Upload
neng-nurmalasari
View
113
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Skrining kanker serviks dengan metode IVA
KELOMPOK E3
Tabita Jane Ayudia 102007128
Alfonsius Rolando Sondakh 102008121
Yosephina Mastiur 102009130
Ari Filologus Sugiarto 102009187
Sari Prasili Suddin 102010029
Emily Nadya Akman 102010115
Fredy Ferdian Pratama 102010117
Cathelin Stella 102010219
Peggy Falentin Loban 102010303
Neng Nurmalasari 102010326
Angela 102010349
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Tahun ajaran 2012/2013
Pendahuluan
Skrining diperlukan untuk mencari penyakit pada subjek yang asimtomatik, untuk kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji diagnostic
untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun
spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki syarat-syarat,
antara lainbegin_of_the_skype_highlighting (1) prevalensi penyakit harus cukup tinggi, (2)
penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan/atau mortalitas yang bermakna apabila tidak
diobati, (3) harus tersedia terapi atau intervensi yang efektif yang dapat mengubah perjalanan
penyakit, dan (4) pengobatan dini harus memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan pengobatan pada kasus yang lanjut.1
Karsinoma serviks uteri
Epidemiologi
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi penyebab
lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di
negara berkembang. Tanpa penatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat
kanker serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.
Faktor etiologi
Faktor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human pavilloma virus (HPV).
HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi
prakanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermis
dan mukosa. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual.
Faktor risiko
Perilaku seksual
Dari studi epidemiologi, kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku seksual,
seperti berganti-ganti mitra seks dan usia melakukan hubungan seks yang pertama. Risiko
meningkat lebih dari sepuluh kali bila mitra seks enam atau lebih, atau bila hubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko akan meningkat apabila hubungan dengan pria
berisiko tinggi mengidap kandiloma akuminatum. Pria berisiko tinggi adalah pria yang
melakukan hubungan seks dengan banyak mitra seks.
Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret
maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbons
heterocyclic amine yang sangat karsinogenik dan mutagen, sedangkan bila dikunyah ia
menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada
getah serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
Ali dkk. Bahkan membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan
DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan neoplasma serviks.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah
kanker. Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta
karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Table. Risiko relative kanker serviks dari beberapa factor
Factor risiko Risiko relative
Usia pertama hubungan seks (tahun)
<16
16-19
>19
16
3
1
Jarak antara hubungan seks pertama
dengan menarche (tahun)
<1
1-5
6-10
>10
26
7
3
1
Jumlah pasangan seks
>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1
pasangan)
3,6
Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun
>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan) 7
Genital wart
Ada (dibandingkan tidak ada) 3,2
Merokok >5 batang perhari
Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun) 4
Perubahan system imun
Perubahan system imun dihubungkan dengan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma
serviks invasive. Hal ini dihubungkan dengan penderita yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan
invasive. 2
Cara penularan kanker serviks
Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak ada tes
umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan ‘status
HPV’, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di mulut, atau
tenggorokan. Bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan pemeriksaan
PCR, tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat dilakukan
pemeriksaan tes DNA HPV.
Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu menular
melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin, yang paling
sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara pasangan berbeda
jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan ketika terinfeksi,
pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.
Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak seksual
dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak menyadari
mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga memungkin
seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV.
Sangat jarang terjadi, seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat menularkan HPV
pada bayinya selama proses persalinan. Dalam kasus ini, anak dapat menderita penyakit yang
disebut Respiratory Juvenille Onset Recurrent Eespiratoru Papillomatosis (JORRP).3
Penanganan kanker serviks
Kanker serviks yang disebabkan virus HPV akan menimbulkan kutil yang akan menghilang
sendiri setelah sistem imun terangsang untuk mengenalinya. Hal ini biasanya terjadi setelah
vaskularisasi atau perdarahan kutil.
Iritasi kutil kulit atau plantar dengan pengolesan asam salisilat, formaldehida, podofilum atau
iritan kulit lain dapat merangsang reaksi imun terhadap kutil. Kutil sering kali muncul
kembali setelah penaganan. Nitrogen cair, bedah baku, atau laser dapat digunakan untuk
mengangkat kutil yang berada di daerah genital atau esophagus.
