisme yang fleksibel,
kemampuan untuk menyusun prioritas, konsistensi untuk mendahulukan kepentingan
pelanggan atau fokus pada pelanggan, ketajaman untuk mengendus perubahan pasar
yang terjadi, dan mengetatkan atau merapatkan barisan karena serangan kompetitor
tidak bisa dijamin oleh pengukuran-pengukuran tersebut.
“Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh” (QS ash-Shaf, 4).
Ayat ini harus menjadi pengingat tentang pentingnya “mengetatkan atau merapatkan
barisan karena serangan kompetitor” yang semakin hebat. Namun, agar energi tidak
terkuras habis secara sia-sia, kita harus fokus pada kemampuan diri, bukan pada
kekuatan kompetitor. Salah satu cara penguatan diri itu adalah perlu adanya program
pengembangan mentalitas entrepreneur. Program ini sejatinya adalah kepedulian
perusahaan untuk mengajak setiap individu agar mampu melihat dirinya sebagai
profesional yang sukses dan berintegritas kuat. Perlu juga diingatkan bahwa sebuah
kesuksesan yang telah diraih akan sambung menyambung dan terus hidup untuk
menyambut tantangan baru dan meraih kesuksesan yang baru.
Menurut Glazer, Kanniainnen, dan Poztuara dalam “Initial Luck, Status Seeking, and
Snowball Lead for Succes”, kisah sukses (succes story), sekecil apa pun, mirip bola
salju untuk dapat melahirkan kesuksesan berikutnya. Salah satu faktor penentunya
adalah self-identity (identitas diri). Identitas diri berkembang di dalam struktur dan
budaya karena dua faktor, yaitu 1) status, rasa bangga karena menjadi bagian
organsiasi; 2) budaya, yaitu kokohnya setiap pribadi terhadap semangat “achievement
orientation”.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang
melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar. Dari
pengertian tersebut berarti pula semua teori motivasi bertolak dari prinsip utama
bahwa: “ manusia (seseorang) hanya melakukan suatu kegiatan, yang
menyenangkannya untuk di lakukan”.
Motivasi spiritual dalam islam. Motif dalam bahasa Arab disebut سبب داع
رسم صورة sedangkan motivasi داع داع مسبب ايجاب Sedangakan niat , تعليل
dalam bahasa Arab adalah دفع يرجوا رجا نية ينوي . نوي Miftah Faridl
berpendapat bahwa niat bisa diartikan dengan motif , karena pengertian niat ada
dua pengertian yaitu getaran batin untuk menentukan jenis perbuatan ibadah
seperti sholat subuh , tahiyatul masjid dan lain-lain.
Penilaian kinerja sebagai kegiatan manajemen SDM adalah proses
pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh seorang pekerja.
Dari hasil pengamatan itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk
penetapan keputusan mengenai keberhasilan atau kegagalannya dalam bekerja.
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi
manusia. Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhiratnya. Agama juga menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada
Allah. Amat jelas bahwa kerja mempunyai makna eksistensial dalam
menunjukkan kehidupan orang islam.
22
DAFTAR PUSTAKA
Mathis, L. Robert dan John H. Jackson. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Salemba Empat.
Mangkuprawira, sjafri. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Nawawi, hadari. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University press.
Mangkuprawira, Sjafri., 2009. Horison Bisnis, Manajemen dan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT Gramedia.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ilfi, Nur Diana. 2008. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: Uin-Malng Press (Anggota
IKAPI).
http://Al Quran dan Penilaian Kinerja/ 26/03/2012 .html
http://
PENGENDALIANDALAMPERSPEKTIFISLAMMuhammadFathurrohman.html
http://MotivasiMenejemenPendidikanIslam.html
23