19
Latar Belakang Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai masukan bagi implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bojonegoro. Kertas kerja ini berupa review terhadap kondisi kabupaten dengan menggunakan data sekunder dan diskusi yang dikembangkan di lapangan. Review ini memuat analisa awal terhadap kondisi sosial-ekonomi warga dan kinerja pemerintah daerah. Dari analisa awal ini diharapkan diperoleh suatu rekomendasi tentang hal-hal yang perlu didalami dan dijadikan pertimbangan untuk kegiatan di lapangan. Kondisi Sosial- Ekonomi 1

Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Latar Belakang

Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai masukan bagi implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bojonegoro. Kertas kerja ini berupa review terhadap kondisi kabupaten dengan menggunakan data sekunder dan diskusi yang dikembangkan di lapangan. Review ini memuat analisa awal terhadap kondisi sosial-ekonomi warga dan kinerja pemerintah daerah. Dari analisa awal ini diharapkan diperoleh suatu rekomendasi tentang hal-hal yang perlu didalami dan dijadikan pertimbangan untuk kegiatan di lapangan.

Kondisi Sosial-Ekonomi

Struktur Ekonomi Kabupaten Bojonegoro

1

Page 2: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Pertanian38.2%

Industri Pengolahan5.8%

Jasa53.7%

Jasa-jasa lain16.1%

Lainnya2.3%

Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan5.5%

Perdagangan, Hotel, & Restoran22.6%

Bangunan4.5%

Pengangkutan & Komunikasi5.1%

Kotak-1. Struktur PDRB Bojonegoro 2006

Meski mayoritas basis ekonomi warga adalah pertanian, separuh lebih Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berasal dari sektor Jasa. PDRB perkapita tahun 2006 Kabupaten Bojonegoro adalah Rp. 8,7 triliun (atas dasar harga berlaku), dimana tiga penyumbang terbesar berturut-turut dalam PDRB harga berlaku adalah: (i) sektor jasa (53.7%); (ii) pertanian sebesar 38,2%, dan (iii) industri pengolahan (5.8%). Dalam 3 tahun terakhir, pola tersebut hampir sama. Berdasarkan harga tetap (konstan), sektor pertanian menyumbang 39,3%1 sedikit lebih tinggi dibanding harga berlaku.

Dominasi hutan negara di tengah pola produksi petani yang lapar lahan. Di tengah mayoritas warga berprofesi sebagai petani, 40,15% luas lahan adalah hutan milik Negara. Lahan sawah (tanah basah) melingkupi 32, 58% dengan total luasan

73,9 ribu hektar, tak banyak berubah sejak tahun 2004 hingga 2006. Strategi ekstensifikasi bagi petani di kawasan hutan merupakan alternatif temporer karena hanya berlaku pada momentum tertentu (pada saat musim tanam hutan produksi) dengan luas yang terbatas.

Nilai tambah per tenaga kerja tertinggi ada di sektor perdagangan, sementara sektor pertanian dan industri tak mengalami peningkatan berarti. Meskipun sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar, akan tetapi perkembangan nilai tambah per tenaga kerja hanya mengalami kenaikan Rp. 0,5 juta per orang sementara sektor perdagangan mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.2 juta per orang berdasarkan harga konstan. Sektor industri, hanya mengalami kenaikan Rp. 0,4 juta per orang. Keterbatasan lahan, pola produksi yang tak berubah jauh dan

1 Angka Sementara menurut Bojonegoro dalam Angka 2006.

2

Page 3: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

0.02

2

0.01

2

0.00

8

0.01

1

0.03

3

0.02

6

0.00

5

0.00

4

0.01

0.010.

02

0.01

0.00

0.01

0.01

0.02

0.02

0.03

0.03

0.04

0.04

2005 2006

PertanianPertambanganIndustriKonstruksiPerdaganganTotal PDRB

Kotak-2. Produktifitas Sektor-sektor Utama 2006

posisi tawar petani yang rendah berpengaruh terhadap rendahnya perkembangan nilai tambah sektor pertanian dibandingkan sektor perdagangan.

