Upload
sinthia-rahmanita
View
112
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang dokter gigi akan menemukan penyakit vesiculobullous dari mulut
yang dihadapkan dengan kenyataan bahwa banyak penyakit memiliki penampilan
klinis yang serupa. Mukosa oral yang tipis, dimana vesikel dan bula menyebabkan
dengan cepat menjadi bisul, dan borok karena mudah trauma dari gigi dan
makanan, dan menjadi sekunder karena terinfeksi oleh faktor flora. Ini dapat
menyebabkan lesi yang memiliki penampilan khas pada kulit dan memiliki
penampilan yang spesifik pada mukosa mulut.
Pengenalan terhadap berbagai penyakit vesikobullous harus benar-benar
dicermati guna penentuan diagnose yang tepat. Berikut akan dibahas beberapa
penyakit vesicobullous yang termasuk dalam kategori gawat darurat dan
penanganan apa yang harus dokter gigi lakukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Severe Erythema Multiforme
Erythema Multiforme ( EM ) adalah penyakit inflamasi akut pada kulit
dan membrane mukosa yang menyebabkan berbagai variasi lesi kulit, sehingga
dikenal dengan nama “multiforme”. Lesi memiliki bentuk khas yang disebut
sebagai lesi target, disertai dengan vesikel yang mudah rupture dan bullaie,
2.1.1 Etiologi
Erythema Multiforme adalah penyakit yang berhubungan dengan
system imun yang dapat diinisiasikan oleh deposisi dari kompleks imun
pada microvasculature superfisial di kulit dan mukosa, atau imunitas sel.
Eritema multiform merupakan reaksi yang di sebabkan oleh
hipersensitivitas yang timbul baik secara ringan maupun berat yang terjadi
pada kulit maupun membran mukosa, pada banyak kasus biasanya eritema
multiform ini muncul karena adanya faktor lain yang menginisiasi.
Faktor penginisiasi itu sendiri terbagi atas 4:
1. Akibat infeksi : herpes simpleks 1 dan 2, mycoplasma pneumonia, dan
histoplasmosis.
2. akibat pengunaan obat : sulfat, penicillin, dilantin, barbiturate, iodine,
dan salisilat.
3. pengaruh lainnya : malignansi, terapi radiasi, dan vaksinasi.
2.1.2 Pathogenesis
Patofisiologi dari Erythema multiforme belum sepenuhnya
dimengerti, tetapi kemungkinan besar berhubungan dengna sistem
imunitas dan terlihat juga melibatkan reaksi hipersensitifitas yang dapat
dipicu oleh beberapa stimuli.
3
Sel-sel imunitas bertanggung jawab atas destruksi dari sel
epitelial.Pada awal penyakit, epidermis akan diinfiltrasikan oleh limfosit T
dan makrofag, sementara dermis memperlihatkan peningkatan limfosit
CD4. Sel sel imun aktif ini tidak secara langsung bertanggung jawab atas
kematian sel epitel. Tetapi mereka mengeluarkan sitokin yang kemudian
akan menyebabkan reaksi inflamasi dan menyebabkan apoptosis dari sel
epitel.
2.1.3 Diagnosis Banding
Berikut adalah diagnosis banding yang didapat dari erythema
multiforme :
1. Acute Febrile Neutrophilic Dermatosis
2. Acute Hemorrhagic Edema of Infancy
3. Behcet’s Disease
4. Pemphigus
5. Dermatitis kontak
6. Drug Eruptions
7. Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis
8. Urticarial Vasculitis (Plaza, 2013)
2.1.4 Gejala Klinis
1. Temuan di Kulit
EM kebanyakan terjadi pada anak-anak serta dewasa muda dan
jarang terjadi setelah usia 50 tahun. Penyakit ini tergolong akut atau
memiliki serangan yang tiba-tiba, pada kasus yang hebat seringkali disertai
gejala umum seperti demam dan malaise. Dalam waktu kurang dari 24
jam, pasien mendapatkan lesi pada kulit dan mukosa secara tiba-tiba.
Sebelum munculnya lesi, biasanya dalam 3 sampai 7 hari yang merupakan
tahap prodomal penderita akan menderita demam rendah, malaise, dan
sakit kepala
4
Daerah kutaneus yang paling sering terkena adalah tangan, kaki
dan permukaan anggota gerak seperti siku dan lutut. Lesi juga biasanya
terdapat pada wajah dan leher, tetapi hanya kasus berat saja yang sampai
mengenai tenggorokan. Lesi EM pada kulit berupa makula, papula dan
vesikel yang nonspesifik. Secara khas lesi EM di kulit memiliki
karakteristik berupa petechiae di tengah-tengah lesinya. Dikenal juga
sebagai lesi target atau iris lesion, terdiri dari bula sentral atau daerah pucat
yang dikelilingi edema dan berkas erythem.
Gambar 1. Gambaran Lesi Target. Sumber :
(http://adc.bmj.com/content/83/4/347.full waktu akses 15 Maret 2013)
Pada tahap awal penyakit ini terdapat gambaran klinis dimana
terdapat lesi stomatitis dan kutan, dimana tanda berupa macula cincin,
merah putih, konsentrik, berukuran 0,5 sampai 2 cm disebut lesi “target”,
”mata sapi”, atau “iris” yang timbul cepat pada permukaan ekstensor
lengan dan kaki, lutut dan telapak tangan. Leher biasanya bebas dari lesi
kecuali pada kasus yang parah. Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri
dalam jangka waktu 2-3 minggu, tetapi perawatan dilakukan untuk
mempercepat proses penyembuhan.
Gambaran khas bentuk iris (target lesion)
- Tipe makulaeritem
Bagian tengah berupa vesikel atau eritem keunguan dikelilingi
lingkaran kosentris yang pink pucat dan kemudian lingkaran merah.
5
- Tipe vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian
timbul lesi vesiko- bulosa di tengahnya bentuk ini dapat mengenai selaput
lender.
2. Temuan Di Daerah Oral
Lesi Oral biasanya muncul bersamaan dengan lesi kulit pada
kurang lebih 70% Erythema Multiforme. Pada beberapa kasus, lesi oral
adalah daerah yang lebih dominan atau satu-satunya tempat terjadinya
penyakit.
