Upload
asrul-fanani
View
1.385
Download
22
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur
manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula
terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir
kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan
strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah
awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian
menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat itu
moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah
menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat
menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.
Di India korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal
ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40
cara untuk mencuri kekayaan negara1. Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu
telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat negara
yang bersih, sebagai insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam, Dante
menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespeare
mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya. Pada abad ke-14 Abdul
Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup bermewah-mewah
dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan berbagai cara
untuk membiayai gaya hidup mereka. Plato dalam bukunya The Laws menyatakan
bahwa“The servants of the nations are to render their services without any taking of
presents…..To form your judgment and then abide by it is no easy task, and “tis a
man”s surest course to give loyal obedience to the law which commands, “Do no
service for a present”.2
1 Robert Klitgaard, “Controlling Corruption”, University of California Press, 1988, halaman 75.
Page 1 of 31
Di Indonesia, korupsi mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut
pada awal abad 20 akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi
kemerdekaan, banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong
mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda
(ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan korup. Kultur korupsi
tersebut berlanjut hingga masa pemerintah Orde Lama. Di awal pemerintahan Orde
Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi.
Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang karena isu korupsi. Perjalanan
panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan pesimis akan prospek pemberantasan
korupsi, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia.
Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.
Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari tingkat nasional,
regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan
ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai
permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik,
ekonomi, social dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap
korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya kerjasama antar bangsa dalam isu ini
menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita
menangkan.
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk
yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi
selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring
dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya
(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lainnya.
2 Jeremy Pope et al, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, The Economic Development Institute, World Bank, 1997
Page 2 of 31
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan
yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat
kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi
dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu
bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak
secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak
gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri,
korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ
publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi
hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang
tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak
Page 3 of 31
pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum
institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia
serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih.
Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak
pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan
dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat
melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti
korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi
dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya.
Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan
lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).\
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk
menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh
kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif Page 4 of 31
politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini.
Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan
kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus
program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Oleh karena perubahan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang katanya semakin disempurnakan, maka penulis tertarik untuk mengkaji
atau menganalisa seberapa efektif Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi dalam penerapannya. Dalam makalah ini penulis akan mengaitkan
antara keefektifan Undang-undang dengan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (
Tipikor ) yang sering mengeluarkan putusan “ Bebas ”, serta dampak yang ditimbulkan
akibat putusan bebas tersebut.
1.2 Analisis Permasalahan
1.2.1 Putusan bebas oleh pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) apakah dianggap
sebagai pintu masuknya para koruptor ke “surga” ?
1.2.2 Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat koruptor yang mendapat putusan “ bebas ” ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk menganalisa pengaruh dari putusan bebas bagi para koruptor.
1.3.2 Untuk menganalisa dampak atau pengaruh dari suatu putusan bebas, kaitannya
dengan rakyat atau dengan kata lain menyebabkan “ neraka “ bagi rakyat
indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Page 5 of 31
2.1 Undang Undang Tipikor Yang Kurang Efektif Seringkali Melahirkan Putusan
Bebas Oleh Pengadilan Tipikor Yang Merupakan Secercah Harapan Menuju “
Surga ” Bagi Para Koruptor
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National
Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang
harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan
konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir
orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada
korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya
tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi
juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia.3
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi
merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang
suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek
pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi
kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti
(uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan
peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus
ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment
(ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi
juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi
merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.
Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry
Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give
some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an
official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character
to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right
of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
3 Mubaryanto, artikel, "Pro dan Keadilan", Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,
"Menghadapi Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional",Transparency International, 2000.
Page 6 of 31
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi
perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu
tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan
tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah
korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi
KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan
nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik
karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi
dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa
tambahan kolusi dan nepotisme.
Sungguh aneh dan tidak mengerti jalannya praktek penegakan hukum di negeri ini.
Setelah berbagai kasus hukum baik kriminal umum maupun korupsi tidak jelas
penyelesaiannya. Kini muncul berbagai pendapat dan komentar tentang jalannya
pengadilan terhadap terduga pelaku korupsi yang peradilannya dilaksanakan oleh
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Sebagian masyarakat kecewa tehadap vonis
pengadilan tipikor di berbagai daerah yang banyak membebaskan terdakwa kasus
korupsi.
Sesungguhnya vonis hakim di pengadilan itu hanya ada dua, pertama kalau tidak
dihukum tentu saja dibebaskan sehingga sebetulnya vonis hakim terhadap terdakwa
sekalipun berupa pembebasan bukanlah hal yang luar biasa. Vonis pembebasan oleh
hakim terhadap terdakwa kasus korupsi mungkin saja menjadi luar biasa mengingat
masyarakat sedang mempunyai spirit yang tinggi untuk memberantas korupsi sehingga
vonis bebas terhadap terdakwa koruptor dianggap bahwa hakim unresponsive terhadap
keinginan masyarakat dalam membantu memberantas kejahatan korupsi.
Kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum pidana dalam memberantas
korupsi diperkeruh oleh berbagai statement dari aparatur pemerintah yang bukannya
memberi solusi terhadap carut marutnya penegakan hukum akan tetapi mengacaukan
jalannya proses peradilan pidana yang sudah diatur dalam berbagai perundang-
undangan. Misalnya kebijakan moratorium remisi bagi napi korupsi dan terorisme yang
digulirkan oleh kementrian hukum dan hak asasi manusia (walaupun akhirnya diralat
bukan moratorium tetapi pengetatan).Page 7 of 31
Ide moratorium remisi bagi khususnya napi korupsi dari optic kepraktisan memang
terkesan tidak ada masalah, walaupun sesungguhnya secara praktis ide ini menunjukan
kepanikan pemerintah dalam memberantas korupsi. Pemerintah hanya terkesan ingin
memuaskan nafsu balas dendam terhadap pelaku dan memberi citra baik kepada
masyarakat bahwa pemerintah sungguh –sungguh menjadikan koruptor sebagai musuh.
Sedangkan dari optic legal, ide moratorium kepada napi (apapun kasusnya) adalah ide
yang melanggar berbagai perundang-undangan khususnya undang-undang tentang
pemasyarakatan.
Undang-undang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa pemidanaan seseorang
bukanlah untuk balas dendam atau penjeraan akan tetapi tujuan pemidanaan yang
dijalani oleh terpidana di lembaga pemasyarakatan adalah untuk re sosialisasi atau
untuk menjadikan terpidana menjadi “orang baik” manakala bebas dari lembaga
pemasyarakatan. Salah satu pembinaan untuk warga binaan , demikian seharusnya kalau
menyebut napi- adalah dengan cara memberikan remisi. Remisi dimaksudkan untuk
latihan warga binaan beradaptasi dengan masyarakat sebelum warga binaan benar-benar
bebas dari lembaga pemasyarakatan.
Ide penghapusan remisi untuk terpidana koruptor menimbulkan pertanyaan, apakah
terpidana koruptor ini tidak memerlukan pembinaan, apakah penghukuman atau
pemidananan kepada koruptor tujuannnya adalah untuk penjeraan atau untuk balas
dendam atau sama dengan narapidana lain bahwa pemidanaan itu untuk re sosialisasi?
