Upload
erfani-retno
View
11.983
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
LEMBAR KERJA MAHASISWA 1
TOPIK 1 : HAKIKAT KRITIK SASTRA
1.1 KONSEP DASAR KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali sedikitnya 3 pengertian kritik sastra dilengkapi dengan
rujukan.
b. Menyusun sendiri pengertian kritik sastra berdasarkan (a)
c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b)
Jawaban :
a. Pengertian 3 kritik sastra :
1. Dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, Budi Darma (2004:24) , Kritik sastra
(Literary Critism) adalah penerapan kaidah-kaidah, rambu-rambu, atau teori-
teori tertentu dalam analisis karya sastra, misalnya New Critsism,
strukturalisme, psikoanalisa, dan lain-lain.
2. H.B. Jassin (1959:44, 45) mengemukakan bahwa kritik sastra adalah
pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra, penerangan, dan
penghakiman karya sastra.
3. Kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra tertentu,
melalui kegiatan identifikasi, analisis, klasifikasi, dan evaluasi (judgement)
serta penafsiran sistematik yang diformulasikan dalam bentuk tertentu.
(Suwignyo, 2008:5)
b. Pengertian kritik sastra sendiri berdasarkan (a)
Kritik sastra adalah sebuah penilaian terhadap sebuah karya sastra yang
diidentifikasi, klasifikasi, analisis, dan evaluasi terlebih dahulu yang kemudian
ditampilkan untuk bisa dibaca semua orang.
c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b)
1. Penilaian
2. Karya sastra
3. Identifikasi
4. Klasifikasi
5. Analisis
2
6. Evaluasi
7. Ditampilkan
8. Dibaca semua orang
Penjelasan:
Kritik sastra lahir karena adanya sebuah karya sastra yang membuat karya
sastra itu merasa mendapat sambutan dari para penikmatnya. Dengan penilaian
tersebut, dapat membuat pembaca, mengerti betapa berharganya karya sastra
tersebut. Dengan penilaian itu, berarti, sebuah karya sastra tersebut telah
mendapat perhatian dari pembaca. Jika tidak ada krtitik yang muncul, maka karya
sastra tersebut tidak ada artinya.
1.2 VARIABEL KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual
a. Menuliskan kembali empat komponen kritik sastra dilengkapi dengan
penjelasan.
b. Menjelaskan hubungan antarkomponen variable kritik sastra dilengkapi dengan
contoh.
Jawaban :
a. Empat komponen
Variabel adalah suatu trait atau attribute yang dimiliki secara bervariasi
oleh subjek. Kritik sastra merupakan sebuah “subjek” atau pusatkajian yang
menunjukkan gejala yang kompleks. Pembicaraan mengenai kritik sastra selalu
terkait dengan komponen-komponen lain, yakni : (1) kritikus, (2) karya sastra, (3)
wilayah studi sastra, dan (4) penikmat, pembaca atau masyarakat sastra pada
umumnya.
(1)Kritikus
Kritik sastra tidak dapat meninggalkan kritikus. Seperti halnya hubungan
karya sastra dan pengarang, hubungan kritik sastra dan kritikus bersifat
kausalitas. Kehadiran kritik sastra disebabkan oleh adanya kritikus. Mensitir
pernyataan Descartes, “Karena Aku berfikir maka Aku ada.” Sebagaimana juga,
karena kritikus sastra ada maka karya kritik ada, atau sebaliknya karena kritikus
3
sastra tidak ada maka karya kritik tidak akan ada. Itulah sebabnya dapat dipahami
bahwa kualitas kritik sastra amat ditentukan oleh kualitas pribadi sang kritikus.
Berkaitan dengan kualitas diri kritikus, Darma (1988) mencandra ciri-ciri
pemikir sastra (termasuk di dalamnya kritikus dan teoretikus) berikut ini.
a) Mencintai sastra
Ciri ini ditandai dengan keterlibatan kritikus untuk mengikuti terus
menerus karya sastra, pemikiran-pemikiran mengenai sastra, bahkan pekerja-
pekerja sastra. Melalui bacaannya, kritikus mengetahui benar ciri masing-masing
pengarang, kritikus, teoretikus dan ciri-ciri pemikir sastra yang lain. Dengan
demikian, kritikus mengenal kesamaan dan benang-benang halus yang
menghubungkan semua pekerja sastra.
b) Menguasai sastra
Dengan mengenal sastra secara baik, kritikus menguasai sastra secara baik
pula. Dia menguasai wajah sastra, dan juga peta sastra. Pengetahuannya mengenal
sastra tidak hanya komprehensif tetapi juga terperinci. Kritikus mengetahui
langkah demi langkah masing-masing karya sastra diantara sekian banyak karya
sastra (kolektif). Sementara itu kritikus juga mengetahui dengan baik detail
penting pemikiran setiap pekerja sastra.
c) Mencintai ilmu-ilmu lain dan pengetahuan umum
Kecuali mencintai sastra, kritikus juga senang menyimak ilmu-ilmu lain,
seperti sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dll. meskipun tidak
mendalam. Paling tidak seorang kritikus sanggup merasakan kelebatan pikiran
banyak ilmuwan secara komprehensif. Seorang kritikus juga senang membaca
majalah dan koran. Perkembangan berita dari waktu ke waktu selalu dia ikuti,
meskipun kalau perlu hanya garis-garis besarnya saja. Dengan demikian seorang
kritikus tidak pernah ketinggalan. Dalam kepalanya selalu tersimpan sekian
banyak informasi. Semua informasi langsung/tidak disadari/tidak dipergunakan
untuk menunjang penguasaannya terhadap sastra. Dalam soal umum kritikus
adalah seorang generalis, dan begitu memasuki sastra kritikus menjadi seorang
spesialis yang menguasai seluk beluk sastra.
4
d) Mempunyai wawasan dan artikulasi
Kritikus tidak hanya menguasai sastra, tetapi juga memiliki pandangan
terhadap sastra. Pandangan inilah yang disebut wawasan. Kecuali memiliki
wawasan, seorang kritikus juga mampu menjabarkan wawasannya itu dengan
artikulasi yang baik, khususnya dalam bentuk tulis.
e) Mencintai percobaan
Acapkali kritikus membanding-bandingkan, mengkaji, mencocok-
cocokkan segala yang dikuasai. Kritikus menganggap sastra sebagai barang hidup,
dan karena itu, sastra selalu menawarkan dimensi baru. Dengan demikian
wawasannya terhadap sastra juga selalu berkembang. Melalui percobaan-
percobaannya, kritikus sanggup menghayati pola-pola pikiran yang terjadi di
dalamnya.
f) Menganggap sastra sebagai proses
Kritikus sanggup menghayati bahwa sastra serta ilmu lain selalu
berkembang. Baginya, sastra serta ilmu-ilmu lain bukan sekadar kumpulan
pengetahuan, tetapi juga selalu menemukan pemikiran-pemikiran baru, meskipun
objek materinya mungkin masih sama.
g) Menyandarkan objektivitas pada hati nurani
Karya sastra tidak lain adalah ekspresi nilai-nilai, dan sejak semula sudah
mengandung simpati, antipati, dan empati. Dalam berhadapan dengan fakta,
seseorang bisa bersifat netral. Apabila sudah berhubungan dengan nilai-nilai,
seperti dalam ilmu-ilmu sosial dan penerapan ilmu eksakta, seseorang tidak
mungkin netral. Kritikus memihak pada nilai-nilai yang berlaku atau diperkiraan
akan berlaku. Dengan wawasannya, seseorang kritikus dapat memperhitungkan
nilai-nilai yang akan berlaku dimasa depan. Juga dengan wawasannya kritikus
sanggup memperhitungkan apa yang akan terjadi.
h) Menjadi pemikir (kritikus) dan mungkin sekaligus menjadi seorang penulis
kreatif
Kenyataannya, apa yang sebenarnya terjadi, tidak selamanya sejalan
dengan apa yang seharusnya terjadi. Dalam kenyataannya, banyak pemikir
(kritikus) sastra menjadi penulis kreatif, sebaliknya banyak juga penulis kreatif
yang menjadi pemikir (kritikus) sastra.
5
Penulis kreatif dapat merangkap sebagai kritikus sastra, karena penulis
kreatif tidak hanya bergerak dalam dunia pemikiran, tetapi juga bergerak dalam
dunia penghayatan. Pengarang dalam melihat sastra tidak semata-mata dari luar
saja tetapi sekaligus menciptakannya. Penulis kreatif juga memiliki kemampuan
menilai setidak-tidaknya menilai karyanya sendiri. Tanpa diberi tahu siapa pun,
penulis kreatif tahu apakah karyanya cukup baik atau tidak, perlu direvisi atau
tidak, perlu diterbitkan atau dimusnahkan. Sebelum karya diterbitkan, pengarang
mempunyai kewenangan untuk menentukan apa yang harus terjadi pada
naskahnya.
