37
MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang atau tidak memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum memasyarakat. Menurut Blum, factor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kesehatan manusia dibandingkan dengan factor perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan yang sehat diartikan sebagai lingkungan yang konduktif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman

MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

  • Upload
    eping

  • View
    107

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran

lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan

berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang.

Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat

terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang

atau tidak memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum

memasyarakat.

Menurut Blum, factor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling

besar terhadap kesehatan manusia dibandingkan dengan factor perilaku,

pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan yang sehat diartikan

sebagai lingkungan yang konduktif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu

lingkungan bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang

memadai, perumahan dan pemukiman sehat, perencanaan kawasan

berwawasan lingkungan dan kehidupan mayarakat yang saling tolong

menolong.

Page 2: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Berbagai penyakit yang timbul di masyarakat sebenarnya merupakan

suatu indicator dari baik buruknya kondisi lingkungan, sebagai contoh yaitu:

leptospirosis.

Untuk itu, makalah ini akan mebahas lebih jauh mengenai leptospirosis

B.   RUMUSAN MASALAH

1.    Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?

2.    Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?

3.    Bagaimanakah tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit

Leptospirosis?

4.    Bagaimanakah patofisiologi penyakit Leptospirosis?

5.    Bagaimanakah epidemiologi penyakit Leptospirosis?

6.    Bagaimanakah penanganan penyakit Leptospirosis?

C.   TUJUAN PENULISAN

1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Leptospirosis

2.    Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit

Leptospirosis

4.    Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Leptospirosis

5.    Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Leptospirosis

6.    Untuk mengetahui penanganan penyakit Leptospirosis

                                                               BAB II

PEMBAHASAN

Page 3: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

1.  DEFENISI

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan

hewan. Nama lain dari penyakit ini adalah swineherd’s, demam pesawah

(rice-field fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau

demam canicola. Ada juga yang menyebut

demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning non-

virus.

2.ETIOLOGI

Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral

termasuk ke dalam Ordo  pirochaetales dalam family Trepanometaceae.

Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir

setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat

dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria

menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar

sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya

yang sangat kecil.

Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan

siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu

Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water

born deseasei). 

Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang 

berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20

Page 4: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Lokakarya Nasional Penyakit

Zoonosis  Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang

sumbunya.

 Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar

selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air

kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi

sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba,

kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai),

sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO  et al, 2005).

Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama

leptospirosis karena bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya

reproduksi tinggi. beberapa hewan lain yang juga merupakan sumber

penularan leptospira memiliki potensi penularan ke manusia tidak sebesar

tikus.

Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di

Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat,

Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan

Timur, dan Kalimantan Barat

3.    TANDA DAN GEJALA

Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya

infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja.

Page 5: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga

mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi

sembuh. Menurut WIDARSO, gejala klinis dari  Leptospirosis pada manusia 

bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:

3.1.Stadium pertama 

3.1.1  Demam, menggigil

3.1.2  Sakit kepala

3.1.3  Malaise dan Muntah

3.1.4  Konjungtivis serta kemerahan pada mata

3.1.5  Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala

tersebut akan tampak antara 4-9 hari.

3.2.    Stadium kedua

3.2.1      Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita

3.2.2      Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada

stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)

3.2.3      Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan

terjadi meningitis

3.2.4      Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium

ketiga

3.3.Stadium Ketiga

Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala

klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis

dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :

Page 6: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

3.3.1.    Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian

3.3.2.    Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang

erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic

3.3.3.    Pada hati,  jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan

keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak

3.3.4.    Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat

menyebabkan kematian mendadak

3.3.5.    Pada paru-paru,  hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,

respiratory distress dan cyanosis

3.3.6.    Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)

dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia

3.3.7.    Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan

kecacatan pada bayi.

Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala

abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis .

Pada sapi,muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada

babi, sering muncul gangguan reproduksi .

Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice sampai

abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik;

gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice.

Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang

ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat

Page 7: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

mengakibatkan kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi

muda. 

4.      PATOFISIOLOGI

4.1.  Pre Patogenesis

Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau

selaput lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena

kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau

cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan

atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban

terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini merasuk

ke dalam jaringan tubuh penderita.

4.2.  Patogenesis

Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput

lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena

air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan

memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan

selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel

jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis   156fase leptospiremia, yang

biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi.

4.3.  Pasca patogenesis

 Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang

timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah.

Page 8: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan

kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang

lama. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati

karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada

umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.

5.EPIDEMIOLOGI

5.1.  PERSON (ORANG)

5.1.1    Umur

Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena

kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering

ditemukan pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak

terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.

5.1.2  Jenis kelamin

Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis.

