Upload
hanguyet
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
U
NDI
A
IK
ENDI
Model Pembelajaran MPK berlandaskan Falsafah Tri Hita Karana
(Oleh Tim LP3M Undiksha)
==================================================
I. Pendahuluan
Pendidikan kita harus mampu menghasilkan manusia Indonesia yang
berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta
kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan
persaingan global. Kualitas manusia Indonesia seperti itu dapat dicapai melalui
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi dengan didukung oleh proses
pembelajaran yang bermutu tinggi. Untuk itu, harus dioptimalkan terjadinya
pembelajaran yang bermakna disemua tingkatan pendidikan formal, dan hal tersebut
juga harus terjadi di level pendidikan tinggi.
Dalam kaitan dengan hal di atas, Undiksha sebagai salah satu Perguruan
Tinggi Negeri, yang merumuskan Visinya: “Menjadi universitas unggul
berlandaskan falsafah Tri Hita Karana di Asia pada tahun 2045” harus
mengimplementasikan hal tersebut dalam menjalankan misi Tri Dharma Perguruan
Tinggi nya.. Implementasi transpormasi bahan kajian khususnya pada dharma
pertama harus dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana (THK) yang merupakan nilai
local genius budaya Bali.
Dalam kancah yang lebih khusus lagi sesuai dengan pertemuan saat ini yaitu:
workshop tentang model pembelajaran MPK berbasis Tri Hita Karana (THK), dimana
mata kuliah tersebut dilabel dengan nama Mata Kuliah Pembentukan Kepribadian
(MPK) yang secara umum bermuatan deskripsi umum pada KKNI, yang dalam
implementasi transpormasi pembelajarannya harus dalam balutan Tri Hita Karana.
Pada prinsipnya Mata kuliah umum atau MPK adalah mata kuliah yang wajib
ditempuh oleh semua mahasiswa. Mata kuliah umum untuk program Sarjana dan
program Diploma terdiri dari (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2012 tentang Perguruan Tinggi):
1) Mata kuliah Pendidikan Agama
2) Mata kuliah Pendidikan Pancasila
3) Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
1
4) Mata kuliah Bahasa Indonesia
Namun, untuk program Sarjana (S1) Undiksha, mata kuliah umum wajib
ditambahkan mata kuliah: (a) IAD untuk program studi pada rumpun Ilmu Sosial,
Humaniora dan beberapa Pohon keilmuan dirumpun Ilmu Terapan; serta ISBD
untuk program studi pada rumpun Ilmu Alam, Ilmu Formal dan beberapa Pohon
keilmuan dirumpun Ilmu Terapan; dan (b) Bahasa Inggris untuk semua program
studi.
Pencantuman Tri Hita Karana dalam visi Undikha membawa
konskwensi logis bagi seluruh sivitas untuk (tidak saja) memahami nilai-nilai
substansi yang terkadung dalam THK., tetapi juga berupaya mengembangkan
strategi implementasinya dalam berbagai pengembangan kebijakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi di Universitas Pendidikan Ganesha. Dalam konteks pelaksanaan
pendidikan sebagai salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, Visi Universitas
Pendidikan Ganesha membawa konskwensi logis untuk mengembangkan inovasi
pembelajaran berlandaskan falsafah THK, utamanya dalam hal ini pembelajaran Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian.
Pengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik
karena tuntutan visi dari universitas maupun tuntutan faktual masyarakat Indonesia
yang multikultur. Kesadaran semacam itu sangat penting dalam mewujudkan dan
merawat masa depan Indonesia yang lebih maju dan keberadaban. Karena pada
dasarnya multikulturalisme merupakan kearifan untuk melihat keanekaragaman
budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu
segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama
dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam
kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan
masyarakat yang lebih kompleks (Lubis, 2006; Parekh,2008; Kawuryan, 2009; Joel,
2016). Dalam konteks itulah proses pembelajaran seyogyanya dapat menumbuhkan
kemampuan berpikir kritis secara holistik yang mengimplementasikan: kecerdasan
intelektual, sosial, spiritual, dan ekologis.
Melalui pemikiran semacam itulah pembelajaran harus bersumber pada
peserta didik dengan sosiokultural masyarakatnya sehingga pembelajaran menjadi
lebih humanis, berkeadilan, dan menyenangkan. Dalam konteks ini pendidikan di
Universitas Pendidikan Ganesha tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara
2
orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya, kualitas lingkungan
alamnya dan kualitas moralitas dan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
II. Landasan Penyusunan Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah Tri
Hita Karana
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis yang mendasari pengembangan model Pembelajaran MPK
adalah suatu landasan falsafah yang secara kental mewarnai kualitas lulusan (output)
yang dihasilkan dari suatu proses transformasi, akibat implementasi suatu kurikulum.
