Upload
lucy-besitimur
View
26
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
emergency
Citation preview
Penanganan Kegawatdaruratan pada Kasus Eklampsia
Naomi Besitimur (102012113) D1
Email: [email protected]
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Kebon jeruk-Jakarta Barat Telp. 56942061
Pendahuluan
Kematian ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi tahun
2007 AKI di Indonesia tercatat 228 per 100.000 kelahiran hidup. Target yang diharapkan
adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia disamping pendarahan adalah pre-
eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi.
Eklampsia merupakan peningkatan dari pre-eklampsia yang lebih berat dan berbahaya
dengan tambahan gejala-gejala tertentu. Eklampsia merupakan resiko yang membahayakan
ibu di samping membahayakan janin melalui plasenta. Setiap tahun sekitar 50.000 ibu
meninggal karena eklampsia. Insidens eklampsia dinegara berkembang berkisar dari 1:100-
1:1700.
Beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada
stadium akhir yang disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang, jika eklampsia tidak
ditangani secara cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena kegagalan
jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak. Oleh karena itu kejang pada
penderita eklampsia haris dihindari. Karena eklampsia menyebabkan angka kematian sebesar
5% atau lebih tinggi.
Anestesiolog memegang peranan yang penting dalam penanganan dari ibu hamil dengan
kejang. Kontrol cepat dari kejang sangat dibutuhkan untuk mencegah kerusakan serebral
akibat hipoksia. Antikonvulsan dapat diberikan seperti diazepam, MgSO4 dan phenitoin.The
Eclampsia Trial menyimpulkan bahwa MgSO4 merupakan obat pilihan untuk eklampsia;
phenytoin dapat menyebabkan morbiditas maternal dan neonatal yang lebih tinggi; serta
diazepam dan phenytoin lebih sering terjadi kejang berulang dibandingkan dengan MgSO4.
Mempertahankan jalan nafas serta pernafasan yang adekuat selama kejang harus menjadi
prioritas utama. Selain itu, respon terhadap intubasi trakeal pada kehamilan dengan hipertensi
1 | P a g e
lebih tinggi, dengan peningkatan tekanan arteri sistemik dan pulmoner serta pulmonary
capillary wedge pressure.
Pembahasan
- Identitas
Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang
benar pasien yang dimaksud. Identitas biasanya meliputi nama lengkap pasien, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin. nama orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab,
alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.1 Dari kasus yang didapat dari hasil
anamnesis didapatkan usia pasien adalah 17 tahun sedang hamil 9 bulan.
- Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke
dokter.1 Dari kasus didapatkan keluhan utama pasien adalah kejang dan mengalami
penurunan kesadaran.
- Riwayat kehamilan sekarang:
Kapan hari terakhir menstruasi terakhir?
Berapa lama siklus haidnya?
Sudah berapa bulan kehamilannya?
Apakah ada penyulit atau penyakit sebelum dan selama kehamilan,
seperti apakah pernah perdarahan, adakah anemia, diabetes, hipertensi,
infeksi saluran kemih, penyakit jantung, dan penyulit lainnya?
Gejala apa yang menyertai kehamilan pasien, misalnya mual, muntah,
nyeri tekan payudara, frekuensi berkemih?
- Riwayat obstetric dahulu:
Apakah pernah hamil sebelumnya? Berapa kali? Apakah ada penyulit
dalam kehamilan sebelumnya?
Apakah pernah melahirkan sebelumnya? Berapa kali? Bagaimana cara
melahirkan, apakah ada penyulit selama persalinan sebelumnya?
Apakah ada komplikasi saat persalinan sebelumnya?
2 | P a g e
Apakah pernah mengalami abortus sebelumnya? Berapa kali?
Mengapa? Bagaimana terjadinya abortus? Adakah komplikasi akibat
abortus?
Tanyakan juga kondisi anak yang pernah dilahirkan, berat badan bayi
saat lahir, umur bayi saat dilahirkan, keadaan bayi saat dilahirkan,
keadaan anak sekarang.
- Riwayat ginekologis dahulu
Hal-hal yang harus ditanyakan menjurus kepada keadaan preeklamsia berat:1,4
Apakah ada gejala-gejala disfungsi sistem saraf pusat, seperti sakit
kepala berat yang menetap, penglihatan kabur.
Apakah ada gejala peregangan kapsul hati, misal nyeri epigastrium
menetap2
Pertanyaan untuk menyingkirkan penyebab lain:1
Apakah sebelum hamil pasien memiliki riwayat hipertensi
Apakah pasien memiliki riwayat epilepsi
Apakah pasein pernah mengalami trauma kepala
Apakah pasien mempunyai riwayat penyakit serebrovaskular
Apakah pasien memiliki riwayat tumor serebri atau meningitis maupun
ensefalitis
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
a. Wajah
Adakah edema pada muka, pucat atau merah
b. Leher
Apakah terdapat pembesaran tyroid atau kelenjar limfe
c. Dada
Bentuk payudara, adakah colostrum
d. Perut
3 | P a g e
Perlu diperhatikan bentuk, pembesaran, pergerakan pernapasan,
kondisi kulit (tebal, kriput dan striae), jaringan parut operasi.
e. Vulva
Keadaan perineum, varises atau condyloma3
Palpasi
Maksud pemeriksaannya ialah untuk menentukan ;
a. Besarnnya rahim dan dengan ini bisa menentukan umur kehamilan.
b. Menentukan letak anak dalam rahim.
Sebelum dilakukan, kandung kemih dikosongkan terlebih dahulu,karena
kandung kemih yang penuh akan teraba seperti kista. Jikalau perlu pasien
disuruh buang air kecil terlebih dahulu.
