Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iii
KETERKAITAN KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH BUGIS DENGAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN PENGHUNI (Studi Kasus di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng Sulawesi selatan)
TRADITIONAL ARCITECTURE CONCEPT OF HOUSE BUGIS OF WITH THE ACCOMPLISHMENT OF DWELLER REQUIREMENT
SITTI ROSYIDAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009
iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas terselesaikannya tesis ini.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil
pengamatan penulis terhadap kondisi rumah di kecamatan Lili rilau
kabupaten Soppeng yang mengaplikasikan arsitektur rumah tradisional
Bugis, tampaknya belum bisa sepenuhnya memenuhi seluruh kebutuhan
penghuninya secara memuaskan khususnya kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri. Penulis bermaksud menyumbangkan pembahasan konsep
arsitektur tradisional rumah Bugis dengan pemenuhan kebutuhan
penghuni.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyususnan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan
tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ananto Yudono,
M.Eng. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan Prof. Dr. Ir. H.Ramli Rahim,
M.Eng. sebagai Anggota Komisi Penasihat atas bantuan dan
bimbingannya mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan
penelitian ini, pelaksanaan penelitiannya sampai dengan penulisan tesis
ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Ir. Bambang
Heriyanto, MSc, PhD., Prof. Dr. Ir. Slamer Trisutomo, Ms.,dan Dr. Ir. Ria
Wikantari, M.Arch selaku tim penilai atas kesediaanya meluangkan waktu,
memberikan saran dan kritik dalam penyusunan tesis ini. Penulis
iv
berterima kasih kepada Dr. Ir. Victor Sampebulu, M.Eng. selaku ketua
program studi atas segala bantuannya.
Penulis berterima kasih kepada pimpinan dan staf pengelola PPs
Unhas atas pelayanan administratif yang telah diberikan. Penulis
berterima kasih kepada pengelola perpustakan PPs Unhas, dan pengelola
perpustakaan Pusat Unhas atas segala bantuannya. Penulis sangat
berterima kasih kepada seluruh responden yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan informasi. Penulis berterima kasih
kepada ayahanda, ibunda, suami, dan anak yang telah memberikan
bantuan dan dorongan semangat. Terakhir ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar, Maret 2009
Sitti Rosyidah
v
ABSTRAK ST.ROSYIDAH. Keterkaitan Konsep Arsitektur Tradisional Rumah Bugis
dengan Pemenuhan Kebutuhan Penghuni di Kabupaten Soppeng
(dibimbing Ananto Yudono dan Ramli Rahim).
Penelitian ini bertujuan mengetahui keterkaitan konsep arsitektur
tradisional rumah Bugis dengan pemenuhan kebutuhan penghuni.
Penelitian ini dibatasi pada rumah yang mengaplikasikan konsep
arsitektur tradisional rumah Bugis sebagai tempat hunian dan usaha yang
dibangun tahun 1990. Sampel penelitian sebanyak 25 sampel yang dipilih
melalui metode purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keterkaitan konsep
arsitektur tradisional rumah Bugis dengan pemenuhan kebutuhan
penghuni dari aspek fisiologis sangat memenuhi. Sementara aspek
keamanan, affiliasi, penghargaan, dan aktualisasi diri tidak memenuhi.
vi
ABSTRACT
ST.ROSYIDAH. The Connection between Buginese traditional house architectural Concept and Fulfillment of Resident’s Need (Supervised by Ananto Yudono and Ramli Rahim). The aim of the study was to discover the connection between Buginese traditional house architectural concept and fulfillment of resident’s need. The study was limited to the house used traditional architectural concept as a place to live and carry out business before 1990. The number of samples was 25 houses selected by purposive sampling. The results of the study indicate that the connection between the Buginese traditional house architectural concept and fulfillment of resident’s need viewed from physiological aspect, security, affiliation, respect, and selfactualization does not meet the condition of good housing.