Pada tahun 2006, sektor-sektor utama mengalami penurunan daya serap terhadap tenaga kerja, keculai sektor perdagangan yang relatif tetap. Meskipun sektor perdagangan memiliki kenaikan nilai tambah per tenaga kerja relatif tinggi dibanding sektor-sektor dominan lain, kemampuan penyerapan tenaga kerja relatif tetap. Pada tahun 2005 dan 2006, kenaikan 1% pertumbuhan di sektor perdagangan akan disertai dengan penyerapan 0,001% tenaga kerja. Untuk sektor pertanian, pada tahun 2005 kenaikan 1% nilai tambah akan disertai dengan penyerapan 0,022% tenaga kerja, sementara untuk tahun 2006 turun menjadi hanya 0,012% tenaga kerja. Secara keseluruhan, penurunan ditandai juga oleh kemampuan pertumbuhan lokal dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2006, pertumbuhan 1% PDRB disertai oleh keanikan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,01%. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 0,02%.

Sektor pertanian memiliki daya serap tenaga kerja tertinggi, meskipun nilai tambah per tenaga kerja berada di bawah sektor industri dan perdagangan, apa akibatnya? Sektor pertanian di Bojonegoro memiliki kemampuan menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 65 orang (2005) dan menurun menjadi 35 orang (2006) untuk setiap 1% pertumbuhan nilai tambah. Angka ini jauh di atas sektor industri, perdagangan dan jasa lainnya. Penurunan ini juga berlaku untuk PDRB secara keseluruhan, dari 91 orang (2005) menjadi 72 orang (2006) untuk setiap 1% pertumbuhan. Kondisi ini menyebabkan pertambahan tenaga kerja di Bojonegoro hanya meningkat sebanyak 448 orang sementara pertambahan angkatan kerja pada tahun yang bersangkutan mencapai 12.665 orang. Kondisi ini akan menyebabkan

3

Page 4: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Tabel-3.1 Perkembangan Produktifitas dan Daya Serap Tenaga KerjaSumber: Bojonegoro dalam Angka

Kotak-3. Produktifitas dan Daya Serap Tenaga Kerja 2006

40%

4%

20%

7%

14%8%

6%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

Sektor Basis Sektor Jasa

Jasa Lainnya

Keuangan

Perhubungan

Perdagangan

Bangunan

Industri

Pertanian

Kotak-4. Struktur PDRB Bojonegoro 2006 dalam Format Dua Sektor

peningkatan jumlah pngangguran tersebunyi, jumlah tenaga migran dan tenaga kerja yang

terpaksa memasuki sektor informal.

Sektor jasa: mengapa kontribusinya paling tinggi dalam perekonomian?

Nilai tambah sektor jasa yang melebihi sepatuh PDRB mengindikasikan adanya lapis ekonomi yang lepas dari mata rantai sektor basis (discoupled economy). Sektor pertanian dan industri olahan hanya mencapi 44,0% PDRB harga konstan dengan serapan tenaga kerja yang lebih besar (55,2%) dibanding sektor jasa (44,8%). Sebagian nilai tambah sektor jasa yang cukup besar ini terkait dengan kegiatan penyediaan input bagi aktivitas sektor basis, dan sebagian yang lainterkait dengan aktivitas distribusi produk sektor basis maupun produk konsumsi yang didatangkan dari luar wilayah. Jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan hanya memiliki porsi 5,1% dari PDRB. Mengingat porsi sektor jasa yang melebihi sektor basis, diperkirakan terdapat sejumlah besar nilai tambah sektor jasa dengan kegiatan yang terlepas dari mata rantai ekonomi sektor basis. Hingga saat penulisan belum ada studi yang secara spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi hal ini.

Mengapa sektor jasa berkembang lebih pesat dari sektor pertanian? Hingga 2006 (sebelum blok cepu efektif), sektor jasa tumbuh pesat di Bojonegoro dan memberikan sumbangan lebih dari separuh PDRB (53,7%). Perkembangan sektor jasa

4

Page 5: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Kotak-5. Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Komoditi Pertanian Rakyat

> 60% panen Jagung &Kedelai> 60% panen Jagung &Kedelai> 60% panen Jagung &Kedelai> 60% panen Padi> 60% panen Padi> 60% panen Padi

Panen Tembakau

Panen Tembakau Panen Tembakau

ini diantaranya terkait erat dengan: (i) aktivitas sektor pertanian (38.2% PDRB); (ii) belanja pemerintah yang mencapai Rp 702 miliar pada 2006 (8,7% PDRB), dan (iii) transfer dari migran asal Bojonegoro yang mencapai Rp. 12 miliar per bulan (hanya dari migran yang bekerja di luar negeri)2. Ke depan, pertumbuhan sektor jasa ini diperkirakan akan meningkat untuk subsektor yang terkait dengan eksploitasi blok cepu.

