Upload
putri-kania
View
3.277
Download
133
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun
kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesiamerdeka pada tahun 1945.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari
kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan,
sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara
kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan
oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa
mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah
kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan
kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika
ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.
Kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang misterius.
Namun demikian, secara universal, jika berbicara masalah kesenian, orang akan langsung
terimaginasi dengan istilah indah . Jaran kepang sebagai hasil karya seni merupakan sistem
komunikasi dari bentuk dan isi . Bentuk yang berupa realitas gerak, musik, busana, property, dan
peralatan (ubarampen) secara visual tampak oleh mata. Namun, isi yang berupa tujuan, harapan,
dan cita-cita adalah komunikasi maya yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat landasan
konseptual yang bersumber pada kompleksitas sistem simbol.Tradisi dan budaya merupakan
sumber dari akhlak dan budi pekerti. Tradisis merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia
yang telah berproses dalam waktu lama dan telah dilakukan secara turun temurun dimulai dari
nenek moyang. Secara formal, budaya didefinisakan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai sikap, haerarki pemahaman, nilai agama, waktu, pernanan, hubungan ruang,
konsep alam semesta, obyek-obyek pemilik yang dimiliki oleh sekelompok besar orang dari
sekelompok-sekelompok atau individu yang didapat melalui usaha.
Di Indonesia sendiri terdapat berbagai macam tradisi dan budaya. Suku dan ras yang berbeda
juga dapat memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda. Misalnya suku minangkau memiliki
tradisi budaya yang berbeda dengan suku Jawa. Salah satu budaya yang berasal dari suku Jawa
adalah tradisi “Ebeg” atau “kuda lumping”. Tradisi ini berasal dari daerah Jawa Tengah tepatnya
di daerah sekitar Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi
sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan
budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke
tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Salah satu paguyuban
kesenian tradisi “Ebeg” atau kuda lumping yang masih aktif menyelenggarakan pertunjukan
kuda lumping ini adalah paguyuban “Gadamas Turanggajaya” yang berada di desa Klapagada,
Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap.paguyuban ini masih terus melakukan pertunjukannya
diberbagai acara walupun sekarang ini sudah banyak sekali pertunjukan yang lebih mdern.
Tetapi paguyuban kuda lumping ini masih tetap eksis dan mempertahankan keberadaannya
sampai saat ini.
Dari latar belakang tersebut, makalah ini akan membahas tentang bagaimana sejarah dari
pertunjukan kuda lumping di Paguyuban “Gadamas Turanggajaya” dan bagaimana cara
mempertahankannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Kesenian Tradisi “Kuda Lumping” ?
2. Bagaimana sejarah berdirinya paguyuban Kuda Lumping “Gadamas Turanggajaya” ?
3. Bagaimana prosesi dalam pertunjukan Kuda Lumping ?
4. Apa sajakah nilai luhur yang terkandung didalam Kesenian Tradisi Kuda lumping
tersebut?
5. Apa sajakah upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian Tradisi Kuda
Lumping tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kesenian Tradisi “Kuda Lumping”.
2. Untuk mengetahui sejarah berdirinya paguyuban Kuda Lumping “Gadamas
TuranggaJaya”
3. Untuk mengetahui prosesi dalam pertunjukan Kuda Lumping.
4. Untuk mengetahui nilai luhur yang terkandung di dalam Kesenian Tradisi Kuda
Lumping.
5. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian
Tradisi “Kuda Lumping”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesenian Tradisi “Kuda Lumping”
Kuda Lumping/Jaranan adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan yang
terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringi dengan
musik khusus yang sederhana yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat musik
tradisional). Kuda Lumping atau kerap dikenal sebagai “Ebeg” merupakan salah satu kesenian
yang berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya daerah sebelah selatan-barat. Di daerah
tersebut diantaranya Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Kuda Lumping atau
“Ebeg” merupakan sejenis tari-tarian yang menceritakan latihan perang pada waktu itu. Biasanya
pemain “Ebeg” ada 5 – 8 orang yang diiringi dengan gamelan dan seperangkatnya. Menurut
beberapa sumber, tarian “Ebeg” ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro.
Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan
penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu
a. dua kali tarian
b. buto lawas,
c. tarian senterewe, dan
d. tarian begon putri.
Tarian ini tidak memerlukan koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak.
Sang penari dapat bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini
memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia agar
senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.
Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga
dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan
yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang
banyak sebagaimana karawitan. Dipilih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan
kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat
jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah
ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa
menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk
memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai
media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan
cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang
menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau
dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah
satunya adalah seni kuda lumping. Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai
sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang
ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan
Celengan.
B. Sejarah Berdirinya Paguyuban Kuda Lumping “Gadamas TuranggaJaya”
Peneliti melakukan observasi pada hari jum”at 18 April 2014 disebuah Paguyuban.
Paguyuban Kuda Lumping “Gadamas TuranggaJaya” adalah salah satu paguyuban Kuda
Lumping yang berada di desa Klapagada Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Paguyuban ini
memang belum lama terbentuk di desa Kalapagada, meskipun sebenarnya dari jaman nenek
moyang masyarakat sudah mengenal tentang kesenian Kuda Lumping. Tetapi baru terbentuk
paguyubannya tersebut sekitar tahun 2010 tepatnya pada tanggal 7 Februari 2010. Menurut salah
seorang penimbun (juru kunci) mengatakan bahwa, paguyuban ini terdiri dari para muda-mudi
lelaki di desa Klapagada. Mereka bersatu membentuk sebuah kelompok yang bersatu dalam
paguyuban ini. Sebagian besar dari mereka dulunya adalah penabuh gamelan di salah satu
kelompok karawitan didesa terserbut.
Salah seorang penimbun (juru kunci) dari paguyuban ini mengaku, beliau menjalani
profesi ini tidak ada unsur kesengajaan tapi memang sudah menjadi panggilan dari leluhur.
Beliau bercerita memang sebenarnya beliau adalah seorang penabuh gamelan. Suatu hari dia
bepergian kesuatu tempat yang jauh, kemudian salah seorang dari tetuah dari desa tersebut
menelpon dan menunjuk beliau untuk pulang jadi penimbun. Sebenarnya terdapat dua calon
penuimbun, tetapi yang dirasa cocok hanya satu saja. Kemudian beliau juga mengungkapkan
bahwa menjadi penimbun (juru kunci) itu tidak mudah. Salah satunya dia harus suci, puasa mutih
(tidak makan garam) pada hari-hari tertentu, tepatnya setiap rabu pon, kamis wage dan jum”at
kliwon. Dengan alasan untuk membersihkan diri dan supaya agar pada waktu pementasan para
pemain yang kerasukan para leluhur dapat menerima arwah dan juga dapat mengembalikan
arwah tersebut ke asalnya kembali, Kemudian melakukan suatu ritual permintaan izin kepada
leluhur dimalam jum”at kliwon disebuah tempat yang disebut panembahan yang ada di desa
Klapagada. Di Panembahan tersebut beliau meminta izin kepada leluhur setempat. Beliau
mengaku tidak menggunakan tenaga dalam pada waktu pertunjukan. Penimbun atau juru kunci
juga memiliki pembantu. Dia tidak hanya bekerja sendiri.
