Upload
salma-nadiyah-ridho
View
247
Download
6
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
OM
Citation preview
RED AND WHITE LESIONS OF THE ORAL
MUCOSA:CASE 4 – ORAL LICHEN PLANUS )
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas Blok DSP 5
Dosen Pembina
Farina Pramanik, drg., MM., Sp.RKG.
disusun oleh
Tutor 9
Benazir Amriza D.(160110130117)
Ester Vioni M. (160110130118)
Dhea Ferrani P. (160110130119)
Khodijah Syukriyah (160110130120)
Annisa Putri Jania (160110130121)
Nadia Amanda (160110130122)
Ghinda Nevithya K. (160110130123)
Amira Pradsnya P. (160110130124)
Valencia Ignes (160110130125)
Dikea Feradilla (160110130126)
Cleverys Qisthi P. (160110130127)
Riri Werdhany (160110130128)
Silmi Azhari (160110130129)
Zahra Najmi Afifah (160110130130)
Ridha Widyastuti (160110130131)
Salma Nadiyah R. (160110130133)
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah mata kuliah DSP-5 ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Makalah dengan pokok bahasan Red and White Lesions of The Oral Mucosa ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah DSP-5.
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Dr.Nina Djustiana,
drg., M. Kes.,
2. Pembimbing makalah staf pengajar DSP-5,
3.Teman-teman yang telah memberikan saran yang membangun serta membantu
kelancaran penyelesaian makalah ini.
Penulis sudah berusaha mewujudkan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun
jika masih ada kekurangan penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun.
Terima kasih, dan semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Jatinangor, 7 Februari 2015
Penulis
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Overview Case 3
2.2 Kerangka Konsep 4
2.3 Ilmu Kedokteran Dasar 5
2.4 Oral Lichen Planus 10
2.5 Diagnosis Banding 17
2.6 Epidemiologi kasus 22
2.7Bioetika dan Humaniora 23
BAB III PEMBAHASAN 25
BAB IV KESIMPULAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lichen Planus merupakan kerusakan pada keratinosit basal autoimun
yang dimediasi oleh sel-T dan merupakan suatu penyakit peradangan
mukokutaneus yang menyerang kulit dan mukosa mulut (Cheng S.Y, 2002). Lesi
ini dapat muncul pada mukosa mulut saja, kulit saja, ataupun keduanya. Etiologi
dari lichen planus hingga saat ini belum diketahui, tetapi ada beberapa factor
predisposisi yang dicurigai sebagai pencetus timbulnya lesi. Faktor predisposisi
tersebut antara lain adalah obat, makanan, kebiasaan merokok, kandidiasis oral,
hepatitis C, faktor alergi kontak, dan trauma (Cheng S.Y, 2002).
Manifestasi klinis dari lichen planus terbagi menjadi beberapa macam.
Tipe retikular (92%), plak (36%), dan papula (11%) biasanya bersifat
asimptomatik, bebas dari rasa sakit dan tidak memerlukan perawatan yang
spesifik. Pada sisi lain, tipe atrofik (44%), erosif (9%), dan bullosa/bulla (1%)
biasanya menyebabkan rasa sakit terbakar yang parah dan sukar sembuh terhadap
perawatan konvensional (Cheng S.Y, 2002).
Untuk membedakan lichen planus dengan penyakit lainnya, digunakan
diagnosis banding dengan tujuan untuk menentukan diagnosa yang tepat.
Diagnosis banding dari lichen planus antara lain adalah geografic tongue (Benign
Migratory Glossitis), Leukoplakia, Frictional keratosis, Muccous Membrane
Pemfigoid, Pemfigus fulgaris. Penyakit-penyakit tersebut memiliki gambaran lesi
yang menyerupai lichen planus. Oleh karena itu, sebagai dokter gigi harus dapat
membedakannya dengan seksama untuk menentukan diagnosis, karena akan
berpengaruh juga terhadap perawatannya. Tanpa diagnosis yang tepat akan dapat
menyulitkan dokter gigi dalam memberikan pengobatan dan perawatan yang
maksimal.
Perawatan pada lichen planus dapat digunakan berdasarkan gejala dan
tipe dari lichen planus tersebut. Pengobatan lichen planus dapat berupa
kortikosteroid topikal atau intralesional, retinoid topikal atau sistemik, tacrolimus
atau thalidomide topikal. Pada lichen planus yang timbul tanpa gejala seperti
pada tipe retikuler, plak, dan papula biasanya digunakan kortikosteroid topical.
Sedangkan pada tipe atrofi, erosive dan bula, biasanya digunakan kortikosteroid
encer. Pasien lichen planus biasanya tidak dapat sembuh total, karena lesi
tersebut akan timbul rekuren. Kebersihan oral dari pasien juga harus
dioptimalkan.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana rumusan diagnosis kasus berdasarkan anamnesis, tanda-
gejala klinis, faktor etiologi atau predisposisi penyakit, dan diagnosis
banding?
b. Bagaimana kerangka konsep dalam menganalisis kasus?
c. Bagaimana ilmu kedokteran dasar terkait kasus?
d. Bagaimana perbedaan tanda-gejala klinis kasus dengan diagnosis
bandingnya?
e. Bagaimana etiopatogenesis kasus?
f. Bagaimana tatalaksana kasus sesuai dengan konsep patofisiologis kasus?
g. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan rujukan yang tepat terkait kasus?
h. Bagaimana cara mengaplikasikan konsep bioetik humaniora dan
profesionalisme pada kasus?