Pertanyaan mendasar ini memerlukan jawaban yang tegas dan jelas sebab sampai
sekarang tujuan pemidanaan dalam stelsel pidana kita adalah untuk re
sosialisasi/menjadikan terpidana kembali menjadi orang baik. Apakah itu napi
pemerkosa, pembunuh, teroris, atau pencuri. Dan selama ini para napi tersebut
mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dengan segala ragam dan bentuknya
sesuai dengan undang-undang pemasyarakatan.
Selama ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) mengenai putusan ‘ bebas ’ (vrijspraak) dan ‘ lepas dari segala
tuntutan hukum’ (onstlag van allerechtsvervolging) masih diatur didalam KUHAP,
maka putusan bebas dan lepas tersebut akan tetap terjadi di Indonesia, karena memang
fungsi Pengadilan untuk mencari dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan,
terkecuali kedua ketentuan itu ‘dihapus’, lain soal.
Page 8 of 31
Ini berarti, bagi hakim sesuai independensinya menurut Konstitusi, tidak ada
larangan memutus perkara dengan menghukum bersalah, membebaskan atau
melepaskan terdakwa. Alasannya, karena keadilan itu bukan hanya hak masyarakat atau
hak pengamat. Tetapi keadilan juga hak bagi mereka yang diadili dan keluarga mereka.
Karena itu, siapa pun orang yang sedang diadili oleh hakim ada kemungkinan terbukti
bersalah dan dijatuhi hukuman (vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Ada pula kemungkinan
mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa,
sehingga harus ‘dibebaskan’ (vide Pasal 191 ayat 1 KUHAP) atau terdakwa terbukti
melakukan perbuatan, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga dia harus
‘dilepas’ dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Ketiga alternatif
putusan tersebut sama-sama urgensinya didalam penegakan hukum dan keadilan.
Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kualitas dari pada putusan itu? Mestinya
rumusan pertimbangan hakim, harus ‘murni’ berdasarkan fakta hukum yang terungkap
di persidangan dan didukung keyakinan hakim bahwa terdakwalah pelakunya atau tidak
(vide Pasal 183 KUHAP), tanpa ada unsur/pengaruh dari pihak lain termasuk perbuatan
tercela. Jika terdakwa terbukti bersalah, tetapi terungkap hal-hal yang meringankan
perbuatan terdakwa, misal kerugian negara sudah dikembalikan kepada negara,
sekalipun UU menentukan batas ancaman minimum, hakim harus berani menerobos
ancaman minimum tersebut dengan pertimbangan hukum yang rasional. Karena hakim
bukan hanya corong atau mulut undang-undang.
Hakim yang mampu menyusun dan membuat pertimbangan hukum dari rangkaian
keterangan saksi, terdakwa dan alat-alat bukti yang terungkap dipersidangan adalah
merupakan pengalaman dari sosok hakim yang sudah digeluti bertahun-tahun lamanya,
bukan dilakukan oleh hakim yang baru kemarin sore secara adhoc, terkecuali hakim
adhoc tersebut sungguh-sungguh memiliki spesialisasi keilmuan dan pengalaman
mumpuni dibidang teori akademis akan menjadi kombinasi yang sempurna dengan
pengalaman hakim karier dalam merumuskan suatu putusan, sehingga terhindar celah
kekurangan suatu putusan.
Jika dari hasil proses persidangan, putusan hakim berkesimpulan menyatakan
seorang terdakwa harus dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum, kenapa
harus menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah. Jika hakim menghukum
terdakwa yang tidak terbukti bersalah, justeru hakim sudah melakukan kesalahan besar
selaku penegak hukum dan keadilan.
Page 9 of 31
Polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa bisa saja menangkap bahkan
menahan seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Namun tempat
untuk mencari benar-tidaknya tindakan/perbuatan tersangka sesungguhnya hanya di
Pengadilan. Bahkan selama kasus tersebut belum diputus oleh Pengadilan dan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, tersangka atau terdakwa belum dapat dikatakan
telah bersalah. Tetapi harus tetap berpedoman kepada adagium "praduga tak bersalah"
(presumtion of innocent). Asas ini merupakan salah satu hak asasi dari pada
tersangka/terdakwa yang mutlak diperhatikan semua pihak.
Pengadilan tipikor dilahirkan sebagai bayi kembar bersama-sama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui satu rahim yaitu undang-undang No. 30 Tahun
2002 tentang KPK. Kelahiran keduanya dimaksudkan sebagai upaya luar biasa dibidang
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan perkara-perkara korupsi yang
dicanangkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karna akibatnya
yang massif dan menimbulkan kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Institusi penegakan hukum bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi dianggap
mandul dalam menjalankan fungsinya, sehingga diharapkan kedua lembaga ini mampu
menjadi solusi. Dan memang terbukti dalam beberapa tahun kiprahnya sinergi
Pengadilan Tipikor Jakarta bersama KPK telah mampu memenuhi harapan keadilan
masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Ada banyak pejabat negara menjadi
pesakitan dan dihukum penjara, tidak terbatas pada para pejabat biasa, bahkan besan
Presiden SBY sekalipun menjadi korbannya.
Berkali-kali terjadi perlawanan para koruptor (corruptor fideback) terhadap kedua
institusi ini melalui upaya judicial review UU No.30/2002, yang terakhir melalui
putusan Mahkamah Konstitusi No.012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember
2006 memerintahkan pemisahan antara KPK dengan saudara kembarnya Pengadilan
Tipikor agar tidak berada pada satu undang-undang yang sama. Berdasarkan putusan
MK tersebut pengadilan tipikor harus dibentuk berdasarkan undang-undang tersendiri
sebagai payung hukum agar keberadaan pengadilan tipikor Jakarta menjadi
konstitusional dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam konteks putusan ini sebenarnya
MK sama sekali tidak memerintahkan pembentukan pengadilan tipikor di daerah.
Namun dalam tenggang waktu tiga tahun itu penyusunan UU Pengadilan Tipikor
untuk memperkuat pengadilan tipikor Jakarta berjalan lamban. Baru beberapa bulan Page 10 of 31
sebelum masa tenggang tiga tahun itu berakhir UU Pengadilan Tipikor disahkan
menjadi UU No 46 Tahun 2009 yang juga mengamanatkan pembentukan pengadilan
tipikor di daerah. Padahal putusan MK tidak memerintahkan pembentukan pengadilan
tipikor daerah.
Dalam konteks “sengaja membuat putusan bebas” ini ada metafora menarik yang
pernah dikemukakan seorang petugas sebuah LP di Kalimantan tentang analogi
penegakan hukum pidana dengan proses pembuatan dan penghidangan makanan. Pihak
yang dipercaya berbelanja membeli bahan mentah punya kesempatan untuk memark up
harga belanjaan, sehingga mempunyai keuntungan bagi pribadinya. Demikian juga
pihak yang dipercaya memasak mempunyai kesempatan untuk mengurangi jumlah
makanan yang dimasak dan akan di hidangkan. Kemudian hanya jika pihak yang
menyantap tidak merasa sangat lapar dan masih meninggalkan sisa-sisa makanan
dipiring saja, petugas pencuci piring masih bisa menikmati sisa-sisa makanan. Dari
rangkaian metafora ini sang petugas LP menempatkan dirinya sebagai pencuci piring,
sedangkan yang dimaksud pembelanja adalah penyidik, koki yang memasak &
menghidangkan adalah penuntut umum dan penyantapnya adalah Hakim yang memutus
perkara di pengadilan. Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas (14 Nopember 2011)
tentang Evaluasi Kinerja Penegak Hukum yang menyatakan 92,1% responden percaya
bahwa putusan hukum (pengadilan) di Indonesia dapat dibeli dengan uang telah
menguatkan metafora itu sebagai sebuah realitas.”
