Upload
abjah
View
112
Download
27
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ular dan anjing
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Vulnera atau luka adalah kondisi dimana terdapat gangguan kontinuitas
suatu jaringan, sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal.
Secara umum luka dapat dibagi menjadi dua, yaitu Luka simplek jika hanya
melibatkan kulit, dan luka komplikatum bila melibatkan kulit dan jaringan
dibawahnya.1
Vulnus morsum (luka gigit) biasanya disebabkan oleh gigitan binatang.
Kemungkinan infeksi lebih besar. 1 Luka gigita yang paling sering dijumpai
yaitu pada Luka gigitan Ular (vulnus morsum serpentis) dan Luka gigitan
Anjing (vulnus morsum canis).Kasus gigitan ular dan anjing termasuk kasus
kegawatan yang sering dijumpai di unit gawat darurat. Dimana gigitan ular
banyak dialami oleh negara di daerah tropis dan subtropis, yang pekerjaan
utamanya adalah agrikultural.
Sedangkan pada kasus gigitan anjing,Yang paling ditakutkan selain
infeksi ialah penyakit rabies. Rabies merupakan penyakit virus akut pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan disfungsi yang hebat dan tercatat hanya
sedikit sekali yang menderita rabies yang dapat bertahan hidup. Semua mamalia,
terutama karnivora dapat terserang penyakit ini, contoknya saja anjing. Penyakit
ini bersifat endemi dimana mana.6
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Gigitan Ular (Vulnus Morsum Serpentis)
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular
berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ualr tersebut dapat menyebabkan
kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa,gigitan dapat menyebabkan envenomisasi
2.1.1 Etiologi
Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Famili Elipadae, terdiri dari
2
b. Famili Viperidae, terdiri dari :
c. Famili Hydrophydae
Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa.
Namun,beberapa ular berisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular
berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka
bekas gigitan terdapat bekas taring.
3
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala elips, segitiga
2. Gigi taring dua taring besar
3. Bekas gigitan: terdiri dari dua titik
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala bulat
2. Gigi kecil
3. Bekas gigitan lengkung seperti U
Perhatikan perbedaan morfologi kemungkinan ular berbisa atau tidak pada
gambar dibawah ini :
4
2.1.2 Patofisilogi
5
2.1.3 Sifat bisa
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa ular
dapat di bedakan menjadi :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic) yaitu Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine ( dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic) Yaitu bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan
jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka
gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limphe.
3. Bisa sitotoksik Yaitu Bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa
padakorbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ketubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan
kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening.
2.1.4 gejala dan tanda gigitan ular
Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular
yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri
lokal,pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang,
melepuh, infeksilokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae).
Gejala-gejala awal terdiri dari satu atau lebih tanda bekas gigitan ular,rasa
terbakar, nyeri ringan, dan pembengkakan local yang progresif.
6
Bila timbul parestesi, gatal, dan mati rasa perioral, atau fasikulasi otot
fasial, berarti envenomasi yang bermakna sudah terjadi. Bahaya gigitan ular
racun pelarut darah adakalanya timbul setelah satu atau dua hari, yaitu
timbulnya gejala-gejala hemorrhage (pendarahan) pada selaput tipis atau lender
pada rongga mulut, gusi, bibir, pada selaput lendir hidung, tenggorokan atau
dapat juga pada pori-pori kulit seluruh tubuh.
Pendarahan alat dalam tubuh dapat kita lihat pada air kencing (urine)
atau hematuria, yaitu pendarahan melalui saluran kencing. Pendarahan pada alat
saluran pencernaan seperti usus dan lambung dapat keluar melalui pelepasan
(anus).Gejala hemorrhage biasanya disertai keluhan pusing-pusing kepala,
menggigil, banyak keluar keringat, rasa haus,badan terasa lemah,denyut nadi
kecil dan lemah, pernapasan pendek, dan akhirnya mati.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit
kegelapan karena darah yang terperangkap d i jaringan bawah kulit).
Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual,
hipersalivasi (ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur.
Tingkatan berat ringannya gigitan ular dibagi menjadi 5 tingkatan sesuai dengan
keadaan klinis yaitu:
Grade Tanda dan gejala
0: Tanpa envenomatio
n
Satu atau lebih luka gigitan, nyeri minimal, edema di sekitarnya <
1 inci dan eritema pada 12 jam, tidak ada keterlibatan sistemik
I: Envenomasi minima
l
Tanda luka gigitan, nyeri moderate sampai berat, edema di sekitar
1 - 5 inci dan eritema dalamn 12 jam pertama setelah gigitan, tidak
ada keterlibatan sistemik.
II: Envenomasi
moderate
Tanda luka gigitan, nyeri berat, ang marks; severe pain; edema di
sekitar 6 – 12 inci dan eritema dalam 12 jam setelah gigitan,
kemungkinan keterlibatan sistemik termasuk nausea, vomitus,
pusing, syok atau gejal neurotoksik
III: Envenomasi berat Tanda luka gigitan, nyeri berat, edema di sekitarnya lebih dari 12
inci dan eritema biasanya ada dan termasuk petekie generalisata
dan ekimosis.
