Upload
dimas-anwar
View
611
Download
39
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk infus.
Sdiaan injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak tahun 1660. Akan
tetapi perkembangan injeksi baru berlangsung tahun 1852, khususnya pada saat
diperkenalkannya ampul gelas oleh Limousin ( Perancis ) dan Friedleader ( Jerman ), seorang
apoteker. Injeksi adalah pemakaian dengan cara penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam
tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan ke dalam aliran darah,
ke dalam jaringan atau organ.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan yang hendak kami capai dalam praktikum ini adalah untuk :
1. Memperoleh gambaran mengenai praformulasi suatu zat obat serta membuat dan
mengevaluasi hasil dari sediaan yang dibuat.
2. Mengetahui mengenai pengertian, pembagian, cara pembuatan, perhitungan dosis,
sterilisasi dan penyerahan suatu sediaan obat parenteral, khususnya injeksi.
3. Agar dapat menyalurkan ilmu yang sudah didapat selama perkuliahan dalam bentuk
pengamatan dan penyusunan makalah berdasarkan dasar-dasar teori dalam mata
kuliah teknologi sediaan steril.
1.3 Tujuan Formulasi Sediaan
Formulasi sediaan disusun berdasarkan zat aktif yang digunakan, sehingga perlu
diperhatikan ada atau tidaknya interaksi yang terjadi dengan zat tambahan yang digunakan
agar obat/sediaan dapat digunakan secara efektif dan dapat memenuhi syarat-syarat resmi.
BAB II
PRAFORMULASI
1.1 Tinjauan Farmakologi Bahan Obat
Infus merupakan sediaan yang disyaratkan harus steril. Hal tersebut dikarenakan infus
diberikan kepada pasien secara intravena (melalui pembuluh darah) sehingga apabila
infus tidak steril maka hal tersebut dapat membahayakan pasien. Apabila infus tidak
steril, bakteri maupun virus dapat langsung berada di pembuluh darah dan menyerang
organ tubuh manusia tanpa didahului terjadinya mekanisme penyaringan terlebih dahulu
(Anonim, 2007). Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung
masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam
peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan
memberikan obat oral.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan
intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang
susunan kimiawinya dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur
gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus
dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual
(dibawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak; obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain perlu dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui
injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan yang cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami
hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan
ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun
perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan
mampu mencapai kadar tinggi dalam darah untuk membunuh bakteri.
(Anonim, 2007).
Infus merupakan larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 10 mL yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan dikeluarkan
dalam jumlah yang relatif sama. Rasio air dalam tubuh 57%, lemak 20,8%, protein 17%
serta mineral dan glikogen sebesar 6%. Ketika terjadi gangguan hemostatis
(keseimbangan cairan tubuh), maka harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit (Lukas, 2006).
Infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke
dalam vena dalam volume relatif banyak. (McEvoy, 2002). Pemasangan infus melalui
jalur pembuluh darah vena (peripheral venous cannulation) biasanya dilakukan pada :
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah
terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi
besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika
terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
(Anonim, 2007).
Adapun persyaratan larutan injeksi dan larutan infus adalah:
1. Penyesuaian dari kandungan bahan obat yang dinyatakan dan nyata-nyata terdapat,
tidak ada penurunan kerja selama penyimpanan melalui perusakan kimia dari obat
dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya menginginkan suatu pengambilan
steril, melainkan juga menolak antaraksi antara bahan obat dan materi dinding.
3. Tersatukan tanpa reaksi. Untuk yang bertanggunag jawab terutama:
- Bebas kuman
- Bebas pirogen
- Bahan pelarut yang netral secara fisiologis
- Isotonis
- Isohidris
- Bebas bahan terapung
(Voigt R, 1995).
Keuntungan pemberian sediaan infus intravena, antara lain:
1. Dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja cepat, seperti pada keadaan
gawat.
2. Dapat digunakan untuk penderita yang tidak dapat diajak bekerja sama dengan baik,
tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui oral.
3. Penyerapan dan absorbsi dapat diatur.
(Lukas, 2006)
Sedangkan kerugian pemberian sediaan infus intravena adalah :
1. Dapat menyebabkan terbentuknya trombus akibat rangsang tusukan jarum pada
dinding vena.