Dalam kaitan dengan itu, berarti sumber dan isi dari kurikulum (dalam hal ini MPK),
proses pembelajarannya, posisi mahasiswa, asesmen terhadap proses dan hasil
belajarnya, maupun hubungan mahasiswa dengan masyarakat dan lingkungan alam di
sekitarnya didasarkan pada landasan filosofis tertentu. Materi, proses pembelajaran,
asesmen dan posisi mahasiswa dalam konteks pembelajaran MPK di Undiksha
dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan
seluruh potensi mahasiswa menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, menemukan
keharmonian dan keseimbangan dalam kehidupannya, dikembangkan berdasarkan
falsafah Tri Hita Karana yang mengajarkan bahwa keharmonisan dan keseimbangan
hidup manusia akan tercapai dari keharmonian hubungan antara manusia dengan
Tuhan (Prahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan
manusia dengan lingkungannya (Palemahan) ( Nada Atmaja, 2010). Dalam Bhagavad
Gita Bab III sloka 10 dinyatakan bahwa: saha-yahjnah prajahsrstva vurovaca
prajapatih anena prasavisyadhvam esa vo’stv istan-kama-dhuk (terjemahannya; pada
zaman dahulu kala, Prajapati, Sang Pencipta, telah menciptakan alam semesta beserta
mahluknyamelalui persembahan suci yajna, dan bersabda, sejahterakanlah semuanya
melalui perbuatan suci ini. Melaksanakan perbuatan sebagai persembahan suci seperti
ini akan dapat memenuhi segala sesuatu yang engkau inginkan). Ini berarti
keseimbangan, keharmonisan dan kebahagian hidup manusia akan tercapai bila
manusia dapat menjaga dan melakukan keharmonisan hubungan vertikal yaitu pada
Hyang Prama Wisesa (Tuhan Yang Maha Esa), dan horizontal pada lingkungan dan
manusia itu sendiri. Bila dihubungkan dengan filsafat progresivisme dan humanistic
dalam pendidikan, dimana pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. maka akan dihasilkan manusia yang
3
memiliki keunggulan. Berdasarkan konstelasi keharmonisan tersebut, ke-unggul-an
sebagai ciri kualitas sumber daya manusia akan tercapai secara optimal.
Keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan akan memunculkan rastiti
pada Yang Prama Wisesa (ketaqwaan), keimanan dan rasa syukur atas rahmat
Tuhan, dan hal tersebut memunculkan ketentraman hati manusia dalam
kehidupannya. Keharmonisan hubungan manusia dengan manusia dalam satu
kehidupan masyarakat, akan memunculkan interaksi kemanusiaan yang humanis,
saling tolong menolong dengan sesama dalam kehidupan. Keharmonisan hubungan
humanis tersebut akan memunculkan kenyamanan hidup. Sedangkan keharmonisan
hubungan manusia dengan lingkungan akan membentuk lingkungan kehidupan yang
harmoni, yang dapat memunculkan lingkungan yang lestari. Kelestarian lingkungan
akan memberikan dapat positif dalam kehidupan. Konstelasi keharmonisan hubungan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1 Konstelasi Keharmonisan Hubungan dalam Tri Hita Karana
Klarifikasi naratif dari konstelasi gambar di atas, pada kesepadanannya dalam
indikator-indikator (disarikan dari berbagai sumber Bhegavad Gita, Tiga Kerangka
Agama Hindu, dikomparasikan dengan deskripsi yang ada di KKNI dan SNPT), dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai yang terkandung dalam dimensi Prahyangan adalah: bertakwa
(restiti), beriman, dan bersyukur. Bersyukur adalah sikap dan perilaku
yang tunduk hati atas rahmat dan nikmat dari Tuhan. Indikator yang dapat
dirumuskan adalah: (a) Bertakwa (Rastiti) kepada Tuhan Yang Maha Esa,
4
RESTITI
HUMANIS HARMONISManusia Unggul
(b) memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik didalam
menyelesaikan tugasnya, dan (c) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
dalam menjalankan tugas berdasarkan agama, moral dan etika.
2. Pawongan menyangkut indikator: (a) kehidupan yang humanis saling
tolong menolong dengan sesama, (b) berperan sebagai warganegara yang
bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia, (c) mampu
bekerjasama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi
terhadap masyarakat dan lingkungan, (d) menginternalisasi nilai, norma
dan etika akademik, (e) menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,
kepercayaan dan agama, serta pendapat / temuan orisinil orang lain, (f)
berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan kemajuan peradaban.
3. Palemahan menyangkut indikator: (a) menjunjung tinggi lingkungan hidup
yang harmoni, (b) penegakan hukum serta memiliki semangat untuk
mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas, (c) berperan
sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki
nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada negara dan bangsa, (d)
menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain, (e)
berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan pancasila, (f)
bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap
masyarakat dan lingkungan, (g) taat hukum dan disiplin dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, (h) menginternalisasi semangat
kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan, dan (i) menunjukkan sikap
bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara mandiri.
Mengenai Ke-Unggul-an dapat dideskripsikan bahwa; Unggul diindikatorkan
dengan: cerdas, berdayasaing tinggi, disiplin, jujur, kredibel, Intelek, professional
yang beriman bertaqwa, beraklaq mulia, berbudaya, kreatif, dan berkarakter tangguh
(Perpres No.8, 2012).
