23
Tinjauan Pustaka Pembahasan Penyakit Leptospirosis serta Pencegahannya Agnes Christie (102011396) Yanuar Hermawan (102012033) Janetty (102012109) Kelompok A5 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-5631731 E-mail : [email protected] Pendahuluan Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disenbabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotypenya. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain. Leptospirosis seringkali tidak terdiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboraturium. Leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah dijadikan sebagai salah satu penyakit yang emerging infectious diseases. 1 Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan. Penyakit ini disebabkan oleh Leptospira pathogen dan merupakan penyakit yang ditularkan melalui hewan. Penyakit ini memiliki gejala klinis yang mirip dengan penyakit 1

Leptospirosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah blok 12 ukrida

Citation preview

Tinjauan Pustaka

Pembahasan Penyakit Leptospirosis serta Pencegahannya

Agnes Christie (102011396)

Yanuar Hermawan (102012033)

Janetty (102012109)Kelompok A5Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510

Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-5631731

E-mail : [email protected]

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disenbabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifikserotypenya. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain. Leptospirosis seringkali tidak terdiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboraturium. Leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah dijadikan sebagai salah satu penyakit yang emerging infectious diseases.1Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan. Penyakit ini disebabkan oleh Leptospira pathogen dan merupakan penyakit yang ditularkan melalui hewan. Penyakit ini memiliki gejala klinis yang mirip dengan penyakit lainnya sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Pada daerah tropis, terutama Indonesia sering sekali terjadi penyakit Leptospirosis. Indonesia merupakan negara insiden tertinggi peringkat ketiga didunia. Penyakit ini dapat menyerang segala usia, segala tempat dan pada setiap kedua jenis kelamin.

Skenario

Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poliklinik karena demam tinggi sampai menggigil sejak 5 hari yang lalu, panas terus-menerus terutama siang sampai ala hari. Demam juga disertai nyeri kepala, mual, dan muntah 2-3x/hari. Pasien juga merasa nyeri jika betisnya ditekan. KU lemah, suhu 39C, RR = 18x/menit, Nadi = 100x/menit, TD = 100/70 mmHg, conjungtiva anemis, sclera ikterik, subconjungtival injection (+), hepar 2 jari bawah a.c. nyeri tekan (+).

Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau relasi terdekat (allo-anamnesis). Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.2

Hal-hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu :

1. Identitas pasien seperti nama, tempat / tanggal lahir, status perkawinan,pekerjaan, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, dan alamat.

2. Pernyataan dalam bahasa pasien tentang keluhan yang dialami.

3. Riwayat penyakit sekarang (RPS): Pasien menjelaskan keluhan berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan keluhan mulai muncul, faktor yang mempengaruhi keluhan, konstan atau tidaknya keluhan, dan sebagainya. Informasi sebaiknya dalam susunan yang kronologis, termasuk obat-obatan yang sebelumnya telah dikonsumsi pasien juga harus ditanyakan. Keluhan sampingan seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, dan sebagainya juga dapat menunjang pemeriksaan. RPS harus ditanyakan sedetail mungkin agar keluhan pasien dapat segera diketahui sumbernya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Pernahkah pasien mengalami leptospirosis sebelumnya.

5. Riwayat keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup / mati), dan penyakit yang ada atau pernah diderita pada anggota keluarga.

6. Riwayat sosial: stressor (lingkungan kerja, sekolah, atau tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan, merokok, peminum, dll).2

Pemeriksaan fisik

1. Tanda vital: Suhu (oral, rektal, axila, atau telinga), denyut nadi, respirasi rate, tekanan darah, tingkat kesadaran.

2. Pemeriksaan abdomen: inspeksi, palpasi dan perkusi.2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis sebagai berikut :

a. Pemeriksaan laboratorium umum

Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis atau peningkatan jumlah leukosit. Selain terjadi leukositosis, terdapat juga peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik. Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri. Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masapembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 permm3 sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubungan dengan gagal ginjal. Jika jumlah trombosit dalam darah sangat rendah yaitu 5000 per mm3, penyakit ini dapat dikatakan berat. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadipada stidium lanjut perjalanan penyakit.

Pemeriksaan fungsi ginjal

Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder (hialin, granuler ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik. Semakin tinggi kadarnya maka semakin buruk prognosanya. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses kegagalan ginjal berlangsungprogresif dan dalam waktu 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Ganguan ginjalpada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut.3

Pemeriksaan fungsi hati

Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterikdisebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamicoxalloacetic transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate transaminase= SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2 3 kali nilai normal, berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan yang signifikan pada SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadipada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.3

b. Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman Leptospira dapat secara langsung dengan mencari kuman Leptospira atau antigennya dalam darah dan secara tidak langusng melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman Leptospira dengan uji serologis.

Pemeriksaan langsung

1. Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining.

Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan peritoneal, dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan urin pada minggu kedua untuk diagnosis definitif leptospirosis. Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin aliran tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen banyak ,dilakukan dua kali sentrifugasi untuk memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Sentrifugasi pertama dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk membuang sel, dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan tinggi antara 3000 4000 g selama 20 30 menit agar kuman Leptospira terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca obyek bersih dan diberi kaca penutup agar tersebar rata. Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa danpewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa (kuman Leptospira lebih jelas terlihat). Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak karena kuman Leptospira lebih mudah terlihat dan dapat ditentukan jenis serovarnya. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa mikroskopfluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim, seperti fosfotasedan peroksidase atau logam seperti emas.

2. Pemeriksaan molekuler

Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman Leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.

Spesimen tersebut dikirim pada suhu 70C, dry ice, atau suhu 4C dalam waktu singkat. Urin dikirim pada suhu 4C.

3. Biakan

Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke media,kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.3

Pemeriksaan tidak langsung

1. Microscopic Agglutination Test (MAT)

Walaupun sudah dikembangkan berbagai teknik pemeriksaan untuk diagnosispenyakit leptospirosis, namun tes serologis yang menjadi pilihan utama dalam mendiagnosis penyakit leptospirosis. Dulu tes ini disebut agglutination-lysis test karena dalam tes ini terjadi lisis bola-bola atau lisis globuler kotoran-kotoran yang berasal dari sel bakteri bila dicampur dengan anti-serum yang mempunyai titer tinggi. Tes ini pertama kali diciptakan oleh Martin dan Pettitpada tahun 1918, selanjutnya dikembangkan oleh para ahli yang lain. Prinsip tes ini adalah serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup. Setelah diinkubasi, campuran antigen-serum diamati dengan mikroskop untuk melihat adanya aglutinasi, kemudian titerantibodi ditentukan berdasarkan pengenceran terakhir yang masih menunjukkan adanya aglutinasi.4

2. Enzyme - linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house). Untukmendeteksi IgM umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas. Teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baruLeptospir atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir. Test ELISA cukup sensitif untukmendeteksiLeptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggupertama sakit, sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapatjuga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva, dan urine. Harus diingat juga bahwa antibodi klas IgM kadang-kadang masih dapat dideteksi sampai bertahun-tahun, sehingga titer positif (cut-off point) harus ditentukan dengan dasar pertimbangan yang sama seperti MAT. Tes ELISA spesifik genus cenderung memberikan reaksi positif lebih dini dibandingkan dengan MAT. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi dengan antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan serovar atau serogrup penyebab.4

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode amplifikasi segmen DNALeptospira yang terdapat di dalam sampel klinik. Jadi, adanyaLeptospira dipastikan dengan menemukan segmen DNALeptospira yang spesifik. Metode ini sangatberguna untuk mendiagnosis leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat mendeteksiLeptospirabeberapa hari setelah munculnya gejalapenyakit. Akan tetapi, alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang. Untuk mendeteksi DNALeptospira, teknologi PCRmembutuhkan sepasangprimerdengan sasaran gen spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S atau elemen pengulangan. Di samping itu, ada juga yang disusun daripustaka genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk memeriksa spesimen klinik.4

Diagnosis

Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan keluhan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, dan sindrom syok toksik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayatpekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok orang dengan risiko tinggi sepertiberpergian di hutan belantara, rawa, sungai, atau petani dan gejala klinis berupa demam yang muncul tiba tiba, nyeri kepala, terutama di bagian frontal, mata merah / fotofobia, keluhan gastrointestinal, dan lain lain. Pada pemeriksaan fisikditemukan demam, bradikardi, nyeri tekan otot, ruam pada kulit, hepatomegali dan lain lain. Pada laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase meningkat. BUN, ureum, dankreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal.1,5,6

Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,suatu organismespirochaeta. Ciri khas organisme ini yaitu terbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,1 um. Salah satu ujung pada organisme ini sering membengkak membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan flagela. Spirochaeta ini sangat halus sehingga di dalam mikroskop lapangan gelap hanya terlihat sebgai rantai kokus kecil-kecil. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuhdan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kulturyang positif. Dengan medium flechers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas 2 spesies yaituL.interrogans yang patogen danL. biflexa yang non patogen atau safroit. Spesies L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut kompisisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yangtergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovarL. interrogans yang dapatmenginfeksi manusia diantaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.pomona, L. grippothyposa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes,L. automnalis, L. hebdomandis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, l.andamana, l. shermani, L. ranarum, L. bufonis, L. copenhageni, L. australis,L. cynopteri, dan lain-lain. Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagica dengan resevoir tikus, L.canicola dengan reservoir anjing, dan L. pomona dengan reservoar sapi danbabi.1,7

Epidemologi

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospirosis bisa terdapat pada binatangpeliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang-binatangpengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar dan lain sebagainya. Di dalam tubuhbinatang tersebut, Leptospira hidup di dalam ginjal atau saluran urogenital. Tikus merupakan vektor yang utama dari L. Icterohaemorrhagica dan merupakan penyebab leptospirosispada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak didalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptispora, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi selama musim hujan. Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Beberapa serovar berhubungan denganbinatang tertentu, sepertiL. icterohaemorrgiae dengan tikus,L. grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), L. hardjo dengan sapi,L canicola dengan anjing danL. pomona dengan babi. International leptospirosis society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirasis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortatilitas. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada keadaan banjir besar di Jakarta tahun 2002 dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian.1

Patofisiologis

Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarachnoid tanpa menimbulkan peradangan yang berarti. Faktor yang mempengaruhivirulensi leptospirosis belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapatbermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi leptospira diperkirakan berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan di dalam serum oleh neurotrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis. Beberapa penemuan menegaskan bahwa Leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada Leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang disirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun dalam darah sudah ada antibodi.3 Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke tubulus kontortus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah dan LCS pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun leptospira dapat lenyapdari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Dalamperjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggungjawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler. Organ-organ yang sering terkena Leptospira adalah :

1. Ginjal

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuklesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal dapat terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

2. Hati

Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sellimfosit fokal dan proliferasi sel kuppfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotops, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat di antara sel-sel parenkim.

3. Jantung

Epikardium, miokardiem dan endokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa intersitital edema dengan infiltrasi elmononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.

4. Otot Rangka

Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal-nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot yang cukup tinggi.

5. Mata

Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.6. Pembuluh darah

Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahanpada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera perdarahan bawah kulit.

7. Susunan Syaraf Pusat

Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadipenebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang sering terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya palingsering disebabkan oleh L. canicola.1,5,6

Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6 % kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular.1,5,6Differential Diagnosis1. Hepatitis

Hepatitis virus merupakan penyakit sistemik yang terutama mengenai hati. Kebanyakan kasus hepatitis virus akut pada anak maupun orang dewasa disebabkan oleh virus hepatitis. Virus hepatitis menimbulkan peradangan hati akut, memberikan gambaran klinis penyakit berupa demam, gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah serta ikterus.82. Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah. Penyakit ini terutama menyerang daerah tropis/sub tropis dan menjadi penyebab kematian utama penyakit tropik. Infeksi malaria memberikan gejala mirip seperti leptospirosis berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali.1Gejala Klinis

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.1. Fase leptospirosisFase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serepbrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepalabiasannya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha,betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Myalgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai buang-buang air, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat,bradikardi relatif dan ikterus. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yangberbentuk makuler, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai spenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase iniberlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani, pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat, dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun selama 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.1

2. Fase imun

Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat pendarahan berupa epistaksis, gejala kerusakanpada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi yang merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjunctiva injection dan conjunctival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. Terjadi meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50 % gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90 % pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setalah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.1

Terapi

Kuman leptospira sensitif terhadap sebagian besar antibiotika, terkecuali vankomisin, rifampisin dan mitronidasol. Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif, simpomatik dan suportif.5,6

Terapi Leptospirosis Ringan

1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demam suhunya di atas 38C

2. Pemberian antibiotik-antikuman Leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan terapi :

Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kali sehari, selama 7 hari. Pada anak di atas 8 tahun: 2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)

Ampisilin 500 - 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral

Amoksilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral

Terapi Leptospirosis Berat

1. Pemberian antipiretik

2. Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan pasien menurun sehingga asupan nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen dengan perhitungan :

Berat badan 0 -10 kg : 100 kal/kg/hari

Berat badan 20 - 30 kg : ditambahkan 50 kal/kg/hari

Berat badan 30 - 40 kg : ditambahkan 25 kal/kg/hari

Berat badan 40 -50 kg : ditambahkan 10 kal/kg/hari

Berat badan 50 - 60 kg : ditambahkan 5 kal/kg/hari

Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang cukup mengandung asam amino esensial diberikan sebanyak 0,2 0,5 gram/kg/ hari. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara parenteral (tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya).

3. Pemberian antibiotik

Prokain penisilin 6 - 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular

Ampisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena

Amoksilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena.6,7

Komplikasi

Pada leptospirosis, komplikasi yang sering terjadi adalah :

1. Iridoksiklitis

2. Gagal ginjal

3. Miokarditis

4. Meningitis aseptik

5. Hepatitis

Pendarahan masih jarang ditemui dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.1

Pada hati

: kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6

Pada ginjal

: gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian

Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengakibatkan kematian mendadak

Pada paru-paru: batuk darah, nyeri dada, sesak nafas

Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluranpencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.1,5,6

Pencegahan

Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospesperantara dan jenis erotipe sulit untuk dihapuskan. Bagi orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoar. Pemberian doksisiklin 200 mgperminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis. Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka resevoar sudah lama direkombinasi, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukanpenelitian lebih lanjut.6,7

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

1. Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

2. Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.

3. Mencuci tangan, kaki, serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah / kebun / sampah / tanah / selokan dan tempat-tempat ysng tercemar lainnya.

4. Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan bot dan sarung tangan.

5. Menjaga kebersihan lingkungan.5,6

Prognosis

Prognosis leptospirosis umumnya baik, tergantung pada virulensi kuman dan daya tahan tubuh pasien. Usia juga berpengaruh terhadap meningkatnya mortalitas. Pada anak angka kematian lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa, mortalitas pada kasus di atas 51 tahun adalah 56%. Pada kasus leptospirosis anikterik, mortalitasnya jauh lebih rendah, tetapi dengan terjadinya ikterus mortalitas dapat mencapai 15-40%. Prognosis jangka panjang dalam kasus leptospirosis dengan lesi ginjal akut adalah baik. Daya filtrasi glomerulus dapat kembali normal namun beberapa kasus masih menunjukkan disfungsi tubular, seperti gangguan kapasitas konsentrasi ginjal. Kematian dapat terjadi karena komplikasi yang timbul serat faktor pemberat yang terdapat pada pasien seperti gagal ginjal, gagal hati, perdarahan serta terlambat mendapat pengobatan.5Penutup

Leptospirosis adalah peyakit zoonosis yang disebabkan oleh leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidential. Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapatpengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terpapar diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2812-907

2. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005.h.45

3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Ed 6. Jakarta: Erlangga; 2003.h.91-3

4. Sacher RA, Mcpherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Ed 6. Jakarta: EGC; 2002.h.451-3

5. Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.h.364-9.

6. Mansjoer A, et al. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Ed 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2009.h.425-7.

7. Syahrurachaman, et al. Mikrobiologi kedokteran. Jilid 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2003.h.218-9

8. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan adelberg. Edisi ke-23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.346,476.

1415