Beritahu pasien bahwa perutnya akan diperiksa sehingga perut pasien tidak
menegang dan bernapas biasa, kedua tungkai ditekuk sedikit dan pasien
disuruh bernapas dalam.3
Cara melakukan palpasi ialah menurut Leopold yang terdiri dari 4 bagian ;
a. Leopold I
o Pasien tidur telentang dengan lutut
ditekuk
o Pemeriksa berdiri disebelah kanan
pasien menghadap kearah kepala pasien
o Uterus dibawa ketengah (kalau
posisinya miring)
o Dengan kedua tangan tentukan tinggi
fundus
o Dengan satu tangan tentukan bagian apa
dari anak yang terletak dalam fundus
o ( Kepala berbentuk bulat, keras dan ada
ballottement. Bokong konsistensinya lunak, tidak begitu bulat dan
tidak ada ballottement. Pada letak lintang, fundus kosong) 3
4 | P a g e
b. Leopold II
o Posisi pasien dan pemeriksa tetap.
o Kedua tangan pindah kesamping uterus.
o Dengan kedua belah jari-jari uterus
ditekan ketengah untuk menentukan
dimana letak punggung anak : kanan
atau kiri.(Punggung anak memberikan
tahanan terbesar)
o Pada letak lintang dipinggir kanan kiri
uterus terdapat kepala atau bokong. 3
c. Leopold III
o Posisi pasien dan pemeriksa tetap.
o Pemeriksa memakai satu tangan menentukan apa yang menjadi
bagian bawah (kepala atau bokong).
o Bagian bawah coba digoyangkan, apabila masih bisa, berarti
bagian tersebut belum terpegang oleh panggul. (bagian terbesar
kepala belum melewati pintu atas panggul). 3
d. Leopold IV
o Posisi pasien tetap, pemeriksa menghadap kearah kaki pasien.
o Dengan kedua belah tangan ditentukan seberapa jauh kepala masuk
kedalam panggul.
o Bila posisi tangan konvergen, berarti baru sebagian kecil kepala
masuk panggul.
o Bila posisi tangan sejajat, berarti separuh dari kepala masuk
kedalam rongga panggul.
o Bila posisi tangan divergen, berarti sebagian besar kepala sudah
masuk panggul. 3
Leopold 4 tidak dilakukan kalau kepala masih tinggi.
5 | P a g e
Sebelum bulan ke tiga fundus uteri dapat diraba dari luar ;
Akhir bulan ke-3 (12 mg) F.U 1-2 Jari diatas symphisis
Pertengahan antara sympisis dengan
pusat = 16 mg
3 jari dibawah pusat = 20 minggu
½ pusat – procesus xympoideus = 32
Minggu
Sampai arcus costa atau 3 jari dibawah
proc. Xympoideus = 36 minggu
½ pusat – procesus xympoideus = 40
Minggu 3
Auskultasi
Dilakukan dengan menggunakan stetoskop fetal heart detector (Doppler).
Pada auskultasi bisa didengar bermacam bunyi :
a) Dari anak : bunyi jantung, bising tali pusat, gerakan anak.
b) Dari ibu : bising a. uterina, bising aorta, bising usus.
Bunyi jantung anak dengan Doppler dapat didengar sejak umur kehamilan
12 minggu sedang dengan stetoskop baru didengar pada umur kehamilan 26
minggu. Frekuensi bunyi jantung anak antara 120 - 140 per menit. Frekuensi
jantung orang dewasa antara 60-80 per menit. 4
Pemeriksaan penunjang
Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan
interval 6 jam
6 | P a g e
Laboratorium: proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga
0,3gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urin
meningkat, serum kreatinin meningkat, urid acid biasanya > 7 mg/100 ml
Berat badan: peningakatannya >1kg/minggu
Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak
USG: untuk mengetahui keadaan janin
Working diagnosis
Working diagnosis merupakan diagnosis utama tentang penyakit yang diderita pasien setelah
melakukan anamnesis dan pemeriksaan terhadap pasein. Berdasarkan pengertian tersebut
didapatkan working diagnosis untuk kasus ini yaitu Eklampsia
Pengertian Eklampsia
Beberapa pengertian eklampsi adalah:
a) Istilah eklampsi berasal dari bahas yunani berarti halilintar, karena seolah–olah gejala
eklampsi timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda–tanda lain. Eklampsi umumnya
timbul pada pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda–tanda pre-eklampsi, timbul
serangan kejang yang diikuti oleh koma.
b) Eklampsi adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang atau koma, kejang timbul bukan akibat kelainan neurologic.
c) Eklampsi adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam masa persalinan atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang atau demam.4,5
Epidemiologi
Frekuensi eklampsi bervariasi. Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk
tentang adanya pengawasan antenatal yang baik dan penanganan preeklampsi yang
sempurna. Dinegara yang sedang berkembang, frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3 -
0,7%. Sedangkan di negara maju angka nya lebih kecil, yaitu 0,05–0,1%.3,5
Patofisiologi
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang
7 | P a g e
rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan normal. Aldosteron penting
untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Serta pada
eklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin terganggu sehingga terjadi
gawat-janin sampai menyebabkan kematian karena kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus
uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada eklampsia, sehingga mudah
terjadi partus prematurus.5
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang penting
ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam dan air.
Mekanisme retensi garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi
glomelurus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan normal penyerapan
ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi glomelurus
akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun,
yang menyebabkan retensi garam dan retensi air. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50%
dari normal, sehingga menyebabkan diuresis turun pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria
atau anuria.
Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada beberapa
arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan . Setelah persalinan
berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan. Skotoma, diplopia, dan ambiliopia
merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan
oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.4,5
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia. Komplikasi
disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa resistensi pembuluh
darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi pada eklampsia. Sehingga
aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen pada eklampsia akan menurun.
Metabolisme dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia
sebabnya terjadi pergeseran cairan dan ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini,
diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan bertambahnya edema,
8 | P a g e
menyebabkan volume darah berkurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah
tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke jaringan diberbagai bagian tubuh berkurang
akibatnya hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga
turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran perbaikan keadaan penyakit dan
berhasilnya pengobatan.5
Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara.
Asidum laktikum dan asam organik lain naik, dan bikarbonas natrikus, sehingga
menyebabkan cadangan alkali turun. Setelah kejang, zat organik dioksidasi sehingga natrium
dilepaskan untuk dapat bereaksi dengan asam karbonik menjadi bikarbaonas natrikus.
Dengan demikian, cadangan alkali dapat pulih kembali. Pada kehamilan cukup bulan kadar
fibrinogen meningkat. Waktu pembekuan lebih pendek dan kadang-kadang ditemukan kurang
dari 1 menit pada eklampsia.6
Etiologi dan faktor resiko
Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari eklampsia masih belum diketahui.
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etio-logi dari kelainan tersebut di atas,
sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory.
Adapun teori-teori tersebut antara lain:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan.
Pada PE-E didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat,
aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan
plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin.
Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin,
sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.6
2. Peran Faktor Imunologis.
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen placenta tidak sempurna, yang
semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.7
9 | P a g e
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun
pada penderita PE-E:
a) Beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun dalam serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
PE-E diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa
sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada PE-E, tetapi tidak ada
bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan PE-E.
