32
KASUS I. Identitas Nama : Ny. Y Jenis Kelamin : Wanita Usia : 33 tahun Status : Menikah Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA Alamat : Tanjung Uban Tanggal masuk : 26 Januari 2010 Tanggal keluar : 23 Februari 2010 No. RM : 27.09.66 II. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis pada tangaal 17 Februari 2010 Keluhan Utama Sesak nafas sejak 10 hari SMRS

Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. Y

Jenis Kelamin : Wanita

Usia : 33 tahun

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMA

Alamat : Tanjung Uban

Tanggal masuk : 26 Januari 2010

Tanggal keluar : 23 Februari 2010

No. RM : 27.09.66

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis pada tangaal 17 Februari 2010

Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 10 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Os adalah rujukah dari RSUD telah di rawat inap selama 18 hari dengan diagnosis DM

dan TB paru. saat pertama kali datang ke RSUD, gula darah Os 531 mg/dl dan di rontgen. Lalu

Page 2: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

os mendapat terapi untuk TBnya dengan kapsul bewarna merah. Selama perawatan hari ke 6, os

merasa sesak nafas, tidak berkurang malah terasa lebih berat, sehingga os dirujuk ke RSOB.

Os datang dengan keluhan sesak nafas sejak 10 hari SMRS sewaktu os dirawat di RSUD.

Sesak nafas hilang timbul, dan kambuh tidak tergantung dengan waktu. Sesak nafas berkurang

dengan pemberian oksigen yang lama, dalam posisi duduk, dan tidak berkurang dengan istirahat.

Sesak nafas disertai dengan batuk dan terasa dahak yang susah keluar. Dahak yang keluar

bewarna putih tidak disertai darah. Sesak nafas tidak disertai dengan demam, nyeri dada,atau

kaki bengkak. Sehari-hari os memakai satu bantal untuk tidur.

Sebenarnya Os sudah mengeluh batuk-batuk selama 3 bulan, dahak berwarna putih

kekuningan dan kental, tidak ada darah, terutama lebih banyak pada malam hari, terasa dahak

sulit keluar. Sudah diberi obat batuk tetapi tidak kunjung sembuh. os sering merasa keringatan

pada malam hari, tidak ada demam, dan sesak nafas. Sejak saat itu terjadi penurunan nafsu

makan dan berat badan dalam 3 bulan ini sekitar 10 kg. tidak disertai dengan mual dan muntah.

Buang air besar dan kecil seperti biasa, tidak ada diare atau BAB berdarah. Os tidak merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat DM sejak 3 tahun yang lalu. Os rutin kontrol ke dokter dan teratur minum obat

tetapi os mengaku gula darahnya memang tidak selalu baik biarpun teratur minum obat.

Sejak menderita DM, berat badan os berkurang 25 kg sampai sekarang. Tiga hari SMRS

os sempat tidak minum obat DM.

- Riwayat menderita asma tidak ada

- Riwayat hipertensi tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat TB: Tidak ada keluarga yang menderita TB tetapi tetangga os ada yang

menderita TB

- Riwayat keluarga DM : Ayah os menderita DM

Page 3: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

III. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Februari 2010

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital

Tekanan darah: 110/70 mmHg

Nadi : 117 x/mnt

Suhu : 38 C

Pernafasan : 37,1 x/mnt

Status gizi

BB : 40 kg

TB : 157

IMT : 16 underweight

Kepala : normocephali, distribusi rambut hitam merata, tidak mudah dicabut

Mata - pupil bulat isokor ki=ka

- refleks cahaya langsung +/+

- refleks cahaya tidak langsung +/+

- conjungtiva anemies -/-

- sklera ikterik -/-

hidung : terpasang kanul oksigen

telinga : normotia, serumen (-)

Page 4: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

mulut : sianosis (-), mukosa hiperemis (-)

leher : trachea lurus di tengah, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),

KGB : tidak teraba membesar

Paru

Inspeksi : Kedua hemithorax simetris secara statis dan dinamis

Tidak ada retraksi sella iga

Palpasi : Vokal fremitus kiri melemah

Perkusi : Sonor pada hemithorax kanan dan redup pada hemithorax kiri

Batas paru-hepar : ICS V linea midclavicularis dextra

Batas paru-lambung : ICS VI linea axilaris anterior

Auskultasi: suara nafas vesikuler pada hemithorax kanan dan kiri. Menghilang

pada bagian basal dan inferior hemithorax kiri

Rhonki di kedua hemithorax

Friction rub pada basal lateral hemithorax kiri

Tidak terdapat wheezing

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas atas : ICS III linea sternalis sinistra

Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra

Batas kanan : ICS III linea sternalis dextra

Page 5: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Auskultasi: S1, S2 regular, Murmur (-), gallop (-)

Abdomen

inspeksi : datar, tidak terlihat penonjolan massa

palpasi : dinding perut supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-) defans muskuler (-)

perkusi : tympani

auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas

Atas : Akral hangat, odem (-), sianosis (-)

Bawah : Akral hangat, odem (-), sianosis (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

- Leukosit : 15.600 (N: 3,5 – 10 x 103/mm3)

- Eritrosit ` : 3.690.000 (N: 3,8 – 5,8 x 106/mm3)

- Hemoglobin : 10,5 (N: 11 – 16,5 g/dl)

- Hematokrit : 30,5 % (N: 35 – 50 %)

- Trombosit` : 677.000 (N: 150 – 390 x 103/mm3)

- Ureum : 9,4 (N: 10-50 mg/dl)

- Creatinin : 0,24 (N: 0,5-0,9 mg/dl)

- SGOT : 15 (N: < 32 U/I)

- SGPT : 8 (N: < 24 U/I)

- Total protein : 6,9 (N: 6,6 -8,7)

- Albumin : 3,6 (N: 3,4 – 4,8)

- Globulin : 3,3 (N: 1,3 – 2,7)

- Natrium : 134 (N: 135-147 meq/l)

Page 6: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

- Kalium : 4,5 (N: 3,5-5,0 meq/l)

- Chlor : 100 (N: 94-111 meq/l)

- GDS : 189

- HIV : (-)/ negative

- Pemeriksaan BTA dilakukan pada 27-29 Februari 2010

dengan hasil +,+,+

Pemeriksaan laboratorium pada 9 Februari 2010

- HbsAg : (-)/negatif

- Anti HcV : (-)/ negatif

Urinalisa

- BJ : 1010

- pH : 8

- Protein, reduksi, benda keton, bilirubin, urobilinogen, protein kwantitatif,

darah samar : (-)/negative

- Leukosit : 3-6 / LPB

- Eritrosit : 1-2 / LPB

Rontgen Thorax

Infiltrate di kedua lapangan paru

Atelektasis pada hemithoraks sinistra

Pneumothorax pada hemithoraz snistra

Diagnosis

TB Paru

DM tipe II

Penatalaksanaan

Umum

Oksigen kanul nasal

Page 7: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Diet DM

Therapy

Nebulizer : combivent, Nacl, Bisolvon

Insulin Actrapid drip

Oral :

Elsazym 3x1

Farmacrol syr 4x2

Ambroxol syr 3x1

Glicophage 2x1

PZA 1x100

Pulna 1x2

Rifampisin 1x450

Vectrin 3x1

Vit B6 3x1

Myconazol cream

Page 8: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan. Tuberkulosis di

Indonesia, menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina. Prevalensii TB di

Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes tahun 2004 pada 30 propinsi adalah 104 per 100.000

penduduk.3 Penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan

terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, endemik Human

Immunodefisiency Virus (HIV), resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR).4 Prevalensi

MDR di dunia sekitar 4,3%. Survei prevalensi TB tahun 2004, mencakup 30 provinsi di

Indonesia berdasarkan pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) positif sebesar 104 per

100.000.3 Diabetes melitus merupakan salah satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi

TB dengan risiko relatif berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi.

Selain itu DM secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.

I. Etiologi

Penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium

bovis (jarang). Selain itu juga dikarenakan oleh daya tahan tubuh yang rendah. Kuman

tuberculosis berbentuk batang, tahan terhadap pewarnaan tahan asam, mati pada sinar UV

langsung, hidup pada tempat yang lembab dan gelap.

II. Patogenesis

Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar

menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara

bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan

kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-

bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas

atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman

akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel

ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama

gerakan silia dengan sekretnya.

Page 9: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel. Sel efektor

adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adealahh sel imnoresponsif. Tipe imunitas seperti

ini biasanya local, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan

limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler.