Diagnosis ditegakkan dengan dasar dari gambaran klinis, termasuk
onset dari lesi. Lesi oral dimulai sebagai bula pada dasar eritematus, tetapi
bullae yang masih utuh jarang ditemukan oleh klinisian karena mudah
pecah menjadi ulser iregular.
Lesi Erythema Multiforme berbentuk besar, iregular, dalam, dan
sering berdarah. Lesi dapat terjadi dimana saja pada mukosa oral, tetapi
keterlibatan bibir biasanya sangat menonjol dan keterlibatan gingiva
termasuk jarang. Pada kasus yang parah, bibir akan terlihat tererosi secara
ekstensif, sebagian besar dari mukosa oral akan kehilangan epitel.
Pasien tidak dapat makan atau menelan sekalipun dan
mengeluarkan saliva berwarna darah. Dalam 2 atau 3 hari lesi pada bibir
mulai membentuk krusta. Pada kasus awal, lesi akan hilang dalam waktu 2
minggu, tetapi untuk kasus berat, diperlukan waktu beberapa minggu.
6
Gambar 2. Gambaran Lesi Erythema Multiforme pada mukosa labial
remaja berusia 18 tahun. (Sumber : Burket’s)
2.1.3 Perawatan
Bentuk ringan dari oral Erythema Multiforme dapat dirawat
dengan terapi supportive, termasuk obat kumur antiseptik, anastetik
topikal, dan diet makanan lunak dan cair.
Keberhasilan dari perawatan sangat bergantung kepada
kemampuan untuk menemukan dan menyembuhan faktor yang
menginisiasi, misalnya terkena herpes maka harus di berikan acyclovir
atau valacyclovir untuk penyembuhan herpes itu sendiri tetapi dalam
banyak kasus kronik penghilangan faktor yang menginisiasi tidak selalu
dapat menghilangkan EM itu sendiri, jika dalam kondisi ini maka
pertahanan dari tubuh itu sendiri yang menentukan kesembuhannya.
Untuk kasus EM ringan bersifat simptomatik dapat di berikan
antihistamin, analgesic, dan antipireutik dikombinasi dengan antihistamin
atau penggunaan topical steroid. Steroid sistemik kadang-kadang di
gunakan tetapi untuk perawatan yang terbaik pasien dapat dirujuk ke
bagian unit perawatan yang lebih intensif.
Kasus EM oral sedang sampai berat dapat diobati dengan
kortikosteroid sistemik. Pasien dengan kasus EM recurent yang parah
diobati dengan dapsone, azathioprine, levamisole, atau thalidomide.
7
Semakin cepat perwatan di berikan maka akan mengurangi resiko
bertambah parahnya penyakit.
2.2 Steven’s Johnson Syndrome
Sindroma Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
yang ditandai dengan trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium, dan mata serta
disertai gejala umum yang berat. Penyakit ini merupakan bentuk klinis yang lebih
berat dari erithema multiforme (EM) minor yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas. Pada keadaan klinis yang berat penyakit ini sulit dibedakan
dengan toxic epidermal necrolysis (TEN) dan pemphigus vulgaris
Walaupun bentuk minor dapat terjadi, keterlibatan dari rongga mulut,
rongga hidung, mata, vaginal, urethra, gastrointestinal dan mukosa membrane
saluran pernapasan dapat terjadi. Keterlibatan gastrointestinal dan saluran
pernapasan dapat menyebabkan nekrosis. Stevens Johnsons Syndrome adalah
penyakit sistemiks serius dengan potensi menyebabkan morbiditas yang parah,
dan mungkin kematian.
Walaupun beberapa klasifikasi akan SJS dan TEN telah dibuat, yang
paling simple adalah sebagai berikut :
1. Stevens Johson Syndrome merupakan bentuk minor dari TEN, karena
permukaan tubuh yang terlibat adalah kurang dari 10%
2. Perbatasan antara Stevens Johnson Syndrome dan TEN adalah keterlibatan
permukaan tubuh 10-30%
3. TEN : keterlibatan permukaan tubuh 30% atau lebih
2.2.1 Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan secara pasti karena disebabkan oleh
berbagai factor. Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering
sindrom ini pada orang dewasa dan lansia. . Pada kasus pediatrik, sindrom
ini lebih banyak berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan
ataupun reaksi obat.
Terdapat beberapa katagori etiologi, yaitu sebagai berikut :
8
1. Idiophatic
2. Infeksi :
Penyakit karena infeksi virus dilaporkan telah menyebabkan
Stevens-Johnson Syndrome dan terdiri dari : Herpes simplex
virus, AIDS, Coxsakie, Influenza, Hepatitis, dan Gondongan.
Sementara apabila bakteri terdiri dari : Streptococcus beta
hemolitc, Diphteria, Brucellosis, Mycobacteria, dll.
Kemungkinan Jamur yang dapat menyebabkan adalah :
Coccidiodomycosis, dermatophytosis, histoplasmosis.
4. Obat
Antibiotik (penicillin, ciprofloxacin) adalah penyebab Stevens
Johnson syndrome yang paling umum, diikuti oleh analgesis,
antikonvulsan (phenytoin, carbamezapine, dll.) obat batuk,
NSAIDs, obat psychoepileptic.
2.2.2 Pathogenesis
Reaksi hipersensitifitas yang tertunda dan bersifat idiosinkratik
telah diimplikasikan pada patopysiologi dari Stevens=Johnson Syndrome.
Beberapa populasi memiliki factor resiko terkena yang lebih besar, seperti
pasien dengan immunocompromised (contoh : HIV), dan pasien yang
sedang mengalami radiotherapy untuk pengoabtan kanker.
Presentasi antigen dan produksi dari tumor necrosis factor (TNF)
oleh dendrosit jaringan berakibat pada proliferasi limfosit T dan
meningkatnya cytotoxicity dari sel efektor imun lainnya. Sitotoksis ini
dapat menyebabkan apoptosis sel epidermal dengan beberapa mekanisme
seperti melepaskan enzyme granzyme B dan perforin, yang kemudian akan
menyebabkan apoptosis sel epidermal.
Apoptosis dari keratinocytes (yang disebabkan karena interaksi
antara death-receptor dengan ligand nya, yang ada pada permukaan
keratinocytes) dapat menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel.
