32
LAPORAN KASUS CEDERA OTAK BERAT Oleh: Nisa Ladyasari H1A 009 019 Pembimbing: dr. Bambang Priyanto, Sp.BS DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

Laporan Kasus - Cedera Otak Berat - Nisa - h1a 009 019_revisi 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

medical

Citation preview

LAPORAN KASUSCEDERA OTAK BERAT

Oleh:Nisa LadyasariH1A 009 019

Pembimbing:dr. Bambang Priyanto, Sp.BS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYABAGIAN / SMF BEDAHRUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTBFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2014

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. HUsia: 55 tahunJenis kelamin: Laki-lakiPekerjaan: WiraswastaAlamat: Batu Kliang, Lombok TengahStatus : MenikahRM: 53 40 59Tanggal MRS: 04 Maret 2014Tanggal pemeriksaan : 04 Maret 2014

B. PRIMARY SURVEY Airway dengan kontrol servikal (C-spine control) : Look: Patensi jalan napas baik, jejas pada daerah servikal (-)Listen:Suara ngorok (+)Feel:Hembusan udara napas dari hidung dan mulut (+)Tindakan yang dilakukan : Bebaskan jalan napas menggunakan tehnik Jaw thrust, pemasangan orofaringeal tube, suction mulut, imobilisasi kepala dan leher dengan memasang Hard Collar Brace. Breathing:Pergerakan dinding dada simetris, RR: 34 x/menit, teratur, retraksi (-), tipe pernapasan torako-abdominal.Tindakan yang dilakukan : Pemberian O2 sungkup 6 lpm Circulation:Nadi radialis teraba, kuat angkat, teratur, N: 121 x/menit, TD: 130/70 mmHg.Tindakan yang dilakukan: resusitasi cairan intravena dengan menggunakan larutan elektrolit isotonik hangat misalnya Ringer laktat atau normal saline 1,5 ml/KgBB/jam yaitu 1,5 ml x 80 Kg = 120 ml/jam.

C. SECONDARY SURVEY1. Anamnesis (Heteroanamnesis)a. Keluhan utamaPasien datang dengan penurunan kesadaranb. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke IGD RSUP NTB dalam kondisi kesadaran menurun sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Kepala pasien tertimpa kayu besar kira-kira 3 jam sebelum masuk rumah sakit, dan langsung tidak sadarkan diri. Pasien di bawa ke klinik swasta terdekat dalam kondisi tidak sadar dan kemudian dirujuk ke RSUP NTB. Ada riwayat muntah sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Muntah terjadi sebanyak 2 kali, muntahan yang keluar berisi makanan dan bercampur darah berwarna kehitaman. Tidak ada riwayat kejang, ada riwayat keluar darah melalui hidung, tidak ada riwayat keluar darah melalui telinga.c. Riwayat Penyakit DahuluTidak ada riwayat cedera kepala sebelumnya, tidak ada riwayat operasi otak sebelumnya, tidak ada riwayat epilepsi, tidak ada riwayat penyakit tekanan darah tinggi, tidak ada riwayat kencing manis, tidak ada riwayat sakit jantung, tidak ada riwayat penyakit asma.d. Riwayat KeluargaTidak ada riwayat penyakit tekanan darah tinggi, tidak ada riwayat kencing manis, tidak ada riwayat sakit jantung, tidak ada riwayat perdarahan yang sulit sembuh, tidak ada riwayat epilepsi.2. Pemeriksaan FisikI. Status GeneralisKeadaan umum:LemahKesadaran:KomaGCS:E1VxM4Tekanan darah:130/80 mmHgNadi:121 x/menit, tidak teratur, kuat angkatFrekuensi napas:34 x/menit, teratur, tipe pernapasan torako-abdominalTemperatur axila:38,1oCBerat badan: 80 Kg