Sektor pertanian lokal: dari tekanan pasar global dan hingga dampak oligopoli

Pertanian didominasi oleh lima komoditas utama: padi, jagung, kedelai, kelapa dan tembakau. Gangguan pada lima komoditas utama sektor pertanian akan menekan kehidupan mayoritas war-ga yang berprofesi sebagai petani. Luas lahan panen padi tersebar di seluruh kecamatan dengan total seluas 114,6 ribu hektar dan produksi sebesar 669,7 ribu ton. Jagung menempati posisi kedua dengan luas lahan panen 32,6 ribu hektar. Kedelai pada posisi ketiga dengan luas panen 18 ribu hektar dengan produksi 21,4 ribu ton. Kelapa memiliki luas 8,4 ribu hektar dengan total produksi 3,7 ribu ton dan tembakau seluas 6,8 ribu hektar dengan total produksi 5,2 ribu ton. Lebih dari separuh luas lahan yang ditanami padi mengandalkan sistem tadah hujan. Padi tersebar di seluruh kecamatan dengan lahan seluas 73.92 ribu hektar, di mana 53.39% dari luas itu dapat ditanami lebih dari 1 kali. Seluas 22%

2 Ada sekitar 6 kecamatan kantung kantungTKI, seperti Kedung Adem, Ngasem, Ngambon, Ngraho, Dander dan sebagian di Kalitidu. Dalam catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bojonegoro menyebutkan, jumlah TKI yang berangkat ke daerah Timur Tengah dari kabupaten ini, jumlahnya sekitar 300 orang. Jumlah ini kalah dibanding ke tujuan Negara di Asia Pasifik seperti Hongkong dan Singapura yang jumlahnya mencapai 350 orang. Sedangkan terbesar TKI asal Bojonegoro, ke Malaysia yang mencapai 2000 orang lebih. Sementara jumlah TKI ilegal tahun 2007 lalu, mencapai 11.390 orang, dan yang berasal dari Bojonegoro berjumlah 140 orang; (sumber http://balitbang.depkominfo.go.id)

5

Page 6: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

adalah sawah dengan pengairan teknis, 6.5% berpengairan setengah teknis, 0.5% berpengairan sederhana atas inisiatif masyarakat. Sisanya merupakan sawah tadah hujan. Kecamatan dengan luas panen lahan tertinggi sebagian besar berada di kawasan barat. Produktifitas beragam, mulai dari 4,5 ton/ha hingga yang terbaik mencapai 7,5 ton/ha.

Produksi jagung Bojonegoro kedua terbesar di Jawa Timur. Pada tahun 2006 luas panen tanaman jagung seluas 32.7 ribu ha dan jagung yang dihasilkan sebanyak 123.7 ribu ton. Kecamatan dengan luas lahan jagung yang terbesar ada di area Gondang, Sekar, Tambakrejo, Ngasem, dan Ngraho. Produksi tertinggi tahun 2006 diperoleh kecamatan Ngasem dan Sekar.Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2007 meresmikan pusat pengolahan jagung yang ditempatkan di Kecamatan Dander. Namun sejak diresmikan hingga pertengahan tahun 2008, pusat pengolahan itu vakum. Bulan Oktober 2008, pusat pengolahan tersebut mencuat dan menjadi polemik di publik tentang siapa yang bertanggungjawab untuk mengelolanya. Wacana terakhir, pengelolaan akan diserahkan pada salah satu BUMD milik Pemkab Bojonegoro, yaitu PT. Bangkit Bangun Sarana (BBS).Sehingga, keberadaan pusat pengolahan jagung itu hingga saat ini belum efektif mengelola jagung yang dihasilkan oleh petani Bojonegoro. Secara sederhana, pertambahan nilai dari komoditas jagung tidak terjadi di Bojonegoro, dengan begitu peningkatan ekonomi masyarakat petani jagung tidak terjadi secara signifikan.