9
Kematian keratinocytes juga menyebabkan pemisahan dari
epidermis dan dermis. Setelah kematian selterjadi, sel yang mati kemudian
memprovokasi kebutuhan akan chemokines yang akan meningkatkan
proses inflamasi, sehingga meningkatkan tingkat nekrosis epidermal.
2.2.3 Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari Steven’s Johnson
Syndrome :
1. Luka bakar karena zat kimia dan terbakar
2. Dermatitis Eksfoliatif
3. Keratoconjunctivitis Atopic
4. Sjogren Syndrome
5. Toxic Shock Syndrome
6. Trachoma
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada gejala yang berat
penderita dapat mengalami koma. Mulainya keadaan akut dimulai dari
gejala prodromal (berkisar antara 1-14 hari) berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, lesu, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, nyeri dada, muntah,
pegal otot dan atralgia. Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat.
Stomatitis merupakan gejala awal. Pada sindrom ini terlihat trias kelainan
berupa kelainan kulit, mukosa dan mata.Setelah itu akan timbul lesi di :
1. Kulit, berupa eritema, papula, vesikel atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula
kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut
Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN).
10
Gambar 3. Lesi Stevens Johnson Syndrome pada kulit. Sumber :
http://www.primehealthchannel.com/steven-johnson-syndrome.html)
Lesi dapat dimulai sebagai macula yang kemudian berubah
menjadi papula, vesikel, bullae, plak urtikariall, dan erythema. Pusat dari
lesi ini dapat berbentuk vesicular, purpuric atau nekrotik.
Lesi yang tipikal memiliki bentuk seperti target (pathognomonic).
Tetapi berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua
zona warna. Intinya dapat berbentuk vesicular, purpurik, atau nekrotik,
dan bagian luarnya dikelilingin oleh erythema macular.
Lesi kemudian akan menjadi bullae dan kemudian rupture,
sehingga kulit akan terkelupas. Kulit menjadi mudah terkena infeksi
sekunder.
2. Kelainan mukosa terjadi di orifisium (mulut, tenggorokan dan
genital), berupa vesikel, bula. Vesikel dan bula yang pecah menjadi
erosi dan ekskoriasi, perdarahan dan krusta kehitaman. Juga dapat
membentuk pseudomembran. Kelainan dapat pula menyerang saluran
pencernaan bagian atas (farinf dan esophagus) dan saluran nafas
sehingga penderita tidak dapat menelan dan juga sulit untuk bernafas.
Selain itu dapat juga menyerang mukosa pada urogenital..
11
3. Mata; berupa konjuntiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea. Gejala yang timbul karena penyakit
pada mata adalah : mata merah, berair, terasa kering, perih, gatal,
kelopak mata terasa berat, terasa ada benda asing, penglihatan
berkurang, photophobia.
Gambar 4. Contoh kelainan Stevens Johnson Syndrome pada mukosa dan
mata. Sumber : ( (Langlais & Miller, 2009) Color Atlas of Common Oral
Disease
2.2.5 Penatalaksanaan
Perawatan utama pada SJS yaitu menghentikan agen yang diduga
sebagai penyebab SJS. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
Pada umumnya penderita Sindrom Stevens Johnson datang dengan
keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein secara parenteral.
Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang
terlibat. Managemen caieran diberikan oleh macromolecules dan solusi
saline pada 24 jam pertama. Garam phosphate dibutuhkan apabila terjadi
12
hypophosphatemia. Jumlah cairan pada pasien SJS biasanya kurang dari
pasien luka bakar dengan jumlah luka yang menutupi permukaan tubuh
sama.
2. Pemberian nutrisi melalui pipa nasograstik dilakukan sampai mukosa oral
kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat kumur atau kenalog
in orabase.
3. Pulmonary care termasuk penggunaal aerosol, pengeluaran cairan di
bronchial, dan terapi fisik. Gunakan tranquilizers untuk meningkatkan
pernafasan pasien.
4. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi. Antibiotika yang beresiko
tinggi (B-laktam dan sulfa) jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat
diberikan antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan
dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi
sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,
missal klindamisin.
5. Antihistamin diberikan bila perlu, untuk mengatasi gejala pruritus atau
rasa gatal.
6. Lesi yang terbuka dirawat dengan cara dikompres basah dengan larutan
burowi.
7. Papula dan macula kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit
yang terbuka.
8. Kortikosteroid deksametason secara intravena setiap 6 jam.
9. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal 0,5 mg/kg BB pada hari ke 1
dan seterusnya saat masuk rumah sakit.
10. Untuk mencegah sekuele ocular dapat diberikan obat tetes mata
11. Lakukan prophylaxis untuk tetanus
2.3 Toxic Epidermal Necrotican
TEN disebut juga Lyell’s syndrome merupakan kondisi dermatologis yang
mengancam jiwa, biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap obat. Terdapat
persetujuan dari beberapa literature bahwa TEN merupakan bentuk Steven
13
Johnson Syndrome yang lebih parah. Beberapa penulis mempertimbangkan
adanya tumpang tindih di antara kedua syndrome ini (biasanya di antara 10% san
30% kerusakan kulit) Insidensinya di antara 0,4 dan 1,2 kasus per satu juta orang
setiap tahunnya.
2.3.1 Etiopatogenesis
Secara mikroskopis, TEN menyebabkan kematian sel pada seluruh
epidermis. Keratinosit yang terdapat di bawah epidermis juga mengalami
nekrosis.
TEN merupakan kejadian yang langka dan biasanya merupakan
reaksi yang lebih parah terhadap obat-obatan tertentu. Riwayat karena
penggunaan obat terjadi pada lebih dari 90% pasien TEN. Obat uang
paling banyak terlibat adalah antibiotic seperti sulfonamide, NSAID (),
allopurinol , obat antiretroviral, kortikosteroid, dan anticonvulsant seperti ,
phenytoin, carbamazepine, dan . TEN juga dapat berasal dari imunisasi,
infeksi beberapa agen seperti atau herpes virus dan transplantasi sumsum
tulang atau organ
2.3.2 Manifestasi Klinis
TEN dimulai dari nonspesifik prodormal 1-14 hari seperti demam,
malise, sakit kepala, rhinitis, batul, sore throat, nyeri dada, vomiting, diare,
mialgia dan arthalgia. Pasien sering merasa sakit dan diberikan
antimikroba dan antiinflamasi karena sulitnya menentukan factor
penyebab. Onset penyakit ini yiba-tiba, memiliki periode yang panjang
antara exposure dan timbulnya penyakit.