Hal ini diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh

hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar

kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor

resiko tinggi tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis

sebesar 3,59 kali dibandingkan perempuan.

5.1.3  Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko

yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis

waktu menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar

Page 9: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

dengan bakteri leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki,

tangan, dan tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan

air yang tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.

Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit

pekerjaan, karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan,

pemburu bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja

perkebunan, dan para wisatawan pendaki gunung.

5.2.  PLACE (TEMPAT)

Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang

sesuai untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang

basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara

tropik sepanjang tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih

banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko

penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 5-

20/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia

termasuk Indonesia.

Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat,

Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut

teori Faisal, bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama pada air

tergenang seperti di kolam renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab,

tanah rawa dan lumpur di pertambangan dan pertanian/perkebunan.

Page 10: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

5.3.  TIME (WAKTU)

Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar

sehingga frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan

deras akan membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan

yang banjir akan mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui

air. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi

salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host)

yang baru.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga

memberikan peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal

ini sesuai pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan

jumlah penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya

air sampai 3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama

sehabis membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa

alas kaki, air genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama

tikus yang mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber

penularan.

6.  PENANGANAN

6.1.    PENGOBATAN

Cara  mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah

sebagai berikut :

Page 11: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

•     Pemberian suntikan  Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini

pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi  jaundice dengan dosis

6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari

•     Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan  procaine penicillin dengan

jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit

secara i.m, separuh dosis dapat Diberikan selama 5-6 hari. Procaine penicillin

1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah

terjadi albuminuria

•     Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu 

etracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif

dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita

mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan

dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg

setiap 6 jam secara oral selama 6 hari. Erythromycine diberikan dengan dosis

250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.

Terapi dengan antibiotika (streptomisin,khlortetrasiklin, atau

oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya

berhasil. Pemberian  (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan

pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil.  Pemberian oksitetrasiklin

dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak  babi penderita

Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%.

Pemberian per-oral dengan mencampurkan  oksitetrasiklin dengan dosis 500-

Page 12: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat

menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit  pada ternak babi 94%.

6.2.PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS

Menurut WIDARSO  pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan dengan

cara:

•     Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,

berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis

•     Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan

serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah

•     Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu

dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis

•     Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang

tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung

tangan

•     Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan

vaskin strain lokal

•     Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah

penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut

•     Pengamatan terhadap hewan  rodent yang ada disekitar penduduk, terutama

di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap

kuman Leptospirosis

Page 13: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

•     Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir

•     Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

BAB III

PENUTUP

      SIMPULAN

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus

Leptospira yang patogen . Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di

seluruh dunia terutama di daerah tropis termasuk Indonesia . Titik sentral

pcnyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi Leptospira yang

mencemari lingkungan . Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan

hingga berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya .

 Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi Leptospira sangat memakan

waktu . Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara serologis . Uji

serologis merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis, menentukan

prevalensi dan studi epidemiologi . Vaksinasi pada hewan merupakan salah

satu cara pengendalian leptospirosis .Pengembangan vaksin untuk hewan

masih terus dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalen yang

efektif karena Leptospira terdiri dari banyak serovar ..

      SARAN

Pencegahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara

memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau

Page 14: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

hewan kesayangan ; mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi

lingkungan . Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia

memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan

peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya

leptospirosis . Penggunaan vaksin yang sesuai dikombinasikan dengan

perbaikan sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian leptospirosis

pada hewan di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis

Dr Widodo Judarwanto SpA.(2006). Penyakit leptospirosis pada

manusiahttp://indonesiaindonesia.com/f/13740-penyakit-

leptospirosis-manusia/

Priyanto, A, (2006). Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian

Leptospirosis.dari http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto

.pdf.

BAB I

PENDAHULUAN 

Latar Belakang

Page 15: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Anthrax atau penyakit radang limpa merupakan salah satu penyakit zoonosis di Indonesia

yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini selalu muncul setiap tahun serta menyebabkan

kerugian yang besar bagi peternak. Istilah anthrax berarti arang, sebab penyakit ini menimbulkan

gejala pada manusia berupa bisul kehitaman yang jika pecah akan menghasilkan semacam borok

(bubonic palque).

Dahulu, penyakit ini dikatakan sebagai penyakit kutukan karena menyerang orang yang

telah disisihkan di masyarakat, bahkan bangsa Mesir pun pernah terkena panyakit ini kira-kira

4000 tahun sebelum masehi.

Anthrax ditemukan oleh Heinrich Hermann Robert Koch pada tahun 1877, sedangkan

Louis Pasteur adalah ilmuwan pertama penemu vaksin yang efektif untuk Anthrax pada tahun

1881.