Fenomena meningkatnya jumlah vonis bebas terdakwa korupsi di sejumlah daerah
mendapat respon negatif dari banyak pihak. Barangkali faktor ini pula yang memicu
Kementrian Hukum & HAM mencanangkan moratorium (belakangan diganti
terminologinya menjadi pengetatatan persyaratan) remisi, yang memperketat
pembebasan narapidana korupsi. Tidak hanya itu bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) secara ekstreem mengusulkan agar seluruh pengadilan tipikor di daerah yang baru
dibentuk itu dibubarkan.
Kecenderungan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membebaskan para
koruptor ini justru menjadi lebih buruk dari kinerja pengadilan umum. Berdasarkan
catatan, pengadilan tipikor daerah setidaknya telah membebaskan 29 terdakwa korupsi.
Rinciannya, Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan tiga terdakwa korupsi yang
membuat heboh antara lain Walikota Bekasi Mochtar Mohammad, Bupati Subang Eep Page 11 of 31
Hidayat, Wakil Walikota Bogor. Kemudian, Pengadilan Tipikor Surabaya
membebaskan sembilan terdakwa, Pengadilan Semarang satu terdakwa. Pengadilan
Tipikor Tanjung Karang membebaskan dua terdakwa; dan terakhir, Pengadilan Tipikor
Samarinda telah membebaskan 14 dari 15 terdakwa korupsi dana operasional DPRD
Kutai Kartanegara pada 2005 senilai Rp2,6 miliar.
Meski secara normatif pengadilan termasuk pengadilan tipikor mempunyai
kompetensi menghukum atau membebaskan terdakwa, namun berdasarkan asbabun
nujulnya pengadilan khusus tipikor ini dilahirkan sebagai bagian dari solusi
meminimalkan merebaknya tindak pidana korupsi di republik ini, karenanya fenomena
ini mengagetkan banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan dimana letak kesalahan
atau kekeliruannya. Apakah salah bunda mengandung ataukah akibat pergaulan bebas ?
Salah satu kekhasan pengadilan-pengadilan khusus termasuk tipikor adalah adanya
hakim ad hoc. Khusus pengadilan tipikor berdasarkan khittahnya kehadiran hakim ad
hoc berfungsi sebagai penyeimbang hakim karier dibawah asumsi bahwa pengadilan
umum sebagai bagian dari penegak hukum pemberantasan korupsi tidak dapat
menjalankan fungsinya secara optimal. Itulah sebabnya dalam susunan majelis perkara
di pengadilan tipikor terdiri dari 3 orang hakim ad hoc dan 2 orang hakim karier meski
ketua majelis hakim tetap dipegang oleh hakim karier.
Pada perkembangannya akibat “pergaulan bebas” tak ada lagi differensiasi antara
keduanya. Antara hakim karier dan hakim ad hoc, tak dapat dibedakan karakter,
pembawaan, kebutuhan bahkan visi missinya pun menjadi sama. Dapat dibayangkan
berapa banyak sarjana hukum dibutuhkan dalam rangka mengisi pengadilan tipikor di
33 provinsi di republik ini. Hakim ad hoc sudah menjadi “lowongan pekerjaan”.
Konsekwensinya pola perekrutan sekedar menjadi formalitas memenuhi kewajiban
undang-undang belaka.
Dengan kondisi yang demikian, pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang dibuat
dan ditempatkan sebagai bagian dari solusi pemberantasan korupsi bersama KPK
menjadi kian jauh dari yang diharapkan, karena sudah juga menjadi mesin cuci bagi
para koruptor. Lalu kemudian haruskah dibubarkan. Pembebasan para terdakwa korupsi
adalah akibat, dan salah satu sebabnya adalah kenakalan hakim. Karenanya meski
usulan pembubaran pengadilan tipikor di daerah mempunyai dasar pikiran yang kuat,
Page 12 of 31
tetapi bukanlah satu-satunya solusi. Solusi secara sistemik tanggung jawabnya berada
ditangan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal dan Komisi Yudisial sebagai
pengawas eksternal para hakim.
Secara sistemik sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di republik kita ini
sudah cukup sempurna. Coba saksikan ada Mahkamah Agung (MA) dan
KomisiYudisial (KY) yang mengawasi prilaku para Hakim dan melakukan perekrutan,
ada Pusat Pelaporan Transaksi & Analisa Keuangan (PPATK) yang mengawasi
mobilitas rekening gendut / keuangan para pejabat publik termasuk hakim, ada KPK
yang menjadi mandor laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), dan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagai muara penghukumannya. Tapi ternyata sistem itu bukan
TUHAN, akhirnya kembali kepada moral manusianya.
Sudah waktunya masyarakat menuntut lembaga-lembaga pengawas pencegah dan
pemberantas korupsi untuk bekerja maksimal, sudah tak terhingga jumlah angaran
negara dihabiskan hanya untuk rapat kerja, seminar, diskusi, monitoring dan
semacamnya tanpa akuntabilitas yang jelas. Kesengajaan tidak bekerja maksimal bagi
pengawas pada hakekatnya korupsi juga, karena sama-sama menghabiskan uang negara
tanpa guna.
Putusan bebas yang dijatuhkan dalam suatu peradilan pidana selalu didasarkan pada
tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan atau jika perbuatan yang
didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tesebut bukan merupakan tindak pidana. Yang
kedua ini disebut “lepas dari segala tuntutan hukum”. Dua ketentuan yang diatur dalam
hukum acara pidana ini (pasal 191) menempatkan begitu signifikannya peranan
dakwaan dan pembuktiannya, itulah sebabnya surat dakwaan jaksa penuntut umum
menjadi dasar penyelenggaraan peradilan pidana.
Dengan mekanisme yang demikian, maka sedikitnya ada tiga zona yang
memungkinkan lahirnya putusan bebas terdakwa korupsi termasuk di pengadilan tindak
pidana korupsi di daerah. Pertama, zona tidak profesionalnya penyusunan dakwaan,
yang dapat disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan pembuatnya dalam hal ini Jaksa
Penuntut Umum. Tidak hanya penuntut umum dapat dibebankan kesalahan, karena surat
dakwaan itu disusun atas dasar berita acara pemeriksaan perkara. Pada banyak perkara
korupsi umumnya berita acara dibuat oleh penyidik kejaksaan, namun dalam hal berita
Page 13 of 31
acara pemeriksaan perkara dibuat oleh penyidik kepolisian, maka sangat mungkin
terjadi permainan penyidik ( bisa polisi) dan penuntut dalam penyusunan dakwaan yang
menyebabkan putusan bebas.
Zona kedua ada pada ranah pembuktian yang tentu saja sejalan dengan pembuatan
surat dakwaan, karenanya pihak-pihak yang bertangung jawabpun sama yaitu penyidik
(bisa polisi) dan jaksa penuntut umum. Bahkan Jaksa penuntut umum dengan
kewenangnnya dapat mempidanakan kasus perdata. Itulah sebabnya undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memberikan kewenangan menghentikan
penyidikan atau penuntutan kepada KPK, sehingga tidak semua perkara dapat diajukan
ke pengadilan tipikor. Artinya perkara yang tidak kuat pembuktiannya tidak akan
pernah dibawa ke pengadilan oleh KPK.
Zona ketiga yang memungkinkan lahirnya putusan bebas di pengadilan adalah ranah
kekuasaan memutus. Sebaik apapun surat dakwaan dan sekuat apapun bukti yang
diajukan, jika hakim yang mengadili berpendapat lain maka sepenuhnya otoritas
menjatuhkan putusan bebas ada pada hakim yang tidak dapat di ganggu gugat.
Dalam konteks “sengaja membuat putusan bebas” ini ada metafora menarik yang
pernah dikemukakan seorang petugas sebuah LP di Kalimantan kepada penulis tentang
analogi penegakan hukum pidana dengan proses pembuatan dan penghidangan
makanan. Pihak yang dipercaya berbelanja membeli bahan mentah punya kesempatan
untuk memark up harga belanjaan, sehingga mempunyai keuntungan bagi pribadinya.
Demikian juga pihak yang dipercaya memasak mempunyai kesempatan untuk
mengurangi jumlah makanan yang dimasak dan akan di hidangkan. Kemudian hanya
jika pihak yang menyantap tidak merasa sangat lapar dan masih meninggalkan sisa-sisa
makanan dipiring saja, petugas pencuci piring masih bisa menikmati sisa-sisa makanan.
Dari rangkaian metafora ini sang petugas LP menempatkan dirinya sebagai pencuci
piring, sedangkan yang dimaksud pembelanja adalah penyidik, koki yang memasak &
menghidangkan adalah penuntut umum dan penyantapnya adalah Hakim yang memutus
perkara di pengadilan. Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas (14 Nopember 2011)
tentang Evaluasi Kinerja Penegak Hukum yang menyatakan 92,1% responden percaya
bahwa putusan hukum (pengadilan) di Indonesia dapat dibeli dengan uang telah
menguatkan metafora itu sebagai sebuah realitas.
Page 14 of 31
Jadi, penyebab utama konteks putusan bebas di pengadilan tipikor dareah
sepenuhnya terletak pada sumber daya manusia (SDM) di pengadilan yaitu hakim. Yang
menarik pernyataan Humas Pengadilan Negeri Surabaya memperkuat asumsi ini,
pernyataannya itu antar lain “sulit mengharapkan pengadilan tipikor di daerah bisa
berjalan efektif, karena pengadilan tipikor tidak bisa berdiri sendiri, di Jakarta ada KPK
yang menyusun dakwaan dengan lengkap dan bagus. Jadi, jika berharap pengadilan
tipikor di daerah seperti di Jakarta adalah sulit. Ini artinya para hakim hanya takut
kepada KPK saja, tidak pada yang lainnya.
Pemberantasan korupsi memang tidak bisa langsung cespleng berhasil, memerlukan
proses yang panjang untuk menguranginya. Itu pun harus dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan memerlukan dukungan politik yang kuat dari pemerintah dan masyarakat.
Hongkong atau Singapura saja memerlukan waktu paling sedikit 20 tahun untuk berada
pada tahap yang sekarang ini. Kita selalu menginginkan sesuatu itu dengan cara instan
dan itu sudah menggejala dari mulai rakyat sampai pemerintah. Kita tidak terbiasa
menjalani proses secara bertahap dan sistemik. Dan hasilnya dapat diprediksi tidak akan
menghasilkan apapun dari proses instan ini kecuali hiruk pikuk yang tiada berujung.
Di samping ide penghapusan remisi untuk terpidana korupsi dengan maksud untuk
penjeraan (walaupun ini bertentangan dengan ide pemasyarakatan terpidana). Kini
muncul lagi ide instan berupa pembubaran pengadilan TIPIKOR di daerah karena
kecewa terhadap beberapa putusan pengadilan tipikor yang kebetuklan secara berturut-
turut membebaskan terdakwa korupsi sekaligus mengevaluasi ulang keberadaan hakim-
hakim tipikor. Keberadaan pengadilan tipikor di daerah adalah amanat undang-undang
nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian dari
aspek legal keberadaan pengadilan tipikor sangat kuat. Jadi sungguh aneh apabila tiba-
tiba ada ide pembubaran pengadilan tipikor dengan alasan menghambur-hamburkan
anggaran Negara dan terutama karena merupakan surga bagi pelaku korupsi karena
putusan-putusannya tidak mencerminkan keinginana rakyat.
Kejahatan korupsi tidak saja terjadi di pusat kekuasaan yaitu Jakarta, akan tetapi
wabah ini telah melanda seluruh Indonesia, jadi sungguh berat beban pengadilan tipikor
di Jakarta apabila semua kasus korupsi di adili di Jakarta, yang benar adalah
mengevaluasi seleksi dan keberadaan hakim adhoc tipikor yang telah ada. Mahkamah
agung jangan bekerja hanya sekedar mengejar target tanpa memperhatikan kualitas dan
Page 15 of 31
integritas hakim ad hoc nya akan tetapi harus benar-benar menjaring calon hakim ad
hoc yang benar-benar teruji kualitas moralnya, kualitas bisa dipelajari melalui pelatihan
tetapi integritas hanya dapat dilihat dari rekam jejak calon.
Seleksi hakim ad hoc tipikor harus dilakukan secara selektif, salah satu caranya
Mahkamah Agung meminta perguruan tinggi untuk mengirimkan ahli-ahli hokum yang
dibutuhkan supaya mengikuti seleksi walaupun juga para dosen dan guru besar ini akan
berfikir ulang untuk menjadi hakim ad hoc tipikor mengingat penghargaan yang
diberikan/diterima dan tanggungjawab profesi yang diembannya sangat tidak seimbang,
kecuali memang ada yang bersedia mengabdikan dirinya untuk membantu penegakan
hokum dalam memberantas kejahatan korupsi.
Membubarkan peradilan tipikor, menghapus remisi untuk napi korupsi tidak akan
menyelesaikan masalah penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi. Ada satu cara
yang belum pernah dilakukan oleh para hakim dan pengadilan tipikor dalam mengadili
kasus korupsi, yaitu menjatuhkan pidana maksimal terhadap pelaku korupsi padahal
hakim mempunyai apa yang disebut “judicial discreation” yang tidak bias diganggu
gugat dan sifat hakim yang otonom, kedua pengawasan oleh lembaga penegakan hukum
terhadap penyelenggara Negara belum efektif sehingga alih-alih korupsi berkurang yang
terjadi adalah korupsi semakin merajalela di segala sector.
