39
BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2015 UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA PENANGANAN ANESTESI PADA KASUS EMERGENSI OLEH : Fahri Dwi Permana 110 208 037 PEMBIMBING: dr. Haizah Nurdin Sp.An-KIC DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 1

Lapsus Anestesi Paling Baru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi

Citation preview

BAGIAN ANESTESIOLOGILAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERANAPRIL 2015

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PENANGANAN ANESTESI PADA KASUS EMERGENSI

OLEH :

Fahri Dwi Permana

110 208 037

PEMBIMBING:

dr. Haizah Nurdin Sp.An-KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2015

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Fahri Dwi Permana

NIM : 110 208 064

Judul Lapsus : Penanganan Anestesi Pada Kasus Emergensi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniterann klinik pada bagian Anestesiologi Fakultas Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Mei 2015

Pembimbing

dr. Haizah Nurdin Sp.An-KIC

1

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien: Ny. I

Umur: 50 tahun

Berat: 50 kg

Pekerjaan: Ibu rumah tangga

Agama: Islam

Alamat: Buakana 8 No. 13 A

No. CM: 118964

Tanggal Masuk RS: 16 April 2015 pukul 23.20

Tanggal Operasi: 18 April 2015

II. KEADAAN UMUM

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah: 120/80 mmHg

Nadi: 96 x/ menit

Suhu: 37,00 C

Respirasi: 18 x/ menit

III. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Perut kembung

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan mengeluhkan perut kembung yang disertai nyeri +/- 2 minggu SMRS. Awalnya pasien juga sempat buang air besar lendir yang disertai darah selama 4 hari. Pasien juga tidak dapat kentut serta mengeluhkan nyeri apabila perut ditekan. Pusing (-), Demam (-), mual (-), muntah (-), penurunan kesadaran (-), buang air kecil normal

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi disangkal

Riwayat batuk lama disangkal

Riwayat asma atau sesak nafas disangkal

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Hipertensi disangkal

Riwayat Diabetes Mellitus disangkal

Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal

Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal

Riwayat penyakit hipertensi disangkal

Anamnesis Sistem

1. Sistem Cerebrospinal: Demam (-), Nyeri kepala (-), pingsan (-), diplopia (-), photophobia (-), epifora (-)

2. Sistem Cardiovascular: Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-), sesak (-)

3. Sistem Respiratorius: Sesak nafas (-), batuk (-)

4. Sistem Gastrointestinal: Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+)

5. Sistem Urogenital: BAK lancar, nyeri (-), panas (-), hematuria (-), BAK tidak puas (-), nokturia (-)

6. Sistem Integumentum: Akral hangat (+), sianotik (-), eritema (-), gatal (-), tangan basah dingin (-).

7. Sistem Muskoloskeletal: Nyeri tulang (-), gangguan gerak (-), penurunan tonus otot (-), pruritus (-).

Kebiasaan / Lingkungan

Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Kepala

Mata:Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm,

Hidung:Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga:Bentuk daun telinga normal, pendengaran normal, sekret (-/-)

Mulut:Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-).

Leher:Deformitas (-), tanda inflamasi (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorak: Inspeksi: dinding dada simetris (+), sikatrik (-)

Palpasi: nyeri tekan (-), fremitus normal kanan kiri, krepitasi (-)

Auskutasi: vesikuler +/+, ronki basah halus -/-, ronki basah kasar -/-, suara jantung S1 dan S2 normal.