B. Landasan Teoretis
Pendidikan yang bermuatan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah THK
sangat diperlukan untuk membentuk insan yang cerdas secara holistik, dalam artian
5
tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga memiliki kecerdasan spiritual,
kecerdasan sosial, dan kecerdasan ekologi. Nilai-nilai yang terkandung dalam
falsafah THK bersifat universal, dapat digunakan sebagai fondasi dalam menciptakan
rasa hidup yang nyaman, tenteram dan damai secara lahiriah maupun alamiah
(Wirawan, 2011).
Secara teoretik Superka, et al. (1976), menguraikan ada lima pendekatan yang
dapat digunakan dalam pendidikan nilai, yaitu: (1) pendekatan penanaman nilai
(inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive
moral development approach), (3) pendekatan penalaran moral (moral reasoning
approach), (4) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach), dan (5)
pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach). Deskripsi masing-masing
pendekatan diuraikan secara ringkas pada Tabel 1.
Tabel 1.1 Pendekatan dan Metode Pendidikan Nilai
No. Pendekatan Deskripsi Tujuan Pendidikan Metode1 Penanaman nilai Pendekatan yang
memberi penekanan pada penanam nilai-nilai dalam diri mahasiswa
a. Diterimanya nilai masyarakat tertentu oleh mahasiswa
b. Berubahnya nilai-nilai mahasiswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang diinginkan
Keteladanan, simulasi, bermain peran, dll.
2 Perkembangan moral kognitif
Pendekatan yang memberi penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya
a. Membantu mahasiswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
b. Mendorong mahasiswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral
Diskusi kelompok
3 Penalaran moral (argumentasi moral)
Pendekatan yang memberi penekanan pada perkembangan kemampuan mahasiswa untuk berpikir logis dengan
a. Membantu mahasiswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah
Diskusi
6
No. Pendekatan Deskripsi Tujuan Pendidikan Metodecara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan mencari alasan pembenaran secara moral
dalam menganalisis masalah-masalah moral.
b. Membantu mahasiswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam mengubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai.
4 Pembelajaran berbuat
Pendekatan yang memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam kelompok
a. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan perbuatan moral berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri
b. Mendorong mahasiswa untuk melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Tugas untuk berbuat secara aktif (action)
5 Klarifikasi nilai Pendekatan yang memberi penekanan pada usaha membantu mahasiswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri
a. Membantu mahasiswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain
b. Membantu mahasiswa agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini
c. Membantu mahasiswa agar mampu menggunakan akal budi dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah lakunya sendiri
Pemecahan masalah nilai, diskusi, dialog dan presentasi
(Adaptasi dari Adisusilo, 2012)
Nilai selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran budi
serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijungjung tinggi (Adisusilo, 2012).
7
Menurut Lickona (1991), ada dua nilai dalam kehidupan yaitu moral dan non-moral.
Pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral merupakan komponen
karakter baik. Karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang baik,
menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Pengetahuan moral dapat
meningkatkan perasaan moral, perasaan moral dapat mempengaruhi pemikiran moral
dan perilaku moral. Keterkaitan antar komponen karakter baik dapat digambar seperti
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Komponen Karakter Baik
Teori belajar kognitif sosial cukup relevan dengan pembelajaran berlandaskan
nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah THK. Bandura menyatakan bahwa faktor
kognitif, lingkungan, dan faktor perilaku, memainkan peran penting dalam
pembelajaran. Faktor kognitif (person), faktor lingkungan, dan dan faktor perilaku
saling mempengaruhi satu sama lain, secara determinisme resiprokal (Santrock,
2006). Bandura menyatakan bahwa kepribadian merupakan hasil interaksi dari tiga
hal, yakni lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang (kognisi). Teori
kognitif sosial merupakan suatu sistem dinamis yang menjelaskan adaptasi manusia,
pembelajaran, dan motivasi. Teori ini menekankan bahwa seseorang mengembangkan
sosial, emosional, kognitif, dan kapabilitas perilaku, bagaimana seseorang mengatur
kehidupan dirinya, dan motivasi mereka (Woolfolk, 2011). Teori sosial kognitif
8
dilandasi dengan asumsi bahwa: (1) seseorang dapat belajar dengan mengamati orang
lain, (2) belajar merupakan proses internal yang memiliki kemungkinan
mempengaruhi perilaku, (3) perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan, (4) perilaku
akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan (5)
penghargaan dan hukuman yang mendidik memiliki efek secara tidak langsung pada
belajar dan perilaku (Ormrod, 2006)
Perilaku manusia dipengaruhi oleh modeling. Analisis Bandura tentang
pembelajaran observasional melibatkan empat fase: atensi (perhatian), retensi
(ingatan), reproduksi, dan motivasi (Slavin, 2006). Ringkasan setiap fase modelling
sebagai berikut.
1. Fase Perhatian
Pada fase ini mahasiswa memberikan perhatian pada orang yang ditiru
(model). Pada umumnya, mahasiswa memberikan perhatian pada panutan
yang memikat, berhasil, menarik, dan popular. Di ruang kelas, dosen
mendapatkan perhatian mahasiswa dengan menyajikan isyarat yang jelas dan
menarik, dengan menggunakan sesuatu yang baru dan kejutan, dan
memotivasi mahasiswa.
2. Fase Pengingatan
Begitu dosen mendapatkan perhatian mahasiswa, kinilah saatnya
mencontohkan perilaku yang mereka inginkan dan kemudian memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk mempraktikkan dan berlatih.