Kedelai impor mengganggu stabilitas harga produksi lokal. Produksi kedelai Bojonegoro rata-rata 25 ribu ton per tahun dengan produktifitas rata-rata 11 kwintal per hektar. Meskipun guyuran kedelai import mampu meredam harga kedelai, sayangnya harga kedelai lokal sangat tergantung oleh ketersediaan kedelai import di pasar. Seperti dikutip dari media3, pada 2005, harga jual panen kedelai cukup bagus yaitu berkisar antara 2600-2800 per kg. Namun awal panen tahun 2006 harga jual panen kedelai anjlok mencapai Rp 2.500 dan pada masa panen raya bulan September, harga lebih rendah lagi. Data makro ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia adalah net importir kedelai sebesar 1.16 juta ton per tahun. Produksi kedelai dalam negeri hanya mencukupi 35%-40% dari kebutuhan yang ada. Sementara konsumsi dalam negeri mencapai 2 juta hingga 2,2 juta ton per tahun. Imbasnya, 60% kebutuhan konsumsi kedelai dipenuhi dari impor dengan harga relatif lebih mahal.

3 Jawa Pos 2005 dan 2006

6

Page 7: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Saat ini pemerintah telah

mengembangkan tembakau varietas ViKi

(Virgina kecil) di kecamatan Margomulyo,

Ngraho, dan Tambakrejo. Dengan tembakau

Viki, per hektar lahan dapat ditanami 30.000

batang pohon sementara tembakau Virginia VO

hanya sekitar 15.000 batang di samping

kualitas lebih handal. Jika hal ini dapat

diterapkan di kluster tembakau diharapkan

mampu memperbaiki produktifitas petani

tembakau. Entah mengapa inovasi ini belum

menunjukkan kemajuan yang berarti di

masyarakat.

Dulu para petani tembakau mampu berswadaya membangun jalan dan tem-pat ibadah... Tembakau pernah menjadi sektor andalan kabupaten Bojonegoro, den-gan nilai tambah lebih tinggi dibandingkan komoditi utama lainnya, dengan harga harga jual kering berkualitas bagus mencapai 165 ribu per kg. Saat dipanen, tem-bakau cukup menyerap tenaga kerja. Di masa kejayaan tembakau (5-6 tahun yang lalu), komoditi ini memberikan kesejahteraan yang berarti bagi petani. Pada periode ini petani tembakau mampu berkontribusi secara swadaya dalam memperbaiki jalan, membangun tempat ibadah.

Kini, harga jual jatuh karena kebutuhan akan uang tunai telah menyebabkan petani tak mampu menahan penjualan. Areal tanaman tembakau pada tahun 2006, tercatat seluas 6.907 hektar. Terjadi penurunan luas areal tanam sebesar 29 persen dari lahan tahun 2005. Pendapatan petani dari budidaya tembakau terus mengalami penurunan4. Ada beberapa penyebab: (i) pembeli semakin selektif terhadap kualitas, sementara petani tak memiliki perubahan pada pola tanam dan sistem pemupukan; (ii) pabrik umumnya memiliki stok minimum dalam satu tahun ke depan, sehingga ketika petani panen, pabrik membeli dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding hasil panen. Di sisi lain, kebutuhan petani terhadap uang tunai menyebabkan petani tak mampu untuk menahan tembakau dalam beberapa bulan untuk meningkatkan kualitas. Akibatnya harga jual sangat rendah dan mempengaruhi animo petani untuk bertanam. Produksi total akhirnya mengalami penurunan dari semula 6-7 ton per hektar menjadi 2.3 ton per hektar untuk musim kemarau pertama dan 1.6 ton untuk musim kemarau kedua. Di sisi lain, perubahan iklim juga ikut mempengaruhi penurunan produksi.

Beternak sapi: dari sumber pendapatan tambahan ke mata pencaharian utama? Peternakan sapi rakyat masih dikelola secara tradisional dengan tingkat populasi 93 ribu di tahun 2006. Bupati Bojonegoro menaruh perhatian khusus pada peternakan sapi ditandai dengan target pengembangan agribisnis sapi, yakni dari populasi 93 ribu ekor pada tahun 2008 menjadi 400 ribu ekor dalam 4 tahun ke depan5 dan telah mengembangkan kerja sama dengan investor untuk merealisasikan ide tersebut. Bank Jatim merupakan lembaga pemberi kredit yang ditunjuk de-ngan skim kredit berbunga 7%6. Sejalan dengan program bupati Bojonegoro, pemerintah melalui Departemen Pertanian mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun 4 idem5 Trobos, Bupati Bojonegoro Prioritaskan Pengembangan Agribisnis Sapi, 01 Juli 2008.6 idem

7

Page 8: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

terpenuhinya kebutuhan daging sapi. Di mana target pemerintah akan mulai menurunkan angka impor. Ini merupakan peluang pasar yang menjanjikan. Saat ini produksi daging sapi dalam negeri baru mampu memasok sekitar 72% kebutuhan nasional, sedangkan populasi ideal untuk mencapai target pasokan 90% adalah sebesar 14 juta ekor. Sehingga masih terdapat selisih kebutuhan 2.8 juta ekor. Kebutuhan juga akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.