Perkusi : sonor, batas jantung normal

Abdomen: Inspeksi: distensi abdomen (+), Darm contour (-), Darm steifung (-)

Auskultasi: peristaltik (+) kesan meningkat

Palpasi : Nyeri Tekan (+)

Perkusi: Hipertimpani

Ekstremitas:

Status Lokalis: deformitas -/-

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. HB: 11,1 g/dl

b. WBC: 6,4 x103

c. RBC: 3,89 x103

d. HCT: 34,0 %

e. PT: 14,9 detik

f. INR: 1,25

g. APTT: 44,8 detik

h. Gol. Darah: O

i. HBsAg: non reaktif

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka:

Diagnosa pre-operatif: Ileus Obstruktif

Status operatif: ASA PS II E

VII. TINDAKAN ANESTESI

Keadaan pre-operarif: Pasien wanita, 50 tahun dengan diagnosa Ileus Obstruktif. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kooperatif, tensi 120/ 80 mmHg, nadi 96 x/ menit, pernapasan 18x/i, suhu 37,0C

Jenis Anestesi: anestesi umum, semi closed, general endotracheal anestesi dengan ETT oral no: 7 respirasi kontrol.

Persiapan praanestesi:

Persiapan khusus : pemasangan pipa nasogastrik sebagai upaya pengosongan lambung dan dihisap secara berkala.

Premedikasi yang diberikan : 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan premedikasi berupa fentanyl 100 mg.

Anestesi yang diberikan:

1. Induksi anestesi ( jam 14.00)

Preoksigenai dengan O2 100% 8 lpm selama 3 menit kemudian dinajutkan dengan induksi digunakan propofol 80 mg. Setelah itu pasien diberi O2 murni selama 1 menit, disusul pemberian atracurium 30 mg dan lidocain 60 mg, setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi melalui oral dengan ETT no. 7, lalu kembangkan cuff. Setelah di cek pengembangan paru dan suara nafas paru kanan dan kiri sama, ETT di fiksasi dan dihubungkan dengan sistem mesin anestesi. Pernafasan pasien dibantu sampai terjadi nafas spontan.

2. Maintenance

Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi O2 3 lpm dan inhalasi Isoflurance 1-1,5 vol %.

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa di kotrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 94-120 mmHg, dan 47-80 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar antara 80-95 x/ menit. Infus RL dan koloid gelofusin 500 ml diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan.

3. Intra Op

Isofluran ditutup diakhir operasi sesaat sebelum jahit kulit terakhir. Lalu pasien diekstubasi setelah pasien sudah sadar, bisa membuka mata dan menurut perintah.

Keadaan post operasi : Operasi selesai dalam waktu 100 menit, Ekstubasi dilakukan bila pasien sudah sadar, bernafas spontan adekuat dan jalan nafas bersih. Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca ekstubasi.

Ruang Rumatan

Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi

- Airway : Clear

- Breathing : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

- Circulation : TD 110/70 mmHg

HR 88 x/i

- VAS : 2/10

Bila pasien tenang dan Aldrette Score 8 tanpa nilai nol, dapat dipindah ke bangsal. Namun, pada kasus ini, pasien langsung dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan pengawasan yang lebih intensif.

Post operasi perawatan ICU;

1. monitoring vital sign

2. analgetik : fentanyl intravena kontinue 15 mcg/jam/syringepump dynastat 40 mg/12 jam/iv

3. maintenance Futrolit 20 tpm

4. terapi lain sesuia TS Bedah Digestif

5. cek Hb post op, darah rutin, Albumin, dan Elektrolit

Program post operasi

Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan:

1. Setelah pasien sadar, pasien harus tidur dengan kepala yang ditinggikan dengan bantal selama 24 jam.

2. Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 30 menit.

3. Bila pasien kesakitan beri ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8 jam.

4. Bila pasien mual-muntah diberi ondansetron 4 mg IV.

5. Bila pasien menggigil beri petidin 20 mg IV.

6. Cairan infuse NaCl, beri O2 lewat nasal.

7. Jika pasien sadar penuh dan peristaltik (+), coba makan dan minum

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM

Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari :

1. Hipnotik

2. Analgesia

3. Relaksasi otot

Indikasi anestesi umum :

1. Infant dan anak usia muda

2. Dewasa yang memilih anestesi umum

3. Pembedahannya luas/ekstensif

4. Penderita sakit mental

5. Pembedahan lama

6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan

7. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal

B. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI

Persiapan pra bedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar dapat mempersiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan baik.

