Upload
ryskylab
View
179
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laringomalasia
Citation preview
LARINGOMALASIA
PENDAHULUAN
Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942.
Laringomalasia merupakan penyebab utama gejala stridor pada bayi.. Kelainan ini dapat
hadir bersama dengan trakeomalasia. Pada laringotrakeomalasia biasanya struktur glotis dan
subglotis normal.1
Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari
kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini
merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa
aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan
gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara
bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam
pemberian makanan.2
Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-75% kelainan laring pada bayi baru lahir
disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fase normal
perkembangan laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun, namun
dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau masa anak-anak1.
Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula
terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur
12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga
membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui.
Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel
selama respirasi spontan.2
1
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laringomalasia menempati urutan
kelainan kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak. Oleh karena itu perlunya
kita mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan mutakhir laringomalasia, sehingga dalam
makalah ini akan dibahas segala aspek penting mengenai laringomalasia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Laringomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur
supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang
menimbulkan gejala utama berupa stridor.2
Gambar Laringomalasia
EMBRIOLOGI
Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median
yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur
laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah
kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan
kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari
tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat
3
dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika
vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang
tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan
perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari
aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.3
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea
dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan
penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme
sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri
dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan
ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,
konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.4
4
Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di
sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal
dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi
oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi
laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.5
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,
krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago
aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh
jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana
kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan
dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah
konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana
kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.3,5
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi
membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima
5
glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea)
pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika
berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis,
sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter.5
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh
aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli
dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang
ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan
melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.5
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa.
Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas.
Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6.
Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah
lateral.3
6
Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.
Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.
krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda
asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai
katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam
menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh
jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh
cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.5
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia marupakan penyebab
tersering timbulnya stridor inspiratoris pada bayi. Insidens laringomalasia sebagai penyebab
dari stridor inspiratoris berkisar antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis
kelamin.6,7
ETIOLOGI
Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari
kelainan genetik atau kelainan embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran,
beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori
besar mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur
kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang
menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah,
sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.5
7
PATOFISIOLOGI
Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya.
Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis
yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-
shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua
kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di
atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang
terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.6
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia yaitu teori anatomi dan
teori neuromuskuler. Menurut teori anatomi terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas
kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis.
Teori anatomi pertamakali disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari
18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan
kelainan kongenital disertai imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir.4
Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa hal ini merupakan kelainan kongenital yang
bersifat otosomal dominan.5 Teori ini didukung oleh penemuan Prescott yang mempelajari
40 pasien dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek dan
8
sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantil yang semuanya bermanifestasi berat dan
membutukan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan laringomalasia,
didapatkan bentuk laring infantil pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis yang melipat seperti
omega dan 5 sisanya memiliki epiglotis normal.6
Pada teori neuromuskuler dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah
terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskuler pada struktur supraglotis. Lebih banyak
peneliti yang lebih setuju dengan teori neuromuskuler dibanding dengan teori anatomi.
Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolaps struktur supraglotis setelah dilakukan
pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa
laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka neurologi.
Peron dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika ariepiglotika setelah mengalami
kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai “laringomalasia didapat”. Dua dari
7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya
fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya laringomalasia pada pada pasien yang mengalami
cerebral palsy, overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21.7
Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai penyebab
laringomalasia. Bibi dkk,5 menemukan PRGE pada 7 dari 11 (63%) bayi dengan
laringomalasia, dan 14 dari 16 bayi dengan laringotrakeomalasia. Sedangkan pada
kepustakaan lain disebutkan PGRE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan
dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan
hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat
pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PGRE akibat perubahan gradien
tekanan intraabdominal/intratorakal.6,7
Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks
gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif
9
yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan
masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan
laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.6
Meskipun laringomalasia merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas
pada bayi, namun laringomalasia dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada
atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika
ariepliglotika ke endolaring dan terjadi obstruksi nafas. Keadaan ini disebut dengan
laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat terjadi
baik pada anak-anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan dianggap asma,
keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom dimana terjadi sesak
nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan fisik yang berlebihan yang tidak
berespons dengan pengobatan β-agonis dan kromolin sodium, namun gejala dapat berkurang
bila latihan fisik dikurangi5.
Laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalasia/EIL) dapat
terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis,
biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan
membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis).
Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago
tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama
inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai
suara dengan nada yang tinggi.6
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan
fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap
perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi
proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat
10
dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang
dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan
bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih
fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar,
dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing
kasus.4
Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid
ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia
umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis
yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan
prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya
sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas
selama periode inspirasi.7
GAMBARAN KLINIS
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan
kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa
tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan menelan yang
merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus7.
Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat
baru dilahirkan. Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan
awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 –
9 bulan. Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya
pada usia 18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas
11
lima tahun. Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki
intensitas yang bervariasi.7
Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi
dapat terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada
saat dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras
stridor.7
DIAGNOSIS
Dari anamnesis dapat kita temukan6
1. Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa
muncul pada minggu 4-6 awal.
2. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya
membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret
nasal.
3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi
infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan.
4. Tangisan bayi biasanya normal
5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang
tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
6. Bayi gembira dan tidak menderita.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan6
1. Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
2. Dapat terlihat takipneu ringan
3. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
4. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang
12
5. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama
pemeriksaan
6. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus
sternalis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan serat
fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan endoskopik yang paling sering
adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi
langsung merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Bilah laringoskop
dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan
diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika ariepiglotik, epiglotis,
dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas, disertai stridor yang sinkron.
Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis berbentuk omega selama inspirasi. 6
DIAGNOSIS BANDING
Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada
anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan
intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan
stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.7
PENATALAKSANAAN
Pada lebih dari 99% kasus,pasien dapat sembuh tanpa tindakan apa-apa. Lesi sembuh
secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada
6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan
bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam hal
ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi mengeluarkan
13
stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan menghindari
tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi
sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan
saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat-obatan
yang dibutuhkan untuk kelainan ini6.
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang
terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan
operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti
dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan7.
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat
dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1,
dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih,
dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan
menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan
cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur
anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi
melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan
sebagian dari epiglottis ke dasar lidah4
PROGNOSIS
Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh
sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien,
gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa
kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini,
biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa. 6
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common
dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006.p. 33-5
2. Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J
Pediatri Otorhinolaryngol. 2008.p.501-7
3. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope
1999.p.1770-5
4. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in
children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001.p. 409-13
5. Huntley C, Carr MM. Evaluation of effectiveness of airway fluoroscopy in diagnosing
patients with laryngomalacia. Laryngoscope. 2010. P. 1430-3.
6. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA (editor). Buku
ajar ilmu kesehatn telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2007: p. 231-236
7. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger JJ, Snow
JB, editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc;
2003. p.1090-95
15