Pada macular berupa morbiliform rash pertama kali timbul di
wajah,leher,dagu dan area central trunk.bisa jjuga menyebar ke
ekstremitas, dan menyebar ke bagian tubuh lainnya.lesi nya berupa lesi
targetdan positif pada Nikolsy sign.,bentuknya yang tidak teratur dan ,
berupa macula yang pucat. Lesi ini lebih besar dari lesi target.,datar,
beberapa ada yang lembek(flaccid), dan kadang-kadang menimbulkan
14
perdarahan. Lesi meningkat dalam jumlah dan ukuran, biasanya mencapai
puncak dalam 4-5 hari.
Berbeda dengan SJS,TEN mengenai daerah yang lalu, ,diffuse
erythema, lesi macular yang dapat terlihat di peripheral. Pasien TEN akan
kehilangan epidermis. Lapisan epidermis yang nekrotik pada wajah akan
menebar ke bahau dan punggung, berwarna merah dan mengalami erosi.
Pada kasus TEN yang berat, akan melibatkan anggota badan, jari kaki dan
tangan dan bisa kehilangan alis mata dan cilia. Ruam pada membran
mukosa kavitas oral dan vermillion border, rasa terbakar pada conjunctiva,
bibir dan mukosa bukal, edema yang kemudian meluas.Lesi oral
menyebabkan rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan sulit makan,
bernafas dan hypersalivasi, kemudian kan meluas ke gingival, lidah,
pharynk nasal cavity,larynik, esophagus dan batang tenggorokan yang
akan berkembang menjadi otitis media. Pada conjunctiva akan terlihat
inflamasi dan chemosis, vesikulasi dan erosi yang bisa menyebabkan
photophobia , ulcerasi , anterior uveitis, dan panophthalmitis. Pada genital
terdapat lesi bullous, erosive dan atau purulent yang bisa menyebabkan
retensi urin dan phimosis. TEN juga dapat mempengaruhi tractus
gastrointestinal.
Gambar 5 : lesi TEN pada tubuh (Sumber : www.your-doctor.net )
15
Gambar 7 : Lesi TEN pada area mulut (sumber : dermatlas.med.jhmi.edu )
2.3.3 Perawatan
Pasien yang menderita TEN, jika memungkinkan perlu mendapat
perawatan dari seorang dermatologist untuk proses penyembuhan yang
menyeluruh. Pasien TEN dapat menjalani rawat jalan karena tidak begitu
diperlukan perawatan suportif dan pengawasan yang konstan. Hal ini
benar, ketika pasien TEN berada dalam initial stages, pasien merasakan
dirinya sehat dan sulit untuk mau dirawat di rumah sakit. Rujukan kepada
ICU dan burn center bukan sebuah keharusan kecuali penyakit ini
mengalami perluasan ataupun komplikasi. Bila dirawat dengan baik, TEN
dikaitkan dengan sedikit gejala sistemik.
Manajemen perawatan TEN dibagi ke dalam : (1) identifikasi dan
eliminasi agen kausatif yang provokatif (obat-obatan yang
menyebabkan/memperparah infeksi) (2) terapi aktif (3) langkah suportif .
Tidak ada petunjuk perawatan yang jelas pada TEN ini dikarenakan jarang
terjadi dan jarang yang mengancam hidup (life-threatening).
1) Penghilangan Obat-obatan yang Diduga Merugikan.
Obat-obat kausatif harus dengan segera diidentifikasi dan
dihilangkan. Penghentian penggunaan obat yang kausatif ini dapat
16
mengurangi resiko kematian sampai 30% per hari. Penghentian
penggunaan obat-obat ini tidak langsung menghentikan progresi dari
penyakit ini. Sekarang ini, deteksi dari obat-obat kausatif , difokuskan
pada obat yang terakhir dikonsumsi, dan hubungannya dengan
perkembangan gejala-gejala yang terjadi dan episode dari terjadinya TEN.
Biasanya obat yang merugikan ini adalah obat yang dikonsumsi dalam 4
minggu terakhir. Obat-obat ini termasuk antimikroba, analgesik, dan
NSAID.
2) Active Suppression of Disease Progression
Sejumlah obat anti inflamasi dan imunosupresi mempunyai
keuntungan terhadap perawatan TEN. Gambaran burns yang berasal dari
single thermal trauma, mengingat bahwa TEN adalah serangan
immunological-sitotoksik yang berlangsung lebih dari 1 minggu (tidak
hanya 3 atau 4 hari, seperti yang sering dikeluhkan), bergantung pada
detoksifikasi dan ekskresi dari agen-agen offending (merugikan). Harus
dilakukan strategi perawatan untuk fase awal ini, untuk menghilangkan
progresi dari penyakit ini dan membatasi nekrosis kulit dan mukosa dan
juga megurangi sequelae.
3) Glukokortikoid
Pemberian glukokortikois secara sistemik adalah perawatan yang
utama dari TEN untuk waktu yang lama, tetapi dianggap buruk
belakangan ini. Dianggap buruk karena apabila glukokortikoid diberikan
lebih lama dari fase progresinya, maka akan meningkatkan bahaya infeksi
dan mungkin akan meningkatkan kematian.
Jika steroid menghambat progresi dari initial phase, yang
diharapkan pada penyakit sistem imun-mediated, mereka tidak
mengurangi ‘puncak’nya dan fase regresi. Glukokortikoid harus digunakan
dengan secara hati-hati. Jika diberikan, dibutuhkan high initial doses (1-2
mg/kg methyl prednisolone per day given orally) dan progresi penyakit ini
akan berhenti kemudian. Obat ini diberikan sebagai bagian dari total
program jika kondisi fisik pasien memungkinkan.