1. Anamnesis

Dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau keluarga pasien (alloanamnesis). Yang harus diperhatikan pada anamnesis :

1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, BB, TB, dll).

2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi.

Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu, berapa kali dan selang waktunya (apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah), penyakit serius yang pernah dialami, juga mengenai malaria, gangguan hati, hemoglobinopati, penyakit kardiovaskuler atau sistem pernafasan. Sehubungan dengan keadaan pasien sekarang, perlu juga ditanyakan toleransi terhadap olahraga, batuk, sesak napas, wheezing, sakit dada, sakit kepala, dan pingsan.

3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis, dll).

Obat-obatan yang berhubungan secara nyata dengan anestesi adalah obat diabetik, anti koagulan, antibiotik, kortikosteroid dan anti hipertensi, dimana dua obat terakhir harus diteruskan selama anestesi dan operasi, tetapi obat-obat lainnya harus dimodifikasi seperlunya.

4. Riwayat alergi.

Catatlah bila ada keterangan mengenai reaksi alergi terhadap obat, juga apakah pasien atau keluarganya pernah mengalami reaksi penolakan terhadap obat anestesi pada masa yang lalu.

5. Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :

1. Merokok : perokok berat ( > 20 batang/hari ) dapat mempersulit induksi anestesi karena merangsang batuk-batuk, sekresi jalan nafas yang banyak atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah..

2. Alkohol : pencandu alkohol umunya resisten terhadap obat-obat anestesi khususnya golongan barbiturate.

3. Meminum obat-obat penenang atau narkotik

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, malnutrisi, edema, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan, apakah pasien sesak atau kesakitan.

1. Breath (B1) : jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas tambahan.

2. Perhatikan jalan nafas bagian atas dan pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat, apkah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil, yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas.

3. Blood (B2) : tekanan darah, perfusi, sara jantung, suara tambahan, kelainan anatomis dan fungsi jantung.

4. Periksalah apakah pasien menderita penyakit jantung atau pernafasan, khususnya untuk penyakit katup jantung (selama operasi dibutuhkan antibiotik sebagai profilaksis), hipertensi (lihat fundus optik) dan kegagalan jantung kiri atau kanan dengan peningkatan tekanan vena, adanya edema pada sacral dan pergelangan kaki, pembesaran hepar atau krepitasi pada basal paru. Lihatlah bentuk dada dan aktifitas otot pernafasan untuk mencari adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis atau kegagalan pernafasan. Rabalah trakea apakah tertarik oleh karena fibrosis, kolaps sebagian atau seluruh paru, atau pneumotoraks. Lakukan perkusi pada dinding dada, bila terdengar redup kemungkinan kolaps paru atau efusi. Dengarkan apakah ada wheezing atau ronchi yang menandakan adanya obstruksi bronkus umum atau setempat.

5. Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat atau perifer, rangsang cahaya, pupil.

6. Bladder (B4) : Produksi urin.

7. Bowel (B5) : makan atau minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik, gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.

8. Bone (B6) : patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa pendarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thorax.

4. Klasifikasi Status Fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesi, karena dampak samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Status fisik pasien digolongkan menjadi 6, yaitu :

1. ASA 1: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia

2. ASA 2: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik ringan atau sedang

3. ASA 3: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, aktivitas lebih terbatas

4. ASA 4: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat

5. ASA 5: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

6. ASA 6: Pasien dengan mati batang otak yang organnya akan digunakan untuk tujuan donor

7. Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan E

Teknik anestesi umum dapat dibagi menjadi 2 :

1. Nafas spontan

2. Nafas Terkendali

Teknik-teknik tersebut dapat menggunakan alat berupa :

1. Sungkup muka

2. Intubasi

3. LMA (laryngeral mask airway)

4. COPA (cuffed oro pharyngeal airway)

5. LSA (laryngeal seal airway)

C. TEKNIK ANESTESI BEDAH DARURAT

Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergency antara lain : keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, menderita cedera ganda/multiple, kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum tegak), riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif (sekitar 8x lebih besar).