3. Fase Reproduksi
Selama fase ini mahasiswa mencoba untuk mencocokkan perilaku mereka
dengan perilaku orang yang ditiru.
4. Fase Motivasi
Dalam tahap ini mahasiswa akan meniru orang yang akan ditiru karena
mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan berpeluang
mereka sendiri dikuatkan.
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan
pendidikan nilai berlandaskan falsafah THK di perguruan tinggi adalah sebagai
berikut.
a. Berkelanjutan: kebiasaan berpikir dan berbuat sesuai nilai THK dipraktikkan
secara terus menerus
9
b. Modeling: nilai-nilai THK dipraktikkan dan ditularkan atau ditransformasikan
melalui contoh (teladan) atau panutan (modeling)
c. Partisipatif: semua warga kampus mengamalkan nilai-nilai THK dalam setiap
tindakannya
d. Terintegrasi: nilai-nilai THK diintegrasikan dalam proses pembelajaran dan
dipraktikkan dalam tindakan sehari-hari
C. Landasan Sosiologis/Sosiokultural
Landasan sosiologi dalam konteks ini pada dasarnya merupakan asumsi-
asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah sosiologis yang dijadikan titik tolak dalam
pembelajaran/pendidikan. Kaidah sosiologis memposisikan manusia sebagai makhluk
individu, bermasyarakat, dan berbudaya. Landasan sosiologis juga merupakan analisis
ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem
pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai proses interaksi antara
pendidik dengan mahasiswa, antara generasi satu dengan generasi lain dengan
berbagai potensi budaya yang berkembang pada masanya. Sehubungan dengan hal itu
secara sosiologis seyogyanya norma dasar pendidikan bersumber dari norma
kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu masyarakatnya. Dengan kata lain
pengembangan pendidikan, termasuk di dalamnya pengembangan pembelajaran
mengacu pada sosiokultural dari masyarakat yang bersangkutan lebih-lebih dalam
kondisi sosiokultural masyarakat Indonesia yang multikultur. Kondisi kemultikulturan
juga tampak di Universitas Pendidikan Ganesha. Kondisi semacam itu menuntut
adanya upaya untuk mewujudkan keberadaan pendidikan sebagai proses
pengembangan berpikir kritis untuk transformasi budaya (Karim, 2009).
Sebagaimana dimisikan dalam kecendrungan pembelajaran abad 21, yang
menekankan bahwa pendidikan seyogyanya mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif merupakan modal dalam tramsformasi
pendidikan kemanusiaan yang berkeadilan.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan yang memposisikan proses pendidikan
sebagai proses pembudayaan, yang memperkenalkan dan memahami kehadiran sub-
subbudaya lain yang ada dalam kehidupan masyarakat.
D. Landasan Psikologis
10
Pada akhir tahun 70an, di bawah pengaruh psikologi kognitif, berkembang
perspektif konstruktivis dalam pembelajaran. Konstruktivisme adalah suatu sudut
pandang atau perspektif tentang belajar yang percaya bahwa setiap individu
memperoleh pengetahuan dengan cara membangun pengetahuan itu melalui interaksi
pengetahuan awal yang dimilikinya dengan lingkungan. Konstruktivisme
mengandung pengertian bahwa dalam belajar, seseorang membangun (to construct)
pemahamannya tentang dunia. Konstruktivisme bukanlah tentang suatu teknik
tertentu dalam pembelajaran, melainkan suatu cara pandang atau cara berfikir tentang
proses perolehan pengetahuan. Ada dua kata kunci dalam pembelajaran yang
konstruktivis, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000):
“Mahasiswa tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi yang dipelajari serta tugas yang akan dipentaskan; memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Mahasiswa menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan dosen. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena mahasiswa harus melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi dirinya.”
Dalam perspektif konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses konstruksi
pengetahuan akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya; dalam mana
terjadi suatu mental restructuring yang bersifat dinamis. Sebagai contoh dalam
perkembangan berbahasanya, seseorang mungkin memproduksi ungkapan lain akibat
stimulus tertentu. Stimulus yang berupa kalimat perintah, “Dilarang membuang
sampah sembarangan!”; dapat menjadi berbagai ekspresi, baik yang sesuai maknanya
maupun tidak, seperti menjadi, “tidak membuang sampah di kelas”, atau “silahkan
buang sampah di tempat lain”. Bahkan sejak mulai mengakuisisi bahasa, manusia
adalah seorang konstruktivis sejati.
Karena konsep pemerolehan pengetahuan secara konstruktif tersebut,
mahasiswa perlu mendapat kesempatan secara berkelanjutan untuk berlatih
mengkonstruksi pengetahuannya, bukan sekadar mengingat informasi dari dosen dan
dibaca dari buku. Agar hasil belajar bermakna, mahasiswa perlu mendapat
pengetahuan dan pengalaman, lalu meramunya sedemikian rupa menjadi sesuatu yang
bermakna bagi dirinya. Dosen dapat memfasilitasi mahasiswa membangun
11
pengetahuannya dengan cara mendengarkan gagasan mereka dan mendorong mereka
mengajukan pertanyaan, mendorong mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi dan
mencipta, menyediakan beragam sumber informasi sehingga mahasiswa memperoleh
input dari berbagai perspektif, mendorong mereka membandingkan gagasan, ada
kegiatan menulis sehingga mahasiswa memikirkan gagasan-gagasannya.