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit

yang terdiri dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di

saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada

dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru di bagian atas lobus bawah,

basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit PMN tampak pada tempat

tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organism tersebut. Sesudah hari-hari

pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi,

dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga

tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau

berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar

getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian

bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi ileh limfosit. Reaksi ini

biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit.

A. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru

sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang

reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai

kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang

perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

Page 10: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu

suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus

yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, den-

gan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang ter-

sumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang

atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya

atau tertelan

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan

tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spon-

tan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menim-

bulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis tuberkulosa, ty-

phobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat

tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi

dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada

anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

- Meninggal.

Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. Tuberkulosis Post Primer

Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian

sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer,

biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam

macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan

sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang

umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini

awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti

salah satu jalan sebagai berikut :

Page 11: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penye-

bukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi

perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang

tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila

jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan

muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, ke-

mudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :

Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneu-

monik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.

Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,

mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,

atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan

berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bin-

tang (stellate shaped).

Page 12: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan

penyembuhannya

III. Destroyed Lung pada Tuberkulosis

Terdapat limfa nodul pada setiap cabang dari bronkus yang membesar karena infeksi

primer tuberculosis. Terjadi penekanan pada bronkus akibat pembengkakan nodus limfatikus

tersebut, yang menyebabkan penyempitan atau bahkan sumbatan pada lumen bronkus. Jika hal

ini terjadi maka akan terjadi atelektasis paru pada sgmen atau lobus distal dari sumbatan tersebut.

Hasil dari fibrosis bronkus yang mengalami konstriksi terjadinya infeksi pyogenik sekunder pada

segmen yang terjadi atelektasis. Selama proses penyambuhan, efusi pleura local biasa terjadi

pada daerah dengan luruh paru. Cairan ini biasanya terperangkap karena adanya adhesi pada

lobus tersebut, sehingga sudut costofrenikus dapat bersih /tajam. Masalah utama dari pasien

dengan luruh paru adalah infeksi berulang. Infeksi dapat berasal dari bakteri piogenik, atau

jamur. Pemeriksaan sputum mungkin mengandung multiple bakteri. Tata laksana pada pasien

seperti ini dengan mengontrol infeksi dengan antibiotik. Jika tidak berhasil, pembedahan

mungkin dapat dilakukan, tetapi dengan kesulitan akibat dari adanya adhesi dan penebalan

pleura, dan terjadinya fibrosis dan paru yang mudah luruh pada paru tersebut.

IV. Penegakkan Diagnosis

Gejala Klinis :

1. Gejala respiratorik : Batuk ≥ 3 minggu, batuk darah (hemoptisis), sesak napas, nyeri

dada.

2. Gejala sistemik : Demam tidak tinggi tapi selalu berulang, malaise, keringat pada waktu

malam hari, anoreksia, dan berat badan menurun.

Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Page 13: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radi-

ologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan

radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis

positif

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,

top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi

gambaran bermacam- macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen

superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

- Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya

secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,

ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau

penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Page 14: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb

(terutama pada kasus BTA negatif) :

- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak

lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari

iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti

- Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

V. Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) tipe2 adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat  defek sekresi insulin , kerja insulin

atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan

berbagai-bagai organ  khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. 

Patogenesis  DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun peranan faktor

genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan pasti.

Disamping itu  defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin diperifer

merupakan 2 keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe2. Yang menjadi masalah

adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan pasti.1

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu bila ditemukan gejala klinis

yang khas DM seperti poliuri, polidipsi dan polifagi serta penurunan berat badan yang tidak

diketahui penyebabnya dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl maka diagnosis DM da-

pat ditegakkan. Sebaliknya apabila tidak ada keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan tes tol-

eransi glukosa oral (TTGO)  dengan mengukur kadar glukosa plasma puasa  dan 2 jam setelah

beban glukosa 75 gram. Bila kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl  dan atau  kadar glukosa 2

jam setelah beban > 200 mg/dl  maka diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.1

Dalam perjalanannya DM tipe 2 sering mengalami komplikasi  selain komplikasi mikroangiopati

yang erat kaitannya dengan kontrol glukosa plasma yang jelek seperti retinopati dan nefropati di-

abetik, juga komplikasi makroangiopati yang erat kaitannya dengan aterosklerosis seperti

penyakit kardiovakuler (PKV), stroke dan gangren diabetik.