Perbedaan-perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan elektif dengan anestesi untuk pembedahan darurat adalah :

1. Bahaya aspirasi dari lambung yang penuh (meningkat 4,5x pada bedah darurat ).

2. Gangguan-gangguan pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal

3. Terbatasnya waktu persiapan untuk mencari data penyerta dan perbaikan fungsi tubuh. Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan.

Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri, sedasi, cemas, syok, persalinan. Problem medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah diabetes, obesitas, hiatal hernia. dan baru saja dilakukan dialisa. Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol, mengalami cedera kepala dan riwayat ingesti yang tidak diketahui.

Pada pasien kasus gawat darurat yang disebabkan oleh trauma seperti pada kecelakaan lalu lintas hipoksia sering terjadi dan penyebab hipoksia umumnya adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru, cedera kepala, cedera luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis, overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin juga sedang mengalami instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai tempat (multiple injury).Hipoksia pada trauma pada umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas, apneu, cidera thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Oksigen supplemental harus diberikan, dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat.

Banyak bedah gawat darurat yang masih dapat ditangguhkan pembedahannya selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih baik/optimalisasi keadaan umum, kecuali pada keadaan-keadaan ini :

1. Kegawatan janin

2. Perdarahan yang tidak terkendalikan

3. Gangguan pernafasan yang sangat berat

4. Cardiac arrest

5. Emboli arterial

Faktor utama agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah kesiapan dalam menangani kejadian akut dan berat. Perencanaan anestesi yang baik, optimalisasi kondisi dan resusitasi yang sesuai diperlukan untuk kondisi durante dan post operasi yang memuaskan.

1. Persiapan

Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah sangat penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat, padahal hal tersebut sering kali ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sedikit banyak mampu membuat pasien menjadi lebih tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai seringkali perlu dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit lain yang belum terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, maupun diabetes.

Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar bedah dan alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan alat untuk ventilasi, oksigensi, intubasi, dan pelengkap lainnnya, monitor, set untuk infus dan transfusi serta cairan, obat-obatan baik obat resusitasi maupun anestesi, defibrilator

a. Lambung penuh

Aspirasi isi lambung ketika induksi anestesi atau ketika akan sadar kembali harus dicegah. Waktu pengosongan akan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (810 jam), gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval waktu antara makan terakhir dengan mulainya sakit tersebut timbul sangat penting sebab lambung akan berhenti bekerja disaat timbul nyeri.

Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan pasien menelan udara sehingga perut menjadi kembung, hal tersebut memudahkan terjadinya regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang nasogastric tube, pengosongan lambung secara sempurna melalui NGT tidak terjamin.

Wanita dalam proses partus harus dianggap mengalami lambung penuh. Partus, rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Partus yang lama menyebabkan jumlah cairan lambung bertambah. Isi perut terdorong ke arah kepala, menekan sfingter kardia dan menyebabkan regurgitasi atau muntah.

Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah mengalami aspirasi. Bila akan melakukan tindakan menguras lambung, maka jalan pernafasan harus diamankan terlebih dahulu dengan endotrakeal tube yang ber-cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak mampu menjamin perlindungan terhadap aspirasi. Posisi kepala juga tidak boleh dinaikan (head up) karena dapat menyebabkan gravitational gradien dari faring ke paru.

Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lambung penuh dan aspirasi selama anestesi, antara lain :

1. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita dimiringkan. Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba dan masih berguna, terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara ini banyak digunakan sebelum dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan bahaya regurgitasi pasif.

2. Intubasi secara sadar dibawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak digunakan di Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang tidak ditolong oleh seorang pakar.

3. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara universal dipraktikkan di Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan suksametonium, intubasi. Induksi berurutan cepat, sekarang kadang-kadang disertai dengan penekanan krikotiroid (perasat Selick) untuk menghalangi terbukanya esofagus.

Beratnya efek dari aspirasi isi lambung ditentukan oleh :

1. pH cairan (makin asam makin berat pneumoninya)

2. volume cairan

3. partikel-partikel dari cairan aspirasi

Tatalaksana aspirasi isi lambung :

1. Head down pasien

2. Segera intubasi, dihisap bersih dan ventilasi positif.

3. Bronkhi dibilas dengan larutan garam steril, 3 - 5 cc dan diventilasi, selanjutnya dihisap ulang sampai bersih.

4. Antibiotika berspektrum luas

5. Bila terdapat spasme bronkhial. Beri hidrokortison 1 gr I.V; Aminofilin 240 mg dilarutkan dengan 250 cc 5% D/W diberikan pelan secara intravena dan segera dihentikan bila timbul aritmia atau hipotensi.

6. Foto rontgen toraks segera dilakukan apabila dicurigai adanya aspirasi. Diulang 6 - 8 jam kemudian bila yang hasil foto rontgen yang pertama negatif. Hal tersebut perlu dilakukan karena ada kemungkinan terdapat delayed aspirasi dan terjadinya akut pneumonia.

2. Penilaian Pasien

Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus menerus sampai menjelang operasi.

Tindakan sedini mungkin memperbaiki ventilasi/ oksigenasi (kalau perlu dengan intubasi dan ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah darurat sangatlah vital karena tindakan ini akan menentukan prognosa pasien.

Trauma sering menyebabkan hipoksemia yang tidak langsung berhubungan dengan kelainan yang harus dibedah secara darurat misalnya trauma kepala, dada muka, leher, syok, sepsis dan sebagainya. Resusitasi pada trauma meliputi 2 fase, yaitu kontrol perdarahan dan perawatan luka.

Evaluasi awal harus meliputi tiga komponen,yaitu penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder :

Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau kritis.

Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary survey) dalam waktu 2-5 menit, yaitu menilai :

A : Airway = jalan nafas

B : Breathing = pernafasan

C : Circulation = sirkulasi

D : Disability = kecacatan

E : Exposure = paparan (Morgan, 2006)

atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu :

B 1 : Breath = pernafasan

B 2 : Bleed = hemodinamik

B 3 : Brain = otak dan kesadaran

Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi, karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan keselamatan penderita.

Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Sedangkan indikasi mutlak untuk dilakukannya intubasi segera antara lain GCS kurang dari 9, ancaman shock, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan membutuhkan sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti jantung. Life support diberikan tanpa menunggu pemeriksaan tambahan yang lain.

Selain ketidakstabilan dalam ABC, juga terdapat kriteria kemungkinan terjadinya ketidakstabilan tulang belakang di leher, antara lain :

a. Nyeri leher

b. Nyeri gerak leher yang sangat berat

c. Tanda dan gejala neurologis

d. Intoksikasi

e. Hilangnya kesadaran

Jika terdapat salah satu tanda di atas, cedera cervikal perlu kita pikirkan, sehingga penatalaksanaan kita juga harus sesuai dengan cedera cervikal.

Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilaian lanjutan (secondary survey) :

1. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. Termasuk didalamnya pemeriksaan terhadap tempat untuk regional anestesi (bila digunakan regional anestesi)

3. Pemeriksaan Penunjang (sesuai indikasi) :

a. Pemeriksaan EKG

Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung dapat pula mengetahui adanya pengaruh fungsi paru terhadap jantung, maupun kelainan elektrolit.

b. Pemeriksaan Radiologis

Meliputi foto rontgen, USG dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan tersebut selain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa juga dapat sebagai pertimbangan adakah kemungkinan penyulit intubasi ataupun penyulit anestesi

c. Pemeriksaan Laboratorium

Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah, serta pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi

d. Tes Faal Paru

Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian kelayakan operasi, seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik.