i. Bagaimana epidemiologi kasus?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Bagaimana rumusan diagnosis kasus berdasarkan anamnesis, tanda-
gejala klinis, faktor etiologi atau predisposisi penyakit, dan diagnosis
banding?
b. Bagaimana kerangka konsep dalam menganalisis kasus?
c. Bagaimana ilmu kedokteran dasar terkait kasus?
d. Bagaimana perbedaan tanda-gejala klinis kasus dengan diagnosis
bandingnya?
e. Bagaimana etiopatogenesis kasus?
f. Bagaimana tatalaksana kasus sesuai dengan konsep patofisiologis kasus?
g. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan rujukan yang tepat terkait kasus?
h. Bagaimana cara mengaplikasikan konsep bioetik humaniora dan
profesionalisme pada kasus?
i. Bagaimana epidemiologi kasus?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Overview Kasus
2.1.1. Identitas Pasien
Nama : -
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
2.1.2. Anamnesa
Rasa mulut terbakar dan lidah kasar sejak 6 tahun lalu
Mulut sakit saat makan makanan pedas dan panas
Telah diobati obat topikal (histatin, benzidomine, hidroklorida, dan
obat kumur klorhexidine) tapi lesi tidak pernah sembuh
Pasien menderita diabetes melitus tipe 2, telah diobati dengan
glibenklamide sejak 5 tahun lalu
2.1.3. Hasil Pemeriksaan
2.4.6.1. Ekstraoral
Tidak ada kelainan (TAK)
2.4.6.2. Intraoral
Lesi erosif, deskuamatif pada ginggiva
Lesi erosif dibatasi striae keratotik pada mukosa bukal kanan
dan kiri (bilateral)
Lesi putih keratotik pada dorsal lidah
Gigi 36,37 terdapat tambalan amalgam
2.1.4. Diagnosis
Oral Lichen Planus
2.1.5. Diagnosis Banding
Erythema Multiforme
Graft-versus-host disease
Candidiasis
Lupus erithematous
Geographic Tongue
Leukoplakia
Pemphigus
Eriteroplakia
2.2. Kerangka Konsep
2.3. Ilmu Kedokteran Dasar
ANAMNESA
Mulut terasa terbakar, lidah panas (6 bulan)
TANDA DAN GEJALA KLINIS
Ditemukan lesi deskuamatif pada gingival Lidah tampah lesi erosif dibatasi oleh striae
putih keratonik Gigi 36,37 terdapat tambalan amalgam
DIAGNOSIS : OLP
PATOGENESIS OLP
Peningkatan produksi sitokin
ETIOLOGI
Penyakit autoimun yg di mediasi oleh sel T pemicu
apoptosis
ILMU KED. DASAR
Mukosa mulut, lidah
DIAGNOSIS BANDING
Leukoplakia, Geographic tongue, Pemphigoid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENATALAKSANAAN
Farmakologi dan non-farmakologiRUJUKAN
Jaringan Periodontal
Jaringan periodontal adalah jaringan pendukung gigi, di mana fungsinya dalam sistem stomatognatik secara umum adalah untuk menahan dampak tekanan oklusal (shock absorption). Jaringan periodontal terdiri atas empat komponen utama yaitu gusi/gingiva, ligament periodontal, sementum, dan tulang alveolar.
Gingiva
Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut, melekat dan menutupi prosesus alveolaris dan cervical gigi. Pada permukaan vestibulum di kedua rahang, gingiva secara jelas dibatasi mukosa mulut yang lebih dapat bergerak oleh garis yang bergelombang disebut perlekatan mukogingiva. Garis demarkasi yang sama juga ditemukan pada aspek lingual mandibular antara gingival dan mukosa mulut. Pada palatum, gingiva menyatu dengan palatum dan tidak ada perlekatan mukogingiva yang nyata
Anatomi gingiva
Gambaran jaringan gingival yang sehat, memperlihatkan gambaran gingiva margin, attached gingiva, dan sulcus gingiva (Nield-Gehrig, 2003)
Gingiva dibagi berdasarkan daerahnya, menjadi:
Gingiva bebas (margin gingiva)
Adalah bagian gingival yang terletak pada daerah korona gigi dan tidak melekat pada gingiva. Merupakan daerah pinggir gingiva yang menyelimuti gigi seperti kerah baju, membentuk dinding jaringan lunak sulkus gigi dan dapat dipisahkan dari gigi dengan menggunakan probe periodontal. Dekat margin gingiva tersebut terdapat suatu alur dangkal, disebut sebagai sulkus gingiva, yang merupakan kelanjutan dari marginal gingiva. Pada gingiva yang sehat margin gingiva berukuran lebar kurang lebih 1 mm, bervariasi sekitar 0.5-2 mm. Pada 50% kasus, batas marginal gingiva dipisahkan dari gusi cekat oleh free gingiva groove. Berukuran lebar kurang lebih 1 mm.
Gusi cekat (attached gingiva)
Adalah perluasan dari marginal gingiva. Bersifat tegas, kenyal, terikat kuat pada periosteum tulang alveolar di bawahnya. Permukaan luar attached gingiva ini terus meluas dari free gingival groove sampai mucogingival junction, yaitu mukosa alveolar yang lebih kendur dan dapat digerakkan. Attached gingiva adalah bagian yang berkeratinisasi dan warnanya bervariasi dari pink terang hingga gelap, dan mungkin mengandung pigmen melanin.