Kendala yang dihadapi dari sejak berdirinya paguyuban ini misalnya pada musim hujan
jarang ada yang tawaran untuk pentas dikarenakan tempat yang becek karena memang
kebanyakan yang menawar untuk pentas ditempatkan diluar (outdoor) sehingga cuaca juga
sangat menentukan. Perkembangan dari paguyuban ini sejak berdirinya sudah 75% meningkat
dan berkembang dikarenakan antusias masyarakat juga banyak. Pada saat pementasan kuda
lumping selesai biasanya ditampilkan juga atraksi bamboo untuk menambah kemeriahan. Dalam
satu bulan bisa mendapat tawaran pentas kira-kira 3x. sebenarnya paguyuban ini dibentuk untuk
memeberitahukan kepada masyarakat luas bahwa didesa Klapagada ada paguyuban untuk
mempersatukan para pemuda-pemudi guna melestrarikan kesenian kuda lumping ini. Para
perangkat desa setempat juga mendukung adanya pauyuban kuda lumping ini. Kemudian tariff
untuk pementasan berbeda-beda menurut tempat. Misalnya untuk daerah sekitar dikenakan biaya
1.800.000 per pementasan. Kemudian untuk tarif diluar desa atau masuk dikategori jauh
jaraknya dikenakan tariff 2.500.000 per sekali pentas.
Berikut susunan keanggotaan Puguyuban “Gajahmas Turanggajaya” didesa Klapagada
Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap :
1. Ketua : Pak Jadi (sekaligus penimbun)
2. Wakil Ketua : Pak Agus (assisten penimbun )
3. Saron : Tyan dan Wahyu
4. Lompret : Tyan dan Wahyu
5. Campur : Sakimin, Sudi, dan Sumadi
6. Penari :
a. Neko
b. Eko
c. Ade
d. Parmin
e. Sarudin
f. Kasidin
g. Sakam
h. Rukyat
i. Mahmudin
C. Prosesi Dalam Pertunjukan Kuda Lumping
Perlengkapan sesajen yang digunakan pada prosesi pertunjukan kuda lumping antara lain :
1) pisang ambon,
2) menyan,
3) padi,
4) janur kuning,
5) gula kelapa,
6) Budin atau tela,
7) daun tawa,
8) dedek,
9) daun papaya,
10) kopi gula,
11) pupus pisang ambon,
12) gula batu (ampo), dan degan kelapa ijo,
13) lumbu ireng,
14) bedak, cermin, minyak wangi duyung, dan
15) alang-alang (atep).
Aksesoris yang digunakan oleh para pemain kuda lumping atau ebeg antara lain :
a) slendang,
b) benting,
c) jarit,
d) celana pendek, kaos,
e) jangkang, sumping, sabuk, dan
f) kacamata hitam.
Dalam kegiatan kuda lumping atau ebeg ini memerlukan banyak persiapan dalam hal
perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah
waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan
seperti
(1) Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain
(2) kendang,
(3) saron,
(4) kenong,
(5) gong, dan
(6) terompet.
Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang harus disediakan seperti
(a) bunga-bungaan,
(b) pisang raja dan pisang mas,
(c) kelapa muda (degan),
(d) jajanan pasar, dll.
Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti
a. ricik-ricik,
b. gudril,
c. blendrong,
d. lung gadung,
e. cebonan, dll.
Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai
pemimpin atau dalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan dalam satu group
paguyuban biasanya terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg
atau kuda lumping dan si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal,
jadi biasanya tarian ebeg atau kuda lumping dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun
pelataran rumah yang cukup luas.
Ketika para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan istilah “mendhem” ,
biasanya para pemain memakan pecahan kaca atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa
dengan gigi, makan padi dari tangkainya, dedhek (kathul), bara api, dll. Sehingga menunjukan
kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan
kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan kuda lumping
atau ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut
terbawa dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti gerakan
dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda lumping lainnya. Hal tersebut
karena mereka dari penonton telah terkena roh penari kuda lumping. Setelah sekian lama para
penari kesurupan, sekarang bagian Penimbun atau orang yang menyembuhkan sekaligus
membuang roh ghaib dari tubuh para penari. Biasanya penimbun dibantu asistennya jika yang
kemasukan roh lebih dari tiga.
D. Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Kesenian Tradisi Kuda Lumping
1. Nilai Religius
Nilai religius (ketuhanan) merupakan nilai mutlak yang bersumber pada keyakinan
manusia. Dalam kesenian kuda lumping, nilai religius tercermin dari adanya doa-doa
yang dilakukan diawal dan akhir dalam pertunjukan kesenian kuda lumping. Doa yang
dilakukan merupakan doa meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pertunjukan kesenian kuda lumping bermula dari pertunjukan yang mengandung makna
religi, dipercaya dengan mengadakan pertunjukan kuda lumping dapat terhindari dari
gangguan makhluk-makhluk halus..Kepercayaan terhadap makhluk halus atau roh nenek
moyang merupakan bentuk kepercayaan masyarakat jawa pada zaman sebelum masuknya
agama di pulau jawa. Adanya berbagai kegiatan yang berhubungan dengan makhluk gaib,
roh-roh atau dewa-dewa merupakan suatu bentuk kepercayaan terhadap suatu keyakinan
mereka.
2. Nilai Hiburan
Nilai hiburan merupakan nilai permainan dan waktu senggang yang dapat
menyeimbangkan pada pengayaan kehidupan. Kesenian kuda lumping saat sekarang ini
mulai disukai karena dapat memberikan suatu hiburan baru yang dapat dinikmati oleh
segala kalangan.
3. Nilai Sosial
Nilai sosial berasal mula dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan. Nilai
sosial dapat dilihat dari makna yang terkandung dalam kesenian kuda lumping, dimana
manusia tersebut terlahir tidak lepas dengan lingkungan alam dan membutuhkan
kehidupan yang lebih baik, manusia juga sangat berkecimpung dan bersosialisasi dengan
yang lain dan berbagai ragam. Kehidupan manusia harus menjaga dan melestarikan alam
dan tidak boleh merusak alamnya karena akan mempengaruhi kehidupannya. Dalam
warna yang terdapat pada kesenian kuda lumping juga mengajarkan manusia untuk
berani bertanggung jawab atas halnya perbuatan yang telah dilakukan didalam
kehidupanya, tidaklah saling serakah dan tidak boleh merugikan orang lain, harus
menjaga kesabaran ketika mendapatkan cobaan dan tantangannya, serta menjagaga
keharmonisan manusia sebagai makhluk sosial.
4. Nilai Estetika
Nilai estetika adalah nilai yang berhubungan dengan keindahan. Keindahan-keindahan
dalam kesenian kuda lumping terdapat pada gerakan, tata rias, tata busana, property, dan
iringan musik. Keindahan gerak meliputi keseimbangan dan simetris gerak dalam tari
kuda lumping. Keindahan tata rias terdapat dalam kemeriahan, ketebalan dan warna yang
mencolok dalam pemakaian riasan sehingga memunculkan karakter penari kuda lumping.
Keindahan tata busana terdapat kemeriahan warna busana yang dipakai. Keindahan
properti yang digunakan untuk mendukung tarian kuda lumping. Serta keindahan yang
tercipta dari iringan musik yang menampilkan kesesuaian gerak dengan iringan gong,
gendang, kenong dan saron sebagai alat musik khas kuda lumping.
5. Nilai Historis
Nilai historis merupakan nilai sejarah dari suatu objek tertentu. Nilai sejarah dari
kesenian kuda lumping menceritakan tentang kisah perjuangan Raden Patah, yang
dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa,
tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan
Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Pada intinya
kesenian kuda lumping merupakan kesenian yang menceritakan tentang peperangan
dalam mempertahankan kemerdekaan di tanah jawa.
