Author
letitiabellavesta24
View
110
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama ditemukan serta diketahui prognosisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnyam di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK.
Leukimia Granulositik Kronik
Pendahuluan
Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama ditemukan serta
diketahui prognosisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan
panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnyam di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat
adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui
bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya
gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)
dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai
penyebab utama terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK.1
Secara klasifikasi, LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi
kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit. 1
Anamnesis
Anamnesis yang dipakai dalam kasus leukimia granulositik kronik adalah dengan teknik
alloanamnesis, yaitu menanyakan berbagai hal kepada pasien, yang pada akhirnya akan
membantu kita untuk menegakkan suatu diagnosis. Dalam autoanamnesis kita dapat
menanyakan hal – hal sebagai berikut: Identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat
sosial.
Pada anamnesis skenario 2 didapatkan data pasien seorang laki-laki 60 tahun datang dengan
keluhan lemas sejak 2 bulan SMRS. Mengeluh sering demam dan keringat terutama pada
malam hari, adanya batuk atau nyeri berkemih disangkal. Selain itu pasien sering merasa
cepat kenyang dan begah. Adanya riwayat paparan radioaktif disangkal. Di keluarga pasien
tidak ada yang sakit seperti ini.
1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien, akan didapatkan hasil, bahwa pasien yang datang ke
tempat kita dalam keadaan compos mentis, sakit ringan. Pemeriksaan fisik secara umum,
yang meliputi tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan pernapasan permenit, serta suhu
tubuh.2
Pada pemeriksaan lokal yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, didapatkan
hasil yang menujukkan bahwa konjungtiva pasien anemis +/+; sklera tidak ikterik, limpa
teraba schuftner 3.
Pada umumnya, pasien yang datang dengan dugaan leukemia granulositik kronik, memiliki
hasil pemeriksaan fisik dengan gambaran splenomegali pada 90% kasus, yang disertai dengan
adanya nyeri tekan pada tulang dada, dan hepatosplenomegali, bahkan kadang-kadang
terdapat purpura , perdarahan retina, pembesaran kelenjar getah bening, dan juga priapismus.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk melihat sinusitis adalah:1
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-
60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus
dapat normal atau trombositopenia.
2. Apus Darah Tepi
Erisrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian
juga persentasi eosinofil dan atau basofil.
3. Apus Sumsum Tulang
2
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio mieloid:eritroid meningkat. Megakaryosit juga tampak lebih banyak. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
4. Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan perannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering
ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +19, +21, i(17).
5. Laboratorium lain
Sering ditemukan hiperurikemia
Hasil pemeriksaan penunjang yang didapat adalah; Hb: 9, Hematokrit: 35, Leukosit:100.000,
Trombosit: 25.000, Retikulosit 4%, gambaran darah tepi; mikrositik hipokrom, ditemukan
gambaran jelas pada darah tepi 10%. Hasil hitung jenis leukosit:
Basofil 1
Eosinofil 1
Batang 0
Segmen 73
Limfosit 22
Monosit 1
Metamielosit 10
Blas 10
Differential Diagnose
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik memperlihatkan gambaran khas berupa hal-hal berikut.
- Rentang usia sel darah merah yang memendek
3
- Peningkatan kadar eritropoetin dan peningkatan eritropoesis di sumsum tulang
dan tempat lain, unutk mengompensasi kehilangan sel darah merah.
- Akumulasi produk-produk katabolisme hemoglobin, yang disebabkan oleh
meningkatnya kecepatan destruksi sel darah merah.
kerusakan prematur sel darah merah juga terjadi di dalam sistem fagosit mononukleus
(hemolisis ekstravaskuler), yang mengalami suatu bentuk hiperplasia akibat kerja yang
ditandai oleh splenomegali. Pada anemia hemolitik, bilirubin serum berada dalam keadaan
tidak terkonjugasi dan kadar hiperbilirubinemia bergantung pada kapasitas fungsional hati
dan kecepatan hemolisis. Jika hati normal, ikterus jarah parah. Bilirubin berlebihan yang
dieksesikan oleh hati ke dalam saluran cerna menyebabkan openingkatan pembentukan dan
eksresi urobilin dalam feses.