Gingiva interdental
Mengisi embrasure gingiva, yaitu daerah interproksimal di bawah tempat berkontaknya gigi. Berbentuk piramidal atau seperti lebah, pada bagian fasial dan lingual terdapat lekukan sesuai dengan kontak interproksimal
Papilla interdental (ditunjuk oleh tanda panah), dengan bagian tengah dibentuk oleh attached gingiva. Bentuk dari papilla tergantung pada ukuran
gingival embrasure (Newman, 2006)
Gambaran mikroskopis
Epitel gingiva
Terdiri atas epitel gepeng berlapis.
Epitel gepeng berlapis yang melapisi rongga mulut tanpa keratin atau parakeratin, menutupi puncak dan permukaan luar margin gingiva dan permukaan gingiva cekat.
Epitel sulkus adalah epitel gepeng berlapis tidak berkeratin, dilapisi juga oleh membrane semipermeable yang dapat menghambat produk bakteri masuk ke gingiva.
Variasi epitel gingiva: berkeratin (A), nonkeratin (B), parakeratin (C)
Jaringan ikat gingiva
Jaringan ikat atau lamina propria terdiri atas lapisan papilari dan lapisan retikular. Terdiri atas bagian seluler (fibroblast) dan interseluler (proteoglikan, glikoprotein terutama fibronektin). Fibroblas berfungsi untuk mensintesis kolagen dan serat-serat elastik, juga memiliki fungsi pertahanan karena terdapat sel mast, sel plasma, dan limfosit.
Jaringan ikat margin gingiva dipadati oleh kolagen tebal, disebut serat-serat gingival. Berfungsi untuk:
a. Menahan margin gingiva dengan kuat pada gigi
b. Menahan daya kunyah
c. Menyatukan margin gingiva dengan sementum dan gingiva cekat.
Gambaran histologis gingiva normal digambarkan berikut ini. Membrana basalis (B) terlhat di antara epitel dan jaringan pengikat (C). Pada epitelium, materi glikoprotein terbentuk di sell dan sell membrane dari lapisan superfisial (H) dan lapisan granular (G). Jaringan pengikat memperlihatkan gambaran fiber kolagen, substansi amorf dan diffuse. Terlihat juga gambaran pembuluh darah pada jaringan pengikat (P).
Gambaran histologis gingiva normal (Newman, 2006)
Suplai darah, limfa, dan saraf.
Jaringan gingiva kaya akan suplai darah, yang berasal dari tiga sumber utama, yaitu arteri supraperiosteal, pembuluh darah dari ligament periodontal, dan arteriola dari puncak septum interdental.
Arteri supraperiosteal adalah arteri yang terletak lebih superfisial dari periosteum, mencapai gingiva pada daerah yang berbeda di rongga mulut dari cabang arteri alveolar yaitu arteri infra orbital, nasopalatina, palatal, bukal, mental dan lingual . Pembuluh-pembuluh ini membentuk cabang pada seluruh permukaan facial dan oral processus alveolaris. Cabang-cabang arteri alveolar selanjutnya
memasuki septum interdental. Kapiler dalam jumlah besar terlihat di bawah membran dasar epitel sulkular dan oral.
Sistem limfatik berperan dalam menyingkirkan kelebihan cairan, benda asing (sel mati dan protein), mikroorganisme, dan elemen lain berfungsi untuk mengontrol difusi dan penyembuhan pada proses inflamasi.
Pembuluh saraf tersebar di sepanjang jaringan gingiva. Suplai saraf pada periodontal mengikuti pola yang sama dengan distribusi suplai darah.
Lidah
Suatu organ muskular yang berhubungan dengan pengunyahan, pengecapan dan pengucapan yang terletak pada sebagian rongga mulut dan faring. Fungsi lidah adalah merasakan rangsangan rasa dari benda yang masuk ke dalam rongga mulut.
Bagian-bagian lidah
Radiks : melekat pada tulang hyoid dan mandibular, dibagian bawah kedua tulang terdapat otot gniohyoid dan otot mylohyoid.
Korpus : bentuk cembung, bersama apeks membentuk 2/3 anterior lidah. Radiks korpus dipisahkan oleh alur berbentuk “V” disebut sulkus terminalis.
Apeks
Persyarafan Lidah
Terdiri dari 3 bagian
Syaraf sensorik : 2/3 anterior oleh N. Lingualis, 1/3 posterior N. Lingualis, glosofaringeus, dan vagus.
Syaraf pengecap : 2/3 anterior serabut-serabut N. Facialis, 1/3 posterior N. Glosofaringeus.
Syaraf Motorik : mengatur otot-otot lidah; stiloglosus, hioglosus, genioglosus.
2.4. Oral Lichen Planus
2.4.1. Definisi
Oral Lichen Planus merupakan penyakit mucocutaneous
dengan karakteristik lesi putih pada oral.
2.4.2. Etiologi
Etiologi dari OLP adalah adanya destruksi sel keratinosit
pada lapisan basal oleh limfosit T. Faktor lain yang dapat
menyebabkan OLP adalah konsumsi obat-obatan tertentu seperti
antihipertensi, antidiabetik, gold salts, dan NSAIDs, reaksi
terhadap tambalan amalgam dan emas, graft-versus-host disease,
infeksi HIV, Hepatitis C, diabetes, stress, dan trauma.
2.4.3. Manifestasi dan Gejala Klinis OLP
OLP dapat muncul sebagai lesi kecil, putih, panjang seperti
talu dan bertambah banyak, papula ataupun plak, dan dapat
memicu penyakit kerarotik seperti leukoplakia. Lesi atrofik dan
erosi adalah bentuk yang paling sering menimbulkan rasa sakit.
