Upload
dwi-sri
View
23
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah
Citation preview
PENGAMATAN MORFOLOGI ERITROSIT
(ANISOSITOSIS)
OLEH:
KELOMPOK IV
I Kadek Hardyawan (P07134014032)
Ni Made Parwati (P07134014034)
Isma Dewi Nur Ayati (P07134014036)
Dwi Sri Yani Purwanti (P07134014038)
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2016
PENGAMATAN MORFOLOGI ERITROSIT
(ANISOSITOSIS)
I. TUJUAN
A. Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa dapat mengetahui kelainan ukuran eritrosit (anisositosis).
B. Tujuan Instruksional Khusus
Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan pada sediaan apusan darah.
Mahasiswa dapat membedakan kelainan ukurak eritrosit (anisositosis) pada
sediaan apusan darah.
II. METODE
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode Indirect Preparat.
III.PRINSIP
Sediaan apusan darah diletakkan di atas meja mikroskop dan diamati pada
pembesaran lensa objekto 100x dengan penambahan oil imersi. Pengamatan dilakukan
pada counting area. Secra mikroskopis ukuran eritrosit normal sama dengan inti limosit
matur dengan ditengah berwarna pucat.
IV. DASAR TEORI
A. ERITROSIT
Gambar 1 & 2. Eritrosit Normal
1. Eritrosit Normal
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Dalam setiap 1 mm3 darah
terdapat sekitar 5 juta eritrosit atau sekitar 99%, oleh karena itu setiap pada sediaan
darah yang paling banyak menonjol adalah sel-sel tersebut. Dalam keadaan normal,
eritrosit manusia berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7 -8 μm, tebal ± 2.6 μm
dan tebal tengah ± 0.8 μm dan tanpa memiliki inti (Widayati, dkk, 2010).
Tiap-tiap sel darah merah mengandung 200 juta molekul hemoglobin.
Hemoglobin (Hb) merupakan suatu protein yang mengandung senyawa besi hemin.
Hemoglobin mempunyai fungsi mengikat oksigen di paru-paru dan mengedarkan ke
seluruh jaringan tubuh. Jadi, dapat dikatakan bahwa di paru-paru terjadi reaksi antara
hemoglobin dengan oksigen. Kandungan hemoglobin inilah yang membuat darah
berwarna merah (Widayati, dkk, 2010).
a. Struktur Eritrosit
Komposisi molekuler eritrosit menunjukan bahwa lebih dari separuhnya terdiri
dari air (60%) dan sisanya berbentuk substansi padat. Secara keseluruhan isi eritrosit
merupakan substansi koloidal yang homogen, sehingga sel ini bersifat elastis dan
lunak. Eritrosit mengandung protein yang sangat penting bagi fungsinya yaitu globin
yang dikonjugasikan dengan pigmen heme\ membentuk hemoglobin untuk mengikat
oksigen yang akan diedarkan keseluruh bagian tubuh. Seperti halnya sel-sel yang lain,
eritrositpun dibatasi oleh membran plasma yang bersifat semipermeable dan berfungsi
untuk mencegah agar koloid yang dikandungnya tetap didalam (Iqbal, 2012).
Dari pengamatan eritrosit banyak hal yang harus diperhatikan untuk
mengungkapkan berbagai kondisi kesehatan tubuh. Misalnya tentang bentuk, ukuran,
warna dan tingkat kedewasaan eritrosit dapat berbeda dari normal. Eritrosit normal
mempunyai bentuk bikonkaf, seperti cakram dengan garis tengah 7,5 uM dan tidak
berinti. Warna eritrosit kekuning-kuningan dan dapat berwarna merah karena dalam
sitoplasmanya terdapat pigmen warna merah berupa hemoglobin (Widayati, dkk,
2010).