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA iii
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Kegunaan 6
1. Tujuan 6
2. Kegunaan 6
D. Lingkup dan Batasan Masalah
6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Kebutuhan Dasar Manusia 7
B. Budaya dan Arsitektur 8
C. Kebudayaan dan Arsitektur Bugis 9
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan 24
E. Skema Kerangka Pikir 26
BAB III : METODE PENELITIAN 27
viii
A. Jenis Penelitian 27
B. Waktu dan LokasiPenelitian 27
C. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel 28
D. Variabel Penelitian 29
E. Jenis dan Sumber Data 29
F. Teknik dan Alat Pengumpulan Data 29
G. Definisi Operasional 30
H. Teknik Analisis Data 32
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 33
A. Kecamatan Lilirilau dan Tata Letak Kota WatanSoppeng 33
B. Deskripsi kedudukan pemukiman Kecamatan Lilirilau
Kabupaten Soppeng dan gambaran Kehidupannya 36
C. Tipologi Rumah 37
D. Analisis Sampel Penelitian 61
E. Hasil Analisis Sampel Penelitian 66
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 68
A. Kesimpulan 68
B. Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN 71
ix
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Denah berbentuk persegi empat panjang 11
2. Analogi rumah 12
3. Rumah tradisional Bugis, ketinggian atap rumah ditentukan
dengan mengambil ukuran ½ dari lebar rumah ditambah dua
jari istri pemilik rumah 15
4. Tipe timpa,laja golongan bangsawan, merdeka dan ata 17
5. Ragam hias 19
6. Tipe tiang 20
7. Tinggi kolong dan tinggi badan rumah 21
8. Tipe tangga golongan bangsawan 22
9. Tipe tangga golongan merdeka dan ata 23
10. Peta kabupaten Soppeng 27
11. Letak administrasi Cabenge kecamatan Lilirilau dalam
kabupaten Soppeng 33
12. Letak kecamatan Lilirilau dalam kabupaten Soppeng 34
13. Peta permukiman kecamatan Lilirilau 36
14. Denah sampel 1 40
15. Denah sampel 2 41
16. Denah sampel 3 42
17. Denah sampel 4 43
18. Denah sampel 5 44
x
19. Denah sampel 6 44
20. Denah sampel 7 45
21. Denah sampel 8 46
22. Denah sampel 9 47
23. Denah sampel 10 48
24. Denah sampel 11 49
25. Denah sampel 12 50
26. Denah sampel 13 51
27. Denah sampel 14 52
28. Denah sampel 15 53
29. Denah sampel 16 54
30. Denah sampel 17 54
31. Denah sampel 18 55
32. Denah sampel 19 56
33. Denah sampel 20 57
34. Denah sampel 21 58
35. Denah sampel 22 69
36. Denah sampel 23 60
37. Denah sampel 24 61
38. Denah sampel 25 62
39.
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pengelompokan rumah berdasarkan status penghuni 38
2. Pengelompokan rumah berdasarkan periode bangunan 38
3. Pengelompokan rumah berdasarkan fungsi bangunan 39
4. Fungsi kolong 62
5. Jenis pintu utama responden 62
6. Jenis jendela responden 63
7. Bentuk atap 63
8. Susunan timpalaja 64
9. Kesesuaian konsep arsitektur tradisional rumah Bugis dengan
pemenuhan kebutuhan penghuni 65
10. Keterkaitan konsep arsitektur tradisional rumah Bugis dengan
pemenuhan kebutuhan penghuni 66
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Kondisi rumah 71
2. Harapan pemilik rumah akan desain rumah 72
3. Arah hadap rumah 73
4. Keterkaitan konsep arsitektur dengan pemenuhan kebutuhan
penghuni 74
5. Kalkulasi keterkaitan konsep arsitektur dengan pemenuhan
kebutuhan penghuni 78
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abraham Maslow mengungkap bahwa kebutuhan dasar manusia
tersusun seperti sebuah tangga.Menurut Maslow, sebelum menfokuskan
pada taraf kebutuhan yang lebih tinggi, manusia harus memenuhi
kebutuhan yang lebih rendah. Pemenuhan kebutuhan tidak terikat dengan
periode kronologis maupun tingkat perkembangan sebab manusia bisa
mengalami kemajuan dan kemunduran dalam hidupnya pada waktu
berbeda. Kebutuhan juga tidak selalu harus terpenuhi total sebelum
manusia fokus ke pemenuhan kebutuhan lainnya, ia bisa overlap, dan
manusia bisa saja belum sepenuhnya puas sebelum ia
mempertimbangkan kebutuhan yang lebih tinggi (Lang, 1994, dalam Yuti
2006).
Kriteria desain rumah berdasarkan teori kebutuhan dasar manusia
Maslow adalah sebagai berikut:
1. Desain rumah untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
a. Kelangsungan hidup (air, oksigen, makanan, pakaian, seks, dan
hunian)
1) Rumah memiliki akses untuk memperoleh air bersih
a) Memiliki akses ke sumber air bersih (PDAM), dan ditunjang
oleh sumber air tanah, dan memiliki reservoir.
2
b) Sistem plambing yang mudah pemeliharaannya (mudah
dideteksi kebocorannya, mudah diperbaiki, dan tahan
reaksi kimia dan cuaca).
2) Rumah memiliki penghawaan yang baik dengan
mengupayakan agar ruang yang memiliki ventilasi ke open
space.
3) Rumah memiliki ruang yang bisa menfasilitasi pemiliknya
untuk tujuan tertentu.
a) Rumah memiliki ruang yang jenis dan besarannya sesuai
dengan kebutuhan.
b) Jendela pajangan menggunakan tirai penahan sinar
matahari untuk menghindari kerusakan barang.
c) Rumah memiliki desain yang menarik.
