Upload
ayoechekha
View
338
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
KASUS
I. Identitas
Nama : Ny. Y
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 33 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Tanjung Uban
Tanggal masuk : 26 Januari 2010
Tanggal keluar : 23 Februari 2010
No. RM : 27.09.66
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis pada tangaal 17 Februari 2010
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 10 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Os adalah rujukah dari RSUD telah di rawat inap selama 18 hari dengan diagnosis DM
dan TB paru. saat pertama kali datang ke RSUD, gula darah Os 531 mg/dl dan di rontgen. Lalu
os mendapat terapi untuk TBnya dengan kapsul bewarna merah. Selama perawatan hari ke 6, os
merasa sesak nafas, tidak berkurang malah terasa lebih berat, sehingga os dirujuk ke RSOB.
Os datang dengan keluhan sesak nafas sejak 10 hari SMRS sewaktu os dirawat di RSUD.
Sesak nafas hilang timbul, dan kambuh tidak tergantung dengan waktu. Sesak nafas berkurang
dengan pemberian oksigen yang lama, dalam posisi duduk, dan tidak berkurang dengan istirahat.
Sesak nafas disertai dengan batuk dan terasa dahak yang susah keluar. Dahak yang keluar
bewarna putih tidak disertai darah. Sesak nafas tidak disertai dengan demam, nyeri dada,atau
kaki bengkak. Sehari-hari os memakai satu bantal untuk tidur.
Sebenarnya Os sudah mengeluh batuk-batuk selama 3 bulan, dahak berwarna putih
kekuningan dan kental, tidak ada darah, terutama lebih banyak pada malam hari, terasa dahak
sulit keluar. Sudah diberi obat batuk tetapi tidak kunjung sembuh. os sering merasa keringatan
pada malam hari, tidak ada demam, dan sesak nafas. Sejak saat itu terjadi penurunan nafsu
makan dan berat badan dalam 3 bulan ini sekitar 10 kg. tidak disertai dengan mual dan muntah.
Buang air besar dan kecil seperti biasa, tidak ada diare atau BAB berdarah. Os tidak merokok.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat DM sejak 3 tahun yang lalu. Os rutin kontrol ke dokter dan teratur minum obat
tetapi os mengaku gula darahnya memang tidak selalu baik biarpun teratur minum obat.
Sejak menderita DM, berat badan os berkurang 25 kg sampai sekarang. Tiga hari SMRS
os sempat tidak minum obat DM.
- Riwayat menderita asma tidak ada
- Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat TB: Tidak ada keluarga yang menderita TB tetapi tetangga os ada yang
menderita TB
- Riwayat keluarga DM : Ayah os menderita DM
III. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Februari 2010
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 117 x/mnt
Suhu : 38 C
Pernafasan : 37,1 x/mnt
Status gizi
BB : 40 kg
TB : 157
IMT : 16 underweight
Kepala : normocephali, distribusi rambut hitam merata, tidak mudah dicabut
Mata - pupil bulat isokor ki=ka
- refleks cahaya langsung +/+
- refleks cahaya tidak langsung +/+
- conjungtiva anemies -/-
- sklera ikterik -/-
hidung : terpasang kanul oksigen
telinga : normotia, serumen (-)
mulut : sianosis (-), mukosa hiperemis (-)
leher : trachea lurus di tengah, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),
KGB : tidak teraba membesar
Paru
Inspeksi : Kedua hemithorax simetris secara statis dan dinamis
Tidak ada retraksi sella iga
Palpasi : Vokal fremitus kiri melemah
Perkusi : Sonor pada hemithorax kanan dan redup pada hemithorax kiri
Batas paru-hepar : ICS V linea midclavicularis dextra
Batas paru-lambung : ICS VI linea axilaris anterior
Auskultasi: suara nafas vesikuler pada hemithorax kanan dan kiri. Menghilang
pada bagian basal dan inferior hemithorax kiri
Rhonki di kedua hemithorax
Friction rub pada basal lateral hemithorax kiri
Tidak terdapat wheezing
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS III linea sternalis sinistra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS III linea sternalis dextra
Auskultasi: S1, S2 regular, Murmur (-), gallop (-)
Abdomen
inspeksi : datar, tidak terlihat penonjolan massa
palpasi : dinding perut supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-) defans muskuler (-)
perkusi : tympani
auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, odem (-), sianosis (-)
Bawah : Akral hangat, odem (-), sianosis (-)
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Leukosit : 15.600 (N: 3,5 – 10 x 103/mm3)
- Eritrosit ` : 3.690.000 (N: 3,8 – 5,8 x 106/mm3)
- Hemoglobin : 10,5 (N: 11 – 16,5 g/dl)
- Hematokrit : 30,5 % (N: 35 – 50 %)
- Trombosit` : 677.000 (N: 150 – 390 x 103/mm3)
- Ureum : 9,4 (N: 10-50 mg/dl)
- Creatinin : 0,24 (N: 0,5-0,9 mg/dl)
- SGOT : 15 (N: < 32 U/I)
- SGPT : 8 (N: < 24 U/I)
- Total protein : 6,9 (N: 6,6 -8,7)
