21
Leukimia Granulositik Kronik Pendahuluan Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama ditemukan serta diketahui prognosisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnyam di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR- ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK. 1 Secara klasifikasi, LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit. 1 Anamnesis 1

Leukimia Granulositik Kronik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama ditemukan serta diketahui prognosisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnyam di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK.

Citation preview

Page 1: Leukimia Granulositik Kronik

Leukimia Granulositik Kronik

Pendahuluan

Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama ditemukan serta

diketahui prognosisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan

kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan

panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).

Selanjutnyam di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat

adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis

t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980 diketahui

bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya

gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)

dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22

(22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai

penyebab utama terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK.1

Secara klasifikasi, LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh

proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi

kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit. 1

Anamnesis

Anamnesis yang dipakai dalam kasus leukimia granulositik kronik adalah dengan teknik

alloanamnesis, yaitu menanyakan berbagai hal kepada pasien, yang pada akhirnya akan

membantu kita untuk menegakkan suatu diagnosis. Dalam autoanamnesis kita dapat

menanyakan hal – hal sebagai berikut: Identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat

sosial.

Pada anamnesis skenario 2 didapatkan data pasien seorang laki-laki 60 tahun datang dengan

keluhan lemas sejak 2 bulan SMRS. Mengeluh sering demam dan keringat terutama pada

malam hari, adanya batuk atau nyeri berkemih disangkal. Selain itu pasien sering merasa

cepat kenyang dan begah. Adanya riwayat paparan radioaktif disangkal. Di keluarga pasien

tidak ada yang sakit seperti ini.

1

Page 2: Leukimia Granulositik Kronik

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien, akan didapatkan hasil, bahwa pasien yang datang ke

tempat kita dalam keadaan compos mentis, sakit ringan. Pemeriksaan fisik secara umum,

yang meliputi tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan pernapasan permenit, serta suhu

tubuh.2

Pada pemeriksaan lokal yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, didapatkan

hasil yang menujukkan bahwa konjungtiva pasien anemis +/+; sklera tidak ikterik, limpa

teraba schuftner 3.

Pada umumnya, pasien yang datang dengan dugaan leukemia granulositik kronik, memiliki

hasil pemeriksaan fisik dengan gambaran splenomegali pada 90% kasus, yang disertai dengan

adanya nyeri tekan pada tulang dada, dan hepatosplenomegali, bahkan kadang-kadang

terdapat purpura , perdarahan retina, pembesaran kelenjar getah bening, dan juga priapismus.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk melihat sinusitis adalah:1

1. Hematologi Rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-

60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya

meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus

dapat normal atau trombositopenia.

2. Apus Darah Tepi

Erisrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi

eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan

maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian

juga persentasi eosinofil dan atau basofil.

3. Apus Sumsum Tulang

2

Page 3: Leukimia Granulositik Kronik

Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga

rasio mieloid:eritroid meningkat. Megakaryosit juga tampak lebih banyak. Dengan

pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.

4. Karyotipik

Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini

sudah mulai ditinggalkan dan perannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen

Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering

ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +19, +21, i(17).

5. Laboratorium lain

Sering ditemukan hiperurikemia

Hasil pemeriksaan penunjang yang didapat adalah; Hb: 9, Hematokrit: 35, Leukosit:100.000,

Trombosit: 25.000, Retikulosit 4%, gambaran darah tepi; mikrositik hipokrom, ditemukan

gambaran jelas pada darah tepi 10%. Hasil hitung jenis leukosit:

Basofil 1

Eosinofil 1

Batang 0

Segmen 73

Limfosit 22

Monosit 1

Metamielosit 10

Blas 10

Differential Diagnose

Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik memperlihatkan gambaran khas berupa hal-hal berikut.

- Rentang usia sel darah merah yang memendek

3

Page 4: Leukimia Granulositik Kronik

- Peningkatan kadar eritropoetin dan peningkatan eritropoesis di sumsum tulang

dan tempat lain, unutk mengompensasi kehilangan sel darah merah.

- Akumulasi produk-produk katabolisme hemoglobin, yang disebabkan oleh

meningkatnya kecepatan destruksi sel darah merah.

kerusakan prematur sel darah merah juga terjadi di dalam sistem fagosit mononukleus

(hemolisis ekstravaskuler), yang mengalami suatu bentuk hiperplasia akibat kerja yang

ditandai oleh splenomegali. Pada anemia hemolitik, bilirubin serum berada dalam keadaan

tidak terkonjugasi dan kadar hiperbilirubinemia bergantung pada kapasitas fungsional hati

dan kecepatan hemolisis. Jika hati normal, ikterus jarah parah. Bilirubin berlebihan yang

dieksesikan oleh hati ke dalam saluran cerna menyebabkan openingkatan pembentukan dan

eksresi urobilin dalam feses.

Anemia dan penurunan tegangan oksigen, merangsang peningkatan pembentukan

seritropoetin, yang menyebabkan bertambahnya jumlah prekursor eritroid (normoblas) di

sumsum tulang. Jika anemianya berat dapat terjadi hematopoiesis ekstramedular di hati,

limpa, dan kelenjar limfe. Percepatan eritopoiesis menyebabkan retikulositosis yang

mencolok di dalam darah perifer. Peningkatan ekskresi bilirubin akan meningkatkan

pembentukan batu empedu berpigmen (kolelitiasis). Jika berlangsung kronik, fagositosis sel

darah merah dapat menyebabkan hemosiderosis, yang biasanya terbatas di sistem fagositik

mononukleus. Anemia hemolitik juga dibagi menjadi penyakit herediter dan didapat.

Umumnya, penyakit herediter disebabkan oleh defek intrinsik dan penyakit didapat oleh

faktor ekstrinsik, misalnya autiantibodi. 3

Mielofibrosis

Mielofibrosis jarang dijumpai pada orang berusia kurang dari 60 tahun. Penyakit ini

menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran mencolok limpa.

Tanda utama mielofibrosis adalah fibrosis obliseratif sumsuk tulang yang berlangsung cepat.

Mielofibrosis mnekan hematopoesis sumsum tulang, memnyebabkan sitopenia darah tepi dan

hematologi ekstramedula neoplastik ekstensif di limpa, hati dan kelenjar limfe.1

Pada awal perjalanan penyakit, sumsum tulang sering hiperselular. Seiring dengan

perkembangan penyakit, sumsum tulang menjadi hiposelular dan mengalami fibrosis difus.

Pad atahap lanjut penyakit, rongga sumsum tulang fibrotik dapat berubah seluruhnya menjadi

tulang “osteoslerosis”.1

4

Page 5: Leukimia Granulositik Kronik

Secara histologis terjadi hematopoesis ketiga jalur, biasanya disertai oleh predominasi

megakariosit besar yang berkelompok-kelompok. Darah tepi memperlihatkan sejumlah

temuan khas pada mielofibrosis yang telah berkembang sempurna. Adanya prekursor

granulositik dan eritroid di darah tepi disebut leukoeritroblastosis. Sumsum tulang yang

fibrotik menyebabkan distorsi dan merusak membran progenitor eritroid di sumsum tulang

yang menyebabkan munculnya eritrosit berbentuk tetesan air mata (dakriosit).1

Penyakit ini menimbulkan perhatian klinis karena anemia progresif atau pembesaran

mencolok limpa, menimbulkan perasaan penuh di kuadran kiri atas. Gejala nonspesifik,

seperti lelah, penurunan berat, dan keringat malam terjadi karena meningkatnya metabolisme

akibat peningkatan masa hematopoietik.1

Working diagnose

Leukemia Granulositik Kronik

Dikenal juga dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia)

merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai

dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum

tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel

sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil,

eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit

myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom

Philadelphia.4

LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan

laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa

tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi

krisis blast (blast crisis). Krisis blast merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis

mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien telah berada pada fase terakselerasi atau krisis

blast saat didiagnosis4

1. Fase Kronik

Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama

fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah

yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi

5

Page 6: Leukimia Granulositik Kronik

dan bergantung pada seberapa cepat penyakit didiagnosis dan seberapa efektif terapi

yang diberikan.

2. Fase Terakselerasi

Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling

umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria

WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila :

10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang

>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang

Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi

Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi

Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan

diatas.

3. Krisis Blast

Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut

dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu

tanda berikut pada pasien LGK :

20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang

Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang

Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)

Etiologi

Tidak diketahui secara jelas penyebab terjadinya leukemia granulositik kronik. Namun,

diduga kuat ada kaitannya dengan gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan

proliferasi berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana klon-klon ini

selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan

sel nomral, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis, sehingga dampak kedua

mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem

hematopoiesis lainnya.2,4 Berikut gambar yang menunjukkan terbentuknya gen BCR-ABL.

6

Page 7: Leukimia Granulositik Kronik

Gambar No.6 Proses Terbentuknya Gabungan Gen BCR-ABL

Epidemiologi

Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada

dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia

40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di

Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima,

demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak.1

Patofisiologi

Secara singkat, patofisiologi terjadinya leukemia granulositik kronik dapat terjadi akibat

adanya gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel

induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana klon-klon ini selain proliferasinya

berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-

ABL juga bersifat anti-apoptosis, dan dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya

klon-klin abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis, yang dibagi menjadi dua

tahap, yakni tahap sitogenetik, dan biologi molekular.2,7

Pada tahap sitogenetik, mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan

sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini

masih belum diketahui secara pasti; berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga P

terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan; sejak tahun

1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada

kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9; gen hibrid BCR-ABL yang

berada dalam kromosom Oh ini selanjutnya mensisntesis protein 210 kD yang berperan

7

Page 8: Leukimia Granulositik Kronik

dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui; saat ini

diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, dimana varian-varian ini dapat

terbentuk karena ada translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya;

varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR, tidak selalu di daerah q11,

akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga

berbeda berat molekulnya; jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu

terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%

pasien LGK; dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya

kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase

krisis blas ditemukan adanya trisomo 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang

kromosom 17i(17)q; dengan kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang

berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti

gen p53, p16, dan gen Rb.2,7

Pada tahap biologi molekular, pada kebanyakan pasien LGK patahan pada gen BCR

ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major

break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABLnya akan mensintesis protein dengan

berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL; patahan lainnya ditemukan di daerah

54,4 kb atau e1 yang dikenal dengan minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABLnya akan

mensintesa p190; kemudian dikenal lagi adanyan micro bcr (µ-bcr); gambaran patahan

tersebut berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya, dimana pasien LGK yang

patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, sementara pada

patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, dan pada patahan di µ-bcr

berhubungan dengan neutrofilia dan/atau trombositosis; pada dasarnya gen BCR berfungsi

sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi

kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi

beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga

terjadi deregulasi dan proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma

sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis; selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan

berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi

sinyal yang bersifat onkogenik; sinyal ini tentunya akan menyebabkan aktivasi dan juga

represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi proses kekacauan pada proses

proliferasi sel dan juga proses apoptosis.2,6,7

8

Page 9: Leukimia Granulositik Kronik

Gejala Klinis

Secara sederhana, manifestasi klinik yang tampak pada pasien LGK adalah rasa lelah,

penurunan berat badan, rasa penuh di perut, kadang-kadang disertai rasa sakit di perut, dan

mudah mengalami perdarahan; jika dilihat berdasarkan perjalanan penyakitnya, LGK sendiri

dibagi menjadi 3 fase, dimana yang pertama adalah fase kronik dimana pasien sering

mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap

lambung, kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas, kemudian rasa mudah

lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam, penurunan berat badan,

keseluruhan gambaran tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-

sel leukemia.2-4 Berikut tabel yang menunjukkan keluhan-keluhan yang biasa dialami oleh

pasien LGK.

Tabel No.1 Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi2

Keluhan Frekuensi (%)

Splenomegali 95

Lemah badan 80

Penurunan berat badan 60

Hepatomegali 50

Keringat malam 45

Cepat kenyang 40

Perdarahan / purpura 35

Nyeri perut (infark limpa) 30

Demam 10Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1209-81.

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya akan menjadi progresif, atau memasuki fase

akselerasi; dan apabila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka

kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun; ciri khas dari fase akselerasi adalah

leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai

15-30%, promielosit >30%, dan trombosit <100.000/mm3; secara klinis, fase ini dapat diduga

limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi, kembali membesar, keluhan anemia

9

Page 10: Leukimia Granulositik Kronik

bertambah berat, timbul petekie, ekimosis, dan apabila disertai demam, biasanya ada

infeksi.2,4

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terbagi menjadi dua, yakni medika mentosa, dan non medika mentosa. Perlu

diketahu sebelum dilakukan penatalaksanaan terhadap pasien leukemia granulositik kronik,

bahwa tujuan terapi pada LGK adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik itu remisi

hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular; untuk mencapai remisi

hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif, begitu tercapai remisi

hematologis tersebut, dapat dilanjutkan dengan terapi interferon, dan atau cangkok sumsum

tulang.2

Pada penatalaksanaan yang medika mentosa, dapat diberikan hydroxyurea (hydrea), dimana

obat ini merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK, lebih efektif

dibandingkan dengan busulfan, melfalan, dan klorambusil, kemudian efek mielosupresif

masih berlangsung setelah pengobatan dihentikan, dan dosis yang dapat digunakan adalah 30

mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal, apabila leukosit > 300.000/mm3 dosisnya boleh

ditinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari, penggunaanya dapat dihentikan apabila leukosit

< 8.000/mm3 atau trombosit <100.000/mm3; interaksi obat dapat terjadi bila digunakan

bersamaan dengan 5-FU yang dapat menyebabkan neurotoksisitas, dan selama menggunakan

hydroxyurea harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan juga fungsi hati.2,3

Berikut gambar yang menunjukkan obat hydroxyurea.

Gambar No.7 Obat untuk Leukemia Granulositik Kronik Hydroxyurea

10

Page 11: Leukimia Granulositik Kronik

Obat lainnya yang dapat digunakan adalah busulfan (myleran), dimana obat ini merupakan

golongan alkil yang sangat kuat, dan dosis yang dapat digunakan adalah 4-8 mg/hari per oral,

dapat dinaikkan hingga 12 mg/hari, dan harus dihentikan apabila leukosit antara

10-20.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah leukosit >50.000/mm3; obat ini tidak boleh

diberikan kepada wanita hamil, dan bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan

disertai dengan alupurinol dan hidrasi yang baik; kemudian obat ini dapat menyebabkan

fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan.2,3 Berikut gambar dari

busulfan.

Gambar No.8 Salah Satu Obat Leukemia Granulositik Kronik Busulfan

Obat lain yang dapat diberikan antara lain adalah imatinib mesylate dengan dosis pada

fase kronik sebanyak 400 mg/hari setelah makan, dan bisa ditingkatkan hingga 600 mg/hari

apabila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian; untuk fase akselerasi,

atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800 mg/hari; pemberian obat ini dapat

menimbulkan reaksi hipersensitivitas, meskipun jarang, dan obat ini tidak boleh diberikan

kepada wanita hamil; kemudian sediaan obat lain yang dapat diberikan adlaha interferon alfa

2a atau interferon alfa 2b, dimana obat ini tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun

mencapai remisi sitogenetik, dosis yang dapat diberikan adlaah 5 juta IU/m2/hari subkutan

sampai terjadi remisi sitogenetik, biasanya 12 bulan setelah terapi, dan dalam pemberiannya

diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik untuk mencegah efek samping

interferon, yakni flu-like syndrome; pemberian interferon ini, sebaiknya dihindari atau

diberikan secara hati-hati pada pasien dengan usia lanjut, gangguan faal hati, dan ginjal yang

berat.2 Berikut gambar dari imanitib mesylate.

11

Page 12: Leukimia Granulositik Kronik

Gambar No.9 Salah Satu Obat Leukemia Granulositik Kronik Imanitib Mesylate

Sementara itu, untuk terapi non medika mentosanya, dapat dilakukan cangkok

sumsum tulang, akan tetapi perlu diperhatikan terlebih dahulu indikasi dari cangkok sumsum

tulang itu sendiri, yakni usia pasien tidak lebih dari 60 tahun, ada donor yang cocok, dan

termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan sokal; cangkok sumsum tulang ini

merupakan terapi definitif untuk LGK, dan data menunjukkan bahwa cangkok sumsum

tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST

alogenik, dan tindakan ini tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau

BCR-ABL negatif.2

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi dari leukemia granulositik kronik bisa dikatakan tidak ada.

Kebanyakan komplikasi ditemukan akibat penatalaksanaan, yakni neurotoksisitas akibat

penggunaan hydroxyurea yang bersamaan dengan 5-FU; fibrosis paru, supresi sumsum

tulang, yang berkepanjangan, akibat penggunaan busulfan; reaksi hipersensitivitas akibat

penggunaan imanitib mesylate; flue like symptom akibat penggunaan interferon alfa 2a,

ataupun alfa 2b.1

Prognosis

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setalah diagnosis

ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan

hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagi contoh, pada beberapa uji klinis

kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib

mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum

12

Page 13: Leukimia Granulositik Kronik

dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih

berlangsung.1

Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain1:

♯ Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan

berat badan, demam, keringat malam.

♯ Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,

kromososm Ph negatif, Bcr-Abl negatif.

♯ Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan

terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi singkat.

Pencegahan

Pencegahan dari leukemia granulositik kronik tidak dapat ditemukan. Akan tetapi,

pencegahan dapat dilakukan hanya untuk mencegah terjadinya perburukan prognosis, dan

mencegah remisi agar tidak terjadi dengan cepat. Khusus untuk mencegah terjadinya

perburukan prognosis, dapat dilakukan dengan cara menjauhi faktor resikonya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,

pasien diduga kuat menderita penyakit leukemia granulositik kronik. LGK merupakan salah

satu penyakit yang disebabkan karena gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana

ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan

prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi

kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.

Daftar Pustaka

1. Santoso M. Pemeriksaan fisik dan diagnosis. 1st ed. Jakarta : Bidang Penerbit Yayasan

Diabetes Indonesia; 2004.h.2-14.

2. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1209-81.

13

Page 14: Leukimia Granulositik Kronik

3. Mansjoer A, Kuspuji T, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta

kedokteran. 3rd ed. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 1999.h.560-3.

4. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. 4th ed. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC; 2012.h.167-81.

5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik

hematologi. 3rd ed. Jakarta : Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009.h.147-8.

6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. 3rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;

2009.h.430-2.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6 th ed. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.277-9.

14