Warna eritrosit tidak merata seluruh bagian, melainkan bagian tengah yang
lebih pucat, karena bagian tengah lebih tipis daripada bagian pinggirnya. Pada
keadaan normal bagian tengah tidak melebihi 1/3 dari diameternya sehingga selnya
dinamakan eritrosit normokhromatik. Apabila bagian tengah yang pucat melebar
disertai bagian pinggir yang kurang terwarna maka eritrosit tersebut dinamakan
eritrosit hipokromatik. Sebaliknya apabila bagian tengah yang memucat menyempit
selnya dimanakan eritrosit hiperkhromatik (Iqbal, 2012).
b. Pembentukan Eritrosit
Eritrosit dibentuk dalam sumsum merah tulang pipih, misalnya di tulang dada,
tulang selangka, dan di dalam ruas-ruas tulang belakang. Pembentukannya terjadi
selama tujuh hari. Pada awalnya eritrosit mempunyai inti, kemudian inti lenyap dan
hemoglobin terbentuk. Setelah hemoglobin terbentuk, eritrosit dilepas dari tempat
pembentukannya dan masuk ke dalam sirkulasi darah
Eritrosit dalam tubuh dapat berkurang karena luka sehingga mengeluarkan
banyak darah atau karena penyakit, seperti malaria dan demam berdarah. Keadaan
seperti ini dapat mengganggu pembentukan eritrosit.
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning
telah saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut
eritropoisis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa,
dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon
eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa.
Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin
turun.
Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang myeloid yang
terdapat di sumsum tulang. Sel ini akan membentuk berbagai jenis leukosit, eritrosit,
megakariosit (pembentuk keping darah). Rata-rata umur sel darah merah kurang lebih
120 hari. Sel-sel darah merah menjadi rusak dan dihancurkan dalam sistem retikulum
endotelium terutama dalam limfa dan hati.
Globin dan hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai
protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin dikeluarkan
untuk dibuang dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin
diubah menjadi bilirubin (warna kuning empedu) dan biliverdin, yaitu yang berwarna
kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak
pada luka memar.
Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian dirombak di
dalam hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi bilirubin dan biliverdin,
yaitu pigmen biru yang memberi warna empedu. Zat besi hasil penguraian
hemoglobin dikirim ke hati dan limpa, selanjutnya digunakan untuk membentuk
eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada 200.000 eritrosit yang dibentuk dan dirombak.
Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah eritrosit secara keseluruhan (Iqbal, 2012).
Gambar 3. Eritrosit Normal
.
B. KELAINAN ERITROSIT
Kelainan eritrosit terdiri dari tiga jenis yaitu kelainan bentuk (poikilositosis),
kelainan ukuran ( anisositosis) dan kelainaan warna eritrosit.
Anisositosis adalah suatu keadaan dimana ukuran diameter eritrosit yang terdapat
di dalam suatu sedian apusan berbeda-beda atau bervariasi. Anisositosis tidak
menunjukkan kelainan hematologi yang spesifik. Keadaan ini ditandai dengan adanya
eritrosit yang ukurannya tidak sama besar dalam sediaan apus darah tepi. Anisositosis
jelas terlihat pada anemia mikrositik yang ada bersama dengan anemia makrositik
seperti pada anemia gizi. (Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama, 1996).
Kelainan eritrosit berdasarkan ukurannya ( anisositosis) dapat dibedakan menjadi:
a. Makrositik
Gambar 4. Kelainan Eritrosit Makrositik
Ukuran eritrosit yang lebih dari 8,2 Nm (lebih besar dari inti limfosit
matur). MCV lebih dari normal dan MCH biasanya tidak berubah. Terjadi karena
pematangan eritrosit terganggu, dijumpai pada defisiensi vitamin B12 atau asam folat.
Penyebab lain adalah karena rangsangan eritropoietein yang berakibat meningkatnya
sintesa hemoglobin dan meningkat pelepasan retikulosit ke dalam sirkulasi darah. Sel
ini didapatkan pada anemia megaloblastik, penyakit hati menahun berupa
thinmakrocytes dan pada keadaan dengan retikulositosis seperti anemia hemolitik atau
anemia pasca pendarahan.
Ditemukan pada:
- Anemia megaloblastik
- Anema aplastik/hipoplastik
- Hipotiroidisme
- Malnutrisi
- Anemia pernisiosa
- Leukimia
- Kehamilan
b. Mikrositik
Gambar 5 & 6. Kelainan Eritrosit Mikrositik
Ukuran eritrosit yang kurang dari 6,2 nm (lebih kecil dari inti limfosit matur) ,
bisa disertai dengan warna pucat (hipokromia). Pada pemeriksaan sel darah lengkap
didapatkan MCV yang rendah. Terjadinya karena menurunnya sintesa hemoglobin
yang disebabkan difisiensi besi, defiksintesa globulin, atau kelainan mitokondria yang
mempengaruhi unsur hem dalam molekul hemoglobin.