3. Peran Faktor Genetik/Familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PE-E antara
lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak-anak
dari ibu yang menderita PE-E.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil
dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.7
Faktor yang meningkatkan risiko preeclampsia-eclampsia :
Primigravida
Primipaternernity
Umur yang ekstrim
Partner laki yang pernah menikah wanita yang kemudian hamil dan mengalami
preeclampsia
Pemaparan terbatas terhadap sperma
Inseminasi donor dan donor oocyte
Mola Hidatidosa
Kehamilan multiple
Infeksi saluran kencing pada kehamilan
Hydrops fetalis
Riwayat pernah preeclampsia
Obesitas
Antiphospholipid antibodies dan huperhomocysteinemia6,7
10 | P a g e
Manifestasi klinik
Eklampsia dapat terjadi saat antepartum, intrapartum atau postpartum (48 jam
postpartum). Eklampsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi semakin
sering mendekati aterm.
Ada 4 fase eklampsia:
Premonitory stage, gejala seperti preeklampsia berat
Tonic stage
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan
(twitching) wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu
kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik.8
Clonic stage
Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh
kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan kontraksi
dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya sehingga wanita
yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila tidak dilindungi,
lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini dapat berlangsung selama satu
menit.
Secara bertahap gerakan otot menjadi lebih lemah dan jarang sampai akhirnya tidak
bergerak. Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernapasan tertahan. Selama
beberapa detik, akan menjadi seolah-olah sekarat akibat henti napas, tetapi kemudian ia
menarik napas dalam, panjang dan berbunyi lalu kembali bernapas.8
Stage of coma
Ia kemudian mengalami koma dan tidak akan mengingat serangan kejang tersebut
maupun kejadiaan sesaat sebelum atau sesudah bangkitan kejang. Namun, seiring waktu
ingatan itu akan pulih kembali.
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang
jumlahnya dapat bervariasi. Pada kasus yang jarang, kejang terjadi berurutan secara cepat
sehingga tampak seperti mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu.
Durasi koma setelah kejang pun bervariasi. Namun durasi koma yang panjang tidak
11 | P a g e
menyebabkan kematian. Kematian lebih sering disebabkan oleh bengkitan kejang yang
berulang-ulang
Laju pernapasan setelah kejang eklamsia biasanya meningkat dan dapat mencapai
50/menit, mungki sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat
hipoksia. Sianosis dapat terjadi pada kasus yang parah. Demam 39oC atau lebih adalah
tanda yang buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan SSP. Bradikardia setelah
serangan kejang dapat terjadi karena hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang.
Bradikardia ini pulih dalam 3-5 menit; apabila menetap > 10 menit, kausa lain perlu
dipertimbangkan, missal solusio plasenta atau bayi akan segera lahir.6,7,8
Proteinuria hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin kemungkinan besar
berkurang bahkan kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria sering dijumpai, tetapi
hemoglobinemia jarang. Edema sering mencolok, kadang-kadang masif, walaupun
mungkin juga tidak ada. Proteinuria dan edema ini biasanya akan menghilang seminggu
setelah melahirkan. Sebagian besar kasus, hipertensi kembali normal dalam beberapa hari
sampai 2 minggu setelah melahirkan. Semakin lama hipertensi menetap postpartum,
semakin besar kemungkinan bahwa hipertensi tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal
atau vaskuler kronik.
Pada eklampsia antepartum, tanda persalinan dapat muncul segera setelah kejang dan
berkembang cepat, bahkan sebelum petugas medis menyadari bahwa ibu tersebut mengalami
His. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intesitas His dapat meningkat, dan
durasi persalinan dapat memendek.5,6
Edema paru juga dapat terjadi setelah eklamsia. Hal itu disebabkan oleh pneumonitis
aspirasi (akibat inhalasi isi lambung bila kejang disertai muntah) atau gagal jantung
(akibat kombinasi hipertensi berat dan pemberian cairan IV berlebihan).
Pada 10% wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang, atau
dapat juga timbul spontan pada preeklamsia. Hal tersebut disebabkan oleh ablasio retina
maupun iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis. Gangguan penglihatan ini biasanya
tuntas dalam seminggu.
Sekitar 5% akan mengalami gangguan kesadaran bermakna, termasuk koma
menetap karena edema otak. Sedangkan herniasi unkus transtentorium dapat menyebabkan
12 | P a g e
kematian. Kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya
diakibatkan karena perdarahan otak masif.6,7
Fitur eklampsia meliputi:
o Seizure atau bangkitan kejang (100%)
o Sakit kepala hebat (80%), pada bagian depan atau
belakang kepala yang diikuti dengan peningkatan
tekanan darah yang abnormal. Sakit kepala tersebut
terus menerus dan tidak berkurang dengan pemberian
aspirin atau obat sakit kepala lain
o Udema anasarka (50%)
o Gangguan visus (40%), seperti penglihatan kabur
dan photopobia, pasien akan melihat kilatan-kilatan
cahaya.
o Nyeri abdomen kuadran kanan atas atau epigastrium
dengan mual (20%)
o Iritabel dan ibu merasa gelisah dan tidak bisa
bertoleransi dengan suara berisik atau gangguan
lainnya
o Nyeri perut disertai muntah8
Penatalaksanaan
Tujuan:
Menghentikan atau mencegah kejang.
Mempertahankan fungsi organ vital
Koreksi hipoksia atau asidosis
Mengendalikan tekanan darah dalam batas aman Pengakhiran
Kehamikan mencegah atau mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi, untuk mencapai
stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin Penatalaksanaan yang dilakukan pada ibu
eklampsi:
Sikap dasar
Semua kehamilan dengan eklampsi harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Pertimbangannya adalah keselamatan ibu. Kehamilan diakhiri bila sudah
13 | P a g e
terjadi stabilisasi hemodinamika dan metabolisme ibu, cara terminasi dengan prinsip trauma
ibu seminimal mungkin.8
Pengobatan medikamentosa
Obat anti kejang
yang menjadi pilihan pertama ialahmangnesium sulfat.bila denga jenis obat ini kejang masih
sukar di atasi,dapat dipakai jenis obat lain misalnya tiopental.diazepam dapat dipakai sebagai
altenatif pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,pemberian diazepam
hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman.
Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian mangnesium sulfat ada dasar nya sama seperti pemberian mangnesium sulfat pada
pre eklampsi berat.pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ –
organ penting,misalnya tindakan tindakan untuk memperbaiki asidosis,mempertahankan
pentilasi paru paru,mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.
Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang tujuan pertama pertolongan ialah mencegah penderita
mengalami penderita akibat kejang –kejang tersebut.dirawat dikamar isolasi cukup terang
agar bila terjadi sinosis segera dapat diatasi segera dapat diketahui.
Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstermitas penderita yang kejang tidak terlalu kuat
menghentak hentak benda kuat disekitarnya selanjutnya masukkan sudap lidah kedalam
mulut si penderita dan jangan mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena
dapat mematah kan gigi.8
Perawatan koma
Tindakan pertama pada penderita koma adalah menjaga dan mengusaha kan agar jalan nafas
atas tetap terbuka.cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan
nafas atas adalah dengan manuver tik –neck lift,yaitu kepala direndahkan dan leher dalam
posisi ekstensi kebelakang atau head tilt –chain lift dengan kepala direndahkan dan dagu
ditarik ke atas,atau jau-thrsut,yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan keatas sambil
mengangkat kepala kebelakang.kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan
oropharyngeal airway
Perawatan edema paru
Sebaiknya penderita dirawat di ICU karna membutuhkan perawatan animasi dengan
respirator
14 | P a g e
Pengobatan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri,tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.persalinan diakhiri bila sudah mencapai
stabilitas (pemulihan)hemodinamika dan metabolism ibu. Pada perawatan pasca persalinan,
bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.9
Penanganan di IGD
Kejang pada eklampsia merupakan suatu kegawatan yang dapat mengancam jiwa dan
membutuhkan penanganan segera untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas
maternal.
Prioritas pertama dari penanganan di gawat darurat adalah untuk mencegah cedera
pada ibu dan menyediakan support pada sistem respiratorik dan kardiovaskular. Oksigen
tambahan harus segera diberikan. Kemudian pasien diposisikan dengan posisi miring ke kiri,
posisi ini mengurangi resiko untuk terjadinya aspirasi dan akan memperbaiki aliran darah ke
uterus dengan mengurangi obstruksi dari vena cava oleh uterus gravida. Selama kejang
pasien harus kita proteksi dengan cara menjaga bed pasien agar pasien tidak terjatuh,
menggunakan spatel tongue diantara gigi pasien agar lidah tidak tergigit, dan menghisap
lendir di rongga mulut jika diperlukan. Setelah kejang berakhir, akses intravena harus
didapatkan dengan menggunakan jarum abocath no.16 ataupun 18, yang kemudian berguna
untuk memberikan cairan dan obat-obatan serta untuk mengambil spesimen darah. Cairan
intravena harus dibatasi dengan menggunakan larutan isotonik untuk mengganti urine output
ditambah dengan 700 mL/hari untuk mengganti insensible loss.10
Usaha untuk mempersingkat atau menghilangkan kejang yang pertama kali biasanya
tidak diperlukan. Magnesium sulfate diberikan untuk mencegah dan mengatasi kejang yang
berikutnya pada wanita dengan eklampsia. Magnesium sulfate diberikan secara intravena
dengan loading dose sebesar 4-6 g selama 20 menit diikuti dengan maintenance dose sebesar
1-2 g/jam dalam bentuk drip infus. Sebanyak 10% dari wanita dengan eklampsia akan
mengalami kejang tambahan setelah mendapatkan magnesium sulfate. Bolus 2 g magnesium
berikutnya dapat diberikan lagi pada kasus ini. Syarat pemberian magnesium sulfat adalah
harus tersedia antidotum magnesium sulfat yaitu kalsium glukonas 10%, diberikan iv secara
15 | P a g e
perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4, refleks patella positif, frekuensi
pernafasan > 16 kali / menit, produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/
jam ). Untuk kasus yang jarang pasien masih mengalami kejang terus menerus meskipun
telah mendapat terapi magnesium yang adekuat, maka kejang dapat diberikan sodium
amobarbital, 250 mg secara intravena selama 3-5 menit. Selain itu cara yang lebih umum
digunakan adalah dengan memberikan lorazepam (Ativan) 4 mg IV selama 2-5 menit (dapat
diulangi dalam 5-15 menit sampai dosis maksimum 8 mg dalam 12 jam atau diazepam
(valium), 5-10 mg IV secara lambat (dapat diulangi setiap 15 menit samapi mencapai 30 mg),
kedua cara ini sesuai seperti pada protokol untuk status epileptikus.
Tekanan darah harus dikontrol dengan tujuan utama untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik diantara 140 dan 160 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90 dan 110
mmHg dengan memberikan obat-obatan antihipertensi sesuai yang diperlukan (seperti,
hidralazine, labetolol). Hipertensi berat harus segera diatasi setelah infus magnesium
diberikan. Dosis bolus intravena yang direkomendasikan adalah 5-10 mg hidralazine atau 20-
40 mg labetalol setiap 15 menit jika diperlukan. Obat-obatan antihipertensi poten lain seperti
sodium nitroprusside atau nitroglycerin juga dapat digunakan namun jarang dibutuhkan.
Evaluasi harus dilakukan untuk tidak menurunkan tekanan darah terlalu drastis, dimana
penurunan yang berlebihan dapat menyebabkan perfusi uteroplasenta yang tidak adekuat
serta terjadi fetal distress. Oral nifedipine (40-120 mg/hari) dengan atau tanpa labetalol (600-
2400 mg/hari) dapat juga diberikan.9
Sesuai dengan perjalanan klinis penyakit, maka status neurologis pasien harus secara
reguler diperiksa untuk mengawasi jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
ataupun perdarahan (seperti, pemeriksaan funduskopi, saraf kranialis). Evaluasi terhadap
cairan yang diberikan dan urine output, laju nafas ibu, serta oksigenasi harus dilakukan.
Selain itu pengawasan terhadap status fetus juga harus dilakukan. Monitoring yang lebih
invasif seperti pulmonary arterial pressure jarang diindikasikan, namun dapat membantu pada
pasien dengan edema pulmoner atau oliguria/anuria.
Setelah kejang terkontrol dan pasien telah mendapatkan kembali kesadarannya,
kondisi medis lainnya harus diperiksa untuk mencari kemungkinan lain penyebab dari kejang.