Anemia dan penurunan tegangan oksigen, merangsang peningkatan pembentukan
seritropoetin, yang menyebabkan bertambahnya jumlah prekursor eritroid (normoblas) di
sumsum tulang. Jika anemianya berat dapat terjadi hematopoiesis ekstramedular di hati,
limpa, dan kelenjar limfe. Percepatan eritopoiesis menyebabkan retikulositosis yang
mencolok di dalam darah perifer. Peningkatan ekskresi bilirubin akan meningkatkan
pembentukan batu empedu berpigmen (kolelitiasis). Jika berlangsung kronik, fagositosis sel
darah merah dapat menyebabkan hemosiderosis, yang biasanya terbatas di sistem fagositik
mononukleus. Anemia hemolitik juga dibagi menjadi penyakit herediter dan didapat.
Umumnya, penyakit herediter disebabkan oleh defek intrinsik dan penyakit didapat oleh
faktor ekstrinsik, misalnya autiantibodi. 3
Mielofibrosis
Mielofibrosis jarang dijumpai pada orang berusia kurang dari 60 tahun. Penyakit ini
menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran mencolok limpa.
Tanda utama mielofibrosis adalah fibrosis obliseratif sumsuk tulang yang berlangsung cepat.
Mielofibrosis mnekan hematopoesis sumsum tulang, memnyebabkan sitopenia darah tepi dan
hematologi ekstramedula neoplastik ekstensif di limpa, hati dan kelenjar limfe.1
Pada awal perjalanan penyakit, sumsum tulang sering hiperselular. Seiring dengan
perkembangan penyakit, sumsum tulang menjadi hiposelular dan mengalami fibrosis difus.
Pad atahap lanjut penyakit, rongga sumsum tulang fibrotik dapat berubah seluruhnya menjadi
tulang “osteoslerosis”.1
4
Secara histologis terjadi hematopoesis ketiga jalur, biasanya disertai oleh predominasi
megakariosit besar yang berkelompok-kelompok. Darah tepi memperlihatkan sejumlah
temuan khas pada mielofibrosis yang telah berkembang sempurna. Adanya prekursor
granulositik dan eritroid di darah tepi disebut leukoeritroblastosis. Sumsum tulang yang
fibrotik menyebabkan distorsi dan merusak membran progenitor eritroid di sumsum tulang
yang menyebabkan munculnya eritrosit berbentuk tetesan air mata (dakriosit).1
Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran
mencolok limpa, menimbulkan perasaan penuh di kuadran kiri atas. Gejala nonspesifik,
seperti lelah, penurunan berat, dan keringat malam terjadi karena meningkatnya metabolisme
akibat peningkatan masa hematopoietik.1
Working diagnose
Leukemia Granulositik Kronik
Dikenal juga dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia)
merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai
dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum
tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel
sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil,
eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom
Philadelphia.4
LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa
tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi
krisis blast (blast crisis). Krisis blast merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis
mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien telah berada pada fase terakselerasi atau krisis
blast saat didiagnosis4
1. Fase Kronik
Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama
fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah
yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi
5
dan bergantung pada seberapa cepat penyakit didiagnosis dan seberapa efektif terapi
yang diberikan.
2. Fase Terakselerasi
Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling
umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria
WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila :
10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang
>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang
Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi
Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi
Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia
Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi
Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan
diatas.
3. Krisis Blast
Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut
dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu
tanda berikut pada pasien LGK :
20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang
Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang
Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)
Etiologi
Tidak diketahui secara jelas penyebab terjadinya leukemia granulositik kronik. Namun,
diduga kuat ada kaitannya dengan gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan
proliferasi berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana klon-klon ini
selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan
sel nomral, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis, sehingga dampak kedua
mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem
hematopoiesis lainnya.2,4 Berikut gambar yang menunjukkan terbentuknya gen BCR-ABL.
6
Gambar No.6 Proses Terbentuknya Gabungan Gen BCR-ABL
Epidemiologi
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia
40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di
Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima,
demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak.1
Patofisiologi
Secara singkat, patofisiologi terjadinya leukemia granulositik kronik dapat terjadi akibat
adanya gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel
induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana klon-klon ini selain proliferasinya
berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-
ABL juga bersifat anti-apoptosis, dan dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya
klon-klin abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis, yang dibagi menjadi dua
tahap, yakni tahap sitogenetik, dan biologi molekular.2,7
Pada tahap sitogenetik, mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan
sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti; berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga P
terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan; sejak tahun
1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada
kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9; gen hibrid BCR-ABL yang
berada dalam kromosom Oh ini selanjutnya mensisntesis protein 210 kD yang berperan
7
dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui; saat ini
diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, dimana varian-varian ini dapat
terbentuk karena ada translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya;
varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR, tidak selalu di daerah q11,
akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga
berbeda berat molekulnya; jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu
terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%
pasien LGK; dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya
kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomo 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i(17)q; dengan kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang
berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti
gen p53, p16, dan gen Rb.2,7
Pada tahap biologi molekular, pada kebanyakan pasien LGK patahan pada gen BCR
ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major
break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABLnya akan mensintesis protein dengan
berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL; patahan lainnya ditemukan di daerah
54,4 kb atau e1 yang dikenal dengan minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABLnya akan
mensintesa p190; kemudian dikenal lagi adanyan micro bcr (µ-bcr); gambaran patahan
tersebut berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya, dimana pasien LGK yang
patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, sementara pada
patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, dan pada patahan di µ-bcr
berhubungan dengan neutrofilia dan/atau trombositosis; pada dasarnya gen BCR berfungsi
sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi
kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi
beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga
terjadi deregulasi dan proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma
sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis; selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi
sinyal yang bersifat onkogenik; sinyal ini tentunya akan menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi proses kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis.2,6,7
8
Gejala Klinis
Secara sederhana, manifestasi klinik yang tampak pada pasien LGK adalah rasa lelah,
penurunan berat badan, rasa penuh di perut, kadang-kadang disertai rasa sakit di perut, dan
mudah mengalami perdarahan; jika dilihat berdasarkan perjalanan penyakitnya, LGK sendiri
dibagi menjadi 3 fase, dimana yang pertama adalah fase kronik dimana pasien sering
mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap
lambung, kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas, kemudian rasa mudah
lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam, penurunan berat badan,
keseluruhan gambaran tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-
sel leukemia.2-4 Berikut tabel yang menunjukkan keluhan-keluhan yang biasa dialami oleh
pasien LGK.
Tabel No.1 Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi2
Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
Penurunan berat badan 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan / purpura 35
Nyeri perut (infark limpa) 30
Demam 10Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1209-81.
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya akan menjadi progresif, atau memasuki fase
akselerasi; dan apabila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka
kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun; ciri khas dari fase akselerasi adalah
leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai
15-30%, promielosit >30%, dan trombosit <100.000/mm3; secara klinis, fase ini dapat diduga
limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi, kembali membesar, keluhan anemia
9
bertambah berat, timbul petekie, ekimosis, dan apabila disertai demam, biasanya ada
infeksi.2,4
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terbagi menjadi dua, yakni medika mentosa, dan non medika mentosa. Perlu
diketahu sebelum dilakukan penatalaksanaan terhadap pasien leukemia granulositik kronik,
bahwa tujuan terapi pada LGK adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik itu remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular; untuk mencapai remisi
hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif, begitu tercapai remisi
hematologis tersebut, dapat dilanjutkan dengan terapi interferon, dan atau cangkok sumsum
tulang.2
Pada penatalaksanaan yang medika mentosa, dapat diberikan hydroxyurea (hydrea), dimana
obat ini merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK, lebih efektif
dibandingkan dengan busulfan, melfalan, dan klorambusil, kemudian efek mielosupresif
masih berlangsung setelah pengobatan dihentikan, dan dosis yang dapat digunakan adalah 30
mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal, apabila leukosit > 300.000/mm3 dosisnya boleh
ditinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari, penggunaanya dapat dihentikan apabila leukosit
< 8.000/mm3 atau trombosit <100.000/mm3; interaksi obat dapat terjadi bila digunakan
bersamaan dengan 5-FU yang dapat menyebabkan neurotoksisitas, dan selama menggunakan
hydroxyurea harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan juga fungsi hati.2,3
Berikut gambar yang menunjukkan obat hydroxyurea.
Gambar No.7 Obat untuk Leukemia Granulositik Kronik Hydroxyurea
10
Obat lainnya yang dapat digunakan adalah busulfan (myleran), dimana obat ini merupakan
golongan alkil yang sangat kuat, dan dosis yang dapat digunakan adalah 4-8 mg/hari per oral,
dapat dinaikkan hingga 12 mg/hari, dan harus dihentikan apabila leukosit antara
10-20.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah leukosit >50.000/mm3; obat ini tidak boleh
diberikan kepada wanita hamil, dan bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan
disertai dengan alupurinol dan hidrasi yang baik; kemudian obat ini dapat menyebabkan
fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan.2,3 Berikut gambar dari
busulfan.
Gambar No.8 Salah Satu Obat Leukemia Granulositik Kronik Busulfan
Obat lain yang dapat diberikan antara lain adalah imatinib mesylate dengan dosis pada
fase kronik sebanyak 400 mg/hari setelah makan, dan bisa ditingkatkan hingga 600 mg/hari
apabila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian; untuk fase akselerasi,
atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800 mg/hari; pemberian obat ini dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas, meskipun jarang, dan obat ini tidak boleh diberikan
kepada wanita hamil; kemudian sediaan obat lain yang dapat diberikan adlaha interferon alfa
2a atau interferon alfa 2b, dimana obat ini tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun
mencapai remisi sitogenetik, dosis yang dapat diberikan adlaah 5 juta IU/m2/hari subkutan
sampai terjadi remisi sitogenetik, biasanya 12 bulan setelah terapi, dan dalam pemberiannya
diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik untuk mencegah efek samping
interferon, yakni flu-like syndrome; pemberian interferon ini, sebaiknya dihindari atau
diberikan secara hati-hati pada pasien dengan usia lanjut, gangguan faal hati, dan ginjal yang
berat.2 Berikut gambar dari imanitib mesylate.
11
Gambar No.9 Salah Satu Obat Leukemia Granulositik Kronik Imanitib Mesylate
Sementara itu, untuk terapi non medika mentosanya, dapat dilakukan cangkok
sumsum tulang, akan tetapi perlu diperhatikan terlebih dahulu indikasi dari cangkok sumsum
tulang itu sendiri, yakni usia pasien tidak lebih dari 60 tahun, ada donor yang cocok, dan
termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan sokal; cangkok sumsum tulang ini
merupakan terapi definitif untuk LGK, dan data menunjukkan bahwa cangkok sumsum
tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST
alogenik, dan tindakan ini tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau
BCR-ABL negatif.2
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dari leukemia granulositik kronik bisa dikatakan tidak ada.
Kebanyakan komplikasi ditemukan akibat penatalaksanaan, yakni neurotoksisitas akibat
penggunaan hydroxyurea yang bersamaan dengan 5-FU; fibrosis paru, supresi sumsum
tulang, yang berkepanjangan, akibat penggunaan busulfan; reaksi hipersensitivitas akibat
penggunaan imanitib mesylate; flue like symptom akibat penggunaan interferon alfa 2a,
ataupun alfa 2b.1
Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setalah diagnosis
ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan
hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagi contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib
mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum
12
dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih
berlangsung.1
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain1:
♯ Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan
berat badan, demam, keringat malam.
♯ Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,
kromososm Ph negatif, Bcr-Abl negatif.
♯ Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan
terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi singkat.
Pencegahan
Pencegahan dari leukemia granulositik kronik tidak dapat ditemukan. Akan tetapi,
pencegahan dapat dilakukan hanya untuk mencegah terjadinya perburukan prognosis, dan
mencegah remisi agar tidak terjadi dengan cepat. Khusus untuk mencegah terjadinya
perburukan prognosis, dapat dilakukan dengan cara menjauhi faktor resikonya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
pasien diduga kuat menderita penyakit leukemia granulositik kronik. LGK merupakan salah
satu penyakit yang disebabkan karena gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana
ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan
prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi
kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.
Daftar Pustaka
1. Santoso M. Pemeriksaan fisik dan diagnosis. 1st ed. Jakarta : Bidang Penerbit Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004.h.2-14.
2. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1209-81.
13
3. Mansjoer A, Kuspuji T, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta
kedokteran. 3rd ed. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1999.h.560-3.
4. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. 4th ed. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012.h.167-81.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. 3rd ed. Jakarta : Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009.h.147-8.
6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. 3rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.h.430-2.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6 th ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.277-9.
14