Bagian yang paling umum muncul lesi adalah mukosa bukal,
lidah, gingiva, mukpsa labial dan tipe vermilion dari bibir bawah.
Lesi eritematous menyebabkan gingivitis deskumasi, tipe OLP
yang paling umum, yang muncul dapat berupa plak ataupun papula
kecil, putih, panjang seperti tali dan bertambah banyak, dan dapat
menyerupai friksional keratosis maupun leukoplakia.
2.4.4. Etiopatofisiologi
Etiologi OLP tidak diketahui. Selama beberapa tahun terakhir,
telah menjadi lebih jelas bahwa sistem kekebalan tubuh memiliki peran
penting dalam pengembangan penyakit ini. Hal ini didukung oleh
karakteristik histopatologis sebuah ikatan subepitel yang terbentuk
infiltrat yang didominasi oleh limfosit T, makrofag, dan degenerasi sel-
sel basal yang dikenal sebagai degenerasi pencairan (Gambar 17).
Gambaran ini dapat ditafsirkan sebagai ekspresi dari sel yang
dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh yang terlibat dalam patogenesis
OLP melalui sitotoksisitas limfosit T yang ditujukan terhadap antigen
yang diekspresikan oleh lapisan sel basal. Limfosit T yang autoreaktif
mungkin merupakan kepentingan utama yang diperlukan untuk
pengembangan lichen planus oral ini.
Sel-sel ini tidak dapat membedakan antara molekul yang melekat
pada tubuh dan antigen asing. Aktivasi limfosit T yang autoreaktif adalah
proses yang mungkin timbul di bagian lain dari tubuh selain dari mukosa
mulut dan mungkin bahkan tidak terjadi dengan timbulnya lesi mukosa.
Kemungkinan besar, ini bukan salah satu peptida tunggal yang
memiliki potensi untuk memnimbulkan respon inflamasi, namun
beberapa ketergantungan pada spesifisitas limfosit T autoreaktif.
Kesimpulannya adalah bahwa ini merupakan hal yang rumit untuk
mengidentifikasi faktor etiologi tunggal dari OLP.
Faktor-faktor lain, seperti stres, mungkin juga penting dalam
menyebabkan proses inflamasi. Sudah lazim bahwa pasien melaporkan
bahwa mereka telah terkena faktor sosial yang negatif beberapa bulan
sebelum onset penyakit. Secara keseluruhan, ini menunjukkan etiologi
dari OLP terdiri dari banyak faktor yang mungkin terjadi di titik waktu
yang berbeda.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara OLP dan Virus
hepatitis C (HCV) telah dijelaskan dalam populasi di Jepang dan
beberapa negara Mediterania. Hubungan ini belum diamati di negara-
negara Eropa Utara atau Amerika Serikat. Selain itu, tidak ada hubungan
yang telah dilaporkan dari Mesir dan Nigeria, negara dengan prevalensi
HCV sangat tinggi. Telah didalilkan bahwa hubungan tersebut mungkin
terkait dengan variabilitas genetik antar negara. Hal ini sebagian
didukung oleh penelitian alel yang spesifik dari histokompabilitas
kompleks mayor, seperti HLA-DR6, lebih banyak terjadi pada pasien
Italia dengan OLP terkait HCV. Namun, tidak ada penjelasan akhir
mengenai hubungan antara OLP dan HCV.
OLP adalah penyakit autoimun mediasi sel T namun
penyebabnya tidak diketahui secara pasti pada kebanyakan kasus.
Peningkatan produksi sitokin TH1 merupakan kunci dan penanda awal
terjadinya LP, yang diinduksi secara genetic, dan adanya polimorfisme
genetikl dari sitokin yang terlihat mendominasi, baik pada lesi yang
berkembang hanya pada mulut (diasosiasikan dengan interferon-gamma
(IFN-ϒ)) atau pada mulut dan kulit (diasosiasikan dengan tumor necrosis
factor alpha (TNF-α)).
Sel T yang teraktivasi kemudian akan tertarik dan bermigrasi
melalui epithelium mulut, lebih jauh akan tertarik oleh adhesi molekul
interseluller (ICAM-1 DAN VCAM), regulasi ke atas dari protein
matriks ekstraseluler membrane dasar epithelial, termasuk kolagen tipe
IV dan VII, laminin dan integrin, dan kemungkinan oleh jalur sinyal CX
CR3 dan CCR5. Sitokin disekresi oleh keratinosit misalnya TNF-α dan
interleukin (IL)-1, IL-8, IL-10, dan IL-12 yang juga kemotaktik untuk
limfosit. Sel T kemudian akan berikatan pada keratinosit dan IFN-ϒ, dan
regulasi berkelanjutan dari p653, matriks metalloproteinase 1 (MMP1)
dan MMP3 memicu proses kematian sel (apoptosis), yang akan
menghancurkan sel basal epithelial.
Perjalanan kronis dari OLP merupakan hasil dari aktivasi faktor
nuclear mediator inflamasi kappa B (NF-κB), dan inhibisi dari jalur
pengontrol faktor pertumbuhan transformasi (TGF-beta/smad) yang
menyebabkan hiperpoliferasi keratinosit yang memicu timbulnya lesi
putih.