Secara kebijakan sudah sepantasnya pemerintah melakukan re-evaluasi dan re-
orientasi dari berbagai perundang-undangan tentang pencegahan, pemberantasan dan
peradilan tindak pidana korupsi. Kebijakan harus dilakukan secara komprehensif bukan
secara parsial seperti sekarang ini. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen
penuh dari semua elemen. Kemudian juga pemerintah harus sabar dan bersungguh-
sungguh dalam memberantas korupsi, tidak terkesan panik seperti yang terjadi sekarang
ini.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani
perkara korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pengadilan yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor ini
berlokasi di Lantai 1 dan 2 Gedung UPPINDO Jalan Rasuna Said Kav C-19, Kuningan,
Jakarta Selatan.
Page 16 of 31
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk
pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada 19 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme
peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU
(DPR dan pemerintah) untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-
undang baru itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-
satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi. Apabila pada 19 Desember 2009 DPR
belum juga mengesahkan undang-undang baru, maka Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dinilai tidak lagi memiliki kewenangan. Akibatnya, seluruh penanganan
perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum 4.
Menurut ICW setelah ditetapkannya UU Pengadilan Tipikor, hanya dalam dua tahun
sudah 40 terdakwa korupsi dibebaskan, terdiri atas 14 orang di Pengadilan Tipikor
Samarinda, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor
Surabaya, dan 4 orang di Pengadilan Tipikor Bandung. Vonis mereka dinilai
kontroversial dan menjadi wabah penyakit yang akan menyebar ke seluruh Pengadilan
Tipikor di daerah, apalagi MA menargetkan pembentukan Pengadilan Tipikor di seluruh
33 provinsi.
Melihat kondisi yang menyedihkan seperti itu, banyak pihak mendesak agar
pengadilan tipikor daerah dibubarkan dan semua kasus korupsi seluruh Indonesia
dibawa ke Jakarta menilai hal itu sulit untuk dilakukan karena banyaknya kasus korupsi
di Indonesia. Langkah yang paling memungkinkan adalah meningkatkan proses
pengawasan peradilan.
4 Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya
Bagian kedua. Sinar Grafika : Jakarta
Page 17 of 31
Wacana pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah yang dilontarkan
oleh beberapa kalangan perlu ditinjau ulang. Peninjauan itu dimaksudkan untuk
mengetahui urgensi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan
dampaknya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pembubaran Pengadilan Tipikor
di daerah minimal perlu dievaluasi dulu. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara bersama
antara Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terkait.
Mafia hukum semacam ini sudah marak dan bukan rahasia umum lagi. Tetapi bukan
berarti semua hakim Pengadilan Tipikor bersih dalam penanganan suatu perkara pidana
korupsi. Karena itu, setiap hakim yang nakal, apakah itu di pengadilan umum maupun
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus ditindak tegas. Tempatkan hakim-hakim yang
memang memiliki integritas dalam penanganan suatu kasus.
Mahkamah Agung sebaiknya melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap para
hakim Pengadilan Tipikor daerah. Penyelidikan ini untuk mengetahui apakah benar para
hakim Pengadilan Tipikor terlibat kasus suap dalam penanganan perkara tindak pidana
korupsi di daerah.
Mahkamah Agung (MA) harus bertanggung jawab atas perilaku hakim pengadilan
tipikor di daerah yang telah memvonis bebas dan ringan terhadap koruptor. Kontroversi
vonis bebas dan ringan di pengadilan tipikor daerah bermula dari mekanisme rekrutmen
hakim-hakim yang tidak kredibel dan mekanismenya yang tidak akuntabel. MA yang
memegang peranan kunci dalam proses perekrutan itu harus bertanggung jawab. Ini
yang membuat kredibilitas hakim di bawah standar.
Rekam jejak para hakim Tipikor harus ditelusuri kembali dan hakim yang dinilai
memiliki persoalan integritas dan kualitas sebaiknya diganti dengan orang-orang yang
kredibel. Sebelum membekukan dan atau menata ulang pengadilan tipikor ini, MA
pertama-tama harus bersikap dan melakukan evaluasi internal terhadap jajarannya.
Page 18 of 31
Komisi Yudisial (KY) dituntut untuk membentuk tim kajian khusus untuk
mengevaluasi praktik peradilan tipikor di daerah dan memeriksa para hakim yang
dianggap melakukan pelanggaran etik. DPR pun harus memanggil MA dan KY untuk
melakukan evaluasi dan identifikasi intervensi legislatif yang dibenarkan UU.
Langkah terdekat yang dapat dilakukan selain evaluasi adalah memperbaiki langkah
manajemen yang ada di pengadilan Tipikor. Langkah manajemennya perlu dievaluasi
dulu. Jika dari evaluasi perlu dikurangi atau dilikuidasi itu sudah ada pendekatan yang
evaluatif. Jika terbukti ada pelanggaran yang dilakukan oleh hakim, maka langkah tegas
yang diterapkan adalah dengan memecatnya. Harus dipelajari mengapa hakim
memutuskan bebas, apakah melanggar fakta hukum atau ada unsur mafia peradilan. Hal
itu harus diproses. Jika nanti memang terbukti hakim melakukan pelanggaran, maka
harus dipecat dengan tidak hormat dan dipenjarakan dengan hukuman yang lebih berat.
Kasus korupsi memang menjadi persoalan yang telah menggurita. Untuk
memberantasnya dibutuhkan kepedulian semua pihak, baik pemerintah, penegak
hukum, pers maupun masyarakat.
VONIS bebas bagi terdakwa koruptor di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)
di beberapa daerah sangat mengecewakan publik. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan
pengadilan tipikor malah menjadi surga bagi koruptor pada tingkat lokal. Pada hari
senin tanggal 10 Oktober 2011, Pengadilan Tipikor Kota Semarang menjatuhkan vonis
bebas kepada Oei Sindhu Stefanus, Dirut PT Karunia Prima Sedjati, terdakwa kasus
korupsi sistem informasi administrasi kependudukan on line tahun anggaran 2006-2007
Pemkab Cilacap.
Sehari kemudian, Pengadilan Tipikor Bandung mengeluarkan putusan yang lebih
menyakitkan, membebaskan terdakwa kasus korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif
Page 19 of 31
Mochtar Muhammad. Padahal jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun
penjara dan denda Rp 300 juta. Terkait dengan putusan di Bekasi, KPK mengajukan
permohonan kasasi. Jaksa KPK Ketut Sumedana berharap hakim yang memeriksa
memori kasasi mereka merupakan sosok kredibel.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kurang dari dua tahun, sejak
lahirnya UU PengadilanTipikor tahun 2008, sudah 26 terdakwa kasus korupsi divonis
bebas pengadilan tipikor. Ke-26 terdakwa korupsi yang menikmati vonis bebas itu
terdiri atas 1 orang yang kasusnya diputuskan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di
Semarang, 21 orang di Surabaya, dan 3 lainnya di Pengadilan Tipikor Bandung.
Kecenderungan ‘’banyaknya’’ vonis bebas untuk terdakwa korupsi oleh pengadilan
tipikor di daerah lebih dipicu oleh hakim yang integritasnya lemah, termasuk dari sisi
ideologi. Kasus vonis bebas untuk Mochtar Muhammad merupakan sejarah karena
untuk kali pertama KPK dikalahkan oleh putusan janggal. Sebelumnya, semua kasus
korupsi yang ditangani jaksa KPK ke pengadilan tipikor, divonis bersalah.
