49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut. Di India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40 cara untuk mencuri kekayaan negara 1 . Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara yang 1 Robert Klitgaard, “Controlling Corruption”, University of California Press, 1988, halaman 75. Page 1 of 49

MAKALAH KORUPTOR

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur

manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula

terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir

kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan

strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah

awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian

menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu

moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah

menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat

menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.

Di India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal

ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40

cara untuk mencuri kekayaan negara1. Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu

telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara

yang bersih, sebagai insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam, Dante

menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespeare

mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya. Pada abad ke-14 Abdul

Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup bermewah-mewah

dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan berbagai cara

untuk membiayai gaya hidup mereka. Plato dalam bukunya The Laws menyatakan

bahwa“The servants of the nations are to render their services without any taking of

presents…..To form your judgment and then abide by it is no easy task, and “tis a

man”s surest course to give loyal obedience to the law which commands, “Do no

service for a present”.2

1 Robert Klitgaard, “Controlling Corruption”, University of California Press, 1988, halaman 75.

Page 1 of 31

Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut

pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi

kemerdekaan, banyak petinggi  Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong

mereka kemudian  diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda

(ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan  korup. Kultur korupsi

tersebut berlanjut hingga   masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde

Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi.

Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan

panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan

korupsi, baik di Indonesia maupun  di berbagai belahan dunia.

Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting. 

Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari  tingkat nasional,

regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan

ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai

permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik,

ekonomi, social dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap

korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini

menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita

menangkan.

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju

modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi

kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk

yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu

pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi

selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring

dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya

(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi

dan tindak pidana lainnya.

2 Jeremy Pope et al, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, The Economic Development Institute, World Bank, 1997

Page 2 of 31

Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.

Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru

menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri

fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang

menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan

yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat

kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini

meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh

kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan

jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta

eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi

dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu

bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak

secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak

gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri,

korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ

publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan

yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi

hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.

Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang

tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak

Page 3 of 31

pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :

1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi,

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi,

3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi,

4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum

institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak

pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia

serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih.

Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak

pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.

Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan

dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat

melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti

korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi

dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya.

Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan

lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).\

Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk

menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh

kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif Page 4 of 31

politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini.

Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan

kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus

program pembangunan ekonomi di Indonesia.

Oleh karena perubahan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang katanya semakin disempurnakan, maka penulis tertarik untuk mengkaji

atau menganalisa seberapa efektif Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak

Pidana korupsi dalam penerapannya. Dalam makalah ini penulis akan mengaitkan

antara keefektifan Undang-undang dengan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (

Tipikor ) yang sering mengeluarkan putusan “ Bebas ”, serta dampak yang ditimbulkan

akibat putusan bebas tersebut.

1.2 Analisis Permasalahan

1.2.1 Putusan bebas oleh pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) apakah dianggap

sebagai pintu masuknya para koruptor ke “surga” ?

1.2.2 Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat koruptor yang mendapat putusan “ bebas ” ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk menganalisa pengaruh dari putusan bebas bagi para koruptor.

1.3.2 Untuk menganalisa dampak atau pengaruh dari suatu putusan bebas, kaitannya

dengan rakyat atau dengan kata lain menyebabkan “ neraka “ bagi rakyat

indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 5 of 31

2.1 Undang Undang Tipikor Yang Kurang Efektif Seringkali Melahirkan Putusan

Bebas Oleh Pengadilan Tipikor Yang Merupakan Secercah Harapan Menuju “

Surga ” Bagi Para Koruptor

Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National

Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang

harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan

konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir

orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada

korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya

tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi

juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia.3

Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi

merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang

suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek

pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi

kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti

(uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan

peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi

dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus

ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment

(ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi

juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi

merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya.

Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry

Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give

some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an

official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character

to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right

of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang

3 Mubaryanto, artikel, "Pro dan Keadilan", Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,

"Menghadapi Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional",Transparency International, 2000.

Page 6 of 31

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,

pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi

perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu

tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan

tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah

korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi

KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan

nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik

karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi

dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa

tambahan kolusi dan nepotisme.

Sungguh aneh dan tidak mengerti jalannya praktek penegakan hukum di negeri ini.

Setelah berbagai kasus hukum baik kriminal umum maupun korupsi tidak jelas

penyelesaiannya. Kini muncul berbagai pendapat dan komentar tentang jalannya

pengadilan terhadap terduga pelaku korupsi yang peradilannya dilaksanakan oleh

pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Sebagian masyarakat kecewa tehadap vonis

pengadilan tipikor di berbagai daerah yang banyak membebaskan terdakwa kasus

korupsi.

Sesungguhnya vonis hakim di pengadilan itu hanya ada dua, pertama kalau tidak

dihukum tentu saja dibebaskan sehingga sebetulnya vonis hakim terhadap terdakwa

sekalipun berupa pembebasan bukanlah hal yang luar biasa. Vonis pembebasan oleh

hakim terhadap terdakwa kasus korupsi mungkin saja menjadi luar biasa mengingat

masyarakat sedang mempunyai spirit yang tinggi untuk memberantas korupsi sehingga

vonis bebas terhadap terdakwa koruptor dianggap bahwa hakim unresponsive terhadap

keinginan masyarakat dalam membantu memberantas kejahatan korupsi.

Kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum pidana dalam memberantas

korupsi diperkeruh oleh berbagai statement dari aparatur pemerintah yang bukannya

memberi solusi terhadap carut marutnya penegakan hukum akan tetapi mengacaukan

jalannya proses peradilan pidana yang sudah diatur dalam berbagai perundang-

undangan. Misalnya kebijakan moratorium remisi bagi napi korupsi dan terorisme yang

digulirkan oleh kementrian hukum dan hak asasi manusia (walaupun akhirnya diralat

bukan moratorium tetapi pengetatan).Page 7 of 31

Ide moratorium remisi bagi khususnya napi korupsi dari optic kepraktisan memang

terkesan tidak ada masalah, walaupun sesungguhnya secara praktis ide ini menunjukan

kepanikan pemerintah dalam memberantas korupsi. Pemerintah hanya terkesan ingin

memuaskan nafsu balas dendam terhadap pelaku dan  memberi citra baik kepada

masyarakat bahwa pemerintah sungguh –sungguh menjadikan koruptor sebagai musuh.

Sedangkan dari optic legal, ide moratorium kepada napi (apapun kasusnya) adalah ide

yang melanggar berbagai perundang-undangan khususnya undang-undang tentang

pemasyarakatan.

Undang-undang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa pemidanaan seseorang

bukanlah untuk balas dendam atau penjeraan akan tetapi tujuan pemidanaan yang

dijalani oleh terpidana di lembaga pemasyarakatan adalah untuk re sosialisasi atau

untuk menjadikan terpidana menjadi “orang baik” manakala bebas dari lembaga

pemasyarakatan. Salah satu pembinaan untuk warga binaan , demikian seharusnya kalau

menyebut napi- adalah dengan cara memberikan remisi. Remisi dimaksudkan untuk

latihan warga binaan beradaptasi dengan masyarakat sebelum warga binaan benar-benar

bebas dari lembaga pemasyarakatan.