2. Pemakaian sediaan lebih sulit dan lebih tidak disukai oleh pasien.
3. Obat yang telah diberikan secara intravena tidak dapat ditarik lagi.
4. Lebih mahal daripada bentuk sediaan non sterilnya karena lebih ketatnya persyaratan
yang harus dipenuhi (steril, bebas pirogen, jernih, praktis bebas partikel).
(Lukas, 2006)
Penggolongan sediaan infus berdasarkan komposisi dan kegunaannya :
1. Larutan elektrolit, contohnya infus asering (Otsuka)
2. Infus karbohidrat, contoh larutan manitol 15-20%
3. Larutan kombinasi elektrolit dan karbohidrat, contohnya infus KA-EN 4 B paed
(Otsuka)
4. Larutan irigasi, contohnya larutan glycine 1,5% dalam 3 liter
5. Larutan dialysis peritoneal, contohnya larutan dianeal 1,5% dan 2,5%, dalam 2
liter sediaan
6. Larutan plasma expander atau penambah darah
a. Whole blood, contohnya darah lengkap manusia yang diambil dari donor
manusia, yang dipilih dengan pencegahan pendahuluan aseptic
b. Human albumin, contohnya infus albumin 20%
c. Plasma protein, contohnya infus plasmanate
d. Larutan gelatin, contohnya infus Haemacel
e. Larutan dekstran, contohnya Otsuran-70 (Otsuka)
f. Larutan protein, contohnya infus Aminofusin L (Primer)
(Lukas, 2006)
Cairan infus dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan tingkat
osmolaritasnya yakni sebagai berikut :
1. Cairan hipotonik : yakni cairan yang daya osmolaritasnya lebih rendah
dibandingkan dengan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan
serum), sehingga larut dalam serum dan menurunkan osmolaritas serum. Maka,
cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi) sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi.
Misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang mebahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakarnial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contoh sediaannya adalah NaCl 45% dan dektrosa 2,5%.
2. Cairan isotonik : osmolaritas cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada
pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
darah terus menurun). Memiliki rasio terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah
cairan Ringer-Laktat (RL) dan normal saline/ larutan garam fisiologis (NaCl
0,9%).
3. Cairan hipertonik: cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya dekstrose 5%, NaCl 45% hipertonik, dextrosa 5% + RL,
dextrosa 5% + NaCl 0,9%, produk darah dan albumin.
(Arifilanto, 2011).
Tabel. 1 Tabel data osmolaritas larutan
> 350 Hipertonis
329 – 350 Sedikit hipertonis
270 – 328 Isotonis
250 – 269 Sedikit hipotonis
0 – 249 Hipotonis
Secara umum, keadaan–keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan
infus adalah adanya pendarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah), trauma abdomen berat, patah tulang khususnya di bagian panggul
dan paha, serangan panas (kehilangan cairan tubuh dan dehidrasi), diare dan demam,
luka bakar luas, semua trauma kepala, dada dan tulang punggung (Arifilanto, 2011).
1.1.1. Farmakokinetik
1.1.2. Indikasi
Nutrien & pengobatan asidosis yang berhubungan dengan dehidrasi &
kehilangan ion alkali dalam tubuh.
1.1.3. Kontraindikasi
Gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, edema paru yang disebabkan oleh
retensi Natrium & hiperproteinemia, hipernatremia, hiperkloremia, hiperhidrasi.
1.1.4. Perhatian dan Peringatan
Anak-anak,lansia, penderita hipertensi & toksemia pada kehamilan.
Jangan diberikan bersamaan dengan transfusi darah.
Pemakaian jangka panjang.
1.1.5. Efek samping
Demam, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis (radang
pembuluh balik) pada tempat penyuntikan, hipervolemia (bertambahnya volume plasma
darah yang beredar).
1.2 Tinjauan Sifat Fisiko – Kimia Bahan Obat
1.2.1. Natrium Klorida (NaCl)
A. Sinonim
Sodium Klorida
A. Bobot molekul
58, 44
B. Struktur Molekul
C. Kegunaan
Bahan aktif Infus Saline dan dapat sebagai agen tonisitas
D. Deskripsi
Sodium klorida berupa serbuk kristal putih, kristal tak bewarna, dan
mempunyai rasa asin. Struktur kristal kubik. Sodium klorida padat tidak
mengandung air dari kristalisasi. Pada suhu dibawah 00C garam dapat
mengalami kristalisasi membentuk dihidrat.