7
IV: Envenomasi
sangat berat
Keterlibatan sistemik selalu ada dan gejal dapat termasuk gagal
ginjal, sedikit hematuri, koma dan kematian, edema local dapat
meluas melebihi ekstremitas yang terlibat pada sisi tubuh
ipsilateral.
2.1.5 Penatalaksanaan
Pemasangan torniket dan insisi dan pengisapan tepat dikerjakanan dalam
1 jam pertama gigitan ular. Ular memasukkan venom ke dalam jaringan
subkutan yang akan diabsorbsi oleh kapiler dan limfatik. Torniket dipasang
longgar hanya untuk menghambat aliran vena dan limfatik. Torniket jangan
dilepas selama 30 menit sampai pengisapan bisa ular dapat dilakukan. Torniket
dilepas setelah terapi definitive dilakukan dan pasien tidak dalam keadaan syok.
Tindakan yang dilakukan adalah:
1. Primary survey (ABCD)
2. Pasang torniquet
3. Insisi silang ditempat gigitan
4. Isap (jangan dihisap dengan mulut, usahakan dengan vacuum, atau suction
atau spuit)
5. Cuci luka dengan diguyur NaCl 0,9 % sebanyak-banyaknya, dilanjutkan
dengan H2O2 kemudian povidon iodine dan terakhir dengan NaCl 0.9 %
6. Pemberian serum anti bisa ular.
7. Antibiotik profilaksis
8. Anti tetanus (penggunaan tetanus toksoid dan atau anti tetanus serum
tergantung status imunisasinya)
9. Analgetik.
10. Pemeriksaan darah lengkap dan urin.
Insisi dan pengisapan bisa ular selama 30 menit dapat bermanfaat bila
dilakukan 30 menit setelah digigit ular. Insisi dilakukan longitudinal dan tidak
cruciate. Ketika dua tanda gigitan ular terlihat, kedalaman injeksi venom kira-
kira 2/3 jarak antara tanda gigitan ular. Gigitan yang berat dapat menyebabkan
masuknya venin ke fascia dan explorasi surgical perlu dilakukan.
Insisi yang dibuat proksimal terhadap gigitan merupakan kontraindikasi.
Rata-rata gigitan ular tidak memerlukan eksisi surgical. Prosedur ini dilakukan
8
pada envenomasi berat. Terlihat bahwa eksisi luas dari seluruh area di sekitar
gigitan ular dalam 1 jam pertama sejak waktu injeksi dapat menghilangkan
seluruh venom. Eksisi luka gigitan termasuk kulit dan jaringan subkutis, perlu
dipertimbangkan pada luka gigitan berat dan pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serum kuda yang dapat dilihat dalam 1 jam setelah gigitan.
Kebanyakan fatalitas gigitan ular terjada selama 6 -48 jam setelah gigitan
ular.
Terapi paling penting untuk gigitan ular adalah antivenin.
9
10
2.2 Luka gigitan Anjing (vulnus morsum canis)
2.2.1 Definisi
Gigitan anjing adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari anjing,
yang paling ditakutkan dari gigitan anjing selain infeksi adalah penyakit rabies.
Rabies merupakan penyakit virus akut pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan disfungsi yang hebat dan tercatat hanya sedikit sekali yang
menderita rabies yang dapat bertahan hidup. Semua mamalia, terutama
karnivora dapat terserang penyakit ini, contoknya saja anjing. Penyakit ini
bersifat endemi dimana mana.6
2.2.2 Etiologi
Penyebab rabies adalah virus rabies yang termasuk famili Rhadovirus.
Bentuk virus menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan
pada permukaannya terlihat bentuk paku dengan panajng 9 nm. Virus ini
tersusun dari protein, lemak, RNA, dan karbohidrat. Sifat virus adalah peka
terhadap panas namun dapat mati bila berada pada suhu 500C selama 15 menit.
Ada dua macam antigen yaitu antigen glikoprotein da antigen nukleoprotein.
