13
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS HASANUDDIN JULI 2014 LUKA MEMAR INTRAVITAL DAN POST MORTEM OLEH : Vishnu Raj Savum C 11108757 Juliarwon Putra C 11109284 SUPERVISOR : dr. Denny Mathius, M.Kes, Sp.F DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 Lembar Pengesahan Date Signature

Luka Memar Intravital Dan Postmortem

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat Bagian Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Membahas mengenai perbedaan luka memar intravital dan postmortem, usia luka memar, dan lain sebagainya

Citation preview

  • BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

    FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

    UNIVERSITAS HASANUDDIN JULI 2014

    LUKA MEMAR INTRAVITAL DAN POST MORTEM

    OLEH :

    Vishnu Raj Savum C 11108757 Juliarwon Putra C 11109284

    SUPERVISOR :

    dr. Denny Mathius, M.Kes, Sp.F

    DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

    BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2014

    Lembar Pengesahan Date Signature

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

    1. Vishnu Raj Savum C 11108757 2. Juliarwon Putra C 11109284

    Judul Referat : Luka Memar Intravital dan Post Mortem

    Telah menyelesaikan tugas dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada Bagian

    Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    Makassar, Juli 2014

    Supervisor :

    dr. Denny Mathius, M.Kes, Sp.F

  • 1

    LUKA MEMAR INTRAVITAL DAN POSTMORTEM

    I. PENDAHULUAN

    Lebam atau kontusio atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai

    bruise merupakan sebuah area perdarahan didalam jaringan lunak karena ruptur pembuluh darah yang disebabkan oleh trauma tumpul. (1-3) Kata

    bruise kadang-kadang dianggap bersinonim dengan hematom dan ekimosis (echymoma). Istilah kontusio juga sering digunakan, khususnya ketika berhubungan dengan adanya trauma internal. (4)

    Memar umumnya terjadi akibat trauma benda tumpul, seperti pukulan atau jatuh, tetapi juga dapat terjadi karena luka hancur, perasan, atau cubitan. (5) Adanya tekanan yang cukup pada permukaan kulit

    mengakibatkan gangguan pembuluh darah tanpa merusak kulitnya. (3)

    Kontusio tidak hanya bisa terjadi pada kulit, terapi juga pada organ dalam tubuh seperti paru-paru, hati, otak, dan otot. (1)

    Salah satu permasalahan mengenai terbentuknya luka memar adalah adanya variasi antar individu. Luka memar biasanya menjalani serangkaian perubahan warna dari merah, merah kebiruan, biru, biru kehijauan atau cokelat menjadi kuning sebelum menghilang. Namun, tidak semua luka memar menjalani perubahan warna tersebut. (3)

    II. PATOMEKANISME Sel sebagai bagian dari suatu jaringan apabila mengalami jejas atau

    cedera akan melakukan respon adaptasinya sendiri. Penyebab jejas sel antara lain adalah : (6)

    1) Hipoksia; 2) Trauma fisik; 3) Obat-obatan dan zat kimia; 4) Reaksi imunologis; 5) Defek genetik; dan 6) Ketidakseimbangan nutrisi.

  • 2

    Pada kasus luka memar, jejas sel terjadi karena trauma fisik benda tumpul. Sel yang terkena jejas akan mengalami beberapa fase untuk beradaptasi agar dapat kembali ke keadaan homeostasis. (6)

    Kontusio dapat dibedakan dari area livor mortis. Pada kontusio, darahnya telah masuk hingga kedalam jaringan lunak sehingga tidak dapat dihapus atau dikeluarkan seperti pada area livor mortis. (1) Pemeriksaan

    immunohistokimia pada kontusio dan perubahan warna postmortem menunjukkan adanya reaksi positif dari glycophorin A, sebuah komponen dari sel darah merah, yang mengindikasikan bahwa trauma tersebut adalah trauma antemortem. (7)

    Setelah kematian, tidak adanya tekanan darah berarti diperlukan tenaga yang sangat besar untuk menghasilkan memar pada mayat. Memar

    postmortem seperti itu sangat kecil jika dibandingkan dengan tenaga yang dikeluarkan, biasanya dihubungkan dengan adanya fraktur, dan memar yang dihasilkan tersebut hanya berdiameter beberapa centimeter. (5)

    Tabel 1 Perbedaan memar dengan lebam mayat (8)

    Memar Lebam Mayat Lokasi Bisa dimana saja Pada bagian terendah Pembengkakan (+) (-) Bila di tekan Warna tetap Warna memudar / hilang Mikroskopik Reaksi jaringan (+) Reaksi jaringan (-)