Diuretik hanya diberikan jika terdapat edema pulmoner, gagal jantung kongestif serta
edema anasarka.8,9
16 | P a g e
Laju jantung fetus serta kontraksi uterus harus selalu di awasi. Bradikardia fetus
merupakan hal yang sering ditemukan selama kejang eklampsia dan dilaporkan terjadi selama
30 detik sampai 9 menit. Interval waktu dari onset kejang sampai pada jatunya laju jantung
fetus adalah sekitar 5 menit atau kurang. Takikardia transisional dapat terjadi setelah
bradikardia. Setelah bradikardia inisial, selama fase pemulihan, laju jantung janin dapat
menunjukkan hilangnya variabilitas jangka pendek dan panjang dan juga terdapat deselerasi
akhir. Kelainan ini disebabkan mungkinkarena berkurangnya aliran darah uterus yang
disebabkan oleh vasospasme kuat dan hiperaktivitas uterus selama kejang. Jika laju jantung
janin tidak membaik setelah kejang, evaluasi lebih lanjut harus dilakukan. Janin dengan
pertumbuhan terhambat dan prematur memerlukan waktu lebih lama untuk pulih setelah
kejang. Abruptio plasenta dapat terjadi jika hiperaktivitas uterus masih ada dan bradikardia
fetus menetap.10
Terapi defenitif dari preeklampsia-eklampsia adalah melahirkan fetus dan plasenta
setelah pasien telah stabil terlebih dahulu. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri
tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Jangan melakukan usaha apapun
untuk melahirkan bayi baik pervaginam maupun seksio cesarea sampai fase akut dari kejang
ataupun koma telah dilewati. Cara melahirkan bayi harus berdasarkan indikasi obstetri namun
tetap diingat fakta bahwa persalinan pervaginam lebih dipilih dari sudut pandang ibu. Steroid
dapat diberikan untuk mengantisipasi persalinan emergensi jika kehamilan kurang dari 32
minggu. Betamethasone 12 mg intramuscular setiap 24 jam X 2 dosis atau dexamethasone 6
mg intramuskular setiap 12 jam X 4 dosis adalah direkomendasikan. Penanganan nyeri
maternal pada saat persalinan adalah vital dan dapat diatasi baik dengan opioid sistemik
maupun anestesia epidural. Jika tidak ada malpresentasi fetus ataupun distress fetus, oksitosin
ataupun prostaglandin dapat diberikan untuk menginduksi persalinan. Seksio cesarea dapat
dipilih pada pasien dengan serviks yang tidak bagus dan umur kehamilan 30 minggu atau
kurang, dimana induksi pada keadaan ini akan menghasilkan fase intrapartum yang lebih
lama dan seringkali tidak berhasil untuk mencegah seksio cesarea dengan tingginya
komplikasi intrapartum yang terjadi. Komplikasi intrapartum yang dapat terjadi adalah
seperti pertumbuhan janin terhambat, pola denyut jantung bayi yang buruk (30%), serta
abrupsio plasenta (23%). Tanpa memandang umur kehamilan, iduksi yang lama dengan
perburukan klinis yang signifikan dari kardiovaskular, hematologis, renal, hepatik, dan/atau
status neurologi dari ibu adalah secara umum merupakan indikasi uuntuk dilakukan seksio
cesarea.9,10
17 | P a g e
Persiapan Pra-anesthesia
Perhatian khusus harus diberikan pada penilaian jalan nafas (airway). Edema wajah
ataupun stridor dapat merupakan indikasi adanya edema pada jalan nafas sehingga akan
membuat intubasi menjadi sulit.
Pasien-pasien dengan preeklampsia biasanya adalah hipovolemik dan lebih cenderung
untuk terjadinya hipotensi dengan pemberian anesthesia neuraksial. Pasien-pasien ini juga
beresiko untuk terjadi edema pulmoner; oleh karena itu, hidrasi yang adekuat harus diberikan.
Cairan preload berupa kristaloid sebanyak 500 sampai 1000 mL adalah biasanya cukup pada
neuroaksial. Monitoring sentral yang invasif seperti pemasangan CVC dapat diindikasikan
pada pasien yang mengalami edema pulmoner ataupun oliguria yang tidak responsif dengan
pemberian cairan. Monitoring tekanan darah intra-arteri diindikasikan pada hipertensi yang
refraktorik, terutama jika infus antihipertensi diperlukan.8,10
Meskipun preeklampsia dihubungkan dengan retensi air dan sodium yang berlebihan,
hipovolemia dapat terjadi karena perpindahan cairan dan protein ke dalam kompartemen
ekstravaskular. Hubungan terbalik antara volume intravaskular dan keparahan hipertensi telah
ditunjukkan, dan pasien dengan tekanan diastolik sangat tinggi diharapkan mempunyai CVP
yang negatif. Pengembalian volume intravaskular yang hati-hati dapat menghasilkan
perbaikan perfusi jaringan maternal, dimana dengan pemberian cairan maka terdapat
kenaikan pulmonary capillary wedge pressure dan cardiac index dam penurunan resistensi
vaskular perifer dan laju jantung maternal. Pada keadaan hipertensi, central venous pressure
bukan pilihan cara untuk pengukuran preload.
Pemeriksaan laboratorium wajib dilakukan termasuk pemeriksaan darah lengkap.
Peningkatan hematokrit mengindikasikan adanya hipovolemia. Trombositopenia terjadi pada
sekitar 15% pasien preeklampsia. Jumlah trombosit kurang dari 70.000/mm3 meningkatkan
resiko terjadinya hematoma epidural. Pemeriksaan fungsi trombosit berguna untuk
mengevaluasi kelayakan pasien untuk dilakukan anestesia regional, yaitu jika jumlah
trombosit 70.000 sampai 100.000/mm3.
Pemeriksaan faal hati, ureum kreatinin adalah esensial untuk menentukan tingkat
keparahan dari preeklampsia atau mendeteksi adanya sindroma HELLP. Pemeriksaan AGDA
dan foto thoraks dilakukan jika terdapat tanda dan gejala edema pulmoner.7,9
18 | P a g e
Anesthesia Untuk Persalinan Per Vaginam
Persalinan per vaginam pada kehamilan dengan hipertensi dan tidak adanya fetal
distress merupakan rencana anesthesia yang dapat diterima. Seksio cesarea adalah
dibutuhkan jika terdapat fetal distress, dimana merefleksikan suatu perburukan yang progresif
dari sirkulasi uteroplasental. Tanpa memandang teknik anesthesia yang dipilih, penting untuk
melanjutkan monitoring HR fetus sampai operasi dimulai, terutama jika terdapat fetal
distress.