Pada penderita neoplasma intraepitel serviks, pembedahan berupa konisasi diindikasikan bagi
penderita usia muda dan masih ingin mempunyai anak. Sedangkan, histerektomi
diindikasikan pada multiparietas, penderita di atas 40 tahun, atau lesi dalam pada serviks.4
Early diagnosis
Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan sasaran
perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap
tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia
produktif. Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker)
memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker
leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini
kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat
sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas :
Sasaran yang akan menjalani skrining
WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut : 5
a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap
sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
c. perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal
lainnya
d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya
Diagnosis kanker adalah usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker yang diderita dengan cara
pemeriksaan tertentu. Pemeriksaan yang dilakukan pada kanker leher rahim meliputi :
a. Pemeriksaan Ginekologi
Dengan melakukan Vaginal tauche atau rectal tauche yang berguna untuk mengetahui
keadaan leher rahim serta sangat penting untuk mengetahui stadium kanker leher rahim.
b. Pemeriksaan Pap smear
Pemeriksaan pap smear adalah pemeriksaan sitologi epitel porsio dan leher rahim untuk
menentukan tingkat praganas dan ganas pada portio dan leher rahim serta diagnosa dini
karsinoma leher rahim.
c. Pemeriksaan Kolposkopi
Kolposkopi adalah mikroskop teropong stereoskopis dengan pembesaran yang rendah 10-40
X, dengan kolposkopi maka metaplasia scuomosa infeksi HPV, neoplasma Intraepiteliel
leher rahim akan terlihat putih dengan asam asetat atau tanpa corak pembuluh darah.
Kelemahanya: hanya dapat memeriksa daerah terlihat saja yaitu portio, sedangkan kelainan
pada SCJ dan intraepitel tidak bisa dilihat. 6
d. Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan ini dikerjakan dengan mata telanjang pada beberapa tempat di leher rahim yaitu
dengan cara mengambil sebagian/seluruh tumor dengan menggunakan tang oligator, sampai
jaringan lepas dari tempatnya.
e. Konisasi
Adalah suatu tindakan operasi untuk mengambil sebagian besar jaringan leher rahim
sehingga berbentuk menyerupai kuretase dengan alat di ektoleher rahim dan punkankerknya
pada kanalis servikalis, kemudian dilakukan pemotongan maupun pemeriksaan mikroskopis
secara serial sehingga diagnosa lebih tepat. Konisasi di laksanakan bila hasil pap smear
mencurigakan, biasanya dikerjakan pada karsinoma insitu serta untuk mengatahui apakah
sudah ada penembusan sel kanker dibawah membran basalis. 7
IVA tes
Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya
pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi
visual dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk
kanker leher rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode
skrining IVA itu mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan
kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai
untuk pusat pelayanan sederhana. IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan
cara inspeksi visual pada serviks dengan aplikasi asam asetat. 8
Tabel 3. Perbedaan beberapa metode skrining
Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status
Sitologi
konvensional
(Tes Pap)
Sampel diambil
oleh tenaga
kesehatan dan
diperiksa oleh
sitoteknisi di
laboratorium
Metode yang
telah lama
dipakai
Diterima secara
luas
Pencatatan hasil
pemeriksaan
permanen
Training dan
mekanisme
kontrol kualitas
telah baku
Investasi yang
sederhana pada
program yang
telah ada dapat
Hasil tes tidak
didapat dengan
segera
Diperlukan
sistem yang
efektif untuk
follow up
wanita yang
diperiksa
setelah ada
hasil
pemeriksaan
Diperlukan
transport
bahan sediaan
dari tempat
Telah lama
digunakan di
banyak negara
sejak tahun 1950
Terbukti
menurunkan angka
kematian akibat
kanker leher rahim
di negara-negara
maju
meningkatkan
pelayanan
Spesifisitas tinggi
pemeriksaan ke
laboratorium,
transport hasil
pemeriksaan ke
klinik
Sensitivitas
sedang
Liquid Base
Citology
Sampel diambil
oleh tenaga
kesehatan,
dimasukkan
dalam cairan
fiksasi dan
dikirim untuk
diproses dan di
periksa di
laboratorium
Jarang
diperlukan
pengambilan
sample ulang
bila bahan
sediaan tidak
adekuat
Waktu yang
dibutuhkan
untuk
pembacaan hasil
lebih singkat bila
dilakukan oleh
sitoteknisi yang
berpengalaman
Sampel dapat
digunakan juga
untuk tes
Hasil tes tidak
didapat
dengan segera
Fasilitas
laboratorium
lebih mahal dan
canggih
molekuler
(misalnya HPV
tes)
Tes DNA HPV Tes DNA HPV
secara
molekuler.