Memakai spirometer

3. Evaluasi Pasien

Evaluasi meliputi system kardiovaskuler dengan memantau nadi frekuensi, irama, dan kualitas isi nadi tekanan darah, pengisian vena central dan perifer, pengisian kapiler. Bila mungkin memasang kateter vena sentral (vena cava superior) untuk mengikuti perubahan tekanan darah dengan terapi pemberian cairan infus. Rekam EKG untuk menilai adanya aritmia jantung.

Sistem neurologis yang dinilai pertama adalah kesadaran. Bila pasien berada dalam koma sebaiknya segera di intubasi agar jalan nafasnya bebas dan sekaligus untuk mencegah aspirasi isi lambung kedalam paru. Gangguan pernafasan segera dapat ditolong dengan mengendalikan jalan nafas. Cairan sekret dalam trakea juga segera dapat dihisap.

Bila ada dugaan fraktur tulang belakang harus berhati-hati pada tindakan transport, mengangkat pasien agar tidak menjadi lebih parah dan menekan medulla spinalis sehingga gangguan neurologis menjadi lebih berat. Kita harus menggunakan tehnik jaw trust untuk mengamankan airway, sedangkan ekstensi maupun manipulasi leher lainnya sebaiknya dihindari. Tehnik stailisasi pada cedera leher dengan tehnik in line stabilisation.

Pada evaluasi pasien ini didapat dari pemeriksaan fisik yang bermakna yaitu adanya distensi abdomen yaitu disebabkan oleh ileus obstruktif curiga penyebab tumor.

4. Premedikasi

Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan karena tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekeja di kamar bedah emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati, perlahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi akan dilakukan.

Pemberian obat untuk menaikkan PH gaster, menurunkan volume gaster, meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan metoclopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu, tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi selama induksi anestesi.

Obat

Keuntungan

Kerugian

Antasid

Menetralkan pH gaster

Acid-rebound, milk alkali syndrome, menurunkan fosfor.

Antikholinergik

Meningkatkan motilitas GIT, mengurangi sekresi airway

Meningkatkan sekresi lambung, menyebabkan mual

H2-reseptor blocker

Menurunkan produksi cairan lambung : menurunkan volume gaster, meningkatkan pH gaster.

Tidak menurunkan tonus sphincter gastroesofageal

Tidak mempengaruhi volume atau pH isi gaster

Efeknya baru ada bila diberikan 60-90 menit bila diberikan peroral atau IM

Cimetidin dapat menyebabkan aritmia jantung bila diberikan intravena

Dapat menimbulkan bronkhopasme pada pasien asthma

Metoclopramid

Menurunkan volume gaster

Meningkatkan tonus sphincter gastroosophageal

Tidak meningkatkan pH gaster

Dapat menimbulkan sedasi dan gejala ekstrapiramidal

5. Intubasi

Semua pasien emergensi harus dianggap memiliki lambung yang terisi penuh dan harus dilakukan penekanan krikoid selama dilakukan intubasi trakea dan ventilasi. Setelah dilakukan preoksigenasi dan hiperventilasi dengan menggunakan masker secara adekuat, efek yang merugikan dari intubasi terhadap TIK diredam dengan sebelumnya diberikan tiopental 2-4 mg/kg, atau propofol 1.5-3.0 mg/kg.

Induksi cepat (RSI) dengan menggunakan ketamin atau etomidate disertai suksinilkolin sebagai pelumpuh otot, sering dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Pemberian dengan tehnik titrasi (incremental dose) dengan loading cairan sebelumnya mungkin dibutuhkan untuk meminimalisir efek samping kardiovaskuler.

Ketamin dan etomidate dapat diterima jika digunakan dengan sesuai.Ketamin dapat memelihara tekanan darah melalui stimulasi simpatis indirek namun dapat mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada pasien hipertensi kronik dengan deplesi katekolamin.