Secara umum, terdapat dua perspektif tentang bagaimana konstruksi
pengetahuan itu terwujud pada mahasiswa; yaitu yang menyatakan bahwa mahasiswa
itu sendiri mampu membangunnya, tapi ada pula yang menyatakan bahwa konstruksi
pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial seperti dengan teman sebaya dan keluarga.
Pemikiran bahwa konstruksi pengetahuan terjadi secara personal diungkapkan oleh J.
Piaget, yang mengatakan bahwa proses mental restructuring sangat ditentukan oleh
individual differences masing-masing mahasiswa; jadi proses konstruksi berlangsung
secara mensubjek pada setiap individu. Dalam pandangan Piaget, konstruksi makna
terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah proses akuisisi
pengetahuan yang sesuai dengan yang sebelumnya telah ada pada skema kognitifnya;
dan proses akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada
dalam skema kognitif yang bersangkutan. Pada dasarnya proses tersebut bertujuan
untuk menyeimbangkan keadaan kognitif yang bersangkutan (ekuilibrium).
Keseimbangan yang dicapai dapat menunjukkan telah terjadi proses asimilasi dan atau
akomodasi dalam skema yang bersangkutan.
Pemikiran bahwa konstruksi makna terjadi akibat interaksi sosial dinyatakan
oleh Vygotsky yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses
interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled
individuals) (Kim, 2001; Kauffman, 2004). Terdapat tiga asumsi yang mendasari
bagaiman mahasiswa belajar dalam pandangan konstruktivisme (Kim, 2001), yaitu
kenyataan (reality), pengetahuan (knowledge), dan belajar (learning). Dalam
pandangan konstruktivisme, kenyataan (reality) dibangun melalui proses interaksi
sosial dan lingkungan. Karenanya, kenyataan tidak bisa ditemukan oleh seseorang
secara individu. Selanjutnya, pengetahuan (knowledge) adalah produk yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga pengetahuan akan bermakna apabila
mahasiswa berinteraksi dengan lingkungan dan budaya sekitar saat mereka belajar.
Belajar (learning) dipandang sebagai proses sosial yang tidak bisa dibangun secara
pasif, di mana belajar yang bermakna akan terjadi apabila mahasiswa terlibat dalam
aktivitas-aktivitas sosial seperti interaksi, kerja sama, dan kolaborasi.
12
Dalam perspektif konstruktivisme sosial, setiap orang memiliki wilayah
perkembangan kognitifnya yang disebut dengan Zone of Proximal Development
(ZPD). Konstruksi makna secara optimal (upper limit dari ZPD) diyakini akan terjadi
jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang
sesuai. Interaksi sosial untuk mencapai makna difasilitasi/dimediasi oleh seseorang
atau sesuatu yang lebih tahu (more knowledgeable other/MKO). Dengan kehadiran
mediator itu, maka mahasiswa dapat mengoptimalkan konstruksi pengetahuannya
hingga mencapai batas atas perkembangannya (Marhaeni, 2015). Taber (2006)
mengatakan bahwa setiap orang memiliki pandangan subjektif tersendiri dalam
memahami dunia, tapi banyak juga kesamaan dan pola-pola umum dalam pandangan-
pandangan yang berbeda tersebut. Kesamaan dan pola-pola umum ini biasanya
diterima secara social dan kultural. Hal-hal tersebut akan digunakan sebagai alat
untuk mengkonstruksi pengetahuan. Jadi, konstruktivisme sosial menekankan pada
pentingnya budaya dan konteks dalam memahami apa yang terjadi di masyarakat dan
membangun pengetahuan berdasarkan pemahaman tersebut.
III. Komponen Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan tertentu serta berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran. Arends (1997) mengemukakan, model pembelajaran
mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu: rasional teoretik, pandangan tentang apa yang
mahasiswa pelajari dan bagaimana mereka belajar (tujuan pembelajaran), perilaku
dosen (syntax), dan lingkungan belajar. Sedangkan Joyce, et al. (1992)
mengungkapkan model pembelajaran memuat 5 hal pokok yaitu: syntax, sistem sosial,
prinsip reaksi, sistem pendukung, serta dampak instruksional dan pengiring. Namun
demikian pada dasarnya kedua pendapat ini mempunyai kesamaan dalam
penjabarannya. Selanjutnya penjelasan model pembelajaran MPK berlandaskan
falsafah THK menggunakan komponen model yang dikemukakan oleh Joyce et al.
(1992).
A. Sintaks (Syntax)
Syntax menunjuk pada keseluruhan alur atau urutan kegiatan belajar mengajar.