Ide penghapusan remisi untuk terpidana koruptor menimbulkan pertanyaan, apakah

terpidana koruptor ini tidak memerlukan pembinaan, apakah penghukuman atau

pemidananan kepada koruptor tujuannnya adalah untuk penjeraan atau untuk balas

dendam atau sama dengan narapidana lain bahwa pemidanaan itu untuk re sosialisasi?

Pertanyaan mendasar ini memerlukan jawaban yang tegas dan jelas sebab sampai

sekarang tujuan pemidanaan dalam stelsel pidana kita adalah untuk re

sosialisasi/menjadikan terpidana kembali menjadi orang baik. Apakah itu napi

pemerkosa, pembunuh, teroris, atau pencuri. Dan selama ini para napi tersebut

mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dengan segala ragam dan bentuknya

sesuai dengan undang-undang pemasyarakatan.

Selama ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) mengenai putusan ‘ bebas ’ (vrijspraak) dan ‘ lepas dari segala

tuntutan hukum’ (onstlag van allerechtsvervolging) masih diatur didalam KUHAP,

maka putusan bebas dan lepas tersebut akan tetap terjadi di Indonesia, karena memang

fungsi Pengadilan untuk mencari dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan,

terkecuali kedua ketentuan itu ‘dihapus’, lain soal.

Page 8 of 31

Ini berarti, bagi hakim sesuai independensinya menurut Konstitusi, tidak ada

larangan memutus perkara dengan menghukum bersalah, membebaskan atau

melepaskan terdakwa. Alasannya, karena keadilan itu bukan hanya hak masyarakat atau

hak pengamat. Tetapi keadilan juga hak bagi mereka yang diadili dan keluarga mereka.

Karena itu, siapa pun orang yang sedang diadili oleh hakim ada kemungkinan terbukti

bersalah dan dijatuhi hukuman (vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Ada pula kemungkinan

mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa,

sehingga harus ‘dibebaskan’ (vide Pasal 191 ayat 1 KUHAP) atau terdakwa terbukti

melakukan perbuatan, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga dia harus

‘dilepas’ dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Ketiga alternatif

putusan tersebut sama-sama urgensinya didalam penegakan hukum dan keadilan.

Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kualitas dari pada putusan itu? Mestinya

rumusan pertimbangan hakim, harus ‘murni’ berdasarkan fakta hukum yang terungkap

di persidangan dan didukung keyakinan hakim bahwa terdakwalah pelakunya atau tidak

(vide Pasal 183 KUHAP), tanpa ada unsur/pengaruh dari pihak lain termasuk perbuatan

tercela. Jika terdakwa terbukti bersalah, tetapi terungkap hal-hal yang meringankan

perbuatan terdakwa, misal kerugian negara sudah dikembalikan kepada negara,

sekalipun UU menentukan batas ancaman minimum, hakim harus berani menerobos

ancaman minimum tersebut dengan pertimbangan hukum yang rasional. Karena hakim

bukan hanya corong atau mulut undang-undang.

Hakim yang mampu menyusun dan membuat pertimbangan hukum dari rangkaian

keterangan saksi, terdakwa dan alat-alat bukti yang terungkap dipersidangan adalah

merupakan pengalaman dari sosok hakim yang sudah digeluti bertahun-tahun lamanya,

bukan dilakukan oleh hakim yang baru kemarin sore secara adhoc, terkecuali hakim

adhoc tersebut sungguh-sungguh memiliki spesialisasi keilmuan dan pengalaman

mumpuni dibidang teori akademis akan menjadi kombinasi yang sempurna dengan

pengalaman hakim karier dalam merumuskan suatu putusan, sehingga terhindar celah

kekurangan suatu putusan.

Jika dari hasil proses persidangan, putusan hakim berkesimpulan menyatakan

seorang terdakwa harus dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum, kenapa

harus menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah. Jika hakim menghukum

terdakwa yang tidak terbukti bersalah, justeru hakim sudah melakukan kesalahan besar

selaku penegak hukum dan keadilan.

Page 9 of 31

Polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa bisa saja menangkap bahkan

menahan seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Namun tempat

untuk mencari benar-tidaknya tindakan/perbuatan tersangka sesungguhnya hanya di

Pengadilan. Bahkan selama kasus tersebut belum diputus oleh Pengadilan dan belum

mempunyai kekuatan hukum tetap, tersangka atau terdakwa belum dapat dikatakan

telah bersalah. Tetapi harus tetap berpedoman kepada adagium "praduga tak bersalah"

(presumtion of innocent). Asas ini merupakan salah satu hak asasi dari pada

tersangka/terdakwa yang mutlak diperhatikan semua pihak.

Pengadilan tipikor dilahirkan sebagai bayi kembar bersama-sama Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui satu rahim yaitu undang-undang No. 30 Tahun

2002 tentang KPK. Kelahiran keduanya dimaksudkan sebagai upaya luar biasa dibidang

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan perkara-perkara korupsi yang

dicanangkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karna akibatnya

yang massif dan menimbulkan kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Institusi penegakan hukum bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi dianggap

mandul dalam menjalankan fungsinya, sehingga diharapkan kedua lembaga ini mampu

menjadi solusi. Dan memang terbukti dalam beberapa tahun kiprahnya sinergi

Pengadilan Tipikor Jakarta bersama KPK telah mampu memenuhi harapan keadilan

masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Ada banyak pejabat negara menjadi

pesakitan dan dihukum penjara, tidak terbatas pada para pejabat biasa, bahkan besan

Presiden SBY sekalipun menjadi korbannya.

Berkali-kali terjadi perlawanan para koruptor (corruptor fideback) terhadap kedua

institusi ini melalui upaya judicial review UU No.30/2002, yang terakhir melalui

putusan Mahkamah Konstitusi No.012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember

2006 memerintahkan pemisahan antara KPK dengan saudara kembarnya Pengadilan

Tipikor agar tidak berada pada satu undang-undang yang sama. Berdasarkan putusan

MK tersebut pengadilan tipikor harus dibentuk berdasarkan undang-undang tersendiri

sebagai payung hukum agar keberadaan pengadilan tipikor Jakarta menjadi

konstitusional dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam konteks putusan ini sebenarnya

MK sama sekali tidak memerintahkan pembentukan pengadilan tipikor di daerah.

Namun dalam tenggang waktu tiga tahun itu penyusunan UU Pengadilan Tipikor

untuk memperkuat pengadilan tipikor Jakarta berjalan lamban. Baru beberapa bulan Page 10 of 31

sebelum masa tenggang tiga tahun itu berakhir UU Pengadilan Tipikor disahkan

menjadi UU No 46 Tahun 2009 yang juga mengamanatkan pembentukan pengadilan

tipikor di daerah. Padahal putusan MK tidak memerintahkan pembentukan pengadilan

tipikor daerah.