E. Upaya yang Dilakukan Untuk Mempertahankan Kesenian Tradisi Kuda Lumping
Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia
diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi
saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya
tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita
adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan
hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita. Salah satu cara untuk mempertahakan
kesenian tradisi Kuda Lumping adalah kita sebagai generasi muda harus turut akif dalam
mengembangkan kesenian ini agar para generasi berikutnya dapat menikmati kesenian tradisi
Kuda Lumping ini. Selain itu kita harus berbenah apa kekurangan dari kesenian ini supaya
tetap bisa berkembang dan bertahan mengikuti kemajuan teknologi. Kemudian peran dari
para pengurus desa dan paguyuban sendiri harus aktif agar paguyubannya dapat dikenal oleh
masyarakat luas, bukan hanya didesa sekitar tapi juga dimasyarakat diluar desa tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kuda Lumping/Jaranan adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan yang
terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringi dengan
musik khusus yang sederhana yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat musik
tradisional). Kuda Lumping atau kerap dikenal sebagai “Ebeg” merupakan salah satu kesenian
yang berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya daerah sebelah selatan-barat. Di daerah
tersebut diantaranya Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Kuda Lumping atau
“Ebeg” merupakan sejenis tari-tarian yang menceritakan latihan perang pada waktu itu. Biasanya
pemain “Ebeg” ada 5 – 8 orang yang diiringi dengan gamelan dan seperangkatnya. Salah satu
Paguyuban Kuda Lumping adalah “Gadamas TuranggaJaya” adalah salah satu paguyuban Kuda
Lumping yang berada di desa Klapagada Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Paguyuban ini
memang belum lama terbentuk di desa Kalapagada, meskipun sebenarnya dari jaman nenek
moyang masyarakat sudah mengenal tentang kesenian Kuda Lumping. Tetapi baru terbentuk
paguyubannya tersebut sekitar tahun 2010 tepatnya pada tanggal 7 Februari 2010.
Dalam kegiatan kuda lumping atau ebeg ini memerlukan banyak persiapan dalam hal
perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah
waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan
seperti Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan
terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang harus disediakan seperti bunga-
bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dll. Jumlah penari
biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai pemimpin atau dalang dan
7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan dalam satu group paguyuban biasanya terdiri dari 15
orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg atau kuda lumping dan si penthul-
tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal, jadi biasanya tarian ebeg atau kuda
lumping dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.
Nilai yang terkandung dalam kesenian tradisi kuda lumping adalah nilai estetis, nilai
social, nilai religious, nilai historis dan nilai hiburan. Salah satu cara untuk mempertahakan
kesenian tradisi Kuda Lumping adalah kita sebagai generasi muda harus turut akif dalam
mengembangkan kesenian ini agar para generasi berikutnya dapat menikmati kesenian tradisi
Kuda Lumping ini.
Saran
1. Kesenian kuda lumping sebaiknya terus dikembangkan dan ditampilkan secara lebih
menarik dan penuh makna agar kesenian kuda lumping tidak hanya menjadi hiburan
semata melainkan juga dapat menjadi media untuk meningkatkan rasa cinta tanah air
Indonesia yang kaya akan budaya.
2. Kesenian kuda lumping sebaiknya juga dituliskan dalam sebuah buku agar memudahkan
para pembaca untuk memahami makna-makna yang terdapat pada kesenian kuda
lumping.
3. Dukungan dan kerjasama dengan pihak pemerintah hendaknya harus terus ditingkatkan
untuk memajukan seni budaya kuda lumping agar tidak direbut oleh Negara lain.
Daftar Pustaka
Satelit post (santun aktual tegas komplit ) edisi 22 maret 2014
http://www.miftakh.com / diakses pada tanggal 18 April 2014 pada pukul 19.00 WIB
www.facebook.com/gadamasturanggajaya.html / diakses pada tanggal 20 April 2014 pukul 09.00 WIB
http://www.explore-indo.com / diakses pada tanggal 17 April pada pukul 09.00 WIB
http://lanangudik.blogspot.com/2009/kesenian-jaranan.html / diakses pada tanggal 18 April 2014 pukul
20.00 WIB
Lampiran
KESENIAN TRADISI KUDA LUMPING ATAU EBEG DI PAGUYUBAN
“GADAMAS TURANGGAJAYA CILACAP”
Disusun oleh:
Putri Kurnia (K4211042)
Tugas Terstruktur Ini Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Perkuliahan dan
Kelulusan Mata Kuliah Penelitian Sastra
yang Diampu oleh
Semester VI Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014