E. pH
6,7 – 7,3
F. Titik didih
14390C.
G. Titik Lebur
8010C
H. Stabilitas
Fase air dari larutan NaCl adalah stabil tetapi dapat terjadi pemisahan apabila
digunakan wadah glass tipe tertentu. Larutan NaCl dapat disterilisasi dengan
autoklaf atau filtrasi. NaCl padat stabil dan harus dismpan dalam wadah
tertutup baik pada tempat yang dingin dan kering.
- Stabilitas terhadap cahaya
Tidak stabil, simpan pada tempat yang terlindung cahaya
- Stabilitas terhadap suhu
Sifat bakteriostatik dari injeksi natrium klorida harus dijaga dari
pendinginan (McEvoy, 2002)
- Stabilitas terhadap pH
pH : 4,5 –7(DI 2003 hal 1415) 6,7-7,3 (Kibbe, 2000)
I. Kesetaraan E elektrolit :
1 g ≈ 17,1 mEq
J. Inkompatibilitas
Fase air dari larutan NaCl bersifat korosif terhadap logam. Dapat bereaksi
membentuk endapan perak dan garam merkuri. Agen pengoksidasi yang kuat
dapat membebaskan klorin dari larutan asam pada natrium klorida. Kelarutan
pengawet metil paraben akan menurun dalam larutan NaCl aquaeus, dan
viskositas dari gel karbomer dan larutan dari hidroksi metil selulosa atau
hdroksi propil hidroksida akan mengalami penurunan jika ditambahkan NaCl.
Serta inkompatibilitas terhadap logam Ag, Hg, Fe.
(Kibbe, 2000).
J. Kelarutan
Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih, dan dalam 10
bagian gliserol P, sukar larut dalam etanol (95%) P (DepKes RI, 1979)
1.2.2. Kalium Klorida (KCl)
A. Sinonim
Potassium Klorida
B. Bobot molekul
74,55
C. Kegunaan
agen tonisitas ; sumber ion Kalium
D. Deskripsi
Kalium klorida berupa serbuk tidak berbau; kristal tidak berwarna; atau bubuk
kristal putih, rasa garam yang tidak menyenangkan.
E. pH
4-8
7 untuk larutan pada suhu 15Oc
F. Stabilitas
larutan KCL dapat disterilisasi dengan autoklaf atau filtrasi. KCl stabil dan
harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tempat sejuk dan kering.
G. Kesetaraan E elektrolit
1 g KCl ≈ 13,4 mEq K
H. Inkompatibilitas
larutan potassium klorida bereaksi kuat dengan bromine triflouride dan dengan
campuran asam sulfur dan permanganate kalium. Kehadiran asam klorida,
NaCl, dan MgCl menurunkan kelarutan KCl dalam air. Larutan KCl
mengendap dengan garam perak dan lead. Larutan iv KCl OTT dengan protein
hidrosalisilat.
I. Kelarutan
praktis tidak larut dalam acetone dan eter; larut dalam 250 bagian etanol 95%;
larut dalam 14 bagian gliserin; larut dalam 2,8 bagian air dan 1,8 bagian pada
suhu 100oC.
1.2.3. Kalsium Klorida
A. Sinonim
Calcii Chloridum
B. Bobot Molekul
147
C. Kegunaan
agen tonisitas ; sumber ion Kalsium. Untuk mempertahankan elektrolit tubuh,
untuk hipokalemia, sebagai elektrolit yang esensial bagi tubuh untuk
mencegah kekurangan ion kalsium yang menyebabkan iritabilitas dan
konvulsi.
D. Deskripsi
Kalsium klorida berupa granul atau serpihan kristal, higroskopis, tidak berbau,
tidak berwarna atau putih
E. pH
4,5 – 9,2 (5% larutan air). larutan 1,7% dalam air memiliki keadaan yang
isoosmotik dengan serum.
F. Stabilitas
Injeksi kalsium dilaporkan inkompatibel dengan larutan IV yang mengandung
banyak zat aktif.
G. Kesetaraan E elektrolit
1 g CaCl2 ≈13,6 mEq Ca++
H. Inkompatibilitas
larutan kalsium klorida bereaksi kuat dengan larutan Karbonat, posfat, sulfat
dan tartrat; dengan amphotericin, cephalothin sodium, Klorfeniramina maleat,
Klortetrasiklin, HCl, Oksitetrasiklin HCl, dan tetrasiklin HCl membentuk
kompleks. Kadang-kadang OTT yang tergantung pada konsentrasi yang terjadi
dengan Natrium bikarbonat.