Biaya pakan sapi adalah penyumbang tertinggi biaya produksi. Biaya pakan per ekor sapi dapat mencapai 36 % dari total biaya penggemukan sapi. Di sisi lain, pengelolaan limbah pertanian menjadi pakan ternak belum menjadi sebuah entitas bisnis baru yang cukup kuat untuk mendukung target pemerintah Kabupaten, meskipun seluruh bahan baku tersedia di daerah ini. Upaya peningkatan jumlah populasi, dalam 4 tahun ke depan, juga akan meningkatkan kebutuhan akan tersedianya Rumah Potong Hewan (RPH) yang dapat berfungsi sebagai transaksi antar bandar (pedagang besar) dengan para retailer (pedagang pengecer)7. Keberadaan RPH dengan volume kegiatan yang besar dapat menciptakan usaha baru dari produk sampingan berupa kulit dan pemanfaatan limbah.

Industri olahan awalnya mempunyai hubungan yang erat dengan komiditi lokal

Industri tahu dan tempe: permintaan terus meningkat dan belum tergantikan. Dari total usaha yang tercatat, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor ini pada tahun 2001 adalah sebesar 1.213 orang. Dengan hitungan margin nilai produksi terhadap nilai bahan baku tahun tersebut, maka margin industri berbahan baku kedelai tersebut diperoleh sekitar 5,8 Milyar rupiah. Belum ada produk subtitusi yang dapat menggantikan lauk olahan ini. Ini menunjukkan bahwa industri ini punya kesempatan untuk berkembang. Dengan asumsi 75% penduduk kabupaten Bojonegoro memakan 2 gram tahu/tempe dalam setahun, maka kebutuhan tahu/tempe mencapai sekitar 6.000 ton per tahun. Data tahun 2001 menunjukkan volume produksi hanya mencapai 2.800 ton per tahun, dengan kata lain masih terdapat kebutuhan sebesar 3 ton bagai usaha baru yang dapat menyerap tenaga kerja baru. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi tahu dan tempe secara ekuivalen akan meningkat.

7 Bambang Winarso, et al. Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Timur, Forum Penelitian Agro Ekonomi 2005

8

Page 9: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Industri olahan kedelai lokal tumbuh pesat, tapi tidak terkait kuat dengan produksi pertanian lokal. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bojonegoro tahun 20018, industri berbasis bahan baku kedelai cukup banyak ditandai dengan 557 usaha industri kecil dengan nilai investasi antara 1,8juta hingga 350 juta per kecamatan, yang tersebar di 19 kecamatan. Kebutuhan kedelai tahun 2001 sebesar 1600 ton. Saat ini, terdapat 270 unit pengusaha tahu dan 1.735 unit pengusaha tempe. Dari jumlah itu, pengusaha berskala besar sekitar 10 unit, sisanya pengusaha kecil yang berada di pelosok desa. Kebutuhan kedelai setiap tahun sekitar 3.392 ton9. Pada tingkat kebutuhan tersebut, kebutuhan kedelai sebetulnya sepenuhnya dapat dipasok oleh produksi lokal, yaitu hanya 15% dari total panen. Namun belum ada sistem pemenuhan kebutuhan kedelai industri olahan dari produksi kedelai lokal. Hal ini dapat dilihat dari kolapsnya beberapa usaha tahu tempe saat harga kedelai dunia naik tajam. Rantai pasokan kedelai untuk industri tahu-tempe mengikuti pasar bebas harga kedelai dunia, karena pasokan utama berasal dari kedelai import.

Fluktuasi harga kedelai impor: tenaga kerja adalah pihak yang paling dirugikan. Margin pendapatan pengusaha sangat tergantung pada fluktuasi harga komoditas kedelai yang mengikuti pasar dunia. Fluktuasi margin secara langsung akan merugikan pengusaha yang dampaknya akan berusaha menekan biaya operasi. Imbasnya, pihak yang dirugikan adalah tenaga kerja, yaitu berupa penundaan pembayaran sebagian atau pemotonga terhadap upah para pekerja.

Dampak tekanan pada sektor pertanian dan industri olahan lokal di era desentralisasi

Kebijakan desentralisasi telah menyebabkan perubahan orientasi kebijakan pembangunan dari kebijakan pembangunan sektoral yang menjadi wewenang pemerintah pusat menjadi kebijakan pembangunan yang berorientasi spasial dan regional. Perubahan orientasi pembangunan tersebut disertai meningkatnya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah berdasar aspirasi masyarakat (Kuntjoro, M, 2004).

8 Daftar Sentra Industri Kecil/ Kerajinan Kabupaten Bojonegoro tahun 2001, Dinas Perindag Kab. Bojonegoro

9 Jawa Pos 26 Februari 2008

9

Page 10: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Wilayah IKM rank Wilayah IKM rankNgawi 28.10 11 Tuban 24.80 10Tuban 26.20 13 Lamongan 24.60 12Indonesia 25.20 - Bojonegoro 24.10 13Bojonegoro 24.60 14 Indonesia 22.70 -Lamongan 24.50 15 Jawa Timur 21.70 -Jawa Timur 23.40 - Ngawi 22.60 17Madiun 22.30 19 Madiun 20.90 20Jombang 22.90 18 Jombang 20.50 23

1999 2002

Kotak-6. IKM Bojonegoro 1999-2002

Diskresi dalam perencanaan enganggaran daerah yang meningkat dan membuka peluang terjadinya variasi pengambilan keputusan belanja publik, kendati umumnya alokasi untuk belanja yang telah bersifat rutin (personal, operasi dan pemeliharaan) cenderung menghabiskan porsi terbesar dalam struktur anggaran daerah.

Indeks kemiskinan manusia tinggi, sementara belanja pemerintah secara alamiah memperkuat posisi kelas menengah bojonegoro. Tekanan yang dialami oleh sektor pertanian dan industri olahan lokal telah menyebabkan indeks kemiskinan manusia di Bojonegoro mencapai angka 24.10, pada tahun 2002. Angka ini telah menyebabkan Bojonegoro menempati peringkat ke-13 tertinggi di Jawa Timur pada tahun 2002. Pada tahun 2006, kemiskinan Bojonegoro berada pada peringkat ke-3 di Jawa Timur, sedang pada tahun 2007, Kabupaten Bojonegoro peringkat kemiskinan ke-5 tertinggi di Jawa Timur dengan jumlah penduduk miskin

sebanyak 576.927 Jiwa (Berdasar data penduduk miskin dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Masyarakat/ Jamkesmas 2008). Di sisi lain, kebijakan otonomi daerah telah memberikan oto-ritas belanja yang lebih tinggi pada pemerintah

daerah diban-dingkan periode sebelum kebijakan de-sentralisasi diberlakukan. Pada tahun 2006, komposisi belanja pemerintah mencapai 13,5%10 dari PDRB, dimana 79,8% di-dominasi oleh belanja personel, belanja operasi dan belanja pe-meliharaan. Tingginya kompo-sisi ini telah memunculkan para pihak yang terkait langsung dengan belanja pemerintah sebagai pengisi kelas menengah dalam struktur sosial lokal. Ini memberikan dampak cukup besar terhadap kegiatan konsumsi lokal yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya sektor jasa, terutama di ibu kota kabupaten.

10 Data realisasi anggaran bersumber dari laporan audit BPK terhadap APBD Bojonegoro 2006

10

Page 11: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

22%

7%

33%

8%

20%6% 4%

makanansosialpendidikankesehatankeperluan rumah tanggamodal usaharekreasi

Pola Konsumsi atau Pengeluaran Masyarakat Perkotaan

Pengeluaran masyarakat yang berada di wilayah perkotaan lebih banyak diinvestasikan pendapatannya pada pendidikan anak-anak mereka. Hal ini bisa dipahami dari mata pencaharian mereka, dimana sebagian besarnya adalah sebagai pegawai negeri dan swasta. Tentunya, investasi sumberdaya manusia sangat menentukan atas pencapaian maksimal dalam pekerjaan mereka. Disamping itu, bagi kebanyakan masyarakat, pekerjaan sebagai pegawai, terutama pegawai negeri, masih menjadi tujuan utama. Selain status sosial yang diperoleh, masyarakat menilai bahwa pegawai negeri mendapat jaminan kesejahteraan yang ‘aman’ hingga hari tua.Kebutuhan rumah tangga masyarakat kota juga cukup besar, karena dengan pendapatan yang cukup tinggi, mereka bisa lebih konsumtif daripada orang atau masyarakat pedesaan. Misalnya, jenis peralatan dapur, pakaian, kendaraan dll dibeli dengan harga lebih mahal dan variasi yang lebih banyak. Disamping itu, tersedianya berbagai macam barang di kota, membuat masyarakat mudah untuk membelinya. Grafik disamping juga menunjukkan bahwa, hubungan diantara masyarakat kota lebih individual. Hal ini bisa dilihat dimana hanya 6 % dari pengeluaran mereka yang digunakan untuk kebutuhan sosial seperti iuran kampung dan sumbangan. Masyarakat kota juga sudah mengalokasikan pengeluarannya untuk rekreasi, dimana hal ini tidak ditemukan pada masyarakat pedesaan.