Dalam konteks “sengaja membuat putusan bebas” ini ada metafora menarik yang

pernah dikemukakan seorang petugas sebuah LP di Kalimantan tentang analogi

penegakan hukum pidana dengan proses pembuatan dan penghidangan makanan. Pihak

yang dipercaya berbelanja membeli bahan mentah punya kesempatan untuk memark up

harga belanjaan, sehingga mempunyai keuntungan bagi pribadinya. Demikian juga

pihak yang dipercaya memasak mempunyai kesempatan untuk mengurangi jumlah

makanan yang dimasak dan akan di hidangkan. Kemudian hanya jika pihak yang

menyantap tidak merasa sangat lapar dan masih meninggalkan sisa-sisa makanan

dipiring saja, petugas pencuci piring masih bisa menikmati sisa-sisa makanan. Dari

rangkaian metafora ini sang petugas LP menempatkan dirinya sebagai pencuci piring,

sedangkan yang dimaksud pembelanja adalah penyidik, koki yang memasak &

menghidangkan adalah penuntut umum dan penyantapnya adalah Hakim yang memutus

perkara di pengadilan. Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas (14 Nopember 2011)

tentang Evaluasi Kinerja Penegak Hukum yang menyatakan 92,1% responden percaya

bahwa putusan hukum (pengadilan) di Indonesia dapat dibeli dengan uang telah

menguatkan metafora itu sebagai sebuah realitas.”

Fenomena meningkatnya jumlah vonis bebas terdakwa korupsi di sejumlah daerah

mendapat respon negatif dari banyak pihak. Barangkali faktor ini pula yang memicu

Kementrian Hukum & HAM mencanangkan moratorium (belakangan diganti

terminologinya menjadi pengetatatan persyaratan) remisi, yang memperketat

pembebasan narapidana korupsi. Tidak hanya itu bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi

(MK) secara ekstreem mengusulkan agar seluruh pengadilan tipikor di daerah yang baru

dibentuk itu dibubarkan.

Kecenderungan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membebaskan para

koruptor ini justru menjadi lebih buruk dari kinerja pengadilan umum. Berdasarkan

catatan, pengadilan tipikor daerah setidaknya telah membebaskan 29 terdakwa korupsi.

Rinciannya, Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan tiga terdakwa korupsi yang

membuat heboh antara lain Walikota Bekasi Mochtar Mohammad, Bupati Subang Eep Page 11 of 31

Hidayat, Wakil Walikota Bogor. Kemudian, Pengadilan Tipikor Surabaya

membebaskan sembilan terdakwa, Pengadilan Semarang satu terdakwa. Pengadilan

Tipikor Tanjung Karang membebaskan dua terdakwa; dan terakhir, Pengadilan Tipikor

Samarinda telah membebaskan 14 dari 15 terdakwa korupsi dana operasional DPRD

Kutai Kartanegara pada 2005 senilai Rp2,6 miliar.

Meski secara normatif pengadilan termasuk pengadilan tipikor mempunyai

kompetensi menghukum atau membebaskan terdakwa, namun berdasarkan asbabun

nujulnya pengadilan khusus tipikor ini dilahirkan sebagai bagian dari solusi

meminimalkan merebaknya tindak pidana korupsi di republik ini, karenanya fenomena

ini mengagetkan banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan dimana letak kesalahan

atau kekeliruannya. Apakah salah bunda mengandung ataukah akibat pergaulan bebas ?

Salah satu kekhasan pengadilan-pengadilan khusus termasuk tipikor adalah adanya

hakim ad hoc. Khusus pengadilan tipikor berdasarkan khittahnya kehadiran hakim ad

hoc berfungsi sebagai penyeimbang hakim karier dibawah asumsi bahwa pengadilan

umum sebagai bagian dari penegak hukum pemberantasan korupsi tidak dapat

menjalankan fungsinya secara optimal. Itulah sebabnya dalam susunan majelis perkara

di pengadilan tipikor terdiri dari 3 orang hakim ad hoc dan 2 orang hakim karier meski

ketua majelis hakim tetap dipegang oleh hakim karier.

Pada perkembangannya akibat “pergaulan bebas” tak ada lagi differensiasi antara

keduanya. Antara hakim karier dan hakim ad hoc, tak dapat dibedakan karakter,

pembawaan, kebutuhan bahkan visi missinya pun menjadi sama. Dapat dibayangkan

berapa banyak sarjana hukum dibutuhkan dalam rangka mengisi pengadilan tipikor di

33 provinsi di republik ini. Hakim ad hoc sudah menjadi “lowongan pekerjaan”.

Konsekwensinya pola perekrutan sekedar menjadi formalitas memenuhi kewajiban

undang-undang belaka.

Dengan kondisi yang demikian, pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang dibuat

dan ditempatkan sebagai bagian dari solusi pemberantasan korupsi bersama KPK

menjadi kian jauh dari yang diharapkan, karena sudah juga menjadi mesin cuci bagi

para koruptor. Lalu kemudian haruskah dibubarkan. Pembebasan para terdakwa korupsi

adalah akibat, dan salah satu sebabnya adalah kenakalan hakim. Karenanya meski

usulan pembubaran pengadilan tipikor di daerah mempunyai dasar pikiran yang kuat,

Page 12 of 31

tetapi bukanlah satu-satunya solusi. Solusi secara sistemik tanggung jawabnya berada

ditangan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal dan Komisi Yudisial sebagai

pengawas eksternal para hakim.

Secara sistemik sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di republik kita ini

sudah cukup sempurna. Coba saksikan ada Mahkamah Agung (MA) dan

KomisiYudisial (KY) yang mengawasi prilaku para Hakim dan melakukan perekrutan,

ada Pusat Pelaporan Transaksi & Analisa Keuangan (PPATK) yang mengawasi

mobilitas rekening gendut / keuangan para pejabat publik termasuk hakim, ada KPK

yang menjadi mandor laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), dan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi sebagai muara penghukumannya. Tapi ternyata sistem itu bukan

TUHAN, akhirnya kembali kepada moral manusianya.

Sudah waktunya masyarakat menuntut lembaga-lembaga pengawas pencegah dan

pemberantas korupsi untuk bekerja maksimal, sudah tak terhingga jumlah angaran

negara dihabiskan hanya untuk rapat kerja, seminar, diskusi, monitoring dan

semacamnya tanpa akuntabilitas yang jelas. Kesengajaan tidak bekerja maksimal bagi

pengawas pada hakekatnya korupsi juga, karena sama-sama menghabiskan uang negara

tanpa guna.

Putusan bebas yang dijatuhkan dalam suatu peradilan pidana selalu didasarkan pada

tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan atau jika perbuatan yang

didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tesebut bukan merupakan tindak pidana. Yang

kedua ini disebut “lepas dari segala tuntutan hukum”. Dua ketentuan yang diatur dalam

hukum acara pidana ini (pasal 191) menempatkan begitu signifikannya peranan

dakwaan dan pembuktiannya, itulah sebabnya surat dakwaan jaksa penuntut umum

menjadi dasar penyelenggaraan peradilan pidana.

Dengan mekanisme yang demikian, maka sedikitnya ada tiga zona yang

memungkinkan lahirnya putusan bebas terdakwa korupsi termasuk di pengadilan tindak

pidana korupsi di daerah. Pertama, zona tidak profesionalnya penyusunan dakwaan,

yang dapat disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan pembuatnya dalam hal ini Jaksa

Penuntut Umum. Tidak hanya penuntut umum dapat dibebankan kesalahan, karena surat

dakwaan itu disusun atas dasar berita acara pemeriksaan perkara. Pada banyak perkara

korupsi umumnya berita acara dibuat oleh penyidik kejaksaan, namun dalam hal berita

Page 13 of 31

acara pemeriksaan perkara dibuat oleh penyidik kepolisian, maka sangat mungkin

terjadi permainan penyidik ( bisa polisi) dan penuntut dalam penyusunan dakwaan yang

menyebabkan putusan bebas.