Menurut catatan anthrax sudah dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda

tepatnya pada tahun 1884 di daerah teluk Betung, Lampung. Pada tahun 1975, penyakit ini

ditemukan di enam daerah yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Menurut data yang ada saat ini terdapat 11 provinsi

yang endemis anthrak yaitu Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Jawa Barat

(Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Depok), Jawa Tengah (Kota Semarang, Kab. Boyolali), NTB

(Sumbawa, Bima), NTT (Sikka, Ende), Sulawesi Selatan (Makassar, Wajo, Gowa, Maros),

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Papua. Daerah-daerah yang mempunyai catatan sejarah

serangan anthrax akan tetap endemik yang berpotensi kuat untuk serangan berikutnya. Kerugian

yang ditimbulkan oleh penyakit ini cukup signifikan. Hewan akan mengalami penurunan bobot

badan hingga kematian yang cukup banyak karena mudah menular dan bertahan di tanah dalam

jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 50 tahun).

Gambar 1. Peta Daerah Endemik Anthrax

Page 16: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

PenyebabAnthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri gram positif

non motil dan berspora. Di bawah mikroskop tampak terlihat seperti barisan batang panjang

dengan ujung-ujungnya siku, sementara di dalam tubuh inang, Bacillus anthracis tidak terlihat

rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau pendek serta melindungi dirinya dalam

kapsul, dan akan membentuk spora segera setelah berhubungan dengan udara bebas karena 

spora diketahui dapat bertahan hidup bertahun-tahun di dalam tanah yang cocok dan bisa

menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia.  

Photomicrograph dari Bacillus anthracis (fuchsin-metilen biru spora

noda).

Page 17: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Oleh karena itu, bangkai hewan yang positif terkena anthrax atau mati dengan gejala

anthrax tidak diperbolehkan dibedah untuk menutup peluang bakteri anthrax bersinggungan

dengan udara.  Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar.  Semua

peralatan kerja yang pernah bersentuhan dengan hewan sakit harus direbus dengan air mendidih

minimal selama 20 menit. Bacillus anthracis tidak begitu tahan terhadap suhu tinggi dan berbagai

desinfektan dalam bentuk vegetatif.

BAB II

PEMBAHASAN

PENGERTIANBacillus anthracis adalah bakterium Gram-positif berbentuk tangkai yang berukuran

sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.

B. anthracis adalah bakterium pertama yang ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit. Hal ini diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama anthracis berasal dari bahasa Yunani anthrax (ἄνθραξ), yang berarti batu bara, merujuk kepada penghitaman kulit pada korban.

Bakteria ini umumnya terdapat di tanah dalam bentuk spora, dan dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika memasuki sejenis herbivora, bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan tersebut dan akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan tersebut. Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk kembali ke bentuk spora.

Bacillus anthracis mempunyai gen dan ciri-ciri yang menyerupai Bacillus cereus, sejenis bakterium yang biasa ditemukan dalam tanah di seluruh dunia, dan juga menyerupai Bacillus thuringiensis, pantogen kepada larva Lepidoptera.

Page 18: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

KLASIFIKASI ILMIAH

Kerajaan: Bakteria

Filum: Firmicutes

Kelas: Bacilli

Ordo: Bacillales

Famili: Bacillaceae

Genus: Bacillus

Spesies: B. anthracis

Penyakit Antraks (Radang Limpa)

Antraks adalah suatu penyakit akut disertai demam yang ditandai dengan bakteriemia

yang bersifat terminal pada kebanyakan spesies hewan. Antraks merupakan penyakit yang

disebabkan oleh bacillus anthracis, bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan pada manusia.

Jenis Antraks

Penyakit yang ditimbulkan oleh Bacillus anthracis yaitu anthraks kulit, antrakssaluran

pencernaan, antraks saluran pernapasan, dan dapat sampai ke otak yang disebut antraks otak atau

meningitis. Antraks kulit terjadi karena disebabkan infeksi pada kulit sehingga spora Bacillus

anthracis dapat masuk melalui kulit. Antraks saluran pencernaan yang disebabkan karena

spora Bacillus anthracis yang tebawa oleh makanan yang telah terinfeksi dan sampai ke saluran

pencernaan. Antraks saluran pencernaan yang disebabkan karena spora Bacillus anthracis yang

terhirup.

Siklus Hidup

Bacillus antracis mempunyai dua bentuk siklus hidup, yaitu fase vegetatif dan fase spora

Fase Vegetatif

Page 19: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5 mikrometer. Jika spora

antraks memasuki tubuh inang (manusia atau hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan

yang memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian memasuki fase

berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar bentuk vegetatif bakteri antraks

memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung,

mulut, anus, atau pendarahan lainnya. Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di

darah bentuk vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif). Jika kemudian dalam fase

tertidur itu terjadi kontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora

(prosesnya disebut sporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan penyebaran antraks melalui

serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke inang lainnya sehingga terjadi

penularan antraks kulit, akan tetapi hal tersebut masih harus diteliti lebih lanjut.