Pemeriksaan Fisik Umuma. KepalaKepala:teraba cephal hematom ukuran 3 x 4 cm pada regio parietal sinistra, tidak tampak vulnus appertum, tidak tampak vulnus excoriatum.Mata:hematom pada palpebra tidak ada, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya langsung -/-, pupil anisokor dengan diameter 4 mm/3mm, bentuk bulat.Hidung:deformitas (-), rhinorrhea +/+Telinga:otorrhea -/-, battle sign (-)b. LeherJejas (-), deformitas tulang belakang leher (-), depresi tulang spinosum (-).c. ThoraksInspeksi:bentuk dan ukuran thorax normal, pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus kordis tidak tampak, jejas (-)Palpasi :pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-), krepitasi (-), iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistraPerkusi :sonor pada kedua lapang paruAuskultasi:cor S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)pulmo suara napas vesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing -/-

d. AbdomenInspeksi:distensi (-), jejas (-), pergerakan aktif (-)Auskultasi:bising usus (+) normalPalpasi :Supel (+), massa (-), hepar dan lien tidak terabaPerkusi :timpani pada keempat kuadran abdomene. Ekstremitas atasKanan :jejas (-), hematome (-), deformitas (-),pergerakan kurang aktif (+), edema (-), akral hangat (+)Kiri :jejas (-), hematome (-), deformitas (-), pergerakan kurang aktif (+), edema (-), akral hangat (+)f. Ekstremitas bawah :Kanan :jejas (-), hematome (-), deformitas (-), pergerakan kurang aktif (-), edema (-), akral hangat (+).Kiri :jejas (-), hematome (-), deformitas (-), pergerakan kurang aktif (+), edema (-), akral hangat (+).

II. Pemeriksaan NeurologisGCS:E1Vx(mayo)M4Kesadaran:Komaa. Pemeriksaan Saraf kranialisNervus kranialis I:Sulit dievaluasiNervus kranialis II: Sulit dievaluasiNervus kranialis III, IV, VI:Posisi bola mata tepat ditengah, refleks cahaya langsung -/-, pupil anisokor dengan diameter 4mm/3mm, bentuk bulat.Nervus kranialis V:Tidak dapat dievaluasiNervus kranialis VII:Tidak dapat dievaluasiNervus kranialis VIII:Sulit dievaluasiNervus kranialis IX:Sulit dievaluasiNervus kranialis X:Sulit dievaluasiNervus kranialis XI:Tidak dapat dievaluasiNervus kranialis XII:Tidak dapat dievaluasib. Rangsangan meningealKaku Kuduk :Tidak dapat dievaluasi Kernig sign : Tidak dapat dievaluasiBrudzinski I : Tidak dapat dievaluasi

c. MotorikMotorikSuperiorInferior

DekstraSinistraDekstraSinistra

PergerakanKurang aktifKurang aktifKurang aktifKurang aktif

KekuatansdesdesdeSde

Tonus Ototdbndbndbndbn

Bentuk ototdbndbndbndbn

d. Pemeriksaan refleks fisiologisRefleks patella:+/+Refleks biseps:+/+Refleks triseps:+/+Refleks tendon achilles: +/+e. Pemeriksaan Refleks patologisRefleks hoffman:-/-Refleks trommer:-/-Refleks wartenberg:-/-Refleks mayer:-/-Refleks babinski:-/-Refleks chaddock:-/-Refleks gordon:-/-Refleks oppenheim:-/-Refleks gonda:-/-Refleks schaefer:-/-f. Pemeriksaan SensibilitasEksteroseptif : - Nyeri : sulit dievaluasi Suhu : sulit dievaluasi Rasa raba halus : sulit dievaluasi

Propioseptif : - Rasa sikap: tidak dapat dievaluasi Rasa nyeri dalam: tidak dapat dievaluasi

Fungsi kortikal: - Rasa diskriminasi: tidak dapat dievaluasi Stereognosis : tidak dapat dievaluasig. Pemeriksaan Fungsi SerebelumGangguan koordinasi: - Tes jari hidung : tidak dapat dievaluasi Tes pronasi-supinasi : tidak dapat dievaluasi Tes tumit : tidak dapat dievaluasiGangguan Keseimbangan: - Tes Romberg : tidak dapat dievaluasi

D. RESUMEPasien, laki-laki, usia 55 tahun datang ke UGD RSUP-NTB dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit setelah kepala pasien tertimpa oleh kayu besar. Ada riwayat muntah sebanyak 2 kali berisi makanan dan bercampur darah berwarna kehitaman. Ada riwayat keluar darah dari hidung.Pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, kesadaran koma, GCS E1VxM4, tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 121 x/menit, teratur, kuat angkat, frekuensi napas 34 x/menit, teratur, tipe pernapasan torako-abdominal, suhu 38,1oC. Didapatkan adanya cephal hematom ukuran 3 x 4 cm pada regio parietal sinistra, refleks cahaya langsung -/-, pupil anisokor, dengan diameter 4 mm/3 mm, bentuk bulat, rhinorrhea (+), otorrhea (-). Pemeriksaan saraf kranialis lain sulit dievaluasi. Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-.Problem list: Trauma- Keluar darah dari hidung Penurunan kesadaran Muntah Frekuensi napas 34x/menit Takikardi (nadi: 121 x/menit) Febris (T: 38,1oC) Refleks cahaya langsung pada mata -/- Pupil anisokorE. DIAGNOSIS KERJA1. Cedera Otak Berat 2. Dehidrasi3. Cephal hematom regio parietal sinistra4. Suspek perdarahan intrakranial hemisfer sinistra5. Suspek fraktur basis cranii

F. PLANNING1. Diagnostik Rontgen: skull AP/lateral, thoraks, servikal CT-scan kepala2. Terapi O2 mask 8 lpm Resusitasi cairan intravena dengan menggunakan larutan elektrolit isotonik hangat misalnya Ringer laktat atau normal salin. Dehidrasi berat yang ditandai dengan adanya gangguan hemodinamik (berupa takikardi, oligouri) sehingga perkiraan defisit cairan adalah 10% BB (10% x 80 Kg = 8 L = 8000 ml)Cara pemberian:a. 50% dari 8 L (4000 ml) diberikan dalam 8 jam pertama dan 50% sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya, ataub. Agar gangguan hemodinamik cepat teratasi, maka 1 jam pertama diberikan RL 20cc/KgBB (20cc x 80 Kg = 1600 cc) dan dimonitoring. Menurunkan tekanan intrakranial:Menggunakan diuretik osmotik. Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat: 1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, 2) tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal, 3) secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan 4) umumnya resisten terhadap perubahan metabolik. Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Contoh golongan ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbid. Adanya zat tersebut dalam lumen tubuli, meningkatkan tekanan osmotik, sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresi bertambah besar. Tetapi untuk menimbulkan diuresis yang cukup besar, diperlukan dosis diuretik osmotik yang tinggi. Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli. Manitol harus diberikan secara IV, jadi obat ini tidak praktis untuk pengobatan edema kronik. Pada pasien payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal. Diuretik osmotik terutama bermanfaat pada pasien oliguria akut akibat syok hipovolemik yang telah dikoreksi, akibat reaksi transfusi, bahan toksik, atau sebab lain yang menimbulkan nekrosis tubuli akut, karena dalam keadaan ini obat yang kerjanya mempengaruhi fungsi tubuli menjadi tidak efektif.Indikasi pemberian manitol biasanya untuk menurunkan tekanan atau volume cairan serebrospinal. Dengan meninggikan tekanan osmotik plasma, maka air dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel. Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria atau pada keadaan oliguria yang tidak responsif dengan dosis percobaan, kongesti atau edema paru yang berat, dehidrasi hebat dan perdarahan intrakranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. Infus manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau kongesti paru.Infus intravena manitol 20%: dosis awal 0,5 1 gr/KgBB; dosis pemeliharaan 0,25-0,5 gr/KgBB setiap 4-6 jam. Dosis awal yang diberikan 40 80 gr

Antibiotik: Diberikan seftriakson, karena merupakan golongan sefalosporin generasi ke tiga karena dapat mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS). Obat ini umumnya aktif terhadap kuman Gram-positif, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama. Waktu paruhnya mencapai 8 jam. Jumlah seftriakson yang terikat pada protein plasma umumnya sekitar 83-96%. Seftriakson yang dapat diberikan dengan dosis 50 mg 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 1-2 dosis, sediaan 1 gr/vial. Pada pasien ini, berat badan 80 kg, maka diberikan seftriakson dengan dosis 4000-8000 mg dibagi 1-2 dosis, maka dapat diberikan 2 g/12 jam.

Analgetik: ketorolac 3% (1 mg/KgBB/6 jam, sediaan 30 mg/ml) ketorolac 3% (1 mg/KgBB/6 jam, sediaan 30 mg/ml). Ketorolac merupakan analgesik poten dengan efek anti-inflamasi sedang. Ketorolac merupakan satu dari sedikit AINS yang tersedia untuk pemberian parenteral. Absorpsi oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit. Bioavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein plasma. Efek sampingnya berupa nyeri di tempat suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing, dan sakit kepala.