4) Rumah memiliki desain yang layak.
a) Rumah memiliki jenis dan besaran ruang hunian yang
sesuai dengan jumlah pengguna ruang dan aktivitasnya.
b) Rumah memiliki organisasi ruang berdasarkan sifat
kegiatan dan hubungan antar kegiatan. Adanya
pemisahan ruang (publik, semi public, dan private).
b. Kesehatan
a. Rumah memiliki sanitasi yang baik. Upayanya yaitu dengan
desain saluran pembuangan air kotor diperhitungkan
kelancaran alirannya dan kemudahan pemeliharaannya,
3
penempatan septic tank tidak mengkontaminasi sumber air,
dan penyediaan wadah sampah.
b. Ruang hunian memperoleh sinar matahari, penghawan yang
baik, memiliki akses ke ruang terbuka yang hijau, dan memiliki
ruang bermain dan berolah raga.
c. Kenyamanan
1) Rumah memberikan kenyamanan fisiologis
a) Kenyamanan penglihatan yaitu pengkondisian ruang
dengan tingkat pencahayaan yang sesuai jenis kegiatan.
b) Kenyamanan akustik yaitu dengan mereduksi bising
(penyekatan ruang dan penggunaan material penyerap
bunyi) dan pengaturan posisi ruang yang bising.
c) Kenyamanan penghawaan yaitu dengan penghawaan
alami yang baik dengan mempertimbangkan kondisi
cuaca, aktifitas, dan kenyamanan penghuni.
d) Kenyaman indera penciuman yaitu dengan
mengupayakan agar kamar mandi dan dapur memiliki
sirkulasi udara yang baik, pengaturan ventilasinya
disesuaikan dengan arah angin.
2) Rumah memberikan kenyamanan psikologis
a) Rumah memiliki ruang yang dapat menfasilitasi aktifitas
spiritual dan budaya (tradisi).
b) Rumah memiliki desain yang aman dan memiliki raung
yang dapat digunakan penghuninya untuk berkomunikasi
4
dengan keluarga, konsumen,supplier barang, dan
masyarakat.
2. Desain rumah memenuhi kebutuhan keamanan dan keterlindungan,
terdiri atas keamanan dan keterlindungan fisiologis dan psikologis.
Keamanan dan keterlindungan fisiologis mengacu kepada syarat-
syarat berikut ini:
a. Rumah aman dari tindakan perampokan, kerusuhan, dan
pencurian. Upayanya yaitu dengan memberikan pencahayaan
yang baik pada area sekitar bangunan sehingga memudahkan
pengawasan, desain pintu dengan jendela yang kokoh dan bisa
ditutup dengan cepat, serta pengawasan yang optimal terhadap
ruangan di dalamnya.
b. Rumah aman dari kebakaran, banjir, gempa, dan angin topan,
petir, dan kecelakaan yang mungkin terjadi di dalam rumah.
Desain rumah diupayakan agar memiliki sistem pencegahan dan
pemadam kebakaran, saluran pembuangan air yang memadai dan
lancar alirannya, sistem mekanikal eletrikalnya sesuai dengan
persyaratan, konstruksi kokoh dan material rumah tidak mudah
terbakar, memiliki penangkal petir (khusus rumah yang lebih tinggi
dari bangunan di sekitarnya), dan memiliki desain tangga dan
kamar mandi yang mempertimbangkan kondisi penghuninya.
c. Rumah aman dari penyakit dan polusi. Desain rumah diupayakan
memiliki sanitasi yang baik dan dilengkapi dengan penghijauan.
5
3. Desain rumah untuk memenuhi kebutuhan affiliasi
1. Rumah memiliki desain yang menarik dan memberikan perasaan
aman.
2. Rumah memberikan ruang yang memungkinkan untuk
berkomunikasi dengan keluarga.
3. Desain rumah (konfigurasi, material, warna, dekorasi) memiliki
kemiripan dengan bangunan dan lingkungan disekitarnya.
4. Desain rumah memenuhi kebutuhan penghargaan, diupayakan
dengan memiliki ruang belajar dan perkembangan kepribadian
penghuninya, dan memiliki nilai prestise yang diinginkan penghuninya.
5. Desain rumah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, diupayakan
dengan pemenuhan kebutuhan affiliasi, penghargaan, dan keindahan.
Desain rumah yang mengaplikasikan konsep arsitektur tradisional
Bugis seharusnya bisa memenuhi kebutuhan dasar penghuninya. Namun
berdasarkan pengamatan awal, mayoritas desain rumah yang ada di
kecamatan Lilirilau kabupaten Soppeng yang mengaplikasikan arsitektur
rumah tradisional Bugis, tampaknya belum bisa sepenuhnya memenuhi
seluruh kebutuhan dasar penghuninya secara memuaskan khususnya
kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri. Hal ini menimbulkan
keraguan tentang keterkaitan konsep arsitektur rumah tradisional Bugis
dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penghuninya
Berdasarkan kesenjangan yang ada antara kondisi nyata dan teori
yang ada tersebut, penulis menganggap perlu melakukan penelitian
6
tentang keterkaitan konsep arsitektur tradisional rumah Bugis dengan
pemenuhan kebutuhan dasar penghuni di kabupaten Soppeng.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah
bagaimana keterkaitan konsep arsitektur tradisional Bugis dalam arsitektur
rumah sehubungan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
penghuni.