Pendapat lain menyatakan, kedua fungsi, yaitu penulis kreatif dan kritikus,
perlu dipisah. Meskipun tidak mengharap karyanya sendiri, penulis kreatif dapat
menjadi subjektif apabila harus tampil sebagai pemikir (kritikus). Bandingkanlah
bagaimana jika seorang pemain sepak bola harus merangkap wasit. Akan tetapi
sebenarnya titik berat pendapat ini bukan pada kemampuan, melainkan pada
kewenangan.
(2) Karya Sastra
Kehadiran karya sastra mutlak diperlukan dalam kritik sastra karena pada
hakikatnya kritik sastra bersifat reaktif-rekreatif. Reaktif maksudnya kritik sastra
merupakan reaksi atau tanggapan terhadap dunia karya sastra. Rekreaktif karena
kritik sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang bersifat kreatif. Dengan kata
lain tidak pernah ada kritik yang disusun berdasarkan kreasi kritikus sendiri, tanpa
mendasarkan pada poetika pengarang dalam karyanya. Jika ada, kritik yang
demikian adalah kritik yang terlepas dari konteks objeknya. Kenyataan-kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa hubungan kritik sastra dan karya sastra bersifat
determinatif. Maksudnya adalah hubungan yang saling menentukan. Kritik sastra
menentukan dan ditentukan oleh karya sastra yang dikritik.
Dibandingkan dengan karya sastra, kritik sastra lebih terikat pada
zamannya. Karya sastra yang benar-benar hebat akan mengatasi ruang dan waktu,
sementara perkembangan zaman akan menimbulkan sikap yang berbeda terhadap
dunia karya sastra. Dengan demikian, tanggapan terhadap dunia karya sastra akan
sangat bergantung pada keadaan zaman. Begitu zaman berubah dan dunia sastra
masih hidup, dunia sastra tersebut akan ditanggapi dengan pandangan yang sudah
6
berubah. Dari waktu ke waktu karya sastra yang kokoh akan memancing sekian
banyak kritik sastra yang mungkin tidak terhitung jumlahnya. Hamlet hanya satu,
Divina Comedia hanya satu, Belenggu hanya satu, tetapi kritik atasnya bisa
berlapis-lapis, tidak terbatasi.
Berkaitan dengan kekokohan karya sastra ini, Soekito (1991) secara
ekstrem berpendapat, bahwa besar atau kecilnya kritikus sastra bergantung kepada
besar kecilnya karya sastra yang dikritik. Kemasyhuran H.B. Jassin sebagai
seorang kritikus sastra bergantung atau ditentukan—meskipun tidak mutlak—oleh
Chairil Anwar sebagai penyair besar seperti tercermin dalam karya-karyanya.
Kemasyhuran Lucas sebagai kritikus sastra, bergantung kepada Thomas Man
(1875—955) sebagai seorang novelis besar (Soekito, 1990:2). Tentu saja hal ini
tidak berarti bahwa setiap kritikus yang mengulas karya sastra yang besar/hebat
dengan sendirinya menjadikan kritikus yang besar atau hebat pula.
(3) Wilayah Studi Sastra : Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan Sastra Bandingan
Wellek membedakan tiga wilayah studi sastra, yakni teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra (Wellek, 1989:38). Budi Darma bahkan membuat
taksonomi sastra menjadi dua saja, yaitu karya sastra dan kritik sastra, karena
segala sesuatu yang bersifat evaluasi tidak lain adalah kritik sastra.
Teori sastra timbul, misalnya karena kritik sastra memerlukan metode.
Misalnya, teori formalis menggarap sebuah karya sastra sebagai bentuk ekspresi
estetis. Sementara itu, teori moral menggarap karya sastra sebagai suatu bentuk
untuk memperjuangkan nilai-nilai etika tertentu. Lalu teori sosiologi sastra
berpendapat, bahwa karya sastra tidak lain adalah kesadaran kolektif suatu
masyarakat. Dengan demikian, semua teori bersifat evaluasi, sedangkan evaluasi
adalah ciri menonjol kritik sastra.
Pengendapan masalah sastra yang kemudian menjadi sejarah sastra juga
tersaring melalui proses evaluasi. Evaluasi terjadi karena ada serangkaian kritik
sastra. Historiografi mengenai tokoh, aliran pemikiran dalam sejarah sastra
merupakan hasil pengendapan kritik sastra juga.
Dalam kenyataanya hubungan antara kritik sastra, teori sastra, dan sejarah
sastra, dan sastra bandingan bersifat interdependensi atau saling tergantung. Teori
sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra.
7
Kriteria, kategori, skema teori tidak mungkin diciptakan secara in vacuo/tanpa
pijakan. Sebaliknya tidak mungkin ada kritik sastra atau sejarah sastra tanpa satu
set pertanyaan suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi.
Di sisi lain kegiatan kritik yang berhubungan dengan penilaian,
penjelasan, dan penghakiman karya sastra dapat dekemukakan berikut ini. Bahwa
penilaian hanya dapat dilakukan oleh kritikus yang memiliki konsep tentang nilai
baik dan buruk (etika), indah atau tidak indah/estetika (lingkup teori sastra).
Penjelasan tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan, jika kritikus
mengetahui seluk beluk karya sastra tersebut. Dan penghakiman terhadap suatu
karya sastra hanya dapat dilakukan oleh kritikus yang mampu memanfaatkan
berbagai pengetahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra untuk
menempatkan kedudukan suatu karya diantara sekian banyak karya sastra sejenis.
Kegiatan tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan teori dan sejarah sastra
dalam studi kritik sastra. Penerapan teori sastra dalam kerja kritik memang
berbeda-beda dalam gaya dan teknik penyajiannya, misalnya dalam kritik sastra
kreatif (kritik yang dibuat oleh penulis kreatif), dan kritik sastra akademik (ditulis
oleh para akademisi). Y.B. Mangunwijaya misalnya, dalam buku kritiknya Sastra
dan Religiusitas tidak memformulasikan teori sastra yang digunakan secara
eksplisit, melainkan memadukannya dengan intuisi. Antara intuisi aksiomatis
dengan intuisi menalar, antara merasakan sekaligus menjabarkannya. Sebagai
pembaca, kita tidak merasakan bahwa Y.B. Mangunwijaya sedang menjabarkan,
menganalisis, dan membeberkan argumentasi-argumentasinya. Yang dilakukan
oleh Y.B. Mangunwijaya ini merupakan karakteristik jiwa kritik kreatif.
(4) Penikmat, Pembaca atau Masyarakat Sastra
Hubungan antara kritik sastra dengan penikmat, pembaca atau masyarakat
sastra bersifat fungsional. Kehadiran kritik sastra dapat difungsikan sebagi
penghubung antara pengarang dan pembaca, penikmat (Jassin, 1965:84; Shipley,
1962:83). Kritik sastra dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin timbul dari diri pembaca setelah menikmati suatu karya sastra.
Bagi kalangan pembaca yang masih kurang baik daya apresiasinya, kritik dapat
berfungsi sebagi pembimbing, pengarah, sekaligus pemandu. Dalam fungsinya
yang ideal kritik sastra haruslah inspiratif.
8
Sehubungan dengan itu Damono berpendapat bahwa kritik yang baik
adalah semacam kesan-kesan pribadi (kritikus) yang memberi isyarat kepada
pembaca lain untuk bangkit ke rak buku yang sedang dibicarakannya itu, untuk
kemudian membacanya, mengualang bacanya. Kritik yang baik tidak berpura-
pura mencampuri percakapan yang mungkin terjadi di antara sebuah karya agar
lebih menyenangkan. Juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin
tahu. Kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk kembali pada karya yang
hilang karena tersapu debu waktu (periksa Damono, 1975;299)
b. Hubungan antarkomponen variabel kritik sastra dilengkapi dengan contoh
Bagan 1 : Proses Hubungan Antarkomponen Variabel Kritik SastraKeterangan : : hubungan langsung : hubungan tidak langsungContoh :
Misalnya kita membaca novel dengan judul Negeri 5 Menara, setelah
membacanya pasti kita menemukan hal-hal yang menarik yang mampu
memberikan pesan baik kepada kita. Agar kita lebih memahami isi dari novel
tersebut, kita perlu mengadakan pengkajian yang pasti menggunakan teori sastra.
Teori yang kita ambil bisa berupa teori sosiologi sastra dan teori struktural. Hal ini
karena novel tersebut erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang cocok
dikaji dengan teori sosiologi sastra.
Selain mengkajinya, kita juga bisa mengkritiknya, karena pasti ada hal yang perlu
dinilai dari sebuah karya sastra tersebut. Mengkritiknya pasti kita juga harus
memahami sejarah sastranya agar kritik kita lebih bernilai. Dengan pengkritikan
tersebut, pembaca akan bisa menikmati hasil kritik itu dan akan lebih memahami
isi dari karya sastra tersebut.
Teori Sastra
Kritikus Karya Sastra Penikmat, pembaca
Sejarah Sastra Sastra Bandingan
9
LEMBAR KERJA MAHASISWA 2
1.3 POSISI KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali posisi kritik sastra dalam peta sastra Indonesia modern
dilengkapi dengan contoh.
b. Menuliskan kembali fungsi kritik sastra dilengkapi dengan contoh.
c. Mengklasifikasi fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental dan
noninstrumental.
