Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
V(lum~1
1
"nurul UUD 19 5
ri linasi ..
ngan 1 1:i)
dl\Cldslcan
lempert . _uprem~i Hukum Jalam PI' lmp a runent den an l till t ng d pank n A pek l1uk'Ullm 'a
MAHKAMAH KONSTITUSI LEMBAGA NEGARA PENGAWAL KONSTITUSI
ISSN 1829·7706
111111111111111111111111111111 9 771829 770696
RIRNAL KONSTITIISI P3KP UNIVERSITAS JAMBI Vol. I, No.1, November 2012
Pengantar Redaksi V
o Mempertegas Supremasi Hukum dalam Proses Impeachment
dengan Lebih Mengedepankan Aspek Hukumnya
Rozali Abdullah .
o Negara Hukum dan Pemberhentian PresidenlWakil Presiden Menurut UUD 1945
Musri Nauli......................................................................................................................................... 15
o Refleksi Konstitusional HAM Perempuan
Perempuan Desa dan Kemiskinan StrukturalDiskriminasiyang Terabaikan
Elita Rahmi 31
o Islam dan Negara di Indonesia
(Hubungan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan UUD 1945)
Chrisdianto Eko Purnomo.................................................................................................................. 51
o Hak Konstitusional Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Desa Pakraman)
Dalam Pengelolaan LPD di Bali
I Made Dedy Priyanto :,.................................. 75
o Penguatan Eksistensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam Undang Undang Dasar 1945
I Nyoman Ngurah Suwarnatha 97
Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resml MK & Pengelola Jurnal
JumallonstilDsl, Vol. I, No.1, NOlJember 2012 iii
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
o Perwujudan Hak Konstitusional Warga Negara Melalui Hak Atas Bantuan Hukum
Ni Luh Gede Yogi Arthani 119
o Konflik Norma Terkait Kewenangan BPK atas Harta Benda Wajib Pajak
(Telaah Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU·VI/2008)
Johannes Johny Koynja........ 139
o Undang·Undang yang Tidak Berlandaskan Pada Cita Hukum Pancasila dan Implikasinya
Sri Handayani Retna Wardani 173
Biodata Penulis 197
Ketentuan Penulisan Jurnal Konstitusi 201
JtmUlIll.onslllUsi, Vol. I, No.1, November 2012
JmIaI ~ bahasim ~-"-bd-...l.
J-fn.t- GIIiI.. II",l
L 5
Dr r •
iv
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
HAK KONSTITUSIONAL KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT (DESA PAKRAMAN) DALAM PENGELOLAAN LPD DI BALI
I Made Dedy Priyanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah lembaga keuangan yang dikelola oleh desa adat di Bah. Hak mengelola LPD merupakan hak konstitusional desa adat dalam mengelola harta kekayaannya. LPD memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa adat. Namun sejumlah kasus menunjukkan bahwa LPD tidak memiliki manajemen resiko yang mampu melindungi nasabahnya. Oleh sebab itu dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama 3 Menteri dan Surat Keputusan Gubernur BI pada tanggal 7 September 2009 yang mengalihkan bentuk LPD ke dalam bentuk badan hukum keuangan tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa. Aturan ini tentunya tidak sesuai dengan landasan filosofi didirikannya LPD. Pembentukan LPD bukan hanya dilandasi oleh kepentingan ekonomi saja melainkan juga kepentingan sosio-kultural masyarakat di Bali. LPD tidak dapat dipersamakan dengan lembaga keuangan yang berorientasi keuntungan. Dengan demikian diperlukan solusi untuk menjamin eksistensi desa pakraman dalam mengelola LPD.
Kata Kunci: hak konstitusional, desa pakraman dan LPD
Jurnal Konstitusi Vol. I, No. 1, November 2012 75
P3KF UNIVERSITAS JAMBI
ABSTRACT
Institutefor Rural Villages/ Lembaga Perkreditan Desa (LPD) is afinancial institution run by the traditional village in Bali. The right to manage LPD is the constitutional rights ofthe unity of costumary law community in managing their wealth. LPD provides a major contribution in improving the welfare of costumary law community. However, some cases show that LPD does not have risk management to protect customers. Therefore issued a joint decree of three Ministers and Central bank govemor decree on 7 September 2009 LPD shape shift into a particular form of corporate finance, rural banks (BPR) or cooperatives or village-owned enterprises. This rule certainly does not fit with the foundation philosophy ofthe establishment ofLPD. LPD formation is not only based on economic interests but also the socio-cultural interests ofthe people in Bali. LPD can not be ecfuated with profit-oriented financial institutions. Thus we need the Solutions to ensure the existence of costumary law community in managing the LPD.
Key Words: constitutional rights, traditional village and LPD.
A. PENDAHULUAN
Penetapan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta Surat
Keputusan Gubernur Bank Indonesia (SKB 3 Menteri dan SK Gubernur BI)
pada tanggal 7 September 2009 yang menyertakan Lembaga Perkreditan Desa
(selanjutnya disingkat LPD) sebagai lembaga keuangan mikro yang harus
mengalihkan bentuk perusahaan kedalam bentuk badan hukum keuangan
tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha
Milik Desa, telah menyebabkan pro-kontra, khususnya di propinsi Bali.
Sebagian pihak setuju agar LPD dirubah menjadi lembaga perbankan karena
kinerja dan pengelolaan LPD yang dinilai menyerupai bank sehingga dapat
diawasi dan dikelola sesuai aturan perundang-undangan perbankan. Disisi
lain terdapat pihak-pihak yang tidak setuju hal tersebut karena apabila LPD
dirubah maka konsep LPD yang didirikan oleh dan untuk masyarakat desa
pakraman serta unsur adat yang melekat selama ini akan menjadi hilang.
Penilaian pemerintah terhadap pengelolaan LPD secara mandiri oleh
desa, dinilai tidak memberikan jaminan terhadap pengembalian
76 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
dana masyarakat apabila LPD mengalami pailit/bangkrut karena tidak
mengikutsertakan lembaga penjamin simpanan. Pengelolaan dana LPD juga
sangat rentan diselewengkan pimpinan atau pengurus LPD karena
kurangnya pengawasan dari desa yang masih menggunakan sistem
kepercayaan dan kekeluargaan dengan kurang memperhatikan asas
kehati-hatian, adanya LPD-LPD yang menerima masyarakat (nasabah) dari
luar desa pakraman sehingga mempersulit desa dalam pemberian sanksi
adat, serta pertanggungjawaban terhadap kerugian masyarakat yang masih
tidak jelas mekanismenya dalam revisi Perda LPD pada tahun 2007.
Fenomena adat Bali yang mengusung kearifan lokal di satu sisi konflik
dengan hukum nasional disisi lain. Desa pakraman menjadikan pasal 18 B
ayat (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD 1945) sebagai
dasar pijakannya untuk mempertahankan LPD karena mentafsirkan pasal
tersebut sebagai hak konstitusional. Di sisi lain, Pemerintah menjadikan
pasal 33 UUD 1945 serta perundang-undangan terkait dengan perbankan
dan perusahaan daerah sebagai dasar untuk merubah sistem pengelolaan
LPD. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut maka diperlukan landasan
pengaturan yang kuat terhadap pengakuan hak masyarakat hukum adat
dalam pengelolaan LPD
B. PEMBAHASAN
1. Konstruksi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Tradisionalnya
Hak konstitusional masyarakat hukum adat merupakan hal penting
dalam menunjukkan eksistensi mereka di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Wacana mengenai perlindungan hak konstitusional
masyarakat hukum adat, sebenarnya telah dibicarakan kurang-lebih
empat puluh tahun yang lalu, yaitu melalui seminar- seminar dan
simposium yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), Lembaga Swadaya Masyarakat, serta pemerhati hak-hak
masyarakat hukum adat, baik nasional maupun internasional.
Kesadaran masyarakat internasional terhadap perlindungan
masyarakat hukum adat dilatarbelakangi oleh diskriminasi
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012 77
P3KF UNIVERSITAS JAMBI
dan penggusuran masyarakat asli dari tanah mereka sehingga
menghalangi mereka untuk mendapatkan hak-hak persekutuan untuk
membangun sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-
keinginan mereka sendiri.1 Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
mereka sebagai vulnerable groups dianggap membutuhkan suatu
perlindungan khusus. Hal ini senada dengan Konvensi ILO No. 169
tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries,
yang pada artikel ke dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah
seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak asasi
dan kesempatan yang sama melalui peraturan hukum baik di tingkat
nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan lainnya.
Kemajuan yang dicapai pada tataran internasional ini telah menciptakan
suatu situasi yang menguntungkan bagi perlindungan hak masyarakat
hukum adat pada tataran nasional.
Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konstitusional yang
lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya di
Indonesia, baru terealisasi saat era reformasi (setelah tahun 1998). Salah
satu upaya perjuangan terhadap pengakuan hak-hak konstitusional
masyarakat hukum adat saat itu adalah dilakukannya Kongres
Masyarakat Hukum Adat Nusantara (KMAN) yang digelar di Jakarta
pada tanggal 15-22 Maret 1999. Kongres ini, selain menetapkan bahwa
17 Maret sebagai hari kebangkitan masyarakat adat Nusantara, terdapat
beberapa poin penting yang dihasilkan, yaitu:
1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan
kehidupan Masyarakat Adat yang utama.
2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada
tempat bagi kebijakan Negara yang berlaku seragam sifatnya.
3. Jauh sebelum Negara Berdiri, masyarakat adat di Nusantara
telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu sistem
kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri,
oleh sebab itu Negara harus menghormati kedaulatan
Masyarakat Adat ini.
4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia
1 Deklarasi PBB, 2007, Hak Asasi Masyarakat Adat, diterjemahkan oleh: Sem Karoba, (Yogyakarta,
Galangpress, 2007), hlm. 10.
78 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
yang tidak berbeda dengan mahluk manusia yang lain. Oleh
sebab itu, warga Masyarakat Adat Juga berhak atas kehidupan
yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku.
Untuk itu segala tindakan negara yang keluar dari kepatutan
kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan
yang dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri.
5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan,
Masyarakat Adat Nusantara wajib untuk saling membantu demi
terwujudnya kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan
berdaulat.2
Menindak lanjuti Deklarasi tersebut, dibentuklah Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang telah banyak melakukan
kegiatan-kegiatan terkait perlindungan hak masyarakat adat, serta
memperjuangkan konstitusionalitas hak-hak masyarakat adat dan
pelaksanaannya.
Pada tahun 2000, Negara Republik Indonesia mengadakan
perubahan amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang
menambahkan dua pasal pengakuan hak masyarakat hukum adat, yaitu: Pasal 18 B Ayat (2) yang menyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dan Pasal 28 I ayat (3): "Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban". Kedua ketentuan ini merupakan pengakuan yuridis
konstitusional yang menjadi pedoman dalam pengaturan pada
peraturan perundang-undangan di bawahnya serta peraturan kebijakan
lainnya.
2 Abdurrahman, "Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Yang Terabaikan Dan Memerlukan
Perlindungan Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, BPHN (Tahun Ke II Edisi IV)", http://
bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=public&id=2011092210474619, diakses tanggal 14 April
2012.
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012 79
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
Terjadi perbedaan istilah antara "masyarakat adat" yang dikenal dan
pada umumnya digunakan oleh para pemerhati masyarakat adat disatu
sisi dengan istilah "kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat" yang
digunakan dalam UUD 1945. Dalam berbagai literatur asing, istilah
masyarakat adat sering dipergunakan sebagai terjemahan dari indigenous
peoples, sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat merupakan
terjemahan dari rechtsgemeenschap dalam kajian hukum adat dan hukum
agraria.
Terkait dengan hal ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007, menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya
ketentuan UUD 1945 mengenai apa yang dimaksud dengan "kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat" yakni:
a. Masih hidup.
Kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan
secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-
tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang
warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) adanya
pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/ atau
benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat.
Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.
b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:
1) Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang
berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai- nilai yang
dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik
undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral,
seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah.
2) Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati
oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
80 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia. c. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan Prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak
mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu:
1) Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. d. Ada pengaturan berdasarkan undang-undang.
Undang-undang yang dimaksudkan adalah undang-undang
general maupun dalam undang-undang sektoral, termasuk juga
Perda.
Masyarakat hukum adat dipandang sebagai suatu komunitas
antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami
suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis
dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang
pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama dan
mepunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara
dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya serta tidak mempunyai
posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.3
Kesatuan masyarakat hukum adat memiliki dua unsur penting yakni
penguasa adat yang diakui dan harta kekayaan bersama khususnya
harta kekayaan berupa tanah, tempat pemujaan (Pura), serta usaha yang
dikelola (LPD).
Merujuk pada ketentuan Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 maka yang diakui, dilindungi dan dipenuhi hak-hak tradisionalnya
adalah kesatuan masyarakat hukum adat bukan masyarakat adat
ataupun masyarakat hukum adat. Pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan hak tradisional hanya diberikan kepada 3 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat,
(Jakarta: Komnas HAM Press, 2007), hlm. 9.
' Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. l, November 2012 81
t
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
masyarakat adat yang memiliki struktur organisasi, memiliki harta
kekayaan, memiliki pengaturan sendiri. Kondisi ini menunjukkan
masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Ada
beberapa kriteria untuk menentukan masyarakat hukum adat yaitu:
a. Kriteria objektif:
1) Merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banyak
bersifat homogen.
2) Mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah
maupun rohaniah, dengan suatu wilayah leluhur (homeland)
tertentu atau, sekurang-kurangnya dengan sebagaian wilayah
tertentu.
3) Adanya suatu identitas budaya yang khas, serta sistem sosial
dan hukum yang bersifat tradisional, yang secara sungguh-
sungguh diupayakan mereka untuk melestarikannya.
4) Tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan
sistem politik yang ada.
b. Kriteria subjektif:
1) Identifikasi diri (self identificatiori) sebagai suatu komunitas
antropologis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk secara
aktif memelihara identitas diri mereka itu.
2) Dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologis
tersebut sebagau suatu komunitas yang terpisah.4
Masyarakat hukum adat tersebut harus tergabung dalam satu
kesatuan. Pertama, dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat
adalah berdiri sendiri, tetapi dari segi kultural masyarakat hukum adat
yang bersangkutan merupakan bagian dari komunitas antropologis
yang lebih besar yang disebut etnik atau suku bangsa. Kedua, sebagai
komunitas antropologis yang lebih besar, etnik atau suku bangsa selain
terdiri dari masyarakat hukum adat yang masih berdiam di tanah
leluhurnya juga mencakup warga masyarakat hukum adat perantau
yang walaupun tidak lagi berdiam di tanah leluhur mereka tetapi masih
merasa mempunyai dan memelihara ikatan historis, kultural, sosial dan
psikologis dengan masyarakat
4 Ibid., hlm. 9-10.
82 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. X November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
hukum adat tersebut. Ketiga, antara sesama warga etnik terdapat
jaringan komunikasi sosial yang berlanjut, baik bersifat formal maupun
bersifat informal.
Pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak tradisional kesatuan
masyarakat hukum adat merupakan konsekuensi dari negara hukum.
Pada dasarnya, pangakuan hak asasi manusia merupakan syarat mutlak
dalam negara hukum sebagai suatu konsep yang dipilih dan dianut
Indonesia sejak kemerdekaan. Untuk itu dalam merancang
Undang-undang Dasar 1945, para Pendiri Negara mengakui eksistensi
masyarakat hukum adat yang bersifat asli termasuk hak ulayat mereka.
Pendirian ini dilanjutkan oleh Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 yang dipersiapkan sejak Tahun 1948. Namun pengaturan ini
masih jauh dari harapan pemerhati kesatuan masyarakat hukum adat
karena tidak secara tegas mengatur mengenai hak-hak kesatuan
masyarakat hukum adat secara holistik, serta tidak diatur kewajiban
Negara dalam dalam menjamin pemenuhan hak- hak tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pengakuan terhadap hak kesatuan masyarakat
hukum adat ini tidak dilaksanakan secara konsisten. Hal ini dapat
disebabkan karena:
1. Ketidakmengertian pemerintahan pusat tentang kemajemukan
kultural masyarakat Indonesia serta implikasinya.
Ketidakmengertian ini terlihat pada pengaturan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang
menyamaratakan pemerintahan desa menurut model pemerintahan
desa di pulau Jawa, namun di Bali sendiri, tidak serta merta
melaksanakan peraturan ini karena fungsi pemerintahan dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, diambil alih oleh
Desa (di wilayah pedesaan) atau Kelurahan (untuk perkotaan),
sehingga dengan demikian praktis seluruh kesatuan masyarakat
hukum adat itu mati. Di Bali, Desa sebagai kesatuan hukum adat
tetap hidup karena, meskipun tidak lagi melaksanakan fungsi
pemerintahan, ia memiliki fungsi lain yang berkaitan dengan
adat-istiadat dan agama (Hindu). Pada masa inilah mulai muncul
istilah Desa Adat dan Desa Dinas untuk
Jurnal Konstitusi, Vol. 1, No. 1, November 2012 83
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
membedakan bahwa Desa Dinas adalah kesatuan masyarakat
hukum adat (fungsi pemerintahan) sedangkan Desa Adat adalah
bagain dari sistem pemerintahan. Namun demikian pengaturan ini
telah menyebabkan tumpang-tindih kewenangan antara Desa Dinas
dan Desa Adat, karena keberlakuan kewenangan dari dua Desa
tersebut acapkali tertuju pada orang, wilayah, dan hal yang sama.
Karenanya, dapat dimengerti kalau kerap terjadi gesekan dalam
pelaksanaan kewenangan dimaksud.5
2. Kurangnya wawasan masyarakat terhadap hukum adat sebab belum
tersedia hukum adat secara tertulis.
3. Belum adanya kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk
memberikan pengakuan hukum terhadap eksistensi Masyarakat
hukum adat.
Dua sebab terakhir yang disebutkan, tidak terjadi di Bali karena
wawasan masyarakat tentang hukum adat telah terpenuhi melalui
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Utama Desa Pakraman
(seluruh Bali), serta Majelis Desa Pakraman (di setiap desa di Bali). Hal
inilah yang menyebabkan kesatuan masyarakat hukum adat Bali masih
hidup sampai saat ini, disamping juga karena agama, adat dan budaya
telah menyatu dalam kehidupan masyarakat secara turun- temurun
serta terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah daerah maupun
lembaga-lembaga adat.
Selama ini, baik dalam ketentuan normatif maupun dalam
literatur-literatur hukum adat sangat jarang dijelaskan mengenai apa
yang dimaksudkan dengan hak tradisional masyarakat hukum adat.
Ketiadaan kajian mengenai hak tradisional masyarakat hukum adat
menimbulkan kesulitan bagi masyarakat hukum adat untuk mengetahui
haknya apalagi untuk memperjuangkan haknya tersebut. Hak-hak
masyarakat hukum adat dapat dibedakan menjadi tiga yakni hak
perseorangan sebagai warga negara, hak kolektif sebagai masyarakat
hukum adat dan hak atas pembangunan. Ketiga jenis hak masyarakat
hukum adat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
5 Made Nurbawa, 2012, Pembahasan RUU Masyarakat Adat Vs Peta Kasus Di Bal, http://metrobali.
com/?p=4476, diakses tanggal 14 April 2012. Top of Form
84 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
a. Hak perseorangan sebagai warga negara, sebagai warga negara,
warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi manusia yang
sama dengan warga negara lain.
b. Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat. Sebagai suatu
komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak
kolektif, yang diperlukan baik untuk eksistensi dan identitas
kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan
potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan
yang lebih tinggi, terutama hak atas ulayat.
c. Hak atas pembangunan. Hak-hak tersebut di atas merupakan bagian
dari hak atas pembangunan, yang menurut Deklarasi PBB tentang
Hak Atas Pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO Tahun 1089
tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat di
Negara-negara Merdeka, terdiri dari:
1) Hak untuk mementukan nasib sendiri (right of internal self
determination).
2) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (right ofparticipation).
3) Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi
(right to food, health, habitat and economic security).
4) Hak atas pendidikan (right to education).
5) Hak atas pekerjaan (right to work).
6) Hak anak (right ofchildren).
7) Hak pekerja (right of workers).
8) Hak minoritas dan masyarakat hukum adat (right ofminorities
and indigenous peoples).
9) Hak atas tanah (right to land).
10) Hak atas persamaan (rights to equality).
11) Hak atas perlindungan lingkungan (right to enveronmental
protection).
12) Hak atas pelayanan administrasi pemerintahan yang baik (right
to admistrative due process).
13) Hak atas penegakan hukum yang adil (right of the rule of law).6
6 Ibid., hlm. 10-11.
Jurnal Konstitusi, Vol. I No. 1, November 2012 85
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
Walaupun telah diakui, namun pemenuhan yuridis konstitusional
sebagai kewajiban pemerintah terhadap masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisionalnya tidak dapat serta-merta diatur dalam pelbagai
hukum nasional di Indonesia. Kondisi tersebut disebabkan karena
keseluruhan sistem hukum positif nasional yang berkembang selama ini
bukan saja tidak memberi legal standing kepada masyarakat hukum adat,
tetapi sebaliknya pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan,
peraturan serta keputusan yang secara efektif telah menegasikan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya itu.7
Konstitusi sendiri hanya mengatur dengan tegas hak-hak asasi
manusia individu melalui sepuluh pasal (pasal 28A-J), namun ketentuan
mengenai hak-hak asasi kesatuan masyarakat hukum adat hanya diatur
dalam pasal 28 ayat I (3). Hal ini sangatlah memprihatinkan mengingat
konstitusi merupakan norma dasar bagi terbentuknya norma-norma
hukum lain dibawahnya. Mengingat kesatuan masyarakat hukum adat
yang merupakan manusia-manusia yang menyatukan diri dalam satu
wilayah, maka seharusnya hak-hak asasi kesatuan masyarakat hukum
adat diatur juga dalam konstitusi.
2. Hak Pengelolaan LPD Sebagai Hak Konstitusional Masyarakat Hukum
Adat (Desa Pakraman)
Kebutuhan ekonomi masyarakat yang semakin pesat menimbulkan
gagasan khususnya didaerah pedesaan (desa) untuk mendirikan
lembaga pembiayaan mandiri. LPD lahir dari gagasan tersebut yang
kemudian mendapatkan dukungan pemerintah Provinsi Bali dengan
mencetuskan suatu gagasan untuk membantu desa pekramaan
khususnya dalam melaksanakan fungsi cultural. Upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Bali ini ditindak lanjuti dengan ditetapkannya
Surat Gubernur Nomor 972 tertanggal 1 November 1984, tentang
pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD), pada setiap desa adat. Oleh
karena jumlah desa adat pada saat itu lebih dari 1000 desa adat, maka
pembentukan LPD dilakukan dalam bentuk
7 Ibid., hlm. 5.
86 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
proyek percontohan dan dibentuk diseluruh kabupaten di Bali8.
Surat Keputusan Gubernur Nomor 972 tertanggal 1 November 1984
ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Perda Provinsi Bali
Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (Perda LPD).
Perda ini dibentuk berdasarkan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali
sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
(tentang Pemerintahan Daerah), jo. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
38 Tahun 2007 (tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah Daerah, Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah/Kota)
Pengaturan semacam ini dianggap membuat LPD menjadi lembaga
keuangan kultural, yang dibentuk dalam visi dan misi kultural, dalam
sifat yang sangat khas, karena dibentuk oleh desa pekeraman, beroprasi
diwilayah desa pekeraman, dan terbatas melayani lembaga desa
pakraman9.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa saja pembangunan LPD ini
tidak hanya melihat dari segi sosial-ekonomi saja, melainkan juga harus
memperhatikan perkembangan corak cultural-religius, yang disebabkan
dasar pembangunan dari LPD itu sendiri berdasarkan dari awig-awig
desa pekeraman itu sendiri. LPD desa pekraman merupakan milik dari
komunal desa pekraman, dibentuk dan dikelola oleh dan untuk kerama
desa, berdasarkan hukum adat {awig-awig). Berorientasi pada
pemenuhan dan pelaksanaan kewajiban kerama desa dalam kehidupan
skala dan niskala.10 Hal ini sejalan dengan ketentuan Perda Nomor 8
Tahun 2002 Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa LPD merupakan
badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha
dilingkungan desa untuk kerama desa11.
Pengaturan mengenai LPD terbagi menjadi dua (2). Aturan tidak
tertulis dalam awig-awig desa, serta aturan tertulis pemerintah. Aturan
tidak tertulis desa pakraman menyebabkan terjadinya pluralisme
hukum karena diatur berbeda-beda di setiap desa pakraman.
8 I Nyoman Nurjaya, et. al., Latidasan Teoritik Pengaturan LPD, (Denpasar, Udayana University
Pers, 2011), hlm..3.
9 Ibid., hlm. 4.
10 Ibid., hlm.. 5.
11 Ibid., hlm.63.
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012 87
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
Sedangkan peraturan tertulis pemerintah (Perda LPD) dibentuk
berdasarkan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali sebagaimana diatur
didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintahan
Daerah), jo. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 (tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah Daerah, Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah/Kota) menjadikan LPD sebagai lembaga
keuangan kultural, yang dibentuk dalam visi dan misi kultural, dalam
sifat yang sangat khas, karena dibentuk oleh desa pakraman, beroprasi
diwilayah desa pakraman, dan terbatas melayani lembaga desa
pakraman12. Sehingga kewenangan desa ini merupakan implementasi
dari otonomi desa pakraman. Wirtha Griadhi dan Widnyana
mengemukakan bahwa otonomi desa pakraman meliputi:
(1) Kewenangan menetapkan aturan hukumnya sendiri yang disebut
awig-awig;
(2) Kewenangan menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman
secara mandiri; serta
(3) Mempunyai kewenangan persoalan-persoalan hukum (wicara) yang
terjadi di lingkungan wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran
hukum maupun sengketa.13
Selain pijakan pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945,
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup di Bali
juga mempunyai dasar lain untuk memperjuangkan hak-hak yang
seharusnya diatur dalam konstitusi serta memperjuangkan
pemenuhannya oleh pemerintah. Dasar lain yang dimaksud adalah
Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat yang disahkan pada
tanggal tanggal 13 September 2007 di New York. Istilah yang digunakan
dalam Deklarasi ini adalah "masyarakat adat", namun demikian dapat
dipersamakan (analogi) dengan istilah "kesatuan masyarakat hukum
adat" karena Indonesia adalah salah satu Negara yang menyatakan
mendukung Deklarasi ini, sehingga peristilahan yang berbeda tidak
akan mengurangi makna dari hak asasi kesatuan masyarakat hukum
adat, serta tidak akan mengurangi dukungan
12 Ibid., hlm. 4.
13 I Wayan Sudantra dan A.A. Gede Oka Parwata (ed), 2009, Wicara Lan Pamidanda: Pemberdayaan Desa
Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Edisi Revisi, (Denpasar: Udayana University Press),
hlm. 38.
88 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
Negara terhadap Deklarasi. Ketentuan-ketentuan terkait hak-hak asasi
kesatuan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan LPD diantaranya:
a. Pasal 18, menentukan bahwa masyarakat adat berhak untuk ikut
serta dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang
berpengaruh terhadap hak-hak mereka melalui wakil-wakil yang
mereka pilih, serta berhak untuk mempertahankan dan
mengembangkan lembaga pengambilan keputusan tersebut. 14
Terkait dengan LPD, maka seharusnya wakil kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat di Bali (Majelis Utama Desa
Pakraman) dilibatkan dalam pembuatan SKB 3 Menteri dan SK
Gubernur BI mengenai peralihan status badan hukum LPD. Karena
lembaga ini berwenang untuk mewakili desa-desa pakraman.
b. Pasal 20, yang pada intinya menetapkan bahwa:
1. Masyarakat adat berhak mempertahankan dan
mengembangkan sistem atau lembaga politik, ekonomi, dan
sosial mereka, agar merasa aman dalam memanfaatkan alat-alat
mereka sendiri untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan
pengembangan, dan untuk melibatkan diri secara bebas dalam
segala kegiatan tradisional maupun ekonomi mereka.
2. Apabila terjadi perampasan terhadap hak-hak dari alat-alat
yang mencukupi hidup mereka dan pengembangan, mereka
berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang adil dan jujur.15
Sehingga berdasarkan ketentuan ini, kesatuan masyarakat
hukum adat dapat mempertahankan LPD sebagai badan usaha
keuangan milik desa, yang pengelolaannya berdasarkan prinsip
"dari dan untuk desa". c. Pasal 21:
1. Masyarakat adat berhak, tanpa diskriminasi atas peningkatan
kondisi ekonomi dan sosial, ....(dan seterusnya).
2. Negara wajib mengambil langkah-langkah efektiv, dan apabila
diperlukan pemerintah wajib mengambil langkah-langkah
14 Op.Cit, Deklarasi PBB, 2007 hlm. 24.
15 Op.cit, Deklarasi PBB, 2007 hlm.25.
Jurnal Konstitusi, Vol. I Na. 1, November 2012 89
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
khusus untuk memastikan peningkatan yang berkelanjutan dari
kondisi ekonomi dan sosial mereka....(dan seterusnya).16
Dalam hal ini, pengelolaan LPD oleh kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat di Bali tidak hanya diakui, namun pemerintah wajib untuk
mendukung, serta menjamin pemenuhan hak-hak tersebut sebagai hak
asasi kesatuan masyarakat hukum adat. Untuk itulah diperlukan
pengaturan yang tegas tentang hal ini dalam konstitusi.
Karakteristik LPD merupakan salah satu lembaga atau Badan Usaha
Keuangan Milik Desa (BUKMD) yang bersifat komunitas yaitu, lembaga
milik desa pakraman yang dibentuk dan dikelola langsung oleh desa
pekeraman, menyelenggarakan fungsinya dalam kelembagaan
keuangan desa pekeraman seperti; menerima atau menghimpun dana
dari masyarakat kerama desa, memeberikan pinjaman hanya kepada
kerama desa, dan mengelola lembaga keuangan tersebut, hanya pada
lingkungan desa pekeraman; dan menyelenggarakan fungsi usaha
sebagai lembaga usaha keuangan internal desa pekeraman. Hal ini
berarti hanya krama desa pakraman sajalah yang boleh untuk
melakukan transaksi dengan LPD baik berkenaan dengan
simpan-pinjam dana tabungan maupun hal lain yang berhubungan
langsung dengan LPD. Karakteristik inilah yang menunjukan bahwa
LPD merupakan suatu lembaga komunitas yang dibentuk oleh satu
kesatuan komunitas, yang melayani transaksi keuangan dilingkungan
ataupun untuk kepentingan anggota komunitas, untuk memenuhi
tujuan-tujuan komunitas. Dikatakan sebagai BUKMD karena fungsi
utama LPD adalah kegiatan simpan- pinjam. Untuk menjalankan
fungsinya, LPD juga menggunakan sistem keuangan menejemen seperti
halnya yang diterapkan oleh sistem keuangan pada perbankan. Sistem
keuangan yang modem yang diterapkan LPD yang menyebabkan tidak
sedikit orang mendefinisikan LPD hampir sama dengan bank ataupun
sebagai lembaga mikro lainnya.17
16 Op.cit, Deklarasi PBB, 2007 hlm.26.
17 I Nyoman Nurjaya, et. al., Op.Cit., hlm. 63
90 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
Karakteristik LPD tidat terlepas dari desa pakraman yang
memilikinya. Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Desa Pakraman
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan
tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Terkait dengan unsur "harta kekayaan", dalam ketentuan Pasal 9
ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman
disebutkan bahwa harta kekayaan desa pakraman adalah harta yang
menjadi milik desa pakraman. Milik desa pakraman dikenal dengan
istilah duwe atau druwe desa (duwe = milik atau kekayaan). Milik desa
pakraman ada yang memiliki nilai ekonomi dan ada pula yang tidak
mempunyai nilai ekonomi. Pura dan berbagai perlengkapan upakara
dalam pura yang dimaksud, arela kuburan desa adat, dan lain-lain,
termasuk bagian dari milik desa pakraman yang tidak mempunyai nilai
ekonomi.18 Milik desa adat yang tampak dan mempunyai nilai ekonomi
dapat berupa tanah, bangunan, tabungan, tumbuh-tumbuhan dan
berbagai barang lainnya. Tanah desa terdiri atas tanah pelaba (milik
pura), telajakan pura (tanah-tanah yang ada di sekitar pura), karang
ayahan desa (rumah tinggal penduduk yang tidak termasuk karang
gunakaya atau tanah milik pribadi), sampih dan tangkid (tanah tak
bertuan yang ada di pinggir jurang atau sungai). Duwe dalam wujud
bagunan milik desa, antara lain dapat berupa ruko (rumah toko yang
disewakan), balai wantilan desa, balai banjar, pasar desa dan bagunan
lain yang dibangun desa. Uang milik desa dapat berupa uang tunai dan
tabungan atau deposito.19
18 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, (Denpasar: Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hlm. 58.
19 Ibid., hlm. 59.
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012 91
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
3. Tantangan Desa Pakraman Dalam Pengelolaan LPD
LPD dipandang sebagai bank oleh BI karena kinerja dan sistem
pengelolaan yang menyerupai bank. Oleh karena itu dituntut untuk
menaati semua ketentuan-ketentuan dari perbankan, maka tertanggal 7
September 2009 Gubernur BI bersama-sama dengan Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Koperasi dan UMKM, menerbitkan Surat Keputusan
Bersama Nomor 351.1/KMK.010/2009, Nomor 900-639 A Tahun 2009,
Nomor 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, dan Nomor
11/43A/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga
Keuangan Mikro, yang pada diktum pertama keputusan tersebut
memasukkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro, yang kemudian
harus menaati diktum lain dari keputusan tersebut, yaitu harus
mengalih bentuk perusahaan kedalam bentuk badan hukum keuangan
tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan
Usaha Milik Desa.
Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan keberadaan dan
bentuk hukum LPD bisa jadi mencederai hak konstitusional hukum
adat. Munculnya SKB 3 Menteri dan SK Gubernur BI yang menyertakan
LPD sebagai lembaga keuangan mikro yang harus mengalihkan bentuk
perusahaan ke dalam bentuk badan hukum keuangan tertentu, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa,
telah menyebabkan kesimpangsiuran dalam kedudukan LPD dan
pengelolaan LPD. Apabila ketentuan ini dilaksanakan paksa oleh
pemerintah, maka akan mengurangi dan membatasi hak kesatuan
masyarakat hukum adat yang masih hidup di provinsi Bali.
Dasar pemikiran dari kebijakan pemerintah pada dasarnya dilandasi
pada itikad baik dalam melindungi kepentingan nasabah LPD terutama
mengenai tanggung jawab LPD apabila LPD pailit. Namun kondisi ini
tidak serta merta harus dipahami dengan mengubah bentuk hukum LPD
sebab dengan perubahan bentuk hukum ini akan menyebabkan LPD
akan terbebani dari sisi finansial (pajak). Akibatnya, LPD tidak dapat
lagi menyejahterakan krama desa. Seperti diketahui bahwa selama ini
LPD selalu menjadi sponsor
92 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
dalam penyelenggaraan upacara keagamaan di wilayah desanya.
Kepercayaan masyarakat merupakan kunci keberhasilan LPD.
Apabila warga masyarakatnya tidak percaya terhadap kinerja LPD di
desanya, mereka akan mencari LPD lain yang lebih dapat dipercaya.
Untuk itu, tata kelola LPD perlu mendapatkan perhatian. Awig-awig dan
Perda LPD hendaknya mengatur tugas, tanggung-jawab, hak,
pengangkatan, pemberhentian, sanksi bagi pengurus dan pengawas
internal, serta ketentuan kompensasi. Peran pemerintah daerah dalam
tata kelola LPD adalah sebagai pengawas, serta melakukan pembinaan,
perlindungan dan advokasi terhadap LPD.20 Sejalan dengan hal
tersebut, perlindungan hukum bagi masyarakat dapat dilakukan
melalui dua cara:
a. Perlindungan secara implisit, yaitu perlindungan yang dihasilkan
oleh pengawasan dan pembinaan LPD yang independent dan
efektif, yang dapat mencegah kebangkrutan LPD. Hal ini dapat
dilakukan dengan perbaikan pengaturan, menjaga kelangsungan
LPD sebagai tanggung jawab moral semua pihak, menerapkan
prinsip kehati-hatian, tata cara pemberian kredit yang tidak
merugikan bank dan masyarakat.
b. Perlindungan secara eksplisit, yaitu perlindungan melalui
pembentukan suatu lembaga penjamin simpanan masyarakat yang
akan mengganti dana mereka apabila LPD mengalami kegagalan
dalam pengelolaan.21
Pengelolaan LPD yang dilandaskan pada kearifan lokal justru
menjadi kekuatan dalam meminimalisir resiko penyelewenangan dana
nasabah. Hal ini disebabkan karena sanksi yang dapat dijatuhkan bagi
pengurus LPD bukan hanya sanksi yang diatur dalam hukum nasional
namun juga sanksi adat yang sarat dengan dengan tekanan moral.
20 I Wayan Suartana, Arsitektur Pengelolaan Resiko P Ada Lembaga Perkreditan Desa (LPD), (Denpasar, Udayana
University Press, 2009), hlm.153-154.
21 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, 0akarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm.145-146.
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012 93
P3KF UNIVERSITAS JAMBI
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali masih hidup dan
melekat serta memiliki hak-hak tradisional. Kesatuan (yang harus
dipertahankan keberadaannya) ini disebut Desa Pakraman dan, desa
pakraman memiliki hak tradisional dalam mengelola LPD. Pengelolaan LPD
oleh desa pakraman merupakan implementasi dari otonomi desa dalam
mengelola harta kekayaan desa. Namun hak konstitusional ini potensial
dilanggar dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur BI bersama-sama
dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi dan UMKM yang
memasukkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro. Akibat hukum dari
surat keputusan tersebut adalah LPD harus mengalih bentuk perusahaan ke
dalam bentuk badan hukum keuangan tertentu, Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa. Untuk itulah diperlukan
konstitusionalitas hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagai hak
asasi, sehingga dapat diatur secara lebih mengkhusus dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, baik peraturan yang bersifat makro, mesa,
maupun mikro. Selain itu, diperlukan juga pengaturan yang tegas mengenai
kewajiban pemerintah dalam melindungi serta menjamin pemenuhan
hak-hak asasi kesatuan masyarakat hukum adat dalam konstitusi.
LPD dinilai tidak memberikan jaminan terhadap pengembalian dana
masyarakat apabila LPD mengalami pailit/bangkrut karena tidak
mengikutsertakan lembaga penjamin simpanan. Pengelolaan dana LPD juga
sangat rentan diselewengkan pimpinan atau pengurus LPD karena
kurangnya pengawasan dari desa yang masih menggunakan sistem
kepercayaan dan kekeluargaan. Solusi terbaik dalam mengatasi hal tersebut
bukanlah dengan menjadikan LPD ke dalam bentuk badan hukum keuangan
tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha
Milik Desa namun memperkuat kinerja LPD melahn audit dan penerapan
sanksi adat disamping sanksi formal apabila nasabak dan/atau pengurus
LPD melakukan pelanggaran. Audit ini dilakukan oleh masyarakat/ krama
desa setempat.
94 Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, Notxmfcr
F3KP UNIVERSITAS JAMBI
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali masih hidup dan
melekat serta memiliki hak-hak tradisional. Kesatuan (yang harus
dipertahankan keberadaannya) ini disebut Desa Pakraman dan, desa
pakraman memiliki hak tradisional dalam mengelola LPD. Pengelolaan LPD
oleh desa pakraman merupakan implementasi dari otonomi desa dalam
mengelola harta kekayaan desa. Namun hak konstitusional ini potensial
dilanggar dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur BI bersama-sama
dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi dan UMKM yang
memasukkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro. Akibat hukum dari
surat keputusan tersebut adalah LPD harus mengalih bentuk perusahaan ke
dalam bentuk badan hukum keuangan tertentu, Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa. Untuk itulah diperlukan
konstitusionalitas hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagai hak
asasi, sehingga dapat diatur secara lebih mengkhusus dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, baik peraturan yang bersifat makro, mesa,
maupun mikro. Selain itu, diperlukan juga pengaturan yang tegas mengenai
kewajiban pemerintah dalam melindungi serta menjamin pemenuhan
hak-hak asasi kesatuan masyarakat hukum adat dalam konstitusi.
LPD dinilai tidak memberikan jaminan terhadap pengembalian dana
masyarakat apabila LPD mengalami pailit/bangkrut karena tidak
mengikutsertakan lembaga penjamin simpanan. Pengelolaan dana LPD juga
sangat rentan diselewengkan pimpinan atau pengurus LPD karena
kurangnya pengawasan dari desa yang masih menggunakan sistem
kepercayaan dan kekeluargaan. Solusi terbaik dalam mengatasi hal tersebut
bukanlah dengan menjadikan LPD ke dalam bentuk badan hukum keuangan
tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha
Milik Desa namun memperkuat kinerja LPD melalui audit dan penerapan
sanksi adat disamping sanksi formal apabila nasabah dan/ atau pengurus
LPD melakukan pelanggaran. Audit ini dilakukan oleh masyarakat/ krama
desa setempat.
94 Jurnal Konstitusi, Vol. I No. 1, November 2012
P3KP UNIVERSITAS JAMBI
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, "Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Yang Terabaikan Dan
Memerlukan Perlindungan Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional,
BPHN (Tahun Ke II Edisi IV)", http://bphn.kemenkumham.go.id/
index.php?action=public&id=2011092210474619, diakses tanggal 14
April 2012.
Deklarasi PBB Tahun 1986 Tentang Hak Atas Pembangunan.
Deklarasi PBB Tahun 2007 Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat.
Deklarasi PBB, 2007. Hak Asasi Masyarakat Adat, diterjemahkan oleh: Sem
Karoba, Yogyakarta, Galangpress.
Hermansyah, 2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007. Mewujudkan Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Komnas HAM Press.
Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in
Independent Countries.
Made Nurbawa, 2012, Pembahasan RUU Masyarakat Adat Vs Peta Kasus Di Bal,
http://metrobali.com/?p=4476, diakses tanggal 14 April 2012.
Nurjaya, I Nyoman et. al., 2011. Landasan Teoritik Pengaturan LPD, Denpasar,
Udayana University Pers.
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.
Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan
Desa.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007.
Jurnal Konstitusi, Vol. 1, No. 1, November 2012 95