Neuroprotektor: piracetam 3 gr (dosis 1,2 4,8 g/hari terbagi dalam 2 atau 3 dosis, sediaan 200 mg/ml.Piracetam adalah neuroprotektor agent yang mempunyai efek vasodilatasi dengan cara memodulasi neurotransmisi serebral.Piracetam yang merupakan derivat dari GABA diketahui mempunyai potensi sebagai antiiskemik, dan dapat mengembalikan perfusi yang abnormal pada kasus stroke dan demensia dan juga menurunkan keruskaan sel yang diinduksi oleh suatu jejas iskemik lokal. Piracetam (2-oxo-1 pyrolidine-acetamid) merupakan golongan nootropic agents yang berbentuk bubuk kristal putih dan tidak berbau. Piracetam bekerja dengan cara meningkatkan efektifitas dari fungsi telensefalon otak melalui peningkatan fungsi neurotransmiter kolinergik. Telensefalon inilah yang mengatur fungsi kognitif pada manusia (memori, kesadaran, belajar dan lain).Fungsi lain dari piracetam adalah menstimulasi glikolisis oksidatif, meningkatkan konsumsi oksigen pada otak, serta mempengaruhi pengaturan cerebrovaskular dan juga mempunyai efek antitrombotik. Oleh karena itu piracetam biasanya digunakan untuk pengobatanstroke, terutama stroke iskemik.Piracetam mempengaruhi aktifitas otak melalui berbagai mekanisme yang berbeda antara lain: 1) Merangsang transmisi neuron di otak, 2) Merangsang metabolisme otak, 3) Memperbaiki mikrovaskular Piracetam di distribusikan melewati sawar otak dan terkonsentrasi pada bagian abu-abu dari korteks serebri dan serebelum, nukleus kaudatus, hipokampus, korpus genikulatum lateral, dan pleksus koroideus. Piracetam di ekskresi melalui urin dan feses, ekskresi melalui urin mencapai 98% oleh karena itu diperlukan perhatian khusus pada penderita dengan gangguan ginjal.

Anti kejang Antikejang diberikan karena insidensi kejang pasca trauma relatif tinggi sehingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang yang timbul akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Antikejang yang dapat diberikan fenitoin. Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan mengubah neurotransmitter asetilkolin, GABA. Absorpsi fenitoin yang diberikan secara per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap, 10% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal, dan kelenjar ludah.Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanya ialah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan absorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi.Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik-klonik dan bangkitan parsial atau fokal. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung.Fenitoin yang diberikan loading dose 10-15 mg/kgBB perlahan-lahan (BB 80 kg = 15 x 80 = 1200 mg). Dosis pemeliharaan : 5 -10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis (BB 80 kg = 400 800 mg/hari)3. Monitoring Keluhan Vital sign Status neurologis4. Edukasi DiagnosisPasien tersebut mengalami trauma pada kepala setelah tertimpa kayu yang besar, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau patahnya tulang tengkorak. Kerusakan atau patahnya tulang tengkorak dan benturan akibat trauma tersebut dapat menyebabkan robek atau pecahnya pembuluh darah pada bagian kepala yang terkena trauma, hal tersebut dapat menyebabkan terkumpulnya darah diantara tulang tengkorak dan lapisan luar pembungkus otak. Terapi:Setelah dipastikan benar terjadi perdarahan pada otak dengan pemeriksaan radiologi, maka akan dilakukan terapi. Tindakan yang akan dilakukan yaitu tindakan berupa pemberian obat-obatan atau tindakan operasi, tergantung dari luasnya perdarahan yang terjadi. Tindakan terapi medikamentosa dengan pemberian obat-obatan akan dilakukan bila perdarahan yang terjadi berukuran kecil ( 1 cm) yaitu pasien akan diberikan terapi obat-obatan dan diobservasi. Namun jika perdarahan yang kecil tersebut berkembang menjadi lebih besar, maka harus dilakukan tindakan operasi. Tindakan operasi juga harus dilakukan jika terjadi perdarahan yang luas (> 1 cm) dan terdapat kelainan neurologis. Tujuan dari operasi yaitu untuk menghilangkan bekuan darah sehingga dapat menurunkan tekanan didalam kepala dan mencegah terkumpulnya darah kembali. Setiap operasi memiliki resiko baik dari resiko ringan seperti infeksi, perdarahan bahkan kematian sehingga keluarga harus bersiap untuk semua kemungkinan yang bisa terjadi