Syntax menentukan jenis-jenis tindakan dosen dan mahasiswa yang diperlukan,
13
urutannya dan tugas-tugas untuk mahasiswa (Arends, 1997). Syntax dideskripsikan
dalam urutan aktivitas yang disebut fase atau tahap; setiap model memiliki alur fase
yang berbeda (Joice, et al.,1992). Syntax model pembelajaran MPK berlandaskan
nilai-nilai falsafah THK adalah: (1) Pendahuluan; (2) Inti (Think, Heart, dan
Kinestetic); dan (3) Penutup.
a. Fase Pendahuluan
Fase pendahuluan adalah fase untuk menciptakan atmosfir pembelajaran yang
baik. Fase ini terdiri dari kegiatan awal, menarik perhatian, membangkitkan
motivasi, memberi acuan, dan melakukan apersepsi.
Aktivitas yang dilakukan pada tahap awal adalah untuk menciptakan kondisi
lingkungan belajar yang kondusif, yang antara lain meliputi kegiatan
menyampaikan salam, mengecek lingkungan belajar, berdoa dan mengecek
kehadiran. Beberapa nilai-nilai falsafah THK yang ditanamkan sebagai
berikut.
Tabel 3.1 Fase Pendahuluan Pembelajaran Berlandaskan falsafah THK
No. Aktivitas Lingkup Nilai Falsafah THK1 Salam pembuka Peduli sesama, saling menghormati2 Mengecek lingkungan belajar Peduli lingkungan3 Berdoa awal kegiatan Beriman dan Bertakwa4 Membangun kehangatan Peduli sesama5 Mengecek kehadiran Disiplin6 Apersepsi dan Motivasi Kepekaan terhadap masalah sekitar,
kesiapan belajar, kesadaran pengembangan diri, dorongan untuk mencapai nilai-nilai positif
b. Fase Inti
Dalam fase inti, proses pembelajaran dapat dilakukan secara individu
ataupun secara kolaboratif untuk menemukan dan membahas konsep atau
topik pembelajaran. Namun demikian untuk menumbuhkembangkan nilai-
nilai falsafah THK melalui pembelajaran sebaiknya menggunakan diskusi
kelompok kecil. Fase ini pada dasarnya mengharapkan mahasiswa dapat
belajar sesuai dengan konsep 4 pilar yang ditawarkan oleh UNENSCO yaitu
learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.
Dengan 4 pilar belajar di atas mahasiswa memperoleh/mengalami pengalaman
belajar yang bermakna. Dalam fase inti Model Pembelajaran MPK
Berlandaskan Nilai-nilai Falsafah THK ini terdiri dari tiga komponen yang
14
terjadi secara tidak berurutan (unsquensial) antara Think-Heart-Kinestetic
(Gambar 3.1)
Gambar 3.1. Komponen Inti Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK
Peran dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran MPK berlandaskan
falsafah THK diuraikan secara ringkas dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Fase Inti Pembelajaran Berlandaskan falsafah THK
Fase AktivitasThink(Berpikir)
Mahasiswa secara berkelompok maupun individu merumuskan pemecahan masalah kontekstual dalam kajian MPK di mana di dalamnya terkandung nilai-nilai THK;
Dosen menstimulus mahasiswa untuk berpikir kritis transformatif dalam mengkaji permasalahan dan fenomena kontekstual dalam kajian MPK yang dikaitkan dengan nilai-nilai THK.
Heart(Menghayati, sebagai fase fundamental penerapan model pembelajaran MPK berlandaskan falsafah THK)
Mahasiswa secara berkelompok maupun individu melaksanakan internalisasi dan berlatih berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai falsafah THK dalam pemecahan masalah kontekstual kajian MPK;
Dosen memfasilitasi terjadinya internalisasi dan memberi kesempatan berlatih berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai falsafah THK dalam pemecahan masalah kontekstual kajian MPK.
Kinestetic(Bertindak)
Mahasiswa mendemostrasikan atau melakukan reproduksi hasil kajian atau pemecahan masalah kontekstual kajian MPK yang mengandung nilai-nilai falsafah THK secara kolaboratif, kritis dan
15
Penilaian dan EvaluasiKINESTETIC
(Bertindak)HEART
(Menghayati)
THINK(Berpikir)
kreatif; Dosen memfasilitasi, memberikan motivasi, dan
konfirmasi dalam mendemonstrasikan atau melakukan reproduksi hasil kajian atau pemecahan masalah kontekstual kajian MPK yang mengandung nilai-nilai falsafah THK.
c. Fase Penutup
Pada tahap ini, dilakukan aktivitas sebagai berikut:
Tabel 3.3 Fase Penutup Pembelajaran Berlandaskan falsafah THKAktivitas Lingkup Nilai Falsafah THK
Penilaian/Evaluasi Tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, dan dorongan berprestasi
Refleksi Kesadaran diri pebelajar tentang materi yang dipelajari dan proses interaksinya dengan sesama dan lingkungan
Tindak Lanjut Penguatan kapasitas diriMemeriksa lingkungan kelas
Kesadaran lingkungan
Doa Rasa syukur, tunduk hati, dan kesadaran untuk menjadi yang lebih baik
B. Sistem Sosial
Joyce, et al. (1992) menyatakan bahwa sistem sosial menggambarkan aturan
dan hubungan antara mahasiswa dengan dosen dan jenis norma yang disepakati.