Analgesia epidural merupakan teknik yang dipilih sebagai analgesia persalinan, jika
tidak dikontraindikasikan. Anestesia epidural dapat mengurangi level katekolamin maternal
dan dapat memfasilitasi kontrol tekanan darah pada saat persalinan. Preeklampsia
mengganggu perfusi uteroplasenta dikarenakan komponen vasospastik dari penyakit tersebut.
Anestesia epidural dapat memperbaiki aliran darah intervillous pada peeklampsia, sehingga
memperbaiki sirkulasi uteroplasenta dan sebagai hasil fetus pun semakin baik.9
Oleh karena pasien ini beresiko untuk dilakukannya seksio cesarea maka pemasangan
epidural lebih awal dapat memfasilitasi penggunaan anesthesia epidural pada seksio cesarea,
sehingga mencegah resiko dilakukannya general anesthesia. Anestesia epidural dilakukan
infus berkelanjutan dari larutan anestesi lokal yang mengandung ropivacaine atau
bupivacaine dikombinasikan dengan opioid, dengan tetap mempertahankan posisi uterus di
sebelah kiri serta monitoring denyut jantung janin. Oleh karena hipersensitifitas pembuluh
darah maternal terhadap katekolamin, maka larutan anetesi yang dipilih adalah tanpa
mengandung epinefrin.9
Anesthesia Untuk Seksio Cesarea
Epidural Anesthesia
Anesthesia epidural pada pasien dengan preeklampsia-eklampsia memberikan
keuntungan dimana blokade simpatis yang gradual; hal ini memberikan stabilitas
kardiovaskular dan mencegah terjadinya depresi neonatus. Pengurangan vasospasm dan
hipertensi yang didapat menghasilkan aliran darah uteroplasenta yang baik. Teknik regional
ini juga mengurangi resiko terjadinya komplikasi jalan nafas dan mencegah perubahan
hemodinamik yang berhubungan dengan intubasi.10
19 | P a g e
Teknik epidural ini juga memberikan fleksibilitas sebagai contoh untuk seksio cesarea
yang lama. Pada wanita yang memakai tenik ini dengan kateter epidural yang terpasang untuk
persalinan pervaginam, pada saat emergensi untuk dilakukan seksio cesarea, anesthesia dapat
diberikan melalui kateter ini.
Obat-obatan anesthetik yang digunakan harus memberikan blok sensorik onset cepat
dengan durasi aksi yang tepat. Agen yang biasa digunakan termasuk 2-chloroprocaine,
lidocaine, bupivacaine. Jika dibandingkan dengan anesthesia spinal, dosis anesthetik lokal
yang diberikan sangat besar untuk mendapatkan level adekuat seksio cesarea. Kateter
epidural berisiko untuk migras, dan biarpun aspirasi yang negatif, tidak secara pasti
menghilangkan resiko penempatan intravaskular ataupun intrathecal. Oleh karena volume
yang besar dapat berpotensi terjadi toksisitas anesthetik lokal. Pertama, kateter harus
diaspirasi sebelum digunakan dan test dose yang sesuai harus dilakukan. Kedua, zat
anesthetik harus diberikan dalam dosis terfraksinasi. Terakhir, obat-obatan yang lebih aman
(mis, chloroprocaine dan lidocaine) atau anesthetic lokal amide baru (mis, ropivacaine dan
levobupicaine) lebih dipilih.10
Anestesia Spinal
Anestesia spinal secara tradisional cenderung untuk dihindari pada pasien dengan
preeklampsia dikarenakan resiko untuk terjadinya hipotensi berat. Namun, pada pasien
dengan preeklampsia berat, besarnya penurunan tekanan darah maternal adalah sama setelah
pemberian baik anestesia spinal maupun epidural pada seksio cesarea. Sama seperti
pemberian anestesia epidural, pemberian hidrasi intravena yang dilakukan sebelum anestesia
spinal adalah hal yang penting. Tekanan darah sistolik berkurang lebih dari 30% dari sebelum
dilakukan blok, penatalaksanaan yang diberikan terdiri dari penggeseran uterus ke kiri dan
penambahan infus cairan yang dikombinasikan dengan dosis kecil baik ephedrine (5 mg IV)
ataupun phenylephrine (100 μg IV). Level sensorik T4 merupakan batas yang digunakan
untuk seksio cesarea, tetap diingat bahwa kebutuhan anestesia pada pasien dengan kehamilan
adalah berkurang. Pada sebagian besar instansim bupivacaine (12-15 mg) adalah adekuat
untuk mencapai level sensorik T4 dan 120 menit durasi anestesia. Obat—obatan opioid
seperti, meperidine (10 mg) atau morphine (0,1-0,2 mg) harus ditambahkan sebagai analgesia
postoperative.9,10
20 | P a g e
General Anesthesia
Meskipun penggunaan general anesthesia untuk seksio cesarea secara dramatis telah
menurun dalam dekade terakhir ini, hal ini tetap diperlukan untuk penanganan beberapa
situasi, seperti perdarahan maternal, koagulopati nyata, kelainan fetal yang mengancam
nyawa, atau kasus-kasus pasien menolak untuk dilakukan anesthesia regional.
General anesthesia diindikasikan pada pasien preeklampsia yang menjalani seksio
cesarea yang menolak untuk dilakukan anestesia regional atau yang mempunyai penyakit
koagulopati. Berdasarkan pengalaman, pasien yang membutuhkan seksio cesarea untuk fetal
distress telah ditangani paling banyak dengan anestesia umum, dengan alasan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan anestesia regional sangat merugikan fetus. Namun, anestesia
spinal yang dapat dilakukan dengan cepat dapat mencegah efek depresi pernafasan dari obat
pada fetus dan menghindarkan resiko intubasi trakea yang gagal atau sulit. Anestesia umum
dapat dipilih jika perdarahan atau sepsis merupakan alasan untuk dilakukan seksio cesarea
emergensi. Dengan adanya fetal distress, denyut jantung janin harus diawasi secara terus-
menerus ketika akan mempersiapkan induksi anestesia.10
Resiko anestesia umum pada pasien dengan preeklampsia yaitu sulitnya untuk
dilakukan intubasi dikarenakan adanya edema laring, kemungkinan terjadi aspirasi isi
lambung, peningkatan sensitivitas terhadap obat muscle relaxant nondepolarizing,
peningkatan respon terhadap laringoskop dan intubasi trakea, dan aliran darah plasenta yang
terganggu. Mortalitas anestesia umum pada pasien ini hampir selalu dikarenakan karena
sulitnya managemen jalan nafas ataupun gagalnya intubasi trakea.