Virus ini akan mati oleh sinar matahari dan ultraviolet serta mudah dilarutkan
dengan detergen.1,6 Penyakit ini berkembang secara sporadic.1
Infeksi biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, kelelawar dan ditularkan pada manusia melalui gigitan, kontak
virus (saliva binatang) atau muntahan yang mengandung virus rabies dengan
luka pada host dan ataupun melalui membrane mukosa. Kulit yang utuh
merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Infeksi rabies pada manusia
terjadi dengan masuknya vius lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek)
atau mukosa. 6,7
Masa inkubasinya 10 hari hingga beberapa bulan kemudian, namun
beberapa literature menyebutkan 30-60 hari. Masa inkubasi di pengaruhi oleh
lokasi tempat gigitan hewan menular. Makin jauh tempat gigitan dari kepala,
makin panjang perjalanan penyakitnya. Karena itu, gigitan pada leher lebih cepat
menunjukkan manifestasi klinis daripada gigitan pada tungkai. 6 Setiap manusia
yang berhunumgam dengan binatang yang menderita rabies harus diobservasi
11
lebih kurang 10 hari (tanda tandanya : gelisah, agresif, tidak mau makan dan
minum, hidrofobia). 1,6,7
2.2.3 Patofisiologi
Cara bagaimana virus rabies berjalan dari luka ke otak hanya sebagian
yang dimengerti. Karena virus melekat pada dan menembus sel dengan cepat
secara in vitro adalah mungkin bahwa virus tetap tidak aktif dalam luka untuk
masa waktu yang lama. Walaupun, virus terbukti naik ke akso dari perifer ke
medula spinalis, kecepatan penyebaran (3mm/jam) adalah jauh sangan cepat
untuk menjelaskan masa inkubasi penyakit yang lama.3
Virus mula-mula bermultipilikasi dalam sel otor serat lintang, yag
padanya melekat melaluo beberapa reseptor, mungkin termasuk reseptor
asetilkolin nikotinat. Dapat dihipotesiskan bahwa antibodi, interferon dan faktor
hospes lain kemudian bekerja pada virus ketika ia meninggalkan otot serat
lintang, jika faktor-faktor ini tifak cukup protektif, virus akhirnya melekat pada
saraf. Selanjutnya rabies mungkin tidak dapat dihindarkan. Kemungkinan bahwa
virus harus mengatasi perintang lain dalam perjalanan dari neuron yang
terinfeksi pertama sampai ke neuron lain ditunjukan oleh pemeriksaan
mikroskop elektron, yang memperagakan lewatnya virus dari sel ke sel yang
berdekatan.3,8
Lesi dasar dalam otak adalah penghancuran neuron dalam batang otak
dan medulla. Korteks serebri biasanya normal bila tidak ada anoksia yang lama
sebelum meninggal. Hipokampus, talamus, dan ganglia basalis sering
menunjukan penghancuran neuronal dan infiltrat glia. Patologi yang paling berat
adalah nyata di pons dan serambi ventrikel ke empat. Spasme otot inspirasi yang
menyebabkan kenaikan gejal hidrofobia mungkin karena penghancuran
hambatan neuron batang otak samapi neuron nukleus ambiguus, yang
mengendalikan inspirasi. Hidrofobia tidak terjadi pada penyakit lain karena
hanya rabies yang menggabung ensefalitis batang otak dengan teks utuh dan
mempertahankan kesadaran.8
Benda negri, panjang, tanda patologis rabies, merupakan inklusi
sitoplasmasik yang terdapat dalam neuron, ia terdiri dari nukleokaspsid virus
12
yang tergumpal. Tidak adanya Benda Negri tidak mengesampingkan rabies;
pewarnaan antibodi fluoresen potongan-potongan otak atau pulasan mungkin
positif bila tidak ada.3,8
Secara patofisiologi, setelah virus masuk ke tubuh manusia, selama 2
minggu virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya.
Virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf
perifer tanpa menunjukan perubahan-perubaha fungsinya. Selubung virus
menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki
sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-
sinaptik pada neuromuscular juncton di susunan sarap pusa (SSP). Dari saraf
perifer virus menyebar secara sentripel melalui endometrium sel-sel Shwan dan
melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam
dan berkembang biak.
Selanjutnya virus menyebat dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan
saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus
menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron,
kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer
termasuk serabut saraf otonom, saraf otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal
(medula), ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada
kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air
susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula
spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe
paralitik.
Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel
mononuklear dan perivaskular, neuronofagia, dan pembentukan nodul pada glia
pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri bodies yaitu benda
intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan
fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada
seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipotlamus, sel
purkinje serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kaus rabies
tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan ternjadinya
aritmia pada pasien rabies.3
13
2.2.4 Gejala klinis
Rabies merupakan penyakit primer pada hewan tingkat rendah dan
menyebar ke manusia melalui gigitan atau kontak dengan saliva hewan yang
terinfeksi rabies. Penyakit ini adalah esenfalitis yang akut, fulminan, dan fatal.