Sumber : Hasil Studi lapangan Oxfam 2008

Kondisi itu mempunyai perbedaan yang menonjol dengan pola konsumsi atas pendapatan yang diperoleh masyarakat pedesaan. Misalkan masyarakat petani dengan sistem tadah hujan, Makanan dan kebutuhan sosial seperti, arisan, tahlil, buwoh menempati porsi tertinggi dalam pola pengeluaran masyarakat zona tadah hujan. Dalam satu tahun, kebutuhan sosial cukup significant, terutama ketika masa panen tiba. Disamping itu, kebutuhan rumah tangga, seperti kebutuhan sehari-hari

11

Page 12: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

selain makanan, perlengkapan rumah tangga, serta memperbaiki rumah menjadi pengeluaran yang tak dapat diabaikan bagi mereka.

Untuk modal pertanian maupun modal usaha masyarakat pedesaan mempunyai pola yang juga berbeda dengan masyarakat perkotaan. Ketika panen, sebagian hasilnya dibelikan sapi ataupun perhiasan emas sebagai tabungan ataupun persiapan mereka ketika menyongsong masa tanam pada tahun berikutnya.Sedangkan pengeluaran untuk kesehatan relatif kecil, karena mereka terbiasa pada penggunaan obat bebas yang dijual di toko-toko terdekat daripada pergi ke mantri/bidan/puskesmas maupun ke rumah sakit yang kurang terjangkau, baik secara geografis maupun biaya yang harus dikeluarkan.Hasil studi lapangan yang dilakukan oleh Oxfam11 menunjukkan bahwa di semua zona ekonomi klasifikasi kelas menengah berdasarkan persepsi kesejahteraan oleh masyarakat diisi oleh pegawai negeri. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai guru, para medis atau aparat tingkat kecamatan. Posisi sebagai pegawai sektor publik, selain dan sumber penghasilan yang lebih peranen, biasanya menyebabkan mereka memiliki akses terhadap informasi yang lebih baik dibanding warga lain.

Orang miskin di Bojonegoro: dimana, siapa, mengapa dan bagaimana mereka bertahan hidup?

Kemiskinan di Bojonegoro menyebar diberbagai wilayah dan sektor terkait mata pencaharian. Jika wilayah dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan akses dan pemanfaatan lahan, maka terlihat bahwa kemiskinan tertinggi ada di kawasan hutan negara dan wialayah peralihan dengan sistem pertanian tadah hujan 49,19 %. Wilayah yang memiliki akses jalur transportasi utama dan memiliki irigasi teknis 46,48 %. Sedang wilayah seputar ibukota Kabupaten, yaitu Kecamatan Bojonegoro 20,82 %. Tingginya tingkat kemiskinan di kawasan seputar hutan terkait dengan akses terhadap infrastruktur dan pemanfaatan lahan, mengingat mayoritas warga miskin memiliki profesi terkait langsung dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Di kawasan hutan kebanyakan orang miskin berprofesi sebagai buruh lepas hutan produksi. Kegiatan ini bersifat temporer, sehingga mereka terpaksa berpindah-pindah sesuai dengan area tebang dan tanam hutan produksi yang berada dibawah penguasaan PT Perhutani. Sebagian hasil produksi dengan sistem tumpang sari terpaksa dijual murah atau hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari jika 11 Oxfam GB, Livelihood Zone Analysis, Bojonegoro, 2006

12

Page 13: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

kebetulan area tanam tak memiliki akses distribusi yang layak. Masyarakat yang hidup di kawasan sekitar hutan juga merupakan sebagian juga bercocok tanam pada lahan yang mayoritas belum ada irigasi tehnisnya atau masih menggunakan sistem tadah hujan. Kecuali lahan sekitar hutan yang berada di lingkungan waduk pacal. Di kawasan peralihan dan area pertanian sistem tadah hujan orang miskin berprofesi sebagai buruh angkut hasil hutan pada saat ada penebangan, dan pada saat tak ada penebangan mereka beralih menjadi buruh tani, atau mencari kayu bakar ke hutan dan bertani di lahan bersekala kecil. Beberapa diantara mereka bekerja di industri mebel yang memanfaatkan kayu dari hutan tanaman rakyat atau industri olahan yang memanfaatkan kayu-kayu sisa tebangan di hutan (tunggul jati).

