Upload
tio-rasi
View
5
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
leu
Citation preview
Leukemia Granulositik KronikPosted on Mei 5, 2010 by adminhnyw
Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga dengan
nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari
leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak
terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK
merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit
matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.
Darah tepi (pewarnaan MGG) Leukemia Granulositik Kronik (LGK); leukositosis dengan shift kiri granulosit
Gejala Klinis
Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan
laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak terlalu signifikan,
gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun
kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK). Splenomegali
seringkali terjadi.
Diagnosis
Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang memperlihatkan
kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-sel myeloid dewasa.
Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; halini membantu membedakan
LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang
dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup untuk menetapkan diagnosis LGK.
Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom Philadelphia. Karakteristik abnormalitas
kromosomal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi
fluorescent in situ, atau dengan PCR untuk gen bcr-abl.
Patofisiologi/ Patogenesis
LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan abnormalitas genetik secara langsung,
yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom Philadelphia. Kelainan kromosomal ini
dinamai berdasarkan penemunya pada tahun 1960, dua orang ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania:
Peter Nowell dan David Hungerford.
Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya, bagian dari
gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur dengan gen ABL dari kromosom 9.
Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran berat
protein selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan gugus phosphat
ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen BCR-ABL juga berupa tirosin kinase.
Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin 3beta(c). Transkrip BCR-
ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-ABL
mengaktifkan kaskade protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi,
protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen dan
membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL
merupakan penyebab patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-sifat
dari protein BCR-ABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan, yaitu
dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL.
Klasifikasi
LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa tahun kemudian
berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis
blast merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien
telah berada pada fase terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis.
Fase Kronik
Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama fase ini, pasien
seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman
pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit
didiagnosis dan seberapa efektif terapi yang diberikan.
Fase Terakselerasi
Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling umum digunakan
adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase
terakselerasi telah terjadi bila:
10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang
>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang
Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi
Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi
Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia
Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi
Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan diatas.
Krisis Blast
Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut dengan perkembangan
sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu tanda berikut pada pasien LGK:
> 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang
Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang
Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)
1. atogenesis
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yaitu
kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)(q23;q11)
antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen
BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5’
BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu protein fusi
berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk ABL 145 kDa yang
normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molecular, didapatkan
adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)
dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11).
Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL(Fadjari, 2006).
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis.
Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan
hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang
mendesak sistem hematopoiesis (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi teraupetiknya,
sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
Sitogenetik
Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi seperti
kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat beberapa
varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan
kromosom lainnya (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua
pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien
leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap
adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i
(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam
patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen
p53, p16 dan gen Rb.
Biologi molekular
Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :
1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-e14
pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD.
Gambaran klinis : trombositopeni.
2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL nya akan
mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.
3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.
Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase,
sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi
beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi
deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap stroma sumsum tulang,
dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di
dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan
menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan
pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.
3. Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan prognosis yang
tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif (Hoffbrand et al, 2005).
3. Leukemia mielositik kronik juvenilis.
Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas
antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada pemeriksaan
apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal,
dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan yang terpilih.
4. Leukemia netrofilik kronik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al, 2005).
5. Leukemia eosinofilik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al, 2005).
6. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,
kelelahan, anoreksia, keringat malam.
2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, perbesaran
limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit
yang abnormal.
5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang
berlebihan dapat menimbulkan masalah.
6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah
matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer
dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik
seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat
badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia
normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada
pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil
juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih
sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan
(Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
• Panas tanpa penyebab yang jelas.
• Spleenomegali progresif.
• Trombositosis.
• Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
• Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang
besar.
• Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
• Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas
kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel
blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom hiperleukositosis.
5. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk. Eosinofil
dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat
500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).
Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas
asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat,
presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.
(Fadjari, 2006).
Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid :
eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma
sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang
sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).
Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
• Polisitemia Rubra Vera (PRV).
• Trombositemia.
• Myelofibrosis.
• Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor padat.
7. Terapi
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok
sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse
sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis
DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila
leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan
dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan
kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah, depresi
selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi
eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah
harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari
secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai
<10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit
mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual,
muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore,
atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi
substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan
sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22)
yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh
lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui
empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap
penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg
atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari
bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi
kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa
perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau
trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase krisis blas
dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari
subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar
hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9
tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan
pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Patogenesis
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yaitu
kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)
(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL
dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada
translokasi Ph, ekson 5’ BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk
mengkode suatu protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase
melebihi produk ABL 145 kDa yang normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi
dibidang biologi molecular, didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang
kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di
lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-
ABL(Fadjari, 2006).
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis.
Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan
hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang
mendesak sistem hematopoiesis (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi teraupetiknya,
sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
Sitogenetik
Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi seperti
kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat beberapa
varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan
kromosom lainnya (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada
semua pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%
pasien leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan
terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang
mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan
panjang kromosom 17 i (17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain
yang berperan dalam patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen
supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.
Biologi molekular
Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :
1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-e14
pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD.
Gambaran klinis : trombositopeni.
2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL nya
akan mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.
3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.
Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase,
sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi
beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi
deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap stroma sumsum
tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai
protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini
akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi
kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.
1. Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan prognosis yang
tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif (Hoffbrand et al, 2005).
1. Leukemia mielositik kronik juvenilis.
Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas
antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada pemeriksaan
apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal,
dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan yang terpilih.
1. Leukemia netrofilik kronik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,
2005).
1. Leukemia eosinofilik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,
2005).
1. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,
kelelahan, anoreksia, keringat malam.
2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit
yang abnormal.
5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang
berlebihan dapat menimbulkan masalah.
6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah
matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer
dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik
seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat
badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia
normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada
pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil
juga meningkat.
1. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih
sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan
(Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear
yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
1. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas
kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika
sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.
1. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.
Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500-
600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).
Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas
asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat,
presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.
(Fadjari, 2006).
Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid :
eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa
stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang
sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).
Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.
1. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
Polisitemia Rubra Vera (PRV).
Trombositemia.
Myelofibrosis.
Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor
padat.
1. Terapi
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok
sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse
sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis
DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila
leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan
dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan
kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah,
depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi
eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah
harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari
secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit
mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung
leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual,
muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore,
atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat
fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah
fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu
suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan
translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan
diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh
hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap
penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg
atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah
membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat
dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni
(<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk
fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari
subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar
hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9
tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan
pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Penutup
Leukemia mielositik kronik biasanya memperlihatkan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi
pada fase kronik. Ketahanan hidup rata-rata adalah 5-6 tahun dan kematian biasanya disebabkan
transformasi akut terminal atau pendarahan atau infeksi yang menyelingi (Hematologi). 20% pasien
dapat hdup hingga 10 tahun atau lebih.
Menurut Fadjari (2006), Faktor-faktor yang memperburuk keadaan pasien antara lain :
1. Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat
badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
negative, BCR-ABL negative.
3. Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan
dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.
Leukemia mielositik kronik adalah penyakit yang jarang terjadi, tetapi memiliki angka kematian yang
tinggi. Dunia kedokteran kini sudah sangat maju dan telah ditemukan berbagai metode untuk
menekan leukemia mielositik kronik. Diharapkan dengan diagnosis dan penanganan yang baik
tersebut, kualitas dan harapan hidup penderita leukemia mielositik kronik dapat ditingkatkan.
Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat para penderita kanker dalam menjalani
hidupnya.