Masa inkubasi pada manusia khasnya 1-2 bulan, tetapi dapat hanya 1 minggu
hingga beberapa tahun 9sampai 19 tahun). Masa inkubasi biasanya lebih
pendek pada anak daripada orang dewasa.3 Spektrum klinis dapat di bagi
menjadi tiga fase:
1. Fase prodromal yang singkat, fase neurologis akut, dan koma. Fase
prodromal, berlangsung selama 2-10 hari, dapat menunjukkan salah satu
gejala nonspesifik : malaise, anoreksia, nyeri kepala, fotofobia, mual dan
muntah, nyeri tenggorok, serak, pembesaran kelenjar limfe regional, dan
demam. Biasanya terdapat abnormal di sekitar tempat luka.1
2. Fase neurologi akut, yang berlangsung 2-7 hari, Stadium ini ditandai dengan
adanya kecemasan, berkeringat, gelisah oleh suara atau cahaya terang,
salvias, insomnia, nervousness, spasme otot kerongkongan , tercekit, sukar
menelan cairan ludah, kejang kejang, tingkah laku aneh, berubah. Terlihat
hiperaktivitas simpatis umum, berupa lakrimilasi, dilatasi pupil dan
peningkatan salvias serta perspirasi. Sebagian besar pasien akan
menunjukkan hidrofobia (takut terhadap air).1
3. Fase stadium koma, disebut juga fase kelumpuhan. Kelumpuhan terjadi
akibat kelumpuhan sel saraf. Penderita menjadi kebingungan, sering kejang
kejang , inkontinensia urinae maupun alvi, stupor, koma, kelumpuhan otot
otot, kematian.1
Komplikasi
Selain dapat menyebabkan kekhawatiran mengenai kontaminasi luka yang
disebabkan oleh masuknya flora normal kulit, luka gigitan juga menimbulkan
kekhawatiran mengenai timbulnya infeksi yang disebabkan oleh masuknya flora
oral ke dalam luka.2 Jaringan yang tertusuk dan terkoyak merupakan media
kultur yang baik. Organisme utama yang harus dipertimbangkan dalam
menunjukkan adanya infeksi yang berasal dari flora normal kulit adalah
Staphylococcus aureus dan Streprococcus grup A. Apabila pasien yang terluka
14
berenang di air asin, maka mikroba Vibrio harus dipertimbangkan sebagai
penyebab infeksi tersebut. Akan tetapi, flora normal oral merupakan penyebab
utama infeksi, dan penting untuk mengetahui organisme mana yang
menginfiltrasi luka tergantung dari jenis binatang. Walaupun beberapa ratus
spesies bakteri dapat ditemukan dalam mulut binatang, tetapi hanya spesies
tertentu yang paling umum menyebabkan infeksi. 6,9
Infeksi pada luka gigitan anjing melibatkan bakteri dalam spektrum yang
lebih luas. Biasanya dijumpai infeksi campuran serta dapat melibatkan
kombinasi bakteri aerob dan anaerob. Organisme aerobik yang paling banyak
terlibat dalam luka gigitan anjing adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus
intermedius, Micrococcus sp, koagulase negatif, Staphylococcus non group A
(terutama Streptococcus alpha hemolyticus), dan Eikenella corrodens. Bakteri
anaerob yang penting adalah Bacteroides sp, Peptostreptococcus, Fusobacterium
sp dan Streptococcus anaerob. 6,9
Pejamu yang memiliki imunitas lemah mendapat perhatian khusus.
Organisme dengan virulensi rendah pada pejamu yang normal dapat
menyebabkan infeksi yang hebat pada anak dengan leukemia atau
imunodefisiensi primer. Jaringan mati merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Gigitan anjing biasanya menimbulkan beberapa luka tusuk
serta robeknya jaringan di sekitar gigitan. Lubang gigitan anjing dapat mencapai
tekanan 150 pound per inci persegi. 6,9
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdovir
idea dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus
keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang
tidak bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan
sebagai perantara penularan. Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai
letak geografis. Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies
antara lain rakun (Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika
Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies
yang masih tinggi.6 Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan
lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan
hewan perantara pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus akan masuk
melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi
15
di sana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan non
saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Hewan yang terinfeksi
bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies jinak/ tenang. Pada rabies
buas/ ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, menggigit dan
menelan segala macam barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah
kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak/tenang, hewan yang
terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total, suka
bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernapas, serta
menunjukkan kegalakan.8
Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah
terinfeksi. Masa inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari
pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia. Bila disebabkan oleh
gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada mukosa,
luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan atau kaki,
luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak.
Sedangkan luka dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka,
garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki.6,8
2.2.5 Pemeriksaan
2.2.5.1 Anamnesis
Anamnesis yaitu suatu proses wawancara dua arah antara dokter dengan
pasiennya untuk menadapatkan informasi mengenai : Data binatang: spesies
(anjing, kucing, tupai, dan lain-lain), jinak atau liar, diprovokasi atau tidak
diprovokasi, status imunisasi (terutama imunisasi rabies); Informasi pasien:
riwayat imunisasi (tetanus, rabies); Status imun (diabetes, asplenia, respons
imun lemah yang lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya infeksi).10
Adapun macam pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah:
Kapan terjadinya kontak atau jilatan atau gigitan dari anjing liar tersebut?
Apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies?
Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies?
Penderita luka gigitan pernah di VAR, kapan?
16
Hewan yang menggigit pernah di VAR , kapan?
Lain-lain :
- Temuan pada waktu observasi hewan
- Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
- Petunjuk WHO
2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan pada luka dan daerah di sekitar luka dan
kelenjar limfe regional. Pada pemeriksaan luka perlu diperhatikan luas dan
dalamnya luka, lokasi luka pada tubuh (tangan, wajah, proksimal terhadap
sendi), waktu yang telah dilewati setelah luka, dan tanda infeksi lokal (eritema,
edema, cairan purulen). Tanda-tanda infeksi daerah di sekitar luka dan kelenjar
limfe regional juga perlu diperhatikan.10
a. Inspeksi : Amati bentuk dada pasien, bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama, kedalaman, adakah
retraksi Interkostal.
Apakah ada gangguan nervus cranial.
b. Palpasi : Apakah ada kaku kuduk atau tidak.
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen. Adakah pembesaran lien dan hepar.
c. Perkusi : Apakah ada distensi abdomen
d. Auskultasi : Adakah suara napas tambahan.