- Albumin : 3,6 (N: 3,4 – 4,8)
- Globulin : 3,3 (N: 1,3 – 2,7)
- Natrium : 134 (N: 135-147 meq/l)
- Kalium : 4,5 (N: 3,5-5,0 meq/l)
- Chlor : 100 (N: 94-111 meq/l)
- GDS : 189
- HIV : (-)/ negative
- Pemeriksaan BTA dilakukan pada 27-29 Februari 2010
dengan hasil +,+,+
Pemeriksaan laboratorium pada 9 Februari 2010
- HbsAg : (-)/negatif
- Anti HcV : (-)/ negatif
Urinalisa
- BJ : 1010
- pH : 8
- Protein, reduksi, benda keton, bilirubin, urobilinogen, protein kwantitatif,
darah samar : (-)/negative
- Leukosit : 3-6 / LPB
- Eritrosit : 1-2 / LPB
Rontgen Thorax
Infiltrate di kedua lapangan paru
Atelektasis pada hemithoraks sinistra
Pneumothorax pada hemithoraz snistra
Diagnosis
TB Paru
DM tipe II
Penatalaksanaan
Umum
Oksigen kanul nasal
Diet DM
Therapy
Nebulizer : combivent, Nacl, Bisolvon
Insulin Actrapid drip
Oral :
Elsazym 3x1
Farmacrol syr 4x2
Ambroxol syr 3x1
Glicophage 2x1
PZA 1x100
Pulna 1x2
Rifampisin 1x450
Vectrin 3x1
Vit B6 3x1
Myconazol cream
TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan. Tuberkulosis di
Indonesia, menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina. Prevalensii TB di
Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes tahun 2004 pada 30 propinsi adalah 104 per 100.000
penduduk.3 Penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan
terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, endemik Human
Immunodefisiency Virus (HIV), resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR).4 Prevalensi
MDR di dunia sekitar 4,3%. Survei prevalensi TB tahun 2004, mencakup 30 provinsi di
Indonesia berdasarkan pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) positif sebesar 104 per
100.000.3 Diabetes melitus merupakan salah satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi
TB dengan risiko relatif berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi.
Selain itu DM secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.
I. Etiologi
Penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium
bovis (jarang). Selain itu juga dikarenakan oleh daya tahan tubuh yang rendah. Kuman
tuberculosis berbentuk batang, tahan terhadap pewarnaan tahan asam, mati pada sinar UV
langsung, hidup pada tempat yang lembab dan gelap.
II. Patogenesis
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman
akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel
ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya.
TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel. Sel efektor
adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adealahh sel imnoresponsif. Tipe imunitas seperti
ini biasanya local, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru di bagian atas lobus bawah,
basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit PMN tampak pada tempat
tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organism tersebut. Sesudah hari-hari
pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi,
dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi ileh limfosit. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit.
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu
suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, den-
gan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang ter-
sumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya
atau tertelan
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spon-
tan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menim-
bulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis tuberkulosa, ty-
phobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi
dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
B. Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer,
biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam
macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti
salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penye-
bukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi
perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang
tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, ke-
mudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneu-
monik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bin-
tang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya
III. Destroyed Lung pada Tuberkulosis
Terdapat limfa nodul pada setiap cabang dari bronkus yang membesar karena infeksi
primer tuberculosis. Terjadi penekanan pada bronkus akibat pembengkakan nodus limfatikus
tersebut, yang menyebabkan penyempitan atau bahkan sumbatan pada lumen bronkus. Jika hal
ini terjadi maka akan terjadi atelektasis paru pada sgmen atau lobus distal dari sumbatan tersebut.