Fase Spora

Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini bakteri dalam

keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali menjadi bentuk vegetatif

dan memasuki inangnya. Hal ini dapat terjadi karena daya tahan spora antraks yang tinggi untuk

melewati kondisi tak ramah--termasuk panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan

sterilisasi dengan senyawa kimia. Hal itu terjadi ketika spora menempel pada kulit inang yang

terluka, termakan, atau--karena ukurannya yang sangat kecil--terhirup. Begitu spora antraks

memasuki tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif.

Penularan Antraks

Pada hewan, yang menjadi tempat masuknya kuman adalah mulut dan saluran cerna.

Sumber utama infeksi adalah tanah dan air.dalam beberapa kejadian penyakit terbukti bahwa

bahan pakan yang tercemar oleh spora dan kuman, terutama tepung tulang yang ditambahkan ke

dalam ransum menyebabkan terjadinya wabah antraks. Pada kebanyakan kasus antraks terjadi

pada waktu ternak digembalakandi padang rumput. Padang rumput yang baru saja menerima air

berlebihan dari daerah lain merupakan padang penggembalaan yang berbahaya.

Page 20: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Adapun pada manusia penularan penyakit antraks seringnya melalui hal-hal sebagai berikut :

      Kontak langsung dengan bibit penyakit yang ada di tanah/rumput, hewan yang sakit, maupun

bahan-bahan yang berasal dari hewan yang sakit  seperti kulit, daging, tulang dan darah.

      Bibit penyakit terhirup orang yang mengerjakan bulu hewan (domba dll) pada waktu

mensortir. Penyakit dapat ditularkan melalui pernapasan bila seseorang menghirup spora

Antraks.

      Memakan daging hewan yang sakit atau produk asal hewan seperti dendeng, abon dll

Patogenesis Antraks

Kebanyakan infeksi terjadi melalui selaput lendir, selanjutnya kuman akan memasuki

cairan limfe dan kemudian berakhir di dalam darah. Bakteriemia yang terjadi berlangsung

dengan hebatnya dan di dalam darah perifer dapat ditemukan banyak sekali kuman sebanyak

kurang lebih 1 milyar sel kuman dalam tiap milliliter darah (Keppie, 1955)

Basil menyebar melalui saluran getah bening ke dalam aliran darah, kemudian menuju ke

jaringan, terjadilah sepsis yang dapat berakibat kematian.

Pada antraks inhalasi, spora Bacillus anthracis dari debu wol, rambut atau kulit terhirup,

terfagosit di paru-paru, kemudian menuju ke limfe mediastinum dimana terjadi germinasi, diikuti

dengan produksi toksin dan menimbulkan mediastinum haemorrhagic dan sepsis yang berakibat

fatal.

Mekanisme Infeksi

Page 21: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Bakteri antraks masuk ke dalam tubuh dalam bentuk spora, spora kemudian diserang oleh

sistem kekebalan tubuh, dalam sistem kekebalan tubuh, spora aktif dan mulai berkembang biak

dan menghasilkan dua buah racun, yaitu : Edema Toxin meupakan racun yang menyebabkan

makrofag tidak dapat melakukan fagositosis pada bakteri dan Lethal Toxin merupakan racun

yang memaksa makrofag mensekresikan TNF-alpha dan interleukin-1-beta yang menyebabkan

septic shock dan akhirnya kematian, selain itu racun ini dapat menyebabkan bocornya pembuluh

darah. Racun yang dihasilkan oleh Bacillus anthracis mengandung 3 macam protein, yaitu :

antigen pelindung, faktor edema, dan faktor mematikan. Racun memasuki sel tubuh saat antigen

pelindung berikatan dengan faktor edema dan faktor mematikan membentuk kompleks,

kompleks lalu berikatan dengan reseptor dan diendositosis. Di dalam sel faktor edema dan faktor

mematikan lepas dari endositosis.

Gejala Klinis

Pada penyakit yang berlangsung perakut domba dan sapi banyak yang mengalami

kematian dalam waktu singkat. Proses yang berlangsung perakut tersebut biasanya ditandai

dengan gejala klinis berupa hewan tiba-tiba menjadi lemah secara mendadak, demam, sesak

nafas dapat juga disertai kekejangan dan keluarnya darah dari lubang-lubang tubuh. Kematian

berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Beberapa penderita dapat pula

mengalami keluron dan mungkin akan mengalami pembengkakan oedematous yang lunak dan

panas pada jaringan di bawah kulit, terutama pada bagian bawah perut dan pinggang. Lesi

tersebut tidak menghasilkan suara krepitasi pada saat dilakukan palpasi, hal ini disebabkan

karena bacillus anthracis tidak membentuk gas. Pada beberapa kasus juga ditemukan adanya

tinja berdarah.