Sebelum dilakukan induksi anestesia, sangat penting untuk mengembalikan volume
cairan intravaskular dan kontrol tekanan darah. Induksi anestesia biasanya digunakan
thiopental ditambah dengan succinylcholine untuk memfasilitasi intubasi trakea. Penggunaan
dosis defasciculating obat nondepolarizing muscle relaxant sebelum pemberian
succinylcholine tidak diperlukan, dimana terapi magnesium (yang merupakan sering
digunakan sebagai terapi pada pasien ini) akan memperkuat efek fasciculation yang
dihasilkan succinylcholine.
Edema yang berlebihan pada saluran nafas bagian atas dapat mengganggu visualisasi
dari pembukaan glotis, dan pembengkakan dari laring dapat membuat kita untuk memakai
pipa ETT yang lebih kecil. Edema laring biasanya terjadi sebagai bagian dari edema seluruh
21 | P a g e
tubuh dan wajah yang terjadi pada pereeklampsia; namun dapat juga terjadi dengan hanya
sedikit tanda dan gejala. Penting untuk mencegah usaha yang berulang untuk pemasangan
laringoskop, karena hal ini akan memperburuk edema yang sudah ada. Pada pasien dengan
preeklampsia dengan gangguann koagulasi, jika ada trauma akibat laringoskop dapat
berakibat pada perdarahan.10
Respon tekanan darah sistemik terhadap laringoskop direk dan pemasangan ETT
adalah meningkat pada pasien dengan preeklampsia, oleh karena itu mempertinggi resiko
terjadinya perdarahan serebral. Selain itu, pentingnya menurunkan respon pressor ini adalah
dapat terjadi juga peningkatan konsumpsi oksigen miokardial, aritmia, dan edema pulmoner,
begitu juga penurunan signifikan cari aliran darah ke uterus yang dapat membahayakan janin.
Idealnya, short-duration laringoscopy adalah metode yang paling bagus untuk
meminimalisasikan respon tekanan darah dan denyut jantung akibat pemasangan ETT.
Hydralazine (5-10 mg IV diberikan 10-15 menit sebelum induksi anestesia), labetolol (10-10
mg IV 5-10 menit sebelum dilakukan induksi anestesia), ataupun nitroglycerin (1-2 μg/kg IV
sesaat sebelum dilakukan pemasangan laringoskop) dapat diberikan untuk mengontrol respon
tekanan darah sistemik ini.11
Anestesia volatile dosis rendah (0,5-1,0 MAC) dengan atau tanpa 50% NO dapat
digunakan sebagai dosis maintenance. Pada pasien-pasien ini, penentu utama terjadinya
depresi pernafasan janin adalah lamanya interval antara insisi uterus dan persalinan, dengan
durasi anestesia menjadi penting jika hanya dengan pemberian yang lama (>20 menit)
sebelum persalinan. Setelah persalinan, anestesia ditambahkan dengan opioid. Potensiasi obat
muscle relaxant dengan magnesium dapat terjadi, dan oleh karena itu peripheral nerve
stimulator adalah penting untuk pengawasan fungsi neuromuskular.
Teknik General Anesthesia
Menurut Gambling, pertama-tama dapat diberi 30 mL 0,3 M sodium sitrat per oral
dan metoclopramide 10 mg intravena sesaat sebelum induksi anestheisa. Setelah
denitrogenasi, induksi anesthesia dapat dilakukan dengan cara rapid-sequence, dengan
dilakukan penekanan pada krikoid, sampai ETT terpasang dan cuff diinflasi. Sebelumnya
sodium thiopental 4-5 mg/kg (dosis yang lebih tinggi dari biasanya) untuk induksi anesthesia;
namun sekarang, propofol 2 mg/kg telah menggantikan thiopental, dan lebih sering
digunakan. Succinylcholine 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk mendapatkan intubasi yang
efektif. ETT no 6 atau 6.5 dapat digunakan pada kasus edema jalan nafas yang tidak
22 | P a g e
terdeteksi. Rocuronium, vecuronium, ataupun atracurium dapat juga digunakan sebagai
relaksan otot. Untuk mendapatkan kedalaman anesthesia yang adekuat, dapat diberikan
isoflurane 0,7% sampai 1% atau sevoflurane 1% sampai 2% dalam 50% NO dan 50% O2
sebelum persalinan, untuk mengontrol hipertensi dan mencegah pasien terbangun.7,10
Setelah melahirkan bayi, dapat diberikan fentanyl 3-5 μg/kg secara intravena, dan
konsentrasi dari NO dapat dinaikkan menjadi 66%. Hipertensi jarang memerlukan
pengobatan setelah persalinan. Faktanya, sesaat setelah persalinan, hipotensi lebih sering
terjadi dibandingkan hipertensi, dengan teknik anesthesia apapun. Magnesium sulfat dapat
diberikan sepanjang anesthesia kecuali sampai terjadi hipotensi. Sebelum bangun dapat
diberikan ondansentron 4 mg dan dexamethasone 4 mg secara intravena untuk profilaksis
mual dan muntah. Morphine 5 sampai 10 mg secara intravena dapat diberikan sebagai
analgesia postoperatif awal.