Hasil dari fibrosis bronkus yang mengalami konstriksi terjadinya infeksi pyogenik sekunder pada
segmen yang terjadi atelektasis. Selama proses penyambuhan, efusi pleura local biasa terjadi
pada daerah dengan luruh paru. Cairan ini biasanya terperangkap karena adanya adhesi pada
lobus tersebut, sehingga sudut costofrenikus dapat bersih /tajam. Masalah utama dari pasien
dengan luruh paru adalah infeksi berulang. Infeksi dapat berasal dari bakteri piogenik, atau
jamur. Pemeriksaan sputum mungkin mengandung multiple bakteri. Tata laksana pada pasien
seperti ini dengan mengontrol infeksi dengan antibiotik. Jika tidak berhasil, pembedahan
mungkin dapat dilakukan, tetapi dengan kesulitan akibat dari adanya adhesi dan penebalan
pleura, dan terjadinya fibrosis dan paru yang mudah luruh pada paru tersebut.
IV. Penegakkan Diagnosis
Gejala Klinis :
1. Gejala respiratorik : Batuk ≥ 3 minggu, batuk darah (hemoptisis), sesak napas, nyeri
dada.
2. Gejala sistemik : Demam tidak tinggi tapi selalu berulang, malaise, keringat pada waktu
malam hari, anoreksia, dan berat badan menurun.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radi-
ologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam- macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
- Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
- Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
V. Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) tipe2 adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja insulin
atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan
berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun peranan faktor
genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan pasti.
Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin diperifer
merupakan 2 keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe2. Yang menjadi masalah
adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan pasti.1
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu bila ditemukan gejala klinis
yang khas DM seperti poliuri, polidipsi dan polifagi serta penurunan berat badan yang tidak
diketahui penyebabnya dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl maka diagnosis DM da-
pat ditegakkan. Sebaliknya apabila tidak ada keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan tes tol-
eransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam setelah
beban glukosa 75 gram. Bila kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dan atau kadar glukosa 2
jam setelah beban > 200 mg/dl maka diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.1
Dalam perjalanannya DM tipe 2 sering mengalami komplikasi selain komplikasi mikroangiopati
yang erat kaitannya dengan kontrol glukosa plasma yang jelek seperti retinopati dan nefropati di-
abetik, juga komplikasi makroangiopati yang erat kaitannya dengan aterosklerosis seperti
penyakit kardiovakuler (PKV), stroke dan gangren diabetik.
VI. Immunocompromise pada Penderita DM
Diabetes melitus dapat mengakibatkan individu rentan infeksi yang disebabkan oleh faktor
predisposisi yaitu kombinasi antara angiopati, neuropati dan hiperglikemia. Gangguan
mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan fungsi granulosit, penurunan imunitas seluler,
gangguan fungsi komplemen dan penurunan respons limfokin, dapat mengakibatkan lambatnya
penyembuhan luka. Infeksi sendiri dapat menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi
ketoasidosis diabetik yang disebabkan oleh kenaikan sekresi counter regulatory hormone†�yang
merangsang glukoneogenesis dan meningkatkan sistim syaraf simpatis yang menekan pengelu-
aran insulin. Resistensi insulin dapat meningkat karena respons pengeluaran sitokin akibat in-
feksi. Pada pasien DM yang terinfeksi pengobatan biasanya diganti dengan pengobatan insulin
sampai infeksinya membaik dan bagi pasien DM yang sudah mendapat insulin maka dosis in-
sulin perlu ditingkatkan. Dalam naskah ini akan dibicarakan pengaruh TB paru pada DM
khususnya kepekaan terhadap infeksi, efek metabolik akibat infeksi, manifestasi klinis dan pen-
gelolaan DM pada TB paru. Diabetes melitus dan kepekaan terhadap infeksi
Meningkatnya kepekaaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada
umumnya efek hiperglikemia sangat berperan mudahnya pasien DM terkena infeksi. Hal ini
disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) terma-
suk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraseluler.
Diabetes melitus oleh WHO dianggap sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang
karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieleminasi; perlangsungan
lebih lama dan lebih berat disertai infeksi sering rekuren. Gangguan salah satu mekanisme re-
spons imun biasanya granulosit polimorfonuklear (PMN) dan atau aktifitas subset limfosit. Bila
mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu.4,5
Lekosit PMN ditarik ke tempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh
mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor-faktor yang di pengaruhi secara lokal
oleh PMN. Pada penelitian invitro sel-sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun.,
terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol.