Kejadian antraks pada kuda juga memiliki gejala klinis sebagaimana disebutkan. Hewan

biasanya juga menunjukkan gejala klinis seperti kolik. Kematian dapat terjadi sehari ataupun

lebih lama bila dibandingkan dengan penyakit pada ruminansia.

Pada Babi, penyakit biasanya berlangsung lebih ringan dan berbentuk sebagai faringitis

dan bersifat subakut. Septisemia tidak ditemukan pada babi Radang yang terdapat pada kelenjar

limferegional yang bersifat septic akan menghilang secara spontan, meskipun tidak ada

pemberian antibiotika.

Page 22: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

Terapi

Banyak hewan terserang antraks ditemukan mati atau dalam keadaan sekarat. Apabila

seekor hewan diketahui sakit, maka pengobatan dengan antibiotika akan membuahkan hasil.

Pengobatan dengan penisilin dan streptomisin dalam dosis tinggi yang diberikan 2 kali sehari

selama beberapa hari biasanya akan memberikan hasil yang baik. Demikian pula dengan

pemberian tetrasiklin yang telah terbukti efektif untuk mengobati antraks. Sebenarnya Antiserum

antraks dapat juga digunakan, namun yang menjadi kendala adalah harganya yang mahal.

Penggunaan antiserum tersebut pada waktu ini sudah sangat terbatas.

Pengendalian

Dalam suatu wabah antraks mungkin dibenarkan untuk memindahkan hewan-hewan dari

padang penggembalaan ke kandang terpisah untuk dilakukan pemeriksaan secara teliti sehari-

hari.

Riwayat tentang vaksin antraks merupakan riwayat yang panjang dan meliputi bakteri

yang aman, namun kurang memberikan perlindungan, sampai vaksin-vaksin yang efektif namun

berbahaya. Vaksin yang sekarang banyak digunakan dalah vaksin spora avirulen dari Stern yang

memiliki keamanan dan efektivitas tinggi. Vaksin tersebut dipersiapkan dari bakteri antraks yang

tidak memiliki selubung. Vaksin teersebut merupakan vaksin hidup, sehingga pada

pemberiannya tidak boleh dikombinasikan dengan pemberian antibiotika. Di daerah yang biasa

terjadi penyakit antraks vaksinasi tahunan perlu diberikan.

Page 23: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pengetahun mengenai B. antrachis, penyebab anthrax, sudah makin banyak diketahui

mulai dari racun penyebabnya sampai kepada genom bakteri tersebut. Dapat diketahui, penyakit

ini bukanlah penyakit ini yang sangat menakutkan seperti AIDS misalnya, karena

dapat disembuhkan. Bila gejala awal segera ditangani, dapat diharapkan kesembuhan total.

Deteksi awal, khususnya seperti dalam "inhaled anthrax", sedang menjadi perhatian khususnya

sejak munculnya bioterorisme baru-baru ini. Tentunya yang paling penting adalah segala

tindakan pencegahan, seperti menghindari daging hewan tertular.

Page 24: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

DAFTAR PUSTAKA

-          http://en.wikipedia.org/wiki/Bacillus_anthracis-          http://www.google.co.id/search?

q=BACILLUS+ANTRAXIS&hl=id&sa=X&prmd=imvns&tbm=isch&tbo=u&source=univ&ei=pSToTsH6AcerrAe-0biuBw&ved=0CEgQsAQ&biw=1366&bih=704

AVIAN INFLUENZALEARNING OBJECTIVE 

1. PENYAKIT INFLUENZA, MELIPUTI; ETIOLOGI

PATOGENESIS

GEJALA KLINIS

DIAGNOSIS

DIFFERENSIAL DIAGNOSA

PENGENDALIAN & PENCEGAHAN

Penyakit Influenza, Meliputi; 

Etiologi 

Flu Burung adalah influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus Avian Influenza

(AI) dari famili Orthomyxoviridae. Virus AI terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda,

yaitu A, B dan C, juga mempunyai sub-tipe yang dibagi berdasarkan permukaannya

yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA), yang terbagi menjadi 16 sub-tipe H

dan 9 sub-tipe N. Virion menciri dari virus influenza A adalah membulat dan

berdiameter 100 nm tetapi lebih sering ditemukan bentuk yang lebih besar dan tidak

beraturan. Terdapat 8 protein virion, lima darinya merupakan protein struktural dan 3

berkaitan dengan polimerase RNA. Terdapat 2 jenis polimer, molekul hemaglutinin (H)

bentuk batang, yang merupakan trimer dan molekul neuramidase (N) bentuk jamur

yang merupakan tetramer. Kedua molekul H dan N itu merupakan lipoprotein dan

Page 25: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

membawa epitop khusus-subtipe (Nazaruddin., 2008). 