C.Tujuan dan Kegunaan
a. Tujuan
Mengidentifikasi keterkaitan konsep arsitektur tradisional Bugis
dalam arsitektur rumah terhadap pemenuhan kebutuhan penghuni.
b. Kegunaan
Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan ,khususnya arsitektur
menyangkut keterkaitan konsep arsitektur tradisional Bugis dengan
pemenuhan kebutuhan penghuni rumah.
D. Lingkup dan Batasan Penelitian
Lingkup dan batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kasusnya dibatasi pada rumah yang mengaplikasikan konsep
arsitektur rumah tradisional Bugis sebagai tempat hunian dan usaha.
2. Setting waktu dibatasi sebelum tahun 1990 (rumah yang diteliti adalah
rumah yang dibangun sebelum tahun 1990) sebab rumah yang
mengaplikasikan konsep arsitektur tradisional Bugis umumnya diakui
pemiliknya dibangun sebelum tahun 1990.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan Dasar Manusia
Maslow mengkategorisasikan kebutuhan dasar manusia menjadi
lima kebutuhan, yaitu Lang, 1994 dalam Yuti, 2006: 9-10:
1. Kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini tergolong kebutuhan defisiensi.
hirark,i kebutuhan fisiologis adalah sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk keberlangsungan hidup, yaitu air, oksigen,
makanan, pakaian, hunian, dan seks.
b. Kebutuhan kesehatan. Pedoman perancangan site memastikan
ruang hunian memperoleh sinar matahari, penghawaan yang baik,
bebas polusi udara, dilengkapi fasilitas air bersih , drainase yang
baik, dan memiliki akses ke ruang terbuka yang hijau, sarana olah
raga, rekreasi dan sarana bermain.
c. Kenyamanan. Kenyamanan fisiologis berkaitan dengan kondisi
pencahayaan, akustik, penciuman, dan penghawaan. Kenyaman
psikologis berkaitan dengan rasa aman.
2. Kebutuhan keamanan dan keterlindungan. Kebutuhan defisiensi ini
berupa keamanan, perlindungan, stabilitas, struktur hukum, dan tata
tertib, serta bebas dari rasa takut. Kebutuhan ini dapat ditinjau dari
aspek fisiologis (luka fisik) dan psikologis (pemahaman tempat,
georafis, dan kemampuan bersosialisasi dalam masyarakat).
8
3. Kebutuhan affiliasi. Kebutuhan defisiensi ini berupa keinginan untuk
diterima dan dihargai (kontak antara individu, kedekatan,
kebersamaan dan menjadi bagian keluarga atau kelompok). Proses
affiliasi memerlukan fasilitas untuk bertemu dan berinteraksi serta
affiliasi antar bangunan. Affiliasi antara bangunan dapat terjadi jika
ada kesamaan fasade bangunan dari segi model, massa dan
langgam.
4. Kebutuhan penghargaan. Kebutuhan defisiensi yang berupa keinginan
individual untuk dapat menyesuaikan diri, kompeten, berkeahlian
komprehensif, berhasil, percaya diri, bebas, merdeka, dan
memperoleh rasa hormat, perhatian, identifikasi, apresiasi, status,
gengsi pamor, dominasi, serta martabat.
5. Aktualisasi diri. Kebutuhan perkembangan ini merupakan
pendefinisian diri yang sangat individual.
B. Budaya dan Arsitektur
Dalam membangun rumah atau bangunan lain, ada dua masalah yang
perlu diperhatikan, yaitu masalah guna dan citra. Masalah guna yang
menunjuk pada manfaat yang diperoleh berkat tata ruangnya, pengaturan
fisik yang tepat, efisiensi, kenyamanan yang kita rasakan, dan
sebagainya. Masalah citra menunjukkan suatu gambaran (image) arti bagi
seseorang. Guna lebih mengarah pada segi keterampilan/kemampuan,
sedangkan citra menunjuk pada tingkat kebudayaan (Mangunwijaya,
1995).
9
Kebudayaan datang dari manusia, ungkapan dirinya, baik dalam hal
cara berfikir, cita rasa serta seleranya, yang tentulah fana dan relatif
sifatnya. Setiap kebudayaan akan mentunaskan arsitektur sakral yang
sesuai dengan cita rasa kebudayaan yang bersangkutan. Bentuk-bentuk
arsitektural merupakan simbol kosmologis sebab pada tahap primer,
orang berfikir dan bercita rasa dalam penghayatan hidup secara kosmis
dan mistis, atau agama, tidak estetis. Bangunan dapat menjadi ciri
kemanusiaan penghuninya dari aspek kebudayaan dan spiritualitas
(Mangunwijaya, 1995)
C. Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan
Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam
Koentjaraningrat, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan
keturunan Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar,
dan Makassar.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki
kesusastraan tertulis sejak berabad-abad lamanya yaitu lontara, yang
berasal dari Sangsekerta.
