28
REINTERPRETASI SERTA REKONSTRUKSI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA MELALUI PARADIGMA FUNGSIONAL Disusun guna memenuhi tugas Filsafat Pancasila UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM

Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pancasila

Citation preview

Page 1: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

REINTERPRETASI SERTA REKONSTRUKSI

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

MELALUI PARADIGMA FUNGSIONAL

Disusun guna memenuhi tugas Filsafat Pancasila

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

Page 2: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

BAB I. PENDAHULUAN.

I.1. Latar Belakang.

Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa

sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal lahirnya Pancasila.

Adalah Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila

tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan

hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau

sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali

applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang

Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada

malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap

pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar

negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu

beliau namakan sebagai filosofische grondslag.

Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara

mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren,

lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun

dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika

pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran

yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa

sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum

satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi

persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat

rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan

terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.

Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai

kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam

perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan

Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti

penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

Page 3: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut

akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa

Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat

dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat

dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir

Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar

negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara

politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara

personal belaka.

Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi

substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang

diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara

kesatuan Republik Indonesia ini. 

Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan

Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan

rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam

istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene

deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara

konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru

sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat  bersisian dalam

masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme,

marxisme“.

Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap

pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa

Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi

Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong“ yang dimaksudkan 

sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara

yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua dan semua buat

satu“. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila

sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun

Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang

Page 4: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin

politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam

konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia

Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan

urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir.

Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih

mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan

lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah

filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs.

Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian

renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan

berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila

belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh

karena belum terdapat  koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang

masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain,

tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga

belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward

Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari

Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi

kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.

Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan

yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang

BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam

rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni

1945 yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa 

secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih

Page 5: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para

pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.

Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat

tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat

yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam

ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta

dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen

bangsa Indonesia yang besar.

Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator

besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan  kesepakatan kolektif

dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan

ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus. Sehubungan dengan itu,

baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan

tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan

proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal

yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah,

lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat

tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan

bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam

suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,

seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang

berdiri sendiri.

Page 6: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

I.2. Tujuan Penulisan.

Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah

pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai

Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra

sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti

ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.

I.3. Rumusan Masalah.

Berikut beberapa permasalahan yang saya angkat dalam pembuatan makalah ini :

1. Bagaimana Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila Sebagai

Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional ?

2. Bagaimanakah keterkaitan antara sila-sila di dalam Pancasila ?

Page 7: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

BAB II. PEMBAHASAN.

Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada

seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux

preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi

kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus

nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal

Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang

melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam

konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran

Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari,

bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam

alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah

lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi

gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan

atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus

dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara

berkelanjutan.

Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap

perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau melahirkan Pancasila pada

tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno

menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri

maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara

lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang

berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika

Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga

beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai marxisme yang diterapkan di

Indonesia, suatu frasa  yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945.

Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap

Page 8: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

pembaruan terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca

terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara

tahun 1965-1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila

sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi

menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir

Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi

kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.

II.1. Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila.

Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang yang

pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi

pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya

secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan adalah mengadakan

reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila,

maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam

Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran yang saya tulis, menjelang munculnya

tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.

Tawaran ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah

suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara

yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia

dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat

norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara pernyataan

kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara

rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat

tugas pokok pemerintah.

Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara

konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang

serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur

penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas

kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya,

seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota

Page 9: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar

suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent

(FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan

substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan

perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi

manusia, saya berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut

secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan

berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.

Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah

berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila

Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir,

sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat

Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam

Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi

manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable

rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam

keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak

atas kebebasan berama, tetapi juga  harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun

agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun

juga.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan,

perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut

Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of

achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama

(yang harus diwujudkan) oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa.

Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan

saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta

instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif

menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan

Page 10: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum

nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah

relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan

dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk

sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi

terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan

Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat

kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam

suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah

menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem

pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang

amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan

serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak

taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.

Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun

1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika“

dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka

Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma“, yang artinya: “walau berbeda-

beda namun tetap satu jua. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A

Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik

di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit,

pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti

pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts

gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum

dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme

pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling

Page 11: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara,

kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam

pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih

dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari

seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan

seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam

instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak

rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak

politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on

Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa

Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri

yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai

hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia apapun makna filsafati

yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta

benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur

penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara

maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum

internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk

memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya,

yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic,

Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam

The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on

the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The

Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights

(1997).

Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai

demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam

Page 12: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk

menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II.2. Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila.

Kita dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir.

Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang

bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua

tugas besar dan berat sekaligus, yaitu

1. Memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat

memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu

membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan

itu, dan

2. Membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar

negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti

itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang

secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada

filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang

dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan

negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana

sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum

sempat ditangani beliau dengan baik.

Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan yang nota bene

sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan

antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan

yang utuh.

Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan

bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan

Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri

khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang

Page 13: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa

Pancasila adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan

kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga

terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta

mekanisme kenegaraan.

Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu

kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan

hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan

menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark,

kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila

sebagai Dasar Negara tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan

bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

II.3. Dimana Letak Kesulitan Penjabaran Pancasila?

Sebuah pertanyaan kecil rasanya perlu diajukan terhadap kenyataan bahwa

demikian lama wacana tentang Pancasila ini hanya berputar-putar pada tataran

yang amat abstrak dan tidak dapat dicari kaitannya dengan mekanisme serta

proses pembuatan kebijakan serta strategi pemerintahan yang akan

melaksanakannya. Mengapa Pancasila yang sampai sekarang masih diakui sebagai

Dasar Negara tidak atau belum dapat ditindaklanjuti secara konsisten dan koheren

ke dalam sistem nasional? Mengapa demikian sulit menjabarkan orthodoxy

Pancasila ke dalam orthopraxis Pancasila ?

Pertanyaan ini mungkin bukan hanya dapat ditujukan terhadap bangsa

Indonesia, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam hal ini

saya merujuk pada pertanyaan Mahbubani (2002) seorang doktor ilmu filsafat

yang berasal dari Singapura yang sangat menggelitik: Mampukah Orang Asia

Berpikir?

Mahbunani mempertanyakan mengapa orang Eropa yang masih

terbelakang sewaktu orang-orang Asia sudah mencapai tingkat peradaban yang

tinggi, kemudian bisa dikalahkan oleh orang-orang Eropa setelah kebangkitan

Page 14: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

mereka yang dimungkinkan oleh Renaissance sekitar abad ke-16 serta kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad ke-17 dan 18. Mahbubani

memberikan tiga kemungkinan jawaban, masing-masing dengan argumen pro-

kontra. Namun bagaimanapun, Mahbubani menunjukkan kenyataan bahwa

kemajuan bangsa-bangsa Eropa dimulai dengan kemajuan dalam cara berpikir,

yang kelihatannya belum berlangsung di Asia pada umumnya, dan di Indonesia

pada khususnya.

Mengenai masalah ini Hajime Nakamura (1971) mengingatkan bahwa

terdapat perbedaan dalam cara berfikir sesama orang Asia, khususnya antara

orang India, Cina, Tibet, dan Jepang. Sayang Nakamura tidak mencantumkan ciri

khas cara berpikir orang Arab, yang dari segi geografis sesungguhnya masih dapat

disebut sebagai orang Asia.

Untuk bangsa Indonesia yang secara kultural  sangat dipengaruhi oleh cara

berpikir India, perlu kita perhatikan pengamatan Nakamura terhadap beberapa ciri

khasnya, yaitu stress on universals, preference for the negative, minimizing

individuality and specific particularities, the concept of the unity of all things, the

static quality of all things, subjective comprehension of personality, subservience

to universals, alienation from the objective natural world, the introspective

character of Indian thought, the metaphysibal character of Indian thought, dan

the spirit of tolerance and conciliation. Sungguh menarik untuk mengetahui

sampai berapa jauhkah pengaruh cara berpikir India tersebut terhadap

kecenderungan mengabstrahir Pancasila pada sisi yang satu dan untuk

menghindari wacana pelaksanaannya pada sisi yang lain. Untuk aspek

pelaksanaan ini, mungkin kita perlu memperhatikan cara berpikir orang Asia

lainnya, yaitu cara berpikir Cina.

Nakamura mencatat hal-hal  berikut tentang cara berpikir Cina: emphasis

on the perception of the concrete, non-development of abstract thought, emphasis

on the particular, conservatism expressed in exaltation of antiquity, fondness for

complex multiplicity expressed in concrete form, formal conformity, the tendency

toward practicality, individualism, esteem for hierarchy, esteem for nature,

reconciling and harmonizing tendencies.

Page 15: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

Sungguh akan sangat menarik jika dapat disusun dan dikembangkan suatu

naskah yang memuat cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, dan cara

berpikir suku-suku bangsa Indonesia pada khususnya, untuk memahami pola serta

dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada khususnya,

yang akan menjadi konteks kultural pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.