Zona kedua ada pada ranah pembuktian yang tentu saja sejalan dengan pembuatan

surat dakwaan, karenanya pihak-pihak yang bertangung jawabpun sama yaitu penyidik

(bisa polisi) dan jaksa penuntut umum. Bahkan Jaksa penuntut umum dengan

kewenangnnya dapat mempidanakan kasus perdata. Itulah sebabnya undang-undang

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memberikan kewenangan menghentikan

penyidikan atau penuntutan kepada KPK, sehingga tidak semua perkara dapat diajukan

ke pengadilan tipikor. Artinya perkara yang tidak kuat pembuktiannya tidak akan

pernah dibawa ke pengadilan oleh KPK.

Zona ketiga yang memungkinkan lahirnya putusan bebas di pengadilan adalah ranah

kekuasaan memutus. Sebaik apapun surat dakwaan dan sekuat apapun bukti yang

diajukan, jika hakim yang mengadili berpendapat lain maka sepenuhnya otoritas

menjatuhkan putusan bebas ada pada hakim yang tidak dapat di ganggu gugat.

Dalam konteks “sengaja membuat putusan bebas” ini ada metafora menarik yang

pernah dikemukakan seorang petugas sebuah LP di Kalimantan kepada penulis tentang

analogi penegakan hukum pidana dengan proses pembuatan dan penghidangan

makanan. Pihak yang dipercaya berbelanja membeli bahan mentah punya kesempatan

untuk memark up harga belanjaan, sehingga mempunyai keuntungan bagi pribadinya.

Demikian juga pihak yang dipercaya memasak mempunyai kesempatan untuk

mengurangi jumlah makanan yang dimasak dan akan di hidangkan. Kemudian hanya

jika pihak yang menyantap tidak merasa sangat lapar dan masih meninggalkan sisa-sisa

makanan dipiring saja, petugas pencuci piring masih bisa menikmati sisa-sisa makanan.

Dari rangkaian metafora ini sang petugas LP menempatkan dirinya sebagai pencuci

piring, sedangkan yang dimaksud pembelanja adalah penyidik, koki yang memasak &

menghidangkan adalah penuntut umum dan penyantapnya adalah Hakim yang memutus

perkara di pengadilan. Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas (14 Nopember 2011)

tentang Evaluasi Kinerja Penegak Hukum yang menyatakan 92,1% responden percaya

bahwa putusan hukum (pengadilan) di Indonesia dapat dibeli dengan uang telah

menguatkan metafora itu sebagai sebuah realitas.

Page 14 of 31

Jadi, penyebab utama konteks putusan bebas di pengadilan tipikor dareah

sepenuhnya terletak pada sumber daya manusia (SDM) di pengadilan yaitu hakim. Yang

menarik pernyataan Humas Pengadilan Negeri Surabaya memperkuat asumsi ini,

pernyataannya itu antar lain “sulit mengharapkan pengadilan tipikor di daerah bisa

berjalan efektif, karena pengadilan tipikor tidak bisa berdiri sendiri, di Jakarta ada KPK

yang menyusun dakwaan dengan lengkap dan bagus. Jadi, jika berharap pengadilan

tipikor di daerah seperti di Jakarta adalah sulit. Ini artinya para hakim hanya takut

kepada KPK saja, tidak pada yang lainnya.

Pemberantasan korupsi memang tidak bisa langsung cespleng berhasil, memerlukan

proses yang panjang untuk menguranginya. Itu pun harus dilakukan dengan sungguh-

sungguh dan memerlukan dukungan politik yang kuat dari pemerintah dan masyarakat.

Hongkong atau Singapura saja memerlukan waktu paling sedikit 20 tahun untuk berada

pada tahap yang sekarang ini. Kita selalu menginginkan sesuatu itu dengan cara instan

dan itu sudah menggejala dari mulai rakyat sampai pemerintah. Kita tidak terbiasa

menjalani proses secara bertahap dan sistemik. Dan hasilnya dapat diprediksi tidak akan

menghasilkan apapun dari proses instan ini kecuali hiruk pikuk yang tiada berujung.

Di samping ide penghapusan remisi untuk terpidana korupsi dengan maksud untuk

penjeraan (walaupun ini bertentangan dengan ide pemasyarakatan terpidana). Kini

muncul lagi ide instan berupa pembubaran pengadilan TIPIKOR di daerah karena

kecewa terhadap beberapa putusan pengadilan tipikor yang kebetuklan secara berturut-

turut membebaskan terdakwa korupsi sekaligus mengevaluasi ulang keberadaan hakim-

hakim tipikor. Keberadaan pengadilan tipikor di daerah  adalah amanat undang-undang

nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian dari

aspek legal keberadaan pengadilan tipikor sangat kuat. Jadi sungguh aneh apabila tiba-

tiba ada ide pembubaran pengadilan tipikor dengan alasan menghambur-hamburkan

anggaran Negara dan terutama karena merupakan surga bagi pelaku korupsi karena

putusan-putusannya tidak mencerminkan keinginana rakyat.

Kejahatan korupsi tidak saja terjadi di pusat kekuasaan yaitu Jakarta, akan tetapi

wabah ini telah melanda seluruh Indonesia, jadi sungguh berat beban pengadilan tipikor

di Jakarta apabila semua kasus korupsi di adili di Jakarta, yang benar adalah

mengevaluasi seleksi dan keberadaan hakim adhoc tipikor yang telah ada. Mahkamah

agung jangan bekerja hanya sekedar mengejar target tanpa memperhatikan kualitas dan

Page 15 of 31

integritas hakim ad hoc nya akan tetapi harus benar-benar menjaring calon hakim ad

hoc yang benar-benar teruji kualitas moralnya, kualitas bisa dipelajari melalui pelatihan

tetapi integritas  hanya dapat dilihat dari rekam jejak calon.

Seleksi hakim ad hoc tipikor harus dilakukan secara selektif, salah satu caranya

Mahkamah Agung meminta perguruan tinggi untuk mengirimkan ahli-ahli hokum yang

dibutuhkan supaya mengikuti seleksi walaupun juga para dosen dan guru besar ini akan

berfikir ulang untuk menjadi hakim ad hoc tipikor mengingat penghargaan yang

diberikan/diterima dan tanggungjawab profesi yang diembannya sangat tidak seimbang,

kecuali memang ada yang bersedia mengabdikan dirinya untuk membantu penegakan

hokum dalam memberantas kejahatan korupsi.

Membubarkan peradilan tipikor, menghapus remisi untuk napi korupsi tidak akan

menyelesaikan masalah penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi. Ada satu cara

yang belum pernah dilakukan oleh para hakim dan pengadilan tipikor dalam mengadili

kasus korupsi, yaitu menjatuhkan pidana maksimal terhadap pelaku korupsi padahal

hakim mempunyai apa yang disebut “judicial discreation” yang tidak bias diganggu

gugat dan sifat hakim yang otonom, kedua pengawasan oleh lembaga penegakan hukum

terhadap penyelenggara Negara belum efektif sehingga alih-alih korupsi berkurang yang

terjadi adalah korupsi semakin merajalela di segala sector.