Vonis bebas di pengadilan tipikor harus segera diakhiri, dengan menjadikan
pengadilan antikorupsi itu menjadi tanggung jawab bersama untuk selalu diawasi.
Jangan sampai pilot project pembentukan pengadilan tipikor di 5 daerah gagal sehingga
menambah pesismisme. Beberapa lembaga perlu diikutsertakan memperbaiki kinerja
pengadilan tipikor.
Meski belum tentu semua hakim Pengadilan Tipikor di daerah menerima suap untuk
membebaskan para tersangka dari jeratan hukum, tetapi karena dasar hukum yang
diajukan penyidik kepolisian maupun kejaksaan kabur dan tidak bisa dijadikan sebagai
dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan hukuman kepada seorang terpidana tindak
Page 20 of 31
pidana korupsi. Sekarang ini, para koruptor sudah sangat cerdas. Mereka cenderung
bermain mata dengan penyidik dalam suatu proses perkara. Penyidik menggunakan
pasar-pasal hukum yang lemah, yang tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh para hakim
untuk memvonis pelaku.
Ada prinsip hukum yang mengatakan: "lebih baik membebaskan seribu orang yang
bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak terbukti bersalah". Membuktikan
bahwa fungsi pengadilan adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum lewat
putusannya. Justru lewat penemuan fakta itulah hakim telah bersifat progressif
menciptakan suatu hukum lewat putusannya yang wajib dihormati dan dilaksanakan
oleh semua pihak, bukan untuk dicibiri, dicaci-maki seolah putusan bebas atau lepas itu
diharamkan oleh Undang-undang.
Kita harus bangga atas penemuan fakta hukum yang membebaskan atau melepaskan
terdakwa demi tegaknya hukum dan keadilan, sekalipun hakim yang bersangkutan harus
diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk
membuktikan ada tidaknya pelanggaran hukum atau kode etik selama proses sidang
berlangsung.
Jika hakim telah sungguh-sungguh memberikan putusan itu berdasarkan kejujuran
hati tanpa pengaruh dari pihak manapun, hakim tak perlu ragu dan harus berani
menyatakan terdakwa bersalah atau bebas/lepas dari segala tuntutan hukum. Masalah
hakim diperiksa atau dipanggil atasan (Mahkamah Aagung atau Komisi Yudisial)
terkait putusan tersebut, itu sudah merupakan resiko jabatan. Karena ada prinsip:
"berani berbuat, berani bertanggung jawab". Jangan biarkan lembaga khusus Pengadilan
Tipikor dijadikan sebagai lembaga penghukum (algojo). Jika hal itu dibiarkan akan
merusak sendi-sendi sistim hukum Nasional di Indonesia. Jika fungsi Pengadilan
Tipikor terpaksa bergeser kepada lembaga penghukum, ini yang dinamakan "Peradilan
Sesat". Karena telah mengganti Pengadilan itu menjadi "Algojo Koruptor".
Page 21 of 31
2.2 Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Putusan Bebas Bagi Para Koruptor Oleh
Pengadilan Tipikor
Semenjak bangsa ini mengalami suatu peristiwa dramatis yaitu reformasi dengan
ditandai gulingnya orde baru yang sudah dianggap usang dan telah menjadikan bangsa
ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sejak saat itupula banyak sekali bermunculan
organisasi –organisasi yang mengangkat tema tentang korupsi, dalam jurnal wacana
disana disebutkan ada beberapa organ lahir yang menganggkat tema korupsi, seperti,
Indonesian Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Government
Watch, Parliament Watch, Judiciary Watch, Police Watch, Military Watch dan lain
sebagainya5. Kita berharap kehadiran organ – organ tersebut tidak hanya sebatas
mengikuti trend dan musiman atau ingin dianggap oleh publik sebagai komunitas yang
bersih akan tetapi mereka dapat melakukan sesuatu yang memang dapat memberikan
manfaat untuk bangsa Indonesia . ekspansifnya gerakan anti korupsi kian hari kian
melebar, satu sisi kita bahagia karena masih ada sekelompok yang beritikad baik untuk
coba mengembalikan bangsa ini kepada zaman dimana masyarakat masih bias percaya
bahwa bangsa ini kelak akan menemui setitik air penyejuk dengan hadirnya para anak
bangsa yang peduli akan masa depan bangsa ini dan hidup sejahtera. Namun satu sisi
juga muncul kehawatiran eksistensi lembaga anti korupsi hanya dagangan para
intelektual yang melihat peluang secara finansial disegmen ini cukup menjajikan,
karena memang lembaga anti korupsi dengan faoundingnya akan dapat kucuran dana
yang cukup, mudah – mudahan ini tidak terjadi.
Dalam membahas dampak putusan bebas kepada tersangka koruptor, alangkah
baiknya terlebih dahulu mengamati potensi yang dimiliki bangsa Indonesia yakni
setidaknya dapat kita jumpai sebuah keadaan yang tidak logic, potensi bangsa yang
begitu melimpah dan ruah ini bagai sebuah daerah yang kering dan lading yang tandus.
Kekayaan yang meliputi tanah dan air begitu melimpah akan tetapi tingkat
kesejahteraan masyarakatnya masih di bawah standar, lalu muncul pertanyaan, apakah
rakyat Indonesia tidak cukup pintar untuk mengelola sumber daya yang ada?, asumsi
tersebut tidak mutlak benar walaupun mungkin ada benarnya juga, akan tetapi coba kita
5 Membaca Akhiar Salmi, Paper 2006, "Memahami UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi", MPKP FE, UI.
Page 22 of 31
tengok fakta dilapangan ternyata penyebab yang paling utama adalah pengelola negeri
ini lebih banyak orang yang korup ketimbang orang yang secara betul – betul bekerja
untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Lalu apa hubungannya antara korupsi dengan
kemisikinan, bukankah orang misikin tidak bisa melakukan korupsi karena memang
tidak memiliki jabatan yang dia pakai untuk tameng korupsi? Persoalannya bukan pada
keterlibatan kaum misikin dengan para koruptor akan tetapi lebih kepada dampak yang
akan diterima oleh kaum miskin akibat tingkah para koruptor tersebut. Menurut
Mukhammad Ikhsan data yang ia dapatkan dari Rose – Ackerman tahun 1998 secara
khusus menyebutkan ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin
akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (baca:kaum miskin) cenderung
menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih sumringah dan cekatan
ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi
sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui
ditengah – tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung
mengabaikan proyek – proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi
biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim
manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang
kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga,
orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak
memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi
oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil
pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak
legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi
pemerintah maka dia menyediakan “fulus” ,hal ini dilakukan agar proses dokumentasi
tidak menjadi berbelit – belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa
dipermudah”, sebagai contoh dalam studi LPEM tahun 1994 disana ditemukan bahwa
walaupun pemerintah sudah menghapus semua biaya untuk memperoleh izin
penanaman modal, para investor masih tetap harus membayar “upeti kepada orang
tertentu, ini artinya budaya demikian sudah kian mengakar, inilah yang kemudian
sebagian orang saking putus asanya mengatakan bahwa korupsi di negeri ini sudah jadi
Page 23 of 31
budaya jadi sulit untuk diberantas. Dampak korupsi terhadap kemiskinan sangatlah
kentara sekali, beberapa waktu lalu pemerintah menurunkan program kompensasi BBM
dengan pemberian tunjangan tunai langsung, kita tidak akan membicarakan jumlah dan
teknisnya akan tetapi coba kita lihat berapa jumlah rakyat miskin ketika itu..? sangat
banyak sekali bahkan cenderung malah bertambah, cukupkah dana pemerintah untuk
memberikan uang tunai tersebut dengan jumlah kaum miskin.? Tidak saudara, terlepas
dari banyak yang mengaku bahwa dirinya orang miskin atau bukan, tapi yang harus kita
lihat disini adalah berpuluh – puluh tahun mereka bekerja sebagai petani, pedagang
biasa akan tetapi kesejahteraan mereka stagnan, lau muncul pertanyaan bukankah itu
masalah individu bukan masalah social, suatu persoalan dikatakan masalah individu
manakala ini hanya menimpa perindividu, tapi kondisi ini menimpa berjuta – juta
rakyat, apakah ini kesalahan mereka..? jelas, ini bukan semata – mata kesalahan mereka,
kondisi ini mungkin akan mereka terima dengan ridho manakala semua berjalan dengan
alamiah, akan tetapi yang membuat mereka tidak ridho adalah ketika mereka dengan
keringat dan peluh bekerja siang dan malam demi menuai kesejahteraan supaya
hidupnya lebih layak. Tapi yang terjadi adalah hati mereka perih, jiwa mereka berontak,
nafas mereka terengap –engap lalu mereka marah ketika melihat para pejabat dan para
birokrat mendadak menjadi kaya raya tanpa perlu melakukan seperti yang mereka
lakukan.