Etomidate memiliki stabilitas kardiovaskuler yang lebih besar dari semua agen induksi sekunder dan efeknya yang kecil pada sistem saraf simpatis serta refleks otonom. Induksi menghasilkan penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik.

Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg) adalah relaksan otot pilihan untuk menghasilkan paralisis otot dengan onset cepat yang dibutuhkan untuk laringoskopi dan intubasi. Onsetnya kurang dari 60 detik dan durasi aksinya hanya 5-10 menit pada sebagian besar kasus. Rocouronium (1-1,5 mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang lebih baik dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal keamanannya. Rocuronium mampu menghasilkan kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki durasi aksi yang hampir sama dengan vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien dengan difficult airway)

Pada keadaan seperti nyeri, syok, trauma, kehamilan dapat memperlambat pengosongan lambung sehingga tindakan anestesi sering menghadapi bahaya aspirasi dan regurgitasi. Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan anelgesi topical (setempat) adalah tehnik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdarahan usus.

Intubasi sadar dilakukan bila tindakan intubasi diprediksi akan mengalami kegagalan. Intubasi sadar sulit dilakukan pada anak, serta merupakan kontra indikasi relatif pada trauma mata terbuka, trauma kepala atau abdomen terbuka karena dapat merangsang reflek batuk dan mengejan.

D. KOMPLIKASI

1. Hipotensi

Hipotensi adalah penurunan 30 - 35% dari MAP normal. Sebab-sebab hipotensi :

1. Hipovolemia

2. Shock kardiogenik

3. Shock neurogenik

4. Sepsis

5. Hipofungsi atau kegagalan adrenal

6. Kelainan metabolik (misalnya koma diabetikum).

Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 75 cc/kg BB), anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara ini bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi untuk :

1. Tindakan sementara, sebelum darah datang.

2. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai.

3. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi transfusi)

Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita. Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sebagai berikut. :

1. preshock : kehilangan s/d 10%

2. shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat.

3. Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.

4. Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan Darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba

Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan pedoman berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda intersisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya tanda-tanda plasma yaitu : takhikardia, oli-guria, hipotensi,shock.

BAB III

KESIMPULAN

Insiden bedah darurat meningkat dari tahun ke tahun. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Pelaksanaan pembedahan darurat memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi karena terdapat perbedaan mencolok untuk persiapan pre operasi darurat dengan elektif. Penanganan awal dimulai dari primary survey (Airway, Breathing,Circulation,Disability, Exposure) hingga secondary survey yang juga meliputi penanganan pada komplikasi kegawat daruratan trauma abdomen yaitu berupa perforasi, perdarahan, syok dan juga peningkatan resiko regurgitasi lambung pada kasus pembedahan darurat.

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik terhadap pasien dan faktor-faktor pembedahan. Sehingga dapat dipertimbangkan pemakaian tehnik anestesi tersebut menurut indikasi karena pada pembedahan darurat, pemakaian anestesi umum memberikan risiko lebih besar dari pada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal tidak lebih kecil daripada anestesi umum.

Daftar Pustaka

Barash, PG., et al. 2001. Clinical Anesthesia 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philladelphia. USA

Darmawan,Iyan., 1991. Analgesi Umum dan Spinal dalam anestesiologi Edisi 9. EGC, Jakarta. Indonesia

Hazinki, MF., et al. 2010. American Heart Association Guidelines for CPR and ECC 2010. Dallas, Texas, USA.

Imarengiaye, C., 2005. Anaesthetic Management Of Surgical Emergencies. Journal of Postgraduate Medicine. Pp : 40-5

Thomas, R.., et al. 2009. Pulmonary aspiration: epidemiology and risk factors. Ann Fr Anesth Reanim. 2009 Mar ;28(3). Pp:206-10

Longnecker, DE., et al, 2008. Anesthesiology. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA

Miller, RD., 2000. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA

Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA

Stoelting, RK., et al. 2005. Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philladelphia. USA