2.4.5. Treatment
Karena etiologi OLP tidak diketahui, terdapat kurangnya perkembangan dalam
terapi preventif. Strategi perawatan kini dilakukan untuk mengurangi atau
mengeliminasi gejala. Perawatan Lichen Planus bergantung pada gejala, perluasan
dari keterlibatan oral dan ekstraoral secara klinis, riwayat medis, dan faktor lainnya.
Pasien dengan OLP retikular dan asimptomatik lainnya umumnya tidak
membutuhkan perawatan aktif. Luka mekanis atau iritan seperti tepi restorasi atau
gigi tiruan yang tidak nyaman harus diberi perhatian serius dan perlu dibuat program
untuk mengoptimalkan oral hygiene, terutama pada pasien OLP gingival.
Pasien dengan lesi simptomatik membutuhkan perawatan dengan obat, terkadang
dibutuhkan terapi bedah.
Perawatan dengan agen topikal lebih diutamakan untuk mencegah efek samping.
Namun, agen sistemik mungkin dibutuhkan apabila lesi telah meluas, atau terjadi
penyakit yang bersifat recalcitrant. Obat untuk OLP umumnya bersifat
imunosupresif.
2.4.5.1. Oral Hygiene Treatment dan Penggantian Dental Material pada
Restorasi
Pasien OLP, terutama OLP gingival, membutuhkan oral hygiene
treatment yaitu dengan pengangkatan plak subgingival dan supragingival
dan kalkulus.
Reaksi lichenoid merupakan lesi yang secara klinis dan
histologis terlihat sebagai OLP, namun memiliki etiologi yang dapat
diidentifikasi. Faktor presipitasinya antara lain penyakit Graft-versus-
Host kronis (cGVHD), beberapa material dental, dan berbagai macam
obat.
Dental material yang dapat menyebabkan reaksi lichenoid oral
adalah amalgam, resin komposit, kobalt, dan emas. Namun, lesi dapat
diduga OLP hanya jika berada di dekat restorasi tersebut. Jika terjadi,
maka dibutuhkan penggantian restorasi tersebut.
2.4.5.2. Agen Topikal
Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal dengan potensial sedang seperti
triamcinolone, steroid poten yang terfluorinasi seperti fluocinolone
acetonide dan fluocinonide, dan steroid superpoten terhalogenasi seperti
clobetasol, terbukti efektif pada kebanyakan pasien.
Eliksir seperti dexamethasone, triamcinolone dan clobetasol
dapat digunakan sebagai obat kumur untuk pasien dengan keterlibatan
oral yang difus/ menyebar atau pada kondisi dimana sulit untuk
mengaplikasikan medikasi pada bagian tertentu di dalam mulut.
Pasien harus dinstruksikan untuk mengaplikasikan steroid
(ointment, spray, obat kumur atau bentuk lain) beberapa kali dalam
sehari, untuk menjaga agar obat tetap berkontak dengan mukosa selama
beberapa menit, dan pasien harus menunda makan atau minum selama
satu jam setelahnya.
Mayoritas studi menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal lebih
aman apabila diaplikasikan pada membran mukosa dalam interval waktu
yang pendek, selama 6 bulan, namun terdapat potensi terjadinya supresi
adrenal pada pemakaian dengan jangka waktu lama, terutama pada
penyakit yang sudah kronis, sehingga membutuhkan follow up berkala
dan penanganan yang lebih hati-hati. Supresi adrenal lebih sering terjadi
pada pemakaian steroid sebagai obat kumur.
Kortikosteriod topikal dapat menimbulkan infeksi jamur. Maka
dari itu, dibutuhkan perawatan paralel dengan obat antifungal jika
aplikasinya melebih satu kali dalam sehari.
2.4.5.3. Agen Topikal Lainnya
Agen imunosupresan dan imunomodulator yang lebih poten
seperti inhibitor calcineurin (ciclosporin, tacrolimus atau pimecrolimus)
atau retinoid (tretinoin) dapat membantu. Ciclosporin dapat digunakan
sebagai obat kumur namun mahal dan kurang efektif dibanding
clobetasol topikal dalam menginduksi perbaikan klinis OLP, walaupun
dua jenis obat ini memiliki efek yang hampir sama dalam mengatasi
gejala.
Tacrolimus, 100 kali lebih poten dibanding ciclosporin,
menunjukkan efektifitas tanpa efek samping secara klinis pada beberapa
studi klinis tanpa kelompok kontrol, namun mengakselerasi
karsinogenesis kulit pada kulit sehingga Food and Drug Administration
(FDA) membatasi penggunaannya. Saat ini, terdapat laporan yang
menunjukkan kanker oral pada OLP yang diobati dengan tacrolimus.
Retinoid topikal seperti tretinoin atau isotretinoin telah cukup
banyak digunakan pada pasien OLP, terutama bentuk atrofik-erosif,
dengan perbaikan yang memuaskan namun retinoid memiliki efek
samping dan kurang efektif jika dibanding kortikosteroid topikal.
2.4.5.4. Obat Sistemik
Kortikosteroid sistemik biasanya digunakan pada kasus dimana
aplikasi topikal tidak berhasil, terdapat OLP recalcitrant, erosif atau
eritrematous, atau pada OLP yang menyebar hingga kulit, genital,
esofagus, dan kulit kepala. Prednisolone 40-80 mg tiap hari biasanya
cukup untuk mendapat respon perbaikan. Toksisitas yang mungkin
timbul membuatnya hanya diresepkan apabila benar-benar dibutuhkan,
pada dosis terendah, dan untuk jangka waktu terpendek yang paling
memungkinkan.