    Derajat dan keparahan kontusio tidak hanya bergantung kepada banyaknya energi yang diberikan, tetapi juga terhadap struktur dan vaskularisasi jaringan yang mengalami kontusio. Oleh karena itu, kontusio paling mudah terjadi pada daerah yang berkulit tipis dan memiliki banyak lemak. (1, 4) Anak-anak dan orang tua lebih mudah mengalami kontusio, karena anak-anak memiliki kulit yang lebih tipis dan lembut serta memiliki banyak lemak subkutan. Pada orang tua, terjadi hilangnya jaringan penyokong subkutan, gangguan pembuluh darah dan memarnya lebih lama

    sembuh. (1, 3, 4) Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran dari sebuah kontusio : usia, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan korban, serta daerah dan tipe jaringan yang terkena. (1) Tidak ada cara pasti untuk menentukan

  • 3

    seberapa banyak energi yang diperlukan agar terjadi kontusio. (2, 3) Penelitian untuk mengetahui seberapa banyak energi yang diperlukan untuk terjadinya fraktur atau luka memar sulit dilakukan karena tidak adanya sampel manusia. (3)

    Gambar 1 Proses terbentuknya luka memar (9)

    Kontusio dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk dari objek yang digunakan, karena bentuknya biasanya tercetak. Ketika seseorang dipukul dengan benda yang rata seperti papan, kita sering menemukan

    kontusio linear paralel yang sama dengan ujung dari papan tersebut. (1)

  • 4

    Gambar 2 Bentuk kontusio yang diakibatkan oleh ujung senter (1)

    III. PENGUKURAN USIA KONTUSIO

    Metode yang biasa digunakan untuk menentukan usia dari sebuah luka memar adalah dengan histologi dan perubahan warna. Metode

    penentuan umur luka yang biasa digunakan dalam bidang forensik selama ini adalah dengan melihat gambaran luka secara makroskopis, berdasarkan perubahan warna yang mengikuti proses penyembuhan yang terjadi pada luka tersebut. Penentuan umur luka secara mikroskopik ataupun secara serologik merupakan metode lain yang dapat digunakan, yaitu dengan melihat perubahan-perubahan biokimiawi yang terjadi pada jaringan dan cairan tubuh terutama pada darah. (1, 10)

    Memar akan mengalami proses perubahan warna karena degradasi dari hemoglobin. Tidak ada terminologi standar yang digunakan untuk

    menjelaskan warna dari memar. Warna yang sama dapat disebut sebagai ungu, merah keunguan, biru keunguan, atau biru. (1)

    Kebanyakan memar awalnya berwarna merah, biru gelap, ungu, atau hitam. Setelah hemoglobin dipecah, warnanya perlahan berubah menjadi ungu, hijau, kuning tua, kuning pucat, kemudian menghilang. Perubahan ini

  • 5

    dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Namun, laju perubahan ini sangat bervariasi, bukan hanya antar individu, tetapi antar memar pada individu yang sama. Perubahan warna ini juga bisa terjadi tidak berurutan dan saling bertumpang-tindih. (1-3) Warna pada ujung luka memar biasanya merupakan indikator usia memar yang paling baik, dengan warna tertua berada pada bagian ujung. (3)

    Gambar 3 Memar dengan berbagai gradasi warna (2)

    Gambar 3 diatas menunjukkan perubahan warna pada memar. Memar dengan berbagai gradasi warna pada gambar tersebut berusia kira-kira 1 minggu.

    Tabel 2 Perubahan warna luka memar (4)

    Sumber 0-24 jam 1-3 hari 4-7 hari 1-2 minggu > 2 minggu Camps (1976)

    Merah, ungu, hitam

    Hijau Kuning Menghilang

    Glaister (1962)

    Biru gelap Biru gelap Hijau Kuning Menghilang

    Polson et al (1985)

    Merah, merah gelap / hitam

    Hijau kehitaman

    Kekuningan Menghilang

    Smith dan Merah Kuning Kuning Kuning / Menghilang

  • 6

    Sumber 0-24 jam 1-3 hari 4-7 hari 1-2 minggu > 2 minggu Fiddes (1955)

    Ungu / hitam

    menghilang

    Spitz dan Fisher (1974)

    Biru muda / merah

    Ungu gelap Ungu gelap, kuning kehijauan

    Cokelat Menghilang

    Adelson (1974)