17
4) Immunoglobulins
Akhir-akhir ini, pemberian immunoglobulins secara intravena
(IVIG)muncul sebagai strategi perawatan yang menjanjikan untuk mem-
blok progresi dari TEN, berdasarkan kandungan immnuglobulin yang
berisi antibodi melawan Fas ligand yang akan mencegah apoptosis cell in
vitro. Dosis IVIG berkisar antara 0.2 -0.75 g/kg BB per hari selama 4 hari
berturut-turut. Pada kebanyakan pasien akan terjadi penurunan progresi
penyakit TEN secara drastis. Walaupun IVIG memberikan hasil yang baik
pada perawatan, nefrophaty jarang terjadi tetapi berbahaya pada gagal
ginjal.
5) Plasmapheresis dan hemodialisis
Berlawanan dengan prinsip yang menyatakan bahwa penghilangan
obat kausatif akan mengehentikan progresi dari TEN.
6) Cyclophosphamide
Adalah inhibitor cell-mediated cytotoxicity. Walaupun, Obat ini
suskes pada sejumlah pasien TEN, obat ini adalah agen immunosupresif
yang dapat menyebabkan TEN.
7) Cyclosporine
Beberapa kasus melaporkan efekasi dari cyclosporine pada TEN.
Cyclosporine berinteraksi dengan metabolism TNF-α.
8) N-Acetylcysteine
Bersama dengan S-adenosyl-L-methionine, N-acetycysteine dapat
berperan melengkapi sel dengan kapasitas antioksidandan dengan
menghambat reaksi cytokine (TNF-α)-mediated immune.
9) Thalidomide
Eksperimen rasional dilakukan menggunakan thalidomide, yang
terkenal sebagai inhibitor TNF-α, memegang peranan yang amat penting
dari sitokin ini pada asal usul TEN.
Pemeliharaan equilibrium hemodinamik, homeostatis protein, dan
elektrolit
18
Perawatan rasional pasien dengan TEN pada luka bakar akan
menggunakan prinsip therapeutic dari luka bakar(contoh : pengaturan
keseimbangan cairan, protein,dan elektrolit; control infeksi; bedah awal
debridement dari lesi di kulit). Proses patologis TEN dengan luka bakar
berbeda. Perbedaan utamanya yaitu vascular damage pada TEN, edema
dan hilangnya cairan pada jaringan interstitial. Hilangnya cairan pada TEN
terjadi lewat evaporasi dari erosi dan akan selanjutanya mencapai fase
puncaknya. Semua faktor ini saling bekerja sama mebuat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dikaitkan dengan TEN.
Shock hemodinamik mungkin terjadi, tetapi jarang terjadi dan jika terjadi,
aka tejadi pada pasien dengan cardiovascular . Juga sakit luka bakar
tingkat dua, akan lebih sakit dari TEN. Tekanan darah, hematokrit, dan
level gas dalam darah, elektorlit dan serum harus selalu dikontrol.
10) Perawatan Antibiotik / Antimikrobial
Akan sering ditemukan bakteri dan kultur jamur dua sampai tiga
kali per minggu dari kulit dan lesi mukosa, darah dan sputum; mukosa oral
dan genital harus sering dipantau dari keberadaan HSV ataupun candida.
Kebanyakan ,pasien diberikan antibiotic hanya jika gejala klinis dari
infeksi sudah muncul. Hal ini mungkin saja, bahwa banyak dokter
menggunakan antibiotic profilaksis untuk pasien yang drug intolerance.
Yang termasuk antibiotic profilaksis adalah sodium penicillin,, 2x 10 juta
unit per hari).
11) Perawatan Suportif
(1) Kulit : Antibiotik dan antiseptic topikal
(2) Mata : Steroid lubricant dan antibiotic drop
(3) Traktus respiratorius : Drainase postural
(4) Alimentation : Local anatesi, mouthwash. High protein diet juga
duanjurkan, walaupun resiko dari septicemia dapat terjadi pada
intravenous lines.
19
2.4 Acute Adrenal Insuficiency (Krisis Addison)
2.4.1 Definisi
Suatu keadaan gawat darurat yang berhubungan dengan
menurunnya atau kekurangan hormon yang relatif dan terjadinya kolaps
sistem kardiovaskuler dan biasanya gejala gejalanya non spesifik, seperti
muntah dan nyeri abdomen.
2.4.2 Patofisiologi
Kortek adrenal memproduksi 3 hormon steroid yaitu hormon
glukokortikoid (kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11-
deoxycoticosterone) dan androgen (dehydroepiandrosterone). Hormon
utama yang penting dalam kejadian suatu krisis adrenal adalah produksi
dari kortisol dan adrenal aldolteron yang sangat sedikit.
Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dan menyediakan zat - zat
melalui proteolisis, penghambat sintesis protein, mobilisasi asam
lemak,dan meningkatkan pengambilan asam amino di hati. Kortisol secara
tidak langsung meningkatkan sekresi insulin untuk mengimbangi
hperglikemi tetapi juga menurunkan sensitivitas dari insulin. Kortisol juga
mempunyai efek anti inflamasi untuk mestabilkan lisosom, menurunkan
respon leukositik dan menghambat produksi sitokin. Aktivitas fagositik
dipertahankan tetapi sel mediated imunity hilang pada keadaan kekurangan
kortisol dan mensupresi sintesis adrenokortikotropik hormon ( ACTH).
Aldosteron di keluarkan sebagai respon terhadap stimulasi dari
angiotensin II melalui system renin angiotensin, hiperkalemi, hiponatremi
dan antagonis dopamin. Efek nya pada target organ primer. Ginjal
meningkatkan reabsorpsi dari natrium dan sekresi dari kalium dan
hidrogen. Mekanismenya masih belum jelas, peningkatan dari natrium dan
kalium mengaktivasi enzim adenosine triphosphatase ( Na/K ATPase)
yang bertangung jawab untuk trasportasi natrium dan juga meningkatkan
aktivitas dari carbonic anhidrase, efek nya adalah meningkatkan volume
intravaskuler. System renin angiotensin-aldosteron tidak dipengaruhi oleh
20
glukokortikoid eksogen dan kekurangan ACTH mempuyai efek yang
sangat kecil untuk kadar aldosteron kekurangan hormon adrenokortikal
menyebabkan efek yang berlawanan dengan hormon ini dan menyebabkan
gejala klinis yang dapat ditemukan pada krisis adrenal.