I. Kelarutan
larut dalam 1,2 bagian air; larut dalam 0,7 bagian air mendidih; larut dalam 4
bagian alcohol; larut dalam 2 bagian alcohol mendidih
1.2.4. Aqua Pro Injeksi
A. Definisi
Air steril untuk injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas
dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan
tambahan lainnya (Depkes RI, 1995).
B. Pemerian
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
C. Sterilisasi
Kalor basah (autoklaf)
D. Kegunaan
Pembawa dan melarutkan
E. Alasan pemilihan
Karena digunakan untuk melarutkan zat aktif dan zat-zat tambahan
F. Cara pembuatan
Air suling segar disuling kembali dengan alat kaca netral atau wadah logam
yang cocok yang diperlengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama
dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok, dan segera
digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus
disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C, segera setelah diwadahkan.
(Depkes RI, 1995)
1.2.5. Attapulgite (Karbon Aktif)
A. Sinonim
Attaclay
C. Kegunaan
Adsorben
C. Aplikasi dalam formulasi / teknologi farmasi
Attapulgite digunakan secara luas sebagai sebuah adsorben dalam bentuk
sediaan solid. Lumpur Koloidal seperti attapulgite mengadsorbsi sejumlah air
untuk membentuk gel dan dalam konsentrasi 2-5% w/v biasanya membentuk
emulsi minyak dalam air. Attapulgite aktif dipanaskan secara hati-hati untuk
meningkatkan kapasitas adsobsinya, digunakan secara terapetik sebagai
alternatif dalam manajemen diare.
D. Pemerian
Serbuk hitam tidak berbau
E. Kelarutan
praktis tidak larut dalam suasana pelarut biasa
F. Stabilitas
Stabil ditempat yang tertutup dan kedap udara
G. Kegunaan
Norit digunakan untuk menyerap bahan-bahan pengotor yang mungkin ada
H. Konsentrasi Penggunaan
0,1-0,3%
I. Alasan pemilihan
Norit inert sehingga tidak bereaksi dengan zat aktif.
(Depkes RI, 1995)
J. Stabilitas
Attapulgite dapat mengadsorbsi air sehingga sebaiknya disimpan dalam wadah
kedap udara dalam lokasi yang sejuk dan kering.
K. Inkompatibilitas
Attapulgite dapat menurunkan bioavailabilitas dari beberapa obat seperti
loperamid, dan riboflavin. Oksidasi dari hidrokortison ditingkatkan dengan
adanya attapulgite.
(Kibbe, 2000)
BAB III
FORMULASI
2.1 Bentuk dan Formula yang Dibuat
Bentuk dan formula yang akan dibuat adalah, sediaan infus ASERING (Ringer Acetat)
dengan wadah plastik bening bervolume 500 ml.
2.2 Permasalahan
1. Sediaan infus termasuk sediaan steril yang harus bebas pirogen, di mana bahan baku
yang digunakan belum tentu steril.
2. Sediaan infus harus jernih dan bebas dari partikel kasar (pengotor).
2.3 Pengatasan Masalah
1. Untuk menyerap pirogen dalam sediaan dapat digunakan karbon aktif dalam proses
pembuatannya. Karbon aktif optimal pada suhu 60oC sehingga pencampuran
dilakukan pada suhu tersebut. Dikocok selama 5 hingga 10 menit (Jenkins et al.,
1957) dan dilakukan sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C pada tekanan 15 psi
selama 15 menit.
2. Sediaan infus ditambahkan karbon aktif untuk menjerap partikel-partikel kasar
(pengotor) dalam sediaan infus yang dibuat dan disaring dengan kertas saring hingga
dihasilkan sediaan infus yang jernih dan bebas dari partikel kasar
2.4 Formulasi
FORMULA STANDAR
asering otsuka (MIMS hal 498 tahun 2009)
setiap 1 liter mengandung :
R/ Na+ 130 meq
K+ 4 meq
Cl- 109 meq
Ca2+ 3 meq
Asetat 28 meq
Tetap memakai formula yang sudah ada dan tidak menambah zat tambahan lain
seperti:
Zat pengawet: pengawet tidak diperlukan karena sediaan dilakukan sterilisasi akhir.