Fagositosis juga terganggu pada DM dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperg-
likemia juga berkaitan dengan killing activity (aktifitas membunuh) dari enzim lisosom yang
menurun. Pada keadaan hiperglikemia cenderung terbentuk sorbitol yang disebabkan oleh enzim
aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate � (NADPH) men-
jadi NADP melalui metabolisme polyol pathway. Akibat NADPH banyak digunakan untuk
membentuk sorbitol maka aktifitas membunuh mikroaorganisme intrasselular yang memerlukan
NADPH menurun karena respiratory burst �. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera
meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam.
Faktor-faktor lokal juga menyebabkan kecenderungan pasien DM mudah infeksi yaitu:
hiperglikemia memberi kecenderungan infeksi bakteri dan fungi pada pasien DM. Insufisiensi
vaskuler dan hipoksia jaringan menyebabkan pertumbuhan organisme anaerob, terbatasnya
mekanisme pertahanan tubuh; neuropati menyebabkan gangguan distribusi tekanan, yang
berperan pada infeksi dan ulserasi pada kaki. Pada kandung kemih neuropati menyebabkan atoni
buli-buli yang menyebabkan retensi urinaria yang cenderung bakteriuria. Efek metabolik infeksi
Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30 % episode ketoaso-
dosis diabetik diprepisitasi oleh infeksi dan umumnya pada DM tipe 2.3
Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar
glukosa darah dan meningkatkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe 1. Pada DM tipe 2
memerlukan pengobatan insulin selama ada infeksi dan pada orang-orang non diabetik atau nor-
mal adanya infeksi dapat meningkatkan kadar glukosa darah (hiperglikemia).
Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena
glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter-regulatory hormone � (gluk-
agon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Katekolamin dalam hal ini simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, ked-
uanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin
bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal.3,5
Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe 2 akan
tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat
dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Resistensi insulin terutama pada otot skelet di-
mana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula di hati. Mekanisme
yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat di-
dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjut-
nya interleukin dan tumor necrosis factor-á mengganggu kerja insulin diperifer dengan
menekan tyrosine kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada
defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis
pada infeksi DM.
VII. Infeksi Tuberkulosis pada DM
Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan di-
abetes. Di negara-negara barat insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun insidensnya
masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien dengan Acquired Immun Defisensi
Syndrome � (AIDS). Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat endemik maka insiden tuberku-
losis pada DM masih tinggi. Perlangsungan TB paru pada DM lebih berat dan kronis dibanding
non diabetes. Hal ini disebabkan pada DM, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifi-
tas fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta
kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda-tanda klinis TB paru toksik tersamar se-
hingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan oleh karena gangguan syaraf
otonom dan pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi pada umumnya tidak efek-
tif. Pada pemeriksaan radiologis biasanya yang terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru
kadang-kadang lebih dari satu lobus dan tidak segmental.
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman tu-
berkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan . Penelitian TB paru pada
DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar
negeri maka prevalensi di Indonesia masih tinggi. Laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa tu-
berkulosis cenderung mengenai lobus bawah dan tengah paru dan dalam jangka yang tidak ter-
lalu lama dapat mengenai beberapa lobus (multiple-lobe) dan biasanya timbul kavitas dan dis-
tribusinya non segmental. Belum dapat dipastikan bahwa apakah lobus tengah /bawah juga lebih
sering pada pasien DM bila pemeriksaan computed tomography dikerjakan.3,6,7 Selain itu
pasien DM juga terbukti mempunyai risiko tinggi mendapat mukormikosis paru yang telah
dibuktikan pada beberapa pasien DM hemoptisis. Tuberkel basilus cenderung resistens dengan
berbagai antibiotik apabila reaktivasi tidak terjadi.
Telah diketahui sejak dahulu ada hubungan bermakna antara DM dengan TB paru
khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol baik. Survey Philadelphia pada tahun 1952 me-
nunjukkan bahwa dari 3106 pasien DM yang diteliti ditemukan 8,4% pasien TB paru
berdasarkan pemeriksaan radiologis dibanding dengan 71.767 kontrol non DM ditemukan hanya
4,3%. Penelitian oleh Ezung dkk (2002) melaporkan 100 pasien DM yang berobat jalan dan ngi-
nap di Imphal India menunjukkan 27% didiagnosis tuberkulosis paru dan 6% didiagnosis den-
gan pemeriksaan sputum. Pemeriksaaan radiologis ditemukan 11 pasien lesi minimal, 7 pasien
lesi moderat, 9 pasien dengan lesi berat atau far advanced lesions; kavitasi ditemukan pada 3
pasien, fibrosis 4, opasitas homogen 6, opasitas heterogen 10, efusi pleura pada 3 pasien dan 1
pasien dengan fibrosis dan konsolidasi. Umur rata-rata pasien berumur diatas 40 tahun (mean age
55,4 tahun) , 23 pasien (85,18%) mengidap DM rata-rata 7,6 tahun . Hasil penelitian menun-
jukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi tuberkulosis paru. Demikian
pula tidak ditemukan adanya korelasi dengan riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Peneli-
tian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah
penelitian menunjukkan prevalensi TB paru pada DM rata-rata diatas 40 tahun.6 Faktor umur
berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan
kepekaan terhadap tuberkulosis, Pada DM,infeksi tuberkulosis biasanya tersamar (mask tubercu-
lous infection) sehingga diagnosis tuberkulosis paru umumnya sudah terlambat.