Ditemukan pada :
- Anemia defesiensi besi
- Keracunan tembaga
- Anemia sideroblasik
- Hemosiderosis pulmoner idiopatik
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia hemolitik
- Anema megaloblastik
C. PENYEBAB
Ada banyak penyebab anisositosis, antara adalah:
1. Kekurangan zat besi. Zat besi adalah komponen penting pembentuk sel darah merah.
Jika kadarnya kurang maka terjadi anemia. Anemia sendiri akan memicu gejala
anisositosis;
2. Kekurangan vitamin A. Vitamin ini memegang peran penting dalam sistem kekebalan
tubuh. Jika kadarnya kurang, ukuran sel darah merah menjadi tidak beraturan;
3. Kekurangan vitamin B12. Seperti halnya zat besi, vitamin B12 merupakan komponen
penting pembentuk sel darah merah. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan
anemia, yang pada gilirannya menyebabkan anisositosis;
4. Gangguan sum-sum tulang belakang. Pada gangguan ini, produksi sel darah
berkurang sehingga memicu terjadinya anisositosis;
5. Transfusi darah dimana ukuran sel darah merah yang ditransfusikan berbeda dengan
ukuran sel darah merah penerima transfusi. Anisositosis akibat transfusi biasanya
berlangsung sementara.
D. GEJALA
Umumnya gejala anisositosis berhubungan dengan ketidakmampuan sel darah
merah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Gejala-gejala yang timbul
antara lain:
1. Mudah lelah. Gejala ini merupakan gejala yang paling sering menyertai
anisositosis;
2. Napas pendek atau napas seperti tidak sampai;
3. Denyut jantung lebih cepat, meskipun tidak ada aktifitas fisik yang berat;
4. Kulit pucat, biasanya paling menyolok terjadi pada ujung jari kaki atau tangan,
bibir, atau bola mata.
Gejala di atas tidak hanya terjadi pada anisositosis, tapi juga dapat ditemukan
pada penyakit jantung, paru-paru, atau penyakit lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan
pemeriksaan mendalam oleh dokter untuk mengetahui apakah anisositosis atau penyakit
lain yang menyebabkan gejala tersebut.
V. ALAT DAN BAHAN
A. Alat :
Mikroskop binokuler
B. Bahan :
Preparat jadi
Oil Imersi
Tissue Lensa
VI. CARA KERJA
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Sediaan apusan darah diletakkan pada meja mikroskop.
3. Lensa objektif diputar ke perbesaran 10x untuk mencari counting area.
4. Preparat ditetesi oil imersi.
5. Lensa objektif diputar ke 100x.
6. Kondensor dinaikkan, iris diafragma diputar ke 100.
7. Pengamatan dilakukan di counting area.
8. Diamati dan dibandingkan ukuran eritrosit dengan inti limfosit matur.
Bila erotrosit lebih besar : Makrositer
Bila eritrosit lebih kecil : Mikrositer
9. Dicatat hasil yang didapatkan (kelainan ukuran eritrosit)
DAFTAR PUSTAKA
Ardin, Zakaria. 2012. Morfologi Sel Darah Merah . [Online]. Tersedia :
https://zakariadardin.wordpress. com/2012/01/09/morfologi-sel-darah-merah/ (diakses
pada tanggal 6 April 2016)
Gandasoebrata.R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta. 1967
Iqbal. 2012. Eritrosit. [Online]. Tersedia : http://aboutlabkes.wordpress.com/2012/01/30/
eritrosit/ (diakses pada tanggal 6 April 2016)
Nini. 2011. Eritrosit. [Online] tersedia : http://nheniethree.blogspot.com/2011/06/eritrosit-
sel-darah-merah.html (diakses tanggal 6 April 2016)
Rahayu, Puji. 2011. Eritrosit. [Online]. Tersedia : http://blog.uad.ac.id/ratnasari/2011/
12/06/eritrosit-sel-darah-merah/. (diakses pada tanggal 6 April 2016)
Quintana, Kinositha. 2012. Kelainan Bentuk Eritrosit. [Online]. Tersedia : http:// cocoquiin.
blogspot.com/2012/03/kelainan-bentuk-eritrosit.html (diakses pada tanggal 6 April
2016)
Widayati, dkk. 2010. Laporan Praktikum Anatomi Fisiologi Manusia Sediaan Apus Darah.
Jakarta: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka