17
Leukemia Granulositik Kronik Posted on Mei 5, 2010 by adminhnyw Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia. Darah tepi (pewarnaan MGG) Leukemia Granulositik Kronik (LGK); leukositosis dengan shift kiri granulosit Gejala Klinis Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak terlalu signifikan, gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK). Splenomegali seringkali terjadi.

Leukemia Granulositik Kronik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

leu

Citation preview

Page 1: Leukemia Granulositik Kronik

Leukemia Granulositik KronikPosted on Mei 5, 2010 by adminhnyw

Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga dengan

nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari

leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak

terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK

merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit

matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit

myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.

Darah tepi (pewarnaan MGG) Leukemia Granulositik Kronik (LGK); leukositosis dengan shift kiri granulosit

Gejala Klinis

Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan

laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak terlalu signifikan,

gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun

kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK). Splenomegali

seringkali terjadi.

Diagnosis

Page 2: Leukemia Granulositik Kronik

Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang memperlihatkan

kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-sel myeloid dewasa.

Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; halini membantu membedakan

LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang

dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup untuk menetapkan diagnosis LGK.

Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom Philadelphia. Karakteristik abnormalitas

kromosomal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi

fluorescent in situ, atau dengan PCR untuk gen bcr-abl.

Patofisiologi/ Patogenesis

LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan abnormalitas genetik secara langsung,

yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom Philadelphia. Kelainan kromosomal ini

dinamai berdasarkan penemunya pada tahun 1960, dua orang ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania:

Peter Nowell dan David Hungerford.

Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya, bagian dari

gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur dengan gen ABL dari kromosom 9.

Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran berat

protein selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan gugus phosphat

ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen BCR-ABL juga berupa tirosin kinase.

Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin 3beta(c). Transkrip BCR-

ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-ABL

mengaktifkan kaskade protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi,

protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen dan

membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL

merupakan penyebab patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-sifat

dari protein BCR-ABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan, yaitu

dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL.

Klasifikasi

LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.

Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa tahun kemudian

berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis

blast merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien

telah berada pada fase terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis.

Fase Kronik

Page 3: Leukemia Granulositik Kronik

Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama fase ini, pasien

seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman

pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit

didiagnosis dan seberapa efektif terapi yang diberikan.

Fase Terakselerasi

Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling umum digunakan

adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase

terakselerasi telah terjadi bila:

10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang

>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang

Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi

Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi

Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan diatas.

Krisis Blast

Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut dengan perkembangan

sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu tanda berikut pada pasien LGK:

> 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang

Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang

Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)

1. atogenesis

Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yaitu

kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)(q23;q11)

antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen

BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5’

BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu protein fusi

berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk ABL 145 kDa yang

normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molecular, didapatkan

adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)

dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11).

Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL(Fadjari, 2006).

Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis.

Page 4: Leukemia Granulositik Kronik

Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan

hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang

mendesak sistem hematopoiesis (Fadjari,2006).

Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya

peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi teraupetiknya,

sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.

Sitogenetik

Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi seperti

kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat beberapa

varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan

kromosom lainnya (Fadjari,2006).

Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua

pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien

leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap

adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase

krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i

(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam

patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen

p53, p16 dan gen Rb.

Biologi molekular

Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :

1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-e14

pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD.

Gambaran klinis : trombositopeni.

2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL nya akan

mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.

3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk

p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.

Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :

gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase,

sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi

beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi

deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap stroma sumsum tulang,

dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di

dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan

menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan

pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.

3. Klasifikasi

Page 5: Leukemia Granulositik Kronik

Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :

1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).

2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).

Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan prognosis yang

tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif (Hoffbrand et al, 2005).

3. Leukemia mielositik kronik juvenilis.

Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas

antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada pemeriksaan

apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal,

dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan yang terpilih.

4. Leukemia netrofilik kronik.

Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,

disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al, 2005).

5. Leukemia eosinofilik.

Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,

disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al, 2005).

6. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).

4. Manifestasi Klinis

Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :

1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,

kelelahan, anoreksia, keringat malam.

2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, perbesaran

limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.

3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.

4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit

yang abnormal.

5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang

berlebihan dapat menimbulkan masalah.

6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

1. Fase kronik

Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah

matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer

dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik

seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat

badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia

normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada

pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil

Page 6: Leukemia Granulositik Kronik

juga meningkat.

2. Fase Akselerasi

Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih

sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan

(Hoffbrand et al, 2005). 

Gejala fase akselerasi :

• Panas tanpa penyebab yang jelas.

• Spleenomegali progresif.

• Trombositosis.

• Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).

• Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang

besar.

• Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.

• Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.

3. Fase Krisis Blas

Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas

kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel

blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom hiperleukositosis.

5. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi Rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk. Eosinofil

dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat

500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).

Apus Darah Tepi

Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas

asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat,

presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.

(Fadjari, 2006).

Apus Sumsum Tulang

Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid :

eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma

sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).

Kariotipik

Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang

sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).

Laboratorium lain.

Sering ditemukan hiperurikemia.

6. Diagnosis Banding

Page 7: Leukemia Granulositik Kronik

Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:

• Polisitemia Rubra Vera (PRV).

• Trombositemia.

• Myelofibrosis.

• Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor padat.