Lingkungan perkampungan suku Bugis berbentuk mengelompok dan
berbanjar merupakan bagian dari strategi pemilihan lokasi. Alasan ekologi
itu untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan untuk komunikasi yang
lancar.
10
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga,
antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet,
menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar
rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama
merupakan suatu tempat keramat (possi tama), dengan suatu pohon
beringin besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan
(saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya memiliki
langgar atau mesjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya mengelompok padat dan
menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat
persawahan, pinggir laut dan danau. Sedangkan pola menyebar, banyak
terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang
Bugis dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada
kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan
mesjid/mushallah. Filosofi bentuk rumah tradisional yang bersegi empat
senantiasa dibangun menghadap pada empat penjuru angin , yaitu timur,
barat, utara dan selatan.
Orientasi arah rumah senantiasa menghadap utara dan timur. Arah
utara mengandung makna sumber kehidupan positif dan arah timur
merupakan sumber cahaya.
11
Bentuk rumah masyarakat Bugis dibangun atas dasar sebuah pandangan
yang berasal dari model keseimbangan kosmos. Ini berdasarkan pada
falsafah yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat suku Bugis yang
memandang bahwa jagad raya berbentuk segi empat (sulapa eppa) yang
terdiri dari langit, bumi dan pertiwi.
Bentuk denah persegi empat didasari pada pandangan bentuk
sulapa eppa dimana secara horizontal dianggap sebagai diri manusia
yaitu ada kepala, badan dan kaki. Pandangan ini diaplikasikan kedalam
bentuk ruangan yaitu ruang depan, tengah dan belakang. Pandangan ini
tercermin pula pada bentuk, dinding dan areal tanah yang ditempati
semuanya bersegi empat yang berorientasi pada empat unsur yaitu
tanah, api,air dan angin. Mengandung makna semakin tinggi derajat
seseorang semakin kuat unsur tersebut menyatu.
Gambar 1 Denah berbentuk persegi empat panjang. X adalah lebar rumah, Y adalah panjang rumah &
Z adalah tinggi rumah Sumber: Syarif Beddu
Manusia, sebagai hasil pengukuran dimensi secara antropometrik,
berdasarkan ukuran tubuh dan elemen tubuh manusia yaitu penghuni.
Bentuk rumah tradisional suku Bugis yang berbentuk rumah panggung
dimana secara vertikal yang tersusun dari tiga tingkatan yaitu ruang atas,
12
ruang tengah dan bawah. Ini berdasarkan pandangan bahwa alam raya ini
(makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan yaitu alam atas (langit), alam
tengah (bumi) dan alam bawah (pertiwi). Dengan demikian rumah
merupakan kosmos lebih kecil (mikrocosmos).
Bentuk rumah masyarakat Bugis dibangun atas dasar sebuah
pandangan yang berasal dari model kosmos struktur rumah tersusun dari
tiga tingkatan yaitu alam atas atau benua atas (oberWelt), benua tengah
(indekwelt) dan benua bawah (underWelt) yang dianggap berada di
bawah air (urwasser).
Gambar 2 Analogi Rumah Sumber: Syarif Beddu Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk
denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang
terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia
tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah
atap (Sumatardja,1981) dalam Umar (2002). Selain itu rumah Bugis
umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di
depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Tamping ini biasanya
disebut juga sebagai tapping, merupakan bangunan tambahan pada
setiap bangunan rumah adat suku Bugis sesudah badan rumah.
13
bangunan tambahan itu terletak di samping badan rumah dan memanjang
sepanjang badan rumah.
Untuk Sao-raja, ada tambahan dua ruangan lagi:
1. Lego-lego
Lego-lego (teras) adalah suatu bangunan di depan bangunan induk
yang merupakan bangunan tambahan yang mempunyai bentuk atap
yang tidak ubahnya sebuah rumah dengan ukuran yang lebih kecil,
didempetkan sejajar dengan bangunan induk.
2. Dapureng
Biasanya diletakkan di belakang atau di samping, Dapur adalah
bangunan tambahan yang dibuat di belakang bangunan induk sebagai
tempat penyelenggaraan kegiatan untuk menyiapkan keperluan
sehari-hari bagi penghuni rumah disebut dapureng (dapur).
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya
(Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal, dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap terdiri dari loteng dan atap
rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan
pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak
tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
2. Ale-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana
orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk
menerima tamu, tidur, dan makan.
14
3. Awa-bola kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai
dengan tanah atau bagaian bawah lantai panggung yang dipakai
untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang
yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan
dalam tiga bagian sebagai berikut:
1. Lontang ri saliweng (ruang depan), sifat ruang semi private, berfungsi
sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat
bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan
mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat
berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diizinkan untuk masuk.
Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang
transisi (tamping).
2. Lontang ritengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, sifat ruang
private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak
yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat
kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private, fungsi ruang ini
untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini
dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh
keluarga.