Berikut adalah bagan yang menggambarkan keadaan yang terjadi
pada krisis Addison: (Gambar 1)
Gambar 8. Dikutip dari Adddison crisis pathway, Widebertha`s MESSAGE
BOARD; available at : http://pages.zdnet.com/nana200 3/id129,html
2.4.3 Insidensi
Insidensi dari krisis adrenal sangat jarang yaitu : sekitar 4 dari
100.000 orang.
2.4.4 Etiologi
Penyebab primer adalah perdarahan kelenjar adrenal bilateral,
trombosis atau nekrosis selama terjadi sepsis atau ketika mendapat
antikoagulan. Bila kehilangan kelenjar adrenal unilateral tidak akan
menyebabkan insufisiensi adrenal.
21
Penyebab sekunder adalah peripartum pituitary infark (Sheehan`s
syndrom), Pituitary apoplexy ( perdarahan pada kelenjar pituitary), trauma
kepala dengan gangguan batang kelenjar pitutari, tetapi biasanya tidak
seberat pada keadaan adrenal insuficiency primer karena sekresi
aldosteron tidak dipengaruhi.
2.4.4 Faktor Resiko
Penggunaan steroid , kurang lebih 20 mg sehari dari prednison atau
persamaannya sekurang kurangnya 5 hari pada 1 tahun terahir, penderita
menerima dosis yang mendekati kadar fisiologis yang dibutuhkan selama
1 bulan untuk memulihkan fungsi dari kelenjar adrenal.
Stres fisiologik yang berat seperti sepsis, trauma, luka bakar,
tindakan pembedahan. Berikut ini adalah keadaan yang terjadi pada
hipotalamik-pituitary- adrenal axis pada keadaan normal, keadaan stress
fisiologis yang berat dan dalam keadaan critical illness. (Gambar 2)
Gambar 9. Aktifitas dari hipotalamus-pituitary-adrenal axis pada
22
A. keadaan normal
B. Respon terhadap stres
C. Dalam keadaan critically illn es
( dikutip dari Corticosteroid Insufficiency in Acuttely ill patiet , N Eng J
Med2003;348:727 -34)
Organisme yang berhubungan dengan krisis adrenal yaitu
haemophilus Influenza, staphilokokus aureus, streptokokus pneumonia,
jamur. Selain itu penggunaan obat inhalasi fluticasone, setelah injeksi
steroid intra artikular, dan pada pengguna obat-obatan ketokonazole,
phenitoin, rifampisin.
2.4.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang mendukung suatu diagnosis krisis adrenal
adalah sebagai berikut :
1. Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh
dengan pemberian resusitasi cairan atau vasopresor.
2. Hipotermia atau hipertermia
3. Yang berhubungan dengan kekurangan kortisol yaitu cepat lelah,
lemah badan, anoreksia, mual mual dan muntah , diare, hipoglikemi,
hipotensi, hiponatremi.
4. Yang berhubungan dengan kekurangan hormon aldosteron yaitu
hiperkalemia dan hipotensi berat yang menetap
5. Lain lain tergantung dari penyebab, mungkin didapatkan panas badan,
nyeria bdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan
kelenjar adrenal.
2.4.6 Pemeriksaan Penunjang
Data laboratorium memperlihatkan kadar glukosa darah yang
rendah. Biasanya kadar natrium plasma juga rendah tetapi jarang dibawah
120 meq/L dan kadar kalium dalah meningkat, tetapi jarang diatas 7
23
meq.L. Penderita biasanya mengalami asidosis dengan kadar bikarbonat
plasma antara 15-20 meq /L. Kadar ureum juga meningkat. Kemungkinan
diagnosa juga dapat di lihat dari adanya eosinofilia dan limpositosis pada
SADT, dan adanya gangguan kadar serum tiroid.
Diagnosa paling spesifik yaitu dengan memeriksa kadar ACTH dan
kortisol, jika terdapat banyak waktu. Serum kotisol biasanya kadarnya
kurang dari 20 mcg/dl tetapi kita dapat menunggu untuk melakukan
pemeriksaan ini bila pasien sudah dapat distabilkan. Jika akan dilakukan
test untuk menstimulasi ACTH setelah memulai stess dose steroid,
pastikanlah steroid sudah diganti ke dexametason karena tidak akan
mempengaruhi test.
Cara melakukan ACTH test adalah pertama tetapkan kadar kortisol
plasma baseline, kemudian berikan ACTH 250 mcg intavena yang diberi
tekanan kemudian pantau serum kortisol 30-60 menit setelah diberikan
ACTH. Kenaikan kurang dari 9 mcg dapat dipikirkan sebagai insuficiensi
adrenal.
Pada foto thorax harus dicari tanda tanda tuberculosis,
histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan lymphoma. Pada pemeriksaan CT
scan abdomen menggambarkan kelenjar adrenal mengalami perdarahan,
atropi, gangguan infiltrasi, penyakit metabolik. Perdarahan adrenal terlihat
sebagai bayangan hiperdens, dan terdapat pembesaran kelenjar adrenal
yang bilateral.
Pada pemeriksaan EKG mempelihatkan adanya pemanjangan dari
interval QT yang dapat mengakibatkan ventikular aritmia, gelombang t
inverted yang dalam dapat terjadi pada akut adrenal krisis.
Pemeriksaan histologis tergantung dari penyebab kegagalan
adrenal. Pada kegagalan adrenokotikal yang primer, terlihat gambaran
infeksi dan penyakit infiltratif. Pada kegagalan adrenokotikal yang
sekunder dapat menyebabkan atrofi kelenjar adrenal. Gambaran dari
perdarahan adrenal bilateral mungkin hanya ditemukan gambaran darah
saja.
24
2.4.7 Penatalaksanaan
1. Cairan isotonik seperti NaCl 9% diberikan untuk menambah volume
dan garam.
2. Jika penderita hipoglikemi dapat di berikan cairan dextrose 50%
Steroid IV secepatnya : dexametason 4 mg atau hydrokortisone 100
mg.
3. Setelah penderita stabil lanjutkan dengan dexametasone 4 mg IV tiap
12 jam atau hydrokortison 100 mg IV tiap 6-8 jam.
4. Obati penyakit dasarnya seperti infeksi dan perdarahan, untuk infeksi
dapat diberikan antibiotik.
5. Untuk meningkatkan tekanan darah dapat diberikan dopamin atau
norepineprin.