Jawaban :
a. Posisi kritik sastra
Peta dunia sastra secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yakni dunia
kreasi (dunia penciptaan) dan dunia pemikiran (studi, pemikiran, dsb). Kritik
termasuk dalam dunia pemikiran. Jauh sebelum orang memikirkan hakikat, sastra
sudah diciptakan. Kritik sastra baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan di
mana nilai hakiki suatu karya sastra (periksa, Semi, 1995:16).
Hukum sastra membuktikan bahwa kritik sastra berjalan di belakang karya
sastra. Kritik sastra Yunani Purba misalnya, baru bangkit setelah para pengarang
sastra karya sastra runtuh. Sementara itu, diketahui bahwa ada kalanya kejayaan
karya sastra sejajar dengan kekayaan kritik sastra, seperti yang terjadi di Eropa
pada abad XVIII.
Dalam tahap perkembanganya kritik sastra memang mula-mula sangat
bergantung pada karya sastra. Kritik sastra adalh reaksi terhadap karya sastra
(seperti sinyalemen tehadap ekstensi kritik sastra Indonesia modern dewasa ini).
Padahal sebenarnya kritik sastra lebih bermanfaat apabila sudah dapat melepaskan
diri dari kehadiran karya sastra. Otonomi karya sastra akan menjadikannya
sebagai kegiatan-kegiatan intelektual. Dalam tahap ini, tumpukan kritik sastra
bukan lagi harfiah karya sastra melainkan kritik sastra itu sendiri dan pemikiran
sastra lainnya. Contoh, dalam tahap kesusastraan Inggris misalnya, sudah
ditemukan karya sastra yang berlapis-lapis. Kritik dikritik lagi, kritik atas kritik
10
itu dikritik lagi dan seterusnya sehingga kita menemukan kritik atas kritik , atas
kritik, atas kritik.
Berkaitan dengan dua posisi kritik sastra tersebut, maka sebenarnya antara
kritk sastra dan sastra khususunya dengan komponen sastra yang lain dapat
bekerja sama yang saling menguntungkan atau semacam simbiosis
mutualisme.Maksudnya bukan kritik sastra saja yang bergantung pada karya
sastra, tetapi karya sastra juga memerlukan inspirasi dari kritik sastra. Kritik sastra
yang inspiratif akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan
karya sastra dan tidak mengerdilkan atau bahkan membunuhnya.
Contoh :
Kritik berada pada dunia pemikiran, jadi sebuah kritik itu akan
berkembang walau orang hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas
buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin, ini merupakan bentuk dari kritik
terhadap sebuah karya sastra.
b. Fungsi Kritik Sastra :
Kritik sastra menurut Semi (dalam suwignyo, 2009:18), menunjukan ada 3
peranan atau fungsi kritik sastra sebagaimana disebutkan berikut ini :
1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra
Fungsi utama kritik sasra adalah memlihara dan menyelamatkan, serta
mengembangkan pengalaman manusiawi yang termanifestasi dalam seni sastra.
Contohnya saja kritikus, Kritikus mendudukan sastra sebagai sruktur dunia
imajinatif yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus memberikan penilaian,
menunjukan segi-segi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai tertentu yang terdapat
dalam suatu karya sastra. Kritikus juga dapat menunjukan dimensi lain yang
membangun suatu karya sastra agar lebih berkualitas.
2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni.
Dari sisi ini, kritik sastra berfungsi membina tradisi kebudayaan,
memmberikan tempat berpijak, memberikan cita rasa yang benar, melatih
kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan
pengertian dan pembinaan apresiasi makna dan nilai-nilai kehidupan dalam karya
11
sastra. Sebagai contohnya, melalui kritiknya, kritikus menunjukan daerah-daerah
gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat menikmati
sastra secara lebih intensif dan lebih mendalam. Sasaran akhirnya adalah agar
pembaca meningkat daya apresiasinya.
3. Untuk menunjang ilmu sastra.
Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra
merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa,
teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian kritik sastra memberikan sumbangan
besar terhadap para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu tidak
dipungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberikan sumbangan pula pada
kritik sastra. Melalui kritik sastra kritikus juga membuka daerah baru yang belum
dijelajahi oleh posisi pengarang. Dengan demikian, secara nyata kritik sastra
memberikan sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya sastrawan. Mereka
(para sastrawan) dapat belajar melalui kritik sastra untuk meningkatkan
kecakapannya, memperkuas horizon pandangan dan daerah garapan. Dengan
begitu karya cipta pengarang dpat lebih berkembang, baik gaya, corak ataupun
mutunya. Hal tersebut pada gilirannya akan mengembangkan mutu kritik sastra.
Sementara itu sumbangan kritik sastra terhadap sejarah sastra k dapat
dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan
usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya
sastra dapat dimasukan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak
menunjukan nilai sastra, sedangkan aktivitas penilaian merupakan aktivitas kritik
sastra. Oleh sebab itu, sejarah sastra memerlukan bantuan kritik sastra (periksa
Semi; 1985:25—26).
Sebagai pembanding, fungsi kritik sastra dalam fersi yang lain sebagai
berikut :
1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah
sastra.
2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau
pengembangan teori sastra.
3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah
sastra.
12
4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang
baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli.
5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang
tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan
dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K.
S., 1986:27)
Contoh :
Kritik sastra akan menumbuhkan sikap yang kritis terhadap sebuah karya
sastra. Dengan kritik sastra tersebut, orang tidak hanya dapat menilai sebuah karya
itu baik dan jelek saja, namun ia dapat lebih mengetahui lebih mendasar tentang
persoalan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Misalnya pada novel Sitti
Nurbaya, orang tidak akan menilai baik dan buruknya saja, namun dapat lebih
memahami persoalan yang terjadi pada karya sastra tersebut.
c. Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental dan noninstrumental.
Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental :
1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra
Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan, serta
mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya seni yang
bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan
struktur yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus meberikan penilaian,
menujukan segi-segi kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam suatu karya,
serta memperlihatkan alternatif-alternatif lain yang membangun suatu karya
sastra.
2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni.
Kritik sastra berfungsi pula untuk mmebina tradisi kebudayaan, membantu
kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan
pengertian tentang makna dan nilai-nilai kehidupan. Melalui kritiknya, kritikus
menunjukan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga
pembaca dapat menikmati sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, yang pada
13
akhirnya dapat meningkatkan apresiasi mereka mereka yang lebih tinggi daripada
sebelumnya.
3. Untuk menunjang ilmu sastra.
Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra
merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa,
teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian, kritik sastra memberikan sumbangan
besar terhadap paara ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Melalui kritik
sastra kritikus juga membuka daerah baru yangbelum dijelajahi oleh pengarang.
Dengan demikian, secara nyata kriti sastra memberika sumbangan pula dalam
meningkatkan kecakapannya, memperluas horizon pandangan dan daerah
pandangan. Semetara itu, kritik sastra terhadap sejarah sastra tidak dapat
dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan
usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya
sastra dapat dimasukkan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak
menunjukan aktivitas kritik sastra.
Fungsi kritik sastra yang bersifat noninstrumental.
1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah
sastra.
2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau
pengembangan teori sastra.
3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah
sastra.
4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang
baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli.
5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang
tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan
dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K.
S., 1986:27)
14
LEMBAR KERJA MAHASISWA 3
TOPIK 11 : PARADIGMA KRITIK SASTRA
2.1 BENTUK KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali landasan atau dasar yang digunakan untuk menetukan
bentuk kritik sastra, dilengkapi dengan contoh.
b. Merumuskan dengan kalimat sendiri, bentuk kritik sastra Indonesia modern.
Jawaban :
a. Landasan atau dasar
Paradigma kritik sastra adalah bentuk, jenis, dan koordinat kritik dalam
empat sumbu pemikiran terhadap karya sastra. Secara sederhana bentuk kritik
sastra dapat dibandingkan dengan bentuk sastra. Sastra selain dalam bentuk tulis
diwujudkan dalam bentuk lisan. Demikian juga kritik sastra, ia dapat berupa
pembicaraan atau tulisan yang membanding-bandingkan, menganalisis,
menafsirkan, dan menilai karya sastra (Sudjiman, 1986:44). Nakritik mun,
meskipun kritik sastra dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis, kritik sastra
menuntut artikulasi, formulasi, dan argumentasi serta intuisi (Darma, 1990:8).
Segala pembicaraan mengenai sastra baik lisan maupun tertulis harus terdiri dari 4
komponen, yakni (i) data atau fakta, (ii) analisis, (iii) inference atau kesimpulan,
dan (iv) judgement atau penilaian.
Dengan lebih kompleks kritik sastra dipandang sebagai suatu kajian
tersendiri yang tidak terbatas hanya kepada penghakiman, penilaian baik dan
buruk, tetapi juga memberikan enterpretasi dan menjelaskannya di dalam
alternatif-alternatif pemikiran berdasarkan suatu sistem dan teori tertentu (periksa
Esten, 1987:13). Mendasarkan diri pada pandangan ini, bahwa bentuk kritik sastra
yang paling sederhana ialah seperti yang dialami oleh pembaca (penikmat) sastra.
Kritikus membaca beberapa halaman dari sebuah karya sastra, kemudian
meletakkannya kembali di atas rak atau di atas meja untuk kemudian tidak
disentuhnya lagi.
Karya-karya sastra yang dibicarakan berdasarkan norma-norma yang
sudah ada dan pada saat mengulas soal isi lebih banyak dibicarakan (aksentuasi)
15
masalah nilai-nilai susila, moral, serta nilai-nilai pendidikan yang terkandung di
dalam sastra tersebut. Bentuk kritik semacam ini memang lebih bersifat
instrumental sehingga suatu tinjauan yang bertolak dari hakikat karya sastra
jarang dilakukan .
Dasar penilaian suatu karya sastra tidak semata-mata senang atau tidak
senang atau like and dislike, akan tetapi lebih merupakan upaya untuk
memperoleh pemahaman yang utuh terhadap sebuah cipta sastra. Kritik sastra
yang demikian dilakukan secara sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka
teori tertentu serta diungkapkan secara tertulis.
Bentuk kritik sastra lahir akibat reaksi atau adanya tanggapan dari
pembaca atau penikmat terhadap karya sastra. Bentuk reaksi tersebut dapat lisan
atau tertulis. Macam-macam bentuk kritik sastra dapat dilihat dari gradasi atau
tingkatannya terhadap karya sastra tertentu tanpa dasar atau kriteria, atau pada
tingkatan reaksi (tanggapan) dalam bentuk studi, penelitian, telaah, bahasan atau
pengkajian suatu karya sastra dengan landasan teori, pendekatan, dan metodologi
tertentu.
Contoh :
Sebuah kritik sastra terbentuk karena adanya penilaian terhadap karya
sastra. Landasan yang dipakai adalah teori dan acuan tertentu. Misalnya jika kita
ingin mengkritik sebuah novel,maka kita harus tahu teori yang cocok untuk
menganalisis karya tersebut, selain itu, kita juga perlu adanya kritik dari para ahli
yang kita pakai sebagai acuannya.
b. Bentuk kritik sastra Indonesia modern
Bentuk sastra Indonesia tergantung dari aliran-aliran sastra seperti yang
terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Bentuk kritik sastra yaitu kritik sastra
akademik, kritik sastra kreatif, kritik sastra jurnalistik.
16
LEMBAR KERJA MAHASISWA 4
2.2 JENIS KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual
a. Menuliskan kembali 25 jenis kritik sastra, dengan penjelasan seperlunya.
b. Menuliskan kembali dasar penjenisan kritik sastra, dilengkapi dengan contoh.
c. Menuliskan dengan kalimat sendiri jenis kritik judisial, kritik induktif, dan
kritik impresionistik ditinjau dari objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan
kritiknya.
d. Menuliskan kembali ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c)
sosiologis ditinjau dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan
(iv) tujuan kritiknya.
e. Memberikan contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik
historis-biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik
psikologis masing-masing 3 buah!
Jawaban :
a. 25 jenis kritik sastra
Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk
kritik sastra. Guntur Tarigan mencoba mengidentifikasi 25 jenis kritik sastra yang
dirangkum dari 5 sumber, yakni: (1) kritik induktif, (2) kritik judisial, (3)
impresionistik, (4) kritik historis, (5) kritik filosofis, (6) kritik formalis, (7) kritik
sosiokultural, (8) kritik psikologis, (9) kritik mitopoeik, (10) kritik relativistik,
(11) kritik absolutistik, (12) kritik interpretatif, (13) kritik tekstual, (14) kritik
linguistik, (15) kritik biografis, (16) kritik komparatif, (17) kritik etis, (18) kritik
perspektif, (19) kritik pragmatik, (20) kritik elusidatori, (21) kritik praktis, (22)
kritik baru, (23) kritik teoretis, (24) kritik internal, (25) kritik eksternal (Tarigan,
1986:204)
(1) Kritik induktif
Kritik induktif adalah sejenis kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta-
fakta yang ada hubungan atau referensinya dengan sesuatu karya seni, metode-
metodenya, hubungannya dengan waktu penciptaannya, serta menyusunnya
17
menjadi suatu urutan dan susunan yang rapi, dan akhirnya melukiskannya dengan
teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam ilmu pengetahuan yang
mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. (Albert [et al], 1961 :
123) ; jadi kebalikan dari metode deduksi.
(2) Kritik judisial
Kritik judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian
atau penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta menghubungkannya dengan
norma-norma teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karya
tersebut. (Coulter, 1930: 336). Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-norma
penilaian, baik secara implicit maupun secara eksplisit tetap akan terdapat dalam
segala tipe kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut.
Dalam kritik judisial ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatu
karya sastra seringkali sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal
ini sebenarnya tidak perlu kita herankan. Dalam zaman spesialisasi seperti yang
kita alami kini, orang hanya memilih obyek yang sempit, terbatas, tetapi
diusahakan keterangan serta penjelasan seluas mungkin.
Selanjutnya Rene Wellek dan Austin Warren menegaskan bahwa “kritik
yudisial menaruh perhatian pada hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang
dianggap sebagai sesuatu yang obyektif. Yang dituntut dari kritik judisial adalah
suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan tajam terhadap para pengarang
dan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang berwenang atau menaruh perhatian
pada sejumlah dogma teori sastra”. (1956: 250).
(3) Kritik Impresionistik
Kritik Impresionistik adalah sejenis kritik yang muncul sebagai produksi
dari aliran individualisme romantik dan juga dari kesadaran akan diri yang lebih
modern. Kritik impresionistik menghubungkan pengalaman-pengalaman sang
penulis dengan hasil karyanya (Coulter, 1930: 336).
Kritik impresionistik ini dapat bertindak sebagai penghubung antara para
pembaca yang belum berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus
dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan penghubung; lebih-lebih
18
lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitive terhadap efek-efek sastra,
dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh masyarakat; apalagi kalau dia
memang seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta mempunyai
gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan demikian dia dapat
memperkaya pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif.
(4) Kritik historis
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kritik historis dapat mengikuti
segala sesuatu yang terjadi atas suatu bentuk sastra, ataupun mengadakan survey
terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah tertentu, ataupun
menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta menunjukkan
hubungannya dengan kelompok tersebut.
Yang menjadi doktrin utama kritik historis ini adalah tempelakan atau
tuduhan bahwa karya sastra takkan dapat didekati dengan selengkap-lengkapnya,
seperti halnya karya itu sendiri telah lengkap dalam dirinya sendiri. Oleh karena
itu setiap karya sastra haruslah diteliti dan ditelaah dengan bantuan atau acuan
dari keterangan-keterangan yang ada sangkut-pautnya dengan karya tersebut.
(5) Kritik filosofis
Kritik filosofis adalah sejenis kritik yang berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkan suatu dasar yang paling sesuai bagi penilaian karya sastra melalui
analisis terhadap hakekat dan fungsi sastra sebagai suatu falsafah hidup atau
sebagai suatu cara berfikir mengenai kehidupan.
Kritik filosofis berusaha menentukan prinsip-prinsip pokok yang dapat
dipergunakan dalam kritik sastra. Kita sama maklum bahwa prinsip-prinsip dasar
ini sangat perlu. Falsafah kritik sastra yang kita anut harus tegas, seperti juga
halnya falsafah hidup yang kita anut harus tegas. Kalau tidak, maka kita tidak
mempunyai dasar yang kuat, mudah diombang-ambingkan.
(6) Kritik formalis
Baik lawan maupun kawan mengakui bahwa kritik formalis ini
mempunyai pengaruh yang amat besar dan merupakan gerakan kritik yang amat
19
bersemangat dalam abad ke 20 ini baik di Inggris maupun Amerika Serikat. Pada
dasarnya kritik formalis ini berasal dari Aristoteles dan para pengikutnya, dalam
arti bahwa teori dasar estetikanya meletakkan tekanan pada bentuk karya sastra,
strukturnya, gayanya, dan efek psikologisnya, yang biasanya dipertentangkan
dengan Plato yang justru meletakkan tekanan pada isi karya dan pada efek moral
atau pada efek sosialnya.
(7) Kritik sosiokultural
Menurut Edmund Wilson, kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra
dalam aspek-aspek social ekonomi dan politisnya. Yang merupakan pusat
perhatian pokok pada kritik ini adalah interaksi karya sastra dengan kehidupan;
dan interaksi ini tidak hanya mencakup implikasi-implikasi moral dan kulturalnya.
(Grebstein; 1967: 161).
Kritik sosiokultural ini sebenarnya banyak sekali mendapat pengaruh dari
Matthew Arnold, lebih-lebih dalam hal penekanannya pada aspek-aspek moral,
intelektual, dan aspek social sastra dan kritik sastra. Dan penganut Matthew
Arnold bukan hanya terbatas pada kritik sosiokultural saja, tetapi juga pada semua
jenis kritik. Matthew Arnold member definisi kritik sebagai “suatu upaya bebas
untuk mempelajari serta mempropagandakan segala sesuatu yang terbaik yang
telah diketahui dan dipikirkan di dunia ini” atau “a disinterested endeavor to learn
and propagate the best is known thought in world”. (Grebstein; 1967: 164).
(8) Kritik psikologis
Kritik psikologis adalah salah satu jenis kritik sastra yang mendalami segi-
segi kejiwaan suatu karya sastra, yang mencakup segi-segi kejiwaan penulis,
karya, dan pembaca. Kita tahu bahwa hubungan antara psikologi dan kritik sastra
adalah sama tuanya dengan usia kedua cabang ilmu tersebut. Dan yang paling
berpengaruh terhadap kritik sastra adalah Sigmund Freud dengan
psikoanalisisnya.
Dalam menggarap masalah penulis, kritikus psikologis ini mempunyai
banyak persamaan dengan kritikus historis, yaitu dalam hal mereka mengambil
alih secara langsung ataupun menyesuaikan dengan kepentingannya sendiri
20
metode psikoanalisis, baik dalam mengadakan studi terhadap orang di belakang
karya itu; atau dengan kata lain: karya sebagai suatu refleksi dan proyeksi dari
penulisnya dan dalam mengadakan studi terhadap proses kreatif itu sendiri.
Dalam menggarap karya itu sendiri, kritikus psikologis lebih erat
berhubungan dengan prosedur-prosedur yang dipergunakan oleh kritikus formalis.
Seperti juga halnya kritikus psikologis dalam studinya mengenai proses kreatif
berusaha mendemonstrasikan bagaimana pribadi penulis menjadi berguna dan
menarik bagi masyarakat ramai, maka begitu dia ingin menelami rahasia daya
tarik karya tersebut pada pembaca perseorangan.
(9) Kritik mitopoeik
Kata mythopoeic berasal dari bahasa Greek mythopoios yang berarti
“makinh myths” atau “pembuatan mite”. Dengan demikian kritik mitopoeik
adalah sejenis kritik yang ada sangkut-pautnya dengan penciptaan mitos dalam
suatu karya sastra. “Mitos adalah cerita-cerita kuno yang isinya dianggap bertuah
dan dipercayai orang; biasanya menceritakan tentang terjadinya bumi, langit,
manusia, hewan, dewa-dewa dan lain-lain, dan juga tentang berbagai upacara.
Dari mitos inilah manusia bisa ketahui hakekat dari hal-hal tersebut dan dapatlah
dia menetukan sikapnya terhadap gejala-gejala itu”. (Ensiklopedia Indonesia FM:
967).
Kritik mitopoeik ini adalah kritik yang paling baru dan yang paling
ambisius diantara pendekatan-pendekatan kritik kontemporer dan barangkali juga
yang paling provokatif dalam tindakan-tindakan dan kemungkinan-
kemungkinannya.
(10)Kritik relativistik
Relativisme adalah suatu ajaran atau doktrin dalam estetika dan kritik yang
mengatakan bahwa keindahan atau nilai estetika suatu karya seni merupakan suatu
“rational property” atau “milik rasional”. Relativisme berpendapat bahwa
pernyataan-pernyataan seperti “pusi ini indah” mengandung suatu referensi
21
implicit pada beberapa orang pendengar sebab sebenarnya artinya yang
sesungguhnya adalah “puisi ini indah bagi si X”, dimana X merupakan orang
tertentu. Demikianlah relativisme yakin benar-benar bahwa nilai estetika tidaklah
inheren atau berhubungan erat dengan karya, tetapi bergantung pada keyakinan
atau pendirian seseorang individu, kelompok social, periode sejarah, atau
kebudayaan. (Shipley, 1962: 338). Dalam kritik sastra yang menjadi argument
kritik relativistic ini adalah bahwa “kritik haruslah memancar dari kepercayaan
atau keyakinan pribadi”.
(11)Kritik absolutistik
Kritik ini berpendapat bahwa satu-satunya alternatif bagi hokum kritik
adalah anarki; bahwa kalau setiap kritikus menghakimi atau mengadakan
penilaian dan pertimbangan bagi dirinya sendiri, maka mau tak mau muncullah
khaos atau kebingungan. Pengalaman membuktikan bahwa keadaan atau posisi
yang begini salah sama sekali.
Walaupun setiap kritikus harus menghakimi secara perseorangan, namun
individu-individu kemanusiaan pada umumnya cukup jumlahnya sehingga
komunikasi itu biasanya mungkin saja diadakan, dan demikian juga cukup
persetujuan yang berkembang untuk membuktikan kebenaran critical enterprise
atau upaya kritis itu. (Shipley, 1962: 87).
(12)Kritik interpretatif
Untuk menghilangkan keragu-raguan serta kesalahpahaman mengenai
semua itu, maka yang khusus dimaksud dengan kritik interpretatif di sini adalah
“Bidang kritik yang memberikan kesempatan untuk memperkenalkan standar-
standar yang secara relatif tidak ada hubungannya dengan orang atau hal tertentu.
Puisi atau drama misalnya ada sebagai suatu dokumen yang actual. Aksi-aksi serta
urutan-urutan dari sejarah masa lalu tidaklah akan berubah atau menjadi berbeda
dengan danya atau munculnya aneka keinginan yang mendesak dari pribadi
tertentu. Dalam menentukan dan menegakkan fakta-fakta yang turut memperjelas
suatu karya seni, maka para ahli atau sarjana sejarah dapat bertindak sebagai
kritikus sastra.” (Shipley, 1962: 87).
22
(13)Kritik tekstual
Textual criticism atau kritik naskah ini adalah sejenis kritik yang
memusatkan perhatiannya terutama sekali pada teks atau naskah sesuatu karya
sastra. Kritik ini berusaha sekuat daya untuk membawa para pembaca lebih dekat
kepada apa yang sebenarnya telah ditulis secara aktual.
(14)Kritik linguistik
Kritik linguistik dalam sastra menitikberatkan perhatian kepada masalah-
masalah kebahasaan dalam karya sastra tersebut. Kritik linguistik dapat
menghindarkan kita dari salah pengertian, baik dalam bidang fonologi, morfologi,
sintaksis, maupun dalam bidang semantik.
Kita tahu bahwa bahasa tetap mengalami perkembangan: dan dalam proses
perkembangan itu banyak terjadi perubahan. Hal ini akan Nampak jelas dalam
karya sastra yang ditulis dalam kurun waktu yang berlainan.
(15)Kritik biografis
Kritik biografis ini sebenarnya dekat sekali hubungannya dengan kritik
historis: hanya bidangnya lebih sempit dan terarah khususpada biografi atai
riwayat hidup pengarang beserta karyanya.
Tugas pokok kritik biografis ini adalah “mementukan hubungan yang
signifikan antara pengarang dengan karyanya, menentukan genesis atau asal-usul,
kekuatan yang mendorong, ataupun tujuan yang kongkrit dari suatu karya sastra”
(Shipley, 1962: 87).
(16)Kritik komparatif
Memang banyak hal dalam kritik komparatif ini yang segar dan menarik
serta member harapan; kritik ini memperoleh polanya bukan dari kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan waktu, tetapi justru dari pengelompokan-
pengelompokan jenis yang berguna serta gagasan-gagasan atau ide-ide yang
berpengaruh. Akan tetapi jelas bahwa kritik yang seperti ini membutuhkan suatu
kaidah yang tegas, yakni: hal-hal yang dapat diperbandingkan sajalah yang akan
23
digarap. Hal ini diterapkan pada nada, tujuan, dan cara; bahkan penerapan pada
ketiga hal tersebut lebih daripada terhadap pokok masalah (subject-matter)-nya
sendiri.
(17)Kritik etis
Seringkali terjadi bahwa kritik yudisial beralih menjadi kritik etis. Kita
tidak usah heran mengenai peralihan tersebut, selama kebanyakan dari karya
sastra itu mengandung unsur-unsur moral. Hanya ada bahayanya, yaitu bila
norma-norma tersebut berubah pula menjadi unsur-unsur tambahan saja. Bila
seprang kritikus moral bertindak secara ideal sebagai seorang kritikus sastra, maka
dia akan menerapkan norma-norma moral yang lainnya yang terdapat di luar
karya itu tidak turut dia terapkan. Dalam tindakan selanjutnya maka dia akan
menerapkan norma-norma yang sesuai serta yang simpatik saja.
(18)Kritik perspektif
Kritik perspektif ini erat berhubungan dengan kritik biografis. Sebenarnya
kritik perspektif ini merupakan suatu studi terhadap reputasi sang pengarang;
dengan kata lain, dapat dianggap sebagai suatu jenis biografi kesastraan yang
mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya
seperti yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya, baik secara
kontemporer maupun setelah meninggalnya sang pengarang.
(19)Kritik pragmatik
Kritik pragmatik dalam sastra merupakan sejenis kritik yang mengarahkan
perhatian pada kebergunaan ide-ide, ucapan-ucapan, dalil-dalil, atau teori-teori
yang terdapat dalam suatu hasil sastra, pada masyarakat. Reputasi seorang
pengarang ditentukan oleh keberhasilan, kebergunaan karya sastra ciptaannya bagi
masyarakat.
Betapapun indahnya suatu karya sastra, betapapun muluknya teori yang
terkandung di dalamnya, apapun temnnya, tetapi kalau ternyata tiada kegunaannya
24
bagi masyarakat dalam praktek kehidupan, maka karya tersebut tetap tidak
berhasil bagi kaum pragmatis.
(20)Kritik elusidatori
Kritik elusidatori atau kritik penjelasan adalah sejenis kritik sastra yang
sifatnya memberikan penjelasan. Memang sebenarnya semua jenis kritik sastra
bersifat menjelaskan, hanya pengarahan yang agak berbeda. Walaupun antara
kritik penjelasan dan kritik penghakiman terdapat banyak persesuaian, namun
menurut Rene Wellek dan Austin Warren “terkadang pembedaan yang dibuat
antara kritik elusidatori dan kritik yudisial itu hanya sebagai tipe-tipe kritik
alternative saja.” (Wellek & Warren; 1956: 250).
(21)Kritik praktis
Yang dimaksud dengan kritik praktis atau practical critiscism di sini
adalah sebagi lawan dari kritik teoretis yang lebih cenderung kea rah ilmiah. Jadi
yang menjadi tugas atau tujuan sang kritikus adalah mentukan atau menilai
apakah suatu karya sastra itu bernilai praktis bagi masyarakat atau tidak.
Sebenarnya kritik praktis ini pada sama saja dengan kritik pragmatik,
sebab segala yang berguna bagi kehidupan masyarakat tentu mempunyai nilai
praktis, tentu bersifat pragmatis. Tujuan sama walaupun nama berbeda.
(22)Kritik baru
“Barang kali yang paling penting salam kritik modern di Amerika adalah
hasil penyelidikan atau telaah ilmiah bagi suatu cara yang lebih ketat dalam
memberi batasan terhadap nilai-nilai khusus suatu karya seni sastra. Salah satu
dari gerakan yang memperlancar kegiatan ini adalah reaksi terhadap
romantikisme, terhadap pandangan romantik yang menyatakan bahwa fungsi
suatu karya seni adalah untuk mengekspresikan pribadi sang pengarang dan fungsi
kritikus adalah untuk mencatat atau merekam response emosinya sendiri terhadap
keberhasilan sang pengarang. Klasikisme yang baru ini melihat karya sastra itu
25
sebagai yang dibedakan oleh kepersisan imajeri dan oleh urutan penyusunan”,
kata David Daiches dalam salah satu tulisannya (VOA: 1).
Dan menurut Joseph T. Shipley “kecenderungannya yang pertama adalah
memanfaatkan sarana-sarana ilmiah, epigraf, dan statistik” (Shipley, 1962: 84)
yang sebelumnya hampir-hampir tidak diperhatikan orang. Mereka
memperhatikan frekuensi simbol-simbol fonetik, frekuensi nada dan pola-pola
pikiran, frekuensi kata tugas, serta semua ini disertai dengan table-tabel yang
lengkap.
(23)Kritik teoretis
Kritik sastra teoritis adalah bidang kritik sastra yang berusaha (bekerja)
untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah yang tali-
temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada
pertimbangan dan interpretasi karya-karya sastra ataupun penerapan “kriteria”
(standar-standar, atau norma-norma) yang dengan hal-hal tersebut karya-karya
sastra dan para pengarangnya dinilai.(Pradopo, 1994: 191)
(24)kritik internal
Pada dasarnya, internal adalah sesuatu yang berada di dalam sesuatu.
Internal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di dalam sebuah karya
sastra. Kritik internal adalah kritik yang mengkritik karya sastra di dalam karya
sastra itu.
(25)kritik eksternal
Pada dasarnya eksternal adalah sesuatu yang berada di luar sesuatu.
Eksternal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di luar sebuah karya
sastra. Kritik eksternal adalah kritik yang mengkritik katya sastra di luar karya
sastra itu.
b. Dasar Penjenisan Kritik Sastra
Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk
kritik sastra. Penjenisan itu didasarkan atas (1) pendekatan terhadap aspek tertentu
26
dari karya sastra, (2) bentuknya, dan (3) tujuannya. Dasar penjenisan seperti inilah
yang mengakibatkan jenis-jenis kritik sastra semakin rumit. Untuk itu
inventarisasi dari sejumlah sumber agaknya dapat dimanfaatkan.
Dalam buku A Handbook of Critical Approaches to Literature dibedakan
4 pendekatan terhadap aspek tertentu terhadap karya sastra sehingga
menghasilkan 4 jenis kritik sastra, yakni:
1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan Tradisional ditandai dengan kritik yang mengutamakan
pembicaraan pada aspek-aspek historis-biografis (kesejarahan-riwayat hidup)
serta moral-filosofis.
Contoh kritik dari aspek historis-biografis
Novel Surabaya karya Idrus
Senja Di Jakarta karangan Mochtar Lubis
Contoh kritik dari aspek moral-filosofis
Dibawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka
Harimau-Hariamau karya Mochtar Lubis
2. Pendekatan Formalistik
Pendekatan Formalistik ditandai dengan praktik kritik sastra yang
mengutamakan analisisnya pada bentuk dan struktur karya sastra.
Contoh: Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bacri
Puisi-puisi Chairil Anwar
3. Pendekatan Psikologis
Pendekatan Psikologis merupakan usaha mengaplikasikan teori-teori
kejiwaan dalam pembicaraan karya sastra.
Contoh: Perwatakan serba aneh dalam kumpulan Cerpen Budi darma Orang-
orang Blamington
4. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis dalam kritik karya sastra memusatkan perhatian
pada aspek-aspek sosiologis sastra, atau membicarakan hubungan timbal balik
antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Contoh: cerpen Topeng Kehidupan
27
Berdasarkan bentuknya, kritik sastra dipisahkan atas kritik relatif dan
kritik absolut (bandingkan dengan bentuk kritik sastra akademik, kritik kreatif,
dan kritik jurnalistik). Kritik relatif diartikan sebagai bentuk kritik yang
mempunyai aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam upaya
menguraikan atau menjelaskan tentang hakikat karya sastra. Contoh: kritik
tentang puisi Chairil Anwar dengan mengungkapkan aturan-aturan mengenai puisi
yang baik, seperti, pemilihan diksi, gaya penceritaan, dan lain-lain. Sedangkan
kritik absolut merupakan kritik sastra yang tidak percaya akan adanya suatu
prosedur dan perangkat aturan yang dapat diandalkan untuk dijadikan patokan
dalam melakukan kritik (periksa Semi, 1985: 13). Contoh: kritik sastra yang
ditulis olen Sutan Takdir Alisyahbana.
Selanjutnya, berdasarkan tujuannya kritik sastra dibedakan menjadi 3
jenis, yaitu:
(1) kritik judicial (judicial criticism)
Kritik Judisial adalah kritik sastra yang bertujuan memberikan penilaian
atau penghakiman terhadap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar,
norma atau ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan
lebih dahulu.
Contoh: karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan
keluasaan (intricacy, tension, width), karya sastra yang baik harus menunjukkan
sesutu yang baru, sesuatu yang aneh (making it new, making it strange), sastra
yang baik harus memiliki satu kesatuan, dan keruwetan (unity and complexity).
(2) kritik induktif (inductive criticism)
Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya
sastra semata.
Contoh: bagaimana karya sastra itu disusun kemudian menyusun patokan atau
pola bahwa karya sastra yang dikaji itu telah disusun dengan metode atau teknik
tertentu atau telah disusun menurut mekanisme tertentu.
(3) kritik impresionistik (impresionistic criticism).
Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang bertujuan menunjukkan
kualitas suatu karya dan mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus
yang muncul secara langsung.
28
Contoh: setelah membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung memberikan
kesan bahwa kualitas novel tersebut baik.
c. Jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik ditinjau dari
objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan kritiknya
1. Kritik judisial (Abrams, 1981: 36) adalah kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya,
organisasi, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan
individual kritikus atas dasar standard-standard umum tentang kehebatan atau
keluar biasaan sastra.
Kritik Judisial ini menggunakan ukuran-ukuran atau prinsip-prinsip yang
dianggap objektif sehingga sering disebut kritik objektif.
Teknik mengkritik diukur dari penilaian, misalnya karya sastra yang baik
harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan kekuasaan (intricacy,
tension, widht), karya sastra yang baik harus menunjukkan sesuatu yang
baru sesuatu yang aneh (making it new, making it stronge), sastra yang
baik harus memiliki kesatuan dan keruwetan (unity and complexite).
Tujuan kritik judisial untuk memberikan penilaian atau penghakiman
terhdap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar, norma atau
ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan
lebih dahulu.
2. Kritik induktif (Hudson, 1955: 270-1) adalah kritik sastra yang menguraikan
bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara
objektif. Kritik induktif meneliti gejala-gejala alam secara objektif, tanpa
menggunakan standar-standar yang tetap yang berasal dari luar dirinya.
Objek kritik induktif tidak menggunakan ukuran atau standar penilaian
tertentu karena kritik jenis ini memang tidak bermaksud memberikan
penghakiman atau penilaian terhadap karya sastra yang dikaji.
Kritik induktif dalam karya kerjanya mencontoh metode induksi dalam
ilmu pengetahuan, yakni dengan mengambil kesimpulan dari bukti atau
29
fakta-fakta khusus. Kritik induktif disebut juga kritik subjektif (Suwignyo,
2010:28).
Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya
sastra semata.
3. Kritik immpressionik (Abrams, 1981: 360 adalah kritik sastra yang berusaha
menggambarkan dengan kata-kata sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian
khusus atau dalam sebuah karya sastra dan menyatakan tanggapan-tanggapan
(impressi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.
Objek kritik Impresionistik menghubungkan pengalaman sastrawan
dengan hasil karyanya.
Teknik kritik impresionistik, Tarigan (1986:204-205) menyatakan bahwa
hasil kritik impresionistik dapat menjadi penghubung antara para pembaca
yang belum atau kurang berpengalaman dengan sejumlah karya sastra.
Kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan
penghubung, lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat
sensitif (peka) terhadap efek-efek sastra. Dengan demikian ia dapat
memperkaya pengalaman pembaca, terutama pengalaman imajinatif.
Kritik Impresionistik bertujuan menunjukkan kualitas suatu karya dan
mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus yang muncul
secara langsung.
d. Ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c) sosiologis ditinjau
dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan (iv) tujuan
kritiknya
(a) Kritik formalistik
Ciri-ciri:
1. Asumsi kritik ini didasrkan kepada gagasan bahwa bentuk (form) merupakan
sesuatu yang penting bagi pemahaman yang sebenarnya.
30
2. Bagi Jacobson prinsip-prinsip konstruksi (yang bersifat membangun) atau alat-
alat sastra yang membuat sebuah teks menjadi karya seni, merupakan objek
yang tepat untuk dikaji oleh kritikus sastra formalis.
3. Teknik menggunakan elemen-elemen atau faktor-faktor dari alat sastra ini
dapat diabtraksikan dari teks sastra dan kemudian dapat ditelaah secara terpisah
dari teks dan konteksnya.
4. Tujuan dari kritik formalistik adalah kajian terhadap sastra agar mencapai taraf
ilmiah (scientific).
(b) Kritik psikologis
Ciri-ciri:
1. Asumsi: psikologis diperlukan suatu maksud-maksud pemahaman mengenai
tipe-tipe perwatakan dan hukum kausalitas Plato.
2. Teknik, kritikus mempelajari karya sastra tertentu, kritikus mulai mengkaji
dokumen-dokumen pribadi, riwayat hidup serta segala pendapat dan pikiran
pengarang lewat tulisan-tulisannya yang bersifat nonliterer.
3. Tujuan: menyelami dan menjelaskan daya tarik suatu karya terhadap pembaca
perorangan (Tarigan,1986:14).
(c) Kritik sosiologis
Ciri-ciri:
1. Asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra aliran sosiologi
ialah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan social.
2. Objek kritik sosiologi, adalah hasil daya khayal atau imajinasi.
3. Teknik kritik sosiologi: dengan mengkaji dan membeberkan bahwa sesuatu
yang ditulis pengarang ditentukan masyarakat, cara penulisannya, dan tarjet
pembaca karya sastra, serta maksud dan tujuan penciptaan karya sastra.
4. Kritik ini bertujuan:
o untuk mengaitkan hubungan antara pengarang sebagai individu atau tipe
dikaitkan dengan keadaan yang khas dari era kultural tempat pengarang atau
itu hidup dan menulis dan
31
o untuk menghubungkan antara karya sastra dengan masyarakat yang
digambarkannya atau yang dituju.
e. Contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik historis-
biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik
psikologis masing-masing 3 buah
(i) kritik historis-biografis
Pada Titik Kulminasi karangan Styagraha Hoerip Supraba
Dari sosialisme religius ke eksistensialisme filosofis oleh Subijantoro
Chairil Anwar : sebuah pertemuan oleh Arif Budiman
(ii) kritik moral-filosofis
Roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka
Laut belum pasangnya Abdul Hadi
Sang kritikus dalam Sajak-Sajak Darmanto Yatman
(iii) kritik sosiologis
Cerpen sehelai Pakaian Hitam
Alam, puisi, dan Tuhan dalam sapuan rasa khairan di Horizon
Sebuah oleh-oleh Taufiq Ismail oleh Subijantoro
(iv) kritik psikologis
Sebuah buku Merah dan Karbol
Kritik-kritik Subagio Sastro Wardoyo tentang sajak-sajak Chairil Anwar
Novel-novel Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung dari sudutu ilmu jiwa
dalam Freud
LEMBAR KERJA MAHASISWA 5
2.3 KOORDINAT KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual:
32
a. Menuliskan kembali aspek referensial atau acuan karya sastra sebagai imitasi
dari realitas kehidupan untuk memahami karya sastra (pendekatan mimetik)
b. Menuliskan kembali unsur pembangun karya sastra sebagai struktur intrinsik
yang berdiri sendiri untuk memahami karya sastra (pendekatan objektif)
c. Menuliskan kembali peranan penulis karya sastra sebagai pencipta untuk
memahami karya sastra (pendekatan ekspresif)
d. Menuliskan kembali peranan pembaca sebagi pemberi makna untuk memahami
karya sastra (pendekatan reseptif/pragmatik)
Jawaban:
a. Pendekatan mimetik
Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis, terjemahannya dalam
baha sa Inggris berbeda-beda: imitation, representation, artinya peneladanan,
peniruan atau pembayangan. Konsep tersebut pada mulanya dikemukakan oleh
Plato, kemudian diungkapkan pula oleh Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni
hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh lebih rendah daripada kenyataan
serta ide. Secara lebih lengkap jalan pikiran Plato sbb.: dalam kenyataan yang
dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap
benda mencerminkan ide yang asli (gambar induk); terdapat aneka bentuk ranjang
dan meja, tetapi itu semua berasal dari idea tau gambar induk mengenai sebuah
ranjang dan sebuah meja.
Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa meskipun ada banyaka teori
mimetis, tetapi persoalan utama sebenarnya mempersoalkan hubungan antara
sastra dan kenyataan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur
estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu (sastra) sesuai dengan kenyataan.
Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia yang universal, atau dunia
khas, itu tidak begitu penting.
b. Pendekatan objektif
Di sekitar tahun 1920 minat dan tekanan secara berangsur-angsur bergeser
kea rah karya sastra sebagai struktur yang otonom, yang harus kita pahami secara
intrinsic, lepas dari latar belakang sejarahnya, lepas pula dari diri dan niat penulis
(the intentional fallacy, Wimsatt and Beardsley, 1946), lepas dari latar belakang
33
sosial dan efeknya pada pembaca (the effective fallacy), Wimsatt and Beardsley,
1949). Pendekatan ini secara singkat dapat dikatakan gerakan otonomi karya
sastra (Maatje, 1970: bab 2) dapat kita liat berkembang di mana-mana, sudah
barang tentu dengan sgala variasinya serta perbedaan penekanan: formalis Rusia
(1915-1930), disusul strukturalisme di Praha dan Eropa Barat, kemudian diimpor
ke Amerika Serikat, antara lain oleh Jacobson dan Wellek; tetapi pendekatan ini
juga terwujud dalam New Criticism sebagai perkembangan di Amerika yang
otokhton, walaupun sebagiannya diilhami dan dipelopori oleh kritikus terkemuka
di Inggris, seperti T.S. Eliot. Di Perancis Claude Levi Strauss dan Roland Barthes
menjadi tokoh terkemuka pendekatan structural, masing-masing dan ciri khasnya.
Pendekatan structural dari segi tertentu membawa hasil yang gilang-
gemilang; usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar
strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode
dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli (kritikus sastra,
seperti psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, paedogogi dan lain-lain; dan
kemudian mengembalikannya pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra).akan
tetapi, hal ini tidak berarti bahwa analisis struktur adalah tugas utama ataupun
tujuan terakhir penelitian sebuah karya sastra.
c. Pendekatan ekspresif
Dalam abad ke-19 di dunia barat pendekatan ekspresif menjadi dominan,
menguasai ilmu sastra: diri penyair, jiwanya, daya ciptanya, dan lain-lain
ditonjolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya kreatifnya
menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidaklah kebetulan bahwa dalam sastra
abad ke 19 ini maupun dalam pendekatan ilmiahnya, puisi lirik secara khusus
diperhatikan. Gerakan ini masih bisa kita telusuri bekasnya dalam pendekatan
pada masa Pujangga Bru, baik sebagai penyair maupun sebagai kritikus. Minat
untuk diri si penulis sering digabungkan dengan pendekatan historis: yang diteliti
khususnya asal usul sebuah karya, bentuk purba, terjadinya dan penyebaran motif-
motif, dan lain-lain. Hal ini pun dapat dikaitkan dengan aliran romantik yang juga
sangat tertarik oleh masa lampau, masa purba, manusia asli, primitive, dan lain-
lain (Teeuw, 1983: 60).
34
Berkaitan dengan pendekatan ekspresif ini, maka beberapa jenis kritik
dapat dimasukkan ke dalamnya, antara lain: kritik historis-biografis, kritik
psikologis terutama perhatian yang berkenaan dengan factor genetic karya sastra,
yaitu kepribadian pengarang dan proses kreatifnya. Jenis kritik yang lain ialah
kritik perspektif, yaitu kritik yang menganggap “author after life” beserta bagian-
bagian yang terpenting dari keberhasilannya yang telah atau patut menerima
penghargaan dan patut diabadikan. Kritik ini erat berhubungan dengan kritik
biografis karena salah satu kajiannya ialah “biografi kesastraan” yang mencakup
masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya, seperti
yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya baik secara kontemporer
maupun setelah meninggalnya sang pengarang (Tarigan, 1986: 220).
d. Pendekatan reseptif/pragmatik
Sejak Perang Dunia Kedua, khususnya sesudah tahun 1960, perkembangan
baru dalam ilmu sastra terjadi pergeseran minat karya sastra sebagai struktur kea
rah peranan pembaca sebagai pemberi makna. Istilah pragmatik menunjukkan
pada efek komunikasi yang sering dirumuskan dalam istilah Horatio: seniman
bertugas untuk docere dan delectere, member ajaran dan kenikmatan, acapkali
ditambahkan movere, menggerakkan pembaca dan kegiatan yang bertanggung
jawab; seni (sastra) menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan indah.
Pembaca kena, dipengaruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni (sastra)
yang baik. Berkaitan dengan pendekatan pragmatik ini berturut-turut dibicarakan
kritik semiotik dan kritik resepsi estetik.
35
LEMBAR KERJA MAHASISWA 6
TOPIK : PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual:
a. Menuliakan kembali pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan
penilaian perspektif dalam kritik sastra.
b. Memberikan contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik
kritik sastra Indonesia Modern.
c. Menuliskan kembali kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan
kriteria kritik pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern.
d. Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang kritikus untuk penulisan karya kritik sastra yang ideal.
Jawaban:
a. Pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif dalam kritik sastra.
1. Penilaian relatif
Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks
tempat dan zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian
relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada
suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap
bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian
relativisme memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra.
Kaum relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh
suatu masyarakat pada konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan
penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59).
2. Penilaian absolut
Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham
atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau
berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan
contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan
36
penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar
sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu,
standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap
karya sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus
judicial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra
latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi
dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan
penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61).
3. Penilaian perspektif
Paham penilaian perspektivisme menilai karya sastra dari berbagai
perspektif, atau sudut pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada waktu
terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra tersebut untuk masa-masa berikutnya,
bahkan menilai karya sastra tersebut pada masa sekarang. Anggapan dasarnya
bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya
memelihara satu ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama. Historis artinya
karya tersebut telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya,
misalnya suatu karya sastra itu telah mengalami (melewati) masa kesusastraan
romantik, realism, dan sebagainya. Dengan pengertian itu paham perspektivisme
mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu strukturnya dinamis
melalui penafsirannya sepanjang masa.
b. Contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik sastra Indonesia Modern
1. Contoh penilaian relatif
Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai
literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks
masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan
penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer
tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau
masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama
sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si
37
Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap
bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun )tempat/lokus). Jadi,
penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu
dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang
berbeda.
2. Contoh penilaian absolut
Para kritikus modern memakai hukum-hukum drama klasik sebagai
standar penilaian drama-drama modern (yang baru). Misalnya, Addington yang
memakai standar drama klasik untuk menilai drama Shakespeare dan Epic Aeneid
untuk menilai “Paradise Lost” ciptaan Milton. Begitu juga Leo Tolstoy yang
memakai standar agama sebagai penilaian mutlak untuk menilai baik buruknya
karya sastra. Bagi Tolstoy karya seni (sastra) yang baik adalah yang selaras, yang
cocok, yang dekat dengan apa-apa yang diidealkan oleh agama. Sebaliknya karya
seni atau sastra menjadi buruk apabila menjauhkan orang dari nilai-nilai ideal
agama. Padahal, banyak seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya
tidak berhubungan dengan nilai-nilai ideal keagamaan.
3. Contoh penilaian perspektif
Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya
pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh
beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan,
dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan
seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo
menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine
“dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19
penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.
c. Kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern
a. Kriteria kritik mimetik
38
Kelompok kriteria kedua mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang
ditiru atau tercermin di dalamnya. Kriteria demikian dinamakan kriteria mimetis
atau mimetik. Kaum mimetikus berkeyakinan bahwa sebuah karya sastra bernilai
baik apabila suatu kenyataan, misalnya kenyataan sosial, budaya, alam,
lingkungan hidup dsb. Dinyatakan atau diungkapkan dengan tepat, lengkap atau
secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kritikus mengharapkan
dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan
atau diutamakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad
bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan
terhadap kehidupan menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra atau karya
seni yang baik hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekadar
meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad, 1988: 53).
b. Kriteria kritik objektif
Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus
dan karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria politik, religious
atau moral. Misalnya saja sebuah karya dinilai baik bila karya itu mengambil
sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi
yang dianggap penting oleh kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh
pengarangnya sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan
dalam pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra
mengambil sikap yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri
dalam situasi itu (bandingkan dengan paham sastra terlibat. Rendra pernah
mengkritik para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan di
tengah-tengah jerit kehidupan).
c. Kriteria kritik ekspresif
Kembali pada persoalan kriteria dalam penilaian, sering kriteria itu tidak
dikemukakan secara eksplisit, namun kadang-kadang masih dapat dilacak kriteria
penilaian mana yang dipergunakan atau dianut. Penilaian terhadap suatu karya
sastra juga sangat dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi sastra.
Fungsi yang berlainan juga menimbulkan kriteria lain atau bahkan mempengaruhi
hirarki criteria,mana yang paling dipentingkan (Lexemburg, 1984: 70).
39
Terdapat kriteria penilaian yang mengaitkan kualitas karya sastra dari
sudut pengarang, hal itu tampak dalam kriteria ekspresivitas. Suatu karya sastra
dinilai baik apabila ekspresi pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dalam
karya sastra dengan nyata. Diukur dari kriteria intense sebuah karya sastra
dinyatakan baik apabila intense (maksud) pengarang atau penyair diungkapkan
dengan baik atau selaras dengan norma-normanya (ingat kembali tentang norma-
norma sastra). Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi
sebagaimana dilakukan oleh kaum romantikus, maka kriteria ekspresivitas akan
dipentingkan dalam menilai kualitas suatu karya sastra.
d. Kriteria kritik pragmatik/reseptif
Di samping kriteria di atas, masih ada kriteria-kriteria penilaian dalam
studi kritik sastra. Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang di dasarkan atas
teori pragmatis. Tercakup ke dalam teori ini ialah kriteria (a) kesenangan
(pleasure), (b) kemudahan pemahaman (intelligibility), (c) permasalahannya
berada di luar pengetahuan atau pengalaman pembaca (kritikus) yang disebut
novelity,dan familiarity, yaitu permasalahan berada dalam pengetahuan dan
pengalaman sehari-hari pembaca/kritikus.
e. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus untuk penulisan
karya kritik sastra yang ideal
Akhirnya, apat disebut beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi oleh
sebuah laporan evaluasi atau karya kritik sastra yang ideal.
1. Kritikus harus menunjukkan dalam kritik dan dalam suatu uraian umum, fungsi
yang mana yang diharapkan dari sastra dan kriteria mana yang
dipergunakannya.
2. Kritikus harus menjelaskan kriteria dengan menunjukkan contoh-contohnya.
Misalnya, kriteria “orisinalitas” harus diperjelas, orisinalitas jika dibandingkan
dengan apa; sebuah penilaian seperti “memikat” harus ditolak karena tidak
dapat dikontrol.
3. Kritik harus dapat dibuktikan dengan menunjukkan data dati teks sastra yang
dikaji.
40
4. Menggunakan kriteria sedapat mungkin sehingga saling melengkapi. Sebuah
penilaian negative yang menitikberatkan pada moral, seharusnya diperkuat
dengan argumentasi structural, misalnya dengan mengamati pemakaian
bahasanya.
5. Kritik harusnya memeperhatikan argumentasi structural: bentuk karya seni
yang disebut sastra itu menuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam
bentuk tertentu.
6. Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan menempatkan karya itu di
dalam keseluruhan karya-karya pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu
jenis sastra tertentu aliran tertentu (Lexemburg, 1984: 73).
41
DAFTAR RUJUKAN
Rachmat, D. P. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Jogya: Gadjah Mada University Press.
Semi, A. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asih Asah Asuh.
Tarigan, H. G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.