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya,
Adakah bunyi tambahan, Adakah bradicardi atau tachicardia.
Peristaltik usus.
2.2.5.3 Pemeriksaan laboratorium
17
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik.pada awal
dari penyakit, hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalanan
penyakit. Leukosit antara 8000-13.000/mm3 dengan 6-8% monosit yang atipik,
namun leukositas 20.000-30.000/mm3 sering dijumpai trombosit biasanya
normal. Pada urinalisis di jumpai albuminuria dengan peningkatan sel leukosit
pada sedimen. Pada cairan serebrospinal (CSS) dapat dijumpai gambaran
ensefalitis, peningkatan leukosit 70/mm3 tekanan CCS dapat normal dan
meningkat, protein dan glukosa normal.10
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bhan yang
berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsy
kulit/otak, cairan serebrospinal, dan kadang-kadang urin. Pewarnaan antibody
fluoresensi untuk rabies dalam otak atau jaringan SSP lain dari host binatang
yang dicurigai.9
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit
tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat
butir-butir basofilik didalamnya.
Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsy
jaringan otak penderita.post-mortem dan jaringan otak hewan yang diinokulasi
dengan virus rabies.1 Pemeriksaan khusus. Apabila tidak ditemukan Jisim
intrasitoplasma dalam neuron (badan badan Negri) patognommonik, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan diagnosis rabies.7,9
2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Pembanding
Diagnosis pada manusia ditegakkan dengan tes antibody netralisasi
rabies yang positif dan gejala klinisnya . Sedang diagnosis pada hewan
ditegakkan dengan pemeriksaan otak secara otopsi. Pada otopsi otak, akan
ditemukan badan inklusi virus (negri’s bodies) di dalam sel saraf.
Bila penderita mempunyai riwayat telah tergigit oleh binatang, parestesia
pada luka, dan hidrofobia, maka diagnosis klinis rabies tidak sukar. Setiap
penyakit dimana ada ensefalitis kadang kadang dapat menyebabpkan kerancuan,
seperti mereka yang disebabkan oleh arbovirus, enterovirus, dan herpes
simpleks. Namun jika kita mendapatkan tanda tanda keterlibatan batang otak
pada penderita yang sensorinya pada dasarnya jernih dan yang tidak mempunyai
18
tanda tanda lesi yang menempati ruang, diagnosis lain biasanya dapar
dikesampingkan.7
Rabies paralitik mungkin salah didiagnosis sebagai sindrom Guillain –
Barre , poliomyelitis, atau ensefalomietis vaksin postrabies. Pemerikasaan
neurologis yang cermat dan analisis cairan serebrospinal akan sering membantu
mengesampingkan diagnosis ini.7
Spasme tetanus dapat menyebabkan kerancuan diagnostic sebentar,
tetapi trismus tidak ditemuan pada rabies, dan hidrofobia tidak ditemukan pada
tetanus. Botulisme (luka atau penelanan) akan menyebabkan paralisis. Tetapi
tidak adanya perubahan sensoris harus mengesampingkan rabies. 7
Diagnosis laboratorium sekarang dimungkinkan sebelum mati. Virus
mungkin diperagakan dengan pewarnaan antibody fluoresen pulasan sel epitel
kornea atau potongan lkulit leher pada grasi garis perbatasan rambut. Uji ini
positif karena virus migrasi kebawah sarafnya dari otak; baik kornea maupun
folikel rambut sangat terinnervasi. Pemeriksaan autopsy otak penderita dengan
ensefalitis yang mematikan harus mencakup uji antibody fluoresen untuk rabies. 7
2.2.7 Penatalaksanaan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat
diobati, namun harus dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan
menimbulkan gejala. Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk
menyembuhkan penyakit ini. Pemberian serum dan vaksin pada luka akibat
gigitan hewan liar: 7
Tanpa lesi : observasi
Goresan : serum + vaksin
Gigitan dangkal: serum + vaksin
Serangan berat : serum + vaksin
a. Penatalaksanaan pada binatangnya: Bila binatang tertangkap, diobservasi
selama dala 10 hari. Bila dala 10 hari tersebut, menunjukkan gejala gejala
rabien, maka binatang tersebut dibunuh, lalu jaringan otaknya dikirim dan
19
diperiksa di laboratorium, periksalah antigen rabies dengan cara
imunoflurosensi. 7
b. Penatalaksanaan pada manusia: Kematian biasanya terjadi beberapa hari
setelah terjadinya gejala pertama. Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang
diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies segera cuci luka
dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah air mengalir secara berulang
ulang selama 10-15 menit lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. Bila
perlu lakukan tindakan debridement, jangan melakukan tindakan anastesi
infiltrasi lokal, tetapi anastesi dengan cara blok atau umum. Balut luka
secara longgar, dan observasi luka minimal 2 x sehari.1,7 Orang-orang yang
belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan
tetanus. Bila pengobatan antirabies merupakan indikasi, ‘Rabies Immune-
Globulin’ (RIG) dan vaksin lebih disenangi ‘human diploid cell vaccine’,
(HDCV) harus diberikan tanpa memperhatikan interval waktu dan dari
kontak.7
Pemberian HDCV lima dosis 1mg intra muscular; dosis pertama
diberikan dengan RIG kecuali untuk orang yang titer antibody yang adekuat
sebelumnya. Mulai dengan RIG, diberikan sesegera mungkin setelah
terjadinya kontak. Dosis HDVC diberikan pada hari ke -3, 7, 14, 30, dan 90.
Serum untuk antibody rabies harus diambil pada hari ke 90, atau 2-3 minggu
setelah dosis terakhir. Bila HDCV tidak tersedia, gunakan ‘ Duck Embryo
Vaccine’ (DEV) lokal; “rash” terhadap DEV sering terjadi dan tidak
merupakan kontraindikasi untuk pengobatan.. Bila terdapat tanda tanda
klinik, tempatkan penderita dalam ICU, gunakan obat seperti curare untuk
mengatasi spasme otot. Dan mungkin diperlukan trakeostomi. Bila tidak
ditemukan antibody, laporkan kepada Pusat Pengendalian Penyakit (Rabies)
dan berikan booster; 2-3 minggu kemudia ambil contoh bahan lagi.9
RIG hanya diberikan satu kali pada permulaan profilaksis pasca –
kontak. Dapat diberikan sampai 8 hari setelah vaksin dosis pertama.
Dianjurkan dosis 20 mg/ kg intravena. Infiltrasi setengah dosis kedalam luka
dan berikan sisanya secara intramuscular. DEV digunakan bila tidak
tersedia HDCV. Dan antri serum rabies (ARS) kuda hanya digunakan bila
RIG tidak tersedia, dosis yang diberikan adalah 40 mg/kg intra vena dengan
20
cara yang sama seprti RIG. Tes sensitifitas pada penderita sebelum
pengobatan dimulai.9
Reaksi yang tak diharapkan .
Reaksi lokal HDCV seperti nyeri, pembengkakan, eritema terjadi pada
kira kira 25% penderita. Dan Gejala gejala ringan seperti malaise, demam,
sakit perut terjadi pada 20% penderita. RIG menyebabkan nyeri lokal dan
demam ringan. Sedangkan ARS yang berasal dari kuda menyebabkan gejala
gejala dan tanda tanda pada 40% orang dewasa; reaksi anafilaksis bisa
terjadi. 9
Peringatan
Hindari obat obatan kortikosteroid dan imunosupresif selama pengobatan
karena mengkin mempengaruhi produksi antibody dan menjadi predisposisi
penderita terhadap penyakit. Dan sebelum melakukan tidakan sebaiknya
melakukan pemeriksaan respon anti bodi dalam serum. Kehamilan bukanlah
merupakan kontraindikasi untuk profilaksis pasca kontak. Penderita yang
hipersensitif harus berhati hati pada pemberian vaksin rabies, dengan
menyediakan epinefrin dan antihistamin guna mengobati reaksi. 9
2.2.8 Prognosis
Dengan profilaksis pasca kontak yang agresif menmggunakan HDCV dan RIG,
penyakit jarang timbul secara klinik. Dan bila tanda tanda klinik muncul,
prognosis buruk; hanya sedikit sekali penderita yang pernah bertahan hidup bila
menderita rabies secara klinik.7,9
2.2.9 Pencegahan
Vaksinasi
Karena masa inkubasi rabies yang bisa lama, imun aktif dicapai melalui
14 x suntikan setiap hari dengan DEV (Tissue Emulsion Duck Embryo
Vaccine) 10%, dengan dosis sebesar 1 ml/kali selama 14 hari atau 2 ml/ suntikan
selama 7 hari. Suntikan dilakukan persubkutan. Imunisasi aktif diberikan setelah
24 jam pemberian serum anti rabies. Daerah suntikan adalah di abdomen,
21
bokong, paha bagian lateral. Booster diberikan pada hari ke 10, 20, 30 paska
vaksinasi. Pengobatan vaksinasi harus dihentikan bila penderita menunjukkan
gejala neurologis seperti ensefalitis pasca vaksinasi. Serum Hiperimun.