Pengambilan
sampel dapat
dilakukan
sendiri oleh
wanita dan
dibawa ke
laboratorium
Pengambilan
sampel lebih
mudah
Proses
pembacaan
otomatis oleh
alat khusus
Dapat
dikombinasi
dengan Tes Pap
untuk
meningkatkan
sensitivitas
Spesifitas tinggi
terutama pada
perempuan >35
tahun
Hasil tes tidak
didapat
dengan segera
Biaya lebih
mahal
Fasilitas
laboratorium
lebih mahal
dan canggih
Perlu reagen
khusus
Spesifitas
rendah pada
perempuan
muda (,35
tahun)
Digunakan secara
komersial di
negara-negara
maju sebagai
tambahan
pemeriksaan
sitologi
Metode Visual
(IVA dan VILI)
Pemulasan leher
rahim dapat
dilakukan oleh
tenaga kesehatan
Mudah dan
murah
Hasil didapat
Spesifitas
rendah,
sehingga
Belum cukup data
dan penelitian yang
mendukung,
yang terlatih
(bidan/
dokter/perawat)
dengan segera
Sarana yang
dibutuhkan
sederhana
Dapat
dikombinasi
dengan
tatalaksana
segera lainnya
yang cukup
dengan
pendekatan
sekali
kunjungan
(single visit
approach)
berisiko
overtreatment
Tidak ada
dokumentasi
hasil
pemeriksaan
Tidak cocok
untuk skrining
pada
perempuan
pasca
menopause
Belum ada
standarisasi
Seringkali perlu
training ulang
untuk tenaga
kesehatan
terutama
sehubungan dengan
efeknya terhadap
penurunan angka
kejadian dan
kematian kanker
leher rahim
Saat ini hanya
direkomendasikan
pada daerah
proyek
Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva
: WHO, 2006.
Program puskesmas akan skrining kanker serviks:
Ketua Yayasan Kanker Indonesi Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks
merupakan salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama
sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan di indonesia. Program ini merupakan langkah
positif menyadarkan kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati.
Dengan target pencapaian 1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini
kanker serviks ditahun 2017.
Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013
dengan waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se DKI Jakarta.
Dimana sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah
diperiksa dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia
DKI Jakarta.9
Tes skrining
Sensitivitas dan spesifisitas
Penilaian uji diagnostic memberikan kemungkinan hasil positif benar, positif semu, negatif
semu, dan negatif benar. Dalam penyajian hasil penelitian diagnostik, keempat kemungkinan
tersebut disusun dalam tabel 2x2. Bila hasil positif benar disebut sel a, hasil positif semu
disebut sel b, hasil negatif semu disebut sel c, dan hasil negatif benar disebut sel d, maka hasil
pengamatan dapat disusun dalam tabel 2x2 seperti pada Tabel 1. Dari tabel 2x2 tersebut dapat
diperoleh beberapa nilai statistik yang memeperlihatkan beberapa akurat suatu uji diagnostik
dibandingkan dengan baku emas. Dari hasil uji diagnosis harus dapat dijawab dua pertanyaan
berikut:
1. Bila subjek benar sakit, harus dicari seberapa besar hasil uji diagnostik positif atau
abnormal. Ini berhubungan dengan sensitivitas. Sensitivitas adalah proporsi subjek yang
sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positifbenar) dibanding seluruh subjek yang sakit
(positif benar + negatif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik tabel 2x2,
senssitivitas = a : (a+c).
2. Bila subjek tidak sakit, seberapa besar kemungkinan bahwa hasil uji negatif berhubungan
dengan spesifisitas, yang menunjukan kemampuan alat diagnostik menentukan bahwa
subjek tidak sakit. Spesifisitas merupakan proporsi subjek sehat yang memberikan hasil
uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek yang tidak
sakit (negatif benar + positif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan
negatif bila dilakukan pada kelompok subjek yang sehat. Dalam tabel hasil uji diagnostik,
spesifitas = d : (b+d).