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan
fungsinya. Bagian atas (rakeang) baik untuk bangsawan (sao raja)
maupun rumah rakyat biasa (bola), terdiri dari loteng dan atap. Atap
15
berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut timpak laja.
Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara “sao raja dan bola.”
Bentuk segitiga pada timpak laja secara vertikal bermakna langit, secara
horisontal bermakna bumi. Jadi totalitas dari makna tersebut adalah
perpaduan dua unsur kosmos yaitu langit dan bumi. Sedangkan makna
dari bentuk atap kerucut semakin ke atas semakin kecil. Ini mengandung
arti semakin tinggi tingkatan sosial seseorang maka makin kecil mereka di
hadapan Tuhan.
Gambar 3. Rumah tradisional Bugis, ketinggian atap/puncak rumah
ditentukan dengan mengambil ukuran ½ dari lebar rumah ditambah dua jari
isteri pemilik rumah. Rumah tradisional Bugis memiliki kemiringan 45˚.
Sumber: Shirly Wunas
Untuk jelasnya berikut ini dipaparkan bentuk-bentuk timpak laja
yang dikenal dengan suku Bugis pada zaman dulu:
1. Timpak laja lima’susun (lima susun), khusus bagi istana raja. Raja
adalah pemimpin tertinggi dalam bidang pemeritahan dan pertahanan.
Karena raja adalah penguasa tertinggi, maka istananya dibuat lebih
besar dari rumah-rumah lainnya dalam wilayah kerajaan Bugis
sehingga istana tersebut diberi nama saoraja (rumah yang besar).
Bukan saja besar badan rumah serta tinggi tiangnya melainkan
16
perangkat-perangkatnya harus berbeda dengan rumah penduduk di
sekitar kerajaan, utamanya timpak laja.
2. Timpak laja pata’susun (empat tingkat). Rumah yang mempunyai
timpak laja empat tingkat hanya boleh dihuni/dimiliki oleh golongan
bangsawan yang memegang jabatan tinggi di kerajaan Bugis. Selain
itu seorang bangsawan yang telah turun dari kedudukannya sebagai
raja berhak menempati rumah dengan timpak laja empat’susun.
3. Timpak laja tellu’susun (tiga tingkatan). Rumah yang mepunyai
timpa’laja tiga tingkat adalah warga keturunan arung (bangsawan),
baik yang berasal dari keturunan To manurung maupun keturunan raja
lokal yang tidak mempunyai jabatan formal atau yang menduduki
jabatan dan pejabat lain yang sederajat dari keturunan bangsawan.
Orang yang berasal dari golongan ini apabila terangkat menjadi raja,
maka akan menduduki istana raja yang bertimpak laja lima susun dan
apabila raja tersebut turun tahta maka yang bersangkutan tidak
kembali menduduki rumah yang bertimpak laja susun tiga tapi
menempati rumah yang bertimpak laja bersusun empat.
4. Timpak laja dua’susun (dua tingkat) adalah peranginan atap yang
digunakan oleh golongan to mardeka (to sama). Golongan inilah yang
biasanya membuat timpak laja dua’susun.
5. Timpak laja sisusun (satu tingkat) adalah bentuk timpak laja yang
diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang berstatus to’barani
dan suro. Pemasangan timpak laja satu tingkat ini tidak dibuat miring
seperti yang dilakukan pada timpak laja lima’susun, dua’susun,
17
melainkan rata dari atas kebawah dan pada bidang petak tidak boleh
ada tanda-tanda lain yang mencampurinya (tidak terukir).
6. Timpak laja rata (tidak bertingkat) artinya rata dan hanya jeruji yang
terbuat dari bilah-bilah bambu yang dipasang bersilangan. Bentuk
yang demikian diharuskan pada golongan ata.
Timpak laja lima susun Timpak laja empat susun
Timpak laja tiga susun Timpak laja dua susun
Timpak laja satu susun
Gambar 4 Tipe Timpa,laja Golongan Bangsawan, Timpa’laja Golongan Merdeka dan Ata
Sumber: Shirly Wunas
18
Dinding yang terbuat dari kayu disusun secara horisontal. Salah
satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu
(babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah.
Tempat pintu biasanya di letakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya
ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus di letakkan pada depa
yang ke-6 (enam) atau ke-4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila
penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, menurut
kepercayaan dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri
atau penjahat.
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan
pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga
berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Perletakannya
biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian bawahnya
biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk
memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan
atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali dapat
menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali jumlahnya 3-5
menunjukkan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.
Menurut masyarakat Bugis angka sembilan merupakan angka
penjumlahan tertinggi, mengandung makna bahwa ada sembilan benda-
benda yang ada di jagad raya ini yang sangat mempengaruhi kehidupan
manusia, diantaranya bumi, bulan, matahari, bintang, langit, gunung, air,
udara dan api. Daun jendela yang berjumlah satu pasang, mengandung
makna bahwa di dalam kehidupan harus ada keseimbangan yaitu ada
19
malam ada siang, ada kematian ada kelahiran, ada kasar dan ada yang
halus dan sebagainya.