Aturan kepemimpinan dosen sangat bervariasi antara satu model dengan model yang
lain. Dalam suatu model dosen bisa berperan sebagai fasilitator, bisa sebagai
pembimbing individu, dan lainnya seperti dosen sebagai pemberi tugas. Dalam
beberapa model dosen merupakan pusat aktivitas, sumber informasi, pengorganisasian
dan pengendali situasi (High Structure). Ada juga model yang mendistribusi aktivitas
yang setara antara mahasiswa dengan dosen (Moderate Structure). Sedangkan model
lainnya menempatkan mahasiswa sebagai pusat pebelajaran, sangat menjunjung tinggi
kehidupan sosial dan perbedaan intelektual (Low Structure).
Sistem sosial yang dianut Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai
THK adalah Law structure (student centered learning) artinya model Pembelajaran
MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK memposisikan mahasiswa sebagai pusat
pembelajaran, menjunjung tinggi kehidupan sosial dan memperhatikan perbedaan
individu. Penekanan dalam Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK
16
adalah konstruktivis. Oleh karena itu, dalam Model Pembelajaran MPK Berlandaskan
Nilai-nilai THK mahasiswa diberi kesempatan secara maksimal untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki masing-
masing, dan dosen memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan menimbulkan interaksi timbal balik antara dosen dan
mahasiswa. Interaksi pada Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK akan
mengukuhkan hubungan dosen dan mahasiswa sebagai individu yang saling
mempercayai.
Sistem sosial dalam model pembelajaran MPK berlandaskan falsafah THK
dicirikan oleh tercerminnya nilai-nilai THK di dalam interaksi yang terjadi di dalam
proses pembelajaran. Adapun insersi nilai-nilai THK tersebut dapat terjadi seperti
berikut:
(a) Saling mengakui keberadaan teman dan menghargai kemampuan
teman/toleran, berpegang pada etika, bahasa yang santun dan
mengembangkan sikap sosial dalam kelompok untuk meraih prestasi
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
(b) Setiap orang menyadari bahwa masing-masing memiliki kekurangan-
kekurangan (kesadaran akan potensi diri) sehingga timbul rasa saling
membantu satu dengan lainnya.
(c) Saling mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,
santun, ketundukhatian, melakukan refleksi, proaktif dalam setiap proses
pembelajaran.
(d) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dan melatih
keterampilan.
C. Prinsip Reaksi
Prinsip reaksi menceritakan bagaimana aksi dosen terhadap mahasiswa dan
bagaimana mahasiswa merespon tugas yang diberikan dosen. Pada tahap
pendahuluan, dosen berusaha menggali pengetahuan awal mahasiswa dan
mengkaitkan pengetahuan awal mahasiswa dengan materi/konsep yang sedang
dipelajarai. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dosen memposisikan diri sebagai
mediator dan fasilitator dalam pembelajaran sehingga bantuan berupa scaffolding
kepada mahasiswa akan dilakukan jika dipandang sangat diperlukan. Dosen
memberikan penguatan terhadap mahasiswa yang telah menunjukkan kemajuan yang
17
berarti baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, maupun sikap mahasiswa.
Sebaliknya kalau mahasiswa belum menunjukkan kemajuan yang berarti, dosen
memberikan penguatan ke arah yang benar. Reaksi yang diberikan oleh dosen
berkontribusi positif terhadap proses konstruksi pengetahuan dalam pembelajaran
mahasiswa. Respons yang diberikan dosen sangat tergantung dari stimulus yang
ditunjukkan mahasiswa. Prinsip reaksi dalam pembelajaran MPK yang berlandaskan
falsafah THK antara lain dicerminkan dalam bentuk: kejujuran, ketulusan, dan nilai-
nilai THK lain yang relevan.
D. Sistem Pendukung
Sistem pendukung yang dimaksud dalam hal ini adalah kondisi pendukung apa
yang diperlukan sehingga Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK
tetap dapat terlaksana dengan baik dan efektif. Agar model dapat berjalan sesuai
dengan rencana, diperlukan antara lain: pemahaman dosen tentang konsep model
pembelajaran berlandaskan falsafah THK, penguasaan dosen tentang nilai-nilai pada
falsafah THK, keterampilan dosen dalam melaksanakan model pembelajaran
berlandaskan falsafah THK, dan permasalahan kontekstual yang memuat nilai-nilai
THK.
E. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring
Menurut Joyce dan Weil (2009) ada dua dampak yang terjadi dalam penerapan
model pembelajaran yaitu: dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak
instruksional dari penerapan Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK
adalah memudahkan mahasiswa menguasai konsep terkait dengan materi yang sedang
dibelajarkan sesuai dengan indikator yang harus dicapai; sedangkan dampak
pengiringnya yaitu terbentuknya karakter baik pada mahasiswa yang mencerminkan
nilai-nilai falsafah THK, yaitu adanya keselarasan hubungan dengan Tuhan (beriman,
bertakwa, syukur), dengan sesama (peduli sesama, toleransi, kesetiakawanan), dan
dengan lingkungan (peduli lingkungan, menghargai alam).