G. PROGNOSISDubia ad malam

H. Hasil Pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Maret 2014 (UGD RSUP NTB)Hb:13,6 g/dlHCT:39,3 %RBC:4,68 x 106/lWBC:29,56 x 103/ lPLT:233 x 103/ l

I. Hasil CT-scan kepala

Gambar 1. CT- Scan Kepala potongan axial

Gambar 2. CT- Scan Kepala potongan coronal dan sagitalGambar 1 dan 2. CT Scan kepala yang di tunjuk dengan anak panah warna merah menunjukan gambaran perdarahan subarakhnoid berupa gambaran hiperdens/perdarahan akut yang ada di ruang subarakhnoid. PEMBAHASAN

Pasien Tn.H, usia 55 tahun mengalami cedera otak setelah kepala pasien tertimpa oleh kayu besar. Hal tersebut didasari oleh definisi cedera otak yaitu trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen.Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal. Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas 3 bagian yaitu cedera kepala ringan apabila GCS 14 - 15, cedera kepala sedang apabila GCS 9 13, dan cedera kepala berat apabila GCS 3 8.Pada pasien ini mengalami cedera otak berat dengan GCS E1VxM4, yakni pasien termasuk dalam kondisi cedera otak berat, dimana kondisi pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan. Cedera otak mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi. Diagnosa dan terapi sangat penting dan perlu dengan segara penanganan. Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat harus dilakukan secepatnya. Pada kasus ini, didapatkan gejala berupa penurunan kesadaran dan muntah. Hasil pemeriksaan fisik, dimana didapatkan GCS E1VxM4, refleks cahaya langsung -/-, pupil anisokor, dengan diameter 4 mm/3 mm, bentuk bulat. Pada pasien kemungkinan terjadi peningkatan tekanan intrakranial.Kenaikan TIK merupakan hal yang menjadi perhatian utama bila kita mendapatkan penderita dengan kelainan intrakranial. Sehingga untuk penatalaksanaan kausatif, sebab-sebab kenaikan TIK sangat penting untuk diketahui. Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10 15 mmHg atau setara dengan 136-204 mmH2O. Yang paling berperan dalam hal ini adalah pulsasi arteri yang secara langsung ditransmisikan ke dalam otak dan melalui pleksus khoroid. Bila terjadi gangguan yang menyebabkan ketimpangan antara volume rongga kepala dengan muatan yang ada di dalam rongga kepala, maka akan menyebabkan kenaikan TIK. Penyebab umum kenaikan TIK antara lain adalah lesi massa (hematom, neoplasma, abses edema fokal), gangguan pada sistem cairan serebrospinalis , obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan ada pula yang idiopatik seperti pada pseudotumor serebri. Penyebab paling sering yang dijumpai adalah cedera otak yang diakibatkan trauma kepala. Pada kasus-kasus cedera kepala berat dimana tingkat kesadaran penderita dibawah 9 menurut Glasgow Coma Scale, sebesar 44% akan mengalami kenaikan TIK hingga melebihi 20 mmHg dan 82% mengalami kenaikan TIK melebihi 10 mmHg. Tingginya tekanan intrakranial ini mempunyai konsekuensi buruknya prognosis penderita, atau dengan kata lain penderita penderita cedera kepala berat sering kali meninggal sebagai akibat dari hipertensi intrakranial.Pada umumnya cedera kepala berat juga akan menimbulkan abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder penderita-penderita cedera kepala, khususnya sehubungan dengan terjadinya morbiditas serta mortalitas yang bermakna. Hipoksia dan hipotensi sendiri akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral. Hipoksia bisa timbul akibat dari adanya aspirasi, obstruksi saluran napas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, tapi hipoksia juga sering terjadi pascacedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas. Yang menjadi dasar patofisiologi fenomena ini adalah pintas pulmoner (pulmonary shunting) dengan penyebab yang masih belum jelas.Insufisiensi respirasi dapat menimbulkan cedera otak sekunder melalui proses lain, yaitu dengan adanya hipoksia dan hiperkarbia dapat menyebabkan dilatasi serebrovaskuler yang selanjutnya akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial serta eksaserbasi efek massa.Edema otak traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis, radiologis maupun gambaran intraoperatif yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala, dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial. Ada beberapa tipe edema otak sehubungan dengan asal cairan dan lokasinya (intraseluler atau ekstraseluler). Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema sitotoksik. Edema vasogenik ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler, dimana tight junction sel endotel kapiler menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah otak sehingga filtrat plasma bocor dari ruang intravaskuler keluar menuju ruang interstisiel terutama di massa putih serebral. Edema sitotoksik atau iskhemik merupakan penumpukan cairan intraseluler. Edema ini akibat dari adanya kegagalan metabolisme energi seluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ketiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi tanpa adanya suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial, atau hipertensi intrakranial. Gangguan aliran darah serebral traumatika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah swelling hipodens difus.Pada pasien ini juga di dapatkan ada riwayat keluar darah dari hidung, sehingga perlu dicurigai terdapat fraktur pada basis kranii akibat suatu benturan. Benturan pada basis kranii (dasar tengkorak) bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan langsung biasanya terjadi di daerah oksipital atau mastoid, sedangkan yang tidak langsung biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya dihantarkan melalui tulang tulang wajah atau rahang bawah untuk menimbulkan fraktur dasar tengkorak. Kebocoran likuor serebro-spinalis menandakan adanya duramater yang robek, namun sebaliknya tidak semua fistula atau dura yang robek menimbulkan kebocoran likuor. Yang menjadi permasalahan dalam kasus kasus dengan fraktur basis kranii adalah terjadinya robekan duramater dengan segala konsekuensi patologisnya, yaitu: 1) kebocoran likuor melalui hidung, 2) aerokel, 3) meningitis, dan 4) posisi fragmen fraktur itu sendiri.Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rinorre dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).Rinorre terjadi pada seperempat penderita fraktur basis kranii anterior, dan kadang ada beberapa kasus yang likuornya keluar melalui tegmen timpani ke dalam telinga tengah dan baru keluar melalui tuba eustakhius sampai ke hidung. Sekitar 60% rinorre mulai pada beberapa hari pertama pasca cedera dan lebih dari setengah kasus-kasus ini berhenti spontan setelah 2-3 hari. Rinorre yang terjadi belakangan kemungkinan diakibatkan karena sebelumnya kebocoran itu tertutup oleh hematom yang kemudian mengalami resolusi atau otak yang bengkak.Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan pada jenis perlukaan, tanda vital dan mekanisme trauma. Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat kemudian resusitasi, Secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Hal ini berpatokan pada A, B, C, D, E. Airway dan kontrol servikal dengan jaw thrust atau head tilt chin lift. Bila pasien tidak sadar dan ditemukan adanya suara mengorok dapat dilakukan pemasangan oro-pharingeal tube. Pasien dengan gangguan keasadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif yang dapat berupa pemasangan pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, atau dengan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi) dan memberikan oksigenasi untuk mencegah terjadinya secondary brain damage. Hal ini sesuai dengan teori pada penatalaksanaan airway dan breathing yaitu sering terjadinya gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi apnea yang berlangsung lama. Intubasi endotrakeal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %. Tindakan hiperventilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran. PCO2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg.Pada Airway didapatkan didapatkan suara mengorok dan tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan bebaskan jalan napas menggunakan tehnik Jaw thrust, pemasangan orofaringeal tube, suction mulut, imobilisasi kepala dan leher dengan memasang Hard Collar Brace. Pada breathing didapatkan hasil pergerakan dinding dada simetris, RR: 34 x/menit, teratur, retraksi (-), tipe pernapasan torako-abdominal. Hal ini menunjukkan terdapat masalah pada komponen ventilasi (breathing), dan tindakan yang dilakukan dengan pemberian O2 sungkup 8 lpm. Pada circulation nadi radialis teraba, kuat angkat, teratur, N: 121 x/menit, TD: 130/80 mmHg. Kemungkinan takikardi yang terjadi disebabkan karena terjadi pula peningkatan suhu (38,1oC). Hipertermia dapat timbul pada hari pertama setelah trauma karena gangguan pada hipotalamus, batang otak atau dehidrasi. Penyebab umum dari takikardia adalah kenaikan suhu tubuh, rangsangan jantung oleh saraf simpatis, dan keadaan toksik pada jantung. Frekuensi denyut jantung meningkat kira-kira 10 kali permenit, menaikkan suhu tubuh satu derajat Fahrenheit (18 kali per derajat Celsius) sampai suhu tubuh mencapai kira-kira 105oF (40,5oC), diatas suhu ini frekuensi jantung dapat menurun karena melemahnya otot jantung secara progresif sebagai akibat dari demam. Demam menyebabkan takikardia, karena kenaikan suhu akan meningkatkan derajat metabolisme nodus sinus, yang selanjutnya langsung meningkatkan eksitabilitas dan kecepatan irama.Hipertermia dapat timbul pada hari pertama pasca trauma karena gangguan pada hipotalamus, batang otak atau dehidrasi. Maka, tindakan yang dilakukan adalah dengan pemberian cairan intravena dengan menggunakan larutan elektrolit isotonik hangat misalnya Ringer laktat atau normal saline. Cairan jenis ini mengisi volume intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke ruang interstisial atau intravaskular.Rencana diagnostik yang dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan Rontgen: skull AP/lateral, thoraks, servikal, CT-scan kepala, pemeriksaan darah lengkap, GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, HbsAg. Setelah dipastikan benar terjadi perdarahan pada otak dengan pemeriksaan radiologi, maka akan dilakukan terapi. Tindakan yang akan dilakukan yaitu tindakan berupa pemberian obat-obatan atau tindakan operasi, tergantung dari luasnya perdarahan yang terjadi. Tindakan terapi medikamentosa yaitu pasien akan diberikan terapi obat-obatan dan diobservasi. Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa pemberian infus manitol, antibiotik, analgetik, anti kejang, dan neuroprotektor. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial yang terjadi pada pasien, perlu diberikan manitol, sediaan yang tersedia yaitu cairan manitol dengan konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan 0,25-1 g/KgBB diberikan secara bolus intravena. Manitol dosis tinggi jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol merupakan diuretik osmotik yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, pupil anisokor, riwayat muntah maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/KgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan pasien segera dibawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui. Dilakukan pemberian antibiotik profilaksis untuk mengurangi risikomeningitis pneumokok pada pasien dengan otorea dan rinorea cairan serebrospinal. Diberikan seftriakson yang merupakan golongan sefalosporin generasi ke tiga karena dapat mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS). Seftriakson yang dapat diberikan dengan dosis 50 mg 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 1-2 dosis, sediaan 1 gr/vial. Pada pasien ini, berat badan 80 kg, maka diberikan seftriakson dengan dosis 4000-8000 mg dibagi 1-2 dosis, maka dapat diberikan 2 g/12 jam. Analgetik diberikan karena nyeri mempunyai efek buruk terhadap tekanan darah dan tekanan intrakranial, analgetik yang diberikan adalah ketorolac 3% (1 mg/KgBB/6 jam, sediaan 30 mg/ml) karena merupakan analgesik poten dengan efek anti-inflamasi sedang dan merupakan satu dari sedikit AINS yang tersedia untuk pemberian parenteral . Neuroprotektor seperti piracetam diberikan untuk mencegah cedera sekunder dari cedera otak yang terjadi, piracetam diberikan dengan dosisi 3 gr (dosis 1,2 4,8 g/hari terbagi dalam 2 atau 3 dosis). Antikejang diberikan karena insidens kejang pasca trauma relatif tinggi sehingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang yang timbul akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Antikejang yang dapat diberikan fenitoin. Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP, dapat diberikan fenitoin 10-15 mg/kgBB (yang diberikan secara intravena dengan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit), maintenance 5-10 mg/kgBB/hari, dan pasien tetap dilakukan monitoring keluhan, vital sign dan status neurologis.Namun, jika perdarahan yang kecil tersebut berkembang menjadi lebih besar, maka harus dilakukan operasi. Tindakan operasi juga harus dilakukan jika terjadi perdarahan yang luas (> 1 cm) dan terdapat kelainan neurologis. Tujuan dari operasi yaitu untuk menghilangkan bekuan darah sehingga dapat menurunkan tekanan didalam kepala dan mencegah terkumpulnya darah kembali.

20