31

Click here to load reader

Makalah Hukum Pajak JDU

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Hukum Pajak JDU

MAKALAH JATI DIRI UNSOED

“HUKUM PAJAK”

oleh :

Bagus Panuntun T B (H1C007010)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIKJURUSAN TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTROPURWOKERTO

2010

1

Page 2: Makalah Hukum Pajak JDU

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan

peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan

kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya

merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut

berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan

pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak,

sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada

anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut

sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan

Indonesia.

Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara,

karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat.

Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan

menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak

yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak

hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak

orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan

bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi

pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.

Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan.

Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax

coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance

(kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang

bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar

pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan

2

Page 3: Makalah Hukum Pajak JDU

yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur

pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri

menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena

itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.

Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar

memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku

pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya

secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang

signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman

hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi

yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari

satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham

atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri

seperti dokter, notaris , pengacara.

Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai

cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang

pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik

sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau

seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai

rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaries , pengacara . Wajib Pajak

Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak . Namun sering kali

terjadi berbagai permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.

1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?

2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul

akibat terjadinya bencana alam?

3

Page 4: Makalah Hukum Pajak JDU

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan:

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:

1. Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini

mengetahui tentang macam-macam serta penggolongan penggolongan

pajak di Indonesia.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak

terhadap penghasilan.

3. Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.

1.3.2 Manfaat:

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini

diharapkan dapat memberikan informasi serta pengetahuan mengenai

ilmu Hukum Pajak Khususnya mengenai hal Pajak Penghasilan.

2. Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak

khususnya Pajak Penghasilan.

3. Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang

sama.

4

Page 5: Makalah Hukum Pajak JDU

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang

falsafah. Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu

pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang

berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-

undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan

pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak

harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat

daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung

dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.

Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas

menurut Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar

menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam

pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak

diantaranya adalah:

2.2.1 Teori Pemungutan Pajak

1. Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar

rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan

keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.

2. Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian

beban pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang

disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas

pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa

beserta harta bendanya.

3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau

kemampuan seseorang.

5

Page 6: Makalah Hukum Pajak JDU

4. Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang

mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas

untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan

tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk

memungut pajak.

5. Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat

dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan

individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan

masyarakat yang meliputi keduanya.

2.2.2 Asas Pemungutan Pajak

1. Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal

wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak

mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana

sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat

kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.

2. Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber

pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan

tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan

kewarganegaraan wajib pajak.

3. Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada

kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah

negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.

2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak

1. Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang

menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib

pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.

2. Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang

menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib

ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.

6

Page 7: Makalah Hukum Pajak JDU

2.%2% Dasar Hukum

* Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983

Tentang Pajak Penghasilan

* Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan berupa bungan

deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan

dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan

dari pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan serta

pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan

peraturan pemerintah.

* Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan.

* Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas

undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

* Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak

penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri

* UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara

berdasarkan undang-undang

* UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994

* UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994

* UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12

Tahun 1994

* UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai

* UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20

tahun 2007

7

Page 8: Makalah Hukum Pajak JDU

BAB III

PEMBAHASAN

Pengertian pajak

Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu

dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli

adalah sebgai berikut.

1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang

wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan

peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan

seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam

pemerintahan

2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan

dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan

‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber

utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat

disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:

* Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan

pelaksananya;

* Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran

atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;

* Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya

kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;

* Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun

daerah;

* Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran

pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus,

dipergunakan untuk membiayai public investment.

3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada

pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat

8

Page 9: Makalah Hukum Pajak JDU

dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal

individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’

4. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A

tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer

of recourses from the private to the public sector, levied on the basis of

predetermined criteria without reference to specific benefits receifed, so as

to accomplish some of a nation’s economic and social objectives”

Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang

mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.

Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi

Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh

Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal

Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang

dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun

Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :

1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah

pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di

wilayah Republik Indonesia .

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas

konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah

Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang

mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN.

Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa

Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN,

atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga

dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang

tergolong mewah adalah :

b. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

9

Page 10: Makalah Hukum Pajak JDU

c. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu

d. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat

berpenghasilan tinggi

e. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status

f. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral

masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen,

dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan

menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran

pajak bentuk KPU 35 Kode 006.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak

yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).

6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB

adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh

Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya

diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun

Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak

yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota

antara lain:

1. Pajak Propinsi

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan,

10

Page 11: Makalah Hukum Pajak JDU

2. Pajak Kabupaten Kota

a. Pajak Hotel,

b. Pajak Restoran,

c. Pajak Hiburan,

d. Pajak Reklame,

e. Pajak Penerangan Jalan,

f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,

g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan,

Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang

disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan

balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan

atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan

tersebut merupakan pungutan yang legal.