6. Terapi pengganti mineralokortikoid dengan fludricortisone
7. Penderita harus dikonsultasikan dengan endokrinologist, spesialis
penyakit infeksi, ahli critical care, kardiologis, ahli bedah.
2.4.8 Prognosa
Pada keadaan tidak didapatkan perdarahan adrenal bilateral,
kemungkinan hidup dari penderita dengan krisis adrenal akut yang
didiagnosa secara cepat dan ditangani secara baik, mendekati penderita
tanpa krisis adrenal dengan tingkat keparahan yang sama. Penderita yang
penyakitnya berkembang menjadi perdarahan sebelum dapat dilakukan
pemeriksaan CT scan atau test hormonal jarang yang dapat bertahan
hidup. Karena insiden dari krisis adrenal dan perdarahan adrenal sulit
diketahui secara pasti maka mortalitas dan morbiditasnya tidak diketahui
dengan jelas.
25
2.5 Pemphigus Vulgaris
2.5.1 Definisi
Pemphigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan
manifestasi berupa kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau
mukosa, di mana system imun tubuh menyerang protein-protein pada
kulit.
2.5.2 Insidensi
Pemphigus biasanya terjadi pada remaja dan orangtua. PV
merupakan bentuk pemphigus yang paling sering terjadi, sekitar 80%
kasus. Telah dilaporkan bahwa pemphigus dalam waktu yang bersamaan
dengan penyakit autoimun lainnya, terutama myasthenia gravis. Pasien
dengan thymoma juga memiliki insidensi tinggi untuk mengalami
pemphigus. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan terjadi pada
pasien dengan kelainan autoimun multiple atau pada pasien yang
mengalami neoplasma seperti lymphoma. Kematian biasanya terjadi pada
pasien yang tua dan pada pasien yang membutuhkan dosis kortikosteroid
yang tinggi yang mana akan menambah infeksi dan septikemia yang
disebabkan oleh bakteri, terutama oleh Staphylococcus aureus.
2.5.3 Patogenesis
Mekanisme yang mendasari penyebab dari lesi intraepitel ini
adalah kerusakan atau hilangnya adhesi intersel akibat autoantibodi IgG,
kadang-kadang IgA dan IgM terutama terhadap desmoglein dapat juga
pada desmoglein sehingga menyebabkan pelepasan sel epitel yang dikenal
dengan akantolisis
Akantolisis terjadi pada lapisan terbawah pada stratum spinosum.
Mikroskop electron menunjukkan awal terjadinya epithelial berubah
karena hilangnya substansi intrcellular cement, yang diikuti dengan
pelebaran dari interseluler space, penghancuran desmosom, dan degenerasi
selular. Acantholysis ini menghasilkan suprabasilar bulla yang besar pada
26
epithelium, sehingga menyebabkan hilangnya daerah kulit dan mukosa.
Perluasan ulserasi yang diikuti ruptur pada lepuhan dapat menyebabkan
rasa sakit, kehilangan cairan dan elektrolit.
2.5.4 Manifestasi klinis
Lesi klasik dari pemphigus adalah bulla berdinding tipis yang
timbul pada kulit yang normal atau mukosa. Bulla secara terus menerus
merusak tetapi selanjutnya memanjang ke sekeliling, dan kemudian
meninggalkan daerah luas kulit yang gundul. Ciri-ciri utama dari penyakit
ini diperoleh dengan memberikan tekanan pada bulla. Pada pasien dengan
PV, bulla diperbesar oleh perluasan permukaan normal. Ciri-ciri lain dari
penyakit ini adalah tekanan pada daerah normal akan menghasilkan
pembentukan bulla baru. Kejadian ini, disebut Nikolsky sign, biasanya
berhubungan dengan pemphigus tetapi juga dapat terjadi pada
epidermolysis bullosa.
Beberapa pasien dengan pemphigus dapat terjadi secara akut, tetapi
pada kebanyakan kasus, penyakit ini terjadi secara lebih lambat, biasanya
memerlukan waktu berbulan-bulan untuk berkembang sampai tingkat
sempurna.
Gambar 10. Gambaran lesi PV pada oral dan tubuh (sumber :
Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed.)
27
2.5.4 Manifestasi oral
80-90% dari pasien dengan pemphigus vulgaris terkadang timbul
lesi oral selama masa sakitnya, dan pada 60% kasus, lesi oral merupakan
tanda pertamanya. Lesi oral dapat timbul sebagai bulla klasik pada dasar
non inflamasi; lebih sering lagi, dokter melihat ulser dangkal yang
irregular, hal ini dikarenakan oleh pecahnya bulla secara terus menerus.
Lapisan tipis epithelium mengelupas dalam pola yang irregular,
meninggalkan dasar yang gundul. Tepi lesi memanjang ke sekelilingnya
selama beberapa minggu sampai mencapai bagian yang lebar di mukosa
oral. Lesi paling sering terjadi pada mukosa bukal, biasanya pada daerah
yang mengalami trauma pada sepanjang bidang oklusal. Palatum dan
gingival merupakan lokasi lesi lainnya.
Gambar 11. Gambaran lesi oral PV (sumber :
Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed.)
Biasanya lesi oral muncul sekitar 4 bulan sebelum timbulnya lesi
pada kulit. Jika perawatan dimulai selama masa ini, penyakitnya akan
lebih mudah untuk dikontrol, dan kemungkinan untuk remisi awal dari
kelainan ini tinggi. Biasanya, diagnosis awal terlewatkan, dan lesi salah
diagnosa menjadi infeksi herpes atau candidiasis. Jika riwayat penyakit
28
dilihat, dokter pasti mampu untuk membedakan lesi pemphigus dari lesi
lainnya dalam kategori RAS. Lesi RAS dapat menjadi parah, tetapi lesi
individual dapat disembuhkan dan timbul kembali. Pada pemphigus, lesi
yang sama berlanjut meluas ke sekelilingnya dalam waktu mingguan
sampai bulanan. Lesi pemphigus tidaklah bulat dan simetris seperti lesi
RAS, tetapi lesinya dangkal dan iregular dan terkadang melepaskan
epitelium pada bagian perifernya. Pada tahap awal penyakit, pengelupasan
pada epitel oral menyerupai mengelupas kulit yang terjadi setelah terbakar
sinar matahari yang parah. Pada beberapa kasus, lesi dimulai pada gingiva
fan dikenal dengan nama desquamative gingivitis. Harus diingat bahwa
desquamative gingivitis bukan diagnosanya sendiri, lesi ini harus dibiopsi
untuk mengetahui kemungkinan lesi ini adalah PV, pemphigus bullous,
pemphigoid membran mukosa, dan lichen planus yag erosif.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui tes laboratorium. PV
didiagnosa dengan biopsy. Biopsi yang baik diambil dari vesikel dan
bullae yang kurang dari 24 jam, karena pada mukosa oral jarang, spesimen
biopsi diambil dari tepi lesi. Specimen diambil pada kulit yang mengalami
denudasi. Jika pasien menunjukan tanda postif dari Nikolsky sign; tekanan
bisa diberikan pada mukosa untuk menghasilkan lesi baru, biopsy bisa
diambil dari lesi baru.