Namun karena ketidakmampuan kaum miskin untuk menjangkau keganjilan tersebut,
mereka akhirnya pasrah dan tetap bekerja, salahkah mereka ketika mereka berdiam diri
melihat ketidakadilan tersebut? dalam batin mereka sesungguhnya ingin sekali
melakukan protes keras terhadap orang – orang yang memakan harta titipan mereka,
seandainya bulan bisa ngomongpun mungkin dia akan meredupkan sinarnya sebagai
tanda bukti keikutsertaan kesedihan yang dialami kaum miskin. Rasanya yang enak,
renyah dan nyaman itulah mungkin gambaran korupsi sehingga orang akan senang
korupsi, tapi akan lain ceritanya manakala korupsi itu dibuat tidak enak dan pahit
rasanya, pasti banyak orang berfikir ulang ketika akan melakukan korupsi. Inilah
seharusnya yang kita lakukan bagaimana membuat korupsi itu tidak enak dan getir
Page 24 of 31
rasanya, bagaimana caranya? secara teoritis sebetulnya sudah sering menjadi bahan
kajian dan diskusi para aktivis, akademisi termasuk para birokrat sendiri, akan tetapi
masalahnya adalah kembali lagi kapada kesungguhan para pelaku kebijakan publik
terutama para pejabat dan wakil rakyat untuk senantiasa setia dengan amanat dan
sumpah yang tekah mereka ucapkan, bahwa mereka akan senantiasa untuk tetap berdiri
paling depan dengan barisan anti korupsi untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi
di negeri sampai hayat masih dikandung badan.
Prof Dr Komaruddin Hidayat menyesalkan berbagai modus operandi untuk
melegitimasi tindakan korup dengan membungkusnya lewat kemasan agama. Yang
paling disesalkan adalah adanya upaya pemutihan atau penyucian dosa dengan perilaku
keagamaan. Dengan pergi haji atau ziarah di makam Yesus di Yerusalem, dengan
mendirikan tempat ibadah atau menyantuni anak yatim lewat uang korupsi, seolah
tindakan korup bakal mendapat ampunan Tuhan. Kalau fenomena pemutihan ini benar,
berarti semakin menunjukkan betapa kebobrokan moral di negeri ini sungguh kian akut.
Memang ini bukan hanya kesalahan organisasi keagamaan atau umat beragama saja.
Ini juga akibat belum tegaknya hukum dan keadilan sesuai harapan. Ironisnya, aparat
penegak hukum (mulai dari polisi, jaksa atau hakim) yang seharusnya menegakkan
hukum, kebenaran dan keadilan justru ikut berperan dalam membusukkan bangsa lewat
korupsi (korupsi memang berasal dari bahasa Latin corrumpere yang arti awalnya
adalah membusukkan).
Simak saja dalam upaya pemberantasan korupsi, kontribusi dari institusi hukum kita
bisa dikatakan minim. Berdasarkan ekonom UGM Dr Rimawan Pradiptyo, MSc,
sebanyak Rp 73,07 triliun dana telah dikorup oleh 540 koruptor pada 2008. Kendati
demikian, tuntutan jaksa tentang uang yang harus dikembalikan koruptor hanya Rp
32,41 triliun. Umumnya terpidana melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA).
Kemudian oleh MA, hanya Rp5,32 triliun saja dana yang harus dikembalikan ke
negara. Bayangkan hanya 7,29% dana yang kembalikan ke negara Kalau melihat
Page 25 of 31
besarnya uang yang dikorup dan tidak kembali, kita bisa diliputi apatisme. Apalagi ini
terjadi di negeri yang bersila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis
(almarhum), betapa munafiknya bangsa ini dan Kemunafikan mengisi rongga kepala,
hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan
setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi.Dalam hati kita
mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan
(Pembebasan Budaya- Budaya Kita,1999).
Maka seorang ustad di acara kuliah subuh di sebuah stasiun televisi menyebut para
koruptor sebagai binatang buas. Betapa tidak buas, kalau harta yang mereka korup
hanya dihabiskan demi memuaskan ego mereka sendiri. Tidak berlebihan bila para
koruptor kita persalahkan karena hanya pandai menciptakan surga lewat uang
korupsinya seraya menciptakan neraka bagi banyak orang lain.
Dampak korupsi memang menciptakan neraka bagi sesama. Ini amat jahat.
Bayangkan, dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi,
kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk
mendapatkan asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak
bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.
Jalan-jalan tambah rusak karena anggaran pembangunannya sudah disunat dan
dibelikan material yang murah sehingga jalan menjadi cepat rusak, berlubang, dan
rawan kecelakaan.Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor yang
menciptakan neraka bagi orang lain. Yang patut diwaspadai, menurut almarhum Selo
Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard
(1998), Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan
masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup
manusia.
Yang namanya penyakit tentu saja menular.Yang menyedihkan jika sosok yang
sebelumnya kita kenal suci dan memiliki integritas ternyata jatuh dalam korupsi.Sudah Page 26 of 31
banyak contoh dalam hal ini. Seorang pejuang HAM muda atau aktivis proburuh yang
begitu idealis, ketika masuk struktur kekuasaan yang basah, langsung bermetamorfosis.
Kalau sekadar jadi bunglon,mungkin tak masalah.
Namun, jika menjadi drakula atau binatang buas yang rakus mengembat uang rakyat,
ini yang nama-nya tragedi. Meski menggugat peran agama dalam pemberantasan
korupsi, tulisan ini tidak berpretensi untuk menggeser peran hukum positif. Agama
berperan di hulu, sedangkan hukum di hilir. Jelasnya agama lebih berperan sebagai
early warning sistem agar orang jangan korupsi. Adapun hukum seharusnya ditegakkan
untuk menghukum para koruptor. Bukan malah hukum dimanipulasi untuk
menyelamatkan para koruptor.