Ragam hias dari bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber
dari alam sekitar biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab dan
kaligrafi. Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang
berarti bunga yang menarik. Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-
sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan
jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Maka bunga perengreng ini
diibaratkan sebagai rejeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga
parengreng.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau
dan bentuk ular naga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di
puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang.
Ragam hias berupa kaligrafi atau bulan sabit biasanya di tempatkan pada
bangunan peribadatan atau mesjid.
Ragam Flora Ragam Kaligrafi Ragam Fauna Gambar 5. Ragam Hias Sumber: Syarif
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu.
Bahan bangunan yang yang biasanya digunakan: kayu bitti, Ipi, amar,
cendana, tippulu, durian, nangka, besi, lontar, kelapa, batang enau,
pinang, ilalang, dan ijuk.
20
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah,
sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan
menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi.. Tahap
yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah:
1. Tiang (aliri). Tiang-tiang rumah ditanam dengan kuat sebagian
kedalam tanah. Dalamnya lubang penanaman adalah setinggi pusar
(diukur dari tapak kaki sampai ke pusar) pemilik rumah yang
bersangkutan. Rumah tradisional Bugis yang paling tua, tiang
penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Perkembangan
selanjutnya muncul tiang rumah dalam masyarakat Bugis . Alas tiang
tersebut dikenal dengan bahasa Bugis sebagai pappatettong aliri. Alas
tiang itu pada mulanya hanya terdapat pada golongan rumah
bangsawan. Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola
(tiang pusat rumah).
Rumah yang terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat pada baris
kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Rumah yang
tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari
depan dan baris kedua dari samping kanan.
Bentuk tiang adalah bulat untuk bangsawan, segi empat atau
segidelapan untuk orang biasa.
Gambar 6 Tipe tiang: A. Penampang tiang golongan bangsawan, B. Penampang tiang golongan merdeka, C. Penampang tiang holongan ata. Sumber: Umar
A B C
21
Untuk golongan ata, tiang rumahnya terbuat dari bambu yang disebut
awo. Apabila memakai kayu maka jenisnya tidak boleh sama dengan
jenis kayu yang dipakai oleh golongan bangsawan.
Arateng (pengikat arah lebar rumah)
Sumber: Shirly Wunas
Tinggi kolong rumah
Tinggi kolong Merupakan jarak antara lubang arateng dengan permukaan tanah. Penentuan mengambil ukuran suami dalam posisi berdiri dari kaki ke telinga ditambah ukuran dari lantai ke mata dalam posisi duduk. Ukuran ini 210-225 cm. Tinggi badan rumah Dilakukan dengan metode yang sama dengan ukuran tinggi kolong. Yang dijadilkan alat ukur adalah istri pemilik rumah. Ukuran berkisar 200-210 cm. Gambar 7. Sistem Struktur Konstruksi
Rumah adat suku Bugis yang digolongkan sebagai rumah panggung
terdiri atas tiga ruang lantai yang pertama adalah ruang bawah
(kolong) dalam bahasa Bugis passiring, berfungsi sebagai tempat
binatang ternak dan sebagai tempat penyimpanan alat-alat
pengolahan sawah dan kebun. Kedua dalam bahasa Bugis adalah
watampola berfungsi sebagai tempat perencanaan dan
penyelenggaraan hidup dan kehidupan sehari-hari bagi seisi rumah,
tempat berkembangnya keturunan dan tempat tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai adat kebiasaan leluhur secara turun-
temurun. Lantai tengah terbagi menjadi dua bahagian yaitu bahagian
22
luar yang disebut saliwengpola dan bahagian dalam disebut
lalengpola. Kedua bahagian ini pisahkan oleh Pallawatenga (dinding
pemisah). Ketiga adalah ruang atas (loteng) dalam bahasa Bugis
rakkiang. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat penyimpanan hasil
sawah dan kebun tetapi sebagai tempat penyimpanan peralatan lain
seperti tikar, alat tenun dan benda-benda pusaka yang dianggap
keramat oleh pemiliknya.
2. Anak Tangga. Anak tangga dipasang pada setiap tangga selalu
jumlah ganjil. Makin tinggi rumah makin banyak anak tangganya,
namun selalu hitungan ganjil. Suku Bugis menggunakan jenis tangga
yang berlainan satu sama lain. Bentuk tangga tersebut terbuat dari
bambu kemudian bentuk tangga yang menggunakan kayu. Dalam hal
pemasangan anak tangga pada setiap rumah tidak boleh sesuka hati
pemiliknya:
1. Untuk golongan bangsawan (arung) pemasangan tangga harus ke
depan searah dengan badan rumah dan diberi atap dan
pegangan.
Gambar 8. Tipe tangga bangsawan suku Bugis Sumber: Umar
2. Bagi golongan to mardeka (to sama) pemasangan harus dari
samping badan rumah dan tidak diberi atap dan pegangan.