Secara kebijakan sudah sepantasnya pemerintah melakukan re-evaluasi dan re-

orientasi dari berbagai perundang-undangan tentang pencegahan, pemberantasan dan

peradilan tindak pidana korupsi. Kebijakan harus dilakukan secara komprehensif bukan

secara parsial seperti sekarang ini. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen

penuh dari semua elemen. Kemudian juga pemerintah harus sabar dan bersungguh-

sungguh dalam memberantas korupsi, tidak terkesan panik seperti yang terjadi sekarang

ini.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani

perkara korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa

dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi. Pengadilan yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor ini

berlokasi di Lantai 1 dan 2 Gedung UPPINDO Jalan Rasuna Said Kav C-19, Kuningan,

Jakarta Selatan.

Page 16 of 31

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk

pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik

Indonesia. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada 19 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme

peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU

(DPR dan pemerintah) untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-

undang baru itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-

satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi. Apabila pada 19 Desember 2009 DPR

belum juga mengesahkan undang-undang baru, maka Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi dinilai tidak lagi memiliki kewenangan. Akibatnya, seluruh penanganan

perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum 4.

Menurut ICW setelah ditetapkannya UU Pengadilan Tipikor, hanya dalam dua tahun

sudah 40 terdakwa korupsi dibebaskan, terdiri atas 14 orang di Pengadilan Tipikor

Samarinda, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor

Surabaya, dan 4 orang di Pengadilan Tipikor Bandung. Vonis mereka dinilai

kontroversial dan menjadi wabah penyakit yang akan menyebar ke seluruh Pengadilan

Tipikor di daerah, apalagi MA menargetkan pembentukan Pengadilan Tipikor di seluruh

33 provinsi.

Melihat kondisi yang menyedihkan seperti itu, banyak  pihak mendesak agar

pengadilan tipikor daerah dibubarkan dan semua kasus korupsi seluruh Indonesia

dibawa ke Jakarta menilai hal itu sulit untuk dilakukan karena banyaknya kasus korupsi

di Indonesia. Langkah yang paling memungkinkan adalah meningkatkan proses

pengawasan peradilan.

4 Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya

Bagian kedua. Sinar Grafika : Jakarta

Page 17 of 31

Wacana pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah yang dilontarkan

oleh beberapa kalangan perlu ditinjau ulang. Peninjauan itu dimaksudkan untuk

mengetahui urgensi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan

dampaknya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pembubaran Pengadilan Tipikor

di daerah minimal perlu dievaluasi dulu. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara bersama

antara Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terkait.

Mafia hukum semacam ini sudah marak dan bukan rahasia umum lagi. Tetapi bukan

berarti semua hakim Pengadilan Tipikor bersih dalam penanganan suatu perkara pidana

korupsi. Karena itu, setiap hakim yang nakal, apakah itu di pengadilan umum maupun

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus ditindak tegas. Tempatkan hakim-hakim yang

memang memiliki integritas dalam penanganan suatu kasus.

Mahkamah Agung sebaiknya melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap para

hakim Pengadilan Tipikor daerah. Penyelidikan ini untuk mengetahui apakah benar para

hakim Pengadilan Tipikor terlibat kasus suap dalam penanganan perkara tindak pidana

korupsi di daerah.

Mahkamah Agung (MA) harus bertanggung jawab atas perilaku hakim pengadilan

tipikor di daerah yang telah memvonis bebas dan ringan terhadap koruptor. Kontroversi

vonis bebas dan ringan di pengadilan tipikor daerah bermula dari mekanisme rekrutmen

hakim-hakim yang tidak kredibel dan mekanismenya yang tidak akuntabel. MA yang

memegang peranan kunci dalam proses perekrutan itu harus bertanggung jawab. Ini

yang membuat kredibilitas hakim di bawah standar.

Rekam jejak para hakim Tipikor harus ditelusuri kembali dan hakim yang dinilai

memiliki persoalan integritas dan kualitas sebaiknya diganti dengan orang-orang yang

kredibel. Sebelum membekukan dan atau menata ulang pengadilan tipikor ini, MA

pertama-tama harus bersikap dan melakukan evaluasi internal terhadap jajarannya.

Page 18 of 31

Komisi Yudisial (KY) dituntut untuk membentuk tim kajian khusus untuk

mengevaluasi praktik peradilan tipikor di daerah dan memeriksa para hakim yang

dianggap melakukan pelanggaran etik. DPR pun harus memanggil MA dan KY untuk

melakukan evaluasi dan identifikasi intervensi legislatif yang dibenarkan UU.

Langkah terdekat yang dapat dilakukan selain evaluasi adalah memperbaiki langkah

manajemen yang ada di pengadilan Tipikor. Langkah manajemennya perlu dievaluasi

dulu. Jika dari evaluasi perlu dikurangi atau dilikuidasi itu sudah ada pendekatan yang

evaluatif. Jika terbukti ada pelanggaran yang dilakukan oleh hakim, maka langkah tegas

yang diterapkan adalah dengan memecatnya. Harus dipelajari mengapa hakim

memutuskan bebas, apakah melanggar fakta hukum atau ada unsur mafia peradilan. Hal

itu harus diproses. Jika nanti memang terbukti hakim melakukan pelanggaran, maka

harus dipecat dengan tidak hormat dan dipenjarakan dengan hukuman yang lebih berat.

Kasus korupsi memang menjadi persoalan yang telah menggurita. Untuk

memberantasnya dibutuhkan kepedulian semua pihak, baik pemerintah, penegak

hukum, pers maupun masyarakat.

VONIS bebas bagi terdakwa koruptor di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)

di beberapa daerah sangat mengecewakan publik. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan

pengadilan tipikor malah menjadi surga bagi koruptor pada tingkat lokal. Pada hari

senin tanggal 10 Oktober 2011, Pengadilan Tipikor Kota Semarang menjatuhkan vonis

bebas kepada Oei Sindhu Stefanus, Dirut PT Karunia Prima Sedjati, terdakwa kasus

korupsi sistem informasi administrasi kependudukan on line tahun anggaran 2006-2007

Pemkab Cilacap.

Sehari kemudian, Pengadilan Tipikor Bandung mengeluarkan putusan yang lebih

menyakitkan, membebaskan terdakwa kasus korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif

Page 19 of 31

Mochtar Muhammad. Padahal jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun

penjara dan denda Rp 300 juta. Terkait dengan putusan di Bekasi, KPK mengajukan

permohonan kasasi. Jaksa KPK Ketut Sumedana berharap hakim yang memeriksa

memori kasasi mereka merupakan sosok kredibel.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kurang dari dua tahun, sejak

lahirnya UU PengadilanTipikor tahun 2008, sudah 26 terdakwa kasus korupsi divonis

bebas pengadilan tipikor. Ke-26 terdakwa korupsi yang menikmati vonis bebas itu

terdiri atas 1 orang yang kasusnya diputuskan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di

Semarang, 21 orang di Surabaya, dan 3 lainnya di Pengadilan Tipikor Bandung.

Kecenderungan ‘’banyaknya’’ vonis bebas untuk terdakwa korupsi oleh pengadilan

tipikor di daerah lebih dipicu oleh hakim yang integritasnya lemah, termasuk dari sisi

ideologi. Kasus vonis bebas untuk Mochtar Muhammad merupakan sejarah karena

untuk kali pertama KPK dikalahkan oleh putusan janggal. Sebelumnya, semua kasus

korupsi yang ditangani jaksa KPK ke pengadilan tipikor, divonis bersalah.