Tabel 1. Baku emas.1
Sakit Tidak Sakit Jumlah
Positif a b a+b
Negatif c d c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Tabel 1. Memperlihatkan hasil uji diagnostik, yakni hasil yang diperoleh dengan uji yang
diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas. Sel a menunjukkan jumlah
subjek dengan hasil positif benar; sel b = jumlah subjek dengan hasil positif semu, sel c =
subjek dengan hasil negatif semu, sel d= subjek dengan hasil negatif benar. Dari tabel dapat
dihitung:1
Sensitivitas = a/(a+c)
Spesifisitas = d/(b+d)
Nilai prediktif uji positif = sensitivitas * 100%
Nilai prediktif uji negatif = spesifisitas * 100%
Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya, presentase positif palsu
adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang sensitive
sehingga uji itu dapat mengidentifikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka yang terkena
penyakit dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu. Selain itu, ahli
epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk mendeteksi penyakit,
sehingga dihasilkan respon yang terbatas hanya pada kelompok studi yang memang terkena
penyakit dan beberapa positif palsu. Begitu proses skrining selesai, sebuah diagnosis
diperlukan untuk menegakkan penyakit di antara mereka yang diduga memiliki penyakit dan
mengelurkan mereka yang diduga terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.10
Sensitifitas dan spesifisitas banyak digunakan dalam kedokteran untuk uji diagnostik atau
mendeteksi penyakit pada uji tapis. Di samping manfaat yang telah disebutkan, sensitivitas
dan spesifitas memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
1. Sensitivitas dan spesifisitas hanya dapat digunakan untuk konfirmasi penyakit yang telah
diketahui, tetapitidak dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada sekelompok
orang yang belum diketahui kondisinya karena dasar yang digunakan pada perhitungan
sensitivitas dan spesifisitas adalah orang yang telah diketahui kondisinya, sedangkan
dalam kenyataan para klinisi berhadapan degnan orang yang belum diketahui kondisinya.
2. Dengan menggunakan tabel 2x2 sebenarnya terjadi penyederhanaan karena dalam
kenyataan hasil pengobatan tidak selalu dengan sembuh dan tidak sembuh.11
Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu uji untuk
memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes. Semakin
tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh sensitivitas
dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka prevalensi suatu
penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin
sensitive suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan
negatif palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika
melakukan sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentase orang yang tidak sakit di
antara semua partisipan yang memiliki hasil uji negatif. Nilai prediktif uji positif adalah
presentasi positif benar di antara individu yang hasil ujinya positif. Suatu penyakit harus
mencapai tingkat 15%-20% dalam populasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai.
Informasi prevalensi digunakan untuk menghitung dan membagi kelompok studi menjadi
mereka yang terkena penyakit dan mereka yang tidak terkena penyakit.10
Kesimpulan
Skrining kanker serviks telah memberikan dampak yang baik terhadap masalah kanker
serviks. Penurunan jumlah penderita kanker serviks dikarenakan skrining yang dilakukan
pada wanita yang memiliki faktor resiko. Skrining memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas
yang berguna untuk menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji negatif.
Skrining kanker serviks dengan metode IVA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah
Daftar pustaka
1. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologipenelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, 2011.
hal. 219-30.
2. Rasjidi I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based.
Jakarta: EGC;2007.h.6-19
3. Nurwijaya H, Andrijono, Suheimi HK. Cegah dan deteksi kanker serviks. Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2010. hal. 59-60.
4. Manuaba IBG. Penuntun kepaniteraan klinik obstetric dan ginekologi. Edisi !!.
Jakarta: EGC, 200. hal. 317.
5. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to
Essential Practice. Geneva : WHO, 2006.
6. Lestadi J. Penuntun diagnostic praktis sitologi ginekologij apusan pap. Jakarta:
Widya medika. 1997. 1-26
7. Desen Wan. Buku ajar onkologi klinis. Ed 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2008. 492-502.
8. Suharti, Hartono. Makalah inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Palembang: FK
Unair. 2001.
9. Sjamsuddin S. pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Jakarta: EGC 2001; 133
10. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Jakarta: EGC, 2004. hal. 337-47.
11. Budiarta e. metodologi penelitian kedokteran: sebuah pengantar. Jakarta: EGC, 2003.
Hal 184-6.