Sifat Virus avian influenza adalah dapat meng-hemaglutinasi sel darah merah unggas,

virus influenza ini dapat bertahan hidup pada di air sampai 4 hari pada suhu 220C dan

lebih dari 30 hari pada suhu 00C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang

sakit dapat bertahan lebih lama. Namun, virus ini sensitif terhadap panas pada suhu

560C selama 3 jam atau 600C selama 30 menit, suasana asam pada pH 3

(Nazaruddin., 2008). 

Hospes; Virus influenza H5N1 pada awalnya diperkirakan menyebar melalui burung-

burung liar yang secara periodik melakukan migrasi pada setiap perubahan musim.

Virus kemudian menular ke peternakan unggas. Pada awalnya virus itu hanya mampu

menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat pada sejumlah besar

unggas (Nazaruddin., 2008). 

Schematic representation of influenza A virus. 

http://www.vetscite.org/publish/articles/000041/print.html 

Genom virus influenza A dan B terdiri dari 8 segmen terpisah ditutupi oleh protein

nukleokapsid. Bersama-sama membuat ribonukleoprotein (RNP), dan tiap segmen

memiliki kode untuk protein fungsional yang penting; 

1. Polymerase protein B2 (PB2)

2. Polymerase Protein B1 (PB1)

3. Polymerase protein (PA)

4. Haemagglutinin (H atau HA)

5. Protein nukleokapsid (NP)

6. Neuraminidase (N atau NA)

7. Protein matriks (M); M1 memebangun matriks hanya dalam virus influenza A, M2

berfungsi sebagai pompa saluran ion untuk menurunkan atau mempertahankan

endosom

8. Protein non-struktural (NS); Fungsi NS2 adalah hipotetis (Kamps.,et all. 2007).

Polymerase RNA-RNA aktif, yang bertanggung jawab untuk replikasi dan transkripsi,

dibentuk dari PB2, PB1, dan PA. polymerase tersebut memiliki aktivitas endonuklease

dan diikat RNP. Protein NS1 dan NS2 memiliki fungsi pengaturan untuk mendorong

sintesis komponen-komponen virus dalam sel terinfeksi (Kamps.,et all. 2007). 

Selubung virus adlah dua lapis membrane lemak yang berasal dari sel produksi virus

yang mengandung penonjolan yang jelas dibentuk oleh H dan N, juga protein M2.

Lapisan lemak menutupi matriks yang dibentuk oleh protein M1. Virus influenza C

Page 26: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

mengandung tujuh segmen genom, pemrukaannya hanya mempunyai satu glikoprotein

(Kamps.,et all. 2007). 

Patogenesis 

Patogenesitas merupakan suatu interaksi antara hospes dan virus, maka suatu virus

influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu bersifat

patogenik untuk spesies yang lainnya. Target jaringan atau organ suatu virus mungkin

mempengaruhi tingkat patogenesitasnya. Virus AI dapat diklasifikasikan ke dalam dua

kelompok yaitu bentuk akut yang disebut dengan Highly Pathogenic Avian Influenza

(HPAI) dan yang bentuk ringan disebut Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus

pada unggas yang mempunyai subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai

hubungan yang erat dengan penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga

virus influenza A subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu., 2000). 

Cara penularan; Di alam, yang bertindak sebagai reservoir utama virus AI adalah

unggas air antara lain itik liar, dalam tubuhnya ditemukan semua subtipe yang ada dan

dapat bersembunyi pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan dan menyebar

ke unggas lain melalui inhalasi. Penyebaran flu burung dapat melalui induk semang,

virus dapat menginfeksi segala jenis unggas, sumber penularan terutama pada waktu

unggas air yang bermigrasi dan tingkat patogennya tergantung dari subtipe virus,

spesies unggas dan faktor lingkungan. Penularan avian influenza dapat terjadi melalui

kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi

mengeluarkan virus dari saluran pernapasan konjungtiva dan feses (Nazaruddin.,

2008). 

Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang

tercemar oleh material/debu yang mengandung virus influenza, makanan/minuman,

alat/perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur, nampan telur,

burung dan mamalia yang tercemar virus influenza Lalat juga mempunyai peranan

dalam menyebarkan virus AI. Tinja yang mengandung virus avian influenza dalam 1

gram dapat menginfeksi ayam sebanyak satu juta ekor (Nazaruddin., 2008). 

Agen infeksi lain, faktor lingkungan/stress dapat berpengaruh pada berat/ringannya dari

suatu penyakit. Unggas yang sembuh menjadi carier, sebagai pembawa sifat (Ambar.,

2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan flu burung yaitu kepadatan

penduduk dan kepadatan unggas, virus yang bersirkulasi (H5N1), biosekuriti yang

menurun, kerentanan daya tahan tubuh manusia dan hewan (Nazaruddin., 2008). 

1. Mula- mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein

hemaglutinin.

Page 27: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

2. Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu, berdasarkan

pengamatan sekitar 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah

mencapai 50 %, proses ini sampai semua segmen RNA ke luar ke dalam sitoplasma.

3. Segmen- segmen tersebut masuk ke dalam nucleus dan mengalami transkripsi,

untuk merubah bentuk (-)RNA menjadi (+)RNA.

4. Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein

selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud

adalah HA, NA, M dan NS.

5. Delapan segmen yang berada di inti selditambah dengan segmen RNA yang

masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi, yaiu perbanyakan RNA. Virus RNA

lain, replikasi di luar inri. Selama di dalam inti, AI menggunakan bahan- bahan yamg

diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini yang memudahkan terjadi proses

Antigen drift dan Antigen shift.

6. Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk

dibungkus dengan protein HA, NA, M, serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari

sel hospes. Untuk bisa keluar, virus ini harus menempel pada reseptor dalam sel

hospes. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuroaminidase, berlangsung selama 2

jam sejak infeksi (Rahardjo., 2004).

Gejala Klinis 

Masa inkubasi virus avian influenza bervariasi antara 1-3 hari, masa inkubasi tersebut

tergantung pada dosis virus, rute kontak dan spesies unggas yang diserang. Gejala

penyakit sangat bervariasi dan tergantung pada spesies unggas terinfeksi, subtipe virus

dan faktor lingkungan (Nazaruddin., 2008). 

Gejala yang terlihat dapat berbentuk gangguan pada saluran pernapasan, pencernaan,

reproduksi dan sistem saraf (Rahardjo., 2004). Gejala awal yang dilaporkan adalah

penurunan nafsu makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernapasan seperti

batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi, bulu kusam, pembengkakan (oedema)

muka dan kaki, sianosis pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan

diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri atau dalam bentuk kombinasi (Nazaruddin.,

2008). 

Burung puyuh yang mati menunjukkan gejala klinis, seperti kotoran putih kehijauan,

tidak nafsu makan, dan lemas. Proses kematian tidak terlalu mendadak seperti gejala

AI sebelumnya. Morbiditas dan mortalitas bervariasi dan tergantung pada spesies

unggas, virus, umur, lingkungan (kadar amoniak, ventilasi) dan adanya infeksi

sekunder. Morbiditas dapat sangat tinggi, tetapi sebaliknya mortalitas rendah. Pada

avian influenza yang disebabkan oleh virus yang sangat patogen, maka mortalitas dan

morbiditas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasanya meningkat antara 10-50 kali dari

Page 28: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke-6 sampai ke-7 setelah

timbulnya gejala (Tabbu., 2000). 

Faktor predisposisi seperti lingkungan yang jelek, penggunaan vaksin virus hidup dan

infeksi sekunder oleh virus, bakteri serta mikoplasma dapat memperparah gejala klinis.

(Nazaruddin., 2008). 

Perubahan Patologik 

Perubahan Makroskopik 

Perubahan Makroskopik yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi menurut lokasi

tempat lesi itu ditemukan, derajat keparahan, spesies unggas, dan patogenesitas dari

virus. 

a. Bentuk ringan (Low Pathogenic Avian Influenza) 

Pada sinus mungkin ditemukan adanya salah satu atau campuran eksudat kataralis,

fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Edema disertai eksudat dari serous

sampai kaseus pada trakhea. Kantong udara menebal mengandung eksudat fibrinus

atau kaseus. Pada peritoneum tampak adanya peritonitis fibrinus dan egg peritonitis.

Pada sekum dan usus ditemukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinous (Tabbu.,

2000). 

b. Bentuk akut (Highly Pathogenic Avian Influenza) 

Apabila unggas mati dalam waktu yang singkat, maka biasanya tidak ditemukan adanya

perubahan mikroskopik tertentu oleh karena lesi pada jaringan belum sempat

berkembang Pada sejumlah kasus dapat ditemukan kongesti, hemoragi, transudasi dan

nekrosis. Jika penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan ditemukan adanya foki

neurotik pada hati, limpa, ginjal dan paru (Tabbu., 2000). 