Vonis bebas di pengadilan tipikor harus segera diakhiri, dengan menjadikan

pengadilan antikorupsi itu menjadi tanggung jawab bersama untuk selalu diawasi.

Jangan sampai pilot project pembentukan pengadilan tipikor di 5 daerah gagal sehingga

menambah pesismisme. Beberapa lembaga perlu diikutsertakan memperbaiki kinerja

pengadilan tipikor.

Meski belum tentu semua hakim Pengadilan Tipikor di daerah menerima suap untuk

membebaskan para tersangka dari jeratan hukum, tetapi karena dasar hukum yang

diajukan penyidik kepolisian maupun kejaksaan kabur dan tidak bisa dijadikan sebagai

dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan hukuman kepada seorang terpidana tindak

Page 20 of 31

pidana korupsi. Sekarang ini, para koruptor sudah sangat cerdas. Mereka cenderung

bermain mata dengan penyidik dalam suatu proses perkara. Penyidik menggunakan

pasar-pasal hukum yang lemah, yang tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh para hakim

untuk memvonis pelaku.

Ada prinsip hukum yang mengatakan: "lebih baik membebaskan seribu orang yang

bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak terbukti bersalah". Membuktikan

bahwa fungsi pengadilan adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum lewat

putusannya. Justru lewat penemuan fakta itulah hakim telah bersifat progressif

menciptakan suatu hukum lewat putusannya yang wajib dihormati dan dilaksanakan

oleh semua pihak, bukan untuk dicibiri, dicaci-maki seolah putusan bebas atau lepas itu

diharamkan oleh Undang-undang.

Kita harus bangga atas penemuan fakta hukum yang membebaskan atau melepaskan

terdakwa demi tegaknya hukum dan keadilan, sekalipun hakim yang bersangkutan harus

diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk

membuktikan ada tidaknya pelanggaran hukum atau kode etik selama proses sidang

berlangsung.

Jika hakim telah sungguh-sungguh memberikan putusan itu berdasarkan kejujuran

hati tanpa pengaruh dari pihak manapun, hakim tak perlu ragu dan harus berani

menyatakan terdakwa bersalah atau bebas/lepas dari segala tuntutan hukum. Masalah

hakim diperiksa atau dipanggil atasan (Mahkamah Aagung atau Komisi Yudisial)

terkait putusan tersebut, itu sudah merupakan resiko jabatan. Karena ada prinsip:

"berani berbuat, berani bertanggung jawab". Jangan biarkan lembaga khusus Pengadilan

Tipikor dijadikan sebagai lembaga penghukum (algojo). Jika hal itu dibiarkan akan

merusak sendi-sendi sistim hukum Nasional di Indonesia. Jika fungsi Pengadilan

Tipikor terpaksa bergeser kepada lembaga penghukum, ini yang dinamakan "Peradilan

Sesat". Karena telah mengganti Pengadilan itu menjadi "Algojo Koruptor".

Page 21 of 31

2.2 Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Putusan Bebas Bagi Para Koruptor Oleh

Pengadilan Tipikor

Semenjak bangsa ini mengalami suatu peristiwa dramatis yaitu reformasi dengan

ditandai gulingnya orde baru yang sudah dianggap usang dan telah menjadikan bangsa

ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sejak saat itupula banyak sekali bermunculan

organisasi –organisasi yang mengangkat tema tentang korupsi, dalam jurnal wacana

disana disebutkan ada beberapa organ lahir yang menganggkat tema korupsi, seperti,

Indonesian Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Government

Watch, Parliament Watch, Judiciary Watch, Police Watch, Military Watch dan lain

sebagainya5. Kita berharap kehadiran organ – organ tersebut tidak hanya sebatas

mengikuti trend dan musiman atau ingin dianggap oleh publik sebagai komunitas yang

bersih akan tetapi mereka dapat melakukan sesuatu yang memang dapat memberikan

manfaat untuk bangsa Indonesia . ekspansifnya gerakan anti korupsi kian hari kian

melebar, satu sisi kita bahagia karena masih ada sekelompok yang beritikad baik untuk

coba mengembalikan bangsa ini kepada zaman dimana masyarakat masih bias percaya

bahwa bangsa ini kelak akan menemui setitik air penyejuk dengan hadirnya para anak

bangsa yang peduli akan masa depan bangsa ini dan hidup sejahtera. Namun satu sisi

juga muncul kehawatiran eksistensi lembaga anti korupsi hanya dagangan para

intelektual yang melihat peluang secara finansial disegmen ini cukup menjajikan,

karena memang lembaga anti korupsi dengan faoundingnya akan dapat kucuran dana

yang cukup, mudah – mudahan ini tidak terjadi.

Dalam membahas dampak putusan bebas kepada tersangka koruptor, alangkah

baiknya terlebih dahulu mengamati potensi yang dimiliki bangsa Indonesia yakni

setidaknya dapat kita jumpai sebuah keadaan yang tidak logic, potensi bangsa yang

begitu melimpah dan ruah ini bagai sebuah daerah yang kering dan lading yang tandus.

Kekayaan yang meliputi tanah dan air begitu melimpah akan tetapi tingkat

kesejahteraan masyarakatnya masih di bawah standar, lalu muncul pertanyaan, apakah

rakyat Indonesia tidak cukup pintar untuk mengelola sumber daya yang ada?, asumsi

tersebut tidak mutlak benar walaupun mungkin ada benarnya juga, akan tetapi coba kita

5 Membaca Akhiar Salmi, Paper 2006, "Memahami UU tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi", MPKP FE, UI.

Page 22 of 31

tengok fakta dilapangan ternyata penyebab yang paling utama adalah pengelola negeri

ini lebih banyak orang yang korup ketimbang orang yang secara betul – betul bekerja

untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Lalu apa hubungannya antara korupsi dengan

kemisikinan, bukankah orang misikin tidak bisa melakukan korupsi karena memang

tidak memiliki jabatan yang dia pakai untuk tameng korupsi? Persoalannya bukan pada

keterlibatan kaum misikin dengan para koruptor akan tetapi lebih kepada dampak yang

akan diterima oleh kaum miskin akibat tingkah para koruptor tersebut. Menurut

Mukhammad Ikhsan data yang ia dapatkan dari Rose – Ackerman tahun 1998 secara

khusus menyebutkan ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin

akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (baca:kaum miskin) cenderung

menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih sumringah dan cekatan

ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi

sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui

ditengah – tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung

mengabaikan proyek – proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi

biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim

manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang

kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga,

orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak

memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi

oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil

pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak

legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi

pemerintah maka dia menyediakan “fulus” ,hal ini dilakukan agar proses dokumentasi

tidak menjadi berbelit – belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa

dipermudah”, sebagai contoh dalam studi LPEM tahun 1994 disana ditemukan bahwa

walaupun pemerintah sudah menghapus semua biaya untuk memperoleh izin

penanaman modal, para investor masih tetap harus membayar “upeti kepada orang

tertentu, ini artinya budaya demikian sudah kian mengakar, inilah yang kemudian

sebagian orang saking putus asanya mengatakan bahwa korupsi di negeri ini sudah jadi