Pada usia lanjut, disamping fungsi sel beta lebih terganggu, juga pada usia lanjut umum-
nya sudah lama menderita DM serta kontrol DM biasanya labil. Pasien DM laki-laki mempunyai
kemungkinan 2 kali mendapat TB paru dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes,
15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM yang
menderita TB paru mempunyai berat badan normal.7Keluhan pasien menunjukkan 53% men-
geluh perasaan lemah, 14% batuk-batuk, 8% poliuria, 7% hemoptisis, 6% sesak napas, demam
dan polifagi masing-masing 3%, sedang perasaan kesemutan, berat badan menurun, perasaan
terbakar pada tungkai hanya 1%
VIII. Pengobatan DM pada TB paru
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM nya dan pengobatan
terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang
meliputi terapi perencanaan makan /diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan
selain untuk menormalkan kadar glukosa darah , juga untuk mengembalikan berat badan ke berat
badan ideal. Bila pasien DM kurus diberikan diet DM yang lebih tinggi kalori sedang apabila
gemuk maka diturunkan berat badan. Pada umumnya pengobatan diet diabetes berkisar 2000-
2400 kalori. Pemberian obat anti diabetes pada DM disertai dengan TB paru dipilih pengobatan
dengan insulin. Bagi pasien yang sementara dapat pengobatan anti diabetes oral, seperti sulfonil-
urea dan biguanid sebaiknya diganti dengan insulin
Pada DM tipe 2 disertai tuberkulosis paru pemberian insulin dianjurkan selama infeksi
masih aktif. Telah dikenal berbagai macam insulin mulai kerja cepat, pendek, sedang sampai
lama yang disuntikkan sendiri (tunggal) atau mixed dalam satu semprit. Pemberian insulin pada
DM dengan TB paru diindikasikan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperg-
likemia berat apalagi disertai ketosis, perlu penanganan lebih ketat kadar glukosa darah dan obat-
obat anti TB paru mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes.
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau humulin R
dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap ½ jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit
dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian insulin dapat diubah sesuai respons pasien.
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin
kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau Humulin N
dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang
30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah sekali perhari dan apabila dosis
lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan
pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam. Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menor-
malkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran se-
baiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15
menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dian-
jurkan menggambungkan antara lente insulin dengan NPH karena Zink pospat dapat mempre-
sipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin glargine
tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah karena akan saling men-
gencerkan.
IX. Pengaobatan penderita TB dengan DM
Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontra indikasi karena tuberku-
losis dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan
karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun , berat badan menu-
run dan adanya malabsorbsi glukosa, dimana metformin mempunyai mekanisme kerja sama di-
atas.
Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme obat-
obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Dis-
amping itu rifampicin menyebabkan early hyperglicaemia � pada non DM maupun non TB paru
dan meningkatkan absorbsi glukosa di usus. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi
karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang isoniazid
menyebabkan pankreatitis dan menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa di usus.
Pengobatan antituberkulosis untuk pasien dengan DM adalah terapi quadripel yang meliputi
rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Selama 2 bulan pertama, dan diikuti 4 bulan
berikutnya dengan pengobatan rifampicin dan isonoazid. Pemberian rifampicin pada DM den-
gan TB paru dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral dan meningkatkan
kebutuhan insulin. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan
bekerja antagonis dengan sulfonylurea.
Daftar Pustaka
1. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dok-
ter Paru Indonesia.2006.
2. Aru W.Sudoyo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. 2006. Jakarta
3. Sylvia A. Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Penerbit
Buku kedokteran EGC. Jakarta: 2005
4. Tuberkulosis with Diabetes Melitus. Emedicine.com. http://emedicine.medscape. com/ar-
ticle/1202960-overview.