F. Sistem Penilaian dan Evaluasi
Penilaian terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran
MPK berlandaskan nilai-nilai falsafah THK dilakukan terhadap dampak instruksional
maupun dampak pengiring. Penilaian terhadap dampak instruksional dari internalisasi
18
nilai-nilai falsafah THK dilakukan secara terintegrasi dengan penilaian konten MPK;
sedangkan dampak pengiringnya dilakukan dalam bentuk penilaian dalam proses
pembelajaran (penilaian sikap dan partisipasi).
Dampak instruksional mencerminkan pencapaian CP sikap yang ditetapkan
sebelumnya. Untuk menilainya, dapat dilakukan bersama-sama dengan penilaian
materi kajian MPK yang dipelajari dengan menggunakan rubrik penilaian dan
instrument penilaian lain yang relevan.
Dampak pengiring dinilai dalam proses pembelajaran, di mana nilai-nilai THK
digunakan untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan
observasi dan cara lain yang relevan. Penilaian dampak pengiring ini diharapkan
menjadi data untuk unsur penilaian sikap dan partisipasi dalam Kurikulum Undiksha
2016. Adapun prinsip-prinsip penilaian dan prosedur penilaian serta pelaporannya
mengikuti ketentuan pada Kurikulum Undiksha 2016.
Daftar Pustaka
Adisusilo J.R., S. (2012). Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Atmadja, N. Bawa. (2014). Undiksha: Unggul dalam Prestasi Berbasis Tri Hita Karana. Perspektif Post-Strukturalis. Makalah. Singaraja: Undiksha.
Basic Framework for Higher Education development KPPTJP IV (2003-2010). (2003). Diakses 4 November 2013, dari http://archive.web.dikti.go.id/2009/KPPTJP_2003_2010.pdf.
Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi: Sebuah Alternatif Penyusunan Kurikulum. (2008). Diakses 4 November 2013, dari http://www.dikti.go.id/files/atur/PanduanKBK-Dikti2008.pdf.
Dantes, Nyoman. (2018). Pedagogik dalam Perspektik. Singaraja: Ganesha Press
Darmayasa. (2013). Bhagavad Gita. Denpasar: YayasanDharma Sthapanam
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2014). Kurikulum Perguruan Tinggi Sesuai KKNI. Jakarta: Dirjen Dikti.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2014). Panduan Penyusunan Capaian Pembelajaran Lulusan Program Studi. Jakarta: Dirjen Dikti.
19
Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill.
Hidayat, Rakhmat. (2013). Paedagogi Kritis. Sejarah Perkembangan dan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
International Standard Classification of Occupations Structure, Group Definitions and Correspondence Tables.(2012). Diakses 4 November 2013, dari http://www.ilo.org/ wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_ 172572.pdf.
International Standard Classification of Education (ISCED). (2012). Diakses 4 November 2013, dari http://www.uis.unesco.org/Education/Documents/ised-2011-en.pdf.
Kahn,Joel S. (2016). Kultur, Multikultur, Postkultur, Keragaman Budaya dan Imperialisme Kapitalisme Global. Jln. Ringroad Barat. INDeS.
Karim, Muhammad. (2009). Pendidikan Kritis Transformatif. Jogjakarta: AR-Ruzz Media
Kaufman, D. (2004). Constructivist issue in Language Learning and Teaching. Annual Review of Applied Linguistics, 24, 303-319.
Kawuryan, Sekar Purbarini. (2009). Bahan Ajar Mata Kuliah Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: UNY.
Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No.44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Kim, B. (2001). Social constructivism. Emerging perspectives on learning, teaching, and technology, 1(1), 16.
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our School Can Respect and Responsibility. New York: Bantan Books.
Lubis, Nur A. Fadhil. (2006). Multikulturalisme dalam Politik. Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vol II.No. 1 April 2006. Medan USU
Marhaeni, A.A.I.N. (2015). Landasan dan Inovasi Pembelajaran. Singaraja: Undiksha Press
Meeting Basic Learning Needs: A Vision for 1990s. (1990). Diakses 2013, dari 4 November http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000975/097552e.pdf.
Nada Atmaja, dkk. (2010). Etika Hindu. Surabaya: Paramita
Ormrod, J. E. (2006). Educational Psychology: Developing Learners. Ohio: Pearson
Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Peraturan Presiden R.I. No 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
20
Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015. Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Perpres No. 8 Tahun 2012. Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Report to UNESCO for the International Commision on Education for the Twenty-First Century (1996). Diakses 4 November 2013, dari http://www.unesco.org/education/ pdf/15_62.pdf.
Santrock, J. W. (2006). Educational Psychology. Boston: McGraw-Hill.
Slavin, R.E. (2006). Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (SPT-JP atau HELTS), 2003-2010. (2004). Diakses 4 November 2013, dari http://www.inherent-dikti.net/files/HELTS2003-2010B.pdf.
Sudira, Putu. (2014). Perguruan Tinggi Unggul Berbasis Tri Hita Karana. Makalah. Singaraja: Undiksha.
Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. (1976). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.
Taber, K.S. (2006). Beyond Constructivism: The Progressive Research Programme into Learning Science Studies in Science Education, 42, pp 125-184
Undang-Undang R.I. No. 12 Tahun 2012 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wirawan, I M. A. (2011). Tri Hita Karana: Kajian Teologi, Sosiologi dan Ekologi Menurut Veda. Surabaya: Paramita.
Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology: Active Learning. Boston: Pearson.
21
22