Page 23 of 31

budaya jadi sulit untuk diberantas. Dampak korupsi terhadap kemiskinan sangatlah

kentara sekali, beberapa waktu lalu pemerintah menurunkan program kompensasi BBM

dengan pemberian tunjangan tunai langsung, kita tidak akan membicarakan jumlah dan

teknisnya akan tetapi coba kita lihat berapa jumlah rakyat miskin ketika itu..? sangat

banyak sekali bahkan cenderung malah bertambah, cukupkah dana pemerintah untuk

memberikan uang tunai tersebut dengan jumlah kaum miskin.? Tidak saudara, terlepas

dari banyak yang mengaku bahwa dirinya orang miskin atau bukan, tapi yang harus kita

lihat disini adalah berpuluh – puluh tahun mereka bekerja sebagai petani, pedagang

biasa akan tetapi kesejahteraan mereka stagnan, lau muncul pertanyaan bukankah itu

masalah individu bukan masalah social, suatu persoalan dikatakan masalah individu

manakala ini hanya menimpa perindividu, tapi kondisi ini menimpa berjuta – juta

rakyat, apakah ini kesalahan mereka..? jelas, ini bukan semata – mata kesalahan mereka,

kondisi ini mungkin akan mereka terima dengan ridho manakala semua berjalan dengan

alamiah, akan tetapi yang membuat mereka tidak ridho adalah ketika mereka dengan

keringat dan peluh bekerja siang dan malam demi menuai kesejahteraan supaya

hidupnya lebih layak. Tapi yang terjadi adalah hati mereka perih, jiwa mereka berontak,

nafas mereka terengap –engap lalu mereka marah ketika melihat para pejabat dan para

birokrat mendadak menjadi kaya raya tanpa perlu melakukan seperti yang mereka

lakukan.

Namun karena ketidakmampuan kaum miskin untuk menjangkau keganjilan tersebut,

mereka akhirnya pasrah dan tetap bekerja, salahkah mereka ketika mereka berdiam diri

melihat ketidakadilan tersebut? dalam batin mereka sesungguhnya ingin sekali

melakukan protes keras terhadap orang – orang yang memakan harta titipan mereka,

seandainya bulan bisa ngomongpun mungkin dia akan meredupkan sinarnya sebagai

tanda bukti keikutsertaan kesedihan yang dialami kaum miskin. Rasanya yang enak,

renyah dan nyaman itulah mungkin gambaran korupsi sehingga orang akan senang

korupsi, tapi akan lain ceritanya manakala korupsi itu dibuat tidak enak dan pahit

rasanya, pasti banyak orang berfikir ulang ketika akan melakukan korupsi. Inilah

seharusnya yang kita lakukan bagaimana membuat korupsi itu tidak enak dan getir

Page 24 of 31

rasanya, bagaimana caranya? secara teoritis sebetulnya sudah sering menjadi bahan

kajian dan diskusi para aktivis, akademisi termasuk para birokrat sendiri, akan tetapi

masalahnya adalah kembali lagi kapada kesungguhan para pelaku kebijakan publik

terutama para pejabat dan wakil rakyat untuk senantiasa setia dengan amanat dan

sumpah yang tekah mereka ucapkan, bahwa mereka akan senantiasa untuk tetap berdiri

paling depan dengan barisan anti korupsi untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi

di negeri sampai hayat masih dikandung badan.

Prof Dr Komaruddin Hidayat menyesalkan berbagai modus operandi untuk

melegitimasi tindakan korup dengan membungkusnya lewat kemasan agama. Yang

paling disesalkan adalah adanya upaya pemutihan atau penyucian dosa dengan perilaku

keagamaan. Dengan pergi haji atau ziarah di makam Yesus di Yerusalem, dengan

mendirikan tempat ibadah atau menyantuni anak yatim lewat uang korupsi, seolah

tindakan korup bakal mendapat ampunan Tuhan. Kalau fenomena pemutihan ini benar,

berarti semakin menunjukkan betapa kebobrokan moral di negeri ini sungguh kian akut.

Memang ini bukan hanya kesalahan organisasi keagamaan atau umat beragama saja.

Ini juga akibat belum tegaknya hukum dan keadilan sesuai harapan. Ironisnya, aparat

penegak hukum (mulai dari polisi, jaksa atau hakim) yang seharusnya menegakkan

hukum, kebenaran dan keadilan justru ikut berperan dalam membusukkan bangsa lewat

korupsi (korupsi memang berasal dari bahasa Latin corrumpere yang arti awalnya

adalah membusukkan).

Simak saja dalam upaya pemberantasan korupsi, kontribusi dari institusi hukum kita

bisa dikatakan minim. Berdasarkan ekonom UGM Dr Rimawan Pradiptyo, MSc,

sebanyak Rp 73,07 triliun dana telah dikorup oleh 540 koruptor pada 2008. Kendati

demikian, tuntutan jaksa tentang uang yang harus dikembalikan koruptor hanya Rp

32,41 triliun. Umumnya terpidana melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA).

Kemudian oleh MA, hanya Rp5,32 triliun saja dana yang harus dikembalikan ke

negara. Bayangkan hanya 7,29% dana yang kembalikan ke negara Kalau melihat

Page 25 of 31

besarnya uang yang dikorup dan tidak kembali, kita bisa diliputi apatisme. Apalagi ini

terjadi di negeri yang bersila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis

(almarhum), betapa munafiknya bangsa ini dan Kemunafikan mengisi rongga kepala,

hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan

setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi.Dalam hati kita

mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan

(Pembebasan Budaya- Budaya Kita,1999).

Maka seorang ustad di acara kuliah subuh di sebuah stasiun televisi menyebut para

koruptor sebagai binatang buas. Betapa tidak buas, kalau harta yang mereka korup

hanya dihabiskan demi memuaskan ego mereka sendiri. Tidak berlebihan bila para

koruptor kita persalahkan karena hanya pandai menciptakan surga lewat uang

korupsinya seraya menciptakan neraka bagi banyak orang lain.

Dampak korupsi memang menciptakan neraka bagi sesama. Ini amat jahat.

Bayangkan, dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi,

kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk

mendapatkan asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak

bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.

Jalan-jalan tambah rusak karena anggaran pembangunannya sudah disunat dan

dibelikan material yang murah sehingga jalan menjadi cepat rusak, berlubang, dan

rawan kecelakaan.Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor yang

menciptakan neraka bagi orang lain. Yang patut diwaspadai, menurut almarhum Selo

Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard

(1998), Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan

masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup

manusia.

Yang namanya penyakit tentu saja menular.Yang menyedihkan jika sosok yang

sebelumnya kita kenal suci dan memiliki integritas ternyata jatuh dalam korupsi.Sudah Page 26 of 31

banyak contoh dalam hal ini. Seorang pejuang HAM muda atau aktivis proburuh yang

begitu idealis, ketika masuk struktur kekuasaan yang basah, langsung bermetamorfosis.

Kalau sekadar jadi bunglon,mungkin tak masalah.