Manfaat Pajak

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau

keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan

pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa

pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan

uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan

berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,

jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan

menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk

pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan

masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal

dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai

dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan

penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang

jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

11

Page 12: Makalah Hukum Pajak JDU

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga

melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai

kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya

lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk

tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan

ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut

pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah

Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir

tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam

undang-undang diantaranya adalah

1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-

undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak

penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri

3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara

berdasarkan undang-undang

4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994

5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994

6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994

7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun

1994

8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai

9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun

2007

Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa

yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak

12

Page 13: Makalah Hukum Pajak JDU

adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang

menjadi Subjek PPh yaitu:

1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan

menggantikan yang berhak.

2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer,

perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk

apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan

atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan

Usaha lainnya.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak

beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang

dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan

atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan di Indonesia.

3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau

bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2).

“Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,

penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan

dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu

lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983.

Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas

bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan

UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas

sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di

bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan

serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-

penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada

13

Page 14: Makalah Hukum Pajak JDU

kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final.

Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2)

tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.

Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai

yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi.

Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah

dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh

tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang

yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan.

Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang

membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan

hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai

usaha tersebut.

Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:

1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas

tanah dan/atau bangunan, dan

2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang

melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.

PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak

tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di

atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi

Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua

kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.

Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha

pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan

dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini

sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi

yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan

memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi

14

Page 15: Makalah Hukum Pajak JDU

yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan

PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai

pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang

dalam tahun yang bersangkutan.

Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan

tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup

lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang

ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang

lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan

menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa

Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap

untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.

Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha

cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit

untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen

pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha

jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final,

padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau

pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.

PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang

menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi

yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan,

keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.

3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana

alam.

Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung

Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian

bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji,

honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,

15

Page 16: Makalah Hukum Pajak JDU

bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,

biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk

memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh

hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran

kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan,

kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan

dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya

penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea

siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,

sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;

Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan

di atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau

pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang

dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari

selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan

sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan

dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha

menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di

dalam Pasal 11 ayat (8).

Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta

tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam

hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain

cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat

disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila

harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan

sebagai penghasilan.

Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau

harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan

semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan

berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan

16

Page 17: Makalah Hukum Pajak JDU

dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian

maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam

seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana

yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat

membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya

kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.

UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat

(8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang

dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok,

metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara

mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan

tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama

juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama

terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan

yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan

untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan

adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa

telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib

pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa

hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan

(PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana;

bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT

Tahunan (bila diperlukan).

17

Page 18: Makalah Hukum Pajak JDU

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi

wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi

biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah

dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang

lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas

tanah dan/atau bangunan.

Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh

dibebankan sebagai biaya adalah:

1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)

2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)

3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi

persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h

Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan

kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu

dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian

yang diderita karena bencana dimaksud.

Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang

perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam

berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan

bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif

masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan

bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.

18

Page 19: Makalah Hukum Pajak JDU

4.2 Saran

Sebaiknya perlakuan pajak atas pengalihan harta dimaksud diubah dengan

mengenakan pajak final terhadap wajib pajak orang pribadi yang tidak

mempunyai usaha, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang kegiatan usahanya

adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai pajak dengan tarif

umum.

Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan perlakuan PPh dimaksud

perlu dipikirkan dan ditentukan dokumen-dokumen yang dapat diterima oleh

fiskus.Pembebanan kerugian atas harta yang tidak dapat atau tidak boleh

disusutkan mungkin dapat dilakukan seperti pembebanan penyusutan atau

amortisasi, artinya tidak dibebankan sekaligus. Hal ini perlu dipikirkan agar

perlakuannya juga seimbang dari sudut pandang Undang-undang PPh. Di samping

itu perlu dipikirkan untuk mengatur prosedur atas penyesuaian setoran PPh dalam

tahun berjalan bagi wajib pajak yang mengalami bencana. Wajib pajak yang

masuk dalam kategori ini perlu mendapatkan perlakuan yang favourable dengan

tujuan agar usahanya dapat bangkit kembali sehingga pada gilirannya akan

meningkatkan kembali setoran PPh-nya seperti sebelum terjadinya bencana.

Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti

mangkir membayar Pajak Penghasilan (PPh) merupakan contoh buruk bagi

masyarakat wajib pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam

hal penunaian kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan

ini tentu saja harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola

pajak. Jika pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh

dan public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari

betapa pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan negaranya. Sebaliknya,

jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah memperlihatkan

keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih sulit

lagi tersadarkan untuk membayar pajak.

19

Page 20: Makalah Hukum Pajak JDU

DAFTAR PUSTAKA

Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung

Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta

Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco,

Bandung

Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat,

Jakarta

Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press

Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan

Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,

Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung

20