Merupakan inunisasi pasif. Dosis yang diberikan adalah 1000 IU / 40 Kg BB,
per IM. Sebelum diberikan harus dilakukan ters sensitivitas.8
Pencegahan rabies
Profilaksis pra-pemajanan. Vaksinasi anjing anjing domestic dan
pelenyapan hewan nyasar telah mengakibatkan pemberantasan rabies didunia
dari berbagai daerah. Jika pengendalian anjing dipraktekkan dengan tepat, rabies
dapat ditekan pada banyak daerah didunia.8
Mereka yang diharapkan beresiko, seperti dokter hewan, pekerja
laboratorium, dan anak yang pergi ke daerah enzootic – rabies, dapat diimunisasi
sebelumnya. Vaksin biakan sel (lihat nanti) sebenarnya akan menghasilkan
respon 100% dengan tiga dosis diberikan pada 0, 7 dan 28 hari. Titer 0,5 IU
telah dianggap sebagai protektif.8,9
Profilaksis pasca pemajanan. Pertama, keputusan harus dibuat apakah
profilaksis rabies diperlukan. Pada banyak daerah di amerika serikat, rabies pada
mamalia telah diketahui selama bertahun tahun. Namun gigitan binatang
termasuk pada spesies yang diketahui merupakan hosper rabies, seperti sigung
(semacam kera), serigala, rakkoon, kelelawar, atau anjing hutan. Rodensia amat
jarang mengidap rabies di amerika serikat. Informasi epidemiologi rabies lokal
adalah sangat penting pada dokter yang menangani pemajanan manusia. Gigitan
yang tidak beralasan oleh kelelawar atau binatang buas lain hampir selalu
memerlukan vaksinasi; keputusan berkenaan dengan gigitan dari binatang
domestic atau binatang kesayangan harus dibuat sesudah pembahasan dengan
dokter hewan kesehatan masyarakat.8,9
Jika binatang domestic seperti anjing atau kucing adalah penyerangnya,
pertimbangan harus diberikan pada pertanyaan provokasi, gambaran klinis
binatang jika dilihat, dan status vaksinasi rabies binatang tersebut. Kesukaran
dalam membuat keputusan muncul bila biunatang penggigit telah lari sesudah
serangan yang agaknya tidak beralasan. Apakah binatang gila atau hanya
22
berwatak jelek sering tidak mungkin diputuskan. Bila binatang ada dalam
pengamatan, pengobatan rabies dapat ditunda sampai binatang bertindak
abnormal, pada saat ini harus dikorbankan dan diuji untuk rabies. Namun,
binatang buas harus segera dibunuh untuk diuji dengan teknik antibody
fluoresen.9
Jika profilaksis rabies harus diberikan sesudah pemajanan, pencegahan
tergantung pada tiga cara pengurangan risiko yang saling melengkapi. Pengbatan
lokal (lihat nanti) dirancang untuk membunuh virus dengan aksi mekanik
dengan virusid. Antibody pasif (lihat nanti) kemudian member penyekatan
perlekatan virus segera pada ujung saraf. Namun, antibody pasif akhirnya hilang
dan harus diganti dengan rspon aktif yang diberikan oleh vaksin. Vaksin tidak
boleh hanya memberikan respon antibody primer tetapi harus mengatasi
pengaruh depresi antibody pasif pada respon imun. 8,9
Antibody pasif
Imunisasi pasif haus diberikan untuk memproteksi penderita sampai
vaksinasi menghasilkan antibody. Antibody pasif tersedia dibeberapa Negara
dalam bentuk globulin imun kuda atau globulin imun rabies manusia yang
keduan menghindari reaksi penyakit serum terhadap protein kuda, yang terjadi
pada sekitar 1% resipien produk binatang. Dosis globulin imun rabies manusia
adalah 20 IU/kg. sampai setengah dosis harus di infiltrasiakan secra subkutan
pada tempat gigitan atau goresan; sisanya diinjeksikan pada lengan atau pantat.
Dosis globulin imun kuda adalah 40 IU/kg diberikan dengan cara yang sama.9
Imunisasi pasif harus dilakukan tanpa memandang interval antara
pemajanan rabies dan pengobatan. Namun, jika vaksin dimulai sebelumnya
adalah tidak perlu untuk member imunisasi pasif bila 8 hari yang telah terlewati.
Anafilaksis merupakan kemungkinan yang jarang timbul dengan produk kuda,
tetapi uji untuk hipersensitifitas harus dilakukan ndengan cara biasa (paket
konsultasi terselip). Steroid harus dihindari jika mungkin dalam pengobatan
reaksi (anaafilaksis) karena mereka mennyebabkan aktivasi virus rabies pada
binatang percobaan. 8,9
23
Imunisasi aktif. Vaksin rabies awal yang dipersiapkan pasa system saraf
sentral binatang. Antigenisitasnya buruk dan diperlukan injeksi berkali kali.