7. Terapi

Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi

hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi

biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok

sumsum tulang (Fadjari, 2006).

Hidroksiurea

Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse

sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis

DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%

(Nafrialdi dan Gan, 2007). 

Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila

leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan

dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).

Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan

kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Busulfan

Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah, depresi

selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi

eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah

harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari

secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai

<10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit

mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual,

muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore,

atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal

(Nafrialdi dan Gan, 2007).

Imatinib

Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi

substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan

sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22)

yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh

Page 8: Leukemia Granulositik Kronik

lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui

empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007). 

Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap

penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg

atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).

Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari

bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi

kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa

perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau

trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase krisis blas

dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).

Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b

Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk

mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari

subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar

hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).

Cangkok sumsum tulang belakang

Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9

tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan

pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).

Patogenesis

Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yaitu

kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)

(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL

dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada

translokasi Ph, ekson 5’ BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk

mengkode suatu protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase

melebihi produk ABL 145 kDa yang normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi

dibidang biologi molecular, didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang

kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di

lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-

ABL(Fadjari, 2006).

Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis. 

Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan

hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang

mendesak sistem hematopoiesis (Fadjari,2006).

Page 9: Leukemia Granulositik Kronik

Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya

peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi teraupetiknya,

sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.

Sitogenetik

Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi seperti

kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat beberapa

varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan

kromosom lainnya (Fadjari,2006).

Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada

semua pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%

pasien leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan

terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang

mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan

panjang kromosom 17 i (17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain

yang berperan dalam patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen

supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.

Biologi molekular

Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :

1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-e14

pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD.

Gambaran klinis : trombositopeni.

2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL nya

akan mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.

3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk

p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.

Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :

gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase,

sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi

beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi

deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap stroma sumsum

tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai

protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini

akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi

kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.

Page 10: Leukemia Granulositik Kronik

1. Klasifikasi

Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :

1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).

2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).

Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan prognosis yang

tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif (Hoffbrand et al, 2005).

1. Leukemia mielositik kronik juvenilis.

Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas

antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada pemeriksaan

apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal,

dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan yang terpilih.

1. Leukemia netrofilik kronik.

Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,

disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,

2005).

1. Leukemia eosinofilik.

Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,

disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,

2005).

1. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).

2. Manifestasi Klinis

Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :

1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,

kelelahan, anoreksia, keringat malam.

2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,

perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.

3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.

4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit

yang abnormal.

5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang

berlebihan dapat menimbulkan masalah.

6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

1. Fase kronik

Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah

matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer

dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik

Page 11: Leukemia Granulositik Kronik

seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat

badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia

normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada

pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil

juga meningkat.

1. Fase Akselerasi

Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih

sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan

(Hoffbrand et al, 2005).

Gejala fase akselerasi :

Panas tanpa penyebab yang jelas.

Spleenomegali progresif.

Trombositosis.

Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).

Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit  atau mononuclear

yang besar.

Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.

Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.

1. Fase Krisis Blas

Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas

kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika

sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom

hiperleukositosis.

1. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi Rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.

Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500-

600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).

Apus Darah Tepi

Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas

asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat,

presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.

(Fadjari, 2006).

Apus Sumsum Tulang

Page 12: Leukemia Granulositik Kronik

Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid :

eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa

stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).

Kariotipik

Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang

sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).

Laboratorium lain.

Sering ditemukan hiperurikemia.

1. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:

Polisitemia Rubra Vera (PRV).

Trombositemia.

Myelofibrosis.

Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor

padat.

1. Terapi

Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi

hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi

biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok

sumsum tulang (Fadjari, 2006).

Hidroksiurea

Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse

sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis

DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%

(Nafrialdi dan Gan, 2007).

Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila

leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan

dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).

Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan

kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Busulfan

Page 13: Leukemia Granulositik Kronik

Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah,

depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi

eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah

harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari

secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit

mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung

leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual,

muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore,

atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat

fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Imatinib

Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah

fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu

suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan

translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan

diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh

hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).

Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap

penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg

atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).

Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai

600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah

membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat

dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni

(<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk

fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).

Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b

Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk

mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari

subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar

hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).

Cangkok sumsum tulang belakang

Page 14: Leukemia Granulositik Kronik

Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9

tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan

pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).

Penutup

Leukemia mielositik kronik biasanya memperlihatkan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi

pada fase kronik. Ketahanan hidup rata-rata adalah 5-6 tahun dan kematian biasanya disebabkan

transformasi akut terminal atau pendarahan atau infeksi yang menyelingi (Hematologi). 20% pasien

dapat hdup hingga 10 tahun atau lebih.

Menurut Fadjari (2006), Faktor-faktor yang memperburuk keadaan pasien antara lain :

1. Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat

badan, demam, keringat malam.

2. Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph

negative, BCR-ABL negative.

3. Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan

dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Leukemia mielositik kronik adalah penyakit yang jarang terjadi, tetapi memiliki angka kematian yang

tinggi. Dunia kedokteran kini sudah sangat maju dan telah ditemukan berbagai metode untuk

menekan leukemia mielositik kronik. Diharapkan dengan diagnosis dan penanganan yang baik

tersebut, kualitas dan harapan hidup penderita leukemia mielositik kronik dapat ditingkatkan.

Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat para penderita kanker dalam menjalani

hidupnya.