Pengatur tonisitas; biasanya ditambahkan zat pengisotoni yaitu dengan tujuan
mencegah ketidakseimbangan elektrolit, mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi,
hemolisa sel darah, dan mengurangi sakit pada daerah injeksi. Kami menggunakan
NaCl sebagai bahan pengisotoni untuk menghasilkan larutan isotonis dalam sediaan.
Pengatur pH (dapar): tujuan digunakannya yaitu untuk meningkatkan stabilitas obat;
mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya; menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan untuk sediaan infuse tidak digunakan
dapar karena dapat menyebabkan larutan agak hipertonis.
2.5 Perhitungan bahan dan isotonis
Formula untuk 1 sediaan dalam 1 liter
Ca2+ K+ Na+
Cl- 3 4 102 109
asetat 0 0 28 28
3 4 130
jumlah yang harus ditimbang untuk 1 liter
1. CaCl2 ( 1g ≈ 13,6 mEq ) → 3 mEq
13,6 mEq x1 g=0,2206 g
2. KCl ( 1g ≈ 13,4 mEq ) → 4mEq
13,4 mEq x1 g=0,2985 g
3. NaCl ( 1g ≈ 17,1 mEq ) → 102mEq17,1mEq x1 g=5,9700 g
4. Na.asetat ( 1g ≈ 7,3 mEq ) → 28 mEq7,3 mEq x1 g=3,8400 g
perhitungan isotonis
B =0,52- {(0,0221 x0,2 )+(0,0298 x 0,43 )+(0,597 x 0,576 )+(0,384 x 0,26)
0,576
= 0,1027 g / 100ml (hipotonis)
a. Perhitungan dan penimbangan bahan
untuk 1 sediaan 500ml (500ml + 20%) = 600 ml
1. CaCl2600 ml
1000 ml x 0,2206 g = 0,1324 g
2. KCl600 ml
1000 ml x 0,2985 g = 0,1791 g
3. NaCl 600 ml
1000 ml x 5,9700 g = 3,5820 g
4. Na.acetat600 ml
1000 ml x 3,8400 g = 2,3040 g
di + kan 5 % karena adanya norit untuk penyerap
1. CaCl2 = 0,1324 g + 5% = 0,1390 g
2. KCl = 0,1791 g + 5% = 0,1881 g
3. NaCl = 3,5820 g + 5% = 3,7611 g
4. Na.asetat = 2,3040 g + 5% = 2,4192 g
5. norit 0,1% = 0,1/100 x 600 ml= 0,6 g
6. aq.pi ad 600 ml
7. NaCl pengisotonis =0,1027 g100 ml
x 600 ml = 0,6162 g + 5%
= 0,6470 g
b. perhitungan dan penimbangan bahan untuk 1 batch (6000 ml = 10
botol @ 500 ml)
1. CaCl2 = 0,1390 g x 10 = 1,3900 g
2. KCl = 0,1881 g x 10 = 1,8810 g
3. NaCl = 3,7611 g x 10 = 37,6110 g
4. Na.asetat = 2,4192 g x 10 = 24,1920 g
5. .norit 0,1% = 0,6 g x 10 = 6,0000 g
6. aq.pi ad 6000 ml
7. NaCl pengisotonis = 0,6470 g x 10 = 6,4700 g
I. ALAT dan CARA STERILISASI
Nama alat Jumlah Cara sterilisasi Waktu
Spatel logam 2 Oven 170⁰ C 30 menit
Pinset logam 1 Oven 170⁰ C 30 menit
Batang pengaduk 2 Oven 170⁰ C 30 menit
Kaca arloji 5 Oven 170⁰ C 30 menit
Cawan penguap 4 Oven 170⁰ C 30 menit
Gelas ukur 2 Autoklaf (115 - 116 ⁰ C) 30 menit
Pipet tetes tanpa karet 2 Autoklaf (115 - 116 ⁰ C) 30 menit
Karet pipet 2 Rebus 30 menit
Corong gelas 1 Autoklaf (115 - 116 ⁰ C) 30 menit
kertas saring lipat
terpasang
2 Autoklaf (115 - 116 ⁰ C) 30 menit
Erlenmeyer 3 Oven 170⁰ C 30 menit
Beacker glass 5 Oven 170⁰ C 30 menit
Botol infus 10 Oven 250⁰ C 30 menit