2.4.5.5. Bedah
Cryosurgery telah digunakan secara khusus pada OLP erosif
yang resisten terhadap obat, tetapi lesi ini dapat berkembang berbekas.
Laser juga telah digunakan untuk merawat OLP. Laser karbon
dioksida digunakan pada lesi multisentrik atau area yang sulit dijangkau.
2.4.5.6. Surveillance Kanker
Pasien dengan OLP simptomatik membutuhkan monitoring
kanker karena OLP merupakan penyakit premalignancy atau dapat
menimbulkan kanker.
2.4.6. Pemeriksaan Penunjang
2.4.6.1. Komponen papula atau retikuler sangat penting dalam
mendiagnosis OLP. Papula sering terlihat bersama dengan lesi plaque-
like erythematous atau ulseratif
2.4.6.2. Lesi pada gingiva untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
inasional biopsy dan histologis, karena tampak seperti lesi
erythematous, sehingga memudahkan diagnosis (Burkets, 2008).
Inasional biopsy merupakan prosedur untuk menghilangkan jaringan
hidup dalam tubuh, kemudian jaringan diperiksa dengan mikroskop
2.4.6.3. ANA Test. Merupakan tes untuk mendeteksi antinuclear antibody
yang dihasilkan sistem imun ketika gagal membedakan “dirinya” dan
“bukan dirinya”. ANA Test dibutuhkan ketika seseorang menunjukkan
tanda-tanda systemic automun disorder.
2.4.6.4. Immunofluoresce, yaitu teknik untuk mengindentifikasi antibodi
spesifik atau antigen pada serum darah dengan menggunakan
mikroskop fluorescence.
2.4.6.5. Immunoglobulin Assay. Adalah tes untung menghitung level
immunoglobulin atau antibodi di dalam darah. Tes kuantitatif
immuoglobulin untuk mendeteksi kelebihan/ kekurangan tiga kelas
utama Ig yaitu IgA, IgG dan IgM.
2.4.6.6. PAS Staining. Atau Periodic Acid-Sciff Stain, merupakan metode
pewarnaan untuk mendeteksi struktur atau jaringan yang mengandung
polisakarida tinggi seperti glikogen dan mucosubstansi seperti
glycolipid, glycocalyx, mucin/mucus, lamina basalis.
2.4.7. Rujukan
Pasien dirujuk ke dokter gigi spesialis penyakit mulut untuk mengobati
OLP, kemudian ke dokter gigi spesialis konservasi gigi untuk mengganti
tambalan amalgam yang menyebebkan lesi, amalgam dapat diganti dengan
resin komposit. Dan dokter spesialis penyakit dalam untuk menurunkan kadar
glukosa yang tinggai di dalam darah.
2.5. Diagnosis Banding
2.5.1. Erythema Multiforme
Etiologi dari Erythema mUltiform adalah karena reaksi imun,
penyakit HSV, dan reaksi obat. Tanda dan gejala klinis nya adalah penyakit
ini biasa ditemukan pada usia sekitar 20-40 tahun. Gejala predormalnya
adalah demam, malaise, sakit kepala, luka di tenggorokan, dan batuk.
Erythema Multiforme selain terjadi pada mukosa oral, dapat terjadi juga di
tangan, kaki, lutut, dan organ genital. Ciri-ciri yang khas dari penyakit ini
adalah adanya inflamasi disertai cincin eritematus.
Erythema Multiform dijadikan diagnosis banding dari oral lichen
planus karena manifestasi klinisnya yang mirip dengan tekstur oral lichen
planus tipe eritema. Namun perbedaannya adalah pada erythema multiforme
terdapat cincin eritematus.
2.5.2. Pemphigus
Etiologi dari pemphigus adalah karena adanya reaksi imun dalam
tubuh. Tanda dan gejala klinisnya adalah adanya lesi pada lapisan epitel.
Adanya blister dan erosi pada kulit dan mukosa, bisa juga terjadi di genital.
Manifestasi klinisnya adalah adanya bullae pada kulit dan mukosa yang
normal, bullae tersebut mudah pecah dan menyebar ke sekitarnya.
Persamaan antara pemphigus dan oral lichen planus adalah pada
tekstur bullae. Perbedaannya adalah pada oral lichen planus bullae tersebut
dikelilingi tekstur retikular, sedangkan pada pemphigus tidak ada struktur
lain disekitar bullae.
2.5.3. Lupus Erythematous
Lupus, nama aneh untuk sebuah penyakit. Kata itu berasal
dari bahasa Latin yang berarti serigala, untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi
yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian,
hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam
“kupu-kupu” klasik tersebut.
Jenis-jenis lupus
Lupus bukanlah penyakit menular tetapi sebuah bentuk
gangguan autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang
jaringan dan sel tubuh sendiri. Ada empat jenis lupus yang dikenal:
Lupus diskoid (kulit). Pasien dengan lupus diskoid memiliki
versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan
ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi
tidak memengaruhi organ internal.
Lupus sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE). Pada
sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi
dan berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi
organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan
jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar
(ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit
ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memerkirakan berapa
lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien
lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi
pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali
selama bertahun-tahun.
Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh
reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala
sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering
menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine
dan obat aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid,
obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala
penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi
obat pemicunya.
Lupus neonatal. Pada situasi yang jarang terjadi, bayi yang
belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit
dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena serangan
antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam
enam bulan pertama kehidupan anak.