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat area pertanian sistem tadah hujan

Di kawasan yang relatif memiliki akses ke jalur transportasi dan pertanian beririgasi teknis kebanyakan orang miskin berprofesi sebagai buruh tani atau petani penggarap berlahan kecil. Kebanyakan hasil produksi mereka hanya mencukupi atau bahkan kurang dari kebutuhan konsumsi sendiri. Beberapa diantara mereka ada yang bekerja pada industri olahan seperti tahu/tempe, tembakau atau ndustri mebel. Gangguan harga produksi biasanya harus ditanggung dengan penundaan pembayaran sebagian upah mereka. Sebagian yang lain menjadi buruh bangunan ketika ada peluang pekerjaan. Posisi mereka yang relatif tak memiliki daya tawar ini relatif bertahan selagi mereka tak memiliki alternatif mata pencaharian yang lebih pasti dalam menghasilkan uangkas untuk kebutuhan sehari-hari.

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Daerah Irigasi Tehnis

13

Page 14: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Di kawasan ibu kota kabupaten orang miskin mengambil profesi sebagai pedagang kaki lima, penarik becak, pekerja bangunan dan supir di beberapa usaha lokal. Sebagian merupakan pendatang, dan di wilayah-wilayah pinggir mereka ada yang masih memiliki lahan pertanian berskala kecil. Selain menggarap lahan sendiri yang sering kali tidak cukup untuk memnuhi kkebutuhan, mereka juga menjadi buruh bangunan atau buruh tani pada pemilik lahan yang lebih luas yang umumnya dimiliki oleh penduduk ibu kota Kabupaten.Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kota

Bagaimana mereka bertahan hidup? Sebagian besar kaum miskin tak memiliki mata pencaharian utama yang menjadi sumber penghasilan tetap. Ini disebabkan karena aset yang mereka miliki tak memadai untuk menjadi sumber penghasilan yang permanen meskipun sangat rendah. Untuk bertahan hidup tidak jarang mereka

14

Page 15: Latar Belakang - jokobaik.files.wordpress.com file · Web viewLatar Belakang. Tulisan ini merupakan kertas kerja perdana bernomor 001-LRP/09/08 yang akan terus disempurnakan sebagai

Tabel 6.1 Sumber Mata Pencaharian Petani Berlahan Sempit (dalam%)Sumber: A. Rozany Nurmana, Peranan Sektor Non Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Berlahan Sempit

Kotak-7. Petani Berlahan Sempit, Bagaiman Mereka Hidup?

harus berhutang ke pengecer kebutuhan pokok yang ada di tempat mereka, dan dalam tempo tertentu mereka dihidupi oleh anggota keluarga yang menjadi migran ke luar wilayah (menjadi pembantu rumah tangga, buruh bangunan, pekerja pada sektor informal, dll.). Pada saat anak-anak mereka membutuhkan transport untuk ke sekolah (umumnya ketika masuk ke jenjang Sekolah menengah yang bertempat di ibukota kecamatan) maka prioritas diberikan kepada anak laki-laki. Jika kebutuhan sudah begitu mendesak, anak mereka harus memilih untuk putus sekolah dan masuk ke pasar kerja berpenghasilan rendah. Ketika ada peluang untuk menjadi tenaga migran ke luar negeri (TKI), mereka akan menjual beberapa aset yang tersisa untuk membiayai uang muka.

Jika ada anggota keluarga yang berhasil menjadi TKI ke luar negeri maka secara perlahan kehidupan akan berubah menjadi sedikit lebih baik. Dari penghasilan anggota keluarga yang menjadi TKI ke luar negeri mereka mulai memperbaiki rumah atau membeli kembali lahan, membiayai produksi dan menutupi kerugian yang dialami jika hasil panen buruk. Jumlah transfer dari TKI di Bojonegoro mencapi 12 Miliar per bulan pada tahun 2007.

15