Page 15: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

VI. Immunocompromise pada Penderita DM

Diabetes melitus dapat mengakibatkan individu rentan infeksi yang disebabkan oleh faktor

predisposisi yaitu kombinasi antara angiopati, neuropati dan hiperglikemia. Gangguan

mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan fungsi granulosit,  penurunan imunitas seluler,

gangguan fungsi komplemen dan penurunan respons limfokin, dapat mengakibatkan  lambatnya

penyembuhan luka. Infeksi sendiri dapat menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi

ketoasidosis diabetik yang disebabkan oleh kenaikan sekresi counter regulatory hormone†�yang

merangsang glukoneogenesis  dan meningkatkan sistim syaraf simpatis yang menekan pengelu-

aran insulin. Resistensi insulin dapat meningkat karena respons pengeluaran sitokin akibat in-

feksi. Pada pasien DM yang terinfeksi pengobatan biasanya diganti dengan pengobatan insulin

sampai infeksinya membaik dan bagi pasien DM yang sudah mendapat insulin maka dosis in-

sulin perlu ditingkatkan. Dalam naskah ini akan dibicarakan  pengaruh TB paru pada DM 

khususnya kepekaan  terhadap infeksi, efek metabolik akibat infeksi, manifestasi klinis dan pen-

gelolaan  DM pada TB paru. Diabetes melitus dan kepekaan terhadap infeksi

Meningkatnya kepekaaan  pasien DM terhadap infeksi  disebabkan oleh berbagai faktor. Pada

umumnya efek hiperglikemia sangat berperan mudahnya pasien DM terkena infeksi. Hal ini

Page 16: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

disebabkan  karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) terma-

suk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraseluler.

Diabetes melitus oleh WHO dianggap sebagai  suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang

karakteristik  oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieleminasi; perlangsungan 

lebih lama dan lebih berat disertai  infeksi sering rekuren.  Gangguan salah satu mekanisme re-

spons imun biasanya granulosit polimorfonuklear (PMN) dan atau aktifitas subset limfosit. Bila

mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu.4,5

Lekosit PMN ditarik ke tempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh

mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor-faktor yang di pengaruhi  secara lokal

oleh PMN. Pada penelitian invitro sel-sel pasien DM  mempunyai kemotaksis yang menurun.,

terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol.

Fagositosis juga terganggu pada DM dikaitkan dengan defek  intrinsik dari PMN. Hiperg-

likemia juga berkaitan dengan  killing activity (aktifitas membunuh) dari enzim lisosom yang

menurun. Pada keadaan hiperglikemia cenderung terbentuk sorbitol yang disebabkan oleh enzim

aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate � (NADPH) men-

jadi NADP melalui metabolisme polyol pathway. Akibat NADPH banyak digunakan untuk

membentuk sorbitol maka aktifitas membunuh mikroaorganisme intrasselular yang memerlukan

NADPH menurun karena respiratory burst �. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera

meningkatkan aktifitas membunuh  dalam 48 jam.

Faktor-faktor lokal juga menyebabkan kecenderungan pasien DM mudah infeksi  yaitu:

hiperglikemia  memberi kecenderungan  infeksi bakteri  dan fungi pada pasien DM. Insufisiensi

vaskuler dan hipoksia jaringan  menyebabkan pertumbuhan organisme anaerob, terbatasnya

mekanisme pertahanan tubuh; neuropati menyebabkan gangguan distribusi tekanan, yang

berperan pada infeksi dan ulserasi pada kaki. Pada kandung kemih  neuropati menyebabkan atoni

buli-buli yang menyebabkan retensi urinaria  yang cenderung bakteriuria. Efek metabolik infeksi

Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia  pada DM. Tercatat 30 % episode ketoaso-

dosis diabetik diprepisitasi  oleh infeksi dan umumnya pada DM tipe 2.3

Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa  dengan meningkatkan kadar

glukosa darah dan meningkatkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe 1. Pada  DM tipe 2

Page 17: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

memerlukan pengobatan insulin selama ada infeksi dan pada orang-orang non diabetik atau nor-

mal  adanya infeksi dapat meningkatkan kadar glukosa darah (hiperglikemia).

Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah  karena

glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter-regulatory hormone � (gluk-

agon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun  penekanan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas. Katekolamin dalam hal ini simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, ked-

uanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin

bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan  pada stadium awal.3,5

Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe 2 akan

tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat

dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik. Resistensi insulin terutama pada otot skelet di-

mana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula di hati. Mekanisme

yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun  kadar kortisol  yang meningkat di-

dalam sirkulasi  dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjut-

nya interleukin dan tumor necrosis factor-á mengganggu kerja insulin diperifer dengan

menekan tyrosine kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada

defisiensi insulin  akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis

pada infeksi DM.

VII. Infeksi Tuberkulosis pada DM

Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan di-

abetes. Di negara-negara barat  insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun insidensnya

masih tinggi pada populasi imigran dan  terutama pada pasien dengan Acquired Immun Defisensi

Syndrome � (AIDS). Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat endemik maka insiden tuberku-

losis pada DM masih tinggi. Perlangsungan TB paru pada DM   lebih berat dan kronis dibanding

non diabetes. Hal ini disebabkan  pada DM,  kepekaan  terhadap kuman TB meningkat, reaktifi-

tas fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih  banyak  cavitas dan pada hapusan  serta

kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda-tanda klinis TB paru toksik tersamar  se-

hingga tidak pernah didiagnosis  atau dianggap TB paru ringan  oleh karena gangguan syaraf

otonom dan pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi  pada umumnya tidak efek-

Page 18: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

tif. Pada pemeriksaan radiologis biasanya yang terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru

kadang-kadang lebih dari satu lobus dan tidak segmental.

Prevalensi TB paru pada DM  meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman tu-

berkulosis meningkat 3 kali  pada DM berat dibanding DM ringan . Penelitian  TB paru pada

DM di Indonesia  masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar

negeri maka prevalensi di Indonesia masih tinggi. Laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa tu-

berkulosis cenderung mengenai lobus bawah dan tengah paru dan  dalam jangka yang tidak ter-

lalu lama  dapat mengenai beberapa lobus (multiple-lobe) dan biasanya timbul kavitas  dan dis-

tribusinya non segmental.  Belum dapat dipastikan bahwa apakah lobus tengah /bawah juga lebih

sering pada pasien DM bila pemeriksaan computed tomography dikerjakan.3,6,7  Selain itu

pasien DM juga terbukti  mempunyai risiko tinggi mendapat mukormikosis  paru yang telah

dibuktikan pada beberapa pasien DM hemoptisis. Tuberkel  basilus cenderung resistens dengan

berbagai antibiotik apabila reaktivasi tidak terjadi.

Telah diketahui sejak dahulu ada hubungan bermakna antara DM dengan TB paru

khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol baik. Survey Philadelphia pada tahun 1952 me-

nunjukkan bahwa dari 3106 pasien DM yang diteliti ditemukan 8,4% pasien TB paru

berdasarkan pemeriksaan radiologis dibanding dengan 71.767 kontrol non DM ditemukan hanya

4,3%. Penelitian oleh Ezung dkk (2002) melaporkan 100 pasien DM yang berobat jalan dan ngi-

nap di Imphal India  menunjukkan 27% didiagnosis tuberkulosis paru dan 6% didiagnosis den-

gan pemeriksaan sputum. Pemeriksaaan radiologis ditemukan 11 pasien lesi minimal, 7 pasien

lesi moderat, 9 pasien dengan lesi berat atau far advanced lesions; kavitasi ditemukan pada 3

pasien, fibrosis 4, opasitas homogen 6, opasitas heterogen 10, efusi pleura  pada 3 pasien dan 1

pasien dengan fibrosis dan konsolidasi. Umur rata-rata pasien berumur diatas 40 tahun (mean age

55,4 tahun) , 23 pasien  (85,18%) mengidap DM rata-rata 7,6 tahun . Hasil penelitian menun-

jukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi tuberkulosis paru. Demikian

pula tidak ditemukan adanya korelasi dengan riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Peneli-

tian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah

penelitian  menunjukkan prevalensi TB paru pada DM rata-rata diatas 40 tahun.6  Faktor umur

berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan

Page 19: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

kepekaan terhadap  tuberkulosis, Pada DM,infeksi tuberkulosis biasanya tersamar (mask tubercu-

lous infection) sehingga diagnosis tuberkulosis paru umumnya sudah terlambat.