Karateristik yang khas yaitu lesi striae dengan menyebar
dengan tajam diakhir, lesi berupa ertiem. Apda oral ditemukan
gingiva, bucal, mucosa, lidah, palatum, lesi biasanya didominasi
oleh lesi eritema dan sturktur putih tidakditemukan. Manifestasi
klinik terbagi menjadi dua yaitu sistemik lupus eritema dan discoid
lupus ertema yaitu ditandai dengan buterfly like rashes pada pipi
dan hidung.
2.5.4. Graft Versus Host Disease
Graft Versus Host Disease memiliki lesi dan lokasi terjadinya sama
dengan OLP. Perbedaannya penderita GVHD 70% adalah orang yang telah
melakukan cangkok sumsum tulang belakang. GVHD ada dua macam, akut
dan kronis. GVHD akut memiliki tanda sakit bagian abdominal (keram
nausea, vomitting, dan diare), mata kering atau iritasi, jaudice ( warna
kekuningan pada mata/kulit) dan skin rash. GVHD kronis memiliki tanda
mata kering, berkurangnya kemampuan penglihatan, kelemahan otot,
pernapasan pendek, dan kehilangan berat badan.
2.5.5. Oral Leukoplakia
suatu kelainan berupa bercak atau plak putih yg tidak dapat di
karakteristik secara klinik. - Leukoplakia yg disertai diskeratosis atau
dysplasia merupakan lesi precancer. Dijadikan diagnosis banding karena
memiliki lesi putih dirongga mulut yang mirip dengan gambran klinis oral
lichen planus.
GAMBARAN KLINIS :
- Pria rata2 60 tahun
- 70% ditemukan pd vermilion bibir, mucosa bukal & gusi
- lesi pada lidah, vermilion bibir & dasar mulut 90% menunjukkan
displasia
Karakteristik lesi :
- berupa plak abu-abu putih dan sedikit menonjol tidak dapat hilang jika
di apus
- translucent
- keriput , lunak
- datar,dan batas tegas, tampak erythema diskitarnya
Perbedaan dengan lichen planus oral bisa di liat dari pinggiran lesi. Pada
leukoplakia pinggirannya tampak eritema atau kemerahan. Sedangkan pada
lichen planus oral disekitarnya tampak striae putih
2.5.6. Candidiasis Pseudomembran Akut
Merupakan penyakit infeksi superfisialis dari lapisan atas epiteliumm
mukosa mulut . dijadikan diagnosis banding karena lesi keputihan di rongga
mulut yang mirip dengan oral lichen planus.
Gambaran klinis:
o Terdapat plak putih yang dikelilingi eritema, plak ini dapat di hilang
jika diapus dan meninggalkan bekas kemerahan
Perbedaannya dengan oral lichen planus oral bisa dibedakan dari sekitar lesi
kemerahan pada candidiasis dan striae putih pada oral lichen planus
2.5.7. Squamous Cell Carcinoma
Persamaan dan Perbedaan Tanda-Gejala Klinis Oral Lichen Planus dengan
Squamous Cell Carcinoma sebagai Diagnosis Banding
Per
sam
aan
Oral Lichen Planus Squamous Cell Carcinoma
Gejala Memiliki gejala sensasi
terbakar pada mulut
Tampilan atau tekstur lidah
berambut sehingga lidah
terasa kasar
Memiliki gambaran lesi
berupa bintik-bintik berwarna
merah dan putih dengan
tekstur halus sampai
menonjol
Tanda klinis Lesi terbatas pada epidermis
(pada squamous cell
carcinoma hanya pada tipe in
situ)
Epidemiologi Secara umum mengenai
kelompok usia yang lebih
tua, namun ada pula yang
mengenai usia 20 dan 30
tahun tetapi jarang.
Per
beda
anEtiologi/
predisposisi
Reaksi immunologik Etiologi: belum diketahui
secara pasti
Factor pemicu:
– Sinar matahari
– Arsen
– Hidrokarbon
– Suhu
– Radiasi kronis
– Parut
– Virus
Tanda klinis Kerusakan epidermal/
epithelial basal sel yang
memproduksi berbagai
macam lesi mukokutaneus
Bentuk reticular oral lichen
planus pada mukosa buccal
SCC tipe invasive:
berkembang dari SCC in situ
yang menembus lapisan basal
sampai ke dermis dan
bermetastase melalui saluran
getah bening regional
Tanda awal SCC pada
mukosa buccal
Epidemiologi Lebih banyak ditemukan
pada perempuan
disbanding laki-laki
Lebih banyak dijumpai pada
laki-laki dibanding
perempuan
2.6. Epidemiologi Kasus
1.9.1 Prevalensi oral lichen planus yaitu sebesar 1-3%
1.9.2 Ditemukan pada orang dewasa dengan usia pertengahan, dengan rata-
rata 50-60 tahun.
1.9.3 Dalam perbandingan oral lichen planus, wanita lebih sering terkena
penyakit ini daripada pria; sedangkan pada lichen planus dermis, pria lebih
sering terkena daripada wanita.
2.7. Bioetika Humaniora
Autonomy
Suatu bentuk kebebasan bertindak dimana seorang dokter
mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukan sendiri.
Dalam prinsip ini, dokter diharapkan dapat menghormati martabat
manusia.
Pertama, setiap pasien harus diperlakukan sebagai manusia yang
memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri). Kedua,
setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu
mendapatkan perlindungan.