Namun, jika menjadi drakula atau binatang buas yang rakus mengembat uang rakyat,

ini yang nama-nya tragedi. Meski menggugat peran agama dalam pemberantasan

korupsi, tulisan ini tidak berpretensi untuk menggeser peran hukum positif. Agama

berperan di hulu, sedangkan hukum di hilir. Jelasnya agama lebih berperan sebagai

early warning sistem agar orang jangan korupsi. Adapun hukum seharusnya ditegakkan

untuk menghukum para koruptor. Bukan malah hukum dimanipulasi untuk

menyelamatkan para koruptor.

Hukum hanya mau berani menghukum wong cilik yang mencuri semangka atau buah

kakao, sedangkan hukum tak mampu menghukum para mafia hukum, mafia pajak,

mafia hutan, dan sebagainya. Harus ada tekanan publik atau suara rakyat agar reformasi

hukum segera beranjak dari wacana menuju ke kenyataan, menurut Dunia dalam Berita,

sekaligus agar praksis beragama bisa beranjak menuju ke perubahan mentalitas.

Bangsa Indonesia harus bisa segera melakukan rekonstruksi peradaban untuk

beradaptasi dengan perkembangan zaman dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain

yang lebih maju. Hal ini sangat diperlukan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah

berada dalam kondisi krisis yang amat gawat akibat kian suburnya praktik korupsi.

Kemarin umat kristiani merayakan Kenaikan Yesus ke surga.

Sayang surga itu tidak akan terjadi di negeri kita jika struktur tak adil yang menindas

atau mentalitas cari untung sendiri lewat korupsi terus dijadikan gaya hidup atau

mentalitas. Mentalitas culas seperti ini hanya akan mengagungkan keyakinan Keuangan

Yang Mahakuasa (meminjam istilah Kardinal Mgr Julius Darmaaatmadja), sementara

iman sejati pada Ke-Tuhanan Yang Maha Esa terpinggirkan atau sekadar dijadikan

topeng penutup kemunafikan.

Namun belum terlambat untuk memulai sebuah kehidupan yang bersih dan jujur

tanpa korupsi. Bersih dan jujur adalah ciri utama kehidupan surgawi. Adapun korupsi

sekali lagi hanya menciptakan neraka bagi sesama. Mari kita lawan korupsi sehingga

Page 27 of 31

surga bisa kita upayakan di dunia ini mulai saat ini meskipun surga final masih harus

kita nantikan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam dua puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma tentang korupsi di banyak bangsa di dunia.  Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir bangsa-bangsa didunia mulai mengeluarkan sejumlah aksi bersama dan terintegrasi dalam melawan korupsi. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan mengingat korupsi merupakan permasalahan antar negara dan hanya dengan kerjasama antar negara pula korupsi bisa diberantas. Walaupun demikian, tidak secara otomatis korupsi mampu ditekan, mengingat paradigma yang benar adalah satu bagian kecil saja dari rantai panjang pemberantasan korupsi yang terdiri dari penentuan strategi yang tepat, serta eksekusi yang benar oleh pihak-pihak yang tepat.

Bagi Indonesia, korupsi tidak saja merupakan problem ekonomi dan politik, tetapi

juga merupakan problem budaya. Selama puluhan tahun, berbagai lembaga

internasional telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup. Terlepas dari

fakta yang memberikan justifikasi atas fenomena itu, hal ini tentunya telah mengusik

kebanggaan kita sebagai bangsa. Hal ini seharusnya menggugah semangat kita untuk

memerangi korupsi secara lebih serius.

Undang – Undang tindak pidana korupsi, yakni tepatnya Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya sudah cukup baik jika ditinjau dari

substansinya. Dalam Pembuatan undang – undang Tindak pidana Korupsi, DPR dan

Presiden sebelumnya sudah mengolah atau sudah memasak terlebih dahulu undang –

undang tersebut melalui Rancangan Undang – Undang yang pada akhirnya untuk

disahkan, dengan tujuan sosial yakni untuk mensejahterahkan seluruh warga Indonesia

dengan tidak terkecuali dengan cara mengantisipasi tindakan tindakan korupsi atau

tindakan yang merugikan keuangan negara maupun merugikan atau mengurangi hak –

hak warga negara indonesia khususnya terkait dengan perihal perekonomian.

Page 28 of 31

Undang-undang tipikor dibuat bertujuan untuk mengatur ketertiban dalam hal proses

penyelenggaraan negara secara efektif dengan cara lebih menyempurnakan kekurangan-

kekurangan yang ada dalam undang-undang tersebut sehingga setidaknya sudah tiga

kali mengalami perubahan. Namun dalam penerapannnya, seringkali ditemukan putusan

Bebas yang dikeluarkan oleh pengadilan Tipikor yang secara tidak langsung hal tersebut

dapat menimbulkan motivasi bagi para koruptor untuk mau melakukan tindakan

korupsi. Undang - undang korupsi yang tidak secara efektif dapat menjerat dan

menghukum tersangka koruptor, dapat di ibaratkan seperti “seinga ompong” yang

maksudnya bahwa undang-undang tersebut masih memiliki celah - celah hukum yang

dapat dimanfaatkan oleh para koruptor untuk lepas dari tuntutan atau jeratan hukum.

Bukan hanya itu, selain terdapatnya celah - calah hukum pada undang - undang tindak

pidana korupsi, hal itu diperparah lagi dengan masih adanya mafia peradilan yang

secara sembunyi - sembunyi masih memiliki kekuasaan atau kekuatan untuk mengatur

peradilan yang ditanganinya. Jika ditinjau dari logika, jika seorang koruptor itu

mengkorupsi uang negara sebanyak 100 Milyar rupiah, dan menyewa jasa penasehat

hukum dengan bayaran 2 Milyar rupiah, maka darimanakah seorang koruptor tersebut

mendapatkan sumber dana untuk membayar penasehat hukum tersebut ?, menurut

penulis, jelaslah atau sangat besar kemungkinannya bahwa uang yang dipergunakan

untuk membayar jasa penasehat hukum tiu diambilkan dari dana atau uang hasil dari

korupsi yang dilakukannya.

Dari pembahasan dan analisa penulis, sudah jelaslah kiranya bahwa korupsi itu

sangat merugikan semua orang, tidak terkecuali merugikan sang koruptor itu sendiri.

Bahwa kiranya penulis berharap kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di seluruh

Indonesia khususnya yakni dengan tidak dengan mudahnya memberikan putusan bebas

kepada tersangka koruptor, meski jaksa kurang tepat dalam menerapkan hukum.

Janganlah kiranya memutus bebas hanya dikarenakan ada unsur – unsur pasal yang

tidak terpenuhi. Penulis mengajak kepada diri pribadi maupun kepada pembaca untuk

bersama – sama meningkatkan kesadaran diri dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara demi tujuan kemajuan dan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.

3.2 Saran

Page 29 of 31

Dalam penulisan makalah ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin, baik

dalam hal dasar penulisan maupun dalam hal penyusunannya.

Jika terdapat kesalahan data ataupun penulisan, penulis mohon ma’af yang sebesar-

besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta

Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya Bagian

kedua. Sinar Grafika : JakartaPage 30 of 31

Membaca Akhiar Salmi, Paper 2006, "Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi", MPKP FE, UI.

Mubaryanto, artikel, "Pro dan Keadilan", Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,

"Menghadapi Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional",Transparency International, 2000.

 Artikel Harian Pikiran Rakyat, Rubrik Opini, hari Rabu, 23 November 2011, halaman 26

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31

tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Page 31 of 31