2.5.5 Perawatan
Perawatannya diberikan dosis tinggi corticosteroid sistemik,
biasanya dosis yang diberikan adalah 1 atau 2 mg/kg/d. Kika cortico
steroid diberikan pada jangkan waktu yang panjang, bisa diberikan
azathioprine atau cyclophospamide untuk mengurangi komplikasi dari
penggunaan terapi corticosteroid dalam jangka panjang. Prednisone juga
diberikan untuk membuat penyakit dapat dikontrol, dan ketika sudah
diberikan, dosisnya terus dikurangi.
Pasien yang terkena pada oralnya juga membutuhkan dosis rendah
dari prednisone untuk jangka pendek, hingga bisa dipertimbangkan apakah
29
perlu terapi lainnya tanpa menyebabkan resiko komplikasi tambahan
seperti dyscrasiasis darah, hepatitis, dan meningkatkan malignancy.
Efek samping terkait pemberian kortikosteroid dosis tinggi dalam
jangka panjang, seperti hipertensi, perdarahan gastrointestinal,
osteoporosis, hiperglikemia ditangani oleh bagian penyakit dalam. Efek
samping lainnya adalah kandidiasis, yang terlihat secara klinis di rongga
mulut pasien biasanya dberikan perawatan dengan kortikosteroid, berupa
plak putih dapat diangkat, meninggalkan daerah kemerahan dan rasa perih
pada mukosa bukal dan dorsum lidah. Pasien diberikan obat antijamur
topikal, yaitu nistatin suspensi.
Kebersihan mulut yang optimal sangat penting di dalam perawatan
ini. Keterlibatan gingiva dan jaringan periodontal dapat memberikan
respon berlebihan terhadap plak bakteri. Dalam hal ini, perawatan gigi dan
mulut bertujuan untuk mengurangi produksi autoantibodi sistemik
sehingga diharapkan dapat mengendalikan proses penyakit.
30
BAB III
KESIMPULAN
Erythema multiform, Stevens jhonson’s syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis, Acute Adrenal Insufficiency dan Pemphigus Vulgaris merupakan
beberapa penyakit yang termasuk kategori gawatdarurat. Dalam hal ini, dokter
gigi perlu mengetahui ciri-ciri khas dari setiap penyakit di atas agar mampu
memberikan perawatan yang tepat pada pasien.
Pemphigus vulgaris contohnya, ia merupakan penyakit yang lesi oralnya
muncul 4-6 bulan sebelum terjadi lesi di tubuh. Jika dokter gigi menemukannya,
maka tindakan preventif bisa dilakukan guna mencegah penyebaran lesi yang
lebih massif.
31
DAFTAR PUSTAKA
Addison`s Disease. Medic Alert Foundation International ; California ; available
at : http//www.labtestonline.org/understanding/condition/addisons- disease.html
Addisons Disease or Hypoadrenocorticism ; available at:
http//wheatenguy.tripod.com/addisons.html
Adhiarta, IGN. Soetedjo, Nanny NM. Krisis Adrenal. available
at: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/krisis_adrenal.pdf
Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed, Philadelphia,
Toronto : J.B.Lippincott Co.
Cooper MS,Stewart PM ; Corticosteroid Insufficiency in Acute ill Patient, Review
Article; N Engl J Med 2003 ; 348:8 727-34
http://emedicine.medscape.com/article/116716-overview
Foster, Stephen C. (2012, November 27). Stevens Johnson Syndrome. Retreieved
Maret 17, 2013 from Medscape : http://emedicine.medscape.com/article/1197450-
overview#a0101
Huetther SE. Disorders of Adrenal Gland, Alteration of Hormonal Regulatin.In:
Mc Cance KL, Huether SE. The biologic basis for diseases in adult and children.
5th Edition; 2005: 720-728
Joan Hoffman. 911 Adrenal crisis / Crisis Addison / Adrenal Insuficiency in :
Cushing`s Help and support ; June 2002 available from ; http://www.cushing-
help.com/911.htm
32
Kirkland L. AdrenalCrisis; eMedicine; available at;
http://emedicine.medscape.com/article/116716-overview
Lynette K Nieman . Treatment of Adrenal Insufficiency; Up TO Date Treatment
of Adrenal Insufficiency; available at : http://patients
update.com/topic.asp>file=adrenal/4402
Marina martin MD. Adrenal insufficiency; available at:
http://www.ctm .stanford.edu/06-07/adrenalinsuff-martin-9-18-06.pdf
McPhee SJ. Disorders of the Adrenal Cortex. In: McPhee SJ,Linggapa
VR,Ganong WF.eds. Pathophisiology of Diseases. 4th Edition .New York:
McGraw-Hill; 2003 : 597-61
Oelkers W. Adrenal Insuficiency ; Review article ; N Engl J Med 1996; 335:1206-
12
Plaza, J. A. (2013, February 1). Erythema Multiforme. Retrieved Maret 15, 2013,
from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/1122915-overview
Speiser PW. Adrenal Krisis in : Pediatric Endocrinology.; Schhiner Children`s
Hospital ; New York School of Medicie ; New York City, 2003; available at:
http://www.caresfoundation.org/news-letter/sping 03
WillacyH, Bonsal A. Addisonian Crisis in :Patient Plus original by
doctoroline.nhs.uk,EMIS 2006 ; available at:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40001340