Ciri-cirinya antara lain:
Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat
pasien
Berterus terang
Menghargai privasi pasien
Menjaga rahasia pasien
Menghargai rasionalitas pasien
Melaksanakan informed consent
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan
sendiri tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat
keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri
Beneficence
Prinsip berbuat baik merupakan segi positif dari prinsip tidak
merugikan. Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus
mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan
kesehatannya (patient welfare).
Beneficence terbagi atas dua macam, yaitu :
General beneficence, misalnya:
Melindungi dan mempertahankan hak yang lain
Mencegah terjadinya kerugian pada yang lain
Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain.
Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
Menjamin kehidupan baik minimal manusia
Spesific beneficence, misalnya:
Menolong orang cacat
Menyelamatkan orang dari bahaya
Alturisme (tanpa pamrih, rela berkorban)
Manfaat lebih besar dari kerugian
Menghargai hak pasien
Non-maleficence
Prinsip ini merupakan suatu cara teknis untuk menyampaikan
bahwa seorang dokter berkewajiban tidak mencelakakan orang lain.
Bila seorang dokter tidak bisa berbuat baik kepada seseorang, maka
sekurang-kurangnya dokter wajib untuk tidak merugikan orang lain.
Ciri-cirinya antara lain :
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Mencegah pasien dari bahaya lebih lanjut
Manfaat pasien lebih besar dari kerugian dokter
Tidak memandang pasien sebagai objek
Menghindari misrepresentasi dari pasien
Justice
Prinsip keadilan mempunyai makna proporsional, sesuai dengan
fungsi dan kebutuhannya.
Ciri-ciri justice antara lain :
Memberlakukan secara universal
Menghargai hak sehat pasien
Tidak membedakan pelayanan kesehatan yang diberikan
Prima facie
Dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang dokter harus melakukan
pemilihan satu kaidah dasar etik yang paling sesuai konteksnya
berdasarkan data atau situasi konkrit tersebut. Inilah yang disebut
pemilihan berdasarkan asas prima facie.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1. Kasus
Seorang pria berusia 55 tahun dirujuk ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut
dengan keluhan utama rasa mulut terbakar dan lidah kasar sejak 6 bulan yang
lalu. Pasien mengeluh mulut terasa sakit terutama ketika makan makanan panas
dan pedas. Gejala ini sebelumnya telah diobati dengan berbagai obat topikal,
antara lain nistatin, benzidamine hidroklorida, dan obat kumur clorhexidine, tapi
lesi tidak pernah sembuh.
Pada pemeriksaan ekstraoral tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan intraoral ditemukan lesi erosif, desquamatif pada gingiva. Pada
mukosa bukal kanan dan kiri tampak lesi erosif dibatasi oleh striae putih
keratotik. Lesi putih keratotik juga tampak pada dorsal lidah. Pada pemeriksaan
gigi tampak gigi 36, 37 dengan tambalan amalgam. Pasienmenderita diabetes
mellitus tipe 2 dan mendapat obat glibenclamide sejak 5 tahun terakhir.
3.2. Mekanisme
Konsumsi obat glibenclamide (5 tahun terakhir)
Hipersensitivitas obat
Tanda dan gejala berdasarkan kasus diatas:
1. Lesi erosif desquamatif pada gingiva.
2. Mukosa bukal kanan dan kiri ada lesi serosif
dibatasi oleh striae putih keratotik.
3. Lesi putih keratotik pada dorsal lidah.
4. Rasa mulut terbakar dan lidah kasar
Oral Lichen Planus
3.3. Hipotesis
Oral Lichen Planus
BAB IV
KESIMPULAN
Dari kasus, Pasien merasakan gejala rasa mulut terbakar dan lidah kasar sejak 6
bulan yang lalu. Pasien juga merasakan rasa sakit terutama ketika makan makanan panas
dan pedas. Gejala ini sebelumnya telah diobati dengan berbagai obat topikal, antara lain
nistatin, benzidamine hidroklorida, dan obat kumur clorhexidine, tapi lesi tidak pernah
sembuh. Dari pemeriksaan intraoral ditemukan lesi erosif, desquamatif pada gingiva.
Pada mukosa bukal kanan dan kiri tampak lesi erosif dibatasi oleh striae putih keratotik.
Lesi putih keratotik juga tampak pada dorsal lidah. Pada pemeriksaan gigi tampak gigi
36, 37 dengan tambalan amalgam. Dan pasien mengonsumsi obat diabetes karena
menderita Diabetes Melitus tipe II
Dari anamnesis, tanda, dan gejala pasien dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Oral Lichen Planus.
Dari informasi, faktor predisposisi yang terkait dengan kasus di atas, antara lain
karena penggunaan dental material dan hipersensitivitas obat glibenclamide. Perawatan
yang diberikan terhadap pasien berupa:
1. Memberikan oral hygiene treatment
2. Tambalan amalgam pada gigi 36 dan 37 dapat diganti dengan tambalan komposit
(menghilangkan faktor predisposisi karena penggunaan dental material).
3. Mengganti obat glibenclamide dengan obat diabetes melitus yang lain,
(menghilangkan faktor predisposisi karena hipersensitivitas obat) dengan rujukan
ke dokter penyakit dalam.
DAFTAR PUSAKA
Burket, LM., Greenberg, MS.,Glick, M., Ship, JA. 2008. Burket’s Oral
Medicine 11th Ed. Ontario: BC Decker.
Partogi, Donna. 2008. Karsinoma Sel Skuamosa. Medan: Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK.USU/RSUP H. Adam
Malik/RS.Dr.Pirngadi