Tidak dapat disangkal, bahwa suku bangsa Indonesia yang sangat

dipengaruhi oleh kebudayaan India (baca: Hindu) adalah suku bangsa Jawa, dan

bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh BPUPKI untuk

pulau Jawa, yang dipimpin oleh Dr Radjiman Wedyodiningrat, salah seorang

tokoh Boedi Oetomo yang sangat bernuansa kultur Jawa.

Kelihatannya masih panjang waktu yang harus dilewati sebelum benar-

benar terbentuk suatu cara berpikir yang benar-benar Indonesia, an Indonesian

mindset, yang dapat dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan

melalui rangkaian konsensus-konsensus nasional.

BAB III. KESIMPULAN DAN PENUTUP.

Page 16: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

Suatu masalah dasar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar Negara selain

berubah-ubahnya penjelasan Ir. Soekarno sebagai perumus pertama Pancasila

sebagai respons terhadap kondisi dunia dalam era Perang Dingin adalah belum

jernihnya esensi substansi, keterkaitan antar sila-silanya, hubungannya dengan

pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana format pelaksanaannya

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalah dasar tersebut timbul sebagai akibat interpretasi yang amat

personalistik, elitis, dan miopik terhadap Pancasila, sehingga Pancasila hanya

difahami sebagai hasil karya pemikiran pribadi Ir. Soekarno, dan merupakan

serangkaian asas yang perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para

pemimpin kepada rakyat, serta terbatas pada sejarah Indonesia setelah tahun 1945.

Masalah dasar tersebut di atas akan dapat diselesaikan dengan

menempatkan Pancasila secara historis sebagai kristalisasi dari perjuangan

panjang bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari penjajahan, membentuk

suatu negara nasional baru, serta membangun suatu masyarakat yang adil dan

makmur dalam negara baru yang dibangun bersama tersebut. Oleh karena itu

diperlukan reinterpretasi serta rekonstruksi terhadap Pancasila yang

memungkinkan Pancasila bisa dipahami secara konsisten dan koheren serta dapat

ditindaklanjuti dalam konteks dan dalam kerangka institusional kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menjelang timbulnya berbagai wujud reinterpretasi dan rekonstruksi

lainnya, saya menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu

pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu

kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi

bagian-bagian dari suatu paradigma yang fungsional, dan sesuai dengan

perkembangan dan komitmen mutakhir Republik Indonesia dalam melindungi,

menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, Ke-

Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan

kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai

salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum

Page 17: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik

maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia,

merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa

Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang

memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk

dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah merupakan

penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan

keputusan politik. Dan akhirnya, sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat

Indonesia, merupakan tujuan akhir terbentuknya negara nasional Republik

Indonesia yang merupakan tolok ukur serta benchmark kinerja pemerintah.

Keterkaitan fungsional antara lima sila Pancasila tersebut dapat divisualisasikan

dalam sebuah diagram.

Dewasa ini terdapat cukup banyak kerangka konseptual sebagian di

antaranya sudah merupakan program dan komitmen pemerintah Republik

Indonesia serta wawasan baru dari kalangan terpelajar sendiri untuk

menindaklanjuti sila kelima ini ke dalam kenyataan, seperti Millenium

Development Goals 2015, Prakarsa Pembangunan Manusia Indonesia (PPMI),

Corporate Social Reponsibility, serta Kybernologi.

Ringkasnya, ambiguitas dan ambivalensi terhadap Pancasila dapat diakhiri

dengan mengembangkan sebuah paradigma fungsional terhadap Pancasila, yang

berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan yang

harus diwujudkan serta sebagai benchmark yang harus digunakan untuk

mengukur kinerja pemerintahan pada umumnya serta kinerja presiden dan wakil

presiden pada khususnya.

Page 18: Makalah Filasafat Pancasila (Reinterpretasi Serta Rekonstruksi Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional

DAFTAR BACAAN

UUD 1945 dengan Amandemen.

Notonagoro; “Dasar Falsafah Negara”; Pantjuran Tudjuh; Jakarta; 1974.

Pranarka, Anthonius Moerdyanto Wignyo; “Sejarah Perkembangan Pemikiran

Tentang Pancasila Sebagai Ideologi, Dasar Negara Dan Sumber

Hukum”; PT Citra Aditya Bakti; Bandung; 1994.

Purbopranoto, Kuntjoro; “Pancasila Sebagai Dasar Negara”; Gunung Agung;

Jakarta; 1984.

Http://www.Hukumonline.com/rubrik_hukumpancasila//