Perubahan mikroskopik 

Lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque ditandai adanya edema, hyperemia, hemoragik

dan perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak,

balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan

degenerasi dan nekrosis pada hati, limpa dan ginjal. Lesi pada otak adanya foci

nekrosis, perivascular cuffing sel limfoid, gliosis, proliferasi pembuluh darah dan

nekrosis neuron. Beberapa virus avian influenza A yang bersifat sangat patogenik

kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan miokarditis (Tabbu., 2000). 

Diagnosis 

Koleksi sampel diambil dari saluran pernapasan (trakea, paru, kantong udara, eksudat

sinus) dan saluran pencernaan (Beard., 1989). Infeksi sistemik yang disebabkan oleh

virus highly pathogenic dimana terjadi viremia, setiap organ dapat digunakan untuk

isolasi virus. Hewan laboratorium yang sering digunakan untuk penelitian adalah ayam,

Page 29: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

kalkun, dan itik. Virus ini juga bereplikasi pada musang, kucing, hamster, tikus, kera dan

babi. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam berembrio yang SPF (Specific

Pathogen Free) umur 10-11 hari, menggunakan jaringan trachea, paru-paru, limpa,

otak, dan atau usapan kloaka ayam sakit atau mati karena virus bereplikasi di dalam

saluran respirasi dan atau saluran pencernaan, hingga embrio mati dalam 42-72 jam

(Tabbu., 2000; Nazaruddin., 2008). 

Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mengetahui adanya pembentukan

antibodi terhadap virus avian influenza A, yang dapat diamati pada hari ke-7 sampai ke-

10 pasca infeksi. Uji serologi yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi

(HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel

presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji lain

untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi adalah netralisasi virus (VN),

neuraminidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi

monoklonal, dan hibridisasi in situ. Pada kasus-kasus di lapangan sering menggunakan

teknik immunoflourescence untuk mengetahui adanya virus influenza dengan cepat

(Tabbu., 2000). 

Differensial Diagnosa 

Diagnosa banding dari virus avian Influenza adalah Newcastle Disease (ND), Pigeon

Paramyxovirus,Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), Avian

Mikoplasmosis. Dari tingkat keganasannya avian Influenza mirip dengan Newcastle

Disease karena gejala klinis dan perubahan patologi anatominya sama. Avian Influenza

juga mirip dengan Infectious Laryngotracheitis (ILT) berdasarkan gejala gangguan

pernapasan dan adanya eksudat bercampur darah dalam lumen trakhea Selain itu AI

juga mirip dengan penyakit bakterial akut

misalnya kolera dan colibacillosis (Nazaruddin., 2008). 

Pengendalian & Pencegahan 

Avian influenza tidak dapat diobati, pemberian antibiotik/antibakteri hanya untuk

mengobati infeksi sekunder oleh bakteri atau mycoplasma. Pengobatan suportif dengan

multivitamin perlu juga dilakukan untuk proses rehabilitasi jaringan yang rusak (Tabbu.,

2000).

Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah mencegah kontak antara

unggas dengan burung liar atau unggas liar, depopulasi atau pemusnahan terbatas di

daerah tertular, pengendalian limbah peternakan unggas, surveilans dan penelusuran,

pengisian kandang kembali atau peremajaan, penerapan kebersihan kandang,

penempatan satu umur dalam peternakan, manajemen flock all-in/all-out,

penyemprotan dengan desinfektan terhadap kandang sebelum pemasukan unggas

Page 30: MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS.docx

atau ayam baru, penerapan stamping out atau pemusnahan menyeluruh di daerah

tertular baru dalam menangani wabah HPAI untuk menghindari resiko terjadinya

penularan kepada manusia, karena bersifat zoonosis, peningkatan kesadaran

masyarakat, serta monitoring dan evaluasi (Nazaruddin., 2008). 

Pencegahan yang lain adalah mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang

mengalir sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan, Tiap orang yang

berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus

menggunakan pelindung (masker, kacamata khusus), Mengkonsumsi daging ayam

yang telah dimasak dengan suhu 800 C selama satu menit, telur unggas dipanaskan

dengan suhu 640 C selama lima menit (Nazaruddin., 2008). 

DAFTAR PUSTAKA 

Kamps.; Hoffmann.; Preiser. 2007. Influenza Report. Indeks. Jakarta. Hal. 102-103 

Nazaruddin., W. 2008. Avian Influenza Pada

Unggas. http://www.vet-klinik.com/Perunggasan/Avian-Influenza-Pada-Unggas.html.

Diakses Pada Tanggal; 2/12/2011 5:43:52 

Rahardjo., Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan:

Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Jakarta: PT Gallus Indonesia Utama 

Tabbu., C.R. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume I. Kanisius. Yogyakarta.

Hal. 232-243.Diposkan oleh andhie Risw di 03.36