Pada usia lanjut, disamping   fungsi sel beta lebih terganggu, juga pada usia lanjut umum-

nya sudah lama menderita DM serta kontrol DM biasanya labil. Pasien DM laki-laki mempunyai

kemungkinan 2 kali mendapat TB paru dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes,

15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM yang

menderita TB paru  mempunyai berat badan normal.7Keluhan pasien menunjukkan 53% men-

geluh perasaan lemah, 14% batuk-batuk, 8% poliuria, 7% hemoptisis, 6% sesak napas, demam

dan polifagi  masing-masing 3%, sedang perasaan kesemutan, berat badan menurun, perasaan

terbakar pada tungkai hanya 1%

VIII. Pengobatan DM pada TB paru

Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM nya dan pengobatan

terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM  pada umumnya yang

meliputi terapi perencanaan makan /diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan

selain untuk menormalkan kadar glukosa darah , juga untuk mengembalikan berat badan ke berat

badan ideal. Bila pasien DM kurus diberikan diet DM yang lebih tinggi kalori sedang apabila

gemuk maka diturunkan berat badan. Pada umumnya pengobatan diet diabetes berkisar 2000-

2400 kalori. Pemberian obat anti diabetes pada DM disertai dengan TB paru dipilih pengobatan

dengan insulin. Bagi pasien yang sementara dapat pengobatan anti diabetes oral, seperti  sulfonil-

urea dan biguanid sebaiknya diganti dengan insulin

Pada DM tipe 2 disertai tuberkulosis paru pemberian  insulin dianjurkan selama infeksi

masih aktif. Telah dikenal  berbagai macam insulin mulai kerja cepat, pendek, sedang sampai

lama yang disuntikkan sendiri (tunggal) atau mixed dalam satu semprit. Pemberian insulin pada

DM dengan TB paru diindikasikan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperg-

likemia berat apalagi disertai ketosis, perlu penanganan lebih ketat kadar glukosa darah dan obat-

obat anti TB paru mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes.

Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau humulin R

dengan dosis kecil  5 unit diberikan  tiap ½ jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit

dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian  insulin dapat diubah sesuai respons pasien.

Page 20: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Bila  pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin

kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau Humulin N

dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang

30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah  sekali perhari  dan apabila dosis

lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan

pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam. Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menor-

malkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran se-

baiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian  seperti  penyuntikan dilakukan 15

menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dian-

jurkan  menggambungkan antara lente insulin dengan NPH karena Zink pospat dapat mempre-

sipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin glargine

tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah karena akan saling men-

gencerkan.

IX. Pengaobatan penderita TB dengan DM

Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontra indikasi karena tuberku-

losis dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan

karena pada umumnya TB paru  mempunyai keluhan nafsu makan menurun , berat badan menu-

run dan adanya malabsorbsi glukosa, dimana metformin mempunyai mekanisme kerja sama di-

atas.

Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru  dapat  mempercepat  metabolisme obat-

obat anti diabetik oral, menginaktifasi  sulfonilurea dan  meningkatkan kebutuhan insulin. Dis-

amping itu rifampicin  menyebabkan early hyperglicaemia � pada non DM maupun non TB paru

dan meningkatkan absorbsi glukosa di usus. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi

karbohidrat di usus dan  bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang isoniazid

menyebabkan pankreatitis dan menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa di usus.

Pengobatan antituberkulosis untuk pasien dengan DM adalah terapi quadripel yang meliputi

rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Selama 2 bulan pertama, dan diikuti 4 bulan

berikutnya dengan pengobatan rifampicin dan isonoazid. Pemberian rifampicin pada DM den-

Page 21: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

gan TB paru  dapat  mempercepat  metabolisme obat-obat anti diabetik oral dan  meningkatkan

kebutuhan insulin. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan 

bekerja antagonis dengan sulfonylurea.

Page 22: Long Case- Tb Paru Dgn Dm II

Daftar Pustaka

1. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dok-

ter Paru Indonesia.2006.

2. Aru W.Sudoyo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. 2006. Jakarta

3. Sylvia A. Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Penerbit

Buku kedokteran EGC. Jakarta: 2005

4. Tuberkulosis with Diabetes Melitus. Emedicine.com. http://emedicine.medscape. com/ar-

ticle/1202960-overview.