Akibat ensefalitis pasca vaksinasi adalah masalah yang sering. Vaksin jaringan
saraf binatang masih digunakan dibanyak tempat didunia, terutama, vaksin otak
tikus umur menyusui, member reaksi neurologis lebih sedikit daripada vaksin
otak kambing karena vaksin yang pertama mengandung kurang myelin. 8,9
Namun, kemajuan utama dalam vaksin rabies adalah perkembangan
teknologi biakan sel yang memungkinkan produksi vaksin konsentrat dengan
potensi antiogenik tinggi dan kontaminasi dengan protein sel rendah. Dengan
demikian imunogenisitas diperbaiki, memungkinkan mengirangi jumlah
donogenisitas diperbaiki, memungkinkan mengurangi jumlah dosis dan reaksi
dikurangi. Vaksin sel biakan yang pertama yang tersedia secara luas dihasilkan
dalam sel diploid manusia (humandiploid cell [HDCV]). Vaksin ini, dan satu
lagi yang dihasilkan pada sel diploid janin rhesus (RNA), adalah hanya dua ini
yang sekarang tersedia di Amerika Serikat, vaksin dihasilkan dalam vero (gijal
kera berkelanjutan), embrio ayam, emkbrio bebak, dan sel biakan lain juga
digunakan. 8,9
Bagan yang dianjurkan untuk imunisasi pasca pemajanan adalah lima
dosis yang diberikan secara intramusculer dalam deltoid pada hari 0, 3 , 7 , 14
dan 28. Dosis ini untuk anak, tidak dikurangi. Respon imun terhadap bagan
pasca pemajanan terhadap rabies, adalah wajib memberikan imunisasi p[asif
seperti diuraikan sebelumnya. 8,9
Beberapa individu mungkin terpajan pada rabies karena profesi atau
berwisata dalam enzootic rabies. Untuk imunisasi pra pemajanan. Diikuti bagan
tiga dosis, terdiri atas dosis intramuskuler (0,1 mL) atau hati hati memberikan
vaksin dalam otot bukannya dalam jaringan subkutan. Titer antibody post
vaksinasi biasanya tidak diperlukan kecuali kalau subjek adalah imunosupresi
atau sedang mendapat terapi antimalaria, yang dapar menekan respon. 8,9
Angka reaksi terhadap vaksin biakan sel adalah rendah, dan reaksi
neurologis jarang karena tidak ada jaringan saraf dalam biakan sel yang
digunakan untuk menumbuhkan virus . reaksi alergi terjadi pada kurang dari
0,1% sesudah vaksinasi primer dengan HDCV dan gejala sistemik seperti
24
malaise dan demam hanya pada 5-15%. Meskipun demikian, pemberian booster
menimbilkan angka reaksi 6&; karenanya booster tidak lagi dianjurkan secara
rutin, kecuali pasca pemajanan rabies, bila dua dosis diberikan pada interval 3
hari. Vaksin RVA mungkin berguna pada mereka yang mengalami reaksi pada
HDCV. walaupun tidak ada penelitian terkontrol yang telah dilakukan,
kemanjuran vaksinasi rabies jelas tinggi, menilai dari insiden penyakit yang
telah diketahui sesudah gigitan oleh binatang terinfeksi yang tidak diobati
(sekitar 15 %) dan pengurangan kegagalan vaksin. Bila dilihat, kegagalan vaksin
biasanya disertai regimen profilaktik yang tidak sempurna. 8,9
25
BAB III
KESIMPULAN
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang dapat
mengenai mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Virus
rabies ini sangat fatal apabila terpapar, karena prognosisnya berujung pada kematian.
Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang atau kontak virus
(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Selain
virusnya sendiri, dalam gigitan anjing, juga terdapat mikroorganisme yang dapat
memperburuk kondisi gigitan. mikroorganisme ini juga banyak terdapat pada kubangan
air, yaitu Staphylococcus dan Streptococcus yang Pada luka atau bagian tubuh yang
mengalami infeksi sering kali muncul pus (nanah) dan infiltrat. Setelah tergigit oleh
binatang yang tercurigai rabies, kita dapat memberikan suntikan ATS, Rabies immune
Globulin (RIG), dan vaksin HDVC dengan dosis dan waktu pemakain yang telah
ditentukan untuk meminimalisir resiko untuk sementara waktu. Untuk luka terbukanya
sendiri, tidak cukup hanya dengan memberikan antiseptic saja, luka harus dibersihkan
dengan air dan sabun secara berulang ulang. Irigasi dengan larutan betadine. Bila perlu
lakukan tindakan debridement, balut luka secara longgar, dan observasi luka minimal 2
x sehari. Berikan ATS atau HTIG. Bila luka gigitan berat, berikan suntikan infiltrasi
serum anti rabies di sekitar luka. Pencegahan dapat dilakukan pada hewan dan manusia
yang berupa vaksinasi maupun pemusnahan hewan yang terkena rabies. Dapat juga kita
melakukan pencegahan terhadap virus rabies melalui control terhadap vaksinasi dan
terhadap hewan liar yang berkeliaran disekitar lingkungan kita.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Karakata S, Bachsinar B. Bedah minor. Jakarta : Hipokrates, 2008. h. 1-25, 32-
3, 109-12.
2. Morison M J. Manajemen Luka. Jakarta. EGC: 2003.h.10-1
3. Widoyono. Penyakit tropis, epidemologi, penularan, pencegahan &
pemberantasannya. Jakarta : Erlangga, 2008. h. 243-53
4. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta :
EGC, 2006. h. 57-77
5. Brook, Geo F. Mikrobiologi kedokteran. Jawetz, Melnick,& Adelberg. Edisi 23.
Jakarta : EGC, 200. h. 112-8
6. Harijanto P N, Gunawan carta A. Rabies. Ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta:
FKUI, 2006. h.2924-30
7. Behrman RE, Kleigman RM, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15.
Jakarta: EGC, 2000. h.917-29, 1145-48
8. Akoso BT. Pencegahan dan pengendalian rabies. Jakarta: Kanisius, 2007.h.1-20
9. Saputra L, Margaretha L M. Kapita selekta kedokteran klinik. Jakarta: Binarupa
Aksara Publisher, 2009. h. 241-44
10. Halim-Mubin, A. Panduan praktis ilmu penyakit dalam : diagnosis dan terapi.
Jakarta : EGC, 2001. H. 323-7
27