Hukum hanya mau berani menghukum wong cilik yang mencuri semangka atau buah
kakao, sedangkan hukum tak mampu menghukum para mafia hukum, mafia pajak,
mafia hutan, dan sebagainya. Harus ada tekanan publik atau suara rakyat agar reformasi
hukum segera beranjak dari wacana menuju ke kenyataan, menurut Dunia dalam Berita,
sekaligus agar praksis beragama bisa beranjak menuju ke perubahan mentalitas.
Bangsa Indonesia harus bisa segera melakukan rekonstruksi peradaban untuk
beradaptasi dengan perkembangan zaman dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih maju. Hal ini sangat diperlukan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah
berada dalam kondisi krisis yang amat gawat akibat kian suburnya praktik korupsi.
Kemarin umat kristiani merayakan Kenaikan Yesus ke surga.
Sayang surga itu tidak akan terjadi di negeri kita jika struktur tak adil yang menindas
atau mentalitas cari untung sendiri lewat korupsi terus dijadikan gaya hidup atau
mentalitas. Mentalitas culas seperti ini hanya akan mengagungkan keyakinan Keuangan
Yang Mahakuasa (meminjam istilah Kardinal Mgr Julius Darmaaatmadja), sementara
iman sejati pada Ke-Tuhanan Yang Maha Esa terpinggirkan atau sekadar dijadikan
topeng penutup kemunafikan.
Namun belum terlambat untuk memulai sebuah kehidupan yang bersih dan jujur
tanpa korupsi. Bersih dan jujur adalah ciri utama kehidupan surgawi. Adapun korupsi
sekali lagi hanya menciptakan neraka bagi sesama. Mari kita lawan korupsi sehingga
Page 27 of 31
surga bisa kita upayakan di dunia ini mulai saat ini meskipun surga final masih harus
kita nantikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam dua puluh tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma tentang korupsi di banyak bangsa di dunia. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir bangsa-bangsa didunia mulai mengeluarkan sejumlah aksi bersama dan terintegrasi dalam melawan korupsi. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan mengingat korupsi merupakan permasalahan antar negara dan hanya dengan kerjasama antar negara pula korupsi bisa diberantas. Walaupun demikian, tidak secara otomatis korupsi mampu ditekan, mengingat paradigma yang benar adalah satu bagian kecil saja dari rantai panjang pemberantasan korupsi yang terdiri dari penentuan strategi yang tepat, serta eksekusi yang benar oleh pihak-pihak yang tepat.
Bagi Indonesia, korupsi tidak saja merupakan problem ekonomi dan politik, tetapi
juga merupakan problem budaya. Selama puluhan tahun, berbagai lembaga
internasional telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup. Terlepas dari
fakta yang memberikan justifikasi atas fenomena itu, hal ini tentunya telah mengusik
kebanggaan kita sebagai bangsa. Hal ini seharusnya menggugah semangat kita untuk
memerangi korupsi secara lebih serius.
Undang – Undang tindak pidana korupsi, yakni tepatnya Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya sudah cukup baik jika ditinjau dari
substansinya. Dalam Pembuatan undang – undang Tindak pidana Korupsi, DPR dan
Presiden sebelumnya sudah mengolah atau sudah memasak terlebih dahulu undang –
undang tersebut melalui Rancangan Undang – Undang yang pada akhirnya untuk
disahkan, dengan tujuan sosial yakni untuk mensejahterahkan seluruh warga Indonesia
dengan tidak terkecuali dengan cara mengantisipasi tindakan tindakan korupsi atau
tindakan yang merugikan keuangan negara maupun merugikan atau mengurangi hak –
hak warga negara indonesia khususnya terkait dengan perihal perekonomian.
Page 28 of 31
Undang-undang tipikor dibuat bertujuan untuk mengatur ketertiban dalam hal proses
penyelenggaraan negara secara efektif dengan cara lebih menyempurnakan kekurangan-
kekurangan yang ada dalam undang-undang tersebut sehingga setidaknya sudah tiga
kali mengalami perubahan. Namun dalam penerapannnya, seringkali ditemukan putusan
Bebas yang dikeluarkan oleh pengadilan Tipikor yang secara tidak langsung hal tersebut
dapat menimbulkan motivasi bagi para koruptor untuk mau melakukan tindakan
korupsi. Undang - undang korupsi yang tidak secara efektif dapat menjerat dan
menghukum tersangka koruptor, dapat di ibaratkan seperti “seinga ompong” yang
maksudnya bahwa undang-undang tersebut masih memiliki celah - celah hukum yang
dapat dimanfaatkan oleh para koruptor untuk lepas dari tuntutan atau jeratan hukum.
Bukan hanya itu, selain terdapatnya celah - calah hukum pada undang - undang tindak
pidana korupsi, hal itu diperparah lagi dengan masih adanya mafia peradilan yang
secara sembunyi - sembunyi masih memiliki kekuasaan atau kekuatan untuk mengatur
peradilan yang ditanganinya. Jika ditinjau dari logika, jika seorang koruptor itu
mengkorupsi uang negara sebanyak 100 Milyar rupiah, dan menyewa jasa penasehat
hukum dengan bayaran 2 Milyar rupiah, maka darimanakah seorang koruptor tersebut
mendapatkan sumber dana untuk membayar penasehat hukum tersebut ?, menurut
penulis, jelaslah atau sangat besar kemungkinannya bahwa uang yang dipergunakan
untuk membayar jasa penasehat hukum tiu diambilkan dari dana atau uang hasil dari
korupsi yang dilakukannya.
Dari pembahasan dan analisa penulis, sudah jelaslah kiranya bahwa korupsi itu
sangat merugikan semua orang, tidak terkecuali merugikan sang koruptor itu sendiri.
Bahwa kiranya penulis berharap kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di seluruh
Indonesia khususnya yakni dengan tidak dengan mudahnya memberikan putusan bebas
kepada tersangka koruptor, meski jaksa kurang tepat dalam menerapkan hukum.
Janganlah kiranya memutus bebas hanya dikarenakan ada unsur – unsur pasal yang
tidak terpenuhi. Penulis mengajak kepada diri pribadi maupun kepada pembaca untuk
bersama – sama meningkatkan kesadaran diri dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara demi tujuan kemajuan dan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
3.2 Saran
Page 29 of 31
Dalam penulisan makalah ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin, baik
dalam hal dasar penulisan maupun dalam hal penyusunannya.
Jika terdapat kesalahan data ataupun penulisan, penulis mohon ma’af yang sebesar-
besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hartanti, Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta
Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya Bagian
kedua. Sinar Grafika : JakartaPage 30 of 31
Membaca Akhiar Salmi, Paper 2006, "Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi", MPKP FE, UI.
Mubaryanto, artikel, "Pro dan Keadilan", Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,
"Menghadapi Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional",Transparency International, 2000.
Artikel Harian Pikiran Rakyat, Rubrik Opini, hari Rabu, 23 November 2011, halaman 26
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Page 31 of 31