Penanganan Post-Operative
Terapi definitif dari preeklampsia-eklampsia adalah dengan melahirkan janin dan
fetus. Sebelum persalinan, dan selama masa post-partum sesaat sesudahnya, penanganan
adalah suportif dan berfokus pada kontrol tekanan darah, pencegahan kejang, maintenance
perfusi plasenta dan pencegahan komplikasi. Jika komplikasi dapat dicegah, penyakit ini
normalnya akan sembuh sempurna setelah melahirkan. Transfer ibu ke tertiary center
sebelum persalinan harus dipikirkan kiak unti neonatal level III tidak ada. Wanita hamil dan
postpartum mempunyai penanganan yang khusus dimana tidak semua staff bangsal
berpengalaman dengan hal itu. Rujukan ke ICU sebelum persalinan dapat dilakukan pada
kasus-kasus yang berat, atau ketika bangsal obstetri mempunyai kurang alat dan pengalaman
untuk monitoring intensif. Karena prematuritas merupakan penyebab utama dari morbiditas
neonatal, penanganan neonatus juga merupakan hal yang penting. Setelah persalinan, kasus-
kasus berat harus ditangani di ICU selama 24-72 jam.8,10
Pasien biasanya dirujuk ke ICU untuk penanganan postpartum, terutama setelah
persalinan dengan seksio cesarea. Resiko edema pulmoner adalah paling besar setelah
persalinan dan kebanyakan kematian maternal terjadi pada saat itu. Setelah persalinan, sering
terjadi perbaikan awal dengan adanya kambuh dalam 24 jam pertama. Terapi magnesium
harus diteruskan untuk diteruskan untuk 24 sampai 48 jam. Obat-obatan antihipertensi dapat
dikurangi sesuai dengan tekanan darah. Beberapa pasien dapat memerlukan perubahan ke
medikasi oral yang perlu dilanjutkan sampai beberapa minggu. Dukungan psikologis adalah
23 | P a g e
penting, terutama jika terdapat outcome neonatus yang buruk. Pemulihan penuh dari
disfungsi organ yang terjadi pada preeklampsia-eklampsia biasanya akan normal kembali
dalam 6 minggu.11
Prinsip perawatan post-op atau post-partum pada pasien dengan preeklampsia-
eklampsia adalah:
1. Analgesia: Wanita yang menjalani seksio cesarea dapat diberikan opioid epidural atau
intratechal kecuali terdapat kontraindikasi. Pasien dapat diberikan morfin 2,5 sampai
3,0 mg secara epidural atau 0,1 sampai 0,15 secara intratechal, tanpa memandang
terapi yang lain, oleh karena obsrvasi yang ketat masih harus tetap dilakukan paling
sedikit untuk 24 jam. Pemberian NSAIDs bersamaan dapat memperbaiki dan
memperpanjang analgesia intraspinal opioid setelah seksio cesarea.
2. Balans cairan: Tabel balans cairan pasien harus dibuat secara ketat dan dipertahankan
paling sedikit 24 jam atau sampai diuresis normal. Pemasukan total tidak boleh
melebihi 75 ml/hari sampai kelebihan cairan ekstraseluler dapat dimobilisasi.
3. MgSO4: MgSO4 dapat diberikan paling sedikit untuk 24 jam postpartum atau sampai
diuresis maternal tercapai. Durasi terapi bervariasi dari satu literatur ke yang lain dan
tampaknya bersifat empiris namun secara tipikal berhubungan dengan tingkat
penyembuhan dari hipertensi, oliguria, dan/atau koagulopati, begitu juga dengan
keadaan umum pasien. Kejang pada postpartum akhir dapat juga terjadi.
4. Kontrol hemodinamik: hal ini perlu untuk memberikan terapi antihipertensi untuk
mencegah hipertensi rebound ketika pasien mengalami nyeri pasca-operasi.
Pada beberapa kasus, preeklampsia berat-eklampsia, dengan atau tanpa sindroma
HELLP, menetap lebih dari 24 sampai 48 jam postpartum. Pasien dengan hipertensi
persisten, oliguria, dan trombositopenia mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi, terutama jika kelainan ini tidak dapat diatasi juga dalam 72 sampai 96 jam
postpartum.7,8,9,11
Komplikasi
Solusio plasenta.
Hipofibrinogenia.
Hemolisis
Perdarahan otak.
24 | P a g e
Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung sampai 1
minggu, perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda
gawat akan terjadinya apofleksia serebri.
Edema paru.
Nekrosis hati.
Sindroma help.
Kelainan ginjal.
Komplikasi lain (lidah tergigit, trama dan fraktur karena jtuh dan DIC).
Prematuritas, dismaturitas dan IUFD.11
Prognosis
Kematian ibu berkisar antara 9,8%-25%, sedangkan kematian bayi berkisar antara 42,2%-
48,9%. Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan , maka gejala perbaikan
akan tampak jelas stelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhhir
perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam
kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal
ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa
jam kemudian.10,11
Eklampsi tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah
mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsi juga tergolong buruk.
Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi
sudah sangat inferior.
Kesimpulan
Eklampsia adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kejang atau konvulsi yang
tidak dapat dijelaskan ataupun perubahan status mental dengan adanya tanda dan gejala dari
preeklampsia. Eklampsia merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian ibu
diseluruh dunia.
Penanganan eklampsia meliputi mempertahankan jalan nafas, oksigenasi, serta
oksigenasi yang cukup, mengatasi kejang dengan pemberian Mg SO4, mengontrol tekanan
darah dengan obat-obat pilihan seperti labetolol, hidralazine dan nifedifine. Terapi definitif
25 | P a g e
adalah persalinan, dimana dalam keadaan darurat dapat dilakukan seksio cesarea. Anestesia
yang digunakan meliputi epidural, spinal dan general anesthesia sesuai indikasi. Untuk post-
operasi, hemodinamik tetap dijaga, dimana pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan sampai 48-
72 jam, pemberian antihipertensi sampai tekanan darah terkontrol, serta pemberian analgetik
untuk nyeri pasca operasi.
Daftar pustaka
1. Abdurahman N, Daldiyono H, Markum, dkk. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Jakarta: Balai penerbit FKUI ;2010. Hal 7-19
2. Merkum, H. M. S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta;
FKUI;2011.h.23-29
3. Sofian, A. Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2009.h.67-
179
4. Angsar, D. Hipertensi dalam Kehamilan. Edisi II. Surabaya: Lab/SMF Obstetri
Ginekologi, Fakultas Kedokteran UNAIR/RSUD Dr Soetomo
5. Ross, M. G., Eclampsia. Departement of Obstetrics and Gynecology, Harbor-UCLA
Medical Center. 2011
6. Cheng, A. Y., Kwan, A., Perioperative Management of Intra-Partum Seizure. Anaesth
Intensive Care 2007;25:535-538
7. Birnbach, D. J., Browne, I. M., Anesthesia for Obstetrics. In: Miller, R. D., Miller’s
Anesthesia 7th Edition. San Fransisco: Churchill Livingstone Elsevier. 2012
8. Guy, A. M., Silverberg, M. A., Pregnancy, Eclampsia. Departement of Emergency,
State University of New York Downstate Medical Center. 2009
9. Braveman, F. R., Scavone, B. M., Wong, C. A., Obstetrical Anesthesia.Barash, P. G.,
Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C., Clinical Anesthesia 7th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2009.1149-1154
10. Kee, W. D. N., Gin, T., In: Bersten, A. D., Soni, N., Oh’s Intensive Care Manual 6th
Edition. Butterworth Philadelphia: Heinemann Elsevier. 2012. 665-670
11. Gambling, D. R., Hypertensive Disorders. In: Chestnut, D. H., Obstetric Anesthesia
Principles and Practice 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier. 2010
26 | P a g e