23
3. Untuk golongan ata terletak di depan rumah dan disandarkan
langsung ke badan rumah serta tidak boleh memakai sandaran
tiang dan atap.
Gambar 9. Tipe tangga golongan mardeka dan ata
Sumber: Umar
24
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Yuti (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Aplikasi Feng Shui
pada Arsitektur Ruko Lama di Kawasan Pecinan Makassar yang betujuan
mengidentifikasi tingkat aplikasi konsep Feng Shui dalam arsitektur ruko,
mengidentifikasi tingkat pemenuhan kebutuhan dasar pemilik ruko, dan
dan mengidentifikasi harapan pemilik ruko terhadap arsitektur ruko.
Kesimpulan penelitian adalah tingkat aplikasi konsep feng Shui
dalam arsitektur ruko lama di kawasan Pecinan Makassar tergolong
sesuai baik setiap aspek maupun keseluruhan aspek, sedangkan tingkat
pemenuhan kebutuhan dasarnya penghuninya tergolong kurang sesuai
baik setiap aspek maupun keseluruhan aspek.
Raziq Hasan 2002 (http://www.yahoo.com/arsitektur tradisional
Bugis) dalam penelitiannya yang berjudul perubahan bentuk dan fungsi
arsitektur tradisional Bugis di kawasan pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara
merupakan suatu upaya penelitian dalam konteks arsitektur tradisional
sebagai eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada
masa lalu untuk dilihat bagaimana perkembangannya pada masa kini
dalam lingkungan baru yang jauh dari asal tradisinya.
Kesimpulan penelitian adalah pada umumnya masyarakat memiliki
keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan
bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat
Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, hal ini sulit
dilaksanakan karena beberapa pertimbangan karena pertautan budaya
dengan lingkungan sekitar yang kurang meiliki ikatan emosional yang kuat
25
dengan budaya asalnya, interaksi sosial yang menuntuk perubahan
bentuk secara fungsional dan kesejamanan, hilangnya makna simbolik
terhadap elemen-elemen bentuk, rancangan bangunan lebih dipandang
dari sudut fungsional semata, kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis
terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan
aturan yang mengikat nilai-nilai ini, bahan bangunan utama kayu sulit
didapat di wilayah pemukiman dan harganya mahal, dan adanya
anggapan bahwa rumah dengan bahan dari bata lebih baik dalam hal
perawatan dan daya tahan, dan bahan bata dianggap menunjukkan
tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.
Dari beberapa penelitian di atas sangatlah berkaitan dengan
penelitian ini, dengan fokus dan isi pembahasan yang lebih spesifik yaitu
mengenai keterkaitan konsep arsitektur tradisional Bugis dengan
pemenuhan kebutuhan penghuni. Tinjauan dalam penelitian ini difokuskan
pada usaha mengidentifikasi keterkaitan konsep arsitektur tradisional
Bugis dalam arsitektur rumah terhadap pemenuhan kebutuhan penghuni
dengan menggunakan metode deskriptif.
26
B. Kerangka Pikir
Tinjauan Literatur
- Teori kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow (lang,1994 dalam Yuti, 2006.
- Budaya dan arsitektur - Teori arsitektur tradisional
rumah Bugis
Masalah yang Urgen 1. Berdasarkan konsep umum arsitektur, desain bangunan seharusnya
bisa memenuhi kebutuhan penghuni rumah. Namun ternyata berdasarkan pengamatan awal, mayoritas desain rumah tradisional Bugis yang ada di kecamatan Lilirilau kabupaten Soppeng yang mengaplikasikan konsep arsitektur tradisional rumah Bugis, tampaknya belum bisa memenuhi kebutuhan dasar penghuni rumah secara memuaskan.
2. Acuan arsitektur rumah yang membahas konsep arsitektur tradisional rumah Bugis yang dikaitkan dengan kebutuhan dasar penghuni rumah belum ada.Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kurangnya pengetahuan terhadap dasar-dasar filosofi bentuk dan tidak ada lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.
Variabel Riset
1. Pengelompokan rumah berdasarkan status pemilik bangunan
2. Pengelompokan rumah berdasarkan periode dan umur bangunan
3. Pengelompokan rumah berdasarkan fungsi rumah
4. Pemenuhan kebutuhan pemilik rumah hunian dan usaha • Kebutuhan fisiologis • Kebutuhan keamanan dan
keterlindungan • Kebutuhan affiliasi • Kebutuhan peghargaan • Kebutuhan aktualisasi diri
Keterkaitan konsep arsitektur tradisional rumah Bugis dengan pemenuhan kebutuhan dasar penghuni
Teknik Analisis Data akan dianalisis dengan cara pembobotan untuk mempermudah dilakukan penilaian kemudian ditafsirkan dengan kalimat kualitatif yang deskriptif dan interpretative sifatnya, untuk mempersentasikan status hal yang diteliti.