    Merah / biru, ungu

    Biru / cokelat

    Kuning / hijau

    Menghilang Menghilang

    Hasil metabolik dari heme terdiri dari serangkaian senyawa non-

    metallic yang tersusun sebagai struktur rantai linear pyrrole. Senyawa tersebut adalah bilin atau bilichrome. Salah satu dari bilin tersebut adalah senyawa berwarna biru-kehijauan yang disebut sebagai biliverdin (C33 H34 O6 N4) dan bilirubin (C33 H36 O6 N4) yang merupakan sebuah senyawa berwarna kuning kemerahan yang terbentuk dengan menambahkan 2 atom hidrogen ke biliverdin. Senyawa-senyawa tersebut, serta pigmen biologis

    lainnya seperti biochrome yang dibentuk sebagai produk katabolik porfirin, yang bertanggung jawab terhadap perubahan warna pada luka memar. (5)

    Tabel 3 Daftar hal-hal yang mempengaruhi penampakan luka memar (11)

    Perubahan warna memar

    Antemortem dibanding postmortem

    Massa dan kecepatan tumbukan

    Pigmentasi kulit Struktur dan vaskularisasi jaringan Umur Jenis kelamin Lemak subkutan dan berat badan korban Laju resolusi Suhu tubuh

    Cepatnya kematian setelah trauma Kondisi lingkungan Pakaian Laju metabolisme Status kesehatan dan penyakit (hipertensi, gangguan koagulasi, gangguan hati, pengobatan)

    Kedalaman dan kekuatan dari trauma Deformasi fisik lain (luka tusuk, overlapping) Subjektifitas pemeriksa dan derajat keahlian Cahaya pada saat observasi Efek gravitasi seiring berjalannya waktu

    IV. PSEUDO-BRUISE

    Ekstravasasi darah kedalam jaringan setelah kematian dapat mengakibatkan terjadinya salah interpretasi. Kita harus menghindari penggunaan istilah memar pada kejadian postmortem, karena pengertian forensik dari kata memar itu adalah kejadian yang terjadi pada saat

  • 7

    antemortem. Pseudo-bruise merupakan istilah yang lebih tepat untuk digunakan untuk menyatakan perubahan warna postmortem yang menyerupai luka memar. (4)

    Salah satu pernyataan yang paling sering kita dengar adalah bahwa

    kontusio merupakan tanda bahwa trauma tersebut terjadi sebelum kematian, karena tidak dapat terjadi kontusio setelah mati. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Bukti menunjukkan bahwa kontusio postmortem dapat terjadi jika diberikan pukulan yang keras pada tubuh beberapa jam setelah kematian. (1, 12) Pukulan yang keras tersebut memecahkan kapiler, membuat darah masuk ke dalam jaringan lunak dan menghasilkan kontusio postmortem yang penampakannya hampir sama dengan kontusio antemortem. Kontusio postmortem sangat jarang terjadi dan paling sering terlihat di kulit dan jaringan lunak yang menutupi tulang seperti di kepala. (1)

    V. DIAGNOSIS Anamnesis : Pasien yang mengalami kontusio memiliki riwayat trauma

    sebelumnya, biasanya berupa pukulan / tumbukan atau jatuh. Secara umum, orang tersebut mengeluh adanya perubahan warna pada kulit,

    pembengkakan, dan nyeri. Biasanya terdapat kekakuan atau keterbatasan pergerakan, tergantung dari lokasi kontusio tersebut. (13)

    Pemeriksaan Fisis : Kontusio bisa nampak berwarna biru gelap atau kuning kehijauan tergantung dari waktu kapan dilakukannya pemeriksaan tersebut setelah terjadinya trauma. Daerah tersebut dapat teraba keras dan nyeri saat ditekan. Biasanya ada pembengkakan disekeliling luka memar tersebut. (13)

    Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan Histologis (14)

    Pemeriksaan histologis tidak sepenting pemeriksaan makroskopik dalam mendiagnosis trauma luka tumpul. Umumnya seseorang akan melakukan pemeriksaan terhadap jaringan yang mengalami trauma tumpul karena 2 alasan :

    a. Untuk menentukan apakah lesi tersebut betul adalah lesi antemortem, dan

  • 8

    b. Untuk mengetahui usia dari trauma luka tumpul tersebut.

    Pada pemeriksaan histologis, adanya proliferasi fibroblast, deposisi hemosideri, pertumbuhan kapiler, dan karakteristik perbaikan histologis

    lainnya mengindikasikan bahwa trauma tersebut terjadi sebelum kematian. (14)

    Tabel 4 Dokumentasi luka memar (4)

    (1) Bentuk : kontur, pola, dan derajat pembengkakan harus ditulis sejelas mungkin.

    (2) Ukuran : tergantung bentuk luka memar. Namun, paling tidak harus diberikan 2 dimensi pengukuran panjang dan lebar.

    (3) Warna : penting untuk mendeskripsikan warna luka memar dengan istilah simpel

    (4) Lokasi : sama seperti luka trauma lainnya, penting untuk menggambarkan lokasi tepatnya pada tubuh. Harus disertai dengan deskripsi lokasinya (seperti bagian bawah dada kiri depan) dan jaraknya dari 2 titik (misalnya dari garis tengah tubuh dan dibawah bahu).

    (5) Foto : penting untuk mengilustrasikan deskripsi luka memar dengan foto berkualitas bagus. Skala pengukuran harus disertakan dalam setiap foto. Untuk menentukan usia luka memar berdasarkan warnanya, biasanya disertakan skala warna.

    (6) Pada keadaan tertentu, penggunaan teknik fotografi spesial dengan menggunakan gelombang cahaya diluar dari spektrum cahaya yang dapat dilihat seperti ultraviolet dan infrared dapat memperbaiki penampakan dari luka memar tersebut.

    VI. PROGNOSIS Kebanyakan kontusio sembuh tanpa adanya kelainan. Waktu

    penyembuhan dapat bervariasi tergantung keparahan trauma. Kontusio superfisial hilang dalam waktu 1 sampai 2 minggu dengan terapi konservatif. (13)

    VII. KOMPLIKASI

    Gangguan perdarahan seperti hemofilia dapat memperpanjang perdarahan dan menyebabkan kontusio yang lebih parah. Gangguan

    perdarahan tersebut juga dapat menyebabkan gangguan organ karena perdarahan kedalam organ atau pembentukan clotting pada pembuluh darah

  • 9

    sehingga terjadi sumbatan aliran darah. (13, 15) Penekanan pembuluh darah lokal karena pembengkakan atau perdarahan dapat menyebabkan terjadinya sindrom kompartemen yang dapat menyebabkan kerusakan otot dan saraf permanen. (13)

    Oleh karena itu penting untuk mengetahui kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan memar/perdarahan jaringan spontan atau membuat individu tersebut mudah terkena memar (tidak sebanding antara memar yang terjadi dengan kekuatan trauma) yang dapat mengganggu diagnosis untuk menentukan kekuatan trauma yang sebenarnya. (4)

  • 10

    DAFTAR PUSTAKA

    1. DiMaio VJ, DiMaio D. Forensic Pathology Second Edition. Washington DC, USA: CRC Press LLC; 2001.

    2. Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. USA: CRC Press LLC; 2000. 3. Dix J, Calaluce R. Guide to Forensic Pathology. USA: CRC Press LLC;

    1999.

    4. Vanezis P. Interpreting bruises at necropsy. Journal of Clinical Pathology. 2001;54:348-55.

    5. Punder D. Lecture Notes in Forensic Medicine. University of Dundee; 2007. p. 2.

    6. Herlambang PM. Referat : Mekanisme Biomolekular Luka Memar. 2008. 7. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma - Common

    Problems for the Pathologist. Totowa, New Jersey, USA: Humana Press Inc; 2007.

    8. Faridah H, Kaniasari N, Shiddiq R. Referat : Traumatologi Forensik - Umur Luka. 2012.

    9. Stark MM. Clinical Forensic Medicine - A Physicians Guide 2nd Edition. Totowa, New Jersey, USA: Humana Press Inc; 2005.

    10. Arkipus, Achmad D, Truly D, Dasril. HUBUNGAN KADAR MONOCYTES CHEMOATTRACTANT PROTEIN-1 (MCP-1) DENGAN UMUR LUKA TERBUKA PADA MENCIT (Mus musculus). Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2013.

    11. Avon S, Mayhall J, Wood R. Clinical and Histopathological Examination of Experimental Bite Marks In-Vivo. The Journal of Forensic Odonto-Stomatology. December 2006;Vol. 24 No. 2:54.

    12. Stark MM. A Physician's Guide to Clinical Forensic Medicine. Totowa, New Jersey, USA: Humana Press Inc; 2000.

    13. Contusion [Internet]. Reed Group Disability Guidelines. 2012 [cited 26 June 2014]. Available from: https://www.mdguidelines.com/contusion.

  • 11

    14. Batalis NI. Histology and Microscopic Examination and Findings. Forensic Autopsy of Blunt Force Trauma [Internet]. 2013. [cited 28 June 2014]. Available from:

    http://emedicine.medscape.com/article/1680107-overview#aw2aab6b7.

    15. McQuoid-Mason D, Pillemer B, Friedman C, Dada M. Chapter 9 - Basic Traumatology. In: McQuoid-Mason D. A Medico-Legal Guide to Crime Against Women and Children. Scotland, UK